BAB II KAJIAN TEORI
B. Hakekat Anak Tunarungu
4. Perkembangan Anak Tunarungu
Tahap perkembangan adalah suatu fase yang pasti dialami oleh
setiap individu. Fase yang dialami setiap individu pastinya sama hanya
waktunya yang berbeda, terkhusus untuk anak berkebutuhan khusus.
a. Perkebangan Fisik
Perkembangan fisik merupakan tahap perkebangan yang terkait
dengan perubahan fisik seorang anak. Menurut Santrock (2012)
perkembangan fisik seorang anak dibagi menjadi:
1) Tubuh
Umumnya, seorang anak pada usia 6-12 tahun mengalami
perkembangan tinggi badan sebanyak 5-7,6 cm setiap tahunnya.
Perkembangan lainnya, yaitu berat badan. Berat badan anak-anak
2) Otak
Volume otak anak-anak sudah lebih stabil dibandingkan
dengan masa perkembangan sebelumnya Perkembangan otak juga
menjadi lebih cepat, terutama pada variasi struktur dan area otak.
Salah satu area otak yang berkembang adalah korteks prefrontal.
Perubahan signifikan yang terjadi pada area ini berkaitan dengan
kontrol kognitif. Kontrol kognitif inilah yang berperan untuk
mengontrol perhatian, mengurangi pikiran-pikiran yang
mengganggu atau tercampur aduk, menghambat gerakan motorik,
dan fleksibel dalam menentukan pilihan yang berlawanan (Munkata
dalam Santrock, 2012).
b. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik anak-anak semakin berkembang yang
ditandai dengan semakin baiknya koordinasi gerak yang mereka
lakukan. Perkembangan motorik dibagi menjadi dua, yaitu motorik
kasar dan motorik halus. Motorik kasar lebih melibatkan otot-otot besar
pada anak-anak, sehingga motorik kasar anak laki-laki lebih unggul
daripada anak perempuan. Sebaliknya, perkembangan motorik halus
anak perempuan lebih unggil dibandingan dengan anak laki-laki
(Santrock, 2012).
1) Perkembangan Motorik Anak Tunarungu
Perkembangan motorik anak tunarungu memiliki perbedaan dengan ‘anak dengar’. Menurut Ghesyen, Loots, dan Waelvelde
26
(dalam Lelyana, 2017) anak tunarungu memiliki kekurangan dalam
keseimbangan, koordinasi dinamis umum (general dynamic
coordination), kemampuan visual-motor, kemampuan menangkap bola, dan perbedaan yang jelas pada kecepatan perpindahan.
Hal yang menyebabakan anak tunarungu mengalami
keterlambatan, yaitu gangguan saraf, disfungsi pendengaran,
kekurangan rasa percaya diri, perlindungan dari orang tua yang
berlebihan atau pengabaian orang tua sehingga anak tunarungu
kekurangan rasa ingin tahu untuk mengeskplore lingkungannya.
2) Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif merupakan suatu perkembangan
pikiran yang disadari oleh seseorang. Intelegensi merupakan sebuah
kemampuan untuk mengatasi masalah, beradaptasi, dan belajar dari
suatu pengalaman (Santrock, 2012). Perkembangan intelegensi anak
tunarungu sangat dipengaruhi oleh perkembangan bahasanya.
Kerendahan tingkat intelegensi anak tunarungu bukan karena
kemampuan potensial yang rendah, namun pada umumnya karena
intelegensinya tidak mendapat kesempatan berkembang secara
optimal (Suparno, 2001).
Pada dasarnya anak tunarungu memiliki itelegensi yang
sama dengan anak dengar (Furth dalam Lelyana, 2017). Hambatan
itelegensi yang terjadi pada anak tunarungu disebabkan oleh
menghubungkan atau menarik sebuah kesimpulan (Somantri, dalam
Lelyana 2017). Hambatan tersebut membuat anak tunarungu sering
dilabel bodoh. Hal ini disebabkan itelegensi sering dikaitkan dengan
pencapaian akademik seorang anak.
3) Perkembangan Bahasa
Menurut Marscharck & Spencer (dalam Lelyana, 2017) anak
tunarungu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar
berbahasa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang dimilikinya.
Anak tunarungu mengalami keterlambatan berbicara juga kesulitan
untuk mengungkapkan emosi mereka secara verbal.
Anak tunarungu yang mengalami gangguan pendengaran
sejak lahir, fase perkembangan mereka terhambat pada fase
babbling. Fase ini merupakan fase seorang anak mulai untuk mencoba merespon suaranya sendiri. Hal ini terhambat atau terhenti
karena anak tunarungu tidak mampu untuk mendengar umpan balik
dari suaranya sendiri maupun orang lain.
Menurut Suparno (2001) pola perkembangan bahasa untuk
anak tunatungu secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Pada awal masa meraban tidak terjadi hambatan pada mereka,
karena meraban merupakan kegiatan ilmiah motorik dari
pernapasan dan pita suara. Pada akhir masa meraban, mulai
terjadi perbedaan perkembangan antara anak tunarungu dan
28
adanya kenikmatan dalam meraban, karena dapat mendengarkan
adanya suara-suara yang keluar dari mulutnya. Sebaliknya,
untuk anak-anak tunarungu hal-hal seperti itu tidak dapat
dilakukan, karena adanya hambatan pendengaran. Dengan
demikian, perkembangan bahasa anak tunarungu umumnya
berhenti pada tahap meraban.
b) Pada tahap meniru, anak tunarungu terbatas pada peniruan
bahasa secara visual (pengelihatan), yaitu melalui gerak-gerik
dan isyarat. Sedangkan peniruan bahasa melalui pendengaran
(audutif) umumnya tidak dapat dilakukan. Bagi anak tunarungu,
bahasa isyarat merupakan bahasa ibu, sementara bahasa lisan
merupakan bahasa yang asing bagi dirinya. Di dalam kondisi
yang demikian, perkembangan bahasa anak-anak tunarungu
pada tahap berikutnya sangat memerlukan bimbingan khusus,
sesuai dengan derajat ketunaan dan kemampuannya
masing-masing.
Menurut Denmark (dalam Lelyana, 2017) anak tunarungu
memiliki hambatan untuk belajar bahasa secara verbal karena
mereka tidak mampu untuk mendengar ucapan mereka sendiri
maupun orang lain. Hal ini menjadi salah satu cara seorang anak
belajar untuk berbicara dan mulai mengenal bahasa. Keterbatasan
mengandalkan indera yang lainnya untuk belajar bahasa agar bisa
berinteraksi dengan orang lain.
4) Perkembangan Sosio-Emosi
Menurut Marscharck & Spencer (dalam Lelyana, 2017)
Perkembangan sosio-emosi merupakan tahap kritis dan mendasar
untuk mencapai kesuksesan kehidupan.
Sosio-emosi mampu untuk membantu seseorang untuk
menyadari potensi diri yang dimiliki dan mencakup kemampuan
serta kemauan untuk mempertimbangkan berbagai sudut pandang
dalam melihat suatu realita. Menurut Santrock (2012) hal ini disebut
dengan perspective taking dimana seorang anak memiliki
kemampuan untuk memahami perspektif, pikiran, dan perasaan
orang lain. Disfungsi pendengaran yang dimiliki oleh anak
tunarungu menjadi hambatan mereka untuk bisa memahami adanya
perbedaan perspektif dari orang lain. Anak tunarungu yang berada
pada masa tengah dan akhir anak-anak masih memiliki egosentrisme yang tinggi dibandingkan dengan ‘anak dengar’.
Menurut Gunawan (2016) ketunarunguan dapat
mengakibatkan anak terasing dari pergaulan temannya sehari-hari,
keadaan ini menghambat kepribadian anak. Akibat dari keterasingan
tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif, sepert:
a) Egosentrisme yang melebihi anak normal.
30
c) Ketergantungan terhadap orang lain.
d) Perhatian mereka lebih sukar untuk dialihkan.
e) Memiliki sifat yang polos, sederhana, dan tidak banyak masalah.
f) Lebih mudah marah dan cepat tersinggung.
Anak tunarungu yang memiliki keterlambatan dalam
perkembangan sosio-emosi mereka jelas memberikan dampak
tersendiri bagi interaksi sosial mereka. Mereka mengalami kesulitan
untuk berinteraksi dengan teman sebayanya, baik yang mendengar
maupun sesama yang tunarungu.
C. Hakekat SLB Pangudi Luhur, Jakarta Barat