• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU YANG MEMILIKI KEPERCAYAAN DIRI RENDAH: Studi Kasus Terhadap Orang Tua Di SLB-B Negeri Cicendo Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU YANG MEMILIKI KEPERCAYAAN DIRI RENDAH: Studi Kasus Terhadap Orang Tua Di SLB-B Negeri Cicendo Bandung."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

Syahwandri, 2013

POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK TUNARUNGU

YANG MEMILIKI KEPERCAYAAN DIRI RENDAH

(Studi Kasus Terhadap Orang Tua Di SLB-B Negeri Cicendo Bandung )

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Jurusan Pendidikan Khusus

Oleh

SYAHWANDRI

0908997

JURUSAN PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2013

(2)

Pola Asuh Orang Tua Pada Anak

Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan

Diri Rendah

Oleh Syahwandri

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Pendidikan

© Syahwandri 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

Syahwandri, 2013

POLA ASUH ORANG TUA PADA ANAK TUNARUNGU YANG MEMILIKI KEPERCAYAAN DIRI RENDAH

(Studi Kasus Terhadap Orang Tua Di SLB-B Negeri Cicendo Bandung)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING

Pembimbing I

Dr. Budi Susetyo, M. Pd

NIP. 195809071987031001

Pembimbing II

Dr. Atang Setiawan, M. Pd

NIP. 195604121983011001

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Khusus

Fakultas Ilmu Pendidikan

Universitas Pendidikan Indonesia

Drs. Sunaryo, M. Pd

NIP. 195607221985031001 SYAHWANDRI

0908997

(4)

ABSTRAK

SYAHWANDRI (0908997)

POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP ANAK TUNARUNGU YANG MEMILIKI KEPERCAYAAN DIRI RENDAH

(Studi Kasus Terhadap Orang Tua Di SLB-B Negeri Cicendo Bandung)

Anak tunarungu memiliki keterbatasan dalam bahasa, akan tetapi keterbatasan tersebut dapat diminimalisir dengan program intervensi dini, program layanan di sekolah dan peran terpenting dari keluarga lebih khusus lagi orang tua. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, anak tunarungu juga tumbuh dan berkembang sesuai dengan fase perkembangannya. Namun dalam dalam fese-fase perkembangannya ini tidak dapat dipungkiri akan dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah faktor eksternal yang berasal dari luar diri anak yaitu keluarga terutama orang tua dengan berbagai macam pola asuhnya. Setelah dilakukan studi pendahuluan dan angket yang diberikan kepada anak yang menjadi rekomendasi dan telah diamati beberapa waktu, maka diperoleh hasil adanya salah satu anak dari siswa kelas IVA SDLB SLBN-B Negeri Cicendo yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah. Dari kasus tersebut, melalui penelitian ini peneliti ingin mengungkap mengenai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri yang rendah tersebut. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan metode deskriptif. Subjek adalah salah satu siswa kelas IVA SDLB SLB-B Cicendo yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa anak yang memiliki tingkat keprcayaan diri rendah itu dipengaruhi oleh pola asuh authoritarian atau otoriter, namun tidak murni otoriter karena sebagian indikator dari pola asuh otorioter tidak terdapat dalam perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Rekomendasi dari penelitian ini khususnya kepada orang tua yaitu agar hasil penelitian ini dapat menjadi sumber bahan evaluasi terhadap pola asuh yang telah diterapkan sebelumnya, agar potensi kepercayaan diri anak dapat berkembang dengan baik. Sedangkan rekomendasi bagi peneliti berikutnya adalah diharapkan nantinya dapat dilakukan penelitian dengan permasalahan yang sama namun dengan beberapa subjek agar hasil penelitian tersebut akan benar-benar dapat menggambarkan jenis-jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua terhadap anaknya dengan berbagai kondisi dan situasi.

(5)

Syahwandri, 2013

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...i

KATA PEMGANTAR………ii

DAFTAR ISI………..vi

DAFTAR TABEL………..ix

DAFTAR GAMBAR………...x

BAB I PENDAHULUAN………

A. Latar Belakang Masalah

B. Fokus Masalah Penelitian

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Anak Tunarungu 1. Pengertian Anak Tunarungu 2. Klasifikasi Anak Tunarungu

B. Konsep Dasar Kepercayaan Diri Anak Tunarungu 1. Definisi Kepercayaan Diri Anak Tunarungu 2. Pembentukkan Kepercayaan Diri Anak Tunarungu 3. Aspek Kepercayaan Diri Anak Tunarungu

4. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kepercayaan Diri Anak Tunarungu C. Konsep Dasar Mengenai Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak Tunarungu

1. Definisi Pola Asuh

2. Dimensi Perlakuan Orang Tua Terhadap Anak 3. Jenis-Jenis Pola Asuh

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

B. Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

2. Subjek Penelitian

C. Instrumen Penelitian dan Tehnik Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian

(6)

1. Tahap Pra Lapangan 2. Tahap Pekerjaan Lapangan

3. Tahap Pemeriksaan Keabsahan Data 4. Tahap Analisis dan Penafsiran Data E. Pengujian Keabsahan Data

1. Perpanjangan Pengamatan 2. Triangulasi

3. Member Check F. Tehnik Analisis Data

1. Reduksi Data 2. Penyajian Data

3. Penarikan Kesimpulan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek 2. Deskripsi Data B. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan B. Saran

1. Bagi Orang Tua 2. Bagi Guru

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran I

Lampiran II

Lampiran III

Lampiran IV

Lampiran V

(7)

Syahwandri, 2013

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis-Jenis Pola Asuh Orang Tua

Tabel 3.1 Tabel Kisi-Kisi Umum Instrumen Penelitian

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Pengaruh Percaya Diri Terhadap Belajar Siswa

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

“Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak”(Bahri Djamarah, 2004:16). Orang tua dan anak memiliki keterikatan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Di dalam keluarga, orang tua memegang

peranan penting dalam pengasuhan anak sebagaimana yang dikemukakan oleh Surbakti

(2012:25) bahwa “Orang tua merupakan tokoh utama (paling penting) yang membentuk karakter, kepribadian, dan temperamen anak-anak”. Hal ini bisa terjadi, karena hampir seluruh waktu orang tua berada dekat dengan anak anak.

Sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak, orang tua dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga orang tualah yang paling mengetahui

perubahan yang paling saksama pada diri anak. Namun demikian, untuk menerapkan dan

memberikan pola asuh yang baik kepada anak diasumsikan oleh kebanyakan orang

sebagai sesuatu yang relatif berat. Namun demikian, orangtua harus berupaya sedemikian

rupa untuk benar-benar dapat menerapkan pola asuh yang baik kepada anak.

Pola pengasuhan (parenting style) orang tua kepada anak erat kaitannya dengan

penerapan fungsi-fungsi keluarga, antara lain fungsi edukasi, fungsi perlindungan, fungsi

afeksi, maupun fungsi ekonomi, (Tim Mitra guru, 2005:58-60). Pengukuhan dan

pengabaian fungsi-fungsi tersebut akan berpengaruh pada pelaksanaan peran

masing-masing anggota keluarga secara kesatuan maupun secara individual oleh masing-masing-masing-masing

anggota keluarga yang bersangkutan. Hal ini berpengaruh pada situasi atau suasana

kehidupan keluarga yang akan melahirkan iklim tertentu pada keluarga yang pada

gilirannya merupakan kondisi bagi lahirnya tingkah laku orang-orang dalam keluarga

tersebut.

Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua

kepada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak yang sedang dalam masa

pembekalan diri bagi kehidupannya, salah satunya adalah pengaruh pada kepercayaan diri

atau percaya diri (Self Confidence) anak. terutama bagi anak tunarungu yang notabenenya

adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengakses informasi melalui indra

(9)

Syahwandri, 2013

masalah bahasa yang dialami tunarungu ini maka berpengaruh pada perkembangan sosial,

emosional, maupun intelektualnya” (Somantri, 2006:96).

Tentunya proses anak tunarungu untuk menjadi percaya diri tidak berlangsung secara

instan. Melainkan sudah dimulai secara perlahan sejak usia sebelumnya. Ciri anak yang

memiliki kepercayaan diri rendah, seperti berpikir buruk dan menilai rendah tentang

dirinya. Selain itu ada kecendrungan anak menganggap bodoh, tidak berguna, dan

label-label negatif lainnya tentang dirinya. Apabila dihadapkan pada masalah dan tantangan, dia

akan menganggapnya sebagai sumber utama kecemasan dan frustasi, karena dia

mengalami kesulitan dalam menemukan solusi atas suatu masalah.

Percaya diri bukanlah bawaan anak dari sejak lahir, melainkan nilai yang tumbuh

bertahun-tahun sejalan dengan pengalaman hidup, hingga anak kelak akan memandang

positif dan cenderung memiliki harapan realistis terhadap dirinya. “Percaya diri

merupakan kumpulan kepercayaan atau perasaan yang dimilki anak tentang dirinya, yang

mempengaruhi motivasi, perilaku, sikap, dan penyesuaian emosinya.”(Bachtiar, 2012:137

-138). “Kepercayaan diri bagi anak dan khususnya bagi anak tunarungu sangat penting karena ada hubungan yang kuat antara perasaan seseorang terutama anak tunarungu

terhadap dirinya sendiri dan bagaimana dia berperilaku,” Dwi (Somantri, 2006:99). Maka dari itu agar anak tunarungu percaya diri dalam hidupnya maka diperlukan pola asuh yang

baik, yang konsisten, dan berkesinambungan dari orang tua kepada anaknya. Sebaliknya

pola asuh yang kurang baik, tidak akan mendukung peningkatan perkembangan

kepercayaan diri anak. Namun bagaimanakah bentuk pola asuh yang orang tua terapkan

kepada anak tunarungu yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah sehingga anak

tunarungu tersebut tidak mampu memenuhi tuntutan dalam hidupnya dan cendrung

memiliki konsep terhadap diri sendiri yang kurang baik, bahkan anak selalu menganggap

dirinya tidak mampu, tidak berguna dan lemah. Dari uraian singkat mengenai latar

belakang ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk memperoleh

gambaran mengenai Pola Asuh Orangtua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki

Kepercayaan Diri Rendah.

B. Fokus Penelitian

Fokus masalah pada penelitian ini adalah “Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah”. Dari fokus permasalahan tersebut peneliti merincinya menjadi beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian ini

(10)

yang diterapakan oleh orang tua kepada anak. Adapun pertanyaan-pertanyaan penelitian

tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang memiliki

kepercayaan diri rendah.

2. Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu yang

memiliki kepercayaan diri rendah.

3. Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki

kepercayaan diri rendah.

4. Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki

kepercayaan diri rendah.

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pola Asuh Orang Tua

Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah. Namun secara khusus tujuan penelitian ini untuk mengetahui :

a. Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang

memiliki kepercayaan diri rendah.

b. Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu

yang memiliki kepercayaan diri rendah.

c. Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki

kepercayaan diri rendah.

d. Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki

kepercayaan diri rendah.

2. Manfaat Penelitian

Bila tujuan penelitian dapat dicapai, maka hasil penelitian ini akan memiliki

manfaat baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan titik

tolak untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan profesi guru pendidikan

khusus terhadap keluarga yang memiliki anak tunarungu.

b.Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan

(11)

Syahwandri, 2013

terutama orang tua yang lebih baik lagi terutama dalam menerapkan pola

pengasuhan terhadap anaknya yang tunarungu.

D. Definisi Konsep

1. Pola Asuh Orang Tua

Bahri Djamarah, S (2004:27) menyebutkan bahwa, “Pola asuh adalah model

kepemimpinan orang tua dalam mendidik anaknya. Model yang digunakan

bermacam-macam seperti model demokratis, laisez feir ataupun otoriter”.

Danny I. Yatim-Irwanto (1991:94) mengemukakan bahwa, “Pola asuh berarti pendidikan, sadangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik

terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama”.

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, peneliti memandang bahwa pola

asuh adalah sebagai pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif

konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi

negatif dan positif.

Teori yang digunakan untuk menentukan pola asuh yang diterapkan oleh orang

tua pada anak tunarungu ini adalah merujuk pada teori yang dikemukakan oleh

Baumrind, D (Surbakti, 2012:7-8) menyampaikan hasil penelitiannya “…bahwa ada empat jenis pola asuh yaitu, pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan neglecful

(tidak peduli)”.

a. Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)

Tipe pengasuhan ini memiliki tuntutan yang tinggi, tidak fleksibel atau kaku,

tidak responsif, mendesak anak mengikuti arahan-arahan orang tua, penerapan

hukuman dan menghargai kerja keras. Orang tua pada tipe ini menempatkan

kontrol-kontrol yang tegas pada anak, sangat menekankan pada kepatuhan dan

mengharapkan aturan-aturan mereka dipatuhi tanpa adanya penjelasan. Biasanya

mereka hanya sedikit terlibat dalam komunikasi dengan anak, tidak adanya

negosiasi dan kompromi dengan anak serta tidak banyak memberikan penjelasan

mengenai aturan atau tindakan orang tua. Desmita (2010:56-57) menjelaskan

mengenai pola asuh otoriter ini. Meurut beliau,

(12)

pendapat. Orang tua yang otoriter juga bersikap sewenang-wenang dan tidak bersikap demokratis dalam membuat keputusan, memaksakan peran-peran atau pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri, serta kurang menghargai pemikiran dan perasaan mereka. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada masa awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibanding dengan anak-anak yang lain.

Indikator-indikator pola asuh otoriter ini antara lain :

1) Tuntutan yang tinggi dalam aspek sosial, intelektual, emosi dan kemandirian.

2) Adanya batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang yang besar bagi

anak untuk mengemukakan pendapatnya.

3) Orang tua bersikap sewenang-wenang dalam membuat keputusan,

memaksakan peran-peran dan kehendak kepada anak tanpa

mempertimbangkan kemampuan anak.

4) Orang tua tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat

keputusan sendiri.

5) Aspek respon dan menerima orang tua yang rendah kepada anak namun

kontrol tinggi

6) Orang tua mudah untuk memberikan hukuman baik secara verbal atau non

verbal.

7) Orang tua kurang menghargai pemikiran dan perasaan anak.

b. Pola Asuh Permisif (Permisive)

Pada pola asuh permisif ini, orang tua justru merasa tidak peduli dan

cendrung memberi kesempatan serta kebebasan secara luas kepada anaknya.

Orangtua seringkali menyetujui terhadap semua dengan tuntutan dan kehendak

anaknya. Semua kehidupan keluarga seolah-olah ditentukan oleh kemauan dan

keinginan anak. Jadi anak disini merupakan sentral dari segala aturan dalam

keluarga. Dengan demikian orang tua tidak mempunyai kewibawaan. Akibatnya

segala pemikiran, pendapat maupun pertimbangan orang tua cendrung tidak

pernah diperhatikan oleh anak. Razak Noe’man, R, (2012:35) memperjelas

pengertian dari pola asuh permisif ini. Menurut beliau,

(13)

Syahwandri, 2013

konfrontasi dengan anak dan membiarkan anak melakukan semua hal yang disukainya.

Indikator-indikator pola asuh permisif adalah :

1) Kasih sayang yang berlebihan sehingga orang tua mengikuti segala keinginan

dan kemauan anak tanpa ada batasan.

2) Aspek respon dan menerima tinggi kepada anak.

3) Tuntutan dan kontrol yang rendah dari orang tua kepada anak.

4) Orang tua sangat toleran kepada anak.

5) Tidak menuntut anak untuk berperilaku matang, mandiri dan bertanggung

jawab.

c. Pola Asuh Demokratis (Authoritative)

Pola demokratis yaitu setiap aturan dan tindakan orang tua selalu disertai

penjelasan dan respons yang baik terhadap pendapat anak. Orang tua juga terlibat

dalam pemecahan masalah anak. Dalam menerapkan kedisiplinan, orang tua yang

demokratis akan bersikap suportif, artinya ketika anak tidak mematuhi aturan

orang tua dan mampu menjelaskan alasannya, orang tua bersedia mendengar dan

memahami. Kendati demikian, aturan tetap dilaksanakan secara konsisten. Orang

tua demokratis menyadari bahwa mengembangkan sikap tanggung jawab,

kemandirian dan respek merupakan sebuah proses yang harus dilalui secara

bertahap. Selain itu, orang tua tipe ini juga menghargai emosi dan membantu anak

untuk mengekspresikan emosinya secara tepat. Mereka juga membatu anak untuk

mengembangkan keyakinan-keyakinan dirinya yang positif. Razak Noe’man, R, (2012:34) menyatakan bahwa,

Pola asuh demokratis adalah pengasuhan yang memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsif terhadap kemauan dan kehendak anak. Orang yang demokratis akan bersikap asertif, yaitu membiarkan anak untuk memilih apa yang menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya, tetapi masih menetapkan standar dan batasan yang jelas pada anak serta selalu mengawasinya. Mereka pun terlibat dalam komunikasi yang intensif dan dan hangat serta responsif terhadap kebutuhan anak. Komunikasi yang hangat dan terbuka memungkinkan adanya diskusi.

Indikator-indikator pola asuh demokratis berdasarkan teori yang telah

dikemukakan sebelumnya antara lain sebagai berikut :

1) Orang tua memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsive terhadap

(14)

2) Orang tua bersikap asertif yaitu membiarka anak untuk memilih apa yang

menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya,

tetapi menetapkan stnadar dan batasan yang jelas serta selalu mengawasinya.

3) Terjalinnya komunikasi yang intensif dan hangat bersama anak.

4) Komunikasi yang terbuka dan memungkinkan adanya diskusi antara orang tua

dengan anak.

5) Orang tua bersikap responsive terhadap kebutuhan anak.

6) Orang tua menghargai emosi dan membantu anak untuk mengekspresikan

emosinya secara tepat.

7) Orang tua membantu anak untuk mengembangkan keyakinan dirinya yang

positif.

d. Pola Asuh Neglecful

Dalam pola asuh ini, anak-anak pun tumbuh tanpa bimbingan orang tua.

Bahkan, pada kasus ekstrim, ada orang tua yang cenderung mengabaikan anak

karena sibuk mengurusi kepentingan sendiri. Biasanya orang tua seperti ini sudah

merasa puas dengan melimpahi materi kepada anak atau memasukkan anak ke

sekolah-sekolah mahal. Akibatnya, anak akan merasa dirinya tidak berharga..

mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kompetensi sosial,

kurang dapat mengontrol diri, serta tidak mandiri. Razak Noe’man, R, (2012:36) menjelaskan bahwa,

Pola asuh ini juga disebut dengan pola asuh abai atau tidak peduli. Dalam pengasuhannya pola asuh ini menerapkan kasih sayang dan tuntutan yang sangat rendah terhadap anak. Kemungkinan cara pengasuhan ini diakibatkan oleh kurangnya waktu. Banyak orang tua yang bekerja dari pagi sampai malam, sementara anak diasuh oleh baby sitter.

Indikator pola asuh neglectful jika ditinjau dari teori yang telah dikemukakan

sebelumnya antara lain sebgai berikut :

1) Orang tua memilki tuntutan dan kasih sayang yang sangat rendah kepada anak.

2) Seringkali anak tumbuh tanpa bimbingan orang tua karena minimnya waktu

yang dimiliki bersama anak.

3) Orang tua cendrung mencukupi kebutuhan fisik anak dan mengabaikan

kebutuhan yang berupa non fisik seperti kasih sayang kepada anak.

Untuk menentukannya kecendrungan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua

kepada anak, maka harus ditentukan dahulu aspek aspek yang terdapat pada

(15)

Syahwandri, 2013

yang sering dipilih merujuk pada pendapat ahli yang dikemukakan oleh Diana

Beumrind (Surbakti, 2010:3-6) yang mengemukakan empat aspek atau dimensi

perilaku orang tua terhadap anak-anaknya. Dari keempat dimensi ini nantinya dapat

dilihat kecendrungan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya.

Apakah termasuk pola asuh otoriter, demokratis, permisif ataupun neglecful. Empat

aspek atau dimensi perilaku tersebut yaitu :

a) Aspek Tuntutan (Demandingness)

Dimensi ini menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua

kepada anak. Apakah orang tua menuntut terlalu tinggi di atas kemampuan anak

ataukah justru orang tua tidak menetapkan bagaimana anaknya harus berperilaku.

Masing-masing orang tua memiliki tuntutan yang berbeda antar satu dengan yang

lainnya.

b) Aspek Control (Controll)

Dimensi ini menunjukkan pada tinggi atau rendahnya upaya orang tua dalam

menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan tingkah laku yang

telah dibuat sebelumnya. Tindakan yang bersifat mengontrol adalah tindakan

dimana orang tua merubah ekspresi anak yang dependent, agresif, dan senang

bermain atau membuat anak mengikuti standar orang tua yang telah ditetapkan.

c) Aspek Respon (Responsiveness)

Dimensi ini mengukur bagaimana orang tua merespon pada anaknya. Orang tua

menggunakan penalaran untuk mencapai sesuatu dari anak dan berusaha

memecahkan masalah anak melalui musyawarah. Orang tua dapat menunjukan

kasih sayang dengan tindakan dan sikapnya yang memperhatikan kesejahteraan

fisik dan mental emosional anak dan dapat menunjukkan kebanggaan serta

kebahagiaan atas keberhasilan anak. Rentang perhatian yang diberikan orang tua

berkisar antara : orang tua yang sangat tanggap terhadap kebutuhan anak,

sehingga orang tua tidak tahu kebutuhan anaknya secara pasti.

d) Aspek Penerimaan (Accepting)

Dimensi ini ditujukan untuk mengukur kesadaran orang tua untuk mendengarkan

atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan kesadaran orang tua

dalam memberikan hukuman kepada anak apabila diperlukan.

Dari keempat perlakuan dari perlakuan orang tua kepada anak di atas, ternyata

(16)

Surbakti (2010:8) menyimpulkan bahwa,

Jika dimensi menuntut, mengontrol, menerima, dan merespon yang kadarnya tinggi dipadukan maka akan terbentuk pola asuh authoritative. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya tinggi sementara penerimaan dan respon kadarnya rendah maka akan terbentuk pola asuh authoritarian. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya rendah maka akan terbentuk pola asuh permissive-indulgent atau memanjakan. Dan jika dimensi menuntut dan mengontrol, menerima dan meresponnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh permissive-indifferent atau pola asuh tidak peduli.

2. Anak Tunarungu

Beberapa ahli telah menjelaskan pengertian tunarungu diantaranya “Istilah

tunarungu diambil dari kata “Tuna” dan “Rungu” tuna artinya kurang dan rungu

artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu

mendengar atau kurang mampu mendengar suara” (Somad dan Hernawati, 1995:26) Hallahan dan Kaufman (Somad dan Hernawati, 1995:26) mengemukakan tentang

tunarungu yaitu :

Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may in severity fro mild to profound it includes the subsets of deaf and hard hearing. A deaf person in one whose hearing disability precludes successful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable successful processing of linguistic information through audition.

Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah

umum yang menunjukkan kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan

mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli dan

kurang dengar. Orang tuli( deaf) adalah seseorang yang kehilangan kemampuan

mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik

memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Orang kurang dengar (hard of

hearing) adalah seseorang yang pada umunya dengan menggunakan alat bantu dengar

cukup memungkinkan keberhasilan memproses informasi bahasa melalui

pendengarannya. Sementara itu Sadja’ah (2004:43) membedakan pengetian anak tunarungu menjadi tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).

Tuli adalah keadaan seseorang yang indra pendengarannya tidak dapat digunakan untuk tujuan hidup sehari-hari. Kurang dengar yaitu seseorang yang organ pendengarannya yang sekalipun rusak tapi masih berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan maupun tidak menggunakan alat bantu dengar.

(17)

Syahwandri, 2013

Tuli adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).

Boothroyd (Bunawan dan Yuwati, 2006:6) memberikan batasan untuk tiga

istilah tunarungu berdasarkan seberapa jauh seseorang dapat memanfaatkan (sisa)

pendengarannya dengan atau tanpa bantuan amplifikasi/ pengerasan oleh alat bantu

mendengar (ABM), yaitu :

Kurang dengar (hard of hearing) adalah mereka yang mengalami gangguan dengar, namun masih dapat menggunakan sebagai sarana/modalitas utama untuk menyimak suara percakapan cakapan seseorang dalam mengembangkan kemampuan bicaranya. Tuli (deaf) adalah mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat digunakan sebagai sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih dapat difungsikan sebagai suplemen (bantuan) pada penglihatan dan perabaan. Tuli total (totally deaf) adalah mereka yang sudah sama sekali tidak memiliki pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimak/mempersepsi dan mengembangkan bicara.

Dari beberapa pengertian mengenai anak tunarungu yang telah dikemukakan

oleh beberapa ahli di atas , maka dapat disimpulkan bahwa Anak tunarungu adalah

seorang anak atau individu yang mengalami kekurangan dan kehilangan kemampuan

mendengar baik sebagian (hard of hearing) atau seluruhnya(deaf) yang disebabkan

oleh kerusakan atau ketidakberfungsian indra pendengaran sehingga berakibat pada

kemampuan dan perkembangan bahasanya dan nilai fungsional dalam kehidupan

sehari-hari.

3. Kepercayaan Diri Rendah

Dariyo (2006:206) menyatakan bahwa “Kepercayaan diri (self confidence) ialah kemampuan individu untuk dapat memahami dan meyakini seluruh potensinya agar

dapat dipergunakan dalam menghadapi penyesuaian diri dengan lingkungan

hidupnya”. Hal senada juga disampaikan Iswidharmanjaya, D(2004:13) mengenai percaya diri. Beliau mengatakan bahwa “Percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta

dapat memanfaatkannya secara tepat”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri

merupakan adanya sikap individu yakin akan kemampuannya sendiri untuk

bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkannya sebagai suatu perasaan yang yakin

(18)

oleh orang lain. Percaya diri merupakan kumpulan kepercayaan atau perasaan yang

dimiliki anak tentang dirinya yang nantinya akan mempengaruhi motivasi, perilaku,

sikap dan penyesuaian emosinya.

Untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat kepercayaan diri seorang lebih khusus

lagi pada anak tunarungu dapat dilihat dari indikator atau aspek-aspek dari

kepercayaan diri itu sendiri. Teori yang digunakan untuk menentukan tingkat

keprcayaan diri seseorang dalam penelitian ini merujuk pada jurnal psikologi oleh

Afiatin dan Martaniah (1998) merumuskan beberapa aspek dari Lauster dan Guilford

yang menjadi ciri maupun indikator dari kepercayaan diri anak tunarungu yaitu :

a. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki. Ia merasa optimis, cukup ambisius, tidak selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya.

b. Individu merasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilandasi oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya dalam berhubungan sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya, aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan kehendak atau ide‐idenya secara bertanggung jawab dan tidak mementingkan diri sendiri.

(19)

Syahwandri, 2013

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Menurut Sugiono (2009 : 1)

Metode penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu, dimana cara ilmiah ini berarti kegiatan keilmuan itu dilandasi oleh metode. Dengan cara ilmiah ini diharapkan data yang diperoleh lebih objektif, valid, dan reliable.

Berkenaan dengan penjelasan di atas, pada penelitian ini peneliti menggunakan

metode deskriptif studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Dalam penelitian ini

digunakan Metode deskriptif karena peneliti bermaksud untuk mendeskripsikan apa yang

berlaku atau terjadi. Menurut Nasution (1988:18) Didalam penelitian yang menggunakan metode deskriptif “…terdapat upaya memahami, mengembangkan atau mendeskripsikan fenomena yang ada di lapangan sebagai suatu keutuhan yang tidak dapat dipahami

apabila terpisah dari masalah yang ingin diketahui”

Metode penelitian deskriptif digunakan untuk memecahkan permasalah yang dihadapi

pada masa sekarang dan dapat dilakukan dengan menempuh langkah-langkah

pengumpulan, klasifikasi, dan analisis laporan dengan tujuan utama membuat

penggambaran tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi.

Ali (2009:83) mengemukakan bahwa “Pemecahan masalah melalui metode deskriptif

ini dapat dilakukan dengan menempuh langkah langkah sistematis, sehingga dapat menggambarkan deskripsi situasi secara objektif.” Selanjutnya, Surakhmad (1995:140) menambahkan penjelasannya bahwa metode deskripstif pada dasarnya memiliki ciri–ciri

sebagai berikut :

1. Memusatkan diri pada pemecahan masalah – masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah masalah yang aktual.

2. Data yang dikumpulkan mula mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (karena itu metode ini sering pula disebut metode analitik)

(20)

Selain itu dikarenakan peneliti ingin mengungkap sebuah permasalahan yang

ditemukan dilapangan yang berupa sebuah kasus maka peneliti menggunakan metode

deskriptif studi kasus. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk mendeskripsikan kasus yang

diteliti dilapangan. Berkenaan dengan studi kasus Silalahi, U (2009:186) menyatakan bahwa, “..Studi kasus merupakan penelitian yang mempelajari secara intensif atau mendalam satu anggota dari kelompok sasaran suatu subjek penelitian”. Dalam keterangan lain Yin (Silalahi, U, 2009:186) mengemukakan,

Arti dari studi kasus yaitu suatu strategi yang secara umum lebih cocok digunakan untuk situasi bila bentuk pokok pertanyaan suatu penelitian dengan “bagaimana” atau “mengapa” ; bila focus penelitiannya terletak pada fenomena atau peristiwa kontemporer masa kini sebagai strategi penelitian, studi kasus lebih tepat untuk mengeksplorasi, mendeskripsikan maupun mengeksplanasikan apa yang terjadi.

Kasus yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seorang anak tunarungu yang

memiliki kepercayaan diri yang rendah, kemudian dari kasus tersebut maka peneliti ingin

mengungkap dari sisi pola asuh yang diterapkan oleh orang tuanya.

Sedangkan pendekatan yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Menurut Sugiyono (2010:1) :

Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif adalah penelitian yang biasa disebut juga dengan penelitian naturalistik karena penelitian dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting), digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam dan mengandung makna. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian kualitatif juga tidak dipandu oleh teori namun dipandu oleh fakta fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan dan kemudian di deskripsikan oleh peneliti. Oleh karena itu analisis data yang dilakukan bersifat induktif berdasarkan fakta fakta yang ditemukan dan kemudian dapat dikontruksikan menjadi hipotesis dan teori.

Moleong (2002:2) menjelaskan maksud dari penelitian kualitatif yaitu :

Sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata kata tertulis atau lisan dari orang orang dan perilku yang dapat diamati, pendekatan diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi memandang sebagai bagian dari suatu keutuhan.

(21)

Syahwandri, 2013

bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan

berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya”.

Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri

sebagai berikut :

1. Meneliti subjek yang bersifat alamiah tanpa ada perlakuan (sebagai lawannya adalah

eksperimen)

2. Data bersifat deskriptif yaitu data yang dikumpulkan lebih banyak dalam bentuk kata

kata(deskripsi) dan /atau gambar dibanding angka – angka.

3. Peneliti bertindak sebagai instrument utama atau instrument kunci.

4. Hasil penelitian lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi.

B. Lokasi Penelitian dan Subjek Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di SLB-B Negeri Cicendo yang beralamat di jalan

Cicendo No 2, Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung, Kota

Bandung dan juga dirumah orang tua subjek yang diteliti yang beralamat di Jl. Bojong

Soang No. 98 rt/rw 08/04 Bandung 40288.

2. Subjek Penelitian

Penentuan subjek dilakukan dengan teknik Purposive Sampling. Sugiyono

(2009:54) menjelaskan makna dari teknik Purposive Sampling, yaitu : “Pengambilan

sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang tersebut yang

dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan, atau dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti”.

Melalui teknik Purposive Sampling ini peneliti menjadikan guru guru SLB-B

Negeri Cicendo sebagai orang yang paling tahu siapa anak yang memiliki tingkat

kepercayaan diri rendah. Melalui teknik ini maka diperoleh satu anak yang memiliki

tingkat kepercayaan diri yang rendah. Setelah didapatkan 1 anak dengan inisial SA

dari kelas IV A SDLB Cicendo sebagai nominasi dari para guru maka kemudian

peneliti mengadakan pengamatan selama beberapa hari untuk memastikan nominasi

dari para guru tersebut cocok dijadikan sebagi subjek penelitian yang sesuai dengan

indikator dari masing masing tingkat kepercayaan diri yang telah dibuat. Setelah hasil

pengamatan memenuhi kriteria yang telah dibuat untuk menentukan tingkat

(22)

bahwa subjek yang diteliti termasuk ke dalam kriteria yang telah peniliti buat

berdasarkan teori yang ada. Penentuan informan yang akan memberikan data yang

akan diwawancarai nantinya juga dilakukan dengan teknik Purposive Sampling dan

Snowbol Sampling. Sugiyono (2009:54) mengemukakan bahwa :

Teknik pengambilan sumber sampel data yang awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu tersebut belum mampu memberikan data yang memuaskan, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sampel sumber data akan semakin besar, seprti bola salju yang menggelinding, lama-lama menjadi besar.

Informan pertama yang akan memberikan data dari proses wawancara mengenai

pola asuh yang diterapkan terhadap SA adalah guru. Hasil dari pembicaraan dan tanya

jawab kepada guru maka, untuk mengumpulkan informasi mengenai pola asuh yang

diterapkan kepada SA maka guru kelas merekomendasikan orang tua SA yaitu MSA

sebagi ibu SA dan PSA sebagai ayah SA. Karena dalam penelitian ini peneliti

menggunakan teknik triangulasi sumber untuk mengecek keabsahan data maka

peneliti membutuhkan satu lagi informan untuk memberikan informasi dan data

mengenai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada SA. PSA dan MSA

sebagai orang tua SA merekomendasikan NSA yaitu nenek SA, dengan alasan NSA

tinggal bersama MSA, PSA dan SA dalam satu lokasi sehingga NSA cukup

mengetahui perihal pola asuh atau pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua

SA kepada SA.

Pemilihan SA sebagai subjek penelitian didasarkan atas pertimbangan sebagai

berikut :

1. Dari hasil studi pendahuluan, pengamatan dan akhirnya pelaksanaan angket untuk

melihat tingkat kepercayaan diri yang dilakukan terhadap SA, maka dinyatakan

SA memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah. Ini berarti SA termasuk dalam

kategori subjek yang akan diteliti dalam penelitian ini.

2. Sikap orang tua dari SA cukup terbuka ketika peneliti menyampaikan maksud,

tujuan, dan alasan mengapa peneliti ingin meneliti mengenai masalah yang

dialami oleh SA dan orang tua SA bersedia untuk memberikan informasi tentang

pola asuh yang diterapkan kepada SA yang merupakan masalah utama yang akan

diungkap dalam penelitian ini.

(23)

Syahwandri, 2013

1. Instrumen Penelitian

Salah satu karakteristik penelitian kualitatif adalah peneliti sebagai instrument

utama penelitian (human instrument), karena peneliti sendiri yang berupaya

mengumpulkan informasi tentang data yang akan diteliti, sedangkan instrumen lainnya

hanyalah sebagai pelengkap. Peneliti juga sekaligus sebagai perencana, pelaksana

pengumpul data, dan pada akhirnya menjadi pelapor dari hasil penelitian.

Moleong (2011:168) mengemukakan bahwa, “Kedudukan peneliti dalam

penelitian kualitatif yaitu sebagai perencana, pelaksana pengumpul data, analisis,

penafsir data dan pada akhirnya menjadi pelapor hasil penelitiannya”.

Sugiyono (2010:61) juga berpendapat bahwa :

Dalam penelitian kualitatif instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana, yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan melalui hasil catatan lapangan dan wawancara.

Selanjutnya Nasution (Sugiyono 2010:61) menyatakan lebih spesifik tentang

peneliti sebagai instrumen penelitian serasi untuk penelitian yang serupa karena

memiliki ciri ciri sebagai berikut :

a. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi penelitian. b. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan

dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus.

c. Tiap situasi merupakan keseluruhan. Tidak ada instrumen berupa tes atau angket yang dapat mengungkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.

d. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat difahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakan, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.

e. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, melahirkan hipotesis dengan segera untuk mentest hipotesis yang timbul seketika.

f. Hanya manusia sebagai instrument yang dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau pelakan.

(24)

dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diteliti.

Berikut adalah kisi-kisi umum penelitian yang peneliti buat agar dapat

memudahkan pelaksanaan penelitian di lapangannya.

Tabel 3.1

Tabel Kisi-Kisi Umum Instrument Penelitian

No Fokus

Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka

dibutuhkan teknik dalam pengumpulan data karena tujuan utama dari penelitian ini

(25)

Syahwandri, 2013

tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Dalam

penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :

a. Wawancara

Wawancara merupakan bentuk komunikasi verbal untuk mendapatkan

keterangan/informasi mengenai data yang dibutuhkan dalam penelitian. Wawancara

ini dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui observasi.

Menurut Zuriah, N.(2009:179) :

Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi verbal dengan tujuan untuk mendapatkan informasi penting yang diinginkan. Dalam kegiatan wawancara terjadi hubungan antara dua orang atau lebih, dimana kedua orang berperilaku sesuai dengan status dan peranan mereka masing masing.

Menurut Arikunto, Suharsimi (2006:155) “Wawancara adalah sebuah dialog

yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari orang yang yang diwawancarai”.

Pada penelitian ini wawancara dilakukan terhadap orang tua siswa dan

anggota keluarga lain(nenek dari subjek yang diteliti) yang ada di lingkungan rumah.

Adapun aspek yang yang ingin diungkap melalui wawancara itu yaitu dimensi atau

aspek dari pola asuh yang diterapkan pada subjek penelitian, dimensi dimensi

tersebut nantinya akan menggambarkan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua

kepada anaknya. Adapun dimensi dimensi tersebut antara lain :

1) Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang

memiliki kepercayaan diri rendah.

2) Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu

yang memiliki kepercayaan diri rendah.

3) Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki

kepercayaan diri rendah.

4) Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki

kepercayaan diri rendah.

(26)

Dalam hal ini peneliti membuat pedoman wawancara sesuai dengan informasi

data yang akan diungkap dari responden. Namun jika terdapat hal lain pada saat

wawancara terdapat data yang perlu diungkap dari orang yang diwawancarai maka

peneliti langsung melakukan wawancara dengan pertanyaan yang tidak terdapat

dalam pedoman wawancara yang telah dibuat (emergency).

b. Studi Dokumentasi

Nasution (2009:191) menjelaskan bahwa “Data dalam penelitian naturalistik

kebanyakan diperoleh dari sumber manusia (human resources) melalui wawancara

dan observasi. Namun terdapat pula data yang bukan bersumber dari manusia (non

human resources), diantaranya dokumen, photo, dan bahan statistik”.

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa

berbentuk tulisan, gambar, atau karya karya monumental dari seseorang. (Sugiyono,

2009:329)

Dokumen sendiri terdiri dari tulisan seperti buku harian, surat surat dan dokumen resmi. Dalam studi dokumentasi ini peneliti memanfaatkan segala sumber data yang telah disebutkan di atas (jika ada) sebagai penambah dan penjelas data yang diperoleh peneliti lewat obseravasi dan wawancara.

c. Angket/ Kuesioner

Menurut Sugiyono (2009:199) mengemukakan bahwa :

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada respon untuk dijawabnya. Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisiensi bila peneliti tahu dengan pasti variabel yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan dari responden.

Narbuko, C(2004:76) juga menerangkan, “…Angket adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pernyataan dan pertanyaan mengenai suatu masalah atau bidang

yang akan diteliti untuk memperoleh data”.

Angket yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket tertutup artinya

jawaban yang untuk setiap pertanyaan atau pernyataan sudah tersedia. Hal ini

dilakukan agar dapat memudahkan anak sebagai subjek penelitian untuk mengisi atau

(27)

Syahwandri, 2013

pernyataan dengan sejumlah jawaban tertentu sebagai pilihan. Responden mencek

jawaban yang paling sesuai dengan pendiriannya”.

Angket yang digunakan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat

kepercayaan diri anak. Penghitungannya terdapat interval yang nantinya akan terlihat

pada berada pada tingkat mana kepercayaan diri anak. Apakah rendah, sedang atau

tinggi.

D. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti membuat empat tahapan dalam prosedur penelitian.

Keempat tahapan tersebut yaitu :

1. Tahap Pra Lapangan

Dalam menyusun rancangan penelitian, peneliti harus mengikuti beberapa

tahapan yang sudah diatur oleh dewan skripsi di jurusan Pendidikan Luar Biasa.

Pertama peneliti menemukan kasus di lapangan yang menurut peneliti menarik untuk

diteliti, yaitu kasus anak SD kelas IV A di SLB B Negeri Cicendo yang mempunyai

kepercayaan diri rendah dibanding teman sebayanya. Dari kasus yang peneliti

temukan tersebut peneliti ingin mengetahui pola asuh yang diterapkan oleh orang tua

terhadap anak tersebut.

Dari masalah tersebut peneliti membuat rancangan penelitian dalam bentuk

Proposal Penelitian yang nantinya akan diseminarkan untuk apakah layak atau tidak

layak dilanjutkan sebagai skripsi. Setelah proposal penelitian disetujui peneliti mulai

mengurus perizinan dari fakultas, BAAK, KesBang, dan terakhir di Dinas Pendidikan

Provinsi Jawa Barat. Setelah surat izin penelitian peneliti dapatkan, peneliti langsung

menyerahkan surat izin penelitian tersebut ke Humas SLB B Negeri Cicendo

Bandung. Peneliti kemudian melanjutkan kegiatan penyusunan dua instrument yaitu

instrument penilaian kpercayaan diri yang berupa angket dan instrument untuk

mengungkap pola asuh yang diterapkan berupa wawancara. Kedua instrument

tersebut peneliti uji dengan menggunakan Expert Judgment dari dosen PLB, Dosen

Psikologi, serta guru di sekolah.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Tahap pekerjaan lapangan peneliti mulai dengan melakukan keakraban dengan

subjek penelitian dan orang orang yang nantinya di duga akan memberikan data agar

nantinya dapat mempermudah peneliti memperoleh data yang diperlukan. Kemudian

(28)

memastikan tingkat kepercayaan diri yang dimiliki sesuai dengan masalah yang akan

diteliti. Setelah anak dipastikan benar memiliki keprcayaan diri yang rendah yang

sesuai dengan pernyataan guru di sekolah, hasil catatan lapangan selama beberapa

waktu dan angket yang diberikan, peneliti langsung mengadakan wawancara kepada

ayah, ibu, dan anggota keluarga yang mengetahui kehidupan subjek yang diteliti

untuk mengetahui pola asuh yang diterapkan kepada subjek sebagai anak.

3. Tahap Pemeriksaan Keabsahan Data

Pada tahap pemeriksaan keabsahan data peneliti melakukan dengan tiga teknik

yaitu teknik Triangulasi, member check dan perpanjangan pengamatan.

4. Tahap Analisis dan Penafsiran Data

Terakhir adalah tahapan analisis. Disini peneliti melakukan reduksi data,

penyajian data dan terakhir adalah penarikan kesimpulan data dan verifikasi.

E. Pengujian Keabsahan Data

Pengujian kebasahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah perpanjangan

pengamatan, triangulasi sumber melalui teknik wawancara kepada beberapa sumber, dan

member check .

1. Perpanjangan Pengamatan

“Perpanjangan Pengamatan artinya peneliti kembali lagi kelapangan untuk melakukan wawancara atau pengamatan lagi dengan sumber data yang pernah ditemui ataupun yang baru”,(Sugiyono, 2009:122)

Dengan perpanjangan pengamatan berarti diharapkan hubungan peneliti

dengan narasumber akan semakin terbentuk semakin akrab, semakin terbuka, dan

saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang tersembunyikan. Pada tahap

awal peneliti memasuki lapangan, peneliti masih malu, belum terlalu terbuka, takut

menyinggung dan menyita waktu subjek penelitian serta orang orang yang akan

memberikan data. Dengan perpanjangan pengamatan inilah peneliti nantinya akan

mengecek data yang telah diperoleh, dan jika data yang diperoleh tidak sesuai dengan

data yang sebenarnya maka peneliti akan terus melakukan penelitian secara luas dan

mendalam sehingga data yang diperoleh benar benar sama dengan data sebenarnya

yang ada di lapangan.

(29)

Syahwandri, 2013

Nusa Putra (2011:189) bahwa “Triangulasi adalah cek dan ricek yaitu pengecekan data menggunakan beragam sumber, teknik, dan waktu”

Triangulasi yang peneliti gunakan disini adalah triangulasi sumber data,

maksunya dari beberapa sumber melalui teknik wawancara seperti wawancara yang

dilakukan terhadap Ayah, Ibu dan anggota keluarga dari subjek penelitian (nenek dari

subjek penelitian), kemudian data tersebut dideskripsikan, dikategorisasikan, mana

pandangan yang sama, mana pandangan yang berbeda, dan mana spesifik dari ketiga

sumber data tersebut. Data kemudian dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan

kesimpulan yang selanjutnya dimintakan kesepakatan (Member Check) dengan tiga

sumber tersebut.

3. Member check

“Member check merupakan upaya untuk memeriksa apakah peneliti telah berhasil mengungkap permasalahan yang ingin diungkap dalam penelitian, dengan

cara melakukan pengecekan kepada orang–orang yang telah dimintai data baik

wawancara, pengamatan atau teknik lainnya”(Putra, N.2011:200).

Setelah triangulasi dilakukan melalui teknik wawancara seperti wawancara yang

dilakukan terhadap Ayah, Ibu dan anggota keluarga dari subjek penelitian kemudian

data tersebut dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, mana

pandangan yang berbeda, dan mana spesifik dari ketiga sumber data tersebut. Data

kemudian dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan kesimpulan yang

selanjutnya dimintakan kesepakatan (Member Check) dengan tiga sumber tersebut.

Jika ketiga sumber tersebut menyetujui hasil analisis dari data yang diperoleh maka

peneliti menghetikan penelitian dan merasa cukup dengan data yang telah diperoleh

dan jika ketiga sumber tersebut tidak menerima atau tidak menyepakati hasil

penelitian karena dianggap jauh berbeda dnegan kenyataan yang sebenarnya maka

peneliti mengadakan diskusi kesepakatan yang lebih lanjut kepada ketiga pemberi

sumber data tersebut. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli yaitu :

Sugiyono (2009:129) menambahkan,

(30)

dan apabila perbedaannya tajam, maka peneliti harus merubah temuannya, dan harus menyesuaikan dengan apa yang diberikan oleh pemberi data

F. Teknik Analisis Data

Menurut Moleong (1993:103) mengemukakan bahwa “Analisis data adalah proses

mengorganisasi data ke dalam pola, kategorisasi dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan”.

Ahli lainnya yang mengemukakan mengenai analisis data yaitu Bogdan(Sugiyono,

2009:334) :

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memillih mana yang penting dan yangakan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceriterakan kepada orang lain

Dalam penelitian ini, proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang

tersedia baik dari wawancara, catatan lapangan maupun studi dokumentasi. Kemudian

peneliti langsung melakukan analisis terhadap data-data tersebut yang mengacu pada

proses analisis data yang dikemukakan oleh Miles dan Hubermen (Sugiyono,

2009:337-345) yaitu :

1. Reduksi Data (Data Reduction)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,

memfokuskan pada hal hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang

yang tidak perlu. Mereduksi data akan lebih mudah dengan memberikan kode pada

aspek-aspek tertentu sehingga mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan

data selanjutnya dan mencarinya jika diperlukan.

Agar lebih mudah dalam mereduksi data, hasil penelitian yang telah

didapatkan dari lapangan diberikan kode sesuai dengan fokus penelitian yang telah

dibuat sebelumnya. Bagian-bagian data hasil penelitian yang diberi kode tersebut

adalah data-data terpenting yang merupakan jawaban-jawaban dari fokus penelitian.

2. Penyajian Data (Data Display)

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian

(31)

Syahwandri, 2013

digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah teks yang bersifat naratif”.

Dalam penelitian ini, data hasil penelitian yang telah direduksi disajikan dalam

bentuk matriks wawancara dari ketiga sumber wawancara atau informan.

3. Penarikan Kesimpulan (Conclusion Drawing/Verification)

Langkah ketiga dalam penelitian kualitatif menurut Miles and Huberman

adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan

masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat

yang mendukung pada pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila

kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid

dan konsisten pada saat meneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data,

(32)

1

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pola

asuh atau perilaku-perilaku orang tua pada anak tunarungu yang memiliki

kepercayaan diri rendah antara lain sebagai berikut:

1. Orang tua memiliki tuntutan kepada anak dalam kemampuan

bersosialisasi, kemandirian, prestasi belajar dan kemampuan bicara yang

baik. Dalam kemampuan bersosialisasi orang tua mengharapkan anak agar

dapat bersosialisasi dengan orang banyak terutama dengan masyarakat

sekitar dan disekolah, karena sampai saat ini perilaku anak yang suka

menyendiri dan menghindarkan diri dari pergaulan masih belum hilang.

Orang tua juga mengharapkan agar anak dapat hidup mandiri terutama

dalam melakukan aktivitas keseharian. Hal ini dilakukan oleh orang tua

agar dapat mempersiapkan anak menuju gerbang kedewasaan nanti. Selain

itu orang tua menuntut anak agar dapat belajar dengan baik. Segala upaya

dilakukan serta penegasan dalam kegiatan belajar sangat dikedepankan

agar anak dapat mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Kemudian, orang

tua juga menuntut anak agar dapat berbicara dengan baik. Orang tua selalu

mempertegas agar anak untuk memperbaiki ucapannya ketika berbicara.

Jika anak belum bisa berkata dengan baik, orang tua pun terus menuntut

agar anak dapat berbicara sampai perkataan anak dapat terdengar dengan

baik.

2. Kontrolisasi orang tua kepada anak terdapat dalam pengaturan jadwal

belajar dan aktivitas keseharian dalam menonton TV. Jadwal belajar

sangat dikontrol oleh orang tua. Hal ini dilakukan karena adanya tuntutan

agar anak dapat berprestasi di sekolah. Selain itu orang tua juga

mengontrol aktivitas keseharian anak terutama dalam hal menonton TV.

(33)

2

Syahwandri, 2013

kegiatan bersosialisasi untuk mengembangkan kemampuan sosialnya

dengan baik.

3. Orang tua menerima kehadiran anak dalam keluarga. Hal ini tercermin

dalam dalam upaya orang tua dalam mengembangkan bakat yang dimiliki

oleh anak. Kemudian hal lainnya yang menjadi bukti bahwa orang tua

menerima kehadiran anak dalam keluarga adalah adanya waktu khusus

bersama anak dalam keluarga. Orang tua dan anak selalu menyediakan

hari-hari libur untuk melakukan kegiatan bersama, baik itu berupa

kegiata-kegiatan olahraga maupun liburan ke luar kota.

4. Orang tua masih sulit untuk merespon setiapa prestsai atau pencapaian

yang yang diraih oleh anak, namun demikian orang tua masih bersikap

tanggap terhadap segala kebutuhan anak terutama kebutuhan pokok seperti

kebutan sehari-hari dan kebutuhan sekolah.

B. Saran

1. Bagi Orang Tua

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran sekaligus

masukkan kepada orang tua bahwa pola asuh yang diterapkan selama ini

masih dirasa kurang sesuai dengan kondisi anak. Hasil penelitian ini

diperoleh tuntutan dan kontrol orang tua sangat tinggi dan tidak sesuai

dengan respon serta penerimaan terhadap sikap, perilaku dan prestasi anak.

Hal ini jelas akan berpengaruh pada sikap dan perilaku anak baik untuk

masa sekarang bahkan dimasa yang akan datang.

Dari hasil penelitian ini, disarankan kepada orang tua agar

memiliki tuntutan dan kontrol yang wajar artinya tidak bersifat mengekang

atau sebaliknya membiarkan namun tuntutan dan kontrol tersebut

disesuaikan dengan kemampuan, keinginan, serta pendapat pribadi dari

anak itu sendiri. Begitu juga dengan respon dan penerimaan orang tua

terhadap anak, hendaknya selalu diberikan namun juga tidak berlebihan

sehingga menjadikan anak tersebut manja. Dampak positif lainnya dari

respon dan penerimaan ini juga adalah agar anak merasa dihargai sebagai

(34)

3

2. Bagi Guru

Tugas seorang guru tidak hanya dalam hal mentransfer ilmu

pengetahuan kepada peserta didik namun lebih jauh dari itu yaitu sebagai

pendorong, pembimbing, motivator agar anak dapat berkembang seoptimal

mungkin. Perjalan anak untuk menjadi pribadi yang digharapkan oleh

norma atau nilai yang berlaku dimasyarakat saat masa-masa sekolah dasar

tidak terlepas dari segala permasalahan baik yang disebabkan oleh faktor

dari luar ataupun dari dalam diri anak. Salah satunya adalah masalah yang

bersumber dari pola pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua kepada

anaknya. Disinilah hendakanya seorang guru agar dapat menjembatani

segala permasalahan yang terjadi pada diri anak lebih khususnya yang

bersumber dari orang tua atau keluarga.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menemukan

gambaran umum mengenai pola asuh yang diterapkan oleh orang tua

kepada anaknya yang memiliki kepercayaan diri rendah. Namun kasus

yang diambil dalam penelitian ini hanya satu kasus, bagi peneliti

selanjutnya yang memiliki minat untuk meneliti pembahasan yang sama

agar mengambil kasus-kasus yang lebih banyak lagi sehingga gambaran

yang akan diperoleh nanti akan semakin jelas karena antara kasus satu

dengan kasus lainnya akan memiliki kesamaan atau bahkan bertolak

belakang antar satu dengan yang lainnya. Hal ini buka menjadi masalah

namun justru akan membuka wawasan dan cakrawala pengetahuan kita

bahwa setiap tipe pola asuh yang diterapkan punya andil tersendiri dalam

(35)

1

Syahwandri, 2013

DAFTAR PUSTAKA

Afiatin, T. dan Martaniah, S.M.. (1998). “Peningkatan Kepercayaan Diri Remaja Melalui Konseling Kelompok. Jurnal Psikologika. 6, (2).

Arikunto, S.(2006). Prosedur Penelitian.Jakarta:PT Asdi Mahasatya.

Bachtiar, S.(2012).Buku Pintar Memahami Psikologi Peserta Didik.Yogyakarta:Pinang Merah.

Bahri Djamarah, S.(2004). Pola Komunikasi Orang Tua & Anak Dalam Keluarga. Jakarta:Rineka Cipta.

Bambang dan Sumanjaya, H.(2010).Just For Parent.Jakarta:Gramedia.

Bunawan, L dan Susila Yuwati, C.(2000).Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta:Yayasan Santi Rama.

Dani, I.Yatim dan Irwanto. (1991). Kepribadian Keluarga Narkotika.Jakata: Arcan

Dariyo, A.(2007).Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama.Bandung:Reflika Aditama.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.(1999).Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

Desmita.(2010).Psikologi Perkembangan.Bandung:PT REMAJA ROSDAKARYA

Effendi, M.(2008).Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara

Gerungan, W.A. (2009). Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika Aditama

Iswidharmanjaya, D dan Agung, G. (2004). Satu Hari Menjadi Percaya Diri. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Kartono, K.(2002).Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Masyhuri dan Zainuddin, M. (2008).Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dan Aplikatif. Bandung: PT Refika Aditama.

Moleong, J.(2012).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:Remaja Rosdakarya.

Moleong, J.(2012).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:Remaja Rosdakarya.

Noe’man, R.R. (2012). Amazing Parenting. Jakarta: Noura Books

(36)

2

Nasution.(2009).Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara

Narbuko, C.(2004). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara

Putra, N. (2011). Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Indeks

Sjaah, E.(2003).Layanan dan Artikulasi Anak Tunarungu.Bandung: San Grafika

Satyo, A.(2005). Kamus Lengkap Indonesi-Inggri, Inggris-Indonesia. Jakarta:Persada.

Scohib, M.(2000:2).Pola Asuh Orang Tua Dalam Meningkatkan Kedisiplinan Anak. Jakarta:Alfabeta.

Somad, P dan Hernawati, T.(1995). Ortopedagogik Anak Tunarungu. Bandung: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi

Somantri, S.(2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Sugiyono. (2009). Memahami Penelitian. Bandung: Alfabeta

Tim Mitra Guru. (2005). Sosiologi SMP. Jakarta: Erlangga

Ubaedy, A.N. (2011). Total Confidence. Bogor: Bee Media Pustaka

Universitas Pendidikan Indonesia.(2012). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: UPI Press

Utami Munandar.(1992). Hubungan Istri, Suami Dan Anak Dalam Keluarga.Jakarta: Pustaka Antara.

Utami Munandar.(1982). Pemanduan Anak Berbakat. Jakarta: CV Rajawali

Wahyudin.(2012). Menyulut Sikap Percaya Diri Anak. Yogyakarta: Pro Book

Yusuf, S. (2010). Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Zahra, I dan Lisma, J. (1992). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Gramedia

(37)

3

Syahwandri, 2013

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Pengaruh Percaya Diri Terhadap Belajar Siswa
Gambaran tuntutan

Referensi

Dokumen terkait

Pola pengasuhan orang tua yang beragam antara orang tua yang satu dengan yang lain dan tidak konsistennya pola pengasuhan orang tua sehingga, banyak anak-anak di

Pola asuh orang tua yang otoriter yang selalu memberikan aturan- aturan ketat kepada anak, sering kali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya dan selalu

Pola asuh orang tua terhadap anak yaitu bentuk interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orang tua mendidik, membimbing, dan

Dengan demikian yang dimaksud dengan pola pengasuhan orang tua adalah cara bagaimana orang tua mcngasuh anaknya, dalam arti memenuhi kebutuhan fisik, dan psikis, dimana earn

Dari berbagai pandangan tersebut orang tua dapat melaksanakan perannya mendidik anak di era digital dengan cara menerapkan pola asuh yang tidak otoriter karena anak tidak senang

a Pengasuhan otoritarian adalah gaya yang membatasi dan menghukum dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya

Pola Asuh Otoriter “Pola asuh otoriter merupakan pola asuh dari orang tua Dalam berinteraksi atau berhubungan dengan anak, di mana orang tua tidak memberikan kebebasan kepada anak,

Hubungan pola asuh orang tua terhadap kemandirian personal hygine pada anak dengan retardasi mental.. Hubungan pola pengasuhan orang tua dengan perkembangan sosial anak rektardasi