• Tidak ada hasil yang ditemukan

pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. Karena"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Syahwandri, 2013

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

“Keluarga merupakan kesatuan terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak”(Bahri Djamarah, 2004:16). Orang tua dan anak memiliki keterikatan yang kuat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Di dalam keluarga, orang tua memegang peranan penting dalam pengasuhan anak sebagaimana yang dikemukakan oleh Surbakti (2012:25) bahwa “Orang tua merupakan tokoh utama (paling penting) yang membentuk karakter, kepribadian, dan temperamen anak-anak”. Hal ini bisa terjadi, karena hampir seluruh waktu orang tua berada dekat dengan anak anak.

Sebagai pengasuh dan pendidik anak-anak, orang tua dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga orang tualah yang paling mengetahui perubahan yang paling saksama pada diri anak. Namun demikian, untuk menerapkan dan memberikan pola asuh yang baik kepada anak diasumsikan oleh kebanyakan orang sebagai sesuatu yang relatif berat. Namun demikian, orangtua harus berupaya sedemikian rupa untuk benar-benar dapat menerapkan pola asuh yang baik kepada anak.

Pola pengasuhan (parenting style) orang tua kepada anak erat kaitannya dengan penerapan fungsi-fungsi keluarga, antara lain fungsi edukasi, fungsi perlindungan, fungsi afeksi, maupun fungsi ekonomi, (Tim Mitra guru, 2005:58-60). Pengukuhan dan pengabaian fungsi-fungsi tersebut akan berpengaruh pada pelaksanaan peran masing-masing anggota keluarga secara kesatuan maupun secara individual oleh masing-masing-masing-masing anggota keluarga yang bersangkutan. Hal ini berpengaruh pada situasi atau suasana kehidupan keluarga yang akan melahirkan iklim tertentu pada keluarga yang pada gilirannya merupakan kondisi bagi lahirnya tingkah laku orang-orang dalam keluarga tersebut.

Oleh karena itu dapat dipahami bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak akan berpengaruh pada perkembangan anak yang sedang dalam masa pembekalan diri bagi kehidupannya, salah satunya adalah pengaruh pada kepercayaan diri atau percaya diri (Self Confidence) anak. terutama bagi anak tunarungu yang notabenenya adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengakses informasi melalui indra pendengarannya sehingga hal ini berpengaruh pada kemampuan bahasanya. “Karena 1

(2)

Syahwandri, 2013

masalah bahasa yang dialami tunarungu ini maka berpengaruh pada perkembangan sosial, emosional, maupun intelektualnya” (Somantri, 2006:96).

Tentunya proses anak tunarungu untuk menjadi percaya diri tidak berlangsung secara instan. Melainkan sudah dimulai secara perlahan sejak usia sebelumnya. Ciri anak yang memiliki kepercayaan diri rendah, seperti berpikir buruk dan menilai rendah tentang dirinya. Selain itu ada kecendrungan anak menganggap bodoh, tidak berguna, dan label-label negatif lainnya tentang dirinya. Apabila dihadapkan pada masalah dan tantangan, dia akan menganggapnya sebagai sumber utama kecemasan dan frustasi, karena dia mengalami kesulitan dalam menemukan solusi atas suatu masalah.

Percaya diri bukanlah bawaan anak dari sejak lahir, melainkan nilai yang tumbuh bertahun-tahun sejalan dengan pengalaman hidup, hingga anak kelak akan memandang positif dan cenderung memiliki harapan realistis terhadap dirinya. “Percaya diri merupakan kumpulan kepercayaan atau perasaan yang dimilki anak tentang dirinya, yang mempengaruhi motivasi, perilaku, sikap, dan penyesuaian emosinya.”(Bachtiar, 2012:137-138). “Kepercayaan diri bagi anak dan khususnya bagi anak tunarungu sangat penting karena ada hubungan yang kuat antara perasaan seseorang terutama anak tunarungu terhadap dirinya sendiri dan bagaimana dia berperilaku,” Dwi (Somantri, 2006:99). Maka dari itu agar anak tunarungu percaya diri dalam hidupnya maka diperlukan pola asuh yang baik, yang konsisten, dan berkesinambungan dari orang tua kepada anaknya. Sebaliknya pola asuh yang kurang baik, tidak akan mendukung peningkatan perkembangan kepercayaan diri anak. Namun bagaimanakah bentuk pola asuh yang orang tua terapkan kepada anak tunarungu yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah sehingga anak tunarungu tersebut tidak mampu memenuhi tuntutan dalam hidupnya dan cendrung memiliki konsep terhadap diri sendiri yang kurang baik, bahkan anak selalu menganggap dirinya tidak mampu, tidak berguna dan lemah. Dari uraian singkat mengenai latar belakang ini maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk memperoleh

gambaran mengenai Pola Asuh Orangtua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki

Kepercayaan Diri Rendah.

B. Fokus Penelitian

Fokus masalah pada penelitian ini adalah “Pola Asuh Orang Tua Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah”. Dari fokus permasalahan tersebut peneliti merincinya menjadi beberapa pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian ini merupakan aspek-aspek dari pola asuh yang nantinya akan menggambarkan pola asuh

(3)

Syahwandri, 2013

yang diterapakan oleh orang tua kepada anak. Adapun pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah.

2. Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah.

3. Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah.

4. Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah.

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pola Asuh Orang Tua

Pada Anak Tunarungu Yang Memiliki Kepercayaan Diri Rendah. Namun secara khusus tujuan penelitian ini untuk mengetahui :

a. Gambaran tuntutan (Demandingness) orang tua kepada anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah.

b. Gambaran perlakuan orang tua dalam mengontrol (Controlling) anak tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah.

c. Gambaran penerimaan (Accepting) orang tua kepada tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah.

d. Gambaran respon (Responsiveness) orang tua kepada tunarungu yang memiliki kepercayaan diri rendah.

2. Manfaat Penelitian

Bila tujuan penelitian dapat dicapai, maka hasil penelitian ini akan memiliki manfaat baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan titik tolak untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan profesi guru pendidikan khusus terhadap keluarga yang memiliki anak tunarungu.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan bahan evaluasi bagi keluarga yang diteliti agar menjadi keluarga

(4)

Syahwandri, 2013

terutama orang tua yang lebih baik lagi terutama dalam menerapkan pola pengasuhan terhadap anaknya yang tunarungu.

D. Definisi Konsep

1. Pola Asuh Orang Tua

Bahri Djamarah, S (2004:27) menyebutkan bahwa, “Pola asuh adalah model kepemimpinan orang tua dalam mendidik anaknya. Model yang digunakan bermacam-macam seperti model demokratis, laisez feir ataupun otoriter”.

Danny I. Yatim-Irwanto (1991:94) mengemukakan bahwa, “Pola asuh berarti pendidikan, sadangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama”.

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, peneliti memandang bahwa pola asuh adalah sebagai pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif.

Teori yang digunakan untuk menentukan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada anak tunarungu ini adalah merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Baumrind, D (Surbakti, 2012:7-8) menyampaikan hasil penelitiannya “…bahwa ada empat jenis pola asuh yaitu, pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan neglecful

(tidak peduli)”.

a. Pola Asuh Otoriter (Authoritarian)

Tipe pengasuhan ini memiliki tuntutan yang tinggi, tidak fleksibel atau kaku, tidak responsif, mendesak anak mengikuti arahan-arahan orang tua, penerapan hukuman dan menghargai kerja keras. Orang tua pada tipe ini menempatkan kontrol-kontrol yang tegas pada anak, sangat menekankan pada kepatuhan dan mengharapkan aturan-aturan mereka dipatuhi tanpa adanya penjelasan. Biasanya mereka hanya sedikit terlibat dalam komunikasi dengan anak, tidak adanya negosiasi dan kompromi dengan anak serta tidak banyak memberikan penjelasan mengenai aturan atau tindakan orang tua. Desmita (2010:56-57) menjelaskan mengenai pola asuh otoriter ini. Meurut beliau,

Pola pengasuhan otoriter adalah suatu pola pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah perintah orang tua. Orang tua yang otoriter menetapkan batasan batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang yang besar bagi anak untuk mengemukakan

(5)

Syahwandri, 2013

pendapat. Orang tua yang otoriter juga bersikap sewenang-wenang dan tidak bersikap demokratis dalam membuat keputusan, memaksakan peran-peran atau pandangan kepada anak atas dasar kemampuan dan kekuasaan sendiri, serta kurang menghargai pemikiran dan perasaan mereka. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri, merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada masa awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibanding dengan anak-anak yang lain.

Indikator-indikator pola asuh otoriter ini antara lain :

1) Tuntutan yang tinggi dalam aspek sosial, intelektual, emosi dan kemandirian. 2) Adanya batasan yang tegas dan tidak memberikan peluang yang besar bagi

anak untuk mengemukakan pendapatnya.

3) Orang tua bersikap sewenang-wenang dalam membuat keputusan,

memaksakan peran-peran dan kehendak kepada anak tanpa

mempertimbangkan kemampuan anak.

4) Orang tua tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat

keputusan sendiri.

5) Aspek respon dan menerima orang tua yang rendah kepada anak namun kontrol tinggi

6) Orang tua mudah untuk memberikan hukuman baik secara verbal atau non verbal.

7) Orang tua kurang menghargai pemikiran dan perasaan anak. b. Pola Asuh Permisif (Permisive)

Pada pola asuh permisif ini, orang tua justru merasa tidak peduli dan cendrung memberi kesempatan serta kebebasan secara luas kepada anaknya. Orangtua seringkali menyetujui terhadap semua dengan tuntutan dan kehendak anaknya. Semua kehidupan keluarga seolah-olah ditentukan oleh kemauan dan keinginan anak. Jadi anak disini merupakan sentral dari segala aturan dalam keluarga. Dengan demikian orang tua tidak mempunyai kewibawaan. Akibatnya segala pemikiran, pendapat maupun pertimbangan orang tua cendrung tidak pernah diperhatikan oleh anak. Razak Noe’man, R, (2012:35) memperjelas pengertian dari pola asuh permisif ini. Menurut beliau,

Pola asuh permisif adalah pengasuhan yang lebih mengedepankan kasih sayang, tetapi tidak memberikan batasan berupa tuntutan. Orang tua yang permisif, biasanya toleran, lembut, dan tidak menuntut anak untuk beperilaku matang, mandiri atau bertanggung jawab. Mereka lebih suka menghindari

(6)

Syahwandri, 2013

konfrontasi dengan anak dan membiarkan anak melakukan semua hal yang disukainya.

Indikator-indikator pola asuh permisif adalah :

1) Kasih sayang yang berlebihan sehingga orang tua mengikuti segala keinginan dan kemauan anak tanpa ada batasan.

2) Aspek respon dan menerima tinggi kepada anak.

3) Tuntutan dan kontrol yang rendah dari orang tua kepada anak. 4) Orang tua sangat toleran kepada anak.

5) Tidak menuntut anak untuk berperilaku matang, mandiri dan bertanggung jawab.

c. Pola Asuh Demokratis (Authoritative)

Pola demokratis yaitu setiap aturan dan tindakan orang tua selalu disertai penjelasan dan respons yang baik terhadap pendapat anak. Orang tua juga terlibat dalam pemecahan masalah anak. Dalam menerapkan kedisiplinan, orang tua yang demokratis akan bersikap suportif, artinya ketika anak tidak mematuhi aturan orang tua dan mampu menjelaskan alasannya, orang tua bersedia mendengar dan memahami. Kendati demikian, aturan tetap dilaksanakan secara konsisten. Orang tua demokratis menyadari bahwa mengembangkan sikap tanggung jawab, kemandirian dan respek merupakan sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap. Selain itu, orang tua tipe ini juga menghargai emosi dan membantu anak untuk mengekspresikan emosinya secara tepat. Mereka juga membatu anak untuk mengembangkan keyakinan-keyakinan dirinya yang positif. Razak Noe’man, R, (2012:34) menyatakan bahwa,

Pola asuh demokratis adalah pengasuhan yang memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsif terhadap kemauan dan kehendak anak. Orang yang demokratis akan bersikap asertif, yaitu membiarkan anak untuk memilih apa yang menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya, tetapi masih menetapkan standar dan batasan yang jelas pada anak serta selalu mengawasinya. Mereka pun terlibat dalam komunikasi yang intensif dan dan hangat serta responsif terhadap kebutuhan anak. Komunikasi yang hangat dan terbuka memungkinkan adanya diskusi.

Indikator-indikator pola asuh demokratis berdasarkan teori yang telah dikemukakan sebelumnya antara lain sebagai berikut :

1) Orang tua memberikan tuntutan kepada anak sekaligus responsive terhadap kemauan dan kehendak anak.

(7)

Syahwandri, 2013

2) Orang tua bersikap asertif yaitu membiarka anak untuk memilih apa yang menurutnya baik, mendorong anak untuk bertanggung jawab atas pilihannya, tetapi menetapkan stnadar dan batasan yang jelas serta selalu mengawasinya. 3) Terjalinnya komunikasi yang intensif dan hangat bersama anak.

4) Komunikasi yang terbuka dan memungkinkan adanya diskusi antara orang tua

dengan anak.

5) Orang tua bersikap responsive terhadap kebutuhan anak.

6) Orang tua menghargai emosi dan membantu anak untuk mengekspresikan emosinya secara tepat.

7) Orang tua membantu anak untuk mengembangkan keyakinan dirinya yang positif.

d. Pola Asuh Neglecful

Dalam pola asuh ini, anak-anak pun tumbuh tanpa bimbingan orang tua. Bahkan, pada kasus ekstrim, ada orang tua yang cenderung mengabaikan anak karena sibuk mengurusi kepentingan sendiri. Biasanya orang tua seperti ini sudah merasa puas dengan melimpahi materi kepada anak atau memasukkan anak ke sekolah-sekolah mahal. Akibatnya, anak akan merasa dirinya tidak berharga.. mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang memiliki kompetensi sosial, kurang dapat mengontrol diri, serta tidak mandiri. Razak Noe’man, R, (2012:36) menjelaskan bahwa,

Pola asuh ini juga disebut dengan pola asuh abai atau tidak peduli. Dalam pengasuhannya pola asuh ini menerapkan kasih sayang dan tuntutan yang sangat rendah terhadap anak. Kemungkinan cara pengasuhan ini diakibatkan oleh kurangnya waktu. Banyak orang tua yang bekerja dari pagi sampai malam, sementara anak diasuh oleh baby sitter.

Indikator pola asuh neglectful jika ditinjau dari teori yang telah dikemukakan sebelumnya antara lain sebgai berikut :

1) Orang tua memilki tuntutan dan kasih sayang yang sangat rendah kepada anak. 2) Seringkali anak tumbuh tanpa bimbingan orang tua karena minimnya waktu

yang dimiliki bersama anak.

3) Orang tua cendrung mencukupi kebutuhan fisik anak dan mengabaikan kebutuhan yang berupa non fisik seperti kasih sayang kepada anak.

Untuk menentukannya kecendrungan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak, maka harus ditentukan dahulu aspek aspek yang terdapat pada prilaku-perilakuyang diterapkan oleh orang tua kepada setiap anak. Salah satu pendekatan

(8)

Syahwandri, 2013

yang sering dipilih merujuk pada pendapat ahli yang dikemukakan oleh Diana Beumrind (Surbakti, 2010:3-6) yang mengemukakan empat aspek atau dimensi perilaku orang tua terhadap anak-anaknya. Dari keempat dimensi ini nantinya dapat dilihat kecendrungan pola asuh yang diterapkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Apakah termasuk pola asuh otoriter, demokratis, permisif ataupun neglecful. Empat aspek atau dimensi perilaku tersebut yaitu :

a) Aspek Tuntutan (Demandingness)

Dimensi ini menggambarkan bagaimana standar yang ditetapkan oleh orang tua kepada anak. Apakah orang tua menuntut terlalu tinggi di atas kemampuan anak ataukah justru orang tua tidak menetapkan bagaimana anaknya harus berperilaku. Masing-masing orang tua memiliki tuntutan yang berbeda antar satu dengan yang lainnya.

b) Aspek Control (Controll)

Dimensi ini menunjukkan pada tinggi atau rendahnya upaya orang tua dalam menerapkan kedisiplinan pada anak sesuai dengan patokan tingkah laku yang telah dibuat sebelumnya. Tindakan yang bersifat mengontrol adalah tindakan dimana orang tua merubah ekspresi anak yang dependent, agresif, dan senang bermain atau membuat anak mengikuti standar orang tua yang telah ditetapkan. c) Aspek Respon (Responsiveness)

Dimensi ini mengukur bagaimana orang tua merespon pada anaknya. Orang tua menggunakan penalaran untuk mencapai sesuatu dari anak dan berusaha memecahkan masalah anak melalui musyawarah. Orang tua dapat menunjukan kasih sayang dengan tindakan dan sikapnya yang memperhatikan kesejahteraan fisik dan mental emosional anak dan dapat menunjukkan kebanggaan serta kebahagiaan atas keberhasilan anak. Rentang perhatian yang diberikan orang tua berkisar antara : orang tua yang sangat tanggap terhadap kebutuhan anak, sehingga orang tua tidak tahu kebutuhan anaknya secara pasti.

d) Aspek Penerimaan (Accepting)

Dimensi ini ditujukan untuk mengukur kesadaran orang tua untuk mendengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak apabila diperlukan.

Dari keempat perlakuan dari perlakuan orang tua kepada anak di atas, ternyata memiliki kaitannya dengan keempat jenis pola asuh.

(9)

Syahwandri, 2013

Surbakti (2010:8) menyimpulkan bahwa,

Jika dimensi menuntut, mengontrol, menerima, dan merespon yang kadarnya tinggi dipadukan maka akan terbentuk pola asuh authoritative. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya tinggi sementara penerimaan dan respon kadarnya rendah maka akan terbentuk pola asuh authoritarian. Jika dimensi menuntut dan mengontrol kadarnya rendah maka akan terbentuk pola asuh permissive-indulgent atau memanjakan. Dan jika dimensi menuntut dan mengontrol, menerima dan meresponnya rendah, maka akan terbentuk pola asuh permissive-indifferent atau pola asuh tidak peduli.

2. Anak Tunarungu

Beberapa ahli telah menjelaskan pengertian tunarungu diantaranya “Istilah tunarungu diambil dari kata “Tuna” dan “Rungu” tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara” (Somad dan Hernawati, 1995:26) Hallahan dan Kaufman (Somad dan Hernawati, 1995:26) mengemukakan tentang tunarungu yaitu :

Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may in severity fro mild to profound it includes the subsets of deaf and hard hearing. A deaf person in one whose hearing disability precludes successful processing of linguistic information through audition, with or without a hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid, has residual hearing sufficient to enable successful processing of linguistic information through audition.

Dari pernyataan di atas dapat diartikan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar, yang meliputi keseluruhan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, digolongkan ke dalam bagian tuli dan kurang dengar. Orang tuli( deaf) adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Orang kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang yang pada umunya dengan menggunakan alat bantu dengar cukup memungkinkan keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengarannya. Sementara itu Sadja’ah (2004:43) membedakan pengetian anak tunarungu menjadi tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing).

Tuli adalah keadaan seseorang yang indra pendengarannya tidak dapat digunakan untuk tujuan hidup sehari-hari. Kurang dengar yaitu seseorang yang organ pendengarannya yang sekalipun rusak tapi masih berfungsi untuk mendengar, baik menggunakan maupun tidak menggunakan alat bantu dengar. Andreas (Somantri, 2006:93) memberikan pengertian tuli dan kurang dengar, yaitu :

(10)

Syahwandri, 2013

Tuli adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indra pendengarannya mengalami kerusakan tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids).

Boothroyd (Bunawan dan Yuwati, 2006:6) memberikan batasan untuk tiga istilah tunarungu berdasarkan seberapa jauh seseorang dapat memanfaatkan (sisa) pendengarannya dengan atau tanpa bantuan amplifikasi/ pengerasan oleh alat bantu mendengar (ABM), yaitu :

Kurang dengar (hard of hearing) adalah mereka yang mengalami gangguan dengar, namun masih dapat menggunakan sebagai sarana/modalitas utama untuk menyimak suara percakapan cakapan seseorang dalam mengembangkan kemampuan bicaranya. Tuli (deaf) adalah mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat digunakan sebagai sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih dapat difungsikan sebagai suplemen (bantuan) pada penglihatan dan perabaan. Tuli total (totally deaf) adalah mereka yang sudah sama sekali tidak memiliki pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimak/mempersepsi dan mengembangkan bicara.

Dari beberapa pengertian mengenai anak tunarungu yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas , maka dapat disimpulkan bahwa Anak tunarungu adalah seorang anak atau individu yang mengalami kekurangan dan kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian (hard of hearing) atau seluruhnya(deaf) yang disebabkan oleh kerusakan atau ketidakberfungsian indra pendengaran sehingga berakibat pada kemampuan dan perkembangan bahasanya dan nilai fungsional dalam kehidupan sehari-hari.

3. Kepercayaan Diri Rendah

Dariyo (2006:206) menyatakan bahwa “Kepercayaan diri (self confidence) ialah kemampuan individu untuk dapat memahami dan meyakini seluruh potensinya agar dapat dipergunakan dalam menghadapi penyesuaian diri dengan lingkungan hidupnya”. Hal senada juga disampaikan Iswidharmanjaya, D(2004:13) mengenai percaya diri. Beliau mengatakan bahwa “Percaya diri adalah kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki, serta dapat memanfaatkannya secara tepat”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri merupakan adanya sikap individu yakin akan kemampuannya sendiri untuk bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkannya sebagai suatu perasaan yang yakin pada tindakannya, bertanggung jawab terhadap tindakannya dan tidak terpengaruh

(11)

Syahwandri, 2013

oleh orang lain. Percaya diri merupakan kumpulan kepercayaan atau perasaan yang dimiliki anak tentang dirinya yang nantinya akan mempengaruhi motivasi, perilaku, sikap dan penyesuaian emosinya.

Untuk mengukur tinggi rendahnya tingkat kepercayaan diri seorang lebih khusus lagi pada anak tunarungu dapat dilihat dari indikator atau aspek-aspek dari kepercayaan diri itu sendiri. Teori yang digunakan untuk menentukan tingkat keprcayaan diri seseorang dalam penelitian ini merujuk pada jurnal psikologi oleh Afiatin dan Martaniah (1998) merumuskan beberapa aspek dari Lauster dan Guilford yang menjadi ciri maupun indikator dari kepercayaan diri anak tunarungu yaitu :

a. Individu merasa adekuat terhadap tindakan yang dilakukan. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan, kemampuan, dan keterampilan yang dimiliki. Ia merasa optimis, cukup ambisius, tidak selalu memerlukan bantuan orang lain, sanggup bekerja keras, mampu menghadapi tugas dengan baik dan bekerja secara efektif serta bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya.

b. Individu merasa diterima oleh kelompoknya. Hal ini dilandasi oleh adanya keyakinan terhadap kemampuannya dalam berhubungan sosial. Ia merasa bahwa kelompoknya atau orang lain menyukainya, aktif menghadapi keadaan lingkungan, berani mengemukakan kehendak atau ide‐idenya secara bertanggung jawab dan tidak mementingkan diri sendiri.

c. Individu memiliki ketenangan sikap. Hal ini didasari oleh adanya keyakinan terhadap kekuatan dan kemampuannya. Ia bersikap tenang, tidak mudah gugup, cukup toleran terhadap berbagai macam situasi.

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel VI.3. dapat kita lihat bahwasanya kedisiplinan yang terdapat pada PT. Ramayana Lestari Semtosa Panam Square dikategorikan bagus, adapun responden

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,

Kekurangan yang terjadi pada sabuk ini adalah terjadinya slip antara sabuk dan puli sehingga tidak digunakan untuk putaran tetap atau perbandingan transmisi yang tetap

Berdasarkan hasil penelitian, peran orang tua dengan tingkat kemandirian anak tunagrahita kelas dasar di SLB N I Yogyakarta dapat diketahui pada gambar 1.. Berdasarkan

Orang yang menyakini allah memiliki sifat al-akhir akan menjadiakn allah sebagai satu-satunya tujuan hidup yang tiada tujuan hidup selainnya, tidak ada permintaan kepada selainnya,

Tilaar, 1997 (Sambeta, 2010) mengemukakan bahwa pendidikan pada saat ini dihadapkan pada tuntutan tujuan yang semakin canggih, semakin meningkat baik ragam, lebih-lebih

Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah biaya produksi,penerimaan dan keuntungan usaha pupuk organik CV Agroniaga Mandiri Kecamatan Bintauna Kabupaten Bolaang

Banyaknya pusat perbelanjaan dan pasar yang tersebar di beberapa kecamatan di kota Samarinda akan mempersulit masyarakat umum atau pendatang dalam mengetahui lokasi-lokasi