• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNIK KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK PENYANDANG TUNARUNGU (Studi Deskriptif Teknik Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu yang bersekolah di SLB 01 Kota Serang) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TEKNIK KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK PENYANDANG TUNARUNGU (Studi Deskriptif Teknik Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu yang bersekolah di SLB 01 Kota Serang) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNIK KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK PENYANDANG TUNARUNGU

(Studi Deskriptif Teknik Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu yang bersekolah di SLB 01 Kota Serang)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana (S-l )

Pada Program Studi llmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan llmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Oleh : Syifa Apriliyanti

6662140778

KONSENTRASI ILMU HUMAS PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG - BANTEN

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

(6)

ABSTRAK

Syifa Apriliyanti. NIM 6662140778. Skripsi. TEKNIK KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK PENYANDANG TUNARUNGU (Studi Deskriptif Teknik Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu yang bersekolah di SLB 01 Kota Serang). Pembimbing I: Andin Nesia, M.I.Kom dan Pembimbing II: Ronny Yudhi Septa P, M.Si

Manusia merupakan mahluk sosial, maka dari itu komunikasi menjadi bagian terpenting dalam hidup manusia. Jika dilihat dari sifatnya, komunikasi dibagi menjadi dua macam, yaitu komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi tentu tetap harus dilakukan oleh penyandang tunarungu untuk mengutarakan perasaan yang sedang dirasakan. Orang tua yang memiliki anak tunarungu pun tetap harus melakukan interaksi dengan anaknya, maka dari itu dibutuhkan kemampuan khusus untuk dapat membuat komunikasi dipahami oleh kedua pihak. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana teknik komunikasi yang digunakan orang tua untuk berkomunikasi dengan anak penyandang tunarungu. Teori yang digunakan adalah teori akomodasi komunikasi dari Giles (1973). Metode penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi. Hasil dari penelitian menjelaskan bahwa orang tua menggabungkan teknik komunikasi verbal dan non verbal secara bersamaan saat berinteraksi dengan anak tunarungu (tuli), orang tua kurang memahami mengenai cara penggunaan bahasa isyarat yang pada umumnya digunakan oleh orang yang meyandang tunarungu (tuli) dan orang tua merasa lebih nyaman saat menggunakan bahasa yang telah mereka ciptakan bersama anak dibandingkan dengan menggunakan bahasa isyarat yang ada.

(7)

ABSTRACK

Syifa Apriliyanti. NIM 6662140778. Thesis. PARENT COMMUNICATION TECHNIQUES ON DEAF CHILDREN (Descriptive Study of Parent Communication Techniques On Deaf Children Who Attended Extraordinary School 01 of Serang). Mentor I: Andin Nesia, M.I.Kom and Mentor II:

Ronny Yudhi Septa P, M.Si

Humans are social beings, therefore communication is the most important part of human life. In naturally, communication is dividing into two types, namely verbal and nonverbal communication. Communication is also used by deaf people to express feelings that are being felt. Parents with deaf children still have to interact, for that reasons special abilities are needed to make a mutualunderstanding communication for both of them. The purpose of this study was to found out how communication's techniques used by parents to communicate with deaf children. The theory concept that used is the

communication accommodation theory from Giles in 1973. This research used

qualitative descriptive as a method. Data was collected by in-depth interviews and observation technique. The results explained that parents are combined verbal and non-verbal communication's techniques at the same time when interacted with deaf children, parents do not understand about the uses of sign language which is generally used by people who are deaf and parents felt more comfortable when used the language that they has created with their children beside to used sign language.

(8)

Kata Pengantar

Assalamuallaikum Wr. Wb

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Teknik Komunikasi Non Verbal Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tuna Rungu (Studi Deskriptif Penggunaan Komunikasi Nonverbal Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu yang bersekolah di SLB 01 Kota Serang).

Penulisan skripsi ini dibuat guna memenuhi syarat untuk meraih gelar kesarjanaan starta satu (S1) Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna karena terbatasan ilmu, waktu, pengalaman, dan pustaka yang dimiliki oleh penulis. Namun penulis tetap berusaha untuk menyajikan yang terbaik.

Skripsi ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan skripsi ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M. Pd selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

(9)

3. Dr. Rahmi Winangsih, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.

4. Darwis Sagita, M.I.Kom., selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi.

5. Andin Nesia, M.I.Kom selaku pembimbing I yang telah dengan sabar memberikan berbagai arahan dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Ronny Yudhi Septa P, M.Si yang telah memberikan pengarahan dalam setiap lembar skripsi yang disusun peneliti.

7. Seluruh Dosen FISIP UNTIRTA yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang tidak ternilai.

8. Seluruh staf karyawan Prodi Ilmu Komunikasi UNTIRTA yang telah membantu kepentingan penulis dalam berbagai hal selama pengerjaan skripsi ini.

9. Mamah dan Papah yang dengan sabar telah memberikan semangat kepada penulis, do’a yang tidak pernah putus, dukungan moral dan material yang tidak ternilai.

10. Umi, Ema dan Appa yang memberikan do’a terbaik dan banyak motivasi penting di saat penulis merasa takut dan putus asa.

11.Muhammad Fahmi Pradipta, M. Jagat Satria, M. Raditia Erlangga, M. Afnan Faeza Rizky Ghaisan, M. Layang Jamuskalimusada yang telah menjadi penyemangat dikala rasa putus asa melanda.

(10)

yang sudah menemani perjuangan selama kuliah, yang selalu mengingat kan mengenai banyak hal, terutama dalam pengerjaan skripsi. Yang menemani hari-hari peneliti selama 4 tahun kuliah.

13.Tubagus Muhamad Roehtomy yang selalu memberikan semangat dan dorongan di segala hal, yang menemani disetiap keadaan susah maupun senang, teman berfikir dan berbagi cerita dalam segala hal.

14.Ibu Ayu, Ibu Vivi dan Ibu Urayatun selaku informan yang dengan baik hatinya memberikan waktu selama penelitian ini berlangsung.

15.Ibu Euis Andariah S.Pd salaku informan pendamping yang sudah memberikan banyak pengetahuan mengenai materi penelitian peneliti.dan semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi ini.

16.Temanku lisa, nana, fani yang selalu memberikan semangat kepada penulis, menemani penulis dalam berbagai kondisi

17.Mih inda dan om topan yang tidak pernah lupa untuk mengingatkan penulis akan cita-cita yang ingin di capai.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis dalam pelaksanaan penyusunan skirpsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca guna kesempurnaan skripsi ini.

(11)

Daftar Isi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

ABSTRAK ... i

ABSTRACK... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR BAGAN DAN TABEL ... viii

DARTAR GAMBAR ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Identifikasi Masalah ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi ... 10

2.1.1 Tujuan Komunikasi ... 11

2.1.2 Fungsi Komunikasi ... 12

2.1.3 Proses Komunikasi ... 14

2.1.4 Hambatan Komunikasi ... 15

2.2 Komunikasi Verbal dan Non Verbal ... 17

2.2.1 Komunikasi Verbal ... 17

2.2.2 Komunikasi Non Verbal ... 18

2.3 Tunarungu ... 21

(12)

2.3.1 Bahasa Isyarat ... 26

2.4 Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak ... 28

2.5 Teori Akomodasi Komunikasi ... 30

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 47

(13)

Daftar Bagan dan Tabel

(14)

Daftar Gambar

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk sosial, dimana salah satu kebutuhan pokoknya adalah berinteraksi dengan mahluk lain. Salah satu cara untuk berinteraksi adalah dengan melakukan komunikasi, dimana komunikasi merupakan salah satu proses sosial yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia, manusia memiliki keinginan untuk mempertahankan suatu persetujuan mengenai berbagai aturan sosial melalui komunikasi. Komunikasi berlangsung untuk menjalin hubungan antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya.

Maka dari itu komunikasi menjadi bagian terpenting dalam hidup manusia, manusia tidak dapat berinteraksi dengan manusia lainnya tanpa terjalinnya sebuah komunikasi. Untuk itu, komunikasi berfungsi sebagai medium bagi pembentukan dan pengembangan pribadi individu melalui kontak sosial. Dalam proses komunikasi antara individu tersebut, terjadi kontak sosial melalui penyampaian pesan, penerimaan pesan dan saling berbagi makna bersama, baik makna verbal maupun nonverbal.

(16)

dijumpai, baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal, yaitu dalam proses penyampaian pesan, pengiriman pesan, hingga sampai pemahaman pesan yang disampaikan oleh lawan bicara, hal tersebut yang dapat menyebabkan kesalahpahaman dalam komunikasi.

Jika dilihat dari sifatnya, komunikasi dibagi menjadi dua macam, yaitu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal, dimana komunikasi verbal dilakukan dengan jelas dengan menggunakan lisan maupun tulisan dan hal tersebut menjadi lambang dari komunikasi verbal, sedangkan komunikasi nonverbal di lambangkan dengan komunikasi yang menggunakan pesan-pesan nonverbal. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa kornunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis, biasanya menggunakan gerak tubuh, gerak wajah dan gerak muka.

Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang menggunakan lambang sebagai media untuk menyampaikan pesan, diantaranya menggunakan gerak tubuh, ekspresi wajah, sandi serta simbol. Salah satu contoh dari komunikasi nonverbal adalah dengan melakukan gerakan tubuh, disaat seseorang tidak dapat menyampaikan pesan dengan lisan, maka gerak tubuh dapat mewakilinya sehingga lawan bicara dapat memahami pesan yang ingin disampaikan. Seperti dengan mengangguk sebagai tanda “Ya” serta

menggelengkan kepala sebagai tanda “Tidak”.

(17)

gangguan pada indra pendengarannya, pendengarannya cukup rendah, bahkan pada sebagian penyandang ada yang sama sekali tidak dapat mendengar sehingga tidak memahami apa yang disampaikan kepadanya. Selain itu, penyandang tuna rungu pada umumnya mengalami kesulitan saat melakukan komunikasi secara verbal dengan orang lain, sehingga lawan bicaranya sulit memahami pesan yang disampaikan.

Komunikasi tentu tetap harus dilakukan oleh penyandang tunarungu untuk mengutarakan perasaan yang sedang dirasakan, dalam melakukan komunikasi penyandang tunarungu menggunakan simbol-simbol dalam penyampaian pesan kepada orang lain. Seperti mengekspresikan rasa marah, bahagia, kecewa, haus, dan lapar. Untuk itu perlu dilakukan cara agar dapat mempermudah proses komunikasi yang berlangsung yaitu dengan cara mempelajari teknik serta bahasa kamunikasi non verbal, hal tersebut bisa di dapatkan salah satunya dari sekolah luar biasa.

(18)

agar tetap dapat berkomunikasi dengan individu lain guna meminimalisir berbedaan yang ada.

Teknik tersebut juga digunakan saat berinteraksi dengan keluarga khususnya orang tua. Interaksi yang dilakukan antara orangtua dan anak secara tidak sadar dapat menumbuhkan komunikasi yang bersifat pendidikan, karena orang tua mengajarkan nilai-nilai kehidupan sebagaimana tanggung jawab yang mereka miliki sebagai orangtua. Mengingat cara komunikasi yang dilakukan dengan terhadap anak normal tentu akan berbeda dengan cara orang tua berkomunikasi dengan anak berkebutuhan khusus, apabila dengan anak normal orang tua dapat melakukan komunikasi dengan cara verbal maupun non verbal, tetapi berbeda dengan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (tunarungu) hanya dapat melakukan komunikasi secara non verbal.

(19)

verbal yang mereka buat sendiri dengan sesederhana dan semudah mungkin agar dapat ditiru dan dipehami oleh anak penyandang tunarungu.

Teknik komunikasi non verbal dilakukan untuk mencapai komunikasi yang efektif dalam penyampaian pesan, hal tersebut dimaksudkan agar komunikasi yang dilakukan dapat dipahami oleh semua pihak, dengan begitu komunikasi antara orang tua dan anak tidak akan mengalami

misunderstanding. Namun untuk sebagian orang tua yang memiliki anak penyandang tunga rungu, tentu menjadi kesulitan tersendiri dalam melakukan komunikasi, kerena beberapa orang tua tidak mengetahui cara berkomunikasi dengan teknik non verbal, sehingga hal tersebut membuat komunikasi yang terjalin tidak berjalan dengan baik. Karena dalam melakukan komunikasi dengan penyandang tunarungu tidak cukup hanya dengan menggunakan bahasa Verbal saja, tetapi lebih mengarah kepada pengguanaan tanda-tanda, simbol-simbol, sehingga pesan yang akan disampaikan dapat dimengerti oleh lawan bicara.

(20)

memahami apa yang sedang di sampaikan, selain itu untuk menyampaikan kalimat yang sedikit sulit, orang tua dapat menyampaikannya dengan kata demi kata menggunakan isyarat yang dapat dimengerti penyanang tunarungu.

Hal tersebut juga berlaku bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (tuna rungu) di kota serang. Aktivitas komunikasi orang tua pada anak tunarungu dilandasi dengan pembiasaan orang tua terkait dengan perilaku anak. Ketika orang tua membiasakan anak diperlakukan tidak beda dengan anak yang tidak tunarungu maka anak akan lebih mudah untuk melakukan komunikasi karena anak merasa orang tua mereka menerima keberadaannya, anak juga merasa percaya diri serta anak juga merasa dihargai (Agha, 2018). Menurut survei yang dilakukan oleh peneliti dengan cara observasi lapangan, mendapatkan temuan dimana orang tua mengalami kesulitan untuk melakukan komunikasi dengan anak dalam aktivitas sehari-hari, seperti untuk menyampaikan sebuah perintah ataupun memberikan arahan. Dan orang tua membuat teknik komunikasi sendiri dalam melakukan komunikasi dengan anak tersebut, ternik tersebut menggabungkan teknik komunikasi verbal dan non verbal.

(21)

Jumlah anak penyandang tunarungu di kota serang yang masuk lembaga pendidikan mencapai 73 orang, jumlah tersebut di dapat dari hasil observasi peneliti pada 5 sekolah luar biasa (SLB) yang ada di kota serang, diantaranya yaitu SLB Negeri 01 Kota Serang, SLB Negeri 02 Kota Serang, SLB Pandita, Yayasan Anak Mandiri, SLB Madina Kota Serang. Dari kelima SLB tersebut SLB 01 Kota Serang memiliki jumlah murid tunarungu terbanyak yaitu sebanyak 36 orang. Dari data diatas maka peneliti memilih SKH 01 Kota Serang untuk dijadikan tempat melakukan penelitian

Dari penjelasan diatas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana teknik komunikasi non verbal yang dilakukan orang tua untuk dapat melakukan komunikasi dengan anak yang menyandang tunarungu dan apakah komunikasi non verbal yang dilakukan sesuai dengan teknik komunikasi non verbal yang ada.

1.1 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka diperoleh rumusan masalah yaitu, “Bagaimana Teknik Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu di Kota Serang?”

1.2 Identifikasi Masalah

(22)

1. Bagaimana orang tua menyesuaikan gaya komunikasi saat melakukan interaksi dengan anak yang menyandang tunarungu?

2. Bagaimana bentuk komunikasi yang diciptakan orang tua saat berinteraksi dengan anak yang menyandang tunarungu? 3. Apa kendala yang ditemui orang tua saat menyesuaikan

gaya bicara dengan anak yang menyandang tunarungu? 4. Bagaimana pemahaman orang tua terhadap bahasa isyarat

yang umumnya digunakan orang penyandang tunarungu?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari identifikasi masalah yang telah dijelaskan di atas, adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui cara orang tua menyesuaikan gaya komunikasi saat melakukan interaksi dengan anak yang menyandang tunarungu.

2. Untuk mengetahui seperti apa bentuk komunikasi yang diciptakan orang tua saat berinteraksi dengan anak yang menyandang tunarungu.

(23)

4. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman orang tua terhadap bahasa isyarat yang umumnya digunakan orang penyandang tunarungu.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan akademisi ilmu komunikasi secara umum, serta menjadi kontribusi pemikiran yang bermanfaat bagi dunia pendidikan, khususnya pada bidang ilmu komunikasi yang berkaitan dengan komunikasi nonverbal.

1.4.2 Manfaat Praktis

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi

Komunikasi atau “communication” berasal dari bahasa latin “communis”, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut “commun” yang berarti sama (Rohim, 2009:8). Dalam hal ini yang dimaksud sama yaitu makna yang dimaksudkan sama artinya. Ketika melakukan komunikasi, pembicara (komunikator) akan berusaha untuk menyampaikan makna yang sama kepada lawan bicara, hal tersebut dilakukan agar terhindarnya miss communication antara pihak yang terlibat dalam komunikasi yang berlangsung.

Komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Komunikator menyandi (encode) pesan yang akan disampaikan kepada komunikan. Ini berarti ia memformulasikan pikiran dan atau perasaannya ke dalam lambang (bahasa) yang diperkirakan akan dimengerti oleh komunikan. Kemudian menjadi giliran komunikan untuk mengawa-sandi

(decode) pesan komunikator itu. ini berarti ia menafsirkan lambang yang mengandung pikiran dan atau perasaan komunikator berfungsi sebagai penyandi

(encoder) dan komunikan berfungsi sebagai pengawa-sandi (decoder) (Rohim, 2009:13).

(25)

pesan kepada anak dengan bahasa tubuh yang mudah dimengerti agar anak dapat memahami apa yang disampaikan oleh orang tua. Dengan begitu hubungan komunikasi orang tua dengan anak akan terjalin dengan baik.

2.1.1 Tujuan Komunikasi

Setiap orang yang melakukan komunikasi tentu memiliki tujuan, baik itu untuk menyampaikan sebuah gagasan, dukungan, penolakan, atau tujuan lainnya. Secara umum, komunikasi yang dilakukan biasanya mengharapkan sebuah timbal balik yang diberasal oleh lawan bicara dan pesan yang disampaikan dapat diterima serta memberikan efek setelah komunikasi selesai dilakukan.

Menurut Onong Uchjana Effendy dalam buku “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek” menjelaskan bahwa terdapat beberapa tujuan berkomunikasi, yakni: (Effendy, 2005:8)

• Perubahan sikap (attitude change)

• Perubahan pendapat (opinion change)

• Perubahan perilaku (behavior change)

• Perubahan sosial (social change)

(26)

komunikasi non verbal maka orang tua dapat menyampaikan pesan dengan menggunakan gerak tubuh dan pesan dapat dimengerti oleh anak penyandang tuna rungu, maka pada saat itulah tujuan yang diinginkan oleh komunikator dapat tercapai.

2.1.2 Fungsi Komunikasi

Komunikasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya: 1. Komunikasi Sosial

“Fungsi komunikasi sebagai komunikasi sosial setidaknya mengisyaratkan

bahwa komunikator itu penting untuk membangun konsep-diri, untuk kelangsungan hidup, untuk memperoleh kebahagiaan, terhindar dari ketegangan, antara lain lewat komunikasi yang bersifat menghibur, dan memupuk hubungan dengan orang lain” (Mulyana, 2013:5).

Fungsi komunikasi sosial ini menjadi penting untuk membangun rasa bahagia dan menghindari ketegangan dalam hubungan antara orang tua dan anak penyandang tunarungu, hal tersebut dapat memupuk hubungan menjadi lebih baik.

1. Komunikasi Ekspresif

“Komunikasi ekspresif tidak secara otomatis bertujuan

mempengaruhi orang lain, namun dapat dilakukan sejauh komunikasi tersebut menjadi instrumen untuk menyampaikan perasaan-perasaan (emosi)” (Mulyana, 2013:21).

(27)

komunikasi ekspresif anak penyandang tunarungu dapat menunjukan perasaan (emosi) yang sedang dirasakan, seperti marah, senang, lapar, kecewa dan lain sebagainya.

2. Komunikasi Ritual

“Komunikasi ritual sering juga bersifat ekspresif, menyatakan

perasaan terdalam seseorang. Kegiatan ritual memungkinkan para pesertanya berbagi komitmen emosional dan menjadi perekat bagi kepaduan mereka, juga sebagai pengabdian kepada kelompok. Bukanlah substansi kegiatan ritual itu sendiri yang terpenting, melainkan perasaan senasib sepenanggungan yang menyertainya, perasaan bahwa adanya keterikatan oleh sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri, yang bersifat abadi, dan bahwa diakui dan diterima dalam kelompok” (Mulyana, 2013:23).

3. Komunikasi Instrumental

“Mempunyai beberapa tujuan umum: menginformasikan, mengajar,

(28)

baik tujuan jangka pendek maupun tujuan janga panjang” (Mulyana, 2013:30).

2.1.3 Proses Komunikasi

Effendy (2013:33) mengatakan bahwa proses komunikasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan atau pemikiran yang dilakukan oleh komunikator (sumber) kepada komunikan (penerima). Proses komunikasi bisa terjadi dengan berbagai cara. Namun, Onong Uchjana Effendy membagi proses komunikasi kedalam 2 tahapan, yaitu :

A. Proses Komunikasi Secara Primer

Proses ini adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan komunikator kepada

komunikan.

B. Proses Komunikasi Secara Sekunder.

(29)

Surat, telepon, surat kabar, majalah, radio, televisi, film, dan banyak lagi media kedua yang sering digunakan dalam komunikasi.

Dalam melakukan komunikasi dengan anak penyandang tunarungu orang tua menggunakan semua proses komunikasi, namun proses komunikasi primer lebih dominan dilakukan karena menggunakan lambang sebagai media untuk melakukan komunikasi.

2.1.4 Hambatan Komunikasi

Berikut ini merupakan hambatan dalam komunikasi yang perlu diperhatikan oleh komunikator agar dapat berkomunikasi secara efektif:

1. Hambatan Semantis

Hambatan semantis menyangkut bahasa yang dipergunakan komunikator sebagai “alat” untuk menyalurkan pikiran dan perasaaannya kepada komunikan.

Demi kelancaran komunikasinya seorang komunikator harus benar-benar dapat memperhatikan gangguan semantis ini, sebab salah ucap dapat menimbulkan salah pengertian (misunderstanding) atau salah tafsir (misinterpretation), yang pada gilirannya bisa menimbulkan salah komunikasi (miscommunication) (Effendy, 2004:14).

(30)

2. Hambatan Mekanis

Hambatan mekanis dijumpai pada media yang dipergunakan dalam melancarkan komunikasi. Banyak contoh yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari, seperti suara telepon yang tidak jelas, ketikan huruf yang buram pada surat, suara yang hilang-muncul pada pesawat radio, berita surat kabar yang sulit dicari sambungan kolomnya, gambar yang meliuk-liuk pada pesawat televisi, dan lain-lain (Effendy, 2004:14).

Hambatan ini biasanya di temukan saat akan melakukan komunikasi jarak jauh dengan penyandang tunarungu, orang tua tidak dapat menggunakan telepon untuk melakukan komunikasi. Komunikasi mungkin hanya bisa dilakukan dengan melakukan panggilan video (video call).

3.Hambatan Ekologis

Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap proses berlangsungnya komunikasi yang datangnya dari lingkungan. Seperti suara riuh orang-orang atau kebisingan lalu lintas, suara hujan atau petir, dan lain-lain (Effendy, 2004:13).

Hal tersebut sering kali terjadi saat orang tua melakukan komunikasi dengan penyandang tunarungu, dalam melakukan komunikasi dibutuhkan fokus untuk dapat memahami pesan yang disampaikan. Suara bising dan keriuhan dapat memecah konsentrasi yang dibutuhkan.

4.Prasangka

(31)

menentang komunikator. Pada orang yang bersikap prasangka emosinya menyebabkan dia menarik kesimpulan tanpa menggunakan pikiran secara rasional (Effendy, 2004:16)

Dalam komunikasi yang dilakukan orang tua dengan penyandang tunarungu, prasangka menjadi salah satu hambatan yang sering muncul. Hambatan ini timbul karena kurangnya kecakapan orang tua dalam melakukan komunikasi non verbal, sehingga anak salah menyimpulkan maksud dari pesan yang disampaikan.

2.2 Komunikasi Verbal Dan Non Verbal

2.2.1 Komunikasi Verbal

Secara umum komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan

kata-kata secara lisan dengan secara sadar dilakukan oleh manusia untuk berhubungan dan melakukan komunikasi dengan manusia lain. Dasar komunikasi verbal adalah interaksi semasa manusia, hal tersebut menjadi salah satu media untuk menyatukan pendapat, perasaan dan maksud yang ingin di sampaikan oleh komunikan. Deddy Mulyana (dalam Marhaeni, 2009:110) menyatakan bahwa Bahasa Verbal menggunakan kata-kata yang mempresentasikan berbagai aspek realitas individual kita. Beberapa komponen-komponen komunikasi verbai adalah: (Marhaeni, 2009:111)

(32)

d) Bahasa

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa komunikasi verbal menjadi salah satu media yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. Begitu pun saat orang tua menyampaikan pesan kepada anak penyandang tuna rungu, namum dengan cara yang sedikit berbeda, contohnya saat melakukan komunikasi secara lisan, pesan yang disampaikan dilakukan dengan perlahan dan dengan pelafalan yang jelas.

2.2.2 Komunikasi Non Verbal

Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang dilakukan tidak menggunakan bahasa lisan, melainkan menggunakan symbol atau isyarat untuk menyampaikan pesan kepada komunikan. Menurut Larry A.Samovar dan Richard E. Porter (dalam Mulyana, 2007:237) komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerima. Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan nonverbal dalam penyampaian pesan.

(33)

mencakup objek benda dan artefak, proxemics yang merupakan ruang dan teritori pribadi, haptics atau bahasa tubuh. Dimana bahasa tubuh dapat dipercayai sangat penting dalam melancarkan proses komunikasi. Dengan mengetahui arti dari bahasa tubuh maka dapat melihat perasaan seseorang yang sebenarnya. Bahasa tubuh sangat penting bagi komunikasi khususnya komunikasi non verbal.

Jika dilihat dari fungsinya, perilaku komunikasi nonverbal memiliki beberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi dari pesan komunikasi nonverbal, seperti yang dapat dilukiskan dengan perilaku mata, yakni sebagai berikut (Mulyana, 2007:349)

1. Emblem. Merupakan perilaku nonverbal yang secara langsung menerjemahkan kata atau ungkapan. Misalnya untuk isyarat “Oke”, “jangan ribut” dan “kemarilah”.

2. Ilustrator, seperti contoh untuk mengatakan “ayo bangun”

dapat dengan cara menggerakkan tangan kearah menaik. 3. Affect Display, merupakan gerakan wajah yang dapat

(34)

4. Regulator, merupakan perilaku nonverbal mengendalikan pembicaraan orang lain, regilator terkait pada kultur dan tidak

universal. Seperti saat anak tunarungu memalingkan wajah disaat melakukan komunikasi itu berarti anak tidak bersedia untuk melakukan komunikasi.

5. Adaptor. Merupakan perilaku nonverbal bila dilakukan secara pribadi ataupun dimuka umum tetapi tidak terlihat, seperti saat seseorang sedang cemas menggigit kuku tangan untuk mengurangi rasa cemas.

Komunikasi nonverbal juga memiliki fungsi, menurut Devito (dalam Sihabudin&Winangsih, 2012:104) komunikasi nonverbal dalam kehidupan manusia memiliki fungsi seperti:

1. Untuk menekankan, menggunakan komunikasi nonverbal nenonjolkan beberapa pesan komunikasi verbal, seperti mengayunkan tangan kearah dalam seraya mengucapkan “ayok kemari”

2. Untuk melengkapi dan memperkuat pesan verbal. Contohnya mengerucutkan bibir saat menceritakan hal yang tidak menyenangkan.

(35)

4. Untuk mengatur. Misalnya menunjukan tangan saat ingin berbicara

5. Untuk mengulangi. Contonya menggerakan kepala untuk mengulangi pesan verbal

6. Untuk menggantikan. Contohnya menggelengkan kepala untuk mengatakan “tidak”

Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa komuniksi nonverbal merupakan pilihan lain dari cara berkomunikasi tanpa menngunakan lisan maupun tulisan. Orang tua yang memiliki anak penyandang tunarunggu juga menggunakan teknik komunikasi ini untuk menyampaikan pesan selain menggunakan komunikasi verbal. Dengan komunikasi nonverbal anak akan lebih mengerti pesan yang disampaikan.

2.3 Tunarungu

(36)

kurang dengar dan tuli. Istilah tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”,

dimana tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran (Haenudin, 2013:53).

Tunarungu sendiri merupakan istilah dimana seseorang mengalamai keadaan kehilangan pendengaran baik sebagian (half of hearing) atau seluruhnya (deaf), kondisi ini disebabkan oleh adanya kerusakan atau ketidakfungsian pada indra pendengaran, sehingga membuat terhambatnya pengembangan bahasa dan dibutuhkan penanganan khusus untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.

Penyebutan tuna rungu sendiri dipakai oleh masyarakat untuk mengklasifikasikan penyandang tersebut. Namun saat ini muncul sebuah paradigma baru dimana penyandang tuna rungu lebih memilih di sebut sebagai tuli, seperti yang dijelaskan oleh seorang aktivis dan penyandang tuli Surya Putra Sahetapy bahwa istilah tuna rungu adalah hal yang kasar, karena tuna berarti rusak sehingga tunarungu berarti rusak pendengaran. Sementara tuli merupakan terminologi sosial budaya yang mempresentasikan bahwa kaum ini adalah pengguna bahasa isyarat. Ada beberapa cara komunikasi yang digunakan penyandang tuli, diantaranya bahasa isyarat, tulisan, verbal-lipreading (membaca gerak mulut).

(37)

a. Pada saat dilahirkan antara lain: salah satu atau kedua orang tua menderita tunarungu, karena penyakit dan karena kecanduan obat-obatan.

b. Pada saat kelahiran, antara lain: sewaktu melahirkan ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu dengan penyedotan, dan prematur yaitu bayi yang lahir sebelum waktunya.

c. Pada saat setalah kelahiran, antara lain: ketulian yang terjadi karena infeksi, pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak-anak, dan area kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan pasa indra pendengaran bagian dalam.

Orang yang mengalami tunarungu sebagian (half of hearing) sehingga mengalami kesulitan dalam mendengar, tetapi tidak menghambat seseorang tersebut untuk dapat memahami pembicaraan melalui indera pendengaran dengan atau tanpa alat bantu, sedangkan pada orang yang mengalami tunarungu seluruhnya (deaf) akan kesulitan dalam memahami pesan yang disampaikan melalui pendearannya dan harus menggunakan alat bantu pendengaran

Sementara itu klasifikasi menurut kepentingan pendidikannya, kalsifikasi ini dapat diketahui dengan melakukan tes audiometris, yaitu: (Efendi, 2006:59-61).

(38)

b. Anak tunarungu yang kehilangan pendengarannya antara 30-40 dB (mild losses)

c. Anak tunarungu yang kehilangan pendengarannya antara 30-40 dB (moderate losses)

d. Anak tunarungu yang kehilangan pendegarannya antara 60-75 dB (severe losses)

e. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 75 dB keatas (profoundly losses)

2.3.1 Karakteristik Tunarungu

Pada umumnya anak tunarungu tidak memiliki perbedaan secara fisik dengan anak pada umumnya, tetapi apabila di perhatikan lebih dalam lagi, terdapat beberapa perbedaan yang berasal dari dampak tunarungu yang mereka miliki sehingga memiliki karakteristik yang khas. Karakteristik penyandang tunarungu dapat dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, serta emosi dan sosial (Haenudin, 2013:66).

1. Karakterikstik dalam segi intelegensi

Secara potensial tidak ada yang berbeda antara anak penyandang tunarungu dengan anak lainnya tetapi apabila secara fungsional anak penyandang tunarungu berada dibawah anak normal, hal tersebut dikarenakan anak tunarungu kesulitan dalam memahami behasa.

(39)

dengan normal dapt belajar dari apa yang mereka dengar, dan hal tersebut berasal dari proses latihan berfikir. Dan hal tersebut tidak dapat di proses oleh anak penyandang tunarungu, karena anak tunarungu hanya dapat memahami dari hal yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Dalam keadaan seperti ini, anak tunarungu membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk mempelajari suatu hal terutama pelajaran yang disampaikan secara verbal.

2. Karakteristik dalam segi berbicara dan berbahasa

Keterbatasan pendengaran pada anak tunarungu dapat menghambat dalam berbicara dan berbahasa, karena pada dasarnya perkembangan berbahasa dan berbicara sangat berkaitan dengan ketajaman pendengaran. Dalam perkembangan berbicara dan berbahasa pada anak tuna rungu hanya menggunakan peniruan secara visual.

Bahasa digunakan oleh masyarakat luas dalam melakukan komunikasi, dengan memiliki bahasa yang sama maka setiap individu dapat saling bertukar informasi dan melakukan komunikasi dengan baik. Begitupu pada anak tuna rungu, mereka memiliki bahasa khusus yang digunakan dalam melakukan komunikasi, sama halnya dengan cara komunikasi yang dipilih orang tua untuk melakukan komunikasi dengan anak mereka yang menyandang tuna rungu.

3. Karakteristik Emosi dan Sosial

(40)

Kesulitan ini juga cukup memberikan tekanan pada emosi anak tuna rungu, sehingga menghambat perkembangan pribadinya dengan menunjukan diri yang lebih argesif atau bahkan menjadi pribadi yang sanget pendiam. Pengaruh dari lingkungan ikut mempengaruhi emosi pada anak tuna rungu, mereka anak meresa resah dan gelisah bila di bertemu dan ditegur oleh orang asing.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa dengan karakteristik tersebut anak tuna rungu sangat membutuhkan dampingan untuk menghindari terbentuknya pribadi yang kurang baik karena karakteristik yang ada. Pendampingan juga dibutuhkan agar anak tuna rungu dapat merasa aman saat melakukan komunikasi dengan lingkungan baru.

2.3.2 Bahasa Isyarat

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berhubungan dengan individu lain. Bila seorang anak memiliki kemampuan berbahasa, mereka anak memiliki sarana untuk mengembangkan segi sosial, emosional maupun intelektualnya (Somantri, 2006:96).

Hal tersebut juga berlaku untuk anak tunarungu, mereka harus memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaan dan keinginan mereka terhadap orang lain, salah satu cara dalam penyampaiannya yaitu dengan menggunakan bahasa isyarat.

(41)

isyarat satu tangan dengan penyampaian kata per kata, sehingga sedikit sulit diartikan dalam isyarat.

Gambar 2.3.2.1

Gambar 2.3.2.2

(42)

Gambar 2.3.2.3

Siswa dan siswi yang bersekolah di SKH 01 Kota Serang menggunakan bahasa isyarat SIBI sebagai media dalam melakukan komunikasi di dalam kelas, baik dalam penyampaian materi maupun dalam berinteraksi antara tenaga pengajar dengan murid. SIBI dipilih karena lebih mudah di pahami oleh murid, karena penyampaiannya yang menggunkan abjad satu tangan.

2.4 Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak

(43)

Orang tua merupakan individu pertama yang menjadi guru anak dalam melakukan komunikasi, mulai dari hal yang sederhana sampai anak tersebut siap untuk berkomunikasi dengan individu lain. Setiap orang tua tentu memiliki cara yang berbeda dalam menerapkan pola komunikasi pada anak mereka.

Untuk orang tua yang memiliki anak penyandang tunarungu (tuli) juga tetap harus melakukan komunikasi untuk memberikan arahan dan hal lainnya terhadap anak, cara yang digunakan mungkin akan sedikit berbeda saat melakukan komunikasi dengan anak tanpa gangguan pendengaran, jika dengan anak lainnya mungkin komunikasi bisa dilakukan dengan cara yg cepat tetapi apabila dengan anak tunarungu (tuli) komunikasi harus dilakukan dengan perlahan dan kadang berulang.

Secara emosional orang tua dan anak memiliki ikatan istimewa yang membuat mereka lebih mudah untuk melakukan interaksi, terutama antara seorang ibu dengan anak. Ikatan tersebut membuat ibu lebih cepat paham dan mengerti akan pesan yang ingin disampaikan oleh anak meskipun saat anak tidak dapat menyampaikan pesan tersebut dengan sempurna.

(44)

anak tunarungu (tuli), komunikasi langsung sangat dibutuhkan saat menyampaikan pesan hal tersebut dapat membuat anak dengan mudah memahami pesan yang diberikan orang tua, karena dalam penyampaian pesan orang tua menggunakan verbal dan non verbal secara bersamaan.

Maka dari itu peneliti mencoba untuk meneliti bagaimanakah pola komunikasi yang dilakukan orang tua terhadap anak penyandang tunarungu (tuli) saat menyampaikan pesan secara langsung (face to face).

2.5 Teori Akomodasi Komunikasi

Teori akomodasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai model “mobilitas aksen", yang didasarkan

pada berbagai aksen yang dapat didengar dalarn situasi Wawancara (Turner, 2008: 217).

(45)

Teori akomodasi komunikasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan. Mereka mungkin menciptakan komunitas percakapan yang melibatkan penggunaan bahasa atau Sistem nonverbal yang sama, mereka mungkin akan membedakan diri mereka dari orang lain, atau mereka akan berusaha terlalu keras untuk beradaptasi.

Teori ini didasarkan kepada banyaknya prinsip dan konsep yang sama dengan teori identitas sosial. Asumsi dasar dari teori akomodasi komunikasi adalah dipengaruhi oleh beberapa keadaan personal, situasional, dan budaya antara lain: setiap perbedaan dan persamaan terdapat dalam percakapan yang berlangsung.

Orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus (tunarungu) tentu menggunakan cara berkomunikasi yang berbeda saat sedang berkomunikasi dengan anak tersebut, orang tua akan menyesuaikan gaya berkomunikasi yang dapat dipahami oleh anak tunarungu agar pesan yang disampaikan dapat diterima. Salah satu sifat manusia yang di sebutkan dalam teori ini adalah divergensi, dimana manusia mau untuk berubah mengikuti perubahan yang ada tanpa mengubah jati diri awal individu tersebut. Hal tersebut merupakan sifat yang di miliki oleh orang tua dimana mereka berkonvergensi untuk dapat berkomunikasi dengan anak penyandang tuna rungu (tuli)

(46)

melakukan komunikasi. Jadi orang tua sebisa mungkin memberikan cara berkomunikasi semudah dan sesederhana mungkin agar anak tersebut lebih mudah untuk memahaminya, seperti saat menyampaikan kata-kata sederhana, saat ingin ke toilet orang tua memberikan contoh ekspresi mengedan dan memegang perut.

Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh teori Akomodasi Komunikasi, dimana dalam teori ini pembicara berusaha untuk mengakodasikan pembicaraan dengan menyesuaikan gaya bicara guna pembicara dapat mencapai tujuan dalam penyampaian pesan.

2.5 Kerangka Berfikir

Pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial, dimana salah satu caranya adalah dengan melakukan interaksi dengan manusia lain. Interaksi tersebut dilakukan dengan berkomunikasi, hal tersebut dapat membuat manusia dapat menyampaikan kebutuhan mereka kepada manusia lainnya.

(47)

Jenis komunikasi sendiri dibagi menjadi dua, yaitu komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan lisan dan tulisan sebagai media dalam melakukan komunikasi. Sedangkan komunikasi non verbal merupakan komunikasi yang penyampaian pesannya menggunakan gerakan tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, kecepatan dan volume bicara dan bahkan juga keheningan.

Komunikasi non verbal sering kali digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasan (tuna rungu) untuk melakukan komunikasi dengan orang lain, hal tersebut dikarenakan komunikasi non verbal dapat dengan mudah merepresentasikan pesan yang akan disampaikan.

Tidak hanya digunakan oleh anak tuna rungu, komunikasi non verbal juga sering digunakan oleh orang tua yang memiliki anak penyandang tuna rungu. Meski orang tua tersebut tidak memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi, tetapi orang tua berusaha untuk menyesuaikan gaya bicara mereka dengan anak tuna rungu agar dapat mengakomodasikan pesan yang ingin disampaikan, hal itu sesuai dengan penjelasan pada teori akomodasi komunikasi.

(48)
(49)

Berikut ini merupakan tabel gambaran kerangka berpikir dari penjelasan di atas : Gambar 2.5 Kerangka Berpikir

Cara Orang Tua Berkomunikasi

Dengan Anak Penyandang

Tunarungu

Teori Akomodasi Komunikasi

(

Turner, 2008: 217)

Gaya Bicara

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian, ada banyak cara dan pendekatan yang dapat digunakan oleh peneliti sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Sehingga penelitian tersebut dapat dianggap valid dan kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Pada penelitian yang berjudul “Komunikasi NonVerbal Orang Tua Terhadap Anak Penyandang Tunarungu”, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Pada penelitian ini, peneliti lebih menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah (natural setting). Peneliti terjun langsung ke lapangan, bertindak sebagai pengamat dengan membuat kategori perilaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi, serta tidak berusaha untuk memanipulasi variable (Elvinaro, 2010:60)

(51)

Metode kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu (Bungin, 2007:68). Model desain penelitian penelitian kualitatif merupakan desain penelitian yang digunakan untuk makna dalam proses-proses komunikasi linier (satu arah), interaktif, maupun pada proses-proses transaksional (Bungin, 2008:304).

Metode penelitian kualitatif ini digunakan oleh peneliti karena metode seperti inilah yang dapat digunakan untuk meneliti komunikasi interaktif dalam melakukan komunikasi antara orang tua dengan anak penyandang tuna rungu 3.2 Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif karena dilakukan dengan mengumpulkan data berupa kata-kata. Menurut Kriyantono (2006:69), “penelitian ini bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.”

Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan realitas yang terjadi namun tidak menjelaskan hubungan-hubungan antarvariabel. Peneliti sudah memiliki konsep dan landasan teori, periset melakukan operasionalisasi konsep yang akan menghasilkan variabel serta indikatornya (Kriyantono, 2006:69).

(52)

penyandang tunarungu, serta apakah orang tua melakukan teknik komunikasi non verbal dengan baik daat melakukan komunikasi tersebut.

3.3 Metode Penelitian

Pada penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode studi kasus. Studi kasus menurut Kriyantono (2006:65) adalah “metode riset yang menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi, atau peristiwa secara sistematis.”

Peneliti berupaya secara seksama dan dengan berbagai cara mengkaji sejumlah besar variabel mengenai suatu kasus khusus. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, kelompok, atau suatu kejadian, peneliti berusaha untuk memberikan uraian lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti Mulyana (dalam Kriyantono, 2006:66).

Adapun ciri-ciri metode studi kasus yaitu pertama, partikularistik yang artinya studi kasus terfokus pada situasi, peristiwa, program, atau fenomena tertentu. Kedua, deskriptif yang artinya metode ini adalah deskripsi detail dari topik yang diteliti. Ketiga, heuristik yaitu metode ini membantu khalayak memahami apa yang sedang diteliti. Keempat, induktif, yaitu studi kasus berangkat dari fakta-fakta di lapangan, kemudian menyimpulkan ke dalam tataran konsep atau teori Mulyana.

(53)

berusaha untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan kasus secara lengkap dan rinci. Peneliti menggunakan berbagai sumber data yang bisa diteliti seperti hasil wawancara dengan orang tua yang memiliki anak penyandang tuna rungu mengenai bagaimana atau komunikasi seperti apa yang digunakan dalam melakukan komunikasi dengan anak penyanang tunarungu. Kemudian hasil observasi kondisi secara langsung komunikasi yang dilakukan.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data menurut sugiyono (2008:224) merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

a. Wawancara

Wawancara adalah bagian dari teknik pengumpulan data yang dilakukan jika peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, selain itu wawancara mendalam juga dilakukan peneliti untuk mendapatkan informasi dari responden yang lebih mendalam (Sugiyono, 2008:231).

(54)

cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2007:111). Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.

Metode wawancara mendalam adalah sama seperti metode wawancara lainnya, hanya peran pewawancara, tujuan wawancara, peran informan, dan cara melakukan wawancara yang berbeda dengan wawancara pada umumnya. Wawancara mendalam dilakukan berkali-kali dan membutuhkan waktu yang lama bersama informan di lokasi penelitian, di mana kondisi ini tidak pernah terjadi pada wawancara pada umumnya.

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada informan, informan kunci, dan informan pendukung. Informan tersebut dipilih oleh peneliti berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Pertanyaan yang diajukan seputar komunikasi yang dilakukan orang tua dengan anak penyandang tunarungu, gaya komunikasi atau gaya bicara yang digunakan orang tua dalam berinteraksi dengan anak penyandang tuanrungu, serta kendala yang dihadapi saat melakukan komunikasi.

b. Observasi

(55)

Supomo (dalam Ruslan, 2006:34), observasi dapat diartikan sebagai proses pencatatan pola perilaku subjek (orang), objek (benda-benda) atau kejadian yang sistematik tanpa adanya pertanyaan atau komunikasi dengan individu-individu yang diteliti. Dalam penelitian, terdapat dua jenis metode yang digunakan, yaitu observasi partisipatif dan observasi non partisipatif (Zuriah, 2009:176).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non partisipatif di mana peneliti mengamati lokasi penelitian dan seluruh kegiatannya. Selain itu, peneliti turut mendengar setiap percakapan yang dilakukan oleh orang tua dan anak penyandang tunarungu untuk lebih memahami teknik komunikasi yang digunakan. Dalam hal ini, peneliti hanya mengamati saja tanpa terlibat dengan kegiatan yang dilakukan oleh pihak yang diteliti. Maka dapat diartikan bahwa peneliti di sini hanya sebagai pengamat saja.

3.5 Informan Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan informan sebagai narasumber untuk mendapatkan data yang diperlukan. Dalam penelitian kualitatif, informan penelitian berkaitan dengan bagaimana langkah yang ditempuh peneliti agar data atau informasi dapat diperoleh (Bungin, 2007:107). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan informan kunci (key informant), dan informan pendukung.

(56)

1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayati

2. Mereka yang tergolong sedang berkecimpung atau terlibat dalam kegiatan yang tengah diteliti

3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi

4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil “kemasannya” sendiri

5. Mereka yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacan guru atau narasumber.

Dalam menentukan informan pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik Purposive Sampling, dalam teknik ini mencakup orang-orang yang diseleksi atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan riset (Krisyanto, 2009:156).

Dalam penelitian ini kriteria yang di tentukan peneliti yaitu :

1. Orang tua yang memiliki anak penyandang tunarungu (tuli) yang bersekolah di SHK 01 Kota Serang

2. Orang tua yang tidak mengerti bahasa isyarat

(57)

Penelitian ini melibatkan dua keluarga, yaitu orang tua dan anaknya yang menyandang tunarungu sebagai subjek penelitian. Adapun informan yang dipilih oleh peneliti yaitu orang tua dari Refiansyah, orang tua dari Devora dan orangtua dari Rizqy Nur Subhi, dimana Refiansyah merupakan anak penyandang tunarungu yang sedang menempuh pendidikan di SKH 01 kota Serang, saat ini Refi duduk di kelas 2 SMP B, Refi merupakan anak yang aktif dalam setiap kegiayan yang diadakan oleh pihak sekolah, Refi mengalami gangguan pendengaran bawaan dari lahir dengan kemampuan mendengar yaitu 90 dB sehingga butuh kesabaran bagi orang tua refi untuk mengajarkan cara berkomunikasi.

Selanjutnya sama seperti refi, devora juga merupakan siswa di sekolah yang sama. Saat ini devora duduk di kelas 3 SD dan merupakan salah satu murid yang cerdas dalam menyerap pelajaran disekolah, devora mengalami ketunarunguan sejak lahir, kemampuan mendengar yang dimilikinya yaitu 110 dB. Hal tersebut terjadi karena pada saat dalam kandungan ibu devora terkena virus rubella. Anak tunarungu selanjutnya yaitu rizqy, siswa yang duduk di kelas 5 SD ini memiliki kamampuan mendengar 75 Db, saat ini rizqy menggunakan alat bantu dengar pada kedua telinganya, hal tersebut diharapkan dapat membantu rizqy dalam berkomunikasi di lingkungannya.

(58)

Adapun partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua dari anak yang menyandang tunarungu, sebagai berikut:

a. Orang tua Refiansyah Nama : Ayu

Hubungan : Orang tua kandung Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga b. Orang tua Devora

Nama : Vivi

Hubungan : Orang tua kandung Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga c. Orang tua Rizqy Nur Subhi

Nama : Urayatun Nafsiah Hubungan : Orang tua kandung Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga d. Informan Pendamping

Nama : Euis Andariah

NIP : 19731216 199903 2 001

Pendidikan Terakhir : S1 PLB

(59)

3.6 Analisis Data

Menurut Bogdan (dalam sugiyono, 2008:244), analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Berikut ini penjabaran mengenai analisis data:

a. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya.

b. Penyajian Data

Dalam penelitian kualitatif, data disajikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Yang paling umum digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Penyajian data dilakukan dengan menyederhanakan informasi kompleks ke dalam suatu bentuk yang lebih mudah untuk dipahami.

c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi.

(60)

setelah penelitian menjadi jelas, kesimpulan tersebut berupa hubungan kausal atau interaktif, hipotesis, atau teori (Sugiyono, 2008:253).

(61)

3.7 Lokasi dan Jadwal Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di rumah tempat tinggal kedua subjek penelitan yang diawali dengan prapenelitian di SKH 01 Kota Serang. Peneliti akan mengunjungi rumah dari kedua subjek tersebut secara berkala untuk mengumpulkan data penelitian dengan melakukan observasi dan wawancara. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan januari 2018.

(62)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskrisi Objek Penelitian

Informan pada penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak penyandang tunarungu (tuli) sebanyak 3 orang dan seorang guru yang mengajar di kelas tunarungu. Ketiga orang tua tersebut merupakan orang tua dari anak yang bersekolah di SKH 01 Kota Serang dan seorang guru yang mengajar di sekolah tersebut. Berikut identitasnya:

Informan pertama bernama ibu Ayu, wanita kelahiran 20 September 1980 ini merupakan seorang ibu dari 1 orang anak dan merupakan ibu rumah tangga. Ibu ayu setiap hari selalu meluangkan waktu untuk menunggu anaknya disekolah meski saat ini tengah hamil muda. Anak ibu ayu yang menyandang tunarungu bernama Refiansyah, siswa kelas 2 SMP ini memiliki kemampuan mendengar pada 90 dB.

(63)

Untuk melakukan komunikasi dalam kegiatan sehari-hari dengan refi, ibu ayu menggunakan gerakan tangan dan mulut. Ibu ayu menggunakan bahasa isyarat yang berbeda dengan bahasa isyarat pada umumnya yang digunakan penyandang tunarungu, melainkan bahasa yang ia ciptakan sendiri dirumah dan dimengerti baik oleh ibu ayu maupun refi. Saat melakukan komunikasi menggunakan kata-kata (verbal) ibu ayu sebisa mengkin mengucapkannya dengan gerakan mulut yang sangat perlahan dan diulang-ulang serta tetap diikuti dengan gerakan tangan, hal tersebut dilakukan agar refi tetap mengerti akan pesan yang disampaikan oleh ibunya.

Informan kedua bernama ibu Vivi, merupakan seorang ibu rumah tangga dengan 2 orang anak, anak kedua ibu vivi yang bernama Devora merupakan siswi kelas 3 Sekolah Dasar dengan kemampuan dengar pada 110 dB. Ibu vivi mengaku telat saat menyadari kondisi pendengaran pada anaknya, setelah devora berumur 5 tahun ibu vivi baru memberanikan diri untuk melakukan test BERA pada anakanya.

(64)

Ibu vivi merupakan orang tua yang cukup rajin mencari tau informasi mengenai anak tunarungu, mulai dari mencari melalui internet dan media sosial, menggunakan bahasa tarzan untuk berbicara dengan anaknya, belajar bahasa isyarat menggunakan media youtube, hingga bergabung dengan komunitas orang tua anak penyandang tunarungu. Semua itu dilakukan agar komunikasi yang dijalan dengan anak dapat berjalan dengan baik, sama baiknya saat ia berkomunikasi dengan anak sulungnya. Terkadang ibu vivi tidak membedakan caranya saat berkomunikasi antara anak sulung dan devora, itu dilakukan agar nantinya devora akan terbiasa dengan cara berkomunikasi yang seperti itu.

Informan ketiga bernama ibu Urayatun, ibu dari anak penyandang tunarungu bernama Rizqy Nur Subhan yang duduk di kelas 5 ini merupakan seorang ibu rumah tangga. Ibu urayatun sesekali menunggu disekolah sampai rizqy pulang sekolah, ia juga termasuk orang tua yang aktif menjalin komunikasi dengan guru yang mengajar dikelas anaknya, hal tersebut dilakukan untuk terus memantau perkembangan rizqy di kelas dan menanyakan arti dari bahasa isyarat yang tidak ia pahami saat melakukan komunikasi dengan rizqy menggunakan bahasa isyarat SIBI.

(65)

Menurut ibu urayatun, pada dasarnya anak tunarungu memiliki sensitifitas yang cukup tinggi terhadap apapun yang ada disekitarnya dan memberi respon yang cepat saat ada bergerakan disekitarnya. Hal tersebut yang digunakan oleh ibu urayatun saat akan akan memanggil anaknya dalam frekuensi yang jauh, ia akan melemparkan sesuatu kearah yang dekat dengan rizqy, maka rizqy akan dengan cepat memberikan respon terhadap gerakan itu dengan melihat pada arah datangnya benda tersebut, setelah itu barulah ibu urayatun melambaikan tangannya sebagai tanda meminta anaknya untuk mendekat.

Informan terakhir merupakan key informan dimana beliau berprofesi sebagai seorang guru yang mengajar pada kelas anak tunarungu, guru tersebut bernama ibu Euis Andariah. Ibu euis sendiri merupakan lulusan S1 PLB yang sudah mengajar di SKH 01 Kota Serang dalam waktu yang cukup lama. Dalam menyampaikan materi dikelas, ibu euis menggunakan KOMTAL dimana beliau menggunakan bahasa oral juga bahasa isyarat untuk menyampaikan materi kepada anak tunarungu.

(66)

Untuk anak pada kelas atas sudah mulai di ajarkan bahasa isyarat SIBI, dengan diajarkannya bahasa isyarat SIBI, terkadang membuat orang tua ikut bertanya kepada guru perihal arti dari kalimat yang menggunakan bahasa isyarat SIBI ketika diutarakan oleh anak mereka saat berada dirumah. Hal tersebut mendorong pihak sekolah untuk cepat tanggap dalam setiap pertanyaan yg diajukan oleh orang tua.

4.2 Hasil Penelitian

Penyampaian cara berkomunikasi pada anak penyandang tunarungu atau tuli terbatas pada kemampuan mendengar dan bahasa yang mereka miliki, cara yang digunakan dalam berkomunikasi berbeda dengan anak mendengar. Hal tersebut membuat penyampaian suatu makna perlu komunikasi yang lebih khusus dan ekstra. Pada penelitian ini membahas tentang bagaimana pola komunikasi yang di pakai orang tua saat berkomunikasi dengan anak mereka dalam kehidupan sehari-hari, dimana orang tua tetep harus melakukan komunikasi dengan cara yang sedikit berbeda agar pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh anak.

(67)

Pada teori akomodasi komunikasi di sebutkan bahwa salah satu sifat manusia yaitu terbagi menjadi dua, salah satunya dapat berkonvergensi. Hal tersbut juga di lakukan orang tua untuk dapat melakukan interaksi dengan anak mereka.

Sebenarnya sudah ada bahasa isyarat yang umumnya digunakan untuk berkomunikasi yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BASINDO) dan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI), namun kemampuan orang tua yang kurang dalam memahami bahasa tersebut menjadi kendala yang cukup besar dalam melakukan komunikasi. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman yang dimiliki orang tua mengenai bahasa isyarat, faktor tersebut yang membuat orang tua akhirnya membuat bahasa isyarat sendiri yang dipahami oleh kedua belah pihak untuk melakukan komunikasi.

4.2.1 Penyesuaian Gaya Komunikasi Orang Tua

Pada dasarnya orang tua selalu mengharapkan memiliki hubugan yang baik dengan anak mereka, salah satu cara untuk membangun komunikasi yang baik dengan anak yaitu dengan memiliki hubungan yang baik antara orang tua dan anak. Perbedaan cara komunikasi dengan setiap anak pasti berbeda, hal tersebut yang membuat orang tua melakukan penyesuaian gaya bicara saat melakukan komunikasi dengan anaknya, begitupun yang dilakukan oleh orang tua yang memiliki anak penyandang tunarungu (tuli).

(68)

kekurangan yang mungkin di derita oleh seorang anak adalah pada indera pendengarannya, hal tersebut membuat anak memiliki kendala dalam berkomunikasi. Seperti yang di alami oleh informan pertama (Ibu Ayu):

“Saya taunya tunarungu itu orang yang ga bisa denger, udah sih itu aja. Pertamanya ya ga bisa denger, waktu kecilnya orang lain udah bisa ngomong ini itu, ini mah belum. Terus dipanggil juga susah ga respon gitu. Kalo waktu di tes sih telinga dua-duanya 90 db”

Informan pertama mengatakan bahwa ia mengetahui anaknya mengidap tunarungu karena keterlambatan kemampuan anak dalam berbicara di bandingkan dnegan anak lainnya yang seusianya, serta respon yang kurang pada saat ibu ayu memanggil anaknya. Setelah melakukan pemeriksaan barulah diketahui bahwa anak ibu ayu memiliki kemampuan dengar hanya 90 dB pada kedua telinganya, kemampuan tersebut di kategorikan sebagai profoundly losses dimana anak kehilangan kemampuan mendengar cukup parah dan tidak dapat mendengar percakapan yang dilakukan dalam jarak 1 meter, meskipun sumber suara sudah dikeraskan melebihi suara percakapan yang normal.

Berbeda dengan ibu ayu, informal kedua sedikit terlambat dalam menyadari kekurangan yang dialami anaknya, keterlambatan itu terjadi karena informan kedua selalu mencoba untuk meyakinkan diri sendiri bahwa anaknya merupakan anak yang normal, (Ibu Vivi):

(69)

Barulah saya umur 5 tahun, jadi agak terlambat. Tapi ga da kata terlambat buat terus berjuang gitu, tapi untung mengetahuinya memang agak terlambat”

Ibu vivi baru melakukan test BERA untuk anaknya pada usia 5 tahun, dimana anaknya sudah memasuki sekolah TK, hasil dari test tersebut menunjukan bahwa anaknya memiliki kemapuan dengar pada 110 dB. Kategori tersebut merupakan gangguan penderangan sangat berat, dimana orang tersebut tidak mampu mendengar suara pada kondisi apapun. Informan dua juga menambahkan bahwa salah satu faktor anaknya bisa ngidap tunarungu adalah karena virus rubella yang di idapnya saat hamil, (Ibu Vivi):

“...ini murni karena saya kena virus rubella waktu hamil dia, itupun saya taunya setelah anak saya di vonis begini saya jadi, oh iya saya ngerunut

kebelakang waktu test BERA kan ada ngisi kuesioner untuk ibunya, riwayat hamil, melahirkan, sampe perkembangan anak itu ada riwayatnya. Sampe saya nulis itu saya jadi flashback nginget oh iya ternyata saya waktu hamil tuh begini begini. Baru disitu saya sadar bahwa kayanya virus gitu, jadi baru pertama kali ngadepinnya ya saya jadi belajar lagi lah, belajar dunia baru dan metode baru mendidik anak, karena anak pertama saya kan normal jadi mendidik anak yang kedua ini agak berbeda memang”

Bagi ibu vivi memiliki anak yang menyandang tunarungu menjadi sarana pembelajaran yang baru baginya, ibu vivi jadi mengenal bahasa yang baru dalam berkomunikasi dan mendalami dunia baru untuk mengajarkan anak berbagai pengetahuan, karena cara didik antara anak pertamanya yang normal dengan anak kedua pasti berbeda. Berbeda dengan ibu vivi, informan ketiga ini menyadari gangguan pendengaran pada anaknya di usia 2 tahun (Ibu Urayatun):

(70)

Sama seperti informan pertama. Ibu urayatun menyadari keterlambatan bicara pada anaknya dan respon yang tidak di berikan saat anak berada di sekitar kebisingan. Ibu urayatun yang merupakan seorang ibu rumah tangga cukup merasa khawatir dengan kondisi anaknya pada saat itu sehingga memutuskan untuk membawanya untuk di periksa oleh dokter THT dan menjalani test BERA. Seperti dua informan lainnya, memiliki anak tunarungu juga merupakan pengalaman pertama bagi ibu urayatun, tidak ada gangguan yang dialami selama kehamilan membuat ibu urayatun tidak memiliki firasat apapun akan kondisi anaknya.

Kondisi anak yang seperti ini membuat orang tua melakukan berbagai penyesuaian untuk dapat melakukan komunikasi dengan anaknya tanpa adanya

missunderstanding yang dapat mempersulit penyampaian pesan. Sejalan dengan teori akomodasi, dimana teori ini berpijak pada premis bahwa ketika pembicara berinteraksi, merèka menyesuaikan pembicaraan, pola lokal, dan atau tindak tanduk mereka untuk mengakomodasikan orang lain (Turner, 2008: 217).

Seperti yang disampaikan oleh informan pertama (Ibu Ayu):

“Cara yang sama pake ya beda ya sama anak lain, ya pake isyarat aja, pake gerakan tangan. Tapi bukan bahasa yang kaya disekolah ya, saya bikin sendiri aja yang penting anaknya ngerti”

(71)

agar pesan yang disampaikan dapat diterima, begitupun yang dilakukan oleh ibu ayu.

Sama seperti ibu ayu, informan kedua juga melakukan hal sama dalam menyesuaikan cara berkomunikasi dengan anaknya (Ibu Vivi):

“Berkomunikasinya pake bahasa tarzan ya, karena dia sempet pake alat bantu dengar, setelah di test 2 bulan kemudian beli alat bantu dengar, tapi memang perlu penyesuaian karena anaknya memang sudah besar, sudah bisa bilang “engga mau” sudah bisa menolak jadi butuh perjuangan juga supaya dia mau pake alat bantu dengar. Sempet terapi bicara juga, dia sudah ada beberapa kata-kata yang dia bisa ucap, tapi untuk perintah atau keinginan dia, dia lebih banyak menggunakan bahas isyarat sendiri, gitu. Sama-sama ngerti lah bahasa ibu, insting ibu aja, tapi beberapa kata ada yang sudah dia bisa ucap

sebenernya”

Informan kedua melakukan penyesuaian dengan menggunakan bahasa tarzan, dimana bahasa tarzan merupakan bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang berlainan bahasanya dan tidak mudah saling mengerti, di campur gerak isyarat. Penggunaan bahasa tarzan ini sesuai dengan teori akomodasi komunikasi dimana penyesuaian gaya komunikasi dilakukan oleh kedua pembicara. Ibu vivi sebisa mungkin membujuk anaknya untuk mau menggunakan alat bantu dengar guna membuat komunikasi yang dilakukan lebih mudah dan lebih cepat dipahami oleh anak.

Gambar

Gambar 2.3.2.3
Gambar 2.5 Kerangka Berpikir
Tabel 3.7 Jadwal Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Secara sederhana penilaian hasil belajar berbasis Higher Order Thinking Skills, merupakan instrumen pengukuran yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir

Untuk itu, dalam menilai keberhasilan pelaksanaan kinerja organisasi dilaporkan beberapa indikator kinerja sebagai kriteria keberhasilan kinerja suatu organisasi,

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan pelayanan prima administrasi kependudukan di Kecamatan Cinambo Kota Bandung (1) Ukuran dan tujuan

In this paper is focused on the manufacture of pneumatic systems and processes to obtained the rotation and voltage with aluminum for piston tube material, buoys made of

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui tingkat dukungan sosial dalam mengerjakan skripsi pada mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) NU

The research is focused on the development a tool for converting IOTNE into IOTED and apply the tool to obtain EDM in the Indonesian industrial sector based on the 2008

ïò Ì·²¶¿«¿² ¬»²¬¿²¹ Þ¿²µ л®µ®»¼·¬¿² ﵧ¿¬ òòòòòòòòòòòòòòòòòòòò ïê. ¿ò л²¹»®¬·¿²

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan berupa sistem pengirim pesan memo yang ditambahkan algoritma kriptografi RSA-CRT sebagai pengaman isi memo. Sistem ini sendiri