• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPUASAN PERKAWINAN PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTISME SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KEPUASAN PERKAWINAN PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK AUTISME SKRIPSI"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

KEPUASAN PERKAWINAN PADA ORANG TUA

YANG MEMILIKI ANAK AUTISME

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Ida Ayu Made Gita Prati Sanjiwani Putra 149114042

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

KEPUASAN PERKAWINAN PADA ORANG TUA

YANG MEMILIKI ANAK AUTISME

Disusun oleh:

Ida Ayu Made Gita Prati Sanjiwani Putra 149114042

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

Tanggal:

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

KEPUASAN PERKAWINAN PADA ORANG TUA

YANG MEMILIKI ANAK AUTISME

Dipersiapkan dan disusun oleh: Ida Ayu Made Gita Prati Sanjiwani Putra

149114042

Telah dipertanggungjawabkan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 21 Januari 2019

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji:

Nama Lengkap Tanda Tangan

1. Penguji 1: Prof. A. Supratiknya, Ph.D. ...

2. Penguji 2: Dr. Tjipto Susana, M.Si. ...

3. Penguji 3: Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si. ...

Yogyakarta, Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,

(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Modal dasar meneliti adalah “teliti”

(A.Supratiknya)

“Studi itu belajar, belajar itu berproses, berproses itu kesediaan untuk dibentuk, dan bersedia dibentuk itu harus ikhlas, jadi tidak boleh memberontak.”

(PS 2)

Kesadaran adalah matahari,

Kesabaran adalah bumi,

Keberanian adalah cakrawala, dan

Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

~ W. S. Rendra ~

Bukan maut yang menggetarkan hatiku, tetapi hidup yang tidak hidup karena

kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya.

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini secara khusus saya persembahkan untuk:

Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan untuk menikmati keajaiban-keajaiban dalam kehidupan, serta memberkati dan memberi kekuatan

dalam setiap langkah saya

Ajik dan ibu yang luar biasa hebat, serta mbokgek dan adik tersayang yang memberikan dukungan dan doa tiada henti, serta selalu menjadi tempat ternyaman

untuk “pulang”

Dosen pembimbing yang tidak pernah lelah memberikan arahan dan bimbingan

Para sahabat dan teman sebagai keluarga kedua atas segala partisipasi dalam dinamika kehidupan saya

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah menjadi “rumah kedua”

(6)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 21 Januari 2019 Penulis

(7)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Ida Ayu Made Gita Prati Sanjiwani Putra

NIM : 149114042

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KEPUASAN PERKAWINAN PADA ORANG TUA

YANG MEMILIKI ANAK AUTISME

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 21 Januari 2019

Yang menyatakan,

(8)

viii

KEPUASAN PERKAWINANPADA ORANG TUA

YANG MEMILIKI ANAK AUTISME

Ida Ayu Made Gita Prati Sanjiwani Putra

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman mengenai kepuasan perkawinan secara utuh dan menyeluruh pada orang tua yang memiliki anak autisme.Partisipan dalam penelitian ini adalah 6 orang tua dengan taraf pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA), tinggal di wilayah Yogyakarta, dan memiliki satu anak autisme.Metode yang digunakan dalam pengambilan data adalah wawancara semi terstruktur.Analisis data dilakukan menggunakan metode Analisis Isi Kualitatif (AIK) dengan pendekatan deduktif.Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat dari enam orang tua yang memiliki anak autisme dapat dikatakan puas terhadap kehidupan perkawinannya.Hal ini ditunjukkan oleh ungkapan perasaan positif berupa senang, bahagia, dan puas berkaitan dengan aspek-aspek kepuasan perkawinan, serta terdapat peningkatan kehidupan beragama pada aspek orientasi keagamaan yang dirasakan oleh seluruh partisipan.Meskipun demikian, terdapat aspek yang relatif paling berpotensi mengalami permasalahan, yaitu aspek komunikasi serta aspek anak-anak dan pengasuhan.

(9)

ix

MARITAL SATISFACTION ON PARENTS WHO HAVE CHILDREN WITH AUTISM

Ida Ayu Made Gita Prati Sanjiwani Putra

ABSTRACT

This study aimed to gain an understanding of marital satisfaction as a whole and thoroughly in parents who have children with autism. The participants in this study were 6 parents with a minimum level of education in high school, living in the Yogyakarta area, and having one child with autism. The method used in data collection is a semi-structured interview. Data analysis was performed using the qualitative content analysis with deductive approach. The results showed that four of six parents who have children with autism can be said to be satisfied with their marital life. This is indicated by the expression of positive feelings like pleasure, happiness, and satisfaction related to aspects of marital satisfaction, and there is an increase in religious life in the aspect of religious orientation. Nevertheless, there are aspects that are relatively the most potential to experience problems, namely the communication aspects and aspects of children and parenting.

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan segala kenikmatan dalam berproses. Berbagai tantangan menghampiri penulis agar tetap teguh untuk berjuang dan mendapatkan pelajaran sebagai pengembangan diri. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucap syukur dan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

1. Tuhan Yang Maha Esa atas segala proses berharga dalam hidup penulis dan berkat di setiap langkah penulis.

2. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Romo Dr. A. Priyono Marwan, S. J. dan Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan motivasi dan dukungan selama menjalani proses perkuliahan.

4. Bapak Prof. A. Supratiknya, Ph.D., selaku Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus orang tua yang selalu mendidik, serta memberikan dukungan dan arahan kepada penulis dengan penuh kesabaran. Terima kasih sudah memberikan kekuatan untuk terus berproses dalam segala situasi, sehingga penulis bisa menunjukkan kemampuan terbaik selama berjuang dan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Semoga Bapak sehat selalu dan dilimpahkan berkat oleh Tuhan yang Maha Esa.

(11)

xi

6. Bapak Prof. A. Supratiknya, Ph.D., Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si., dan Ibu Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si., selaku dosen penguji yang telah membantu menyempurnakan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman yang sangat bermanfaat kepada penulis selama proses perkuliahan.

8. Staf karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, khususnya Mas Gandung, Mas Sidiq, Bu Nanik, dan Mas Muji yang selalu membantu penulis dengan keramahan terkait berbagai hal selama perkuliahan.

9. Para orang tua yang dengan ketulusan hati bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini dan rela menjalani proses wawancara. Tanpa beliau-beliau, maka skripsi ini tidak dapat terselesaikan.

10. Ratu Kakiang yang selalu hadir di setiap duka dan titik terendah hidup penulis dengan senyuman yang menyejukkan dan memberikan energi yang luar biasa.

11. Ratu Niang, Ninik, Pekak, dan kedua orang tua penulis tercinta (DS. Putra dan Ibu kesabaran) yang selalu setia memberikan doa dan semangat, serta segala pengertian, perhatian, kasih sayang, dan dukungan dalam berbagai bentuk. Semoga Niang, Ninik, Pekak, Ajik, dan Ibu selalu dilindungi Sang Hyang Widhi Wasa, diberi kesehatan dan kebahagiaan, dijauhkan dari mara bahaya, dan selalu harmonis.

12. Satu-satunya kakak dan adik penulis yang selalu sabar menghadapi tingkah laku penulis, serta selalu memberikan doa dan dukungan yang tulus. I Love You more than you know. Sukses untuk kita!

13. Seseorang yang pernah hadir dalam kehidupan penulis dan selalu setia menemani dalam suka dan duka, mendengar setiap keluh kesah penulis, meluangkan waktu, memberikan hal-hal spontan yang membuat bahagia dan nyaman, serta nasihat-nasihat yang menenangkan. Tuhan memberkati setiap langkahmu.

(12)

xii

15. My cuy yang setia membantu dan menemani penulis saat mulai putus asa mengurus segala kebutuhan untuk mencari partisipan.

16. Saudara tak sekandung Anggun dan Dian yang masih setia di samping penulis, tidak pernah berubah meskipun jarak memisahkan, serta tetap saling mendukung dan mendoakan. Sukses untuk kita! Sampai jumpa dengan segudang cerita.

17. Lia dan Fuji yang selalu ada di saat suka dan duka selama menjadi perantau di kota Jogja yang penuh kenangan. Terima kasih telah bertahan dengan penulis yang tak luput dari berbagai kekurangan dan keterbatasan. Keberadaan dan dukungan kalian sungguh berarti. Semoga kita tetap bertahan meski akan terpisah oleh jarak. God bless you sisters.

18. Rani dan Deo yang telah memberi warna dalam kehidupan penulis. Terima kasih atas canda, tawa, dan air mata yang akan selalu terkenang.

19. Teman-teman kelas E (the one and only kelas E sepanjang sejarah sampai saat ini) yang berdinamika bersama selama 6 semester. Panitia KPU Fakultas Psikologi 2014, Class Meeting 2015, Psychotour 2016, dan Seminar Bedah Skripsi 2016. Teman-teman Puspa Paingan 2015, Volunteer Pendampingan Anak 2016-2017, PKM-M 2017 “LELUCON”, KKN LV Kelompok 64, dan Asisten Penelitian Bu Agnes. Keluarga baru DPMF Psikologi 2014-2015, BEMF Psikologi 2015-2016, dan DPMF Psikologi 2017.

20. Komisi A-ku tersayang (Kak Mitha) yang merangkap menjadi kakak perempuan yang sangat mengayomi; PSDM-ku tercinta (Linda, Rosi, dan Egi) yang membantu proses penulis untuk keluar dari zona nyaman dan berjuang di tengah badai; DPMF-ku (Kevin, Teguh, Dito, Ima, Hannah, Tika, Pev, Pipin, Sita, Rio, Lydia, Dian, Erick, Risty, Dhana, Bambang, dan Novi) yang tetap setia bersama penulis dalam proses belajar menjadi pemimpin dan manusia.

(13)

xiii

menerima dan bersabar dengan penulis. Terima kasih atas pengertian dan kesediaan kalian untuk berproses bersama. Sukses untuk kalian!

22. “Anak-anak profesor” yang telah meluangkan waktu untuk saling membantu, bertukar pikiran, dan memberi semangat. Ayo terus berjuang! Sukses untuk kita semua.

23. Dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu karena segala keterbatasan penulis. Terima kasih sudah memberikan warna dalam hidup penulis. Semoga selalu diberkati Tuhan Yang Maha Segalanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis. Akhir kata semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 21 Januari 2019 Penulis,

(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR GAMBAR ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

(15)

xv B. KEPUASAN PERKAWINAN

1. Pengertian Kepuasan Perkawinan ... 11

2. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan ... 11

a. Permasalahan-permasalahan Kepribadian ... 12

b. Kesamaan Peran ... 12

c. Komunikasi ... 12

d. Pemecahan Masalah ... 12

e. Manajemen Keuangan ... 12

f. Aktivitas dalam Mengisi Waktu Luang ... 13

g. Hubungan Seksual ... 13

h. Anak-anak dan Pengasuhan ... 13

i. Keluarga dan Teman-teman ... 13

j. Orientasi Keagamaan ... 14

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Perkawinan ... 14

C. AUTISME 1. Pengertian Autisme ... 15

2. Karakteristik Penderita Autisme ... 15

3. Beban Orang tua dengan Anak Autisme dan Kepuasan Perkawinan 16 D. KERANGKA KONSEPTUAL ... 20

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Desain Penelitian... 24

B. Fokus Penelitian ... 25

(16)

xvi

D. Peran Peneliti ... 26

E. Metode Pengambilan Data ... 28

F. Analisis dan Interpretasi Data ... 32

G. Kredibilitas Data ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 35

B. Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara ... 35

C. Hasil Penelitian ... 43

1. Permasalahan-permasalahan Kepribadian ... 44

2. Kesamaan Peran ... 47

3. Komunikasi ... 49

4. Pemecahan Masalah ... 52

5. Manajemen Keuangan ... 54

6. Aktivitas dalam Mengisi Waktu Luang ... 55

7. Hubungan Seksual ... 57

8. Anak-anak dan Pengasuhan ... 59

9. Keluarga dan Teman-teman ... 61

10.Orientasi Keagamaan ... 64

D. Pembahasan ... 65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 70

(17)

xvii C. Saran

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 71

2. Bagi Praktisi Psikologi ... 72

3. Bagi Orang Tua yang Memiliki Anak Autisme ... 72

(18)

xviii

DAFTAR TABEL

(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Seorang laki-laki dan perempuan yang memutuskan untuk menikah dan membangun sebuah keluarga memiliki harapan yang ingin dicapai dalam perkawinannya. Terpenuhinya harapan-harapan dalam perkawinan dapat menimbulkan perasaan senang, bahagia, dan puas. Hal ini biasa dikenal dengan istilah kepuasan perkawinan. Spanier dan Cole (1976) mengungkapkan bahwa kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif yang dilakukan oleh seseorang terhadap pasangan, perkawinan, dan hubungan yang terjalin dengan pasangannya. Menurut Fowers dan Olson (1989), aspek-aspek kepuasan perkawinan terdiri dari kepuasan terhadap perilaku dan kepribadian pasangan, perasaan dan sikap dalam menjalankan berbagai peran dalam keluarga dan perkawinan, komunikasi dengan pasangan, pemecahan masalah, manajemen keuangan, aktivitas dalam mengisi waktu luang, hubungan seksual, kehadiran anak dan pengasuhan, keluarga dan teman-teman, serta orientasi keagamaan.

(21)

1993). Hal ini ditandai antara lain dengan adanya ketergantungan yang berlebihan terhadap pasangan, hambatan dalam menjalin komunikasi, menarik diri, memiliki perasaan benci dan marah, konflik, serta perasaan negatif yang cenderung kuat (Coyne, 1984).

Hendrick dan Hendrick (1992) mengungkapkan bahwa kepuasan perkawinan dapat dipengaruhi oleh faktor premarital dan postmarital. Faktor premarital terdiri dari latar belakang ekonomi, pendidikan, dan hubungan dengan

orang tua. Latar belakang ekonomi menunjukkan status ekonomi pasangan yang apabila dirasakan tidak sesuai dengan harapan dapat menimbulkan konflik dan membahayakan hubungan perkawinan. Pendidikan yang dimiliki pasangan juga dapat memengaruhi kepuasan perkawinan karena pasangan yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah dapat mengakibatkan tingkat kepuasan perkawinan yang lebih rendah karena lebih banyak mengalami stressor seperti pengangguran dan penghasilan yang rendah. Hubungan dengan orang tua dapat memengaruhi sikap terhadap romantisme, perkawinan, dan perceraian.

(22)

perawatan khusus seperti anak berkebutuhan khusus. Kehadiran anak memiliki pengaruh yang besar terhadap kepuasan perkawinan pada orang tua karena dapat menambah stres yang dirasakan dan mengurangi waktu bersama pasangan.

Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki kelainan atau penyimpangan dari kondisi anak normal pada umumnya baik secara fisik, mental, intelektual, sosial, maupun emosional (Soetjiningsih, 2010). Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, sebanyak 0,53% anak-anak rentang usia 24 sampai dengan 59 bulan umumnya mengalami keterbatasan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma dengan kecenderungan keterbatasan tertinggi adalah keterbatasan penglihatan atau tuna netra dengan persentase sebesar 0,17%, dan kecenderungan terendah adalah keterbatasan pendengaran atau tuna runggu dengan persentase sebesar 0,07% (Infodatin, 2014).

(23)

menemukan bahwa pada tahun 2006 terdapat 1 persen atau 40.000 anak-anak usia 8 tahun di Amerika Serikat yang memenuhi kriteria Autism Spectrum Disorder (ASD). Menurut Sastry dan Aguirre (2014), CDC mengestimasi 1 dari 110 anak di Amerika Serikat dapat mengalami ASD dan para ahli mengungkapkan prediksi yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penderita ASD mengalami peningkatan.

Orang tua akan mengalami kesedihan dan kebingungan setelah mengetahui bahwa anaknya menderita autisme. Reaksi pertama yang muncul adalah pertanyaan “kenapa saya?” yang disertai dengan perasaan marah, geram, kecewa,

(24)

pengurangan energi untuk memelihara hubungan dengan pasangan (Glenn & Weaver dalam Kail & Cavanaugh, 2000). Hal ini menyebabkan adanya tekanan dan berbagai permasalahan dalam perkawinan, sedangkan orang tua memiliki peran penting dalam merawat dan menentukan penanganan yang tepat untuk anak dengan autisme. Orang tua yang memiliki anak autisme juga cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih rendah dalam hubungan mereka (Sastry & Aguirre, 2014). Menurut Siegel (dalam Cohen & Volkmar, 1997), keretakan dalam rumah tangga sering dipengaruhi oleh munculnya perasaan bersalah, kurangnya penerimaan, perilaku saling menyalahkan satu sama lain, dan perbedaan pandangan dalam merawat anak autisme. Permasalahan-permasalahan perkawinan yang lain terkait dengan pembagian pekerjaan dalam rumah tangga dan penyangkalan pasangan terhadap diagnosis yang diberikan kepada anak (IAN, 2009 dalam Sastry & Aguirre, 2014).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti meyakini bahwa orang tua mengalami perasaan negatif dan kegalauan setelah mengetahui bahwa anaknya menderita gangguan autis. Peran baru untuk merawat anak berdampak pada berkurangnya waktu dan energi yang dimiliki oleh orang tua untuk memelihara hubungan mereka, sehingga dapat menimbulkan permasalahan dalam perkawinan dan memengaruhi tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap hubungan yang dijalani. Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kepuasan perkawinan pada orang tua yang memiliki anak autisme?

(25)

yaitu religiusitas (Istiqomah & Mukhlis, 2015) dan kelekatan (Soraiya, Khairani, Rachmatan, Sari & Sulistyani 2016). Penelitian-penelitian tersebut melibatkan sejumlah laki-laki dan perempuan sebagai subjek penelitian dan menunjukkan bahwa kepuasan perkawinan berkorelasi positif terhadap religiusitas (Istiqomah & Mukhlis, 2015) dan kelekatan aman (Soraiya dkk, 2016). Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah kuantitatif dengan instrumen pengumpulan data berupa skala Enrich Marital Satisfaction (EMS) yang dikembangkan oleh Fowers dan Olson (Istiqomah & Mukhlis, 2015; Soraiya dkk, 2016).

Meski demikian, ada pula penelitian yang tidak mengaitkan kepuasan perkawinan dengan aspek lain. Penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2012) menemukan bahwa kepuasan perkawinan dipengaruhi oleh terpenuhi atau tidaknya aspek-aspek kepuasan perkawinan dan hal tersebut berkaitan dengan dukungan yang diberikan oleh suami dalam membantu perekonomian dan pengerjaan tugas rumah tangga. Habibi (2015) menggali tentang kepuasan perkawinan pada wanita yang dijodohkan dan menunjukkan bahwa terpenuhinya aspek-aspek dalam perkawinan dapat menimbulkan kepuasan perkawinan. Peneliti melibatkan tiga orang wanita sebagai subjek penelitian dengan jenis penelitian kualitatif dan metode wawancara untuk mengumpulkan data.

(26)

prediktor penting dalam pengalaman mengasuh anak, khususnya pada ayah. Penelitian lain menunjukkan bahwa ayah dan ibu tidak memiliki tingkat stres dan depresi yang berbeda, namun ibu memiliki kecemasan yang lebih banyak dibandingkan ayah (Hastings, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Pradana dan Kustanti (2017) menunjukkan bahwa seorang ibu yang memiliki anak autisme akan memiliki psychological well-being yang tinggi ketika memperoleh dukungan sosial yang tinggi dari suaminya, namun penelitian lain menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam perawatan langsung terhadap anak berkebutuhan khusus cenderung berkurang sehingga memengaruhi kepuasan hubungan yang terjalin di antara orang tua (Bristol, Gallagher, & Schopler, 1988; Brobst, Clopton, & Hendrick, 2009; Lee el al, 2008).

(27)

perkawinan pada orang tua. Peneliti dalam penelitian tersebut menerapkan studi longitudinal dalam penelitiannya.

Berikut ini adalah uraian defisiensi atau celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai topik kepuasan perkawinan pada orang tua yang memiliki anak autisme. Dari segi variabel yang diteliti, penelitian sebelumnya menghubungkan kepuasan perkawinan dengan variabel atau aspek psikologis lain dan beberapa penelitian cenderung berfokus pada pemberian terapi. Penelitian-penelitian yang khususnya dilakukan di Indonesia juga kurang berfokus pada kepuasan perkawinan orang tua yang memiliki anak autisme. Penelitian lain memberikan penekanan pada adanya permasalahan dalam perkawinan dan tingkat perceraian yang terjadi. Dari segi metode, penelitian sebelumnya menggunakan jenis penelitian kuantitatif dan instrumen berupa skala untuk mengukur kepuasan perkawinan, serta beberapa penelitian menggunakan metode eksperimen. Penelitian-penelitian yang khususnya dilakukan di Indonesia, menggunakan metode wawancara dengan melibatkan subjek penelitian yang belum berfokus pada orang tua yang memiliki anak autisme.

(28)

dilakukan dengan metode wawancara semi terstruktur pada masing-masing partisipan dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi kualitatif.

B.Pertanyaan Penelitian

Bagaimana kepuasan perkawinan pada orang tua yang memiliki anak autisme?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah memperoleh pemahaman mengenai kepuasan perkawinan secara utuh dan menyeluruh pada orang tua yang memiliki anak autisme.

D.Manfaat Penelitian

(29)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Perkawinan

Perkawinan merupakan hubungan mutual antara seorang laki-laki dan perempuan yang diakui dan diatur oleh suatu institusi secara sosial dan legal, sehingga memungkinkan dilakukannya hubungan seksual, pembagian peran antara suami dan istri, serta pembagian tugas pengasuhan anak dengan tujuan membentuk serta membina sebuah keluarga (Duvall-Miller, 1985; Levinson, 1995). Undang-undang No. I tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir dan batin yang terjalin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hubungan tersebut melibatkan peran dan tanggung jawab pasangan suami istri yang di dalamnya terdapat keintiman, komitmen, persahabatan, cinta dan kasih sayang (afeksi), pemenuhan kebutuhan seksual, serta kesempatan untuk pengembangan emosional sebagai sumber baru bagi identitas dan harga diri (Gardiner & Kosmitzki, 2005; Myers, 2000).

(30)

B.Kepuasan Perkawinan

1. Pengertian Kepuasan Perkawinan

Kepuasan perkawinan merupakan evaluasi subjektif yang dilakukan oleh suami atau istri atas kualitas hubungan dalam kehidupan perkawinan berdasarkan perasaan senang, bahagia, dan puas (Bird & Melville, 1994). Hal ini terkait dengan pengalaman menyenangkan yang dilalui bersama pasangan dengan mempertimbangkan aspek-aspek dalam perkawinan, khususnya yang berhubungan dengan pasangan (Fower & Olson, 1993). Menurut Bradbury, Fincham, dan Beach (2000), kepuasan perkawinan merupakan suatu kondisi mental yang mencerminkan persepsi individu mengenai kelebihan dan kekurangan perkawinannya, sehingga individu akan merasa puas ketika mendapatkan manfaat dari perkawinan dan begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan perkawinan adalah evaluasi subjektif yang dilakukan oleh individu berkenaan dengan perasaan positif berupa bahagia, puas, dan senang yang dirasakan terkait seluruh aspek dalam perkawinan untuk menggambarkan kekurangan dan kelebihan yang ada di dalam kehidupan perkawinan yang dijalani.

2. Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan

(31)

a. Permasalahan-permasalahan kepribadian

Aspek ini melihat persepsi individu mengenai pasangannya terkait permasalahan-permasalahan perilaku dan tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap permasalahan-permasalahan tersebut.

b. Kesamaan peran

Aspek ini menilai perasaan senang dan kesediaan individu dalam menjalankan peran yang beragam dalam kehidupan perkawinan dan keluarga yang berfokus pada pekerjaan, tugas rumah tangga, peran sesuai dengan jenis kelamin, dan peran sebagai orang tua.

c. Komunikasi

Aspek ini berkaitan dengan perasaan senang dan sikap individu terhadap komunikasi di dalam hubungannya dengan pasangan yang berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan dalam membagi dan menerima informasi secara emosional dan kognitif kepada pasangan.

d. Pemecahan masalah

Aspek ini menilai persepsi individu mengenai keberadaan permasalahan dan penyelesaian masalah yang ada di dalam hubungannya bersama pasangan yang berfokus pada keterbukaan untuk mengenali dan menyelesaikan masalah, serta strategi yang digunakan untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi bersama pasangan.

e. Manajemen keuangan

(32)

pola pengeluaran dan kepedulian terhadap pengambilan keputusan terkait keuangan.

f. Aktivitas dalam mengisi waktu luang

Aspek ini berfokus pada kecenderungan individu untuk mengisi waktu luang bersama pasangan dan harapan-harapan untuk mengisi waktu luang sebagai pasangan.

g. Hubungan seksual

Aspek ini menilai perasaan senang yang dirasakan oleh individu terkait afeksional dan hubungan seksual dalam kehidupan perkawinan yang mencerminkan sikap terhadap permasalahan seksual, perilaku seksual, kontrol terhadap kelahiran, dan kesetiaan seksual.

h. Anak-anak dan pengasuhan

Aspek ini menilai perasaan senang dan sikap individu terkait kehadiran anak dan pengasuhan terhadap anak yang berfokus pada keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita untuk anak, dan pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan.

i. Keluarga dan teman-teman

(33)

j. Orientasi keagamaan

Aspek ini menilai makna keyakinan beragama bagi individu dan praktik keagamaan di dalam kehidupan perkawinan.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kepuasan Perkawinan

(34)

C.Autisme

1. Pengertian Autisme

Istilah Autisme pertama kali ditemukan pada tahun 1943 oleh Leo Kanner dan dideskripsikan sebagai sebuah gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan individu untuk berinteraksi dengan orang lain, adanya gangguan dalam berbahasa yang ditunjukkan oleh tertundanya penguasaan bahasa, echolalia, mutism, dan pembalikan kalimat, adanya kegiatan bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat, serta memiliki keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007). Anak yang mengalami gangguan autis biasanya memiliki penampilan dan pertumbuhan fisik yang normal seperti anak-anak pada umumya, bahkan beberapa memiliki kemampuan dan keterampilan yang unik meskipun mengalami gangguan perkembangan kompleks terkait komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi yang gejalanya mulai tampak pada tiga tahun pertama (Suryana, 2004).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan gangguan perkembangan kompleks pada anak yang ditandai dengan ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain, adanya gangguan berbahasa, adanya kegiatan bermain repetitive, serta memiliki keinginan untuk mempertahankan keteraturan lingkungan sekitarnya.

2. Karakteristik Penderita Autisme

(35)

yang mengacu pada kelemaham di wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan satu sama lain, yaitu interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta pola perilaku. Perilaku spesifik terkait wilayah-wilayah tersebut, antara lain:

a. Interaksi sosial : Individu dengan spektrum autisme mengalami kesulitan dalam berbagi pengalaman dengan orang lain karena memiliki ketidakmampuan untuk memahami perasaan dan emosi orang lain.

b. Komunikasi : Individu dengan spektrum autisme mengalami ketidakmampuan untuk memproduksi kata-kata bermakna, serta memiliki permasalahan dalam memahami dan mengkontekskan perkataan, tulisan, maupun ekspresi non verbal dari orang lain. Individu dengan autisme juga memiliki ketidakmampuan untuk mempertahankan percakapan seperti orang lain pada umumnya.

c. Minat dan perilaku : Individu dengan spektrum autisme menunjukkan perilaku yang dianggap tidak biasa oleh orang lain, seperti gerakan tubuh berulang dan gerakan yang menarik perhatian. Individu dengan spektrum autisme juga memiliki minat pada hal-hal tertentu dan terbatas hanya pada hal tersebut.

3. Beban Orang Tua dengan Anak Autisme dan Kepuasan Perkawinan

(36)

memahami tingkat keseriusan diagnosis (Sullivian dalam Cohen & Volkmar, 1997). Widihastuti (2007) juga mengungkapkan bahwa orang tua biasanya mengalami stres, kecewa, patah semangat, khawatir terhadap masa depan anaknya, dan berusaha mencari pengobatan kemana-mana, serta menunjukkan berbagai reaksi lainnya. Orang tua mulai mencari alternatif penanganan bagi anak mereka untuk mempersiapkan anak semandiri mungkin agar dapat hidup dengan layak saat orang tuanya beranjak tua atau meninggal dunia. Laura Schieve dan koleganya (2007, dalam Sastry & Aguirre, 2014) menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak autisme akan merasa sedih karena menghadapi lebih banyak persoalan dibandingkan orang tua dengan anak berkebutuhan khusus lainnya saat berusaha untuk mendapatkan perawatan kesehatan, intervensi, dan terapi yang dibutuhkan oleh anak mereka.

Sastry dan Arguirre (2014) mengungkapkan bahwa kehadiran anak autisme juga menimbulkan sejumlah tantangan bagi orang tua, yaitu tantangan pada faktor finansial, psikologis, praktis, dan sosial. Tantangan pada faktor finansial berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk mengasuh anak autisme, khususnya untuk biaya kesehatan dan pendidikan yang sekaligus memengaruhi peningkatan biaya hidup keluarga. Tantangan tersebut semakin berat ketika kehadiran anak autisme memberikan efek negatif terhadap karir orang tua yang cenderung meminta libur atau bahkan berhenti dari pekerjaan demi mengasuh anak.

(37)

mengecewakan. Faktor psikologis berupa kekhawatiran akan masa depan anak, pendapat keluarga besar dan teman-teman, serta dukungan yang akan diperoleh dari pasangan juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak autisme. Tantangan terkait stres lain yang umumnya dirasakan oleh orang tua adalah depresi, kecemasan, dan kemarahan. Orang tua dengan anak autisme mengalami stres dengan kadar stres pada ibu lebih tinggi dibandingkan kadar stres yang dialami oleh ayah (Sastry & Aguirre, 2014). Seorang ibu yang memiliki anak autisme juga mengalami stres yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak Down Syndrome (Abbeduto et al, 2004). Menurut Annette Estes dan koleganya (2009, dalam Sastry & Aguirre, 2014) sumber stres pada ibu disebabkan oleh antara lain anak mudah tersinggung, melakukan agitasi, menangis, ujarannya tidak benar, memiliki ketidakmampuan untuk mengikuti aturan dan menunjukkan kesulitan perilaku lainnya, serta tidak pernah merasa membutuhkan bantuan untuk melakukan tugas dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, orang tua dari anak autisme mengungkapkan permasalahan psikologis yang lebih banyak dibandingkan dengan orang tua lainnya dan sering mengalami perasaan terisolasi (Sastry & Aguirre, 2014).

(38)

kerja keras dan adaptasi yang cenderung besar, seperti menyediakan waktu yang lebih banyak untuk mengurus dan mengawasi perilaku anak, memikirkan pengobatan atau terapi yang diperlukan untuk anak, dan lain-lain (Powers, 1989 dalam Powers, 2000). Tantangan lain yang dialami oleh orang tua yang memiliki anak autisme terdapat pada faktor sosial karena orang tua cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih buruk dibandingkan dengan orang tua dengan anak yang tergolong normal.

Semua hal tersebut diduga akan berpengaruh secara negatif terhadap kepuasan perkawinan karena mengakibatkan adanya perubahan pola interaksi yang terjalin di antara orang tua terkait aspek-aspek kepuasan perkawinan, yaitu permasalahan-permasalahan kepribadian, kesamaan peran, komunikasi, pemecahan masalah, manajemen keuangan, aktivitas dalam mengisi waktu luang, hubungan seksual, anak-anak dan pengasuhan, keluarga dan teman-teman, serta orientasi keagamaan (Fowers & Olson, 1989). Orang tua dengan anak autisme cenderung memiliki pola komunikasi dengan tingkat self-disclosure yang berbeda dan tidak seimbang antara satu sama lain, sehingga dapat menurunkan kepuasan perkawinan (Allen et al dan Schumm et al, dalam Davidson & Moore, 1996). Para suami juga memiliki kecenderungan untuk mengalah dan menarik diri ketika berada dalam situasi konflik, khususnya jika topik yang menjadi sumber konflik dikemukakan oleh istri (Noller & Fitzpatrick dalam Davidson & Moore, 1996).

(39)

Cohen & Volkmar, 1997). Sejumlah besar orang tua yang berjuang keras untuk merawat anak autisme mengungkapkan bahwa terdapat tekanan dalam kehidupan perkawinan yang dijalani dan beberapa diantaranya melaporkan kepuasan yang lebih rendah dalam hubungan bersama pasangan (Sastry & Aguirre, 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak autisme memiliki tingkat perceraian yang cenderung lebih tinggi pada rentang usia perkawinan 6 tahunan dan tidak ada penurunan risiko perceraian hingga anak berusia 8 tahunan (Hartley et al, 2010). Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp (2002) mengungkapkan bahwa penurunan tingkat kepuasan perkawinan biasanya disebabkan oleh berkurangnya aspek-aspek positif dalam kehidupan perkawinan, antara lain seperti keintiman, ekspresi afeksi, diskusi, kerja sama, dan kegiatan yang bersifat menyenangkan yang dilakukan bersama pasangan.

D.Kerangka Konseptual

(40)

autisme memiliki kecenderungan untuk menunjukkan perilaku yang tidak lazim dan memiliki minat yang terbatas pada hal-hal tertentu (Sastry & Aguirre, 2014).

Keterbatasan yang dimiliki oleh anak autisme menimbulkan berbagai tantangan bagi orang tua pada faktor finansial, psikologis, praktis, dan sosial. Tantangan pada faktor finansial berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk merawat anak dengan autisme. Tantangan lain yang dihadapi oleh orang tua terdapat pada faktor psikologis terkait peningkatan stres yang dirasakan karena kondisi anak yang memiliki berbagai keterbatasan serta membutuhkan perhatian khusus. Selain itu, orang tua juga memiliki tantangan pada faktor praktis berkaitan dengan meningkatnya jumlah tugas dalam rumah tangga yang menuntut ekstra waktu, tenaga, dan perhatian, sehingga mengurangi waktu bersama pasangan. Kemudian tantangan pada faktor sosial terkait hubungan orang tua dengan orang-orang di sekitarnya yang cenderung lebih buruk dibandingkan orang tua lainnya (Sastry & Aguirre, 2014).

(41)
(42)
(43)

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang dilakukan dalam upaya menggali dan menangkap makna mengenai suatu isu dari sudut pandang partisipan, sehingga peneliti diharuskan untuk terjun langsung ke dalam lingkungan atau suasana alamiah partisipan demi mengumpulkan berbagai macam data, melalui proses wawancara, observasi, maupun dokumen-dokumen tertentu. Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif untuk memperoleh gambaran dan pemahaman secara menyeluruh mengenai isu yang diteliti dengan menginterpretasikan apa yang peneliti saksikan, dengar, dan pahami (Creswell, 2009 dalam Supratiknya 2015).

(44)

pandang partisipan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti akan menggunakan prosedur pengambilan data berupa wawancara semi terstuktur dengan beberapa pertanyaan yang bersifat terbuka agar partisipan tidak merasa dibatasi (Smith, 2009), serta bersedia mengungkapkan pengalamannya secara personal dan mendalam.

B.Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada kepuasan perkawinan orang tua yang memiliki anak autisme berdasarkan aspek-aspek kepuasan perkawinan yang diungkapkan oleh Fowers dan Olson (1989). Penelitian ini diharapkan dapat mengeksplorasi sejauh mana kepuasan perkawinan yang dirasakan oleh orang tua yang memiliki anak autisme ditinjau dari aspek-aspek kepuasan perkawinan Fowers dan Olson (1989), meliputi: (1) permasalahan-permasalahan kepribadian (tingkat kepuasan terhadap perilaku dan kepribadian pasangan), (2) kesamaan peran (perasaan senang dan kesediaan menjalankan berbagai peran dalam perkawinan dan keluarga), (3) komunikasi (tingkat kenyamanan dalam membagikan dan menerima informasi), (4) pemecahan masalah (keterbukaan dalam mengenali dan menyelesaikan masalah), (5) manajemen keuangan

(45)

teman), serta (10) orientasi keagamaan (makna keyakinan beragama dan mempraktikannya dalam perkawinan).

C.Partisipan

Partisipan dalam penelitian ini adalah 6 orang tua yang terdiri dari 3 pasangan suami istri dengan taraf pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA), serta memiliki satu orang anak autisme dan tinggal di wilayah Yogyakarta. Peneliti menggunakan teknik criterion sampling dalam pemilihan partisipan agar dapat meninjau dan mempelajari suatu kasus yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh peneliti, sehingga sesuai dengan tujuan penelitian (Patton, 2002). Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini bersifat homogen karena memiliki karakteristik yang kurang lebih sama terkait permasalahan yang akan diteliti. Pemilihan partisipan dilakukan berdasarkan rekomendasi dari staf Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus (PSIBK) Universitas Sanata Dharma dan pengurus Pusat Layanan Autis Yogyakarta karena menyesuaikan kondisi dan kesediaan partisipan untuk melakukan sesi wawancara.

D.Peran Peneliti

(46)

memperoleh data yang kredibel dan sesuai sudut pandang partisipan dengan benar-benar berupaya menangkap makna mengenai isu atau permasalahan yang diteliti sesuai dengan apa yang diyakini dan dihayati oleh partisipan (Supratiknya, 2015). Peneliti tidak memiliki keterkaitan apapun dengan lokasi penelitian dan para partisipan.

Peneliti merekrut partisipan yang sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya, kemudian menghubungi partisipan secara langsung untuk menyampaikan maksud dan tujuan peneliti. Setelah itu, peneliti meminta kesediaan partisipan untuk melakukan wawancara, lalu menjelaskan gambaran umum mengenai penelitian yang akan dilakukan dan memberikan lembar informed consent untuk ditandatangani oleh partisipan. Peneliti berperan untuk menjaga kerahasiaan data dan kepercayaan yang telah diberikan oleh partisipan. Pada proses wawancara, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap perilaku nonverbal partisipan, lalu melakukan transkripsi terhadap hasil wawancara setelah data terkumpul.

(47)

E.Metode Pengambilan Data

Metode utama yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara dengan teknik semi terstruktur agar wawancara dapat berjalan sesuai dengan garis besar wawancara yang telah ditentukan, namun tetap dapat dikembangkan. Penelitian ini dilakukan dengan menggali pengalaman dan perasaan orang tua yang memiliki anak autisme dalam menjalani kehidupan perkawinan. Patton (2002) menyatakan bahwa melalui proses wawancara peneliti dapat menggali pernyataan langsung dari individu mengenai pengalaman, pendapat, perasaan, serta pengetahuan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Teknik wawancara semi terstruktur memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mengubah urutan pertanyaan sesuai dengan respon yang diberikan oleh responden (Smith, 2015). Peneliti juga dapat memberikan probing yang sesuai dengan hal-hal penting yang muncul atau ketertarikan partisipan.

Sebelum wawancara dimulai, peneliti melalui beberapa tahapan yang digunakan agar proses pengambilan data dapat berjalan dengan optimal. Tahapan pelaksanaan wawancara tersebut, antara lain:

1. Mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan untuk berpartisipasi dalam penelitian. Pencarian partisipan dilakukan dengan cara menghubungi pihak-pihak terkait untuk selanjutnya menjalin kerjasama dengan pihak-pihak tersebut, seperti PSIBK Universitas Sanata Dharma dan Pusat Layanan Autis Yogyakarta.

(48)

Peneliti juga memastikan kesediaan partisipan untuk berpartisipasi dalam penelitian.

3. Menyusun kesepakatan jadwal pelaksanaan wawancara antara peneliti dan partisipan.

4. Melaksanakan wawancara. Pada sesi wawancara, peneliti menggunakan alat bantu perekam (digital recorder) dan mencatat perilaku non-verbal yang ditunjukkan oleh partisipan selama proses wawancara berlangsung.

5. Melakukan transkrip wawancara berdasarkan hasil perekaman data.

Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti membuat pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada partisipan berdasarkan rumusan masalah dan teori-teori yang digunakan oleh peneliti. Berikut adalah pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini:

a. Pertanyaan pembuka

1. Siapakah nama Bapak/Ibu? 2. Berapa usia Bapak/Ibu? 3. Apakah pekerjaan Bapak/Ibu?

4. Apakah pendidikan terakhir Bapak/Ibu? 5. Apa keyakinan yang Bapak/Ibu anut? 6. Berapa usia perkawinan Bapak/Ibu? 7. Berapa jumlah anak Bapak/Ibu?

8. Berapa jumlah anak autisme dalam keluarga Bapak/Ibu? 9. Siapa nama anak Bapak/Ibu yang mengalami autisme?

(49)

b. Pertanyaan pendahuluan

1. Coba ceritakan bagaimana pengalaman Bapak/Ibu terkait kehadiran anak dengan autisme?

c. Pertanyaan transisi

1. Apakah kehadiran anak autisme berpengaruh terhadap kehidupan perkawinan Bapak/Ibu?

d. Pertanyaan pokok

1. Coba ceritakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan perkawinan Bapak/Ibu setelah kehadiran anak autisme!

Probing

1. Permasalahan-permasalahan kepribadian

 Bagaimana perasaan Bapak/Ibu terhadap tingkah laku, kebiasaan-kebiasaan, dan kepribadian pasangan saat ini?

2. Kesamaan peran

 Seperti apakah pembagian peran antara Bapak/Ibu dengan pasangan?

 Bagaimana perasaan Bapak/Ibu dalam menjalani peran-peran tersebut? 3. Komunikasi

 Bagaimana perasaan Bapak/Ibu ketika mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan, dan perasaan kepada pasangan?

4. Pemecahan masalah

 Apa yang biasanya menjadi sumber konflik dalam rumah tangga Bapak/Ibu?

(50)

5. Manajemen keuangan

 Bagaimana perasaan Bapak/Ibu terkait cara mengatur keuangan dalam kehidupan berumah tangga?

6. Aktivitas dalam mengisi waktu luang

 Bagaimana cara Bapak/Ibu menghabiskan waktu luang? 7. Hubungan seksual

 Bagaimana cara Bapak/Ibu menunjukkan perhatian atau kasih sayang kepada pasangan?

 Apakah kehadiran anak autisme memengaruhi kehidupan seksual Bapak/Ibu?

8. Anak-anak dan pengasuhan

 Bagaimana perasaan dan sikap Bapak/Ibu setelah memiliki anak? 9. Keluarga dan teman-teman

 Apakah kegiatan yang Bapak/Ibu lakukan bersama keluarga besar dan teman-teman?

 Bagaimana perasaan Bapak/Ibu ketika berkegiatan bersama keluarga besar dan teman-teman?

10. Orientasi keagamaan

 Bagaimana perasaan Bapak/Ibu mengenai hal-hal keagamaan dan beribadah?

e. Pertanyaan Penutup

(51)

F. Analisis dan Interpretasi Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Isi Kualitatif (AIK), yaitu sebuah metode untuk menganalisis pesan-pesan komunikasi secara tertulis, lisan, maupun visual dengan melakukan klasifikasi atau penyaringan terhadap teks atau kata-kata ke dalam sejumlah kategori yang mewakili aneka isi tertentu (Supratiknya, 2015). Hasil wawancara dalam penelitian ini akan ditranskripkan menjadi data tertulis. Metode AIK digunakan untuk menyaring teks atau kata-kata ke dalam sejumlah kategori yang mewakili aneka isi tertentu berdasarkan kesamaan makna agar diperoleh deskripsi yang padat mengenai fenomena yang diteliti (Elo & Kyngas, 2008 dalam Supratiknya, 2015).

Analisis isi kualitatif dalam penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif dengan proses analisis data yang mengikuti langkah-langkah berikut (Supratiknya, 2018):

1. Membaca corpus data berupa transkripsi verbatim responden yang dikumpulkan melalui proses wawancara semi terstruktur secara berulang-ulang;

2. Melakukan initial coding atau menemukan kode-kode tertentu yang terdapat di dalam transkripsi verbatim secara induktif baris demi baris (inductive, line-by-line approach), serta membandingkannya dengan konsep kepuasan perkawinan

pada orang tua dengan anak autisme yang dilibatkan oleh peneliti;

(52)

agar menemukan sejenis narasi analitik yang koheren dari keseluruhan corpus data;

4. Memperhalus atau mempertajam analisis dengan cara menempatkan subtema-subtema dalam suatu susunan hirarkis tertentu menjadi sebuah tema besar; sub-subtema tersebut kemudian diberi label atau nama; masing-masing sub-subtema dilengkapi dengan kutipan-kutipan yang diambil dari transkripsi verbatim sebagai bukti pendukung, sehingga diperoleh narasi yang utuh tentang fenomena yang diteliti.

Berdasarkan langkah-langkah tersebut, kategori atau kriteria yang digunakan dalam koding (Tabel 1) adalah:

Tabel 1

Kriteria Koding Kepuasan Perkawinan Fowers dan Olson

Kepuasan Perkawinan Fowers dan Olson

a. Permasalahan-permasalahan kepribadian

Merasa puas terhadap tingkah laku dan kepribadian pasangan

b. Kesamaan peran Merasa senang menjalani peran

dalam keluarga

c. Komunikasi Merasa senang terhadap komunikasi

bersama pasangan

d. Pemecahan masalah Merasa senang terkait penyelesaian konflik dalam kehidupan perkawinan

e. Manajemen keuangan Merasa senang terhadap pengelolaan masalah ekonomi dalam kehidupan perkawinan dan pembuatan keputusan terkait keuangan

f. Aktivitas dalam mengisi waktu luang

Meluangkan waktu untuk pasangan Merasa senang ketika menghabiskan waktu bersama

g. Hubungan seksual Merasa senang terkait

pengekspresian kasih sayang dan hubungan seksual dengan pasangan h. Anak-anak dan pengasuhan Merasa senang ketika mengasuh dan

(53)

Kepuasan Perkawinan Fowers dan Olson

i. Keluarga dan teman-teman Merasa nyaman ketika melakukan sesuatu bersama keluarga atau teman-teman

Merasa senang ketika menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman-teman

j. Orientasi keagamaan Merasa senang terkait praktik nilai-nilai keagamaan dalam perkawinan

G. Kredibilitas Data

Kredibilitas data dalam penelitian ini diuji dengan beberapa cara, antara lain member checking dan peer debriefing. Menurut Creswell (2009 dalam Supratiknya, 2015), member checking dilaksanakan dengan melaporkan deskripsi dan tema-tema spesifik kepada partisipan untuk memastikan bahwa deskripsi atas tema yang dibuat oleh peneliti telah akurat. Peneliti juga melibatkan rekan sejawat sebagai reviewer (peer debriefing) untuk me-review keseluruhan proyek penelitian dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis mengenai penelitian untuk memastikan keakuratan laporan.

(54)

35

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Pelaksanaan Penelitian

Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2018 sampai November 2018 dengan menggunakan metode wawancara antara peneliti dan 6 orang tua (3 pasangan suami istri) yang memiliki anak autisme. Wawancara dilakukan di tempat tinggal masing-masing partisipan karena menyesuaikan kegiatan partisipan. Wawancara berlangsung dalam kurun waktu yang bervariasi antara kurang lebih 30 menit sampai dengan 3 jam. Berikut ini merupakan waktu dan tempat pelaksanaan wawancara yang disajikan di Tabel 2:

Tabel 2

B.Latar Belakang Partisipan dan Dinamika Proses Wawancara

Berikut merupakan data demografi partisipan yang disajikan dalam Tabel 3:

(55)

No. Keterangan Orang

(56)

mengenai penelitian dan pemberian kesediaan untuk berpartisipasi oleh partisipan sesudah membaca informasi-informasi yang harus diketahui.

(57)

Wawancara pertama dilaksanakan antara peneliti dan PI 1. PI 1 adalah seorang perempuan berusia 44 tahun dengan pendidikan terakhir sarjana strata 1 dan bekerja sebagai seorang pendeta. Pengambilan data dilakukan satu kali pada malam hari selama kurang lebih 54 menit, bertempat di ruang ibadah rumah PS 1 dan PI 1. Proses wawancara terjeda sebanyak dua kali karena partisipan harus memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Pada saat wawancara, partisipan mengenakan kaos cokelat dan celana kain keunguan dengan panjang tigaperempat. Selama proses wawancara berlangsung, partisipan duduk di hadapan peneliti dan mampu mempertahankan kontak mata dengan peneliti. Ketika PI 1 bercerita mengenai pengalaman hidupnya, partisipan terlihat duduk dengan posisi bersandar pada kursi dan nada bicara yang cenderung tegas. PI 1 menyampaikan cerita tanpa henti dengan mata yang berkaca-kaca. Selama wawancara, PI 1 berbicara dengan cukup lancar dan runtut, namun beberapa kali melakukan pengulangan pengucapan dan mengatakan “apa ya” ketika mengalami

kesulitan dalam mengungkapkan hal-hal yang ingin disampaikan. PI 1 juga cenderung memberikan penekanan ketika menyampaikan bahwa terkadang perilaku anak menimbulkan kelelahan. Selain itu, PI 1 sesekali membutuhkan waktu jeda untuk mengingat pengalamannya dan tertawa saat menyampaikan jawabannya.

(58)

wawancara dengan PI 1 selesai dilaksanakan. Pada saat wawancara, partisipan mengenakan kaos abu-abu dan celana kain panjang berwarna hitam sambil duduk di hadapan peneliti. Selama wawancara berlangsung, PS 1 dapat mempertahankan kontak mata dengan peneliti. PS 1 terlihat santai dan bercerita tanpa henti saat menyampaikan cerita mengenai pengalaman hidupnya dengan nada bicara yang tidak terlalu tegas dan suara yang cenderung lebih kuat di awal kalimat kemudian melembut. PS 1 berbicara dengan cukup lancar dan runtut, meskipun sesekali membutuhkan waktu jeda untuk mengingat pengalamannya. Selain itu, PS 1 sesekali tertawa sambil menyampaikan jawabannya.

(59)

anak bepergian karena anak membutuhkan persiapan yang lebih. PI 2 juga mengungkapkan dirinya merasa sakit hati ketika mengetahui bahwa anak berkebutuhan khusus kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. PS 2 dan PI 2 memiliki kekhawatiran akan masa depan anak dan pernah merasa malu ketika mengajak anak keluar rumah karena anak menunjukkan perilaku yang tidak biasa dan membuat orang-orang di sekitarnya memberikan penilaian yang cenderung negatif, namun orang-orang yang sudah mengerti kondisi anak dapat mentolerir perilaku yang ditunjukkan oleh anak tersebut.

Wawancara pertama dilaksanakan antara peneliti dan PI 2. PI 2 adalah seorang perempuan berusia 49 tahun dengan pendidikan terakhir sarjana strata 3 dan bekerja sebagai seorang dosen. Pengambilan data dilakukan satu kali pada sore hari selama kurang lebih 1 jam 39 menit, bertempat di teras rumah PS 2 dan PI 2. Proses wawancara terjeda sebanyak satu kali karena anak dengan autisme membawakan minuman untuk peneliti dan PI 2. Pada saat wawancara, partisipan mengenakan kaos tank top merah dan celana kain panjang selutut berwarna cokelat. Selama proses wawancara berlangsung, partisipan duduk di hadapan peneliti dan mampu mempertahankan kontak mata dengan peneliti. Ketika PI 2 bercerita mengenai pengalaman hidupnya, partisipan terlihat duduk dengan posisi bersandar pada tembok dan nada bicara yang cenderung tegas, serta menyampaikan cerita tanpa henti. Selama wawancara, PI 2 berbicara dengan cukup lancar dan runtut, serta sesekali tertawa saat menyampaikan jawabannya.

(60)

bekerja sebagai seorang dosen. Pengambilan data dilakukan satu kali selama kurang lebih 3 jam 19 menit di tempat dan hari yang sama dengan PI 2 setelah wawancara dengan PI 2 selesai dilaksanakan. Pada saat wawancara, partisipan mengenakan kaos biru dongker dan celana kain pendek berwarna hitam. PS 2 duduk di hadapan peneliti dan dapat mempertahankan kontak mata dengan peneliti selama wawancara berlangsung. Proses wawancara terjeda beberapa kali karena ada tamu yang mengunjungi rumah PS 2 dan PI 2, serta kehadiran anak dengan autisme yang meminta pendapat atas penampilannya. PS 2 terlihat santai dan bercerita tanpa henti saat menyampaikan cerita mengenai pengalaman hidupnya dengan nada bicara yang tidak terlalu tegas. PS 2 berbicara dengan cukup lancar dan runtut, serta sesekali menunjukkan gerakan tangan dan tertawa sambil menyampaikan jawabannya.

(61)

mengalami autisme, PS 3 dan PI 3 merasa bingung terkait kondisi anak mereka. PS 3 menyatakan bahwa pengalaman pertama memiliki anak dengan autisme membuat dirinya bertanya-tanya mengenai penanganan dan perawatan untuk anak, serta tempat untuk mengkonsultasikan kondisi anak mereka, sedangkan PI 3 mengungkapkan kekhawatirannya terhadap masa depan anak. Kondisi keuangan keluarga PS 3 dan PI 3 difokuskan kepada pemenuhan kebutuhan dan terapi untuk anak. Kehadiran anak dengan autisme membuat PI 3 memutuskan untuk berhenti bekerja karena merawat anak dengan autisme menuntut PS 3 dan PI 3 membagi waktu untuk mendampingi anak. Orang-orang di sekitar mereka yang belum memahami kondisi anak berkebutuhan khusus cenderung memberikan penilaian negatif, namun sebagian besar orang-orang yang PI 3 temui sudah memahami kondisi anak mereka. PI 3 terkadang merasa tidak enak ketika mengajak anak bertamu karena anak menunjukkan perilaku yang berbeda dibandingkan anak-anak pada umumnya.

(62)

Ketika PI 3 bercerita mengenai pengalaman hidupnya, nada bicara yang digunakan cenderung tidak terlalu tegas. PI 3 menyampaikan cerita tanpa henti dengan sesekali menutupi wajah menggunakan kerudung. Selama wawancara, PI 3 berbicara dengan cukup lancar dan runtut, namun beberapa kali mengatakan bahwa dirinya mengalami kesulitan dalam mengungkapkan hal-hal yang ingin disampaikan. PI 3 juga cenderung memberikan penekanan dengan nada tegas ketika menyampaikan bahwa terkadang perilaku anak menimbulkan kelelahan. Selain itu, PI 3 sesekali tertawa saat menyampaikan jawabannya.

Wawancara kedua dilaksanakan antara peneliti dan PS 3. PS 3 adalah seorang laki-laki berusia 36 tahun dengan pendidikan terakhir Sekolah Menengah Umum (SMU) dan bekerja sebagai buruh. Pengambilan data dilakukan satu kali selama kurang lebih 31 menit di ruang tamu tempat PS 3 dan PI 3 kos. Pada saat wawancara, partisipan mengenakan kaos hitam dan sarung dengan motif kotak-kotak sambil duduk di hadapan peneliti. Selama wawancara berlangsung, PS 3 dapat mempertahankan kontak mata dengan peneliti. PS 3 terlihat santai dan menyampaikan cerita singkatnya tanpa henti. PS 3 menyampaikan cerita mengenai pengalaman hidupnya dengan nada bicara yang tidak terlalu tegas dan suara yang cenderung konsisten. PS 3 berbicara dengan cukup lancar dan runtut, serta sesekali tertawa sambil menyampaikan jawabannya.

C.Hasil Penelitian

(63)

Olson (1989). Aspek-aspek kepuasan perkawinan terdiri dari sepuluh aspek, yaitu permasalahan-permasalahan kepribadian, kesamaan peran, komunikasi, pemecahan masalah, manajemen keuangan, aktivitas dalam mengisi waktu luang, hubungan seksual, anak-anak dan pengasuhan, keluarga dan teman-teman, serta orientasi keagamaan. Hasil penelitian ini didasari oleh jawaban para partisipan terhadap satu pertanyaan pokok, yaitu coba ceritakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan perkawinan Bapak/Ibu setelah kehadiran anak autisme! Jawaban-jawaban yang disampaikan oleh para partisipan kemudian dikategorisasikan berdasarkan kriteria koding yang telah dibuat sebelumnya. Adapun hasil yang ditemukan adalah sebagai berikut:

1. Permasalahan-permasalahan Kepribadian

Aspek permasalahan-permasalahan kepribadian terdiri dari satu kriteria, yaitu merasa puas terhadap tingkah laku dan kepribadian pasangan. Ketika diminta untuk mendeskripsikan kepribadian pasangan dan perasaan yang dirasakan terkait kepribadian yang dimiliki oleh pasangannya, semua partisipan menyampaikan kriteria tersebut melalui ungkapan mereka.

Orang tua yang memiliki anak autisme sama-sama mengungkapkan bahwa mereka merasa puas terhadap tingkah laku dan kepribadian pasangannya.

(64)

Partisipan juga merasa senang (PI 1, PS 2) karena pasangan dapat mengatur keluarga dengan lebih baik dan menangani anak dengan autisme (PI 1). Selain itu, PS 3 menunjukkan perasaan bahagia karena pasangan memiliki tekad dan semangat dalam mendidik anak, bahkan PI 2 mengungkapkan bahwa kepribadian pasangan yang dapat saling mengisi dan lebih perhatian membuat dirinya semakin jatuh cinta.

Merasa puas

PS 1 : “Itu, tapi terus terang saya saya saya bangga dengan kepribadian dia karena dia nggak, salah satu contohnya dia nggak macam-macam, nggak punya keinginan yang macam-macam ya apa adanya seperti itu, orang itu gitu. Dia ngerti kalau kebutuhan E banyak, jadi dia nggak minta macam-macam seperti dulu. Membanggakan dia.” (407-411)

PI 1 : “Ee perasaannya ya, ya bahagia aja bahagia, ya senang gitu senang. Suami saya itu apa ya, dia itu apa namanya, apa ya, bisa mengatur keluarga dengan lebih baik, sekarang ada anak, misalnya nangani E, wak itu itu butuh ekstra memang, tapi suami saya itu apa namanya bisa membuat E lebih tenang gitu, kadang juga

itu, tegas dia.” (141-145)

PS 2 : “Ya kalau ditanya perasaannya bagaimana, ya senang saja. Dia itu sangat maju, apalagi untuk T. Sikapnya selalu membanggakan, karena dia itu ingin mempersiapkan T untuk ke depan. Luar biasa memang perkembangannya setelah ada T.” (675-678)

PI 2 : “Kita itu bertolak belakang, jadi saling mengisi. Pas ada T semakin terlihat tingkah laku dia yang membuat saya semakin jatuh cinta. Suami saya juga jadi lebih perhatian sama saya kalau saya capek ngurus T.” (497-500)

PS 3 : “Orangnya keras mbak, tapi keras, keras tapi, tapi ya semangatnya untuk mendidik anak, untuk memberi pengetahuan kepada anak itu ya bss luar biasa. Waktunya untuk anak, terus tekadnya untuk biar anak tu seperti teman-teman yang lain, saya akui, ya saya salut sama pasangan saya, bahagia dengan perubahannya.” (71-74)

PI 3 : “Perasaannya ya bersyukurlah mbak. Soalnya kan bisa, mengimbangi, saya kan orangnya nggak sabaran mbak, jadi kan bisa ngimbangin kan. Jadi begitu, dia lebih sabar menghadapi tingkah J. Ngajari J, kalau dulu cuek mbak. Dan Alhamdullilah puas, sampai saat ini.” (152-156)

Selain itu, beberapa orang tua mengungkapkan bahwa kehadiran anak dengan autisme juga membuat pasangan menunjukkan perubahan-perubahan dalam perilaku.

Pasangan berubah

PS 1 : “Terus ee, saya rasa kok ee anu mungkin ini sa sa ee perhatiannya mungkin agak sudah berkurang ya. Nah saya mungkin saya juga menyadari perhatian saya dengan istri saya barangkali agak berkurang, kita lebih lebih fokusnya kepada

(65)

PI 1 : “Berubah sih. Pasti ada. Ee mungkin juga saya juga ini perubahan itu juga karena suami saya sebenernya juga merasakan apa ya, merasakan rasa capek juga kan sama seperti saya gitu ya nanganin E.” (170-172)

PS 2 : “Artinya ide-idenya dia untuk membereskan T dan lain sebagainya itu kadang-kadang aduh jangan dululah, ini entar T ni bekerjanya seperti apa, walau kita percaya saja.” (639-641)

Meskipun demikian, orang tua dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan tingkah laku maupun kebiasaan yang ditunjukkan oleh pasangannya. Hal ini dilakukan dengan mengalah (PS 1) dan membentuk diri (PS 2), sehingga dapat mengimbangi pasangan (PS 2) dan menikmati perubahan (PI 1) yang ditunjukkan oleh pasangan.

Menyesuaikan diri

PS 1 : “Ngalah. Ya saya ngalah, karena kalau nggak ada yang ngalah nggak akan selesai. Jadi kalau memang ya seperti itu ya sudahlah, gitu aja sudah. Saya nggak mau memperpanjang supaya saya bisa harmonis sama istri saya, dan saya tidak

masalah dengan itu.”(455-458)

PI 1 : “Enjoy aja gitu, nikmati aja, nggak masalah, tetep seneng, karena ee apa ya, istilahnya banyak hal positif yang harus saya pikirkan gitu, seperti itu.” (185-187) PS 2 : “Artinya saya melihat bahwa ya wah dia sudah terlalu maju, udah maju banget, konfidensinya udah maju banget, sehingga saya yang harus membentuk diri untuk mengikuti dia.” (641-643)

Beberapa partipisan lainnya mengungkapkan bahwa kehadiran anak dengan autisme tidak memengaruhi tingkah laku maupun kebiasaan pasangannya.

Pasangan tidak berubah

PI 2 : “Pasangan. Kayanya kok nggak ya. Ee nggak tahu ya kalau sama suami saya, tapi bagi saya sih biasa aja dia. Dia kalau sama T bisa merasa, bahkan dia merasa kalau aku sakit itu dipijetin T itu sembuh, kaya gitu.” (520-522)

PS 3 : “Seb, Alhamdullilah nggak ada mbak. Ssss sebelum ada anak saya sampai sekarang usia 7 tahun, ya Alhamdullilah berjalan seperti, ya seperti kemarin-kemarin aja. Maksudnya ya seperti kemarin-kemarin tu nggak, nggak ada masalah tentang anak kita, nggak ada, anak kita nggak ada.” (82-85)

PI 3 : “Nggak ada kaya’e mbak, he’em, he’em. Sama aja.” (159)

(66)

Pasangan kurang pengertian

PS 1 : “…, tapi kadang saya ada perasaan jengkel, kurang kurang kurang sesuai

dengan yang diharapkan.” (412-413)

PI 1 : “Nah kalau, kayaknya suami saya tu kadang nggak ngerti kalau saya tu capek gitu ya, nah di situ itu ada rasa, rasa, rasa apa ya, rasa kesal gitu.”(150-151)

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum orang tua yang memiliki anak autisme merasa puas dengan kepribadian pasangannya. Kehadiran anak autisme juga dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku dan kepribadian pada beberapa orang tua, namun pasangan dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan tersebut. Selain itu, beberapa orang tua lainnya mengungkapkan bahwa pasangannya tidak menunjukkan perubahan terkait tingkah laku dan kebiasaan setelah kehadiran anak autisme. Meskipun demikian, PS 1 dan PI 1 merasa bahwa pada situasi tertentu pasangan cenderung kurang pengertian sehingga menimbulkan perasaan kesal. Hal ini menunjukkan bahwa kriteriapada aspek ini terpenuhi, namun terdapat potensi permasalahan terkait tingkah laku dan kepribadian pasangan yang khususnya dirasakan oleh PS 1 dan PI 1.

2. Kesamaan Peran

Aspek kesamaan peran mencakup perasaan senang menjalani peran dalam keluarga. Orang tua yang memiliki anak autisme menunjukkan keberadaan kriteria tersebut melalui ungkapan-ungkapan yang disampaikan. Perasaan senang yang dirasakan oleh partisipan ketika menjalani peran dalam keluarga

Gambar

Tabel 1. Kriteria Koding Kepuasan Perkawinan Fowers dan Olson ...............  33
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian .................................................
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian
Tabel 1 Kriteria Koding Kepuasan Perkawinan Fowers dan Olson
+2

Referensi

Dokumen terkait

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,

Hasil temuan penelitian ini menunjukan bahwa: (1) SOIna adalah satu-satunya organisasi di Indonesia yang menyelenggarakan pelatihan dan kompetisi olahraga bagi

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengucapkan terima kasih kepada Master Cheng Yen dan kepada semua relawan Tzu Chi Indonesia, ke depan kita akan terus bersama demi

Suhu optimal proses SFS adalah 38°C, yang merupakan perpaduan suhu optimal hidrolisis (45–50°C) dan suhu optimal fermentasi (30°C). Proses SFS memiliki keunggulan

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan kepala keluarga dan minat belajar dengan

Setiap organisasi mempunyai standar yang harus dipenuhi dalam pencapaian keluaran (output) yang baik. Output dilembaga pendidikan adalah lulusan siswa- siswi yang

Suatu tanda/gejala direkam sebagai kondisi utama, dengan indikasi kondisi terkait adalah suatu kondisi atau kondisi lain, reseleksi gejala tersebut sebagai “kondisi utama”. Bila

The exploitations are done to mislead the hearers or to get good political bargaining position and to obey the quantity maxim and politeness principle. The exploitations are also