• Tidak ada hasil yang ditemukan

DUKUNGAN ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU (Studi Kasus pada Orang Tua yang Memiliki Anak Tunarungu di Sekolah Luar Biasa di Jakarta) Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DUKUNGAN ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU (Studi Kasus pada Orang Tua yang Memiliki Anak Tunarungu di Sekolah Luar Biasa di Jakarta) Skripsi"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

DUKUNGAN ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU (Studi Kasus pada Orang Tua yang Memiliki Anak Tunarungu

di Sekolah Luar Biasa di Jakarta)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Cicilia Ayunda Sitaningrum 171114063

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2021

(2)

i

DUKUNGAN ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU (Studi Kasus pada Orang Tua yang Memiliki Anak Tunarungu

di Sekolah Luar Biasa di Jakarta)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Cicilia Ayunda Sitaningrum 171114063

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2021

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN MOTTO

Life doesn’t get easier, you just get stonger. -Sisilia Arum Sekar-

You deserve to be celebrated for all the little all the big all the in-between. Keep doing the dang thing. Someone is watching. You are watching, In the front row of

your own life be the first to toot your own horn from time to time. Enjoy yourself. -Adrian Michael-

Six Mindset Lose yourself in yourself

Adjust your mindset Watch how things change Be the love you wish to feel Be the power you want to have Be the greatest at what you already are

(6)

v

HALAMAN PERSEBAHAN

Karya ini kupersembahkan khusus untuk:

Orang tuaku:

Papa Yohanes Wasita dan Mama Maria Rini Susilani

Terimakasih untuk segala semangat dan kepercayaannya selama ini

Adik kecilku:

Simforianus Pulung Wegig Sanjaya

Terimakasih untuk semangat yang selalu diberikan

Dosen Pembimbingku: Juster Donal Sinaga, M.Pd.

Terimakasih untuk segala bimbingan dan pendampingannya selama ini

Orang-orang terdekatku…

(7)
(8)
(9)

viii ABSTRAK

DUKUNGAN ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU

(Studi Kasus terhadap Orang Tua yang Memiliki Anak Tunarungu di SLB Pangudi Luhur, Jakarta Barat)

Cicilia Ayunda Sitaningrum Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2021

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) pengetahuan orang tua mengenai anak mereka yang tunarungu; 2) kendala orang tua dalam menghadapi anak mereka yang tunarungu; 3) bentuk dukungan orang tua untuk anak mereka yang tunarungu; 4) proses dukungan orang tua untuk anak mereka yang tunarungu; 5) pihak yang terkait dalam memberikan dukungan untuk anak tunarungu.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Sumber data penelitian ini adalah satu orang tua yang memiliki anak tunarungu di SLB swasta di Jakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara. Teknik analisa data yang digunakan yaitu membuat pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan verifikasi data.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) pengatahuan orang tua mengenai anaknya yang tunarungu adalah anak yang memiliki permasalahan dalam pendengaran disertai dengan berbicara tidak lancar. Pengetahuan bertambah ketika orang tua memeriksakan anaknya ke dokter THT, dimana anak tunarungu memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda, membutuhkan ABD, kosakata minim.; 2) kendala orang tua dalam menghadapi anaknya yang tunarungu, yaitu anak sulit dalam berkomunikasi, sulit dikendalikan ketika tantrum, dan sering malas belajar/sekolah; 3) bentuk dukungan orang tua untuk anaknya yang tunarungu, yaitu memberikan latihan dalam berbicara, memberikan kasih sayang dan semangat, menitipkan anak di asrama sekolah untuk melatih kemandirian, memberikan hadiah untuk pencapaian prestasi anak, dan mengikutsertakan anak dalam lomba untuk mengembangkan passion anak; 4) proses dukungan orang tua untuk anaknya yang tunarungu, yaitu mencari informasi tentang sekolah-sekolah khusus anak tunarungu, berusaha membujuk anak ketika sudah mulai lelah untuk belajar/sekolah, dan berusaha untuk memenuhi semua kebutuhan anak; 5) pihak yang terkait dalam pemberian dukungan untuk anak tunarungu, yaitu ayah, kakak, dan wali kelas.

(10)

ix

ABSTRACT

PARENTS’ SUPPORTS FOR DEAF CHILDREN

(A Case Study of a Parent Who Have a Deaf Child in School for Exceptional Children (SLB) of Pangudi Luhur, West Jakarta)

Cicilia Ayunda Sitaningrum Sanata Dharma University

Yogyakarta 2021

This research aims to describe 1) parents’ knowledge about their deaf children; 2) parents’ obstacles in dealing with their deaf children; 3) forms of parents’ supports for their deaf children; 4) a process of parents’ supports for their deaf children; 5) parties involved in giving supports for deaf children.

This research was qualitative research with a case study approach. The research data source was a parent whose child is deaf in a private School for Exceptional Children (SLB) in Jakarta. The data collection technique was conducted through interviews. The data analysis techniques used were data collection, data reduction, data presentation, and data verification.

The research shows the following results. 1) Parents’ knowledge about their deaf children is children with hearing impairments speaking not fluently. Their knowledge increases when they take their children to an ENT specialist. Deaf children have different levels of severity, need hearing aid, and use minimal vocabularies. 2) Parents’ obstacles in dealing with their deaf children in which their children are difficult to communicate, be controlled during tantrum, and being often lazy to study or go to school. 3) Parents’ supports in the form of providing speaking training, giving love and enthusiasm, entrusting children to school dormitories to practice independence, giving rewards for their achievement, and involving children in competitions to develop their passions. 4) The process of parents’ supports for their deaf children is by trying to persuading their children when they are tired of studying or going to school and trying to meet all their children’s needs. 5) Parties involved in giving supports for deaf children are father, older siblings, and homeroom teachers.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena sudah

senantiasa menjadi penopang dan teman terbaik penulis untuk bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dukungan Orang Tua terhadap Anak Tunarungu”. Penelitian ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh

gelas Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan selesai tepat pada

waktunya tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Yohanes Heri Widodo, M.Psi. selaku ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling.

2. Juster Donal Sinaga, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang selalu bersedia

mendampingi dan membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi.

3. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Sanata

Dharma.

4. Stefanus Priyatmoko selaku staff sekre yang selalu membantu mengurus

administrasi di Program Studi Bimbingan dan Konseling.

5. Orang tua, Papa Yohanes Wasita dan Mama Maria Rini Susilani atas segala

doa, cinta kasih, semangat, dan kepercayaan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan baik.

6. Adik kecilku Simforianus Pulung yang selalu setia dalam suka maupun duka

(12)
(13)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

(14)

xiii

A. Hakekat Dukungan Orang Tua ... 10

1. Pengertian Dukungan Orang Tua ... 10

2. Aspek-Aspek Dukungan Orang Tua ... 12

3. Faktor-Faktor Dukungan Orang Tua ... 13

4. Fungsi-Fungsi Dukungan Orang Tua ... 14

5. Dukungan Orang Tua terhadap Anak Tunarungu ... 16

B. Hakekat Anak Tunarungu ... 30

1. Pengertian Anak Tunarungu ... 30

2. Karakteristik Anak Tunarungu ... 31

3. Klasifikasi Anak Tunarungu ... 31

4. Perkembangan Anak Tunarungu ... 32

C. Hakekat SLB Pangudi Luhur ... 28

1. Profil SLB Pangudi Luhur ... 28

2. Visi dan Misi SLB Pangudi Luhur ... 29

3. Tujuan SLB Pangudi Luhur ... 29

4. Kurikulum dan Program Pendidikan SLB Pangudi Luhur ... 30

D. Hasil Penelitian yang Relevan ... 33

E. Kerangka Pikir ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ... 36

A. Jenis dan Desain Penelitian ... 36

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 37

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 38

(15)

xiv

E. Keabsahan Data ... 41

F. Teknik Analisis Data ... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Deskripsi Data ... 51

B. Hasil Penelitian ... 53

1. Pengetahuan Orang Tua Mengenai Anak Tunarungu ... 53

2. Kendala Orang Tua Menghadapi Anak Tunarungu ... 57

3. Bentuk Dukungan Orang Tua untuk Anak Tunarungu ... 58

4. Proses Dukungan Orang Tua untuk Anak Tunarungu ... 61

5. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pemberian Dukungan ... 63

C. Pembahasan ... 65

1. Pengetahuan Orang Tua Mengenai Anak Tunarungu ... 66

2. Kendala Orang Tua Menghadapi Anak Tunarungu ... 67

3. Bentuk Dukungan Orang Tua untuk Anak Tunarungu ... 69

4. Proses Dukungan Orang Tua untuk Anak Tunarungu ... 71

5. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Pemberian Dukungan ... 72

BAB V PENUTUP ... 74 A. Simpulan ... 74 B. Keterbatasan Penelitian ... 75 C. Saran ... 76 DAFTAR PUSTAKA ... 78 LAMPIRAN ... 80

(16)

xv

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 35

Tabel 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

Tabel 3.2 Fokus Penelitian dan Pertanyaan ... 40

Tabel 3.3 Waktu Member Check ... 44

Tabel 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 51

Tabel 4.2 Profil Subjek Penelitian ... 52

Tabel 4.3 Profil Responden Wawancara ... 53

Gambar 4.1 Visualisasi Pengetahuan Orang Tua ... 56

Gambar 4.2 Bagan Kendala Orang Tua ... 58

Gambar 4.3 Bagan Bentuk Dukungan Orang Tua ... 61

Gambar 4.4 Bagan Proses Dukungan Orang Tua ... 63

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lembar Koding Wawancara ... 81

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bab ini, akan membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi

masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat

penelitian.

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai seorang manusia, setiap individu pasti menginginkan

kehidupan yang sempurna. Begitu pula ketika menjadi orang tua, kehadiran

seorang anak akan menjadi sebuah kesempurnaan tersendiri. Setiap orang tua

menginginkan anaknya lahir dalam keadaan sehat fisik, mental, maupun

psikologis. Selain itu, orang tua juga menginginkan anaknnya tumbuh menjadi

anak yang cerdas, berhasil dalam pendidikannya, dan sukses dalam

kehidupannya. Oleh karenanya, setiap orang tua akan memberikan segala

sesuatu yang terbaik untuk anak-anaknya.

Namun, pada kenyataannya tidak semua anak bisa terlahir normal

ataupun sempurna. Orang tua memiliki perasaan kecewa ketika mempunyai

anak yang tidak sesuai dengan harapan. Miranda (dalam Nurhayati, 2017)

menyampaikan bahwa ditinjau dari segi keluarga penderita, jika ada seorang

anak yang menderita kelainan perkembangan bisa menjadi beban untuk orang

tuanya. Anak yang terlahir dalam kondisi mental yang kurang sehat akan

membuat orang tua sedih dan seperti tidak siap untuk menerima dengan

(19)

2

sedikit yang memperlakukan anak tersebut dengan cara kurang baik. Geniofam

(dalam Nurhayati, 2017) mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah

anak yang memiliki karakter khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya,

bukan hanya selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi ataupun

fisik. Yang termasuk ke dalam anak berkebutuhan khusus, yaitu tunanetra,

tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan

perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan, autis dan ADHD

(Attention Deficit Hyperactive Disorder).

Heward (2003) mengatakan bahwa dukungan dan penerimaan dari

anggota keluarga dan orang tua akan memberikan energi dan kepercayaan

dalam diri anak berkebutuhan khusus agar lebih berusaha mempelajari dan

mencoba hal-hal baru yang berkaitan dengan keterampilan hidupnya dan pada

akhirnya dapat berprestasi. Sebaliknya, penolakan atau minimnya dukungan

dari orang-orang terdekat akan membuat anak semakin rendah diri, dan menarik

diri dari lingkungan, enggan berusaha karena selalu diliputi oleh ketakutan

ketika berhadapan dengan orang lain. Jadi dukungan orang tua sangat penting

dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan anaknya.

Orang tua adalah orang pertama dan utama yang bertanggung jawab

terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anaknya. Dukungan orang tua

adalah kehadiran dan juga hal-hal berupa informasi, bantuan materiil, dukungan

moril, dan perilaku dari orang-orang yang akrab atau orang-orang di lingkungan

sosial terdekat yang dapat memberikan keuntungan emosional merasa lega

(20)

dukungan orang tua merupakan sikap tindakan dan penerimaan keluarga

terhadap anggota keluarga yang memiliki masalah, sehingga anak memandang

bahwa ia akan mendapatkan pertolongan dan bantuan jika diperlukan.

Anak tunarungu (deaf), secara medis adalah anak yang memiliki

masalah pada pendengarannya karena sesuatu dan lain sebab terdapat satu atau

lebih organ yang mengalami gangguan atau rusak, artinya tidak mampu

menjalankan fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsi rangsang suara

yang ditangkap untuk diubah menjadi sesuatu yang mudah untuk dipahami

(Murtiningsih, dalam Putri 2019). Tunarungu (deaf) adalah individu yang

kehilangan seluruh atau sebagian kemampuan pendengarannya, sehingga tidak

atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan

bantuan dengan menggunakan alat bantu dengar masih tetap memerlukan

pelayanan pendidikan khusus. Seseorang dikatakan sebagai tunarungu jika

memenuhi minimal enam diantara ciri-ciri berikut: a) secara nyata tidak mampu

mendengar; b) terlambat perkembangan bahasanya; c) sering menggunakan

bahasa isyarat; d) kurang atau tidak tanggap jika diajak berbicara; e) ucapan

kata tidak jelas; f) kualitas suara aneh atau monoton; g) sering memiringkan

kepala dalam usaha mendengar; h) banyak perhatian terhadap getaran; i) keluar cairan “nanah” dari kedua telinga (Direktorat Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional, dalam Putri 2019).

Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2019

diperkirakan terdapat sekitar 466 juta orang di dunia mengalami gangguan

(21)

4

juta atau sekitar 5,3% penduduk dunia mengalami gangguan pendengaran.

Mayoritas orang dengan gangguan pendengaran berada di negara dengan

tingkat pendapatan menengah kebawah. Sekitar 180 juta penyandang disabilitas

rungu berasal dari Asia Tenggara. Standar disabilitas rungu yang ditetapkan

oleh WHO adalah apabila seseorang tidak dapat mendengar lebih dari 40

desibel (dB) pada orang dewasa (usia 15 tahun ke atas), dan lebih dari 30 desibel

(dB) pada anak-anak (usia 0-14 tahun). Berdasarkan data Sistem Informasi

Manajemen Penyandang Disabilitas (SIMPD) dari Kementrian Sosial pada

Oktober 2019, diantara penyandang disabilitas di Indonesia, sebanyak 7,03%

merupakan penyandang disabilitas rungu. Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan (Balitbangkes) Kementrian Kesehatan tahun 2018, proporsi

tunarungu sejak lahir pada anak umur 24-59 bulan di Indonesia yaitu sebesar

0,11%.

Peneliti melakukan wawancara dengan salah satu guru di SDLB

Pangudi Luhur, Jakarta Barat. Wawancara ini membahas mengenai

perkembangan dan dukungan orang tua terhadap anak. Berikut hasil kutipan

wawancara yang peneliti peroleh:

“Kebanyakan anak-anak yang kami didik adalah anak-anak yang rajin menggunakan ABD (Alat Bantu Dengar) ketika sedang di sekolah, cukup aktif, rajin belajar, percaya diri, mudah diarahkan, dan cukup patuh. Mereka juga cerdas dalam menangkap dan memahami setiap materi yang diberikan oleh guru-gurunya. Banyak yang dari mereka memiliki bakat yang hebat mbak. Pergaulan mereka dengan teman-teman baik, berbaur dengan kelas-kelas lain.”

“Untuk orang tuanya, beberapa dari mereka sangat hebat mbak. Orang tua sangat komunikatif dengan guru wali kelas dan guru mapel.

(22)

Terkadang kalau anak sudah badmood atau marah dan orang tua kewalahan dalam menangani, pasti akan menghubungi guru untuk meminta bantuan untuk menasihati anaknya. Ketika pengambilan raport, orang tua pasti akan banyak bertanya mengenai bagaimana perkembangan anaknya.”

“Tapi di sisi lain, ada juga yang orang tuanya susah mbak. Seperti, mereka benar-benar melepaskan anaknya dan sibuk untuk bekerja. Mereka kebanyakan sampai di rumah malam hari, dan menuntut anaknya untuk menjadi yang terbaik. Ada beberapa orang tua yang mengeluh kepada saya tentang anak mereka yang tidak mendengar nasihat orang tuanya. Tetapi, ketika saya tanya ke anaknya langsung, sang anak pasti akan mengatakan, ‘Untuk apa mendengar nasihat mama dan papa. Mereka saja hanya sibuk dengan pekerjaan mereka’. Sebenarnya, anak-anak seperti mereka kan butuh banyak perhatian ya mbak, cuma memang yang saya sayangkan adalah orang tua yang kurang perhatian.”

Dari penjelasan guru tersebut, dapat terlihat bahwa dukungan orang tua

memang sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan seorang anak.

Orang tua merupakan orang pertama yang menjadi panutan untuk anaknya.

Bagaimana cara orang tua dalam mendampingi dan memperhatikan anaknya,

sangatlah berpengaruh pada pembentukan karakter dalam pribadi anak. Selain

itu, bagaimana orang tua dalam berkomunikasi dengan anak-anak mereka akan

sangat berpengaruh pada relasi antara orang tua dan anak.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, peneliti melihat

bahwa dukungan orang tua terhadap anaknya yang tunarungu perlu diteliti lebih

lanjut. Pada akhirnya, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Dukungan Orang Tua Terhadap Anak Tunarungu (Studi Kasus Pada Orang Tua yang Memiliki Anak Tunarungu di Sekolah Luar Biasa di Jakarta)”.

(23)

6

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat masalah-masalah

yang berkaitan dengan penelitian ini. Masalah tersebut diidentifikasi, sebagai

berikut:

1. Orangtua yang masih belum bisa dengan ikhlas menerima anak mereka

yang tunarungu.

2. Orangtua yang masih belum mengerti dan paham jelas seperti apa anak

mereka yang tunarungu.

3. Orangtua yang tidak tahu harus bagaimana mendidik, mendampingi,

memperhatikan anak mereka yang tunarungu.

4. Orangtua yang terkadang masih memaksakan anak mereka yang memiliki

tunarungu untuk bisa melakukan dan mendapatkan hasil yang terbaik.

5. Orangtua yang terus berusaha merawat dan mendukung anak mereka yang

tunarungu.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas,

permasalahan yang ada cukup luas, sehingga perlu adanya pembatasan masalah

yang akan diteliti. Maka penelitian ini akan dibatasi pada: 1) penerimaan orang

tua untuk anak mereka yang tunarungu; 2) pemahaman dan pengetahuan orang

tua mengenai anak mereka yang tunarungu; 3) bentuk dukungan dan pendidikan

orang tua untuk anak mereka yang tunarungu; 4) proses pemberian dukungan

(24)

D. Rumusan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka

permasalahan tersebut dapat dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana pengetahuan orang tua mengenai anak mereka yang tunarungu?

2. Seperti apa kendala orang tua dalam menghadapi anak mereka yang

tunarungu?

3. Seperti apa bentuk-bentuk dukungan orang tua untuk anak mereka yang

tunarungu?

4. Bagaimana proses pemberian dukungan orang tua untuk anak mereka yang

tunarungu?

5. Siapa saja pihak yang terlibat dalam memberikan dukungan terhadap anak

yang tunarungu?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka dapat

ditentukan tujuan masalahnya, sebagai berikut:

1. Mengetahui pemahaman orang tua tentang seperti apa anak mereka yang

tunarungu.

2. Mengetahui kendala-kendala orang tua dalam menghadapi anak mereka

yang tunarungu.

3. Mendeskripsikan bentuk-bentuk dukungan orang tua untuk anak mereka

(25)

8

4. Mendeskripsikan proses pemberian dukungan orang tua untuk anak mereka

yang tunarungu.

5. Mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam memberikan dukungan

untuk anak tunarungu.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini mempunyai manfaat baik secara teoritis maupun secara

praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam

bidang ilmu pendidikan, khususnya tentang dukungan orang tua terhadap

anak tunarungu (deaf). Serta diharapkan dapat merangsang dilakukannya

penelitian lain yang lebih mendalam dan terhadap persoalan mengenai

dukungan orang tua dalam menerima dan mendidik anak yang berkebutuhan

khusus.

2. Manfaat praktis

a. Bagi Orang Tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan dalam

rangka mengetahui bagaimana dukungan yang seharusnya orang tua

berikan untuk anak-anak mereka yang tunarungu (deaf).

b. Bagi Peneliti

Menyelesaikan tugas akhir prodi Bimbingan dan Konseling,

(26)

Pendidikan (S1), serta memberikan wawasan yang lebih luas dari

(27)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bab ini membahas beberapa teori mengenai penelitian. Bab II ini

terdiri dari hakekat dukungan orang tua, hakekat anak tunarungu, hakekat SLB

Pangudi Luhur, hasil penelitian yang relevan, dan kerangka pikir.

A. Hakekat Dukungan Orang Tua 1. Pengertian Dukungan Orang Tua

Menurut Utami (2009) dukungan orang tua adalah bantuan atau

dukungan yang diberikan oleh orang tua yang bermanfaat bagi individu

untuk merespon kebutuhan orang lain. Orang tua diharapkan dapat

memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan

kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil

keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan, dan belajar

mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dukungan orang tua

berarti adanya penerimaan dari orang tua terhadap anak mereka, yang dapat

menimbulkan persepsi dalam dirinya bahwa ia disayangi, diperhatikan,

dihargai, dan ditolong (Sarafino, dalam Zahra 2018)

Menurut Ladd, LeSeuir, dan Profilet (dalam Zahra, 2018) orang tua

memainkan peran penting dalam membantu perkembangan anak dengan

memulai kontak antara anak dengan teman bermainnya yang potensial.

Dalam sebuah studi, anak dari orang tua yang mengatur kontak dengan

(28)

banyak daripada anak dari orang tua yang kurang aktif dalam mengatur

kontak ini.

Menurut Robbins (dalam Zahra, 2018) persepsi terhadap dukungan

orang tua memiliki tiga dimensi, yaitu:

a. Dukungan otonomi, yaitu memberikan dorongan kepada anak dengan

tujuan kemandirian dapat terbentuk pada anak.

b. Keterlibatan, yaitu orang tua yang selalu terlibat dalam setiap proses

perkembangan anak sehingga tercipta hubungan emosional, seperti

dukungan, keterlibatan, dan hubungan pribadi. Namun, orang tua harus

mampu menunjukkan toleransi terhadap kemandirian, keunikan pribadi,

kebebasan berekspresi anak dalam menghadapi masalah.

c. Kehangatan, yaitu orang tua yang hangat dan responsif ketika

berinteraksi dengan anak-anak mereka, dimana orang tua secara

gamblang menyampaikan kecintaannya kepada anak dan menanggapi

kebutuhan khusus anak-anak mereka.

Adanya dukungan dari orang tua kepada anak, bertujuan agar setiap

anak yang mengalami kesulitan dalam belajar mampu menghindari dari

segala gangguan atau hambatan yang dapat menghalangi kelancaran

aktivitasnya, baik di sekolah, rumah, maupun lingkungan masyarakat.

Selain itu, agar anak mampu mengatasi dan menyelesaikan persolan

tersebut dengan potensi yang ada pada dirinya.

Dapat disimpulkan, bahwa dukungan orang tua merupakan bantuan

(29)

12

orang tua atas kelangsungan hidup dan pendidikan anaknya. Penerimaan

dari orang tua terhadap anak mereka, menunjukkan pada anak bahwa ia

disayangi, diperhatikan, dihargai, dan ditolong.

2. Aspek-Aspek Dukungan Orang Tua

Menurut House & Khan (dalam Utami 2009) dukungan orang tua

terdiri dari empat aspek, yaitu:

a. Dukungan emosional

Dukungan ini melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian

terhadap individu, sehingga individu tersebut merasa nyaman, dicintai,

dan diperhatikan.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan ini melibatkan eskpresi yang berupa pernyataan

setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan, dan performa

orang lain.

c. Dukungan instrumental

Bentuk dukungan ini melibatkan bantuan langsung, misalnya

yang berupa bantuan finansial (keuangan) atau bantuan dalam

mengerjakan tugas-tugas tertentu.

d. Dukungan informasi

Dukungan yang bersifat informasi ini dapat berupa saran,

pengarahan dan umpan balik tentang bagaimana cara memecahkan

(30)

3. Faktor-Faktor Dukungan Orang Tua

Menurut Slameto (dalam Zahra, 2018) faktor-faktor yang

terkandung dalam dukungan orang tua, yaitu:

a. Cara orang tua mendidik

Cara orang tua dalam mendidik anaknya, sangat berpengaruh

besar dalam cara belajar dan cara berpikir. Ada orang tua yang mendidik

secara ditaktor militer, ada yang demokratis, ada juga keluarga yang

acuh tak acuh dengan pendapat setiap anggota keluarga.

b. Relasi antar anggota keluarga

Relasi paling penting, yaitu relasi antara orang tua dengan

anaknya. Demi kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu adanya

relasi yang baik di dalam sebuah keluarga.

c. Suasana rumah

Suasana rumah dimaksudkan sebagai suatu situasi atau

kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam kelaurga, dimana anak berada dan

belajar. Suasana rumah yang gaduh/ramai dan semrawut tidak akan

memberi ketenangan pada anak yang belajar.

d. Keadaan ekonomi keluarga

Pada keluarga yang kondisi ekonominya relatif kurang,

menyebabkan orang tua tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok

anak. Tak jarang faktor kesulitan ekonomi justru menjadi motivator atau

(31)

14

e. Pengertian orang tua

Anak belajar perlu adanya dorongan dan pengertian dari orang

tua. Kadang-kadang anak mengalami lemah semangat, maka orang tua

wajib memberi pengertian dan mendorongnya, membantu sedapat

mungkin kesulitan yang dialami anak baik di sekolah maupun di

masyarakat. Hal ini penting untuk tetap menumbuhkan rasa percaya diri

anak.

f. Latar belakang kebudayaan

Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga

mempengaruhi sikap anak dalam kehidupannya. Kepada anak perlu

ditanamkan kebiasaan-kebiasaan dan diberi contoh figur yang baik, agar

mendorong anak untuk menjadi semangat dalam meniti masa depan dan

kariernya ke depan.

4. Fungsi-Fungsi Dukungan Orang Tua

Menurut Solaeman (dalam Zahra, 2018) beberapa fungsi dukungan

orang tua, yaitu:

a. Fungsi edukasi

Fungsi orang tua yang berkaitan dengan pendidikan serta

pembinaan anggota keluarga pada umumnya.

b. Fungsi sosialosasi

Tugas orang tua dalam mendidik anaknya tidak saja mencakup

(32)

tetapi meliputi pula upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi

anggota masyarakat yang baik.

c. Fungsi proteksi atau fungsi lindungan

Mendidik hakekatnya melindungi, yaitu melindungi anak dari

tindakan-tindakan yang tidak baik dan dari hidup yang menyimpang

norma.

d. Fungsi afeksi atau fungsi perasaan

Anak berkomunikasi dengan lingkungannya, juga

berkomunikasi dengan orang tuanya dengan keseluruhan pribadinya,

terutama pada saat anak masih kecil yang masih menghayati dunianya

secara global dan belum terdifferensiasikan.

e. Fungsi religius

Orang tua mempunyai fungsi religius, artinya orang tua

berkewajiban memperkenalkan dan mengajak serta anak dan anggota

keluarga lainnya kepada kehidupan beragama.

f. Fungsi ekonomis

Meliputi pencarian nafkah, perencanaan serta pembelajarannya

dan pemanfaatannya.

g. Fungsi rekreasi

Rekreasi itu dirasakan orang apabila ia menghayati suasana

senang dan damai, jauh dari ketegangan batin, segar dan santai kepada

yang bersangkutan memberikan perasaan bebas terlepas dari segala

(33)

16

h. Fungsi biologis

Berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan biologis anggota

keluarga. Kebutuhan akan keterlindungan fisik guna melangsungkan

kehidupan.

5. Dukungan Orang Tua Untuk Anak Tunarungu

Tunarungu diartikan sebagai keadaan dari seorang individu yang

mengalami kerusakan pada indera pendengaran, sehingga menyebabkan

tidak bisa menangkap berbagai ransang suara atau ransang lain melalui

pendengaran (Suharmini dalam Widadi, 2017). Kebanyakan orang tua akan

mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut, dan

marah ketika pertama kali mendengar diagnosis mengenai gangguan yang

dialami oleh anaknya (Safaria dalam Widadi, 2017). Hal pertama dan utama

yang orang tua lakukan untuk mengurasi rasa shock tersebut, yaitu selalu

berusaha untuk menyadari dan menerima keadaan yang terjadi pada dirinya,

pasrah dan sadar bahwa anak adalah bagian dalam dirinya sebagai suatu

tanggung jawab yang harus dijalani.

Kehidupan anak tunarungu sangat ditentukan keberadaannya dari

dukungan orang tua. Hal tersebut, dapat terlihat ketika orang tua

memberikan dukungan yang baik, maka pertumbuhan dan perkembangan

anak tunarungu relatif stabil. Sebaliknya, ketika dukungan orang tua kurang

baik, maka anak tunarungu mengalami hambatan dalam dirinya yang dapat

mengganggu psikologisnya. Menurut Friedman (dalam Thaibah, 2020) ada

(34)

a. Dukungan informasional

Mencakup pemberian nasihat, saran, petunjuk, dan mengajarkan

keterampilan (seperti, berbicara, membaca kata/kalimat, berkomunikasi

dengan membaca bibir, dan berinterkasi dengan lingkungan). Dengan

adanya dukunga ini, dapat menyumbangkan sugesti yang khsusus

kepada anak tunarungu.

b. Dukungan penghargaan

Ungkapan penghargaan positif, dorongan maju, dan perhatian

kepada anak tunarungu. Contonya, memberikan reward kepada anak

tunarungu ketika mendapatkan nilai yang baik dalam bidang

akademiknya. Selain itu, bisa juga dengan selalu menemani dan

menuntun ketika anak tunarungu sekolah atau mengerjakan tugas

sekolah.

c. Dukungan instrumental

Bantuan secara langsung dari orang tua kepada anak, seperti

memberika, menolong, atau membantu menyelesaikan masalah pada

situasi tertentu. Contohnya, ketika anak tidak bisa dalam mengerjakan

tugas dari sekolah, orang tua bisa membantu dan mendampingi dalam

menyelesaikan tugas tersebut.

d. Dukungan emosional

Mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap

(35)

18

mendukung bakat yang anak miliki, dan memberikan kasih sayang yang

lebih.

e. Dukungan sosial

Mencakup membangun interkasi dengan orang lain. Contohnya,

orang tua mengajak anak untuk bermain bersama (rekreasi) di sela

waktu luang, ataupun orang tua mengajak anak untuk ikut

lomba/organisasi yang bisa membangun hubungan dengan orang lain

sekaligus mengembangkan bakat anak.

B. Hakekat Anak Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu

Menurut Hallahan, DP dan Kauffman, JM (dalam Suparno, 2001)

definisi dan klasifikasi tunarungu dibagi menjadi dua bagian, sebagai

berikut:

Hearing impairment: A generic term indicating a hearing disability which may range in severity from mild to profound: it includes the subsets of deaf and hard of hearing.

• “A deaf person is one whose hearing disability precludes successul proccessing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid.”

• “A hard of hearing person is one who, generally with the use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable successful of linguistic information through audition.”

Pengertian tersebut sekaligus menunjukan adanya rentang

ketidakmampuan seseorang dalam menerima informasi melalui

pendengaran, dari yang mengalami ketidakmampuan taraf ringan hingga

(36)

Menurut Arifin (dalam Lelyana, 2017) anak tunarungu adalah

seorang anak yang mengalami kerusakan pada satu atau lebih pada organ

telinga luar, organ telinga bagian bawah, dan organ telinga bagian dalam

sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Pengertian tersebut didukung oleh Effendi (2006) yang mengatakan

bahwa seorang anak dikatakan tunarungu apabila mengalami kerusakan

pada organ telinga. Kerusakan organ ini bisa karena sebuah kecelakaan atau

tidak diketahui sebabnya.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan, bahwa

tunarungu adalah kerusakan pada organ pendengarannya, baik karena

kecelakaan ataupun tidak diketahui sebabnya yang menyebabkan seseorang

mengalami gangguan fungsional dalam pendengaran.

2. Karakteristik Anak Tunarungu

Karakteristik anak tunarungu sangat kompleks dan berbeda-beda

satu sama lain. Secara kasat mata keadaan anak tunarungu sama seperti anak

normal pada umumnya.

Suparno (2001) menyatakan karakteristik anak tunarungu adalah

sebagai berikut:

a. Segi Fisik

1) Cara berjalannya agak kaku dan cenderung membungkuk.

2) Pernapasannya pendek.

3) Gerakan matanya cepat dan beringas.

(37)

20

b. Segi Bahasa

1) Miskin kosa kata

2) Mengalami kesulitan dalam mengerti ungkapan bahasa yang

mengandung arti kiasan dan kata-kata abstrak.

3) Kurang menguasai irama dan gaya bahasa.

4) Sulit memahami kalimat yang kompleks atau

kalimat-kalimat yang panjang serta bentuk kiasan.

Dalam segi bahasa, anak tunarungu banyak mengalami kelemahan.

Mereka melihat alam ini sebagai sesuatu yang bisu, meskipun sebenarnya

pada diri anak tunarungu ada garis khayal dalam pikirannya, namun mereka

tidak dapat mengungkapkannya. Hal tersebut, dikarenakan putusnya garis

khayal pendengaran. Mereka umumnya hanya dapat mengekspresikan

bentuk dan manfaatnya, dan ini merupakan salah satu keterbatasan

berbahasa bagi anak tunarungu (Suparno, 2001).

Purwanto (1998) menyatakan karakteristik anak tunarungu wicara

pada umumnya memiliki kelambatan dalam perkembangan bahasa wicara

bila dibandingkan dengan perkembangan bicara anak-anak normal, bahkan

anak tunarungu total (tuli) cenderung tidak dapat berbicara (bisu).

Telford & Sawrey (dalam Lelyana, 2017) ada beberapa karakteristik

anak tunarungu, yaitu kurang mampu untuk memusatkan perhatian dan

mengalami kegagalan respon ketika diajak berbicara. Kegagalan respon

(38)

tunarungu. Keterlambatan berbicara ini juga membuat anak tunarungu

mengalami kesalahan artikulasi dan mengalami keterbelakangan di sekolah.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

karakteristik anak tunarungu yang paling spesifik, yaitu kurang mampu

memusatkan perhatian, sulit untuk berbicara dan mengalami kegagalan

respon ketika diajak berbicara. Hal tersebut, disebabkan karena kurang

berfungsinya indera pendengaran dan keterlambatan berbicara pada anak.

3. Klasifikasi Anak Tunarungu

Klasifikasi mutlak diperlukan untuk layanan pendidikan khusus. Hal

ini sangat menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai

dengan sisa pendengarannya dan menunjang lajunya pembelajaran yang

efektif.

a. Berdasarkan Tingkat Kehilangan Pendengaran

International Standard Organization (ISO) (dalam Lelyana,

2017) klasifikasi gangguan pendengaran pada anak tunarungu dapat

dibedakan ke dalam 6 kategori. Penjabaran kategori tingkat

pendengaran dan intesitas bunyi, antara lain:

1) 0-20 dB (Normal)

2) 20-30 dB (Slight Losses): anak-anak yang mengalami gangguan

pendengaran ringan. Mereka tidak mengalami kesulitan berbicara,

karena masih berada pada batas normal pendengaran. Mereka juga

mampu belajar berbicara menggunakan kemampuan

(39)

22

perbendaharaan kata agar perkembangan bahasa tidak terhambat.

Anak-anak tunarungu dalam kategori ini juga masih dapat

mendengarkan penggunakan alat bantu dengar.

3) 30-40 dB (Mild Losses): ciri khas anak tunarungu dalam kategori ini

adalah mengerti pembicaraan dalam jarak dekat dan tidak kesulitan

untuk mengekspresikan isi hatinya. Mereka mengalami kesulitan

untuk menangkap percakapan yang lemah, sehingga sulit untuk

menangkap isi pesan dari lawan bicaranya. Mereka juga akan

kesulitan menangkap isi pesan apabila tidak berbicara berhadapan.

Anak-anak tunarungu kategori ini masih dapat mendengar dengan

alat bantu dengar dan masih membutuhkan bimbingan intensif untuk

menghindari kesulitan berbicara.

4) 40-60 dB (Moderate Losses): ciri khas anak tunarungu kategori ini

adalah masih mengerti percakapan apabila dilakukan dengan

volume yang keras dan dalam jarak dekat (1 meter), sehingga

mereka sering salah tangkap atau salah paham terhadap lawan

bicaranya. Ciri lainnya adalah perbendaharaan kata mereka yang

terbatas, adanya ketidakjelasan dalam berbicara, dan kesulitan

menggunakan bahasa dengan benar dalam percakapan.

5) 60-75 dB (Severe Losses): ciri khusus anak tunarungu kategori ini

adalah mereka mengalami kesulitan dalam membedakan suara, tidak

(40)

getaran suara, dan membutuhkan pelayanan khusus untuk belajar

berbicara dan bahasa.

6) >75 dB (Profoundly Losses): tingkat pendengaran yang paling

parah, sehingga anak tunarungu hanya dapat mendengar dengan

suara keras dalam jarak 2,54 cm. Selain itu, mereka juga tidak

menyadari bunyi-bunyian di sekitarnya. Mereka juga tidak mampu

menangkap pesan walaupun menggunakan pengeras suara, sehingga

mereka membutuhkan banyak latihan khusus agar bisa

berkomunikasi.

b. Bedasarkan Letak Gangguan Pendengaran Secara Anatomis, terdapat

Tiga Jenis Ketunarunguan atas Faktor Penyebabnya

Menurut Esternbrrooks (dalam Gunawan, 2016) terdapat tiga

jenis ketunarunguan atas faktor penyebab, antara lain:

1) Conductive Loss, yaitu ketunarunguan tipe konduktif.

Ketunarunguan ini, disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada

telinga bagian luar dan tengah yang berfungsi sebagai alat konduksi

atau menghantar getaran suara menuju telinga bagian dalam.

2) Sensorienural loss.

Ketunarunguan ini, disebabkan oleh terjadinya kerusakan pada

telinga bagian dalam serta syaraf pendengaran (nerveus chochlearis)

yang dapat mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke

(41)

24

3) Central auditory proccessing disorder.

Ketunarunguan ini, disebabkan oleh gangguan pada ocial syaraf

pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami

kesulitan dalam memahami apa yang didengarnya meskipun tidak

ada gangguan yang spesifik pada telinga itu sendiri. Anak yang

mengalami gangguan pusat pemrosesan pendengaran ini mungkin

memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer,

tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang

didengarnya.

4. Perkembangan Anak Tunarungu

Tahap perkembangan adalah suatu fase yang pasti dialami oleh

setiap individu. Fase yang dialami setiap individu pastinya sama hanya

waktunya yang berbeda, terkhusus untuk anak berkebutuhan khusus.

a. Perkebangan Fisik

Perkembangan fisik merupakan tahap perkebangan yang terkait

dengan perubahan fisik seorang anak. Menurut Santrock (2012)

perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi:

1) Tubuh

Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami

perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya.

Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak

(42)

2) Otak

Volume otak anak-anak sudah lebih stabil dibandingkan

dengan masa perkembangan sebelumnya Perkembangan otak juga

menjadi lebih cepat, terutama pada variasi struktur dan area otak.

Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal.

Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan

kontrol kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk

mengontrol perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang

mengganggu atau tercampur aduk, menghambat gerakan motorik,

dan fleksibel dalam menentukan pilihan yang berlawanan (Munkata

dalam Santrock, 2012).

b. Perkembangan Motorik

Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang

ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka

lakukan. Perkembangan motorik dibagi menjadi dua, yaitu motorik

kasar dan motorik halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar

pada anak-anak, sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul

daripada anak perempuan. Sebaliknya, perkembangan motorik halus

anak perempuan lebih unggil dibandingan dengan anak laki-laki

(Santrock, 2012).

1) Perkembangan Motorik Anak Tunarungu

Perkembangan motorik anak tunarungu memiliki perbedaan dengan ‘anak dengar’. Menurut Ghesyen, Loots, dan Waelvelde

(43)

26

(dalam Lelyana, 2017) anak tunarungu memiliki kekurangan dalam

keseimbangan, koordinasi dinamis umum (general dynamic

coordination), kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap

bola, dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan.

Hal yang menyebabakan anak tunarungu mengalami

keterlambatan, yaitu gangguan saraf, disfungsi pendengaran,

kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orang tua yang

berlebihan atau pengabaian orang tua sehingga anak tunarungu

kekurangan rasa ingin tahu untuk mengeskplore lingkungannya.

2) Perkembangan Kognitif

Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan

pikiran yang disadari oleh seseorang. Intelegensi merupakan sebuah

kemampuan untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari

suatu pengalaman (Santrock, 2012). Perkembangan intelegensi anak

tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasanya.

Kerendahan tingkat intelegensi anak tunarungu bukan karena

kemampuan potensial yang rendah, namun pada umumnya karena

intelegensinya tidak mendapat kesempatan berkembang secara

optimal (Suparno, 2001).

Pada dasarnya anak tunarungu memiliki itelegensi yang

sama dengan anak dengar (Furth dalam Lelyana, 2017). Hambatan

itelegensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh

(44)

menghubungkan atau menarik sebuah kesimpulan (Somantri, dalam

Lelyana 2017). Hambatan tersebut membuat anak tunarungu sering

dilabel bodoh. Hal ini disebabkan itelegensi sering dikaitkan dengan

pencapaian akademik seorang anak.

3) Perkembangan Bahasa

Menurut Marscharck & Spencer (dalam Lelyana, 2017) anak

tunarungu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar

berbahasa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimilikinya.

Anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan

untuk mengungkapkan emosi mereka secara verbal.

Anak tunarungu yang mengalami gangguan pendengaran

sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase

babbling. Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk

mencoba merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti

karena anak tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik

dari suaranya sendiri maupun orang lain.

Menurut Suparno (2001) pola perkembangan bahasa untuk

anak tunatungu secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Pada awal masa meraban tidak terjadi hambatan pada mereka,

karena meraban merupakan kegiatan ilmiah motorik dari

pernapasan dan pita suara. Pada akhir masa meraban, mulai

terjadi perbedaan perkembangan antara anak tunarungu dan

(45)

28

adanya kenikmatan dalam meraban, karena dapat mendengarkan

adanya suara-suara yang keluar dari mulutnya. Sebaliknya,

untuk anak-anak tunarungu hal-hal seperti itu tidak dapat

dilakukan, karena adanya hambatan pendengaran. Dengan

demikian, perkembangan bahasa anak tunarungu umumnya

berhenti pada tahap meraban.

b) Pada tahap meniru, anak tunarungu terbatas pada peniruan

bahasa secara visual (pengelihatan), yaitu melalui gerak-gerik

dan isyarat. Sedangkan peniruan bahasa melalui pendengaran

(audutif) umumnya tidak dapat dilakukan. Bagi anak tunarungu,

bahasa isyarat merupakan bahasa ibu, sementara bahasa lisan

merupakan bahasa yang asing bagi dirinya. Di dalam kondisi

yang demikian, perkembangan bahasa anak-anak tunarungu

pada tahap berikutnya sangat memerlukan bimbingan khusus,

sesuai dengan derajat ketunaan dan kemampuannya

masing-masing.

Menurut Denmark (dalam Lelyana, 2017) anak tunarungu

memiliki hambatan untuk belajar bahasa secara verbal karena

mereka tidak mampu untuk mendengar ucapan mereka sendiri

maupun orang lain. Hal ini menjadi salah satu cara seorang anak

belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa. Keterbatasan

(46)

mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa

berinteraksi dengan orang lain.

4) Perkembangan Sosio-Emosi

Menurut Marscharck & Spencer (dalam Lelyana, 2017)

Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis dan mendasar

untuk mencapai kesuksesan kehidupan.

Sosio-emosi mampu untuk membantu seseorang untuk

menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan

serta kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang

dalam melihat suatu realita. Menurut Santrock (2012) hal ini disebut

dengan perspective taking dimana seorang anak memiliki

kemampuan untuk memahami perspektif, pikiran, dan perasaan

orang lain. Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak

tunarungu menjadi hambatan mereka untuk bisa memahami adanya

perbedaan perspektif dari orang lain. Anak tunarungu yang berada

pada masa tengah dan akhir anak-anak masih memiliki egosentrisme yang tinggi dibandingkan dengan ‘anak dengar’.

Menurut Gunawan (2016) ketunarunguan dapat

mengakibatkan anak terasing dari pergaulan temannya sehari-hari,

keadaan ini menghambat kepribadian anak. Akibat dari keterasingan

tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif, sepert:

a) Egosentrisme yang melebihi anak normal.

(47)

30

c) Ketergantungan terhadap orang lain.

d) Perhatian mereka lebih sukar untuk dialihkan.

e) Memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tidak banyak masalah.

f) Lebih mudah marah dan cepat tersinggung.

Anak tunarungu yang memiliki keterlambatan dalam

perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak

tersendiri bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan

untuk berinteraksi dengan teman sebayanya, baik yang mendengar

maupun sesama yang tunarungu.

C. Hakekat SLB Pangudi Luhur, Jakarta Barat 1. Profil SLB Pangudi Luhur

SLB Pangudi Luhur Jakarta merupakan salah satu Yayasan Pangudi

Luhur yang perhatian dan peduli terhadap orang yang lemah, terutama yang

memiliki masalah dalam pendengaran. SLB Pangudi Luhur ini didirikan

pada tahun 1983, dan dalam tahun-tahun berikutnya SLB Pangudi Luhur ini

mengalami perkembangan yang pesat karena diminati oleh masyarakat,

baik Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, Bekasi tetapi juga dari

daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Pangkal Pinang, Pontianak, Banjarmasin,

Bali, Kupang, Batam. Di samping menyelenggarakan pendidikan anak

tunarungu yang profesional, lembaga ini juga memberikan pelayanan

konsultasi dan therapy pendidikan bagi anak-anak yang bermasalah dalam

(48)

2. Visi dan Misi SLB Pangudi Luhur a. Visi SLB Pangudi Luhur:

Peserta didik yang berkualitas, beriman, berwatak, berbudi

pekerti luhur, dan mampu berintegrasi dalam masyarakat.

b. Misi SLB Pangudi Luhur

Mendampingi peserta didik melalui pendidikan pembelajaran

yang bermutu, terencana, tertib, disiplin, dan konsisten.

3. Tujuan SLB Pangudi Luhur

Dalam proses pendidikan dan pembelajarannya Lembaga

Pendidikan Anak Tunarungu Pangudi Luhur Jakarta memiliki kegiatan yang

diarahkan untuk mencapai keunggulan komparatif dan dinampakkan

melalui:

a. Para peserta didik mendapatkan pendidikan dan pembelajaran yang

bermutu tinggi dengan pendekatan oral-aural (berbicara).

b. Para peserta didik mendapatkan pembinaan dalam pengembangan ilmu,

moral, budi pekerti, iman, sosial, dan ketrampilan secara memadai.

c. Para peserta didik menunjukkan perkembangan yang nyata dalam ilmu,

watak, budi pekerti luhur dan potensi serta bakat yang lain secara

memadai.

d. Para peserta didik mampu menguasai berbahasa dan berkomunikasi

secara oral-aural, baik lisan maupun tulisan serta berkemampuan untuk

memasuki sekolah umum (integrasi)/perguruan tinggi baik dalam

(49)

32

e. Para peserta didik berkemampuan untuk mengadakan

sosialisasi/integrasi dengan masyarakat pada umumnya secara wajar.

4. Kurikulum dan Program Pendidikan SLB Pangudi Luhur a. Kurikulum SLB Pangudi Luhur

Kurikulum SLB B Pangudi Luhur adalah sebagai berikut dimana

peserta didik akan memperoleh:

1) Pendekatan komunikasi menggunakan komunikasi secara oral-aural

(bukan isyarat) dan metode pemerolehan bahasa Metode Maternal

Reflektif (MMR/MPR) yang dicontoh dari Universitas Sint Micheel

Gestel Belanda. Hal ini memungkinkan siswa mampu berbahasa dan

berkomunikasi sebagai dasar untuk menguasai kompetensi yang

lain.

2) Bidang kekhususan yaitu dengan memberikan treatment Bina

Persepsi Bunyi dan Irama (BPBI), Auditory Verbal dan Bina Wicara

secara kontinyu dan konsisten.

3) Bidang pengembangan keterampilan: Tata boga, Tata busana,

Elektronika, Membatik, Komputer, Melukis, Sanggar kreatifitas.

Mulai dari produk sampai pada pemasarannya.

4) Bidang Pengembangan Budi Pekerti (mental spiritual) meliputi:

kegiatan kepramukaan, pembinaan seksualitas, Kristianitas, Budi

(50)

b. Program Pendidikan SLB Pangudi Luhur

Jenjang Pendidikan dan Program Unggulan Lembaga

Pendidikan Anak Tunarungu Pangudi Luhur memiliki jenjang:

1) Treatment dan Therapy tumbuh kembang anak yaitu penanganan

pendidikan anak bermasalah dalam perkembangannya.

2) Jenjang Taman Latihan (Taman/Playgroup): anak 1,5-4 tahun.

Jenjang TKLB: anak 4-6 tahun.

Jenjang SDLB: anak 7-15 tahun.

Jenjang SMPLB: anak 16-18 tahun.

Jenjang SMALB: anak 18-21 tahun.

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Dari hasil penelitian Putri (2019) diketahui bahwa cara yang dilakukan

orang tua dalam mengasuh anak tunarungu adalah dengan menggunakan

metode oral. Hat tersebut, baik diterapkan untuk anak tunarungu dan mampu

mengatasi permasalahan berbicara. Orang tua merupakan panutan bagi

anaknya. Mereka menunjukkan kasih sayang kepada anaknya dengan cara

memberikan bimbingan dan latihan yang sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuan anak. Anak tunarungu akan mudah melakukan aktivitas sehari-hari

jika orang tua mau memahaminya, dengan memberi contoh dan berbagi

alternatif yang membuat anak tunarungu melakukannya dengan senang hati

tanpa adanya paksaan. Anak tunarungu memiliki rasa senang melakukan segala

(51)

34

(diperoleh oleh anak “K”), sehingga anak “K” tidak membatah orang tua, dapat mengontrol diri, serta peduli terhadap aktivitas lingkungan sekitar (seperti

lingkungan rumah, sekolah, dan terapi).

Hasil penelitian Sidik (2014) mengatakan bahwa orang tua yang

memiliki anak tunarungu akan sulit untuk lepas dari jangkauan anaknya.

Kebanyakan anak tunarungu kurang terampil dalam berkomunikasi dan

bersosialisasi. Jadi, orang tua merasa khawatir dan lebih memilih untuk selalu

di dekat anaknya. Biasanya, untuk bisa membantu anaknya, orang tua banyak

melatih anaknya dalam berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang sekitar.

Orang tua membawa anak pergi ke tempat ramai (umum) untuk bisa

mengenalkan anak akan hal-hal di luar keluarganya. Sehingga, ketika anak

dilepas untuk mandiri, anak tidak kaget dan bisa langsung berbaur dengan

lingkungannya.

E. Kerangka Pikir

Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki kerusakan pada organ

pendengarannya, baik karena kecelakaan ataupun tidak diketahui sebabnya

yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan fungsional dalam

pendengaran. Anak tunarungu pastinya memiliki tekanan dan kesulitan

tersendiri, mereka juga pasti lebih sensitif perasaannya, serta sulit untuk

mengontrol diri sendiri. Hal tersebut, menunjukkan bahwa anak tunarungu

(52)

akhirnya mereka bisa hidup lebih mandiri, bertanggung jawab, dan percaya

akan dirinya.

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian

Hubungan Orang Tua dengan Anak Tunarungu:

Orang tua merupakan orang pertama dan utama bagi seorang anak. Bagaimana cara orang tua dalam mendidik dan mendampingi seorang anak akan sangat berpengaruh pada

pertumbuhan dan perkembangan anaknya.

Anak tunarungu akan sangat membutuhkan bantuan dan perhatian yang lebih dari orang tuanya. Mereka berbeda dari anak-anak normal lain, sehingga orang tua harus ekstra dalam mendampingi pertumbuhan dan perkembangan anak tunarungu. Kemandirian dan tanggung

jawab anak akan dapat tercipta, jika orang tua bisa mendidik anaknya dengan baik.

Anak Tunarungu

Bentuk-Bentuk Anak Tunarungu: 1. 20-30 dB (Slight Losses) 2. 30-40 dB (Mild Losses) 3. 40-60 dB (Moderate Losses) 4. 60-75 dB (Severe Losses) 5. >75 dB (Profoundly Losses) Orang tua Bentuk Dukungan: 1. Dukungan Emosional 2. Dukungan Penghargaan 3. Dukungan Instrumental 4. Dukungan Infromasi Tunarungu adalah kerusakan pada

organ pendengarannya, baik karena kecelakaan ataupun tidak diketahui

sebabnya yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan

fungsional dalam pendengaran.

(53)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini, akan membahas metode penelitian apa yang akan peneliti gunakan.

Bab II ini, terdiri dari jenis dan definisi penelitian, waktu dan tempat penelitian,

subjek dan objek penelitian, teknik dan instrumen penelitian, keabsahan data, serta

teknik analisis data.

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Sugiyono

(2017) penelitian kualitatif merupakan metode penelitian yang berlandaskan

pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah,

dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data

dengan triangulasi, analisis data bersifat induktif atau kualitatif, dan hasil

penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi. Penelitian

kualitatif digunakan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang perilakunya

diamati (Bogdan & Taylor dukutip oleh Moleong, 2007).

Desain penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah salah satu

jenis pendekatan deskriptif, penelitian yang dilakukan secara intensif,

terperinci, dan mendalam terhadap suatu organisme (individu), lembaga atau

gejala tertentu dengan daerah atau subjek yang sempit. Studi kasus ini secara

khusus menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks

(54)

dan konteksnya belum jelas, dengan menggunakan berbagai sumber data

(Arikunto, dalam Nurhayati 2017).

Berdasarkan penjelasan ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis

penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan rangkaian kegiatan

memperoleh data yang bersifat apa adanya tanpa adanya manipulasi dan

menekankan hasilnya pada makna. Peneliti menggunakan desain penelitian

studi kasus, dimana penelitian ini dilakukan secara terperinci terhadap subjek

untuk menyelidiki fenomena kontemporer yang terdapat dalam kehidupan nyata

dengan menggunakan beberapa sumber data.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak penyusunan proposal awal Agustus 2020

sampai pengumpulan data Januari 2021. Berikut adalah waktu pengambilan

data melalui wawancara responden:

Tabel 3.1

Waktu dan Tempat Penelitian

Nama Waktu Tempat Keterangan

Ibu Yanti

Sabtu,

7 November 2020 11.00-11.35 WIB

Virtual (Video Call via Whatsapp) Wawancara/ Observasi Selasa, 11 November 2020 12.00-12.20 WIB

Virtual (Voice Call via

Whatsapp) Wawancara

Kamis,

14 Januari 2021 11.10-11.40 WIB

Virtual (Voice Call via

Whatsapp) Wawancara

Senin,

18 Januari 2020 19.00-19.30 WIB

Viatual (Voice Call via

Whatsapp) Wawancara

Selasa,

19 Januari 2021 11.00-11.30 WIB

Viatual (Voice Call via

(55)

38

C. Subjek dan Objek Penelitian

Sugiyono (2017) mengemukakan bahwa subjek dalam penelitian

kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau

partisipan, informan, teman dan guru dalam penelitian. Selain itu, subjek juga

bukan disebut subjek statistik, tetapi subjek teoritis, karena tujuan penelitian

kualitatif adalah untuk menghasilkan teori. Penentuan subjek dalam penelitian

kualitatif dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama

penelitian berlangsung.

Subjek penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak tunarungu

sebagai sumber data utama. Subjek dalam penelitian ini dipilih menggunakan

teknik purvosive sampling, yaitu penelitian kualitatid tidak dengan sampel acak,

tetapi sampel betujuan (Moleong dalam Widadi, 2017). Objek penelitian yang

peneliti ambil, yaitu bagaimana dukungan yang orang tua berikan untuk

anaknya yang berkebutuhan khusus, terkhusus untuk anak tunarungu.

D. Teknik dan Instrumen Penelitian 1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling strategis

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan

data. Pengumpulan dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai

sumber, dan berbagai cara. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data

(56)

dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi, berperan serta

wawancara mendalam, dan dokumentasi (Sugiyono, 2017).

Dalam penelitian ini, dengan nasumber orang tua dan guru wali

kelas/guru mata pelajaran, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

dengan wawancara. Peneliti berinteraksi secara intensif dengan narasumber.

Menurut Sugiyono (2017) wawancara digunakan sebagai teknik

pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan

untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila

peneliti ingin mengatahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan

jumlah respondennya sedikit/kecil.

Proses wawancara dalam penelitian kualitatif pada umumnya

dilakukan dengan cara tak terstruktur, karena peneliti tidak mengetahui

secara tepat mengenai apa yang sebenarnya hendak dituju. Dengan

demikian, tujuan wawancara yang dilakukan untuk mencari informasi

sebanyak-banyaknya yang mengarah kedalam informasi dan dilaksanakan

secara informal. Dengan demikian wawancara ini dilakukan dengan

pertanyaan yang bersifat terbuka (open-minded) dan mengarah pada

informasi, guna menggali pandangan subjek yang diteliti tentang banyak hal

yang sangat bermanfaat untuk menjadi dasar penggalian infromasinya

(57)

40

Tabel 3.2

Fokus Penelitian dan Pertanyaan

Fokus Penelitian Pertanyaan

Bagaimana pengetahuan orang tua mengenai anak mereka yang memiliki gangguan dalam pendengaran (tunarungu)?

Kapan ibu/bapak tahu bahwa anak ibu/bapak memiliki gangguan dalam pendengaran (tunarungu)?

Apa tanda-tanda awal yang ibu/bapak ketahui tentang anak ibu/bapak yang memiliki gangguan dalam pendengaran (tunarungu)?

Apa usaha awal ibu/bapak dalam menghadapi situasi tersebut? (Situasi dimana ibu/bapak mengetahui keterbatasan anak ibu/bapak)

Apa yang ibu/bapak ketahui tentang anak tunarungu? Dari mana ibu/bapak mendapat pemahaman tentang anak tunarungu?

Seperti apa kendala orang tua dalam menghadapi anak mereka yang memiliki gangguan dalam pendengaran (tunarungu)?

Apa kendala ibu/bapak ketika menghadapi anak ibu/bapak yang memiliki gangguan dalam pendengaran (tunarungu)?

Seperti apa bentuk dukungan orang tua untuk anak mereka yang memiliki gangguan dalam pendengaran (tunarungu)?

Bagaimana bentuk dukungan ibu/bapak terhadap anak ibu/bapak yang mengalami gangguan dalam pendengaran (tunarungu)? Berikan contoh konkretnya! (Dukungan emosional, penghargaan, instrumental, dan informasi)

Bagaimana proses dukungan orang tua untuk anak mereka yang memiliki gangguan dalam pendengaran (tunarungu)?

Bagaimana proses pemberian tiap dukungan yang ibu/bapak berikan untuk anak ibu/bapak? Jelaskan prosesnya sesuai dengan pertanyaan sebelumnya!

Siapa saja pihak yang terlibat dalam memberikan dukungan terhadap anak yang memiliki gangguan dalam pendengaran (tunarungu)?

Siapa saja pihak yang ikut dalam memberikan perhatian/dukungan untuk anak bapak/ibu?

(58)

2. Instrumen Penelitian

Menurut Nasution (1998) dalam penelitian kualitatif, tidak ada

pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian

utama. Alasannya ialah bahwa, segala sesuatunya belum mempunyai bentuk

yang pasti. Masalah, fokus penelitian, prosedur penelitian, hipotesis yang

digunakan, bahkan hasil yang diharapkan, itu semua tidak dapat ditentukan

secara pasti dan jelas sebelumnya. Segala sesuatu masih harus

dikembangkan sepanjang penelitian itu.

Penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen penelitian adalah

peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, peneliti sebagai instrumen harus bisa

membuktikan seberapa jauh peneliti siap untuk melakukan penelitian dan

terjun langsung ke lapangan. Peneliti kualitatif sebagai human instrument,

berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih subjek sebagai sumber

data, melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data,

menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas penelitiannya.

E. Keabsahan Data

Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif biasanya hanya

menekankan pada uji validitas dan reliabilitas. Hal tersebut, dilakukan untuk

mendukung penelitian agar mudah untuk menganalisis. Menurut Sugiyono

(2017) temuan atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan

antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 3.3  Waktu Member Check
Gambar 4.1. Visualisasi Pengetahuan Orang Tua Pengetahuan
Gambar 4.2. Bagan Kendala Orang Tua
+4

Referensi

Dokumen terkait

RIWAYAT HIDUP.. PERANAN ORANG TUA DALAM MENGARAHKAN BAKAT ANAK TUNARUNGU JENJANG SDLB DI SLB NEGERI CICENDO BANDUNG. Penelitian ini mengkaji peranan orang tua dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) budaya pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia untuk anak tunarungu-wicara kelas X-B di SLBN Surakarta, 2) kendala guru

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) budaya pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia untuk anak tunarungu-wicara kelas X-B di SLBN Surakarta, 2) kendala guru

Pola pengasuhan otoriter adalah suatu pola pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah perintah orang tua. Orang tua yang otoriter

c) 0 jika orang tua tidak memahami tentang konsep ketunarunguan. 2) Pemahaman Pola Layanan Orang tua terhadap Anak Tunarungu dalam.

judul “ Identifikasi Peran Orang Tua Dalam Mengembangkan Interaksi Sosial Anak Tunarungu ”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di

Pemahaman orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus ini bertujuan untuk mengetahui pengasuhan yang diberikan orang tua pada anak berkebutuhan khusus dan

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, pendidikan jasmani dan pendidikan akal