• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Konsep Anak Baik Dalam Keluarga Jawa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Konsep Anak Baik Dalam Keluarga Jawa."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pulau Jawa adalah pulau terpadat di Indonesia, dengan total penduduk 136 juta jiwa atau 60 persen dari total penduduk Indonesia (Wikipedia.com). Pulau Jawa adalah daerah yang subur karena memiliki sejumlah besar gunung berapi, baik yang masih aktif maupun yang tidak aktif. Di pulau Jawa terdapat bukit-bukit kapur yang umumnya berbentuk rata dan dari lereng-lereng gunung dan bukit mengalir sungai-sungai yang membawa batu-batu muntahan gunung berapi ke lembah-lembah yang terdiri dari tanah pasir dan batu kerikil halus yang mengandung kesuburan untuk pertanian, dengan suatu kapasitas kandungan air yang tinggi pula. Karena itu pulau Jawa dikenal dengan kesuburan tanahnya yang menghasilkan hasil pertanian. Namun kesuburan tanah pulau Jawa juga banyak di pengaruhi oleh iklimnya.

(2)

dari zaman Kerajaan Hindu-Budha hingga zaman berdirinya kerajaan Islam sehingga menjadi sistem nilai budaya yang khas di bandingkan dengan budaya suku lain. Sistem nilai budaya menurut Koentjoroningrat (1999) adalah serangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam sebagian besar warga suatu masyarakat mengenai yang dianggap penting dan berharga dalam hidupnya, sistem budaya merupakan bagian dari kebudayaan dan ditemukan dalam norma-norma yang berfungsi sebagai pengatur dan pendorong kelakuan manusia.

Kebudayaan menurut Kuntowijoyo (2003) berasal dari kata Buddayah

yang berarti budi atau akal, sehingga budaya merupakan hasil dari akal atau pemikiran dan berpijak pada daya budi yang bersifat cipta, rasa dan karsa. Orang jawa terkenal dengan kearifan lokal yang sampai saat ini masih berusaha dilestarikan. Nuansa kebudayaan Jawa masih sangat kental ketika mengunjungi sejumlah daerah di Pulau Jawa, terutama di kota Yogyakarta dan kota Surakarta yang merupakan sentral kerajaan Mataram yang akhirnya terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil.

Di kota Surakarta terdapat dua keraton, yaitu Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran. Dua keraton itu merupakan simbol sejarah dan bukti budaya lokal Jawa yang masih dilestrikan sampai sekarang. selain itu upacara-upacara adat seperti Perayaan Sekaten dan Gunungan yang diselenggarakan

keraton tiap tahun juga merupakan salah satu bukti kekayaan budaya Jawa. Selain itu ciri khas orang Jawa adalah selalu memakai bahasa Jawa dalam kesehariannya, Bahasa Jawa sendiri memiliki tingkatan, seperti bahasa Jawa Kromo ditujukan

(3)

dengan baik. Sedangkan bahasa Jawa ngoko digunakan ketika kita bebicara

dengan orang yang lebih muda dari kita atau dengan orang yang sudah kita kenal dengan baik. Adanya pengelompokan tatanan dalam berinteraksi tersebut mengharuskan orang Jawa untuk bebicara dengan melihat posisi, peran serta kedudukan dirinya dan posisi lawan (Yana, 2010).

Selain dengan bahasa, orang Jawa juga memiliki kearifan dalam berperilaku yang orang Jawa menyebut sebagai unggah-ungguh seperti melepas

alas kaki ketika masuk rumah, ketika kita lewat atau diantara kerumunan orang (ngesuk-suk) kita harus mengucap kata nyuwun sewu atau permisi. Ketika makan kita tidak boleh ngecap atau mengunyah terlalu keras sehingga berbunyi, tidak

boleh berbicara saat mengunyah, dan yang lebih muda tidak boleh mendahului yang lebih tua untuk makan. Saat berjabat tangan, yang lebih muda harus mendahului mengajak berjabat tangan dan ketika lewat didepan orang yang lebih tua, orang Jawa akan menundukkan badan sambil berjalan.

Budaya Jawa sangat menghargai posisi atau tingkat umur seseorang, bagaimana orang yang lebih muda harus bersikap menunduk pada orang yang

lebih tua dengan bahasa yang tingkatanya lebih tinggi maupun dalam gerakan-gerakan yang merupakan simbol penghormatan kepada yang lebih tua. Hal tersebut juga menjadi cerminan stereotip yang melekat pada orang Jawa yaitu tidak menonjolkan diri dan cenderung mengalah untuk keselarasan hidup.

(4)

bermain jelungan, dakon atau gobak sodor, remaja lebih suka bermain musik modern dan bermimpi suatu saat akan menjadi pemain Band terkenal daripada bermain gamelan dan belajar memainkan wayang mungkin menjadi suatu

fenomena yang terjadi di kalangan anak–anak dan remaja. Saling bantu membantu yang tercermin dalam kegiatan yang bersifat gotong royong mulai hilang karena

acuhnya masyarakat modern yang mementingkan diri sendiri. Upacara-upacara adat seperi bancakan, upacara perkawinan dan upacara peringatan kematian

perlahan mulai menghilang dari tengah-tengah orang Jawa. Itulah sekelumit bukti mulai menghilangnya nilai-nilai dalam budaya Jawa yang di sebabkan oleh modernisasi dan pengaruh budaya luar yang tidak tersaring sehingga membuat kearifan lokal menjadi terdesak dan mungkin hanya bisa di rasakan di kampung, desa atau lingkungan keraton. Efek lain dari lunturnya kebudayaan adalah semakin maraknya tindak kriminal yang dilakukan anak, tercatat pada tahun 2009 jumlah kasus kriminal anak di Indonesia mencapai 1.258 kasus, naik 25 persen dari tahun 2008, Komnas Perlindungan Anak menyebutkan bahwa faktor utama yang mendorong adalah faktor lingkungan (Tempointeraktif.com, 2010). Dari berita tersebut dapat digambarkan budaya Jawa sebagai budaya terbesar di Indonesia yang terkenal halus dan mengutamakan sopan santun seakan-akan menghilang bahkan pada anak-anak yang notabene adalah penerus warisan kebudayaan.

(5)

Walaupun di sekolah juga diajarkan kebudayaan lokal tetapi agaknya keluarga di rumahlah yang memiliki porsi paling besar dalam pembelajaran anak. Bagaimana ketika anak lahir, mereka memiliki pilihan untuk memberikan nama anak mereka

Bambang atau David. Hal tersebut sangat di pengaruhi seberapa dalam

kebudayaan jawa ada dalam diri orang tua mereka yang merupakan cerminan latar belakang sosial dari orang tua tersebut. Lalu ketika anak mulai tumbuh, orang tua kembali memiliki pilihan, apakah ulang tahun anak akan diadakan dengan pesta kue berlilin atau mengadakan syukuran dengan bancakan. Dari hal tersebut dapat

kita perkirakan bagaimana orang tua akan mendidik anak, apakah dengan menggunakan nilai-nilai budaya jawa atau dengan nilai-nilai modern. Tetapi keluarga Jawa tetaplah terdiri dari orang-orang Jawa yang memiliki budaya Jawa. Walaupun tidak mengadakan ritual dan upacara-upacara adat tetapi secara sederhana dapat terlihat budaya Jawanya seperti di atas ada unggah ungguh, dari cara menghormati orang yang lebih tua, perilaku pekewuh khas orang Jawa dan

tentu dari bicaranya. Karena secara abstrak juga bahwa norma seperti merunduk ke orang yang lebih tua dan norma-norma lain terikat dengan semacam sanksi sosial jika tidak di lakukan, seperti tidak menghormati orang yang lebih tua, tidak sopan (saru) dan tabu.

Nilai-nilai budaya Jawa tersebut secara tidak langsung akan terlihat di Keluarga Jawa. Seperti peribahasa Jawa “Mikul dhuwur mendhem jero” (menghargai orang tua setinggi-tingginya), “anak polah bapak kepradah” (jika

(6)
(7)

Berdasar pada gambaran tentang harapan orang tua Jawa terhadap moral anak tersebut dan masih abstraknya nilai-nilai kebudayaan dalam keluarga Jawa dalam menggambarkan seperti apa konsep anak Jawa yang baik atau bermoral, penulis menemukan tema yang cukup menarik untuk diteliti, bagaimanakah konsep-konsep atau nilai-nilai adat budaya Jawa menjadi landasan orang tua mendidik anak dan gambaran sejauh mana budaya Jawa mempengaruhi orang tua dalam membuat konsep untuk memandang anak. Dari pertanyaan tersebut penulis ingin membuat sebuah penelitian yang berjudul “Konsep Anak Baik Dalam Keluarga Jawa”

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami konsep anak baik dalam keluarga Jawa, sesuai dengan keunikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam budaya Jawa.

C. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Orang tua, sebagai bahan pertimbangan dalam memahami anak 2. Keluarga Jawa, sebagai wawasan baru akan kekayaan budaya Jawa

3. Masyarakat secara umum, sebagai gambaran dan perbandingan dalam memahami kebudayaan Jawa dalam berkeluarga.

(8)

8

A. Konsep Anak Baik 1. Pengertian konsep anak baik

Setiap keluarga pasti mendambakan hadirnya seorang anak di tengah-tengah keluarga mereka. Ketika anak tersebut lahir maka tiap orang tua pasti memiliki gambaran atau angan-angan tentang anaknya ketika dewasa nanti akan menjadi orang yang membanggakanya. Maka, untuk mewujudkan angan-angan tersebut, orang tua juga memiliki gambaran bagaimana mereka akan merawat dan mendidik anak tesebut. Orang tua pun juga memiliki tolak ukur atau “rumus-rumus” dalam menilai anak. Termasuk juga dalam menilai anak apakah termasuk anak yang baik atau anak yang masih kurang baik, yang sangat di pengaruhi oleh lingkungan dan budaya setempat.

a. Pengertian Konsep

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yg ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

b. Pengertian Anak

(9)

pembentukan perilaku dan kepribadiannya, disamping faktor sosial yang mendukungnya (Hurlock, 1995). Menurut Erikson, masa ini disebut juga sebagai masa industry, perkembangan psikososialnya menunjukkan anak yang berada dalam usia sekolah memperoleh bermacam-macam keterampilan, kemampuan dan mengetahui apa yang akan dilakukannya dan bagaimana anak akan melakukannya (Gunarsa, 1985).

Anak manusia tidak mungkin bertahan hidup (survive) tanpa masyarakat,

tanpa lingkungan sosial tertentu. Anak dilahirkan, di rawat, di didik, tumbuh berkembang dan bertingkah laku sesuai dengan martabat manusiawi, di dalam lingkungan kultural sekelompok manusia. Maka keluarga yang terdiri ayah, ibu dan sanak saudara beserta lingkungan sosial itu dihayati oleh anak sebagian dari dirinya sendiri. Karena itu anak manusia adalah individu sosial yang harus hidup ditengah lingkungan sosial (Kartono, 1995). Pada usia sekolah juga, anak mulai mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dan mulai mengembangkan kata hati, moral dan skala nilai yang selaras dengan keyakinan dan kebudayaan masyarakat (Poerwati dan Widodo, 2002).

c. Konsep anak baik

(10)

Dalam pandangan agama Islam anak yang baik disebut anak sholeh, didalam Al Quran surat Luqman terdapat pesan orang tua kepada anak agar menjadi anak yang sholeh :

“Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (Q.S. Luqman : 17)

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”

(Q.S. Luqman : 18)

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (Q.S. Luqman : 19)

Menurut Ulwan (1988) anak yang sholeh adalah anak yang taat dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya (amar ma’ruf nahi mungkar) dengan bersumber pada nilai-nilai Islami, serta menjadikan Islam sebagai agamanya, Al-Quran sebagai imamnya, dan Rasulullah Saw. sebagai pemimpin dan tauladannya.

(11)

membayar zakat, menunaikan haji jika mampu, bersabar menghadapi cobaan dalam kehidupan, tidak bersikap sombong, masa bodoh atau acuh tak acuh, selalu bertutur yang sopan dan bersikap santun terhadap setiap orang.

Dalam pandangan agama Kristen tidak disebutkan secara pasti bagaimana gambaran anak yang baik dalam agama Kristen, tetapi dalam alkitab terdapat 10 perintah Allah yang menjadi landasan nilai-nilai agama dan nilai moral dalam setiap pemeluk agama Kristen, salah satu perintah tersebut terdapat pada kitab ulangan (kitab perjanjian lama) “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu” (20:11), sehingga patuh kepada kedua orang tua merupakan salah satu nilai penting yang diberikan oleh anak-anak pemeluk agama Kristen.

Budaya Jawa memiliki nilai-nilai yang menjadi pesan moral orang tua kepada anaknya. Dalam serat Wulangreh karya Paku Buwono IV (Harsono, 2005)

ada lima individu yang wajib dihormati yaitu (a) orang tua atau bapak dan ibu, (b) mertua, (c) saudara laki-laki yang paling tua, (d) guru, (e) raja. Dalam serat wulangreh juga terdapat pesan orangtua kepada anak, yaitu :

a) Patuh lahir lan batin marang wong tuwa Patuh lahir dan batin kepada orang tua

b) Aja gampang mongkog (puas) marang nasib kang ditampa Jangan mudah puas dengan nasib yang diterima

(12)

d) Takon marang sarjana utawa wong pinter ngenani suba sita lan tata basa Bertanya kepada sarjana atau orang yang pintar mengenai tata aturan dan tata bahasa

e) Sregeb maca kitab-kitab lawas kang isi tuladha lan crita-crita kang becik. Rajin membaca kitab-kitab lama yang berisi contoh-contoh dan cerita yang baik.

Menurut Geertz (1961) pada keluarga Jawa terdapat dua nilai yang ditanamkan kepada anak yaitu nilai hormat dan nilai rukun, kedua nilai tersebut tidak hanya menjadi pedoman moral dalam sistem kekerabatan keluarga tetapi menjadi nilai terpenting yang ditanamkan pada anak-anak Jawa, sebagai pondasi awal menciptakan anak yang baik.

2. Tahap-tahap perkembangan pada anak

Menurut Papalia dan Olds (Pratisti, 2008) dalam life span development

masa anak-anak dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap anak-anak awal pada usia 3 sampai 6 tahun yang ditandai dengan anak lebih peduli dengan kehadiran anak lain, bahasa yang digunakan juga lebih baik serta anak mulai mengembangkan cara meminta dan memperoleh apa yang diinginkan lebih baik dari sebelumnya, demikian juga dengan kepedulian dan kontrol diri anak lebih baik dari tahap sebelumnya.

Pada tahap anak berikutnya adalah tahap anak madya pada usia 6 sampai

(13)

sekolah formal yang dijalaninya. Namun demikian faktor keluarga masih tetap harus diperimbangkan andilnya dalam perkembangan anak.

Menurut Hurlock (1980) pada akhir masa kanak-kanak (late childhood)

berlangsung dari usia enam tahun sampai tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual. Pada awal dan akhir masa akhir kanak-kanak ditandai dengan kondisi yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial pada anak.

a. Tahap perkembangan kognisi

Menurut Piaget (Nuryati, 2008) ada tiga tahap perkembangan kognisi yang terjadi pada masa anak yaitu tahap praoperasional, tahap operasional konkrit dan tahap operasional formal

1) Tahap praoperasional (usia sekitar 2 – 7 tahun)

Pada tahap ini anak mulai mampu menerangkan dunia melalui kata–kata dan gambar. Namun, anak belum mampu melakukan tindakan mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak melakukan secara mental hal-hal yang dahulu dilakukan secara fisik.

2) Tahap operasional (usia 7-11 tahun)

Pada tahap ini anak-anak mulai mampu berpikir logis untuk menggantikan cara berpikir sebelumnya yang masih bersifat intuitif-primitif, namun membutuhkan contoh-contoh konkret.

3) Tahap operasional formal (usia sekitar 11-15 tahun)

(14)

mengembangkan hipotesis tentang penyebab terjadinya suatu peristiwa. Kemudian, dia menguji hipotesis tersebut secara deduktif. Sebagai konsekuensinya, anak mulai mengembangkan gamabaran yang ideal, misalnya bagaimana menjadi orang tua yang ideal .

b. Tahap perkembangan sosial

Pada masa anak yang lebih besar atau masa anak akhir menurut Erikson (Nuryati, 2008) ada empat tahap perkembangan yang dimulai sejak bayi. Pada masa anak tahap perkembangan terjadi dalam dua tahap.

1) Tahap konflik antara prakarsa dan rasa bersalah

Masa ini terjadi ketika masa prasekolah. Ketika memasuki masa ini, lingkungan anak semakin luas, lingkungan anak semakin luas sehingga anak ditantang untuk mengahadapi tanggung jawab yang lebih luas dan besar. Anak mulai dapat diberi tanggung jawab untuk memelihara binatang kesayangan atau mainannya. Pengembangan tanggung jawab akan menimbulkan prakarsa, sebaliknya tidak-adanya kesempatan untuk mengembangkan tanggung jawab akan menimbulkan rasa bersalah. Namun demikian rasa bersalah ini akan dengan cepat tergantikan oleh prakarsa.

2) Tahap krisis antara tekun dan rasa rendah diri

Ketika anak memasuki usia sekolah, anak akan memasuki tahap perkembangan berikutnya, yaitu krisis antara tekun dan rasa rendah diri (industry vs. infentory). Prakarsa yang diperoleh pada tahap perkembangan sebelumnya

(15)

penguasaan pengetahuan melalui imajinasi. Memasuki sekolah merupakan kesempatan untuk mengembangkan imajinasi serta pengetahuan, sekaligus mulai dikembangkan rasa tidak berkompeten yang menimbulkan rasa rendah diri. Tugas guru adalah memberikan bimbingan yang lembut tetapi tegas agar anak dapat belajar tentang sesuatu yang semula tidak terpikirkan.

Dari tahap-tahap teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognisi anak terjadi karena proses belajar, asimilasi maupun akomodasi, dimulai dari benda-benda yang pertama dilihat maupun dipegang oleh bayi, misalnya ibu jari atau susu ibu. Teori psikososial erikson menyatakan bahwa perkembangan manusia terjadi sepanjang rentang kehidupan dimana masing-masing tahap memiliki masa kritis. Seseorang yang mampu melewati masa kritis pada tiap tahap perkembangan akan mencapai integritas kebermaknaan hidup di usia tuanya (Pratisti, 2008).

c. Tahap perkembangan bahasa

Clara dan Wiliam (Zulkifli, 2001) menjelaskan bahwa ada empat tahap perkembangan bahasa. yang dimulai ketika bayi berusia satu tahun. (a) Tahap pertama yaitu tahap bayi mengucapkan satu kata yang berbentuk pengulangan dan belum memiliki arti sepenuhnya, yang terjadi diusia satu sampai satu setengah bulan, (b) Tahap kedua yaitu tahap bayi memberi nama atau labeling, yang terjadi

(16)

semakin lama akan semakin baik warna dan bentuk bahasanya, Tahap terakhir ini terjadi pada umur dua setengah tahun sampai dan seterusnya.

Menurut Hurlock (1997) kosa kata yang muncul pada akhir masa kanak-kanak atau pada awal masa awal anak-anak adalah :

1) Kosa kata etiket

Pada akhir kelas satu, anak yang dirumah dilatih menggunakan kata-kata seperti ”minta tolong” dan ”terimakasih,” mempunyai kosa kata etiket orang- orang dewasa dalam lingkungan keluarganya.

2) Kosa kata warna

Anak belajar nama semua warna yang umum dan warna yang tidak terlampau umum dipelajari segera setelah masuk sekolah dan memperoleh pendidikan formal dalam kesenian.

3) Kosa kata bilangan

Dari pelajaran berhitung di sekolah anak belajar nama dan arti bilangan. 4) Kosa kata uang

Baik dirumah maupun di sekolah, anak yang lebih besar belajar nama berbagai macam uang logam dan ia mengerti nilai dari berbagai satuan uang kertas.

5) Kosa kata waktu

(17)

6) Kosa kata populer dan kata-kata makian kanak-kanak dan dari anak-anak yang lebih besar di lingkungan tetangganya. Dengan menggunakan kata-kata tersebut anak merasa ”dewasa” dan mereka segera mengetahui bahwa penggunaan kata-kata tersebut mempunyai nilai perhatian yang lebih besar. 7) Kosa kata rahasia

Anak menggunakan kosa kata rahasia untuk berkomunikasi dengan sahabatnya. Dapat berbentuk tulisan, terdiri dari kode-kode yang dibentuk dengan lambang-lambang atau pengganti huruf; lisan terdiri dari kata-kata yang dirusak atau kinetik, terdiri dari isyarat-isyarat dan penggunaan jari-jari untuk mengkomunikasikan kata-kata. Sebagian besar anak mulai menggunakan salah satu atau beberapa bentuk kata rahasia ini pada saat ia masuk kelas tiga dan penggunaan ini mencapai puncaknya beberapa saat sebelum masa puber.

d. Tahap perkembangan moral anak (Kohlberg dalam Santo, 1995) 1) Tingkat prakonvensional

Pada tahap ini anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini ditafsirkan dari segi akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan). Atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peraturan dan semua label tersebut. Terdapat dua tahap pada tingkat ini.

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan

(18)

-mata menghindarkan hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya, dinilai sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri dan bukan karena rasa hormat terhadap tatanan moral yang melandasi dan yang didukung oleh hukuman dan otoritas.

Tahap 2 : Orientasi relativis-instrumental

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia dipandang seperti hubungan di pasar. Terdapat elemen kewajaran tindakan yang bersifat resiprositas (aksi reaksi) dan pembagian sama rata, tetapi ditafsirkan secara fisik dan pragmatis. Resiprositas ini merupakan hal ”jika engkau menggaruk punggungku, nanti aku juga akan menggaruk punggungmu”, dan bukan karena loyalitas, rasa terimakasih atau keadilan.

2) Tingkat Konvensional

(19)

Tingkat ini mempunyai dua tahap :

Tahap 3 : Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi ”anak manis” Perilaku yang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak konformitas terhadap gambaran stereotip mengenai apa itu perilaku mayoritas atau ”alamiah”. Perilaku sering dinilai menurut niatnya, ungkapan ”dia bermaksud baik” untuk pertama kalinya menjadi penting. Orang mendapatkan persetujuan dengan menjadi ”baik”. Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban

Terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap dan penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menghormati otoritas dan menjaga tata tertib sosial yang ada, sebagai yang bernilai dalam dirinya sendiri.

3) Tingkat pasca konvensional, otonom atau yang berlandaskan prinsip Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai–nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip – prinsip itu dan terlepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tahap pada tingkat ini :

Tahap 5 : Orientasi kontrak sosial legalistis

(20)

bersesuaian dengannya, terdapat suatu penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, hak adalah soal ”nilai” dan ”pendapat” pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandangan legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial (dan bukan membekukan hukum itu sesuai dengan tata tertib gaya tahap 4). Di luar bidang hukum, persetujuan bebas dan kontrak merupakan unsur pengangkat kewajiban. Inilah “moralitas resmi” dari pemerintah dan perundang-undangan Amerika Serikat.

Tahap 6 : Orientasi prinsip etika universal

Hak ditentukan oleh keputusan suara batin, sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu pada komprehensivitas logis, universalitas, konsistensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis (kaidah emas imperative kategoris) dan mereka tidak merupakan peraturan moral konkret seperti Kesepuluh perintah Allah (menurut kepercayaan agama Kristen). Pada hakikatnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas dan persamaan hak asasi manusia serta rasa hormat terhadap manusia sebagai pribadi individual. 3. Tugas perkembangan anak

(21)

menyamai teman-teman sebaya yang sudah menguasai tugas perkembangan tersebut (Hurlock, 1997)

Menurut Havighurst (Hurlock, 1997) tugas-tugas perkembangan pada masa akhir anak-anak adalah :

1) Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan-permainan yang umum

2) Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh

3) Belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya

4) Mulai mengembangkan peran sosial pria dan wanita yang tepat

5) Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung

6) Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari

7) Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga- lembaga

8) Mencapai kebebasan pribadi

Menurut Buhler (Zulkifli, 2001) tugas perkembangan bayi, anak dan remaja dibagi menjadi lima masa, pada periode anak masa perkembangan sampai pada masa :

1). Masa ketiga, usia lima sampai delapan tahun

(22)

tinggi. Pandangan terhadap dunia sekelilingnya ditinjau dan diterima secara objektif.

4). Masa keempat usia sembilan sampai tiga belas tahun

Keinginan maju dan memahami kenyataan mencapai puncaknya. Pertumbuhan jasmani sangat subur pada usia sepuluh sampai usia dua belas tahun. Kejiwaannya tampak tenang, seakan-akan ia bersiap-siap untuk mengahadapi perubahan yang akan datang. Ketika anak perempuan berusia dua belas sampai tiga belas tahun, anak laki-laki berusia tiga belas sampai empat belas tahun, mereka mengalami masa krisis dalam proses perkembangannya. Pada masa ini mulai timbul kriktik terhadap diri sendiri, disertai berbagai pertentangan yang timbul dengan dunia lingkungan dan sebagainya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penguasaan tugas-tugas perkembangan baik yang menghalangi maupun yang membantu penguasaan tugas perkembangan menurur Hurlock (1997) adalah :

1). Faktor-faktor yang menghalangi penguasaan tugas perkembangan adalah,

a). Tingkat perkembangan yang mundur.

b). Tidak ada kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas perkembangan atau tidak ada bimbingan untuk dapat menguasainya.

c). Tidak ada motivasi d). Kesehatan yang buruk e). Cacat tubuh

(23)

2). Faktor-faktor yang membantu penguasaan tugas perkembangan adalah, a). Tingkat perkembangan yang normal atau yang diakselerasikan

b). Kesempatan-kesempatan untuk mempelajari tugas-tugas dalam perkembangan dan bimbingan untuk menguasainya

c). Motivasi

d). Kesehatan yang baik dan tidak ada cacat tubuh e). Tingkat kecerdasan yang tinggi

f). Kreatifitas

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi perkembangan anak

Menurut Kartini (1995), Perkembangan anak tidak berlangsung secara-mekanis otomatis sebab perkembangan tersebut sangat bergantung pada beberapa faktor secara simultan yaitu :

1). Faktor herediter (warisan sejak lahir;bawaan)

2). Faktor lingkungan yang menguntungkan atau yang merugikan 3). Kematangan fungsi-fungsi organis dan fungsi-fungsi psikis dan

4). Aktifitas anak sebagai subyek bebas yang berkemauan, kemampuan seleksi, bisa menolak atau menyetuju, punya emosi, serta usaha membangun diri

sendiri.

Menurut Hurlock (1993) keluarga juga memiliki peranan atau sumbangsih pada perkembangan anak yaitu :

a). Perasaan aman karena menjadi anggota kelompok yang stabil.

(24)

c). Sumber kasih sayang dan penerimaan yang tidak terpengaruh oleh apa yang mereka lakukan.

d). Model pola perilaku yang disetujui guna belajar menjadi sosial.

e). Bimbingan dalam pengembangan pola perilaku yang disetujui secara sosial. f). Orang-orang yang dapat diharapkan bantuanya dalam memecahkan masalah

yang dihadapi tiap anak dalam penyesuaian pada kehidupan.

g). Bimbingan dan bantuan dalam mempelajari kecakapan-motorik, verbal dan sosial, yang diperlukan untuk penyesuaian.

h). Perangsang kemampuan untuk mencapai keberhasilan di sekolah dan kehidupan sosial.

i). Bantuan dalam menetapkan aspirasi yang sesuai dengan minat dan kemampuan.

j). Sumber persahabatan sampai mereka cukup besar untuk mendapatkan teman di luar rumah atau bila teman di luar tak ada.

Dari uraian mengenai tugas dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan anak di atas, tentunya menjadi suatu bahan pertimbangan penting dalam orang tua menilai perkembangan anaknya secara umum. Secara tidak langsung uraian diatas juga dapat dihubungkan dalam penilaian anak apakah anak akan tumbuh menjadi anak baik walaupun perkembangan tiap anak berbeda tetapi tentunya uraian diatas dapat menjadi pertimbangan yang penting.

(25)

B.Keluarga Jawa 1. Pengertian keluarga Jawa

Keluarga merupakan organisasi terkecil yang membangun sebuah masyarakat. Ketika ada moralitas suatu masyarakat dianggap rendah, tentunya kita patut melihat bagaimana kondisi keluarga-keluarga didalam masyarakat tersebut. Ketika sebuah kampung disebut sebagai kampung ”pencuri”, tentunya kita dapat melihat dari aspek peran dari tiap keluarga yang berada didaerah tersebut, apakah hanya karena kemiskinan dan terbatasnya mata pencaharian atau karena kondisi keluarga yang negatif sehingga memicu anggapan tersebut.

a. Pengertian Keluarga

Pengertian keluarga juga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Keluarga dalam dimensi hubungan darah merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Berdasarkan dimensi hubungan ini darah ini, keluarga dapat dibedakan menjadi keluarga besar dan keluarga inti. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, walaupun diantara mereka tidak terdapat hubungan darah (Shochib, 1998).

(26)

pedagogis, keluarga adalah ”satu” persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Penyempurnaan diri juga terkandung perealisasian peran dan fungsi sebagai orang tua (Soelaeman, 1994).

Dapat disimpulkan keluarga adalah kelompok sosial yang bersifat abadi, dikukuhkan dalam hubungan pernikahan yang memberikan pengaruh keturunan dan lingkungan sebagai dimensi penting bagi anak. Suatu keluarga yang terdiri dari pribadi-pribadi yakni ayah, ibu dan anak-anak sebagai keluarga inti, sedangkan kelurga besar selain ada pribadi-pribadi dalam keluarga inti masih ada pribadi lain seperti kakek, nenek, paman dan lain-lain (Gunarsa, 1985).

Keluarga disebut sebagai keluarga utuh apabila disamping lengkap anggotanya (terdiri dari ayah, ibu dan anak) juga dirasakan lengkap oleh anggotanya (Shochib, 1998), dengan kata lain anggota dari keluarga tersebut juga merasakan kehadiran dan fungsi dari anggota keluarga yang lain, sehingga perlu adanya intensitas dan kualitas komunikasi antar anggota keluarga dengan baik, sehingga tiap anggota keluarga, khususnya anak-anak yang merupakan pribadi yang sangat membutuhkan sosok ayah dan ibu, dapat merasakan kehadiran anggota keluarga yang lain bukan hanya secara fisik tapi juga secara psikis.

b. Fungsi keluarga menurut Gunarsa (1985) adalah : 1) Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak.

2) Memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban. 3) Mengembangkan kepribadian

(27)

5) Mengajarkan dan meneruskan adat istiadat, kebudayaan, agama, sistem nilai moral kepada anak.

c. Peran ibu dalam keluarga khususnya kewajibannya dalam mengasuh anak menurut Gunarsa (1985) :

1) Memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis pada anak.

2) Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten. 3) Ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak

d. Kategori keluarga menurut pola asuh orang tua terhadap anak menurut David (dalam Sochib, 1992) adalah :

1) Keluarga seimbang

(28)

2) Keluarga kuasa

Keluarga yang lebih menekankan kekuasaan daripada relasi. Pada keluarga ini, anak merasa seakan-akan ayah dan ibu mempunyai buku peraturan, ketetapan, ditambah daftar pekerjaan yang tidak pernah habis. Orang tua bertindak sebagai bos dan pengawas tertinggi. Anggota keluarga terutama anak-anak tidak memiliki kesempatan atau peluang agar dirinya ”didengarkan”.

3) Keluarga protektif

Keluarga yang lebih menekankan pada tugas dan saling menyadari perasaan satu sama lain. Dalam keluarga ini ketidak cocokan sangat dihindari karena lebih menyukai suasana kedamaian. Sikap orang tua lebih banyak pada upaya memberi dukungan, perhatian, dan garis-garis pedoman sebagai rujukan kegiatan. Esensi dinamika keluarga adalah komunikasi dialog yang didasarkan pada kepekaan dan rasa hormat.

4) Keluarga kacau

(29)

menimbulkan kontradiksi karena pada hakekatnya tidak ada keluarga. Rumah hanya sebagai terminal dan tempat berteduh oleh individu-individu.

5) Keluarga simbiotis

Keluarga yang dicirikan oleh orientasi dan perhatian keluarga yang bahkan hampir seluruhnya terpusat pada anak-anak. Keluarga ini berlebihan dalam melakukan relasi. Orang tua sering merasa terancam karena meletakkan diri sepenuhnya pada anak-anak dengan alasan ”demi keselamatan”. Orang tua banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan dan memenuhi keinginan anak-anaknya. Anak dewasa dalam keluarga ini belum memperlihatkan perkembangan sosialnya. Dalam kesehariannya, dinamika keluarga ditandai oleh rutinitas kerja. Rumah dan keluarga mendominasi para anggota keluarga.

e. Teori sosialisasi dalam keluarga

Sebuah keluarga tentunya memiliki harapan dan impian bagaimana anaknya kelak akan tumbuh dewasa. Diperlukan proses sosialisasi orang tua kepada anak agar apa yang diharapkan juga dimengerti dan dijalani oleh anak. Menurut Grusec dan Davidov (2001), proses sosialisasi adalah proses penerimaan nilai-nilai, standar, dan kebiasaan masyarakat serta kemampuan untuk berfungsi dalam cara yang adaptif dalam konteks sosial yang lebih luas. Orang tua adalah agen paling penting dalam sosialisasi dengan anak, ada empat alasan kenapa orang tua merupakan agen terpenting dalam sosialisasi pada anak (Colins dkk, 2001) :

(30)

menghadapi tuntutan kehidupan sosial. Orang tua dan anak secara biologis dipersiapkan untuk tetap tertarik dan dekat satu dengan yang lainnya.

2) Kebutuhan manusia yang kuat untuk saling berkaitan memainkan peran penting dalam proses sosialisasi, dan kesempatan untuk keterkaitan tersebut berlimpah dalam hubungan orangtua-anak sebagai orang tua yang melindungi, memelihara, dan mengekspresikan kasih sayang dan kehangatan kepada keturunanya. Selain itu, ikatan antara anak dan orangtua tidak pernah bisa secara resmi untuk putus, tidak seperti antara teman sebaya, guru dan individu-individu biologis yang tidak terkait lainya.

3) Dalam sebagian besar masyarakat, orangtua secara formal ditugaskan berperan sebagai agen utama sosialisasi.

4) Alasan praktis memfasilitasi motivasi orang tua untuk mensosialisasikan anak-anak mereka, mengingat bahwa mereka harus hidup didekat anak-anak ini dan bahwa kehidupan akan lebih nyaman bila ada kesepakatan tentang sifat perilaku yang sesuai.

Dalam pengertian, fungsi dan kategori keluarga diatas, penulis menyimpulkan bahwa pusat perhatian dari sebuah keluarga adalah seorang anak. Bagaimana fungsi keluarga adalah meneruskan keturunan lalu merawatnya dan tiap kategori selalu melihat suatu kondisi keluarga yang dibuat oleh orang tua dan berakibat pada anak dan dengan kategori keluarga seimbanglah anak yang paling baik dalam mengembangkan potensi anak.

(31)

timbulnya adab kemanusiaan sampai kini, keluarga selalu mempengaruhi pertumbuhan budi pekerti tiap-tiap manusia. Sehingga dapat dikatakan bagaimanakah pribadi-pribadi orang dewasa merupakan pengaruh dan pendidikan dari orang tua dalam keluarga. Pada tahun-tahun pertama anak, sebelum mereka memahami sesuatu dengan cara yang koheren, faktor psikologis anak sudah siap untuk menerima nilai-nilai dari orang tua (Geertz, 1961) Dalam Al Quran pun banyak ayat yang menjelaskan kewajiban orang tua dalam mendidik anak, seperti pendidikan kepribadian (Luqman: 12-19). Dari kutipan ayat tersebut sudah jelas bahwa keluarga bertujuan untuk mendidik anak dan orang tua wajib mengusahakanya.

2. Budaya Jawa

(32)

Dalam sebuah kebudayaan terdapat nilai-nilai budaya yang sifatnya paling abstrak. Nilai-nilai budaya menurut Koentjaraningrat (1986) adalah konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat, sesuatu mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat. Perincian kongkret nilai-nilai budaya ditemukan dalam norma-norma yang berfungsi sebagai pengatur dan pendorong kelakuan manusia.

Magnis (dalam Jatman, 2000) menyatakan bahwa yang dimaksud orang Jawa sesungguhnya adalah suatu konstruksi teoritis, dan tidak menunjukkan kepada kelompok orang perorangan konkret tertentu. Dari hasil kajian pustaka penulis menyimpulkan dalam budaya Jawa norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya, hanya bersifat kiasan-kiasan seperti sanepa, bebasan, saloka dan belum dirumuskan dalam suatu peraturan khusus, seperti :

1) “Aja dumeh”

Jangan merasa dirinya lebih 2) “Mulat sarira, hangrasa wani”

Jadilah pribadi yang selalu mawas diri dan instropeksi diri 3) “Mikul duwur, mendem jero”

Jadilah anak yang menghargai dan menghormati serta menyimpan rahasia keluarga.

4) “Ajining diri saka obahing lathi”

(33)

5) “Anak polah bapak kepradah”

Setiap perilaku anak adalah tanggung jawab orang tua

Kiasan-kiasan diatas juga dapat terdapat dalam kehidupan keluarga Jawa. Sebagai contoh ”mikul duwur mendem jero” bermaksud agar anak lebih menghargai dan menghormati orang tua serta menyimpan rahasia orang tua bahkan sampai orang tua meninggal. Lalu kiasan “anak polah bapak kepradah” yang bermakna agar anak berhati-hati dalam berperilaku, karena ketika anak berbuat salah maka orang tua yang harus bertanggung jawab.

Selain kiasan-kiasan, budaya jawa juga memiliki unggah-ungguh atau tata

krama, seperti berbicara lembut kepada yang lebih tua, makan tidak boleh sampai berbunyi mulutnya, makan tidak boleh tergesa-gesa, dan lain-lain. Lalu dalam budaya Jawa juga mengenal bibit, bebet, bobot yaitu bibit yang berarti asal

keturunan seseorang, bebet adalah lingkungan tempat tinggal seseorang, bobot adalah “harga” dari seseorang. Artinya, sejauhmana prestasi kerja yang diperoleh, sejauhmana kedudukan didalam masyarakat (Pratisti, 2008). Hal ini ditujukan khususnya ketika seorang anak akan menikah dan memilih calon pendamping hidup.

(34)

1). Nilai Hormat

Prinsip hormat termasuk kaidah sosial yang berperan dalam interaksi masyarakat Jawa (Suseno dalam Endraswara, 2006). Prinsp hormat merupakan kaidah sosial untuk menjaga keselarasan hubungan antar anggota masyarakat. Budi pekerti yang terkait dengan sikap hormat, dilakukan anak kepada orang tuanya baru kepada orang lain di luar keluarga, sehingga aplikasi prinsip hormat akan tercermin pertama kali pada hubungan anak dengan orang tua . Jika anak tidak menghormati orang tua maka anak tersebut akan kuwalat, karena ungkapan wong tuwa ala malati, maksudnya kendati jelek, orang tua itu bertuah

(Endraswara, 2006).

2). Nilai Patuh

Dalam serat wulangsunu karya Paku Buwono IV terdapat nilai-nilai harapan orang tua kepada anak untuk berbakti dan patuh kepada orang tua sebagai wujud pengabdian dan pembalasan yang baik setelah orang tua berjuang membesarkan anak.

a) Wulang sunu kang digawé lagu, kang diwiwiti bab tata cara ngabekti, marang wong tuwa, bèn kabèh nggatèkaké, pitutur kang tinulis, sapa kang ora gelem

nurut, marang pituduh tinulis, niscaya bakal kesia-sia, niscaya donya akherat

bakal oleh cilaka , sawisé mati mlebu neraka.

(35)

apik lan ala, déning ibu bapa nalika awakmu isih bayi, ibumu luwih lara lan

sengsara ngopèni awakmu.

c) Ora énak mangan lan turu, ibumu ngopèni awakmu senajan mung mangan

sega uyah, senajan mung nelesi tenggorokan, mangan klapa uga dilakoni,

saben dina adus lan umbah-umbah ning kali kanthi rekasa kanggo ngopèni

awakmu , rasakné bab kuwi mau.

d) Kahanan pait getir ibumu ngopèni awakmu, dèwèké turu mung sambilan

senajan kebak banyu uyuh lan tinjamu, dilakoni yèn awakmu buang kotoran

ditatur lan dipangku, diresiki déning ibumu didusi saben esuk lan sore nganti

resik, yèn awakmu ngelih didulang.

e) Nalika awakmu umur sangang sasi, wektu iku awakmu bisa mbrangkang,

gawéyan ibumu mung njaga senajan mung nganggo kain sambungan, ngopèni

awakmu nalika awakmu isih cilik, yèn awakmu kurang mangan digolèkké

nganti éntuk, mengko yèn awakmu uwis diwasa ora ana walesan liyané lelaku

apik lan ngabekti marang wong tuwamu.

f) Yèn mengko awakmu aniyaya marang wong tuwamu, diukum déning Gusti

Sing Murbèng Dumadi, besuk yèn mati niscaya bakal bareng geni, yèn wong

seneng duraka, siksané abot banget, mulané aku pesen aja wani karo ibu bapa

anakku, lakoni perintah kaloroné.

g) Anané awakmu mengko, yèn dididik ibu bapa wicaramu asring nglawan

nyahut nuli mléngos, cegaha iku anakku,ora apik tembé mburiné, donya

akherat bakal sia-sia, besuk yèn mati dimusuhi Pangèran, disiksa déning

(36)

h) Kamangka bocah enom sing apik, pendapaté ora pati dididik ibu bapaké, lungguh sila ing ngarepé, wong tuwané kayadéné Pangèran, lunga lan mulih

sujud, iku budi kang luhur sarta ngabekti marang Gusti Pangèran kang Maha

Urip, yaiku kang nyiptakaké mati lan urip sarta kang mènèhi sandang lan

pangan.

i) Kang wis kaprah tumrap bocah enom, solah tingkah malang mégung manjaaké awak, solah tingkah sing kliwatan lungguh sakepénaké lan ora ngerti

kasopanan, alaku congkak, seneng mamèraké awaké, kelakuané ora duwé

arah, yèn awaké kesénggol njingkat lan pijer agawé onar marang wong akèh.

j) Éling-éling aja ana sing anglakoni, kabèh lalaku sing salah, tingkahé mesthi bakal konangan, dhèwèké bakal kesuluh lan ora kuwat nandang, kaya-kaya

kabèh wong mung mèsem, mulané kuwi anakku, élinga aja ana sing nglakoni

salah bèn uripmu ora ngalami kasusahan.

k) Ana manèh pituturku anakku, yèn awakmu nduwé karep aja nganti ngabotaké awak, , jaganen awakmu, yèn drajatmu cilik, aja ngrasa pesimis, yèn awakmu

dadi wong luhur, jejegna pikirmu, sabar kanthi kaalusan, budi, yakuwi laku

kang utama.

l) Mula saka kuwi kaum muda saiki sing sabar, wewanuhan karo wong tuwa,

gatèkaké pituturé sing apik, saka lair tekan bathin, lair kanthi tatakrama,

batiné kanthi ngabekti marang wong tuwa, yakuwi pituturku kanggo kabèh

(37)

3). Nilai Rukun

Sikap rukun berarti keadaan yang serasi, penuh kerjasama, gotong royong, dan peniadaan perselisihan sebaik-baiknya (Geertz dalam Endraswara, 2006). Dalam pergaulan sosial anak-anak sudah belajar hidup rukun sejak dini, setidaknya mulai dalam keluarga. Antar sesama anggota keluarga telah ditanamkan agar jangan bersikap cecelingan iku ngedohake rejeki. Pertengkaran

sesama saudara/siapa pun akan mengakibatkan anugerah rejeki semakin jauh. Nilai kerukunan ini, selanjutnya akan diperlebar lagi dalam pergaulan masyarakat. Dalam hal ini orang Jawa berprinsip ojo nganti kepaten pasaban. Maksudnya,

jangan sampai kehilangan tempat bergaul, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Ketika nilai hormat dan nilai rukun tersebut dapat dipahami dan dijalankan oleh anak dengan baik maka anak telah disebut memiliki pondasi yang kuat untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur (Endraswara, 2006).

Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam keluarga Jawa juga memperhatikan bagaimana hubungan orang tua dan anak. Bagaimana seorang anak harus berperilaku kepada yang lebih tua, bagaimana anak harus menjaga perilakunya agar tidak membuat orang tua merasa malu (wirang).

3. Keluarga Jawa

(38)

C. Konsep Anak Baik Dalam Keluarga Jawa

Dari keseluruhan uraian diatas mengenai anak dan moralitas serta gambaran keluarga dan nilai-nilai budaya Jawa, maka konsep anak baik dalam keluarga Jawa adalah gagasan atau ide mengenai gambaran anak yang bermoral didalam kehidupan keluarga yang memegang nilai-nilai budaya Jawa. Gagasan tersebut merupakan gagasan keluarga terdekat anak yaitu orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu, dan juga gagasan anak itu sendiri mengenai konsep anak yang baik.

Budaya Jawa sebagai salah satu budaya terbesar di indonesia tentunya memiliki keunikan tersendiri dalam sistem sosial maupun dalam falsafah-falsafah kehidupan. Dalam perkembangannya, penerapan budaya Jawa oleh setiap orang Jawa akan berbeda satu dengan yang lain tergantung pada pemahaman dan ketertarikan setiap orang Jawa terhadap budaya Jawa. Pada keluarga, perbedaan pemahaman akan budaya Jawa pun akan tercermin pada aplikasi nilai–nilai budaya Jawa dalam keluarga. Aplikasi budaya pada keluarga mencakup pada bagaimana orang tua memandang anak dan sebaliknya anak dalam memandang orang tua dan pemahaman anggota keluarga dalam memandang arti sebuah keluarga dan masyarakat.

(39)

masih abstrak dan juga dipengaruhi latar belakang, persepsi dan harapan keluarga Jawa itu sendiri.

D. Pertanyaan penelitian

Setelah membahas uraian-uraian diatas, maka penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

Bagaimanakah konsep anak yang baik dalam keluarga Jawa?

a. Sifat-sifat atau karakter anak apa saja yang dianggap baik oleh orang tua? b. Alasan orang tua, kenapa sifat atau karakter tersebut dianggap penting? c. Bagaimana cara orang tua mewujudkan karakter karakter atau konsep anak

yang baik?

Referensi

Dokumen terkait

generasi orang tua dan remaja ... Bentuk Perilaku Menjaga Martabat Orang Tua ... Generasi orang tua ... Generasi remaja ... Perbandingan bentuk menjaga martabat orang tua

anak yang terdapat dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua.. Keluarga luas (extended family), yang ditarik atas dasar garis

c. Industrialisasi telah menimbulkan corak kehidupan ekonomi baru dalam masyarakat. Dalam masyarakat agraris, semua anggota keluarga baik itu anak-anak, wanita, para orang tua dapat

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) pengetahuan orang tua mengenai anak mereka yang tunarungu; 2) kendala orang tua dalam menghadapi anak mereka yang

Adapun kedua orang tua yang hanya memberikan satu atau dua kontribusi saja, seperti kedua orang tua yang hanya memberikan pendidikan seksual kepada anak mereka, namun belum

Perubahan nilai-nilai yang sangat cepat, benturan nilai, perubahan pola- pola kehidupan dalam masyarakat dan keluarga, perubahan pola kerja orang tua, renggangnya hubungan orang

Untuk dapat menjadi orang tua, yaitu keluarga yang mampu mengabdikan diri dengan sepenuh hati bagi perkembangan dan pertumbuhan anak, maka orang tua harus memahami pentingnya peran

“Perhatian dapat membuat orang tua mengarahkan diri ke tugas-tugas yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi terhadap tuntutan anak, memfokuskan diri pada masalah yang harus