Syahwandri, 2013
POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK TUNARUNGU
YANG MEMILIKI KEPERCAYAAN DIRI RENDAH
(Studi Kasus Terhadap Orang Tua Di SLB-B Negeri Cicendo Bandung )
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan Pendidikan Khusus
Oleh
SYAHWANDRI
0908997
JURUSAN PENDIDIKAN KHUSUS
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
Pola Asuh Orang Tua Pada Anak
Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan
Diri Rendah
Oleh Syahwandri
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan
© Syahwandri 2013 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2013
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Syahwandri, 2013
POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK TUNARUNGU YANG MEMILIKI KEPERCAYAAN DIRI RENDAH
(Studi Kasus Terhadap Orang Tua Di SLB-B Negeri Cicendo Bandung)
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING
Pembimbing I
Dr. Budi Susetyo, M. Pd
NIP. 195809071987031001
Pembimbing II
Dr. Atang Setiawan, M. Pd
NIP. 195604121983011001
Mengetahui
Ketua Jurusan Pendidikan Khusus
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia
Drs. Sunaryo, M. Pd
NIP. 195607221985031001 SYAHWANDRI
0908997
ABSTRAK
SYAHWANDRI (0908997)
POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU YANG MEMILIKI KEPERCAYAAN DIRI RENDAH
(Studi Kasus Terhadap Orang Tua Di SLB-B Negeri Cicendo Bandung)
Anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam bahasa, akan tetapi keterbatasan tersebut dapat diminimalisir dengan program intervensi dini, program layanan di sekolah dan peran terpenting dari keluarga lebih khusus lagi orang tua. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, anak tunarungu juga tumbuh dan berkembang sesuai dengan fase perkembangannya. Namun dalam dalam fese-fase perkembangannya ini tidak dapat dipungkiri akan dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah faktor eksternal yang berasal dari luar diri anak yaitu keluarga terutama orang tua dengan berbagai macam pola asuhnya. Setelah dilakukan studi pendahuluan dan angket yang diberikan kepada anak yang menjadi rekomendasi dan telah diamati beberapa waktu, maka diperoleh hasil adanya salah satu anak dari siswa kelas IVA SDLB SLBN-B Negeri Cicendo yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah. Dari kasus tersebut, melalui penelitian ini peneliti ingin mengungkap mengenai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri yang rendah tersebut. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek adalah salah satu siswa kelas IVA SDLB SLB-B Cicendo yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa anak yang memiliki tingkat keprcayaan diri rendah itu dipengaruhi oleh pola asuh authoritarian atau otoriter, namun tidak murni otoriter karena sebagian indikator dari pola asuh otorioter tidak terdapat dalam perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Rekomendasi dari penelitian ini khususnya kepada orang tua yaitu agar hasil penelitian ini dapat menjadi sumber bahan evaluasi terhadap pola asuh yang telah diterapkan sebelumnya, agar potensi kepercayaan diri anak dapat berkembang dengan baik. Sedangkan rekomendasi bagi peneliti berikutnya adalah diharapkan nantinya dapat dilakukan penelitian dengan permasalahan yang sama namun dengan beberapa subjek agar hasil penelitian tersebut akan benar-benar dapat menggambarkan jenis-jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya dengan berbagai kondisi dan situasi.
Syahwandri, 2013
DAFTAR ISI
ABSTRAK………...i
KATA PEMGANTAR………ii
DAFTAR ISI………..vi
DAFTAR TABEL………..ix
DAFTAR GAMBAR………...x
BAB I PENDAHULUAN………
A. Latar Belakang Masalah
B. Fokus Masalah Penelitian
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Anak Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu 2. Klasifikasi Anak Tunarungu
B. Konsep Dasar Kepercayaan Diri Anak Tunarungu 1. Definisi Kepercayaan Diri Anak Tunarungu 2. Pembentukkan Kepercayaan Diri Anak Tunarungu 3. Aspek Kepercayaan Diri Anak Tunarungu
4. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kepercayaan Diri Anak Tunarungu C. Konsep Dasar Mengenai Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak Tunarungu
1. Definisi Pola Asuh
2. Dimensi Perlakuan Orang Tua Terhadap Anak 3. Jenis-Jenis Pola Asuh
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
B. Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian
2. Subjek Penelitian
C. Instrumen Penelitian dan Tehnik Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian
1. Tahap Pra Lapangan 2. Tahap Pekerjaan Lapangan
3. Tahap Pemeriksaan Keabsahan Data 4. Tahap Analisis dan Penafsiran Data E. Pengujian Keabsahan Data
1. Perpanjangan Pengamatan 2. Triangulasi
3. Member Check F. Tehnik Analisis Data
1. Reduksi Data 2. Penyajian Data
3. Penarikan Kesimpulan
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek 2. Deskripsi Data B. Pembahasan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan B. Saran
1. Bagi Orang Tua 2. Bagi Guru
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran I
Lampiran II
Lampiran III
Lampiran IV
Lampiran V
Syahwandri, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua
Tabel 3.1 Tabel Kisi-Kisi Umum Instrumen Penelitian
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Pengaruh Percaya Diri Terhadap Belajar Siswa
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
“Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak”(Bahri Djamarah, 2004:16). Orang tua dan anak memiliki keterikatan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Di dalam keluarga, orang tua memegang
peranan penting dalam pengasuhan anak sebagaimana yang dikemukakan oleh Surbakti
(2012:25) bahwa “Orang tua merupakan tokoh utama (paling penting) yang membentuk karakter, kepribadian, dan temperamen anak-anak”. Hal ini bisa terjadi, karena hampir seluruh waktu orang tua berada dekat dengan anak anak.
Sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak, orang tua dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga orang tualah yang paling mengetahui
perubahan yang paling saksama pada diri anak. Namun demikian, untuk menerapkan dan
memberikan pola asuh yang baik kepada anak diasumsikan oleh kebanyakan orang
sebagai sesuatu yang relatif berat. Namun demikian, orangtua harus berupaya sedemikian
rupa untuk benar-benar dapat menerapkan pola asuh yang baik kepada anak.
Pola pengasuhan (parenting style) orang tua kepada anak erat kaitannya dengan
penerapan fungsi-fungsi keluarga, antara lain fungsi edukasi, fungsi perlindungan, fungsi
afeksi, maupun fungsi ekonomi, (Tim Mitra guru, 2005:58-60). Pengukuhan dan
pengabaian fungsi-fungsi tersebut akan berpengaruh pada pelaksanaan peran
masing-masing anggota keluarga secara kesatuan maupun secara individual oleh masing-masing-masing-masing
anggota keluarga yang bersangkutan. Hal ini berpengaruh pada situasi atau suasana
kehidupan keluarga yang akan melahirkan iklim tertentu pada keluarga yang pada
gilirannya merupakan kondisi bagi lahirnya tingkah laku orang-orang dalam keluarga
tersebut.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
kepada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak yang sedang dalam masa
pembekalan diri bagi kehidupannya, salah satunya adalah pengaruh pada kepercayaan diri
atau percaya diri (Self Confidence) anak. terutama bagi anak tunarungu yang notabenenya
adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengakses informasi melalui indra
Syahwandri, 2013
masalah bahasa yang dialami tunarungu ini maka berpengaruh pada perkembangan sosial,
emosional, maupun intelektualnya” (Somantri, 2006:96).
Tentunya proses anak tunarungu untuk menjadi percaya diri tidak berlangsung secara
instan. Melainkan sudah dimulai secara perlahan sejak usia sebelumnya. Ciri anak yang
memiliki kepercayaan diri rendah, seperti berpikir buruk dan menilai rendah tentang
dirinya. Selain itu ada kecendrungan anak menganggap bodoh, tidak berguna, dan
label-label negatif lainnya tentang dirinya. Apabila dihadapkan pada masalah dan tantangan, dia
akan menganggapnya sebagai sumber utama kecemasan dan frustasi, karena dia
mengalami kesulitan dalam menemukan solusi atas suatu masalah.
Percaya diri bukanlah bawaan anak dari sejak lahir, melainkan nilai yang tumbuh
bertahun-tahun sejalan dengan pengalaman hidup, hingga anak kelak akan memandang
positif dan cenderung memiliki harapan realistis terhadap dirinya. “Percaya diri
merupakan kumpulan kepercayaan atau perasaan yang dimilki anak tentang dirinya, yang
mempengaruhi motivasi, perilaku, sikap, dan penyesuaian emosinya.”(Bachtiar, 2012:137
-138). “Kepercayaan diri bagi anak dan khususnya bagi anak tunarungu sangat penting karena ada hubungan yang kuat antara perasaan seseorang terutama anak tunarungu
terhadap dirinya sendiri dan bagaimana dia berperilaku,” Dwi (Somantri, 2006:99). Maka dari itu agar anak tunarungu percaya diri dalam hidupnya maka diperlukan pola asuh yang
baik, yang konsisten, dan berkesinambungan dari orang tua kepada anaknya. Sebaliknya
pola asuh yang kurang baik, tidak akan mendukung peningkatan perkembangan
kepercayaan diri anak. Namun bagaimanakah bentuk pola asuh yang orang tua terapkan
kepada anak tunarungu yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah sehingga anak
tunarungu tersebut tidak mampu memenuhi tuntutan dalam hidupnya dan cendrung
memiliki konsep terhadap diri sendiri yang kurang baik, bahkan anak selalu menganggap
dirinya tidak mampu, tidak berguna dan lemah. Dari uraian singkat mengenai latar
belakang ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk memperoleh
gambaran mengenai Pola Asuh Orangtua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki
Kepercayaan Diri Rendah.
B. Fokus Penelitian
Fokus masalah pada penelitian ini adalah “Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah”. Dari fokus permasalahan tersebut peneliti merincinya menjadi beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian ini
yang diterapakan oleh orang tua kepada anak. Adapun pertanyaan-pertanyaan penelitian
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang memiliki
kepercayaan diri rendah.
2. Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu yang
memiliki kepercayaan diri rendah.
3. Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki
kepercayaan diri rendah.
4. Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki
kepercayaan diri rendah.
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pola Asuh Orang Tua
Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah. Namun secara khusus tujuan penelitian ini untuk mengetahui :
a. Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang
memiliki kepercayaan diri rendah.
b. Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu
yang memiliki kepercayaan diri rendah.
c. Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki
kepercayaan diri rendah.
d. Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki
kepercayaan diri rendah.
2. Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian dapat dicapai, maka hasil penelitian ini akan memiliki
manfaat baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan titik
tolak untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan profesi guru pendidikan
khusus terhadap keluarga yang memiliki anak tunarungu.
b.Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
Syahwandri, 2013
terutama orang tua yang lebih baik lagi terutama dalam menerapkan pola
pengasuhan terhadap anaknya yang tunarungu.
D. Definisi Konsep
1. Pola Asuh Orang Tua
Bahri Djamarah, S (2004:27) menyebutkan bahwa, “Pola asuh adalah model
kepemimpinan orang tua dalam mendidik anaknya. Model yang digunakan
bermacam-macam seperti model demokratis, laisez feir ataupun otoriter”.
Danny I. Yatim-Irwanto (1991:94) mengemukakan bahwa, “Pola asuh berarti pendidikan, sadangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama”.
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, peneliti memandang bahwa pola
asuh adalah sebagai pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif
konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi
negatif dan positif.
Teori yang digunakan untuk menentukan pola asuh yang diterapkan oleh orang
tua pada anak tunarungu ini adalah merujuk pada teori yang dikemukakan oleh
Baumrind, D (Surbakti, 2012:7-8) menyampaikan hasil penelitiannya “…bahwa ada empat jenis pola asuh yaitu, pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan neglecful
(tidak peduli)”.
a. Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)
Tipe pengasuhan ini memiliki tuntutan yang tinggi, tidak fleksibel atau kaku,
tidak responsif, mendesak anak mengikuti arahan-arahan orang tua, penerapan
hukuman dan menghargai kerja keras. Orang tua pada tipe ini menempatkan
kontrol-kontrol yang tegas pada anak, sangat menekankan pada kepatuhan dan
mengharapkan aturan-aturan mereka dipatuhi tanpa adanya penjelasan. Biasanya
mereka hanya sedikit terlibat dalam komunikasi dengan anak, tidak adanya
negosiasi dan kompromi dengan anak serta tidak banyak memberikan penjelasan
mengenai aturan atau tindakan orang tua. Desmita (2010:56-57) menjelaskan
mengenai pola asuh otoriter ini. Meurut beliau,
pendapat. Orang tua yang otoriter juga bersikap sewenang-wenang dan tidak bersikap demokratis dalam membuat keputusan, memaksakan peran-peran atau pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri, serta kurang menghargai pemikiran dan perasaan mereka. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada masa awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibanding dengan anak-anak yang lain.
Indikator-indikator pola asuh otoriter ini antara lain :
1) Tuntutan yang tinggi dalam aspek sosial, intelektual, emosi dan kemandirian.
2) Adanya batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang yang besar bagi
anak untuk mengemukakan pendapatnya.
3) Orang tua bersikap sewenang-wenang dalam membuat keputusan,
memaksakan peran-peran dan kehendak kepada anak tanpa
mempertimbangkan kemampuan anak.
4) Orang tua tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat
keputusan sendiri.
5) Aspek respon dan menerima orang tua yang rendah kepada anak namun
kontrol tinggi
6) Orang tua mudah untuk memberikan hukuman baik secara verbal atau non
verbal.
7) Orang tua kurang menghargai pemikiran dan perasaan anak.
b. Pola Asuh Permisif (Permisive)
Pada pola asuh permisif ini, orang tua justru merasa tidak peduli dan
cendrung memberi kesempatan serta kebebasan secara luas kepada anaknya.
Orangtua seringkali menyetujui terhadap semua dengan tuntutan dan kehendak
anaknya. Semua kehidupan keluarga seolah-olah ditentukan oleh kemauan dan
keinginan anak. Jadi anak disini merupakan sentral dari segala aturan dalam
keluarga. Dengan demikian orang tua tidak mempunyai kewibawaan. Akibatnya
segala pemikiran, pendapat maupun pertimbangan orang tua cendrung tidak
pernah diperhatikan oleh anak. Razak Noe’man, R, (2012:35) memperjelas
pengertian dari pola asuh permisif ini. Menurut beliau,
Syahwandri, 2013
konfrontasi dengan anak dan membiarkan anak melakukan semua hal yang disukainya.
Indikator-indikator pola asuh permisif adalah :
1) Kasih sayang yang berlebihan sehingga orang tua mengikuti segala keinginan
dan kemauan anak tanpa ada batasan.
2) Aspek respon dan menerima tinggi kepada anak.
3) Tuntutan dan kontrol yang rendah dari orang tua kepada anak.
4) Orang tua sangat toleran kepada anak.
5) Tidak menuntut anak untuk berperilaku matang, mandiri dan bertanggung
jawab.
c. Pola Asuh Demokratis (Authoritative)
Pola demokratis yaitu setiap aturan dan tindakan orang tua selalu disertai
penjelasan dan respons yang baik terhadap pendapat anak. Orang tua juga terlibat
dalam pemecahan masalah anak. Dalam menerapkan kedisiplinan, orang tua yang
demokratis akan bersikap suportif, artinya ketika anak tidak mematuhi aturan
orang tua dan mampu menjelaskan alasannya, orang tua bersedia mendengar dan
memahami. Kendati demikian, aturan tetap dilaksanakan secara konsisten. Orang
tua demokratis menyadari bahwa mengembangkan sikap tanggung jawab,
kemandirian dan respek merupakan sebuah proses yang harus dilalui secara
bertahap. Selain itu, orang tua tipe ini juga menghargai emosi dan membantu anak
untuk mengekspresikan emosinya secara tepat. Mereka juga membatu anak untuk
mengembangkan keyakinan-keyakinan dirinya yang positif. Razak Noe’man, R, (2012:34) menyatakan bahwa,
Pola asuh demokratis adalah pengasuhan yang memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsif terhadap kemauan dan kehendak anak. Orang yang demokratis akan bersikap asertif, yaitu membiarkan anak untuk memilih apa yang menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya, tetapi masih menetapkan standar dan batasan yang jelas pada anak serta selalu mengawasinya. Mereka pun terlibat dalam komunikasi yang intensif dan dan hangat serta responsif terhadap kebutuhan anak. Komunikasi yang hangat dan terbuka memungkinkan adanya diskusi.
Indikator-indikator pola asuh demokratis berdasarkan teori yang telah
dikemukakan sebelumnya antara lain sebagai berikut :
1) Orang tua memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsive terhadap
2) Orang tua bersikap asertif yaitu membiarka anak untuk memilih apa yang
menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya,
tetapi menetapkan stnadar dan batasan yang jelas serta selalu mengawasinya.
3) Terjalinnya komunikasi yang intensif dan hangat bersama anak.
4) Komunikasi yang terbuka dan memungkinkan adanya diskusi antara orang tua
dengan anak.
5) Orang tua bersikap responsive terhadap kebutuhan anak.
6) Orang tua menghargai emosi dan membantu anak untuk mengekspresikan
emosinya secara tepat.
7) Orang tua membantu anak untuk mengembangkan keyakinan dirinya yang
positif.
d. Pola Asuh Neglecful
Dalam pola asuh ini, anak-anak pun tumbuh tanpa bimbingan orang tua.
Bahkan, pada kasus ekstrim, ada orang tua yang cenderung mengabaikan anak
karena sibuk mengurusi kepentingan sendiri. Biasanya orang tua seperti ini sudah
merasa puas dengan melimpahi materi kepada anak atau memasukkan anak ke
sekolah-sekolah mahal. Akibatnya, anak akan merasa dirinya tidak berharga..
mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kompetensi sosial,
kurang dapat mengontrol diri, serta tidak mandiri. Razak Noe’man, R, (2012:36) menjelaskan bahwa,
Pola asuh ini juga disebut dengan pola asuh abai atau tidak peduli. Dalam pengasuhannya pola asuh ini menerapkan kasih sayang dan tuntutan yang sangat rendah terhadap anak. Kemungkinan cara pengasuhan ini diakibatkan oleh kurangnya waktu. Banyak orang tua yang bekerja dari pagi sampai malam, sementara anak diasuh oleh baby sitter.
Indikator pola asuh neglectful jika ditinjau dari teori yang telah dikemukakan
sebelumnya antara lain sebgai berikut :
1) Orang tua memilki tuntutan dan kasih sayang yang sangat rendah kepada anak.
2) Seringkali anak tumbuh tanpa bimbingan orang tua karena minimnya waktu
yang dimiliki bersama anak.
3) Orang tua cendrung mencukupi kebutuhan fisik anak dan mengabaikan
kebutuhan yang berupa non fisik seperti kasih sayang kepada anak.
Untuk menentukannya kecendrungan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
kepada anak, maka harus ditentukan dahulu aspek aspek yang terdapat pada
Syahwandri, 2013
yang sering dipilih merujuk pada pendapat ahli yang dikemukakan oleh Diana
Beumrind (Surbakti, 2010:3-6) yang mengemukakan empat aspek atau dimensi
perilaku orang tua terhadap anak-anaknya. Dari keempat dimensi ini nantinya dapat
dilihat kecendrungan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya.
Apakah termasuk pola asuh otoriter, demokratis, permisif ataupun neglecful. Empat
aspek atau dimensi perilaku tersebut yaitu :
a) Aspek Tuntutan (Demandingness)
Dimensi ini menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua
kepada anak. Apakah orang tua menuntut terlalu tinggi di atas kemampuan anak
ataukah justru orang tua tidak menetapkan bagaimana anaknya harus berperilaku.
Masing-masing orang tua memiliki tuntutan yang berbeda antar satu dengan yang
lainnya.
b) Aspek Control (Controll)
Dimensi ini menunjukkan pada tinggi atau rendahnya upaya orang tua dalam
menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan tingkah laku yang
telah dibuat sebelumnya. Tindakan yang bersifat mengontrol adalah tindakan
dimana orang tua merubah ekspresi anak yang dependent, agresif, dan senang
bermain atau membuat anak mengikuti standar orang tua yang telah ditetapkan.
c) Aspek Respon (Responsiveness)
Dimensi ini mengukur bagaimana orang tua merespon pada anaknya. Orang tua
menggunakan penalaran untuk mencapai sesuatu dari anak dan berusaha
memecahkan masalah anak melalui musyawarah. Orang tua dapat menunjukan
kasih sayang dengan tindakan dan sikapnya yang memperhatikan kesejahteraan
fisik dan mental emosional anak dan dapat menunjukkan kebanggaan serta
kebahagiaan atas keberhasilan anak. Rentang perhatian yang diberikan orang tua
berkisar antara : orang tua yang sangat tanggap terhadap kebutuhan anak,
sehingga orang tua tidak tahu kebutuhan anaknya secara pasti.
d) Aspek Penerimaan (Accepting)
Dimensi ini ditujukan untuk mengukur kesadaran orang tua untuk mendengarkan
atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan kesadaran orang tua
dalam memberikan hukuman kepada anak apabila diperlukan.
Dari keempat perlakuan dari perlakuan orang tua kepada anak di atas, ternyata
Surbakti (2010:8) menyimpulkan bahwa,
Jika dimensi menuntut, mengontrol, menerima, dan merespon yang kadarnya tinggi dipadukan maka akan terbentuk pola asuh authoritative. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya tinggi sementara penerimaan dan respon kadarnya rendah maka akan terbentuk pola asuh authoritarian. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya rendah maka akan terbentuk pola asuh permissive-indulgent atau memanjakan. Dan jika dimensi menuntut dan mengontrol, menerima dan meresponnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh permissive-indifferent atau pola asuh tidak peduli.
2. Anak Tunarungu
Beberapa ahli telah menjelaskan pengertian tunarungu diantaranya “Istilah
tunarungu diambil dari kata “Tuna” dan “Rungu” tuna artinya kurang dan rungu
artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu
mendengar atau kurang mampu mendengar suara” (Somad dan Hernawati, 1995:26) Hallahan dan Kaufman (Somad dan Hernawati, 1995:26) mengemukakan tentang
tunarungu yaitu :
Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may in severity fro mild to profound it includes the subsets of deaf and hard hearing. A deaf person in one whose hearing disability precludes successful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable successful processing of linguistic information through audition.
Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah
umum yang menunjukkan kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan
mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli dan
kurang dengar. Orang tuli( deaf) adalah seseorang yang kehilangan kemampuan
mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik
memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Orang kurang dengar (hard of
hearing) adalah seseorang yang pada umunya dengan menggunakan alat bantu dengar
cukup memungkinkan keberhasilan memproses informasi bahasa melalui
pendengarannya. Sementara itu Sadja’ah (2004:43) membedakan pengetian anak tunarungu menjadi tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).
Tuli adalah keadaan seseorang yang indra pendengarannya tidak dapat digunakan untuk tujuan hidup sehari-hari. Kurang dengar yaitu seseorang yang organ pendengarannya yang sekalipun rusak tapi masih berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan maupun tidak menggunakan alat bantu dengar.
Syahwandri, 2013
Tuli adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).
Boothroyd (Bunawan dan Yuwati, 2006:6) memberikan batasan untuk tiga
istilah tunarungu berdasarkan seberapa jauh seseorang dapat memanfaatkan (sisa)
pendengarannya dengan atau tanpa bantuan amplifikasi/ pengerasan oleh alat bantu
mendengar (ABM), yaitu :
Kurang dengar (hard of hearing) adalah mereka yang mengalami gangguan dengar, namun masih dapat menggunakan sebagai sarana/modalitas utama untuk menyimak suara percakapan cakapan seseorang dalam mengembangkan kemampuan bicaranya. Tuli (deaf) adalah mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat digunakan sebagai sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih dapat difungsikan sebagai suplemen (bantuan) pada penglihatan dan perabaan. Tuli total (totally deaf) adalah mereka yang sudah sama sekali tidak memiliki pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimak/mempersepsi dan mengembangkan bicara.
Dari beberapa pengertian mengenai anak tunarungu yang telah dikemukakan
oleh beberapa ahli di atas , maka dapat disimpulkan bahwa Anak tunarungu adalah
seorang anak atau individu yang mengalami kekurangan dan kehilangan kemampuan
mendengar baik sebagian (hard of hearing) atau seluruhnya(deaf) yang disebabkan
oleh kerusakan atau ketidakberfungsian indra pendengaran sehingga berakibat pada
kemampuan dan perkembangan bahasanya dan nilai fungsional dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Kepercayaan Diri Rendah
Dariyo (2006:206) menyatakan bahwa “Kepercayaan diri (self confidence) ialah kemampuan individu untuk dapat memahami dan meyakini seluruh potensinya agar
dapat dipergunakan dalam menghadapi penyesuaian diri dengan lingkungan
hidupnya”. Hal senada juga disampaikan Iswidharmanjaya, D(2004:13) mengenai percaya diri. Beliau mengatakan bahwa “Percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta
dapat memanfaatkannya secara tepat”.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri
merupakan adanya sikap individu yakin akan kemampuannya sendiri untuk
bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkannya sebagai suatu perasaan yang yakin
oleh orang lain. Percaya diri merupakan kumpulan kepercayaan atau perasaan yang
dimiliki anak tentang dirinya yang nantinya akan mempengaruhi motivasi, perilaku,
sikap dan penyesuaian emosinya.
Untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat kepercayaan diri seorang lebih khusus
lagi pada anak tunarungu dapat dilihat dari indikator atau aspek-aspek dari
kepercayaan diri itu sendiri. Teori yang digunakan untuk menentukan tingkat
keprcayaan diri seseorang dalam penelitian ini merujuk pada jurnal psikologi oleh
Afiatin dan Martaniah (1998) merumuskan beberapa aspek dari Lauster dan Guilford
yang menjadi ciri maupun indikator dari kepercayaan diri anak tunarungu yaitu :
a. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki. Ia merasa optimis, cukup ambisius, tidak selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya.
b. Individu merasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilandasi oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya dalam berhubungan sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya, aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan kehendak atau ide‐idenya secara bertanggung jawab dan tidak mementingkan diri sendiri.
Syahwandri, 2013
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Menurut Sugiono (2009 : 1)
Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu, dimana cara ilmiah ini berarti kegiatan keilmuan itu dilandasi oleh metode. Dengan cara ilmiah ini diharapkan data yang diperoleh lebih objektif, valid, dan reliable.
Berkenaan dengan penjelasan di atas, pada penelitian ini peneliti menggunakan
metode deskriptif studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini
digunakan Metode deskriptif karena peneliti bermaksud untuk mendeskripsikan apa yang
berlaku atau terjadi. Menurut Nasution (1988:18) Didalam penelitian yang menggunakan metode deskriptif “…terdapat upaya memahami, mengembangkan atau mendeskripsikan fenomena yang ada di lapangan sebagai suatu keutuhan yang tidak dapat dipahami
apabila terpisah dari masalah yang ingin diketahui”
Metode penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan permasalah yang dihadapi
pada masa sekarang dan dapat dilakukan dengan menempuh langkah-langkah
pengumpulan, klasifikasi, dan analisis laporan dengan tujuan utama membuat
penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi.
Ali (2009:83) mengemukakan bahwa “Pemecahan masalah melalui metode deskriptif
ini dapat dilakukan dengan menempuh langkah langkah sistematis, sehingga dapat menggambarkan deskripsi situasi secara objektif.” Selanjutnya, Surakhmad (1995:140) menambahkan penjelasannya bahwa metode deskripstif pada dasarnya memiliki ciri–ciri
sebagai berikut :
1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah – masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah masalah yang aktual.
2. Data yang dikumpulkan mula mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (karena itu metode ini sering pula disebut metode analitik)
Selain itu dikarenakan peneliti ingin mengungkap sebuah permasalahan yang
ditemukan dilapangan yang berupa sebuah kasus maka peneliti menggunakan metode
deskriptif studi kasus. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk mendeskripsikan kasus yang
diteliti dilapangan. Berkenaan dengan studi kasus Silalahi, U (2009:186) menyatakan bahwa, “..Studi kasus merupakan penelitian yang mempelajari secara intensif atau mendalam satu anggota dari kelompok sasaran suatu subjek penelitian”. Dalam keterangan lain Yin (Silalahi, U, 2009:186) mengemukakan,
Arti dari studi kasus yaitu suatu strategi yang secara umum lebih cocok digunakan untuk situasi bila bentuk pokok pertanyaan suatu penelitian dengan “bagaimana” atau “mengapa” ; bila focus penelitiannya terletak pada fenomena atau peristiwa kontemporer masa kini sebagai strategi penelitian, studi kasus lebih tepat untuk mengeksplorasi, mendeskripsikan maupun mengeksplanasikan apa yang terjadi.
Kasus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seorang anak tunarungu yang
memiliki kepercayaan diri yang rendah, kemudian dari kasus tersebut maka peneliti ingin
mengungkap dari sisi pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya.
Sedangkan pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif. Menurut Sugiyono (2010:1) :
Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang biasa disebut juga dengan penelitian naturalistik karena penelitian dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam dan mengandung makna. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian kualitatif juga tidak dipandu oleh teori namun dipandu oleh fakta fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan dan kemudian di deskripsikan oleh peneliti. Oleh karena itu analisis data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikontruksikan menjadi hipotesis dan teori.
Moleong (2002:2) menjelaskan maksud dari penelitian kualitatif yaitu :
Sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan dari orang orang dan perilku yang dapat diamati, pendekatan diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi memandang sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Syahwandri, 2013
bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya”.
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Meneliti subjek yang bersifat alamiah tanpa ada perlakuan (sebagai lawannya adalah
eksperimen)
2. Data bersifat deskriptif yaitu data yang dikumpulkan lebih banyak dalam bentuk kata
kata(deskripsi) dan /atau gambar dibanding angka – angka.
3. Peneliti bertindak sebagai instrument utama atau instrument kunci.
4. Hasil penelitian lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi.
B. Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di SLB-B Negeri Cicendo yang beralamat di jalan
Cicendo No 2, Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kota
Bandung dan juga dirumah orang tua subjek yang diteliti yang beralamat di Jl. Bojong
Soang No. 98 rt/rw 08/04 Bandung 40288.
2. Subjek Penelitian
Penentuan subjek dilakukan dengan teknik Purposive Sampling. Sugiyono
(2009:54) menjelaskan makna dari teknik Purposive Sampling, yaitu : “Pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang tersebut yang
dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti”.
Melalui teknik Purposive Sampling ini peneliti menjadikan guru guru SLB-B
Negeri Cicendo sebagai orang yang paling tahu siapa anak yang memiliki tingkat
kepercayaan diri rendah. Melalui teknik ini maka diperoleh satu anak yang memiliki
tingkat kepercayaan diri yang rendah. Setelah didapatkan 1 anak dengan inisial SA
dari kelas IV A SDLB Cicendo sebagai nominasi dari para guru maka kemudian
peneliti mengadakan pengamatan selama beberapa hari untuk memastikan nominasi
dari para guru tersebut cocok dijadikan sebagi subjek penelitian yang sesuai dengan
indikator dari masing masing tingkat kepercayaan diri yang telah dibuat. Setelah hasil
pengamatan memenuhi kriteria yang telah dibuat untuk menentukan tingkat
bahwa subjek yang diteliti termasuk ke dalam kriteria yang telah peniliti buat
berdasarkan teori yang ada. Penentuan informan yang akan memberikan data yang
akan diwawancarai nantinya juga dilakukan dengan teknik Purposive Sampling dan
Snowbol Sampling. Sugiyono (2009:54) mengemukakan bahwa :
Teknik pengambilan sumber sampel data yang awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sampel sumber data akan semakin besar, seprti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar.
Informan pertama yang akan memberikan data dari proses wawancara mengenai
pola asuh yang diterapkan terhadap SA adalah guru. Hasil dari pembicaraan dan tanya
jawab kepada guru maka, untuk mengumpulkan informasi mengenai pola asuh yang
diterapkan kepada SA maka guru kelas merekomendasikan orang tua SA yaitu MSA
sebagi ibu SA dan PSA sebagai ayah SA. Karena dalam penelitian ini peneliti
menggunakan teknik triangulasi sumber untuk mengecek keabsahan data maka
peneliti membutuhkan satu lagi informan untuk memberikan informasi dan data
mengenai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada SA. PSA dan MSA
sebagai orang tua SA merekomendasikan NSA yaitu nenek SA, dengan alasan NSA
tinggal bersama MSA, PSA dan SA dalam satu lokasi sehingga NSA cukup
mengetahui perihal pola asuh atau pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua
SA kepada SA.
Pemilihan SA sebagai subjek penelitian didasarkan atas pertimbangan sebagai
berikut :
1. Dari hasil studi pendahuluan, pengamatan dan akhirnya pelaksanaan angket untuk
melihat tingkat kepercayaan diri yang dilakukan terhadap SA, maka dinyatakan
SA memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah. Ini berarti SA termasuk dalam
kategori subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini.
2. Sikap orang tua dari SA cukup terbuka ketika peneliti menyampaikan maksud,
tujuan, dan alasan mengapa peneliti ingin meneliti mengenai masalah yang
dialami oleh SA dan orang tua SA bersedia untuk memberikan informasi tentang
pola asuh yang diterapkan kepada SA yang merupakan masalah utama yang akan
diungkap dalam penelitian ini.
Syahwandri, 2013
1. Instrumen Penelitian
Salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah peneliti sebagai instrument
utama penelitian (human instrument), karena peneliti sendiri yang berupaya
mengumpulkan informasi tentang data yang akan diteliti, sedangkan instrumen lainnya
hanyalah sebagai pelengkap. Peneliti juga sekaligus sebagai perencana, pelaksana
pengumpul data, dan pada akhirnya menjadi pelapor dari hasil penelitian.
Moleong (2011:168) mengemukakan bahwa, “Kedudukan peneliti dalam
penelitian kualitatif yaitu sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analisis,
penafsir data dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitiannya”.
Sugiyono (2010:61) juga berpendapat bahwa :
Dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui hasil catatan lapangan dan wawancara.
Selanjutnya Nasution (Sugiyono 2010:61) menyatakan lebih spesifik tentang
peneliti sebagai instrumen penelitian serasi untuk penelitian yang serupa karena
memiliki ciri ciri sebagai berikut :
a. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian. b. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan
dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.
c. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada instrumen berupa tes atau angket yang dapat mengungkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
d. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat difahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakan, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.
e. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk mentest hipotesis yang timbul seketika.
f. Hanya manusia sebagai instrument yang dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau pelakan.
dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diteliti.
Berikut adalah kisi-kisi umum penelitian yang peneliti buat agar dapat
memudahkan pelaksanaan penelitian di lapangannya.
Tabel 3.1
Tabel Kisi-Kisi Umum Instrument Penelitian
No Fokus
Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka
dibutuhkan teknik dalam pengumpulan data karena tujuan utama dari penelitian ini
Syahwandri, 2013
tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :
a. Wawancara
Wawancara merupakan bentuk komunikasi verbal untuk mendapatkan
keterangan/informasi mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitian. Wawancara
ini dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui observasi.
Menurut Zuriah, N.(2009:179) :
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan. Dalam kegiatan wawancara terjadi hubungan antara dua orang atau lebih, dimana kedua orang berperilaku sesuai dengan status dan peranan mereka masing masing.
Menurut Arikunto, Suharsimi (2006:155) “Wawancara adalah sebuah dialog
yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari orang yang yang diwawancarai”.
Pada penelitian ini wawancara dilakukan terhadap orang tua siswa dan
anggota keluarga lain(nenek dari subjek yang diteliti) yang ada di lingkungan rumah.
Adapun aspek yang yang ingin diungkap melalui wawancara itu yaitu dimensi atau
aspek dari pola asuh yang diterapkan pada subjek penelitian, dimensi dimensi
tersebut nantinya akan menggambarkan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
kepada anaknya. Adapun dimensi dimensi tersebut antara lain :
1) Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang
memiliki kepercayaan diri rendah.
2) Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu
yang memiliki kepercayaan diri rendah.
3) Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki
kepercayaan diri rendah.
4) Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki
kepercayaan diri rendah.
Dalam hal ini peneliti membuat pedoman wawancara sesuai dengan informasi
data yang akan diungkap dari responden. Namun jika terdapat hal lain pada saat
wawancara terdapat data yang perlu diungkap dari orang yang diwawancarai maka
peneliti langsung melakukan wawancara dengan pertanyaan yang tidak terdapat
dalam pedoman wawancara yang telah dibuat (emergency).
b. Studi Dokumentasi
Nasution (2009:191) menjelaskan bahwa “Data dalam penelitian naturalistik
kebanyakan diperoleh dari sumber manusia (human resources) melalui wawancara
dan observasi. Namun terdapat pula data yang bukan bersumber dari manusia (non
human resources), diantaranya dokumen, photo, dan bahan statistik”.
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya karya monumental dari seseorang. (Sugiyono,
2009:329)
Dokumen sendiri terdiri dari tulisan seperti buku harian, surat surat dan dokumen resmi. Dalam studi dokumentasi ini peneliti memanfaatkan segala sumber data yang telah disebutkan di atas (jika ada) sebagai penambah dan penjelas data yang diperoleh peneliti lewat obseravasi dan wawancara.
c. Angket/ Kuesioner
Menurut Sugiyono (2009:199) mengemukakan bahwa :
Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada respon untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisiensi bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden.
Narbuko, C(2004:76) juga menerangkan, “…Angket adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pernyataan dan pertanyaan mengenai suatu masalah atau bidang
yang akan diteliti untuk memperoleh data”.
Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup artinya
jawaban yang untuk setiap pertanyaan atau pernyataan sudah tersedia. Hal ini
dilakukan agar dapat memudahkan anak sebagai subjek penelitian untuk mengisi atau
Syahwandri, 2013
pernyataan dengan sejumlah jawaban tertentu sebagai pilihan. Responden mencek
jawaban yang paling sesuai dengan pendiriannya”.
Angket yang digunakan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat
kepercayaan diri anak. Penghitungannya terdapat interval yang nantinya akan terlihat
pada berada pada tingkat mana kepercayaan diri anak. Apakah rendah, sedang atau
tinggi.
D. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti membuat empat tahapan dalam prosedur penelitian.
Keempat tahapan tersebut yaitu :
1. Tahap Pra Lapangan
Dalam menyusun rancangan penelitian, peneliti harus mengikuti beberapa
tahapan yang sudah diatur oleh dewan skripsi di jurusan Pendidikan Luar Biasa.
Pertama peneliti menemukan kasus di lapangan yang menurut peneliti menarik untuk
diteliti, yaitu kasus anak SD kelas IV A di SLB B Negeri Cicendo yang mempunyai
kepercayaan diri rendah dibanding teman sebayanya. Dari kasus yang peneliti
temukan tersebut peneliti ingin mengetahui pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
terhadap anak tersebut.
Dari masalah tersebut peneliti membuat rancangan penelitian dalam bentuk
Proposal Penelitian yang nantinya akan diseminarkan untuk apakah layak atau tidak
layak dilanjutkan sebagai skripsi. Setelah proposal penelitian disetujui peneliti mulai
mengurus perizinan dari fakultas, BAAK, KesBang, dan terakhir di Dinas Pendidikan
Provinsi Jawa Barat. Setelah surat izin penelitian peneliti dapatkan, peneliti langsung
menyerahkan surat izin penelitian tersebut ke Humas SLB B Negeri Cicendo
Bandung. Peneliti kemudian melanjutkan kegiatan penyusunan dua instrument yaitu
instrument penilaian kpercayaan diri yang berupa angket dan instrument untuk
mengungkap pola asuh yang diterapkan berupa wawancara. Kedua instrument
tersebut peneliti uji dengan menggunakan Expert Judgment dari dosen PLB, Dosen
Psikologi, serta guru di sekolah.
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Tahap pekerjaan lapangan peneliti mulai dengan melakukan keakraban dengan
subjek penelitian dan orang orang yang nantinya di duga akan memberikan data agar
nantinya dapat mempermudah peneliti memperoleh data yang diperlukan. Kemudian
memastikan tingkat kepercayaan diri yang dimiliki sesuai dengan masalah yang akan
diteliti. Setelah anak dipastikan benar memiliki keprcayaan diri yang rendah yang
sesuai dengan pernyataan guru di sekolah, hasil catatan lapangan selama beberapa
waktu dan angket yang diberikan, peneliti langsung mengadakan wawancara kepada
ayah, ibu, dan anggota keluarga yang mengetahui kehidupan subjek yang diteliti
untuk mengetahui pola asuh yang diterapkan kepada subjek sebagai anak.
3. Tahap Pemeriksaan Keabsahan Data
Pada tahap pemeriksaan keabsahan data peneliti melakukan dengan tiga teknik
yaitu teknik Triangulasi, member check dan perpanjangan pengamatan.
4. Tahap Analisis dan Penafsiran Data
Terakhir adalah tahapan analisis. Disini peneliti melakukan reduksi data,
penyajian data dan terakhir adalah penarikan kesimpulan data dan verifikasi.
E. Pengujian Keabsahan Data
Pengujian kebasahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perpanjangan
pengamatan, triangulasi sumber melalui teknik wawancara kepada beberapa sumber, dan
member check .
1. Perpanjangan Pengamatan
“Perpanjangan Pengamatan artinya peneliti kembali lagi kelapangan untuk melakukan wawancara atau pengamatan lagi dengan sumber data yang pernah ditemui ataupun yang baru”,(Sugiyono, 2009:122)
Dengan perpanjangan pengamatan berarti diharapkan hubungan peneliti
dengan narasumber akan semakin terbentuk semakin akrab, semakin terbuka, dan
saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang tersembunyikan. Pada tahap
awal peneliti memasuki lapangan, peneliti masih malu, belum terlalu terbuka, takut
menyinggung dan menyita waktu subjek penelitian serta orang orang yang akan
memberikan data. Dengan perpanjangan pengamatan inilah peneliti nantinya akan
mengecek data yang telah diperoleh, dan jika data yang diperoleh tidak sesuai dengan
data yang sebenarnya maka peneliti akan terus melakukan penelitian secara luas dan
mendalam sehingga data yang diperoleh benar benar sama dengan data sebenarnya
yang ada di lapangan.
Syahwandri, 2013
Nusa Putra (2011:189) bahwa “Triangulasi adalah cek dan ricek yaitu pengecekan data menggunakan beragam sumber, teknik, dan waktu”
Triangulasi yang peneliti gunakan disini adalah triangulasi sumber data,
maksunya dari beberapa sumber melalui teknik wawancara seperti wawancara yang
dilakukan terhadap Ayah, Ibu dan anggota keluarga dari subjek penelitian (nenek dari
subjek penelitian), kemudian data tersebut dideskripsikan, dikategorisasikan, mana
pandangan yang sama, mana pandangan yang berbeda, dan mana spesifik dari ketiga
sumber data tersebut. Data kemudian dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan
kesimpulan yang selanjutnya dimintakan kesepakatan (Member Check) dengan tiga
sumber tersebut.
3. Member check
“Member check merupakan upaya untuk memeriksa apakah peneliti telah berhasil mengungkap permasalahan yang ingin diungkap dalam penelitian, dengan
cara melakukan pengecekan kepada orang–orang yang telah dimintai data baik
wawancara, pengamatan atau teknik lainnya”(Putra, N.2011:200).
Setelah triangulasi dilakukan melalui teknik wawancara seperti wawancara yang
dilakukan terhadap Ayah, Ibu dan anggota keluarga dari subjek penelitian kemudian
data tersebut dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, mana
pandangan yang berbeda, dan mana spesifik dari ketiga sumber data tersebut. Data
kemudian dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan kesimpulan yang
selanjutnya dimintakan kesepakatan (Member Check) dengan tiga sumber tersebut.
Jika ketiga sumber tersebut menyetujui hasil analisis dari data yang diperoleh maka
peneliti menghetikan penelitian dan merasa cukup dengan data yang telah diperoleh
dan jika ketiga sumber tersebut tidak menerima atau tidak menyepakati hasil
penelitian karena dianggap jauh berbeda dnegan kenyataan yang sebenarnya maka
peneliti mengadakan diskusi kesepakatan yang lebih lanjut kepada ketiga pemberi
sumber data tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli yaitu :
Sugiyono (2009:129) menambahkan,
dan apabila perbedaannya tajam, maka peneliti harus merubah temuannya, dan harus menyesuaikan dengan apa yang diberikan oleh pemberi data
F. Teknik Analisis Data
Menurut Moleong (1993:103) mengemukakan bahwa “Analisis data adalah proses
mengorganisasi data ke dalam pola, kategorisasi dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan”.
Ahli lainnya yang mengemukakan mengenai analisis data yaitu Bogdan(Sugiyono,
2009:334) :
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memillih mana yang penting dan yangakan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceriterakan kepada orang lain
Dalam penelitian ini, proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang
tersedia baik dari wawancara, catatan lapangan maupun studi dokumentasi. Kemudian
peneliti langsung melakukan analisis terhadap data-data tersebut yang mengacu pada
proses analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan Hubermen (Sugiyono,
2009:337-345) yaitu :
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang
yang tidak perlu. Mereduksi data akan lebih mudah dengan memberikan kode pada
aspek-aspek tertentu sehingga mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan
data selanjutnya dan mencarinya jika diperlukan.
Agar lebih mudah dalam mereduksi data, hasil penelitian yang telah
didapatkan dari lapangan diberikan kode sesuai dengan fokus penelitian yang telah
dibuat sebelumnya. Bagian-bagian data hasil penelitian yang diberi kode tersebut
adalah data-data terpenting yang merupakan jawaban-jawaban dari fokus penelitian.
2. Penyajian Data (Data Display)
Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian
Syahwandri, 2013
digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif”.
Dalam penelitian ini, data hasil penelitian yang telah direduksi disajikan dalam
bentuk matriks wawancara dari ketiga sumber wawancara atau informan.
3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification)
Langkah ketiga dalam penelitian kualitatif menurut Miles and Huberman
adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan
masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid
dan konsisten pada saat meneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data,
1
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pola
asuh atau perilaku-perilaku orang tua pada anak tunarungu yang memiliki
kepercayaan diri rendah antara lain sebagai berikut:
1. Orang tua memiliki tuntutan kepada anak dalam kemampuan
bersosialisasi, kemandirian, prestasi belajar dan kemampuan bicara yang
baik. Dalam kemampuan bersosialisasi orang tua mengharapkan anak agar
dapat bersosialisasi dengan orang banyak terutama dengan masyarakat
sekitar dan disekolah, karena sampai saat ini perilaku anak yang suka
menyendiri dan menghindarkan diri dari pergaulan masih belum hilang.
Orang tua juga mengharapkan agar anak dapat hidup mandiri terutama
dalam melakukan aktivitas keseharian. Hal ini dilakukan oleh orang tua
agar dapat mempersiapkan anak menuju gerbang kedewasaan nanti. Selain
itu orang tua menuntut anak agar dapat belajar dengan baik. Segala upaya
dilakukan serta penegasan dalam kegiatan belajar sangat dikedepankan
agar anak dapat mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Kemudian, orang
tua juga menuntut anak agar dapat berbicara dengan baik. Orang tua selalu
mempertegas agar anak untuk memperbaiki ucapannya ketika berbicara.
Jika anak belum bisa berkata dengan baik, orang tua pun terus menuntut
agar anak dapat berbicara sampai perkataan anak dapat terdengar dengan
baik.
2. Kontrolisasi orang tua kepada anak terdapat dalam pengaturan jadwal
belajar dan aktivitas keseharian dalam menonton TV. Jadwal belajar
sangat dikontrol oleh orang tua. Hal ini dilakukan karena adanya tuntutan
agar anak dapat berprestasi di sekolah. Selain itu orang tua juga
mengontrol aktivitas keseharian anak terutama dalam hal menonton TV.
2
Syahwandri, 2013
kegiatan bersosialisasi untuk mengembangkan kemampuan sosialnya
dengan baik.
3. Orang tua menerima kehadiran anak dalam keluarga. Hal ini tercermin
dalam dalam upaya orang tua dalam mengembangkan bakat yang dimiliki
oleh anak. Kemudian hal lainnya yang menjadi bukti bahwa orang tua
menerima kehadiran anak dalam keluarga adalah adanya waktu khusus
bersama anak dalam keluarga. Orang tua dan anak selalu menyediakan
hari-hari libur untuk melakukan kegiatan bersama, baik itu berupa
kegiata-kegiatan olahraga maupun liburan ke luar kota.
4. Orang tua masih sulit untuk merespon setiapa prestsai atau pencapaian
yang yang diraih oleh anak, namun demikian orang tua masih bersikap
tanggap terhadap segala kebutuhan anak terutama kebutuhan pokok seperti
kebutan sehari-hari dan kebutuhan sekolah.
B. Saran
1. Bagi Orang Tua
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sekaligus
masukkan kepada orang tua bahwa pola asuh yang diterapkan selama ini
masih dirasa kurang sesuai dengan kondisi anak. Hasil penelitian ini
diperoleh tuntutan dan kontrol orang tua sangat tinggi dan tidak sesuai
dengan respon serta penerimaan terhadap sikap, perilaku dan prestasi anak.
Hal ini jelas akan berpengaruh pada sikap dan perilaku anak baik untuk
masa sekarang bahkan dimasa yang akan datang.
Dari hasil penelitian ini, disarankan kepada orang tua agar
memiliki tuntutan dan kontrol yang wajar artinya tidak bersifat mengekang
atau sebaliknya membiarkan namun tuntutan dan kontrol tersebut
disesuaikan dengan kemampuan, keinginan, serta pendapat pribadi dari
anak itu sendiri. Begitu juga dengan respon dan penerimaan orang tua
terhadap anak, hendaknya selalu diberikan namun juga tidak berlebihan
sehingga menjadikan anak tersebut manja. Dampak positif lainnya dari
respon dan penerimaan ini juga adalah agar anak merasa dihargai sebagai
3
2. Bagi Guru
Tugas seorang guru tidak hanya dalam hal mentransfer ilmu
pengetahuan kepada peserta didik namun lebih jauh dari itu yaitu sebagai
pendorong, pembimbing, motivator agar anak dapat berkembang seoptimal
mungkin. Perjalan anak untuk menjadi pribadi yang digharapkan oleh
norma atau nilai yang berlaku dimasyarakat saat masa-masa sekolah dasar
tidak terlepas dari segala permasalahan baik yang disebabkan oleh faktor
dari luar ataupun dari dalam diri anak. Salah satunya adalah masalah yang
bersumber dari pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua kepada
anaknya. Disinilah hendakanya seorang guru agar dapat menjembatani
segala permasalahan yang terjadi pada diri anak lebih khususnya yang
bersumber dari orang tua atau keluarga.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan
gambaran umum mengenai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
kepada anaknya yang memiliki kepercayaan diri rendah. Namun kasus
yang diambil dalam penelitian ini hanya satu kasus, bagi peneliti
selanjutnya yang memiliki minat untuk meneliti pembahasan yang sama
agar mengambil kasus-kasus yang lebih banyak lagi sehingga gambaran
yang akan diperoleh nanti akan semakin jelas karena antara kasus satu
dengan kasus lainnya akan memiliki kesamaan atau bahkan bertolak
belakang antar satu dengan yang lainnya. Hal ini buka menjadi masalah
namun justru akan membuka wawasan dan cakrawala pengetahuan kita
bahwa setiap tipe pola asuh yang diterapkan punya andil tersendiri dalam
1
Syahwandri, 2013
DAFTAR PUSTAKA
Afiatin, T. dan Martaniah, S.M.. (1998). “Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui Konseling Kelompok”. Jurnal Psikologika. 6, (2).
Arikunto, S.(2006). Prosedur Penelitian.Jakarta:PT Asdi Mahasatya.
Bachtiar, S.(2012).Buku Pintar Memahami Psikologi Peserta Didik.Yogyakarta:Pinang Merah.
Bahri Djamarah, S.(2004). Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga. Jakarta:Rineka Cipta.
Bambang dan Sumanjaya, H.(2010).Just For Parent.Jakarta:Gramedia.
Bunawan, L dan Susila Yuwati, C.(2000).Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta:Yayasan Santi Rama.
Dani, I.Yatim dan Irwanto. (1991). Kepribadian Keluarga Narkotika.Jakata: Arcan
Dariyo, A.(2007).Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama.Bandung:Reflika Aditama.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.(1999).Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Desmita.(2010).Psikologi Perkembangan.Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA
Effendi, M.(2008).Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara
Gerungan, W.A. (2009). Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama
Iswidharmanjaya, D dan Agung, G. (2004). Satu Hari Menjadi Percaya Diri. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Kartono, K.(2002).Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Masyhuri dan Zainuddin, M. (2008).Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif. Bandung: PT Refika Aditama.
Moleong, J.(2012).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:Remaja Rosdakarya.
Moleong, J.(2012).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:Remaja Rosdakarya.
Noe’man, R.R. (2012). Amazing Parenting. Jakarta: Noura Books
2
Nasution.(2009).Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara
Narbuko, C.(2004). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara
Putra, N. (2011). Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Indeks
Sjaah, E.(2003).Layanan dan Artikulasi Anak Tunarungu.Bandung: San Grafika
Satyo, A.(2005). Kamus Lengkap Indonesi-Inggri, Inggris-Indonesia. Jakarta:Persada.
Scohib, M.(2000:2).Pola Asuh Orang Tua Dalam Meningkatkan Kedisiplinan Anak. Jakarta:Alfabeta.
Somad, P dan Hernawati, T.(1995). Ortopedagogik Anak Tunarungu. Bandung: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Somantri, S.(2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian. Bandung: Alfabeta
Tim Mitra Guru. (2005). Sosiologi SMP. Jakarta: Erlangga
Ubaedy, A.N. (2011). Total Confidence. Bogor: Bee Media Pustaka
Universitas Pendidikan Indonesia.(2012). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI Press
Utami Munandar.(1992). Hubungan Istri, Suami Dan Anak Dalam Keluarga.Jakarta: Pustaka Antara.
Utami Munandar.(1982). Pemanduan Anak Berbakat. Jakarta: CV Rajawali
Wahyudin.(2012). Menyulut Sikap Percaya Diri Anak. Yogyakarta: Pro Book
Yusuf, S. (2010). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Zahra, I dan Lisma, J. (1992). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Gramedia
3
Syahwandri, 2013