BAB II TINJAUAN PUSTAKA
C. AUTISME
3. Beban Orang tua dengan Anak Autisme dan Kepuasan Perkawinan 16
Orang tua akan menunjukkan serangkaian reaksi emosi saat mengetahui kondisi anak dan diagnosis bahwa anaknya mengalami autisme, seperti menangis, merasa tidak berdaya, marah kepada Tuhan, tidak mempercayai diagnosis yang diberikan kepada anak mereka, marah atau mempertanyakan kemampuan pihak profesional yang memberikan diagnosis, dan terkejut setelah
memahami tingkat keseriusan diagnosis (Sullivian dalam Cohen & Volkmar, 1997). Widihastuti (2007) juga mengungkapkan bahwa orang tua biasanya mengalami stres, kecewa, patah semangat, khawatir terhadap masa depan anaknya, dan berusaha mencari pengobatan kemana-mana, serta menunjukkan berbagai reaksi lainnya. Orang tua mulai mencari alternatif penanganan bagi anak mereka untuk mempersiapkan anak semandiri mungkin agar dapat hidup dengan layak saat orang tuanya beranjak tua atau meninggal dunia. Laura Schieve dan koleganya (2007, dalam Sastry & Aguirre, 2014) menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak autisme akan merasa sedih karena menghadapi lebih banyak persoalan dibandingkan orang tua dengan anak berkebutuhan khusus lainnya saat berusaha untuk mendapatkan perawatan kesehatan, intervensi, dan terapi yang dibutuhkan oleh anak mereka.
Sastry dan Arguirre (2014) mengungkapkan bahwa kehadiran anak autisme juga menimbulkan sejumlah tantangan bagi orang tua, yaitu tantangan pada faktor finansial, psikologis, praktis, dan sosial. Tantangan pada faktor finansial berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk mengasuh anak autisme, khususnya untuk biaya kesehatan dan pendidikan yang sekaligus memengaruhi peningkatan biaya hidup keluarga. Tantangan tersebut semakin berat ketika kehadiran anak autisme memberikan efek negatif terhadap karir orang tua yang cenderung meminta libur atau bahkan berhenti dari pekerjaan demi mengasuh anak.
Orang tua juga mengalami tantangan pada faktor psikologis terkait stres yang dirasakan karena perilaku anak, serta penanganan yang melelahkan dan
mengecewakan. Faktor psikologis berupa kekhawatiran akan masa depan anak, pendapat keluarga besar dan teman-teman, serta dukungan yang akan diperoleh dari pasangan juga menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak autisme. Tantangan terkait stres lain yang umumnya dirasakan oleh orang tua adalah depresi, kecemasan, dan kemarahan. Orang tua dengan anak autisme mengalami stres dengan kadar stres pada ibu lebih tinggi dibandingkan kadar stres yang dialami oleh ayah (Sastry & Aguirre, 2014). Seorang ibu yang memiliki anak autisme juga mengalami stres yang lebih besar dibandingkan dengan ibu yang memiliki anak Down Syndrome (Abbeduto et al, 2004). Menurut Annette Estes dan koleganya (2009, dalam Sastry & Aguirre, 2014) sumber stres pada ibu disebabkan oleh antara lain anak mudah tersinggung, melakukan agitasi, menangis, ujarannya tidak benar, memiliki ketidakmampuan untuk mengikuti aturan dan menunjukkan kesulitan perilaku lainnya, serta tidak pernah merasa membutuhkan bantuan untuk melakukan tugas dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum, orang tua dari anak autisme mengungkapkan permasalahan psikologis yang lebih banyak dibandingkan dengan orang tua lainnya dan sering mengalami perasaan terisolasi (Sastry & Aguirre, 2014).
Tantangan pada faktor praktis juga dialami oleh orang tua karena harus menghabiskan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan tugas sehari-hari dan bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Orang tua juga harus melakukan beberapa perubahan signifikan karena memiliki tugas rumah tangga tambahan yang memerlukan ekstra waktu, perhatian, dan tenaga, serta
kerja keras dan adaptasi yang cenderung besar, seperti menyediakan waktu yang lebih banyak untuk mengurus dan mengawasi perilaku anak, memikirkan pengobatan atau terapi yang diperlukan untuk anak, dan lain-lain (Powers, 1989 dalam Powers, 2000). Tantangan lain yang dialami oleh orang tua yang memiliki anak autisme terdapat pada faktor sosial karena orang tua cenderung memiliki hubungan sosial yang lebih buruk dibandingkan dengan orang tua dengan anak yang tergolong normal.
Semua hal tersebut diduga akan berpengaruh secara negatif terhadap kepuasan perkawinan karena mengakibatkan adanya perubahan pola interaksi yang terjalin di antara orang tua terkait aspek-aspek kepuasan perkawinan, yaitu permasalahan-permasalahan kepribadian, kesamaan peran, komunikasi, pemecahan masalah, manajemen keuangan, aktivitas dalam mengisi waktu luang, hubungan seksual, anak-anak dan pengasuhan, keluarga dan teman-teman, serta orientasi keagamaan (Fowers & Olson, 1989). Orang tua dengan anak autisme cenderung memiliki pola komunikasi dengan tingkat self-disclosure yang berbeda dan tidak seimbang antara satu sama lain, sehingga dapat menurunkan kepuasan perkawinan (Allen et al dan Schumm et al, dalam Davidson & Moore, 1996). Para suami juga memiliki kecenderungan untuk mengalah dan menarik diri ketika berada dalam situasi konflik, khususnya jika topik yang menjadi sumber konflik dikemukakan oleh istri (Noller & Fitzpatrick dalam Davidson & Moore, 1996).
Pada beberapa kasus, kehadiran anak autisme menjadi sumber konflik bagi orang tua, bahkan dapat mengancam stabilitas perkawinan (Siegel dalam
Cohen & Volkmar, 1997). Sejumlah besar orang tua yang berjuang keras untuk merawat anak autisme mengungkapkan bahwa terdapat tekanan dalam kehidupan perkawinan yang dijalani dan beberapa diantaranya melaporkan kepuasan yang lebih rendah dalam hubungan bersama pasangan (Sastry & Aguirre, 2014). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki anak autisme memiliki tingkat perceraian yang cenderung lebih tinggi pada rentang usia perkawinan 6 tahunan dan tidak ada penurunan risiko perceraian hingga anak berusia 8 tahunan (Hartley et al, 2010). Papalia, Sterns, Feldman, dan Camp (2002) mengungkapkan bahwa penurunan tingkat kepuasan perkawinan biasanya disebabkan oleh berkurangnya aspek-aspek positif dalam kehidupan perkawinan, antara lain seperti keintiman, ekspresi afeksi, diskusi, kerja sama, dan kegiatan yang bersifat menyenangkan yang dilakukan bersama pasangan.
D.Kerangka Konseptual
Penelitian ini secara khusus akan berfokus pada orang tua yang memiliki anak autisme. Anak dengan autisme cenderung memiliki keterbatasan atau gangguan perkembangan yang kompleks terkait kemampuan interaksi sosial karena memiliki ketidakmampuan untuk memahami perasaan dan emosi orang lain. Anak juga mengalami hambatan yang berkaitan dengan kemampuan komunikasi khususnya untuk memproduksi kata-kata bermakna, memahami informasi sesuai konteks, dan mempertahankan percakapan dengan orang lain. Selain itu, anak menunjukkan keterbatasan terkait minat dan perilaku karena anak
autisme memiliki kecenderungan untuk menunjukkan perilaku yang tidak lazim dan memiliki minat yang terbatas pada hal-hal tertentu (Sastry & Aguirre, 2014).
Keterbatasan yang dimiliki oleh anak autisme menimbulkan berbagai tantangan bagi orang tua pada faktor finansial, psikologis, praktis, dan sosial. Tantangan pada faktor finansial berkaitan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk merawat anak dengan autisme. Tantangan lain yang dihadapi oleh orang tua terdapat pada faktor psikologis terkait peningkatan stres yang dirasakan karena kondisi anak yang memiliki berbagai keterbatasan serta membutuhkan perhatian khusus. Selain itu, orang tua juga memiliki tantangan pada faktor praktis berkaitan dengan meningkatnya jumlah tugas dalam rumah tangga yang menuntut ekstra waktu, tenaga, dan perhatian, sehingga mengurangi waktu bersama pasangan. Kemudian tantangan pada faktor sosial terkait hubungan orang tua dengan orang-orang di sekitarnya yang cenderung lebih buruk dibandingkan orang tua lainnya (Sastry & Aguirre, 2014).
Tantangan-tantangan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan pola interaksi yang berkaitan dengan aspek-aspek kepuasan perkawinan, antara lain tingkat kepuasan terkait permasalahan-permasalahan kepribadian pasangan, kesamaan peran, tingkat kenyamanan dalam menjalin komunikasi dengan pasangan, pemecahan masalah, manajemen keuangan, aktivitas dalam mengisi waktu luang, perasaan senang terkait hubungan seksual bersama pasangan, anak-anak dan pengasuhan, keluarga dan teman-teman, serta orientasi keagamaan (Fowers & Olson, 1989). Hal tersebut berpotensi mengakibatkan timbulnya tekanan dan berbagai permasalahan dalam perkawinan yang dapat membahayakan
stabilitas perkawinan. Peneliti menduga berbagai perubahan yang dialami oleh orang tua dapat berpengaruh negatif terhadap tingkat kepuasan perkawinan yang dirasakan. Kepuasan perkawinan yang dimaksud adalah evaluasi subjektif yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap kehidupan perkawinan yang dijalani berkenaan dengan perasaan bahagia, puas, dan senang. Oleh karena itu, peneliti berharap dapat mengeksplorasi perubahan-perubahan yang dialami oleh orang tua berkenaan dengan aspek-aspek kepuasan perkawinan serta sejauh mana orang tua merasakan kepuasan terhadap perkawinannya, sehingga pada akhirnya orang tua yang memiliki anak autisme diharapkan dapat mengembangkan sikap dan perasaan terkait aspek-aspek kepuasan perkawinan secara maksimal agar perasaan puas dan bahagia dalam menjalani kehidupan berumah tangga semakin meningkat.
Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian Beban orang tua: 1. Tantangan pada faktor finansial (biaya) 2. Tantangan pada faktor psikologis (stres) 3. Tantangan pada faktor praktis (peran dan tugas tambahan) 4. Tantangan pada faktor sosial (relasi dengan orang lain) Gangguan interaksi sosial Anak autisme Gangguan komunikasi Gangguan minat dan perilaku Perubahan pada aspek-aspek kepuasan perkawinan: 1. Permasalahan -permasalahan kepribadian 2. Kesamaan peran 3. Komunikasi 4. Pemecahan masalah 5. Manajemen keuangan 6. Aktivitas dalam mengisi waktu luang 7. Hubungan seksual 8. Anak-anak dan pengasuhan 9. Keluarga dan teman-teman 10.Orientasi keagamaan Kepuasan perkawinan?
24