• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aborsi Akibat Perkosaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aborsi Akibat Perkosaan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

Aborsi Akibat Perkosaan

M. Nurul Irfan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jl. Ir. H. Juanda Ciputat Jakarta Email: mnurulirfan@yahoo.com

Abstrak

Di antara sebab seseorang dapat dibebaskan dari tuntutan hukum adalah unsur darurat dan keterpaksaan. Dalam kondisi darurat sesuatu yang pada mulanya dilarang dapat berubah menjadi sesuatu yang diperbolehkan, demikian halnya dalam hal keterpaksaan. Seorang wanita korban perkosaan tidak mungkin dihukum dengan tuduhan telah melakukan perzinaan. Tetapi seandainya perkosaan yang dialaminya itu mengakibatkan kehamilan, lalu sebagai korban perkosaan bermaksud mengaborsi janin yang dikandungnya, apakah tindakan ini dapat dibernarkan secara hukum? Penulis berpendapat bahwa wanita yang hamil akibat perkosaan dapat dan dibenarkan melakukan tindakan aborsi dengan catatan bahwa ia memang benar-benar hamil akibat perkosaan dan bukan hanya mengaku telah diperkosa. Oleh sebab itu ia harus bisa membuktikan secara medis dan secara hukum bahwa ia memang terbukti telah diperkosa.

Abstract

Among the reasons a person can be exempt from lawsuits is an emergency and the element of compulsion. In emergency conditions at first forbidden thing can turn into something that is allowed, such as in the case of necessity. A female rape victim may not have been convicted on charges of adultery. But if they experienced rape that resulted in pregnancy, and as a rape victim intends to abort the fetus, whether this action can legally your justification? The author argues that women who become pregnant as a result of rape can and justified act of abortion with a note that she was indeed pregnant due to rape and not only claimed to have been raped. Therefore he must be able to prove medically and legally proven that he indeed had been raped.

(5)

Pendahuluaan

Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam, orang yang terpaksa melakukan jarimah dapat dibebaskan dari tuntutan hukum, termasuk seorang wanita yang diperkosa dapat dibenarkan untuk mengaborsi janin yang dikandung akibat perkosaan tersebut. Baru-bartu ini pemerintah menetapkan PP No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dalam pasal 31 ayat (1) PP tersebut dinyatakan bahwa “Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan a) indikasi kedaruratan medis; atau b)

kehamilan akibat perkosaan.” Selanjutnya ayat (2) pasal ini

menyatakan bahwa “Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir”. PP No 61 ini dapat membuka peluang kasus aborsi dengan alasan akibat perkosaan jika tidak dilengkapi dengan persyaratan ketat dan peraturan perundang-undangan yang jelas dengan berbagai indikasi gamblang yang mudah dipahami oleh semua pihak.

(6)

Pembahasan

A. Pengertian Aborsi

Secara etimologi, aborsi berasal dari bahasa Inggris abortion, yang berarti gugur kandungan atau keguguran.1 Istilah aborsi secara kebahasaan berarti keguguran kandungan, pengguguran kandungan atau pembuangan janin.2 Dalam terminologi kedokteran, aborsi berarti berhentinya kehamilan sebelum 28 minggu. Dalam istilah hukum, berarti pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).3

Dalam bahasa Arab, aborsi disebut al-Ijhad atau isqat al-hamli yaitu pengguguran janin dalam rahim.4 Kalau ada kalimat "لما ا تضهجأ ",berarti “ ا هدلو تقلأ اددم مددغل “, seorang yang sedang hamil memaksa keluar janinnya yang belum

sempurna. Sedangkan istilah yang agak spesifik untuk aborsi ini dipakai oleh Abdul Qadir Audah (w. 1373 H/1945M) ahli hukum Pidana Islam berkebangsaan Mesir, adalah al-Jinayah 'ala ma huwa nafsin min wajhin duna wajhin, yaitu tindak pidana terhadap janin atau al-Ijhad. Dia menggunakan istilah panjang ini karena janin dilihat dari satu sisi adalah termasuk jiwa manusia, tetapi dilihat dari segi yang lain janin memang belum bisa berpisah dan hidup mandiri dari ibunya.5

Menurut istilah kesehatan, aborsi didefinisikan sebagai penghentian kehamilan setelah tertanamnya telur (ovum) yang telah dibuahi dalam rahin (uterus), sebelum usia janin (fetus) mencapai 20 minggu.6

Sardikin Ginaputra, sebagai dikutip oleh Masyfuk Zuhdi mengartikan aborsi sebagai pengakhiran masa kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin hidup di luar kandungan. Sedangkan Maryono Reksodipura memehaminya sebagai pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya (sebelum dapat lahir secara alamiah).7 Menurut Nani Soendo, SH., aborsi adalah pengeluaran buah kahamilan pada waktu janin masih demikian kecilnya, sehingga tidak bisa hidup.8

Definisi aborsi yang lebih lengkap disampaikan oleh Abul Fadl Mohsin Ebrahim, menurutnya aborsi adalah pengakhiran kehamilan, baik secara sengaja atau tidak di sengaja, sepontan akibat kelainan fisik wanita, atau akibat penyakit biomedikan internal, maupun dengan cara yang disengaja melalui campur tangan

1

John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: P. Gramedia, 1987), hlm 2

2

Ensiklopedi HukumIslam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997) jilid 1, hlm 7

3

Ibid

4 Al-Mu’jam al-Wasit

, (Mesir: Dar al-Ma’arif, tth), cet kedua , hlm 143, lihat pula Mahmud Syaltut, al-Fatawa, (Kairo: Dar as-Syuruq, tth) hlm 247

5

Abdul qadir Audah, at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami, op cit, jilid 2 h 292

6

USAID dan LBH APIK, Aboersi dan Hak atas Pelayanan Kesehatan, Lembar Info, Seri 32, hlm 1

7

Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1994, Cet VII, hlm 78

8

(7)

manusia , seperti meminum obat-obatan terentu, atau mengunjungi dukun atau dokter praktek aborsi.9

Al-Ghazali , sebagai dikutip oleh Mahmud Syaltut dalam al-Fatawanya memahami aborsi sebagai penghilangan jiwa yang sudah ada di dalam janin. Ia membagi dua fase kondisi perkembangan janin, yaitu fase kehidupan yang belum teramati yang ditandai dengan adanya proses kehidupan secara diam-diam dan kedua, fase kehidupan yang sudah teramati, ketika ibu atau orang lain dapat mendeteksi tanda-tanda kehidupan bayi dalam kandungan tersebut. Menurutnya, kedua fase tersebut harus dihormati dan menggugurkannya dianggap sebagai jinayah, semakin dewasa usia kehamilan tersebut, maka dinilai semakin besar tanggungjawab yang harus dipikul oleh palaku aborsi tersebut, lebih-lebih jika bayi korban aborsi itu sudah dalam keadaan hidup di saat berpisah dengan rahim ibunya.10

Dari beberapa definisi mengenai aborsi di atas, secara mendasar terdapat kesamaan bahwa aborsi merupakan suatu upaya pengakhiran masa berlangsungnya kehamilan melalui pengguguran kandungan (janin, fetus), sebelum janin itu tumbuh dan berkembang menjadi bayi yang bisa hidup secara alami. Dengan kata lain, pengeluaran janin sebelum waktunya, baik secara alamiah maupun spontan, dengan menggunakan obat-obatan tertentu atau jasa dukun pijat, maupun dengan menggunakan alat-alat teknologi kedokteran.

B. Macam-macam Aborsi

Menurut para ahli medis, ada dua macam aborsi atau abortus. Pertama, Abortus spontaneus, yaitu aborsi yang terjadi secara tidak sengaja. Abortus spontaneus bisa terjadi karena salah satu pasangan berpenyakit kelamin, kecelakaan, dan sebagainya. Kedua, Abortus profocatus, yaitu abortus yang disengaja. Abortus profocatus ini terdiri dari dua jenis, yaitu :

1. Abortus artificialis therapicus, yaitu abortus yang dilakukan oleh dokter atas dasar indikasi medis, yakni apabila tindakan abortus tidak dilakukan, bisa membahayakan jiwa ibu. Jadi jiwa ibu kandung akan terancam jika kelangsungan kehamilan dipertahankan terus. Aborsi semacam ini di kalangan ulama disebut al-Isqat al-Daruri ( ىرورضلا طاقسإا), atau al-Isqat al-Allajy ( طاقسإا ىجاعلا ), yang berarti aborsi darurat dalam rangka melakukan tindakan medis. 2. Abortus Provocatus Criminalis, yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan

tanpa adanya indiasi medis. Aborsi jenis ini biasanya dilakukan dalam kehamilan yang tidak diinginkan oleh pasangan, baik resmi maupun di luar pernikahan. Di kalangan ulama aborsi macam ini disebut dengan Isqat al-Ikhtiyary (ىرايتخإا طاقسإا), yang berarti pengguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja tanpa sebab yang memperbolehkan sebelum masa kelahiran janin tersebut.

9

Abdul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, ( Bandung: Mizan, 1997) cet ke-1, hlm 125

10

(8)

Pada umunya wanita melakukan abortus Provocatus Criminalis karena terdorong oleh beberapa faktor antara lain :

a. Faktor ekonomi atau faktor individual, faktor ini timbul karena kekhawatiran terhadap kemiskinan, tidak ingin mempunyai anak banyak, karena motifasi kecantikan, demi status sebagai wanita karier, kebugaran. kelangsingan tubuh dan alasan-alasan individual lain.

b. Faktor kecantikan, dorongan ini timbul biasanya bila ada kekhawatiran bahwa janin dalam kandungan akan lahir dalam keadaan cacat, akibat radiasi, obat-obatan, karacunan dan sebagianya.

c. Faktor moral, faktor ini muncul biasanya karena wanita yang hamil tidak sanggup menerima sanksi sosial dari masyarakat disebabkan hubungan biologis yang tidak memperhatikan moral dan agama, seperti kumpul kebo atau kehamilan di luar.

d. Faktor lingkungan, faktor ini biasanya karena fasilitas aborsi berupa para pihak yang bisa melakukan tindakan ini tersedia di tempat pelaku berada, baik doter, bidan, dukun pijat, pusat pengobatan alternatif dan lain-lain Di samping dua macam dan dua jenis aborsi di atas, CB. Kusmaryanto membagi aborsi menjadi tujuh macam yaitu :

1. Aborsi Miscarriage atau kegurguran, yaitu berhentinya kahamilan sebelum bayi bisa hidup di luar kandungan tanpa campur tangan manusia. Kalau berhentinya kahamilan ini terjadi sesudah janin bisa hidup di luar kandungan dan bayinya hidup, maka disebut kelahiran Prematur.11

2. Aborsi Therapeutic/Medicinalis, yaitu penghentian kehamilan dengan indikasi medis untuk menyelamatkan nyawa ibu si janin, atau untuk menghindarkan si ibu dari kerusakan fatal pada kesehatan/tubuhnya yang tak bisa dikembalikan (irrivesible) lagi. Dalam hal ini terjadi suatu konflik hak antara berbagai pihak, yakni hak hidup janin yang ada dalam kandungan, hak hidup si ibu, dan hak anak-anak yang lain( kalau sudah punya) untuk mempunyai ibu. Pelaksanaan aborsi therapeutic /Medicinalis merupakan keadaan yang sulit dan dilematis yang terpaksa harus memilih salah satu di antara hak hidup yang tinggi nilainya.12

3. Aborsi Kriminalis, yaitu penghentian kahamilan sebelum janin bisa hidup di luar kandungan dengan alasan-alasan lain selain therapheutic dan dilarang oleh hukum. Tentu tergantung dengan sistem hukum di suatu negara tersebut yang terkadang tidak selalu sama dengan ketentuan yang berlaku di negara lain. Di beberapa negara, aborsi yang dilakukan sebelum berumur tiga bulan tidak dilarang, sedangkan di Indonesia, semua bentuk aborsi, kecuali dengan alasan indikasi medis , adalah termasuk aborsi kriminalis.13

4. Aborsi Eugenetik, yaitu penghentian kehamilan untuk menghindari bayi yang cacat atau bayi yang mempunyai penyakit genetis.

11

CB. Kusmaryanto, SCJ, Kontroversi Aborsi, (Jakarta: Grasindo, 2004),, cet. Kedua, hlm 12-13

12

Ibid

13

(9)

5. Aborsi Langsung-Tak langsung, yaitu tindakan (intervensi medis) yang tujuannya secara langsung ingin membunuh janin yang ada di dalam rahim sang ibu. Sedangkan aborsi tak langsung adalah suatu tindakan (intervensi medis) yang mengakibatkan aborsi meskipun aborsinya sendiri tidak dimaksudkan dan bukan menjadi tujuan dalam tindakan tersebut.

6. Selective abortion, yaitu penghentian kehamilan karena janin yang dikandung tidak memenuhi kriteria yang diinginkan. Aborsi jenis ini biasanya dilakukan oleh wanita yang mengadakan prenataldiagnosis, yakni diagnosis janin ketika ia masih ada di dalam kandungan.

7. Partial birth Abortion adalah istilah politis/hukum yang dalam istilah medis dikenal dengan nama intact dilaction and extraction (D&X). Cara ini dilakukan pertama-tama dengan cara memberikan obat-obatan kepada wanita hamil, tujuannya agar servicx (leher rahim) terbuka secara prematur. Tindakan selanjutnya adalah menggunakan alat khusus, dokter memutar posisi bayi, sehingga yang keluar terlebih dahulu adalah kakinya. Lalu bayi itu ditarik ke luar, tetapi tidak seluruhnya, agara kepala bayi tersebut tetap berada di dalam tubuh ibunya. Ketika kepala janin masih di dalam itulah dokter menusuk kepala dengan alat yang tajam dan mengisap otak si janin sehingga bayi suci tak berdosa itu mati. Sesudah bayi itu mati baru dikeluarkan semuanya. Proses macam ini dilakukan untuk menghindari masalah hukum, sebab kalau bayi tersebut dibunuh sesudah lahir, maka pelakunya akan dihukum. 14

C. Hukum Melaksanakan Aborsi

Pada bab sebelumnya, ketika membahas Status Hukum Aborsi Menurut Fikih Jinayah, telah dibahas bahwa dalam perspektif Fikih Jinayah, aborsi ada yang disepakati keharamannya dan ada pula aborsi yang status hukumnya masih diperdebatkan di kalangan ulama-ulama fikih.

Aborsi yang disepakati keharamannya adalah aborsi yang dilakukan setelah usia kehamilan mencapai 120 hari atau 40 x 3 atau 16 minggu, terhitung sejak pembuahan. Adapun aborsi yang diperselisihkan adalah aborsi yang dilakukan sebelum masa tersebut. Penentuan masa 120 sebagai batas diperbolehkan- tentu bagi kelompok yang menganggap boleh- aborsi adalah hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagai berikut: SAW menceritakan kepada kami, sesungguhnya seseorang di antara kamu proses penciptaannya dikumpulkan dalam perut ibunya selama (40) empat puluh hari berupa nutfah (paduan antara sperma dan ovum) kemudian berproses

14

(10)

menjadi’alaqah selama empat puluh hari pula, kemudian berproses menjadi mudghah (segumpal darah) selama empat puluh hari pula, kemudian malakiat dikirimkan kepadanya (mudghah), lalu meniupkan ruh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menegaskan empat hal penting, yaitu mencatat rizkinya, amal perbuatannya, nasibnya, dia akan celaka atau bahagia. Demi Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya seseorang di antara kamu akan melakukan amal penghuni surga sehingga tidak ada jarak di antara dia dan surga tersebut kecuali hanya satu hasta saja (sudah sangat dekat menjelang masuk), tetapi yang terjadi dan menang adalah yang telah tercatat, sehingga orang tersebut berbuat amal penghuni neraka hingga akhirnya dia masuk ke dalam neraka. (sesuai catatan yang telah ada sejak dalam kandungan ini) Dan sesungguhnya seseorang di antara kamu akan melakukan amal penghuni neraka sehingga tidak ada jarak di antara dia dan neraka tersebut kecuali hanya satu hasta saja (sudah sangat dekat menjelang masuk), tetapi yang terjadi dan menang adalah yang telah tercatat, sehingga orang tersebut berbuat amal penghuni surga hingga akhirnya diapun masuk ke dalam surga (sesuai catatan yang telah ada sejak dalam kandungan ini) (HR al-Bukhari dan Muslim).15

Hadis ini memberi informasi bahwa pada saat janin berusia 120 hari Allah mengirimkan seorang malaikat untuk meniupkan roh kehidupan kepada janin, embrio manusia tersebut. Hadis inilah yang oleh para ulama dijadikan landasan kuat bahwa setelah roh ditiupkan ke dalam janin, sejak itulah berarti janin dianggap sudah bernyawa, sehingga segala macam cara yang dilakukan untuk menggugurkan atau membatalkan proses kejadian manusia dianggap sebagai membunuh jiwa yang tidak berdosa dan masuk jenis tindak pidana terhadap nyawa tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

Adapun aborsi yang dilakukan sebelum kehamilan memasuki usia 120 hari, pendapat dan prisnsip hukum para ulama beraneka ragam yang bisa dipaparkan sebagai berikut:

1. Menurut ulama Hanafiah dan Hanabilah diperbolehkan menggugurkan kandungan yang belum memasuki usia 120 hari, alasan mereka karena ketika itu janin belum bernyawa, sehingga masih boleh didesign sesuai planing dan keinginan yang bersangkutan. Sebagian tokoh dari mazhab Hanafi ada yang menganggapnya hanya sebagai sesuatu yang dimakruhkan jika aborsi dilakukan tanpa uzur, di antara yang diterima sebagai uzur adalah karena takut tidak bisa menyusuinya karena ASInya sudah kering, karena untuk menyelamatkan nyawa sang ibu berkaitan dengan suatu kelainan, karena khawatir tidak bisa menghidupinya dan alasan-alasan logis yang lain.

2. Menurut ulama kalangan Syafi’iah, aborsi sebelum peniupan roh hukumnya

makruh, tetapi terdapat beberapa tokoh besar dari ulama bermazhab Syafi’i,

seperti Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ulumuddin, juz 2 hlm 53, dan Ibnu Hajar al-Haitsami dalam kitab Tuhfah a-Muhtaj pada fasal iddah hamli menganggap haram aborsi secara mutlak, baik sebelum apalagi sesudah peniupan roh.

15

(11)

Kedua tokoh dari mazhab Syafi’i inilah yang diikuti oleh Mahmud Syaltut, mufti besar dari Mesir dalam al-Fatawanya

3. Menurut ulama mazhab Maliki aborsi hukumnya haram sejak terjadinya konsepsi, sebagian ulama Malikiah menganggapnya makruh kalau kehamilan sudah memasuki usia 40 hari dan haram bila sudah berusia 120 hari.

4. Menurut Muhammad Ramli dalam kitabnya Nihayah al-Muhaj pada bab Ummahat al-Aulad menganggap aborsi sebelum peniupan roh hukumnya boleh, demikian juga fatwa yang disampaikan oleh Abu Ishaq al-Marwazi. Fatwa Abu Ishaq tersebut dikutip oleh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in sebagai berikut:” قُع ا ام ا هلو طقَيل ءاو ِتمأ وقس لح ىزورما لاحسَ هبأ َأ }سرَ غضموأ“, Abu Ishaq al-Marwazi menyampaikan fatwa dihalalkannya memberikan obat atau ramu-ramuan terentu kepada budak perempuannya untuk menggugurkan janinnya, selama masih berbentuk ‘alaqah atau mudhghah.16 Fatwa ini menurut Muhammad Syata ad-Dimyati diambil dari pendapat Imam Abu Hanifah.17

Dengan memperbandingkan beberapa pendapat para ulama fikih dari berbagai mazhab, ternyata aborsi merupakan suatu problem hukum yang cukup pelik dan menimbulkan banyak pendapat di kalangan para ahli. Di antara sekian banyak tokoh yang yang sudah sangat komprehensif dan prospektif dalam menyampaikan argumentasinya adalah Imam al-Ghazali yang kemudian didukung serta dikuatkan oleh Ibnu Hajar al-Haitsami dan Mahmud Syaltut. Secara utuh apa yang al-Ghazali jelaskan berkaitan dengan masalah aborsi ini bisa dicermati sebagai berikut:

اذ سيلو"

-لد ا َُم هيري

َأ هجهلا تارم عوأو ، تارم اضيأ ِلو ،لااث هجهم ىُع ياَج ُلي َأ ، أهلاو ضاهجإاْ

ََو ،شحَأ ياَ ا تناْ قُعَ ه ن راا َمَ ، ياَج ُلي اَََو ،ةاي ا عهُقل هعتَتو ،ةأرما ءام طُخو ثرلا ى ه َلا ُقت هن هج هلا ُس أهيم اَُا امأو ايث عادهنإا هعب ياَ ا ى شثاهتلا ىهتَمو ،اشثاهت ياَ ا ا زا قُ ا هتساو رورلا ِيَ نم امَ اعيم يجوزلا نم لب خهثو لجرلا يم نم ُِخ ع هلهلا أ ليُثإا نم جور ا يث نم ع ثرلا ى يما سهاو يث نم

ئام نموأ اهئامو ِئام " ضي ا و ِ

Artinya:

Persoalan ini -maksudnya adalah upaya pencegahan kehamilan- jelas tidak sama dengan aborsi dan menguburkan bayi hidup-hidup, karena dua hal yang disebut terakhir ini merupakan tindak pidana terhadap suatu (nyawa) yang telah nyata eksistensinya. Masalah ini mempunyai tingkatan-tingkatan pula (seperti pada upaya pencegahan kehamilan), tingkatan pertama, bila aborsi dilakukan ketika nutfah (paduan antara air sperma laki-laki dan sel telur perempuan) telah menetap di dalam rahim dan telah bercampur dengan air (sel telur) perempuan dan telah siap menyambut datangnya kehidupan, sehingga merusak/mengganggu proses tersebut dianggap sebagai suatu tindak pidana, lebih-lebih jika (calon janin) itu telah berwujud nutfah atau ‘alaqah, pada tingkatan seperti ini tindak pidana yang dilakukannya benar-benar lebih keji, bahkan jika telah terjadi peniupan roh ke

16

Zainuddin al-Malibari, I’anah at-Talibin, (Semarang:Toha Putera, tth), jilid 4¸ hlm 130

17

(12)

dalam janin tersebut, bentuk penciptaannyapun telah semakin sempurna, maka tindak pidanya pelaku semakin bertambah sadis, sehingga tingkatan yang paling parah, jika aborsi dilakukan setelah bayi bisa mandiri dalam keadaan hidup. Sesungguhnya saya berprinsip bahwa permulaan eksistensi seorang manusia adalah pada saat terjadi peristiwa masuknya air sperma laki-laki ke dalam rahim seorang wanita, bukan pada saat sperma tersebut keluar dari saluran kencing laki-laki, sebab seorang anak manusia tidak tercipta hanya semata-mata dari air sperma laki-laki, tetapi tercipta dari kedua pasangan suami istri, baik dari sperma laki-laki dan sel telur perempuan atau dari sperma laki-laki dan darah haid seorang

wanita”18

Kalau diperhatikan kalimat dan argumentasi yang disampaikan al-Ghazali pada kutipan di atas, untuk ukuran kemajuan ilmu embriologi pada saat itu, di mana beliau lahir pada tahun 450 H/1058 M, maka dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, al-Ghazali merupakan seorang ulama yang sangat lengkap data dan keilmuannya, bukan hanya seorang yang faham hukum Islam, tetapi juga memahami tasawuf, filsafat bahkan ilmu embriologi dan anatomi tubuh. Sehingga pantas kalau Ibnu Hajar al-Haitsami sebagai seorang tokoh yang sama-sama

bermazhab Syafi’i mendukung pola pikir al-Ghazali dalam masalah aborsi ini.

Sementara banyak tokoh lain dari kalangan Syafi’iyyah yang hanya menganggap

makruh jika aborsi dilakukan sebelum peniupan roh. Bahkan belakangan, seorang mufti besar Mesir Mahmud Syaltut, dalam persoalan aborsi ini jelas-jelas mendukung pendapat Imam al-Ghazali.

Adapun alasan ulama-ulama yang membolehkan, atau setidaknya memakruhkan aborsi sebelum peniupan roh adalah karena mereka menganggap bahwa pada usia kehamilan sebelum 120 hari, berarti roh manusia belum terdapat dalam tubuh janin tersebut, oleh karena belum ada roh, maka embrio tersebut dianggap sebagai benda mati yang merupakan bagian dari tubuh ibu kandungnya, sehingga kalau sang ibu berkeinginan untuk menggugurkan kandungannya yang belum bernyawa itu dianggap tidak ada sesuatu yang dilanggar. Padahal tampaknya tidak tepat kalau anggapan bahwa belum ditiupkannya roh berarti janin itu dianggap sebagai benda mati yang bebas untuk diperlakukan tindakan apapun terhadapnya.

Dengan demikian, penulis cenderung menganggap pendapat al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Haitsami dan Mahmud Syaltut dalam masalah aborsi ini sebagai pendapat yang paling tepat. Sebab dalam menyampaikan argumentasi mereka, khususnya al-Ghazali dan Mahmud Syaltut sudah sangat baik dan mempertimbangkan disiplin ilmu embriologi, di mana menurut konsep ilmu ini bahwa kehidupan sudah ada pada saat konsepsi atau pembuahan terjadi, walaupun roh belum ditiupkan tetapi embrio mungil yang disebut dengan zygot itu bukan sebagai barang mati yang bisa diganggu dan dizalimi eksistensinya.

Namun demikian, dalam keadaan darurat, yang oleh sebagian ulama dari kalangan Hanafiah disebut sebagai uzur, seperti karena takut tidak bisa menyusuinya karena ASInya sudah kering, padahal kondisi ekonomi keluarga

18

Mahmud Syaltut, op cit, hlm 248 lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad

(13)

sedang morat-marit tidak mampu membeli susu dan mencari susu rental juga tidak memungkinkan, karena untuk menyelamatkan nyawa sang ibu berkaitan dengan suatu kelainan penyakit tertentu dalam kandungannya, karena kehamilannya terjadi di luar kandungan dan harus digugurkan, karena khawatir tidak bisa menghidupinya dan alasan-alasan logis yang lain, maka aborsi dalam kondisi darurat, selama belum mencapai usia 120 hari kehamilan tetap dapat ditolerir dan memunginkan untuk dilakukan oleh tenaga medis yang benar-benar telah terampil dan terlatih serta harus dengan persetujuan pasangan ( jika suami istri), atau atas persetujuan orang tua, jika ternyata wanita dimaksud belum bersuami, tetapi sudah hamil, agar tidak menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

D. Pandangan Ulama Terhadap Sanksi Tindak Pidana Aborsi

Dalam Fikih Jinayah, sanksi yang diberlakukan kepada pelaku aborsi dibedakan menjadi lima kategori, tergantung kapan dan dalam kondisi janin seperti apa aborsi berlangsung. Lima kategori tersebut adalah sebagai berikut :

1. Janin pada saat keluar sudah dalam keadaan mati.

Ketika janin keluar dan berpisah dengan badan ibunya sudah dalam keadaan mati, maka pelaku dikenai sanksi hukuman diat janin, yaitu ghurrah, dengan cara memerdekakan seorang budak laki-laki mapun perempuan yang nilainya seharga lima ekor unta. Dalam hal ini secara tegas Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa harga nilai lima ekor unta itu merupakan nisf ‘usyr ad-Diyyah atau 5 % dari diat pada pembunuhan sengaja dan terencana, atau dengan sejumlah uang senilai harga tersebut, yaitu 50 dinar atau 500 dirham menurut fuqaha Hanafiah atau 600 dirham menurut jumhur fuqaha.19 Selanjutnya az-Zuhaili menjelaskan bahwa terdapat dua syarat wajib diat janin kategori ini, pertama tindak pidana pelaku benar-benar berpengaruh pada janin korban aborsi tersebut dan kedua, keadaan janin pada saat keluar dari perut ibunya sudah dalam keadaan mati.20

2. Janin korban aborsi tersebut pada awalnya hidup, kemudian baru sengaja dibunuh oleh pelaku.

Dalam kondisi demikian, maka menurut sebagian pendapat ulama, pelaku yang sadis tersebut harus dikenakan sanksi pidana qishas atau setidaknya diat secara sempurna.21 Sanksi hukuman dalam kasus ini terasa berat karena pelaku dinilai sengaja dan terencana secara rapi dalam melaksanakan aksinya dan sungguh sangat biadab, tega menghabisi darah janin mungil tak berdosa tersebut. Jika janin hanya keluar di bagian kepala, sedangkan badannya masih berada dalam rahim ibunya dan sudah mati, maka

menurut ulama kalangan hanafiah, Syafi’iyyah dan Hadawiah tetap harus

membayar kompensasi berupa ghurrah, sedangkan menurut Imam Malik, pelaku tidak berkewajiban membayar uang kompensasi tersebut.22

19

Wahbah az-Zuahaili, op cit hlm 5771

20

Ibid, hlm 5773-5774

21

Abdul qadir Audah, op cit, hlm 300

22

(14)

Sanksi hukum dalam kasus aborsi kategori kedua ini adalah hukuman qishas atau diat secara sempurna. Kadar diat secara sempurna bagi janin ini sangat tergantung dengan jenis kelamin janin korban aborsi tersebut, jika janinnya laki-laki maka diatnya penuh berupa kewajiban membayar 100 ekor unta atau senilai harganya dan jika janinnya perempuan maka diatnya setengah dari diat janin laki-laki, yaitu 50 ekor unta atau senilai harganya.23

3. Pada awalnya janin tersebut hidup, kemudian mati bukan karena dibunuh pelaku tetapi karena sebab-sebab lain

Dalam kasus aborsi semacam ini, di mana janin yang awalnya hidup tetapi kemudian mati bukan karena tindakan ibu kandungnya, melainkan karena sebab lain seperti sengaja dibunuh oleh orang lain, atau karena sang ibu enggan menyusuinya, maka sanksi pidana ibu kandung sebagai pelaku berupa

hukuman ta’zir. Alasan yang dikemukan oleh Abdul Qadir Audah adalah

karena sang ibu tidak secara langsung melakukan tindakan pembunuhan terhadap janin tersebut, tetapi karena sebab lain. Sedangkan sanksi pidana pelaku yang menghabisi bayi setelah keluar dari perut ibunya maka tidak lain kecuali berupa hukum qishas yang berlaku pada sanksi pembunuhan jiwa manusia yang diharmankan Allah.

4. Janin tidak bisa keluar dari perut ibunya, atau keluar setelah ibunya meninggal dunia

Dalam aborsi dengan kasus demikian, yaitu ketika janin baru bisa keluar setelah sang ibu meninggal, atau ibunya meninggal dan bayinya masih berada dalam perutnya, maka dalam kasus ini pelaku aborsi juga dikenai

hukuman ta’zir. Dengan catatan bahwa tidak ada bukti dan indikasi-indikasi kongrit yang mengarah kepada kesimpulan bahwa pelaku melakukan tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan untuk menghabisi janin dalam perut ibunya yang ternyata sudah meninggal itu. Tentu janin dalam kategori ini dianggap dalam keadaan hidup, sebab kalau janin mati, maka masuk dalam kategori yang pertama dari lima kategori yang ada.

5. Pelaku menganiaya ibunya terlebih dahulu yang akibatnya janinnya keluar

dalam kondisi telah mati.

Dalam aborsi dengan kategori terakhir ini, menurut Abdul Qadir Audah bahwa pelaku bertanggungjawab atas tindakan menganiaya ibu janin tersebut dan sekaligus harus dituntut pertanggungjawaban pidana atas matinya janin. Kalau ada seseorang memberikan makanan atau minuman dan ramu-ramuan khusus kepada seorang wanita, dan wanita itu memakan atau meminumnya yang berakibat pada kematiannya setelah terlebih dahulu janinnya bisa keluar dalam keadaan mati, maka seorang lelaki tersebut dituntut pertanggungjawaban pidana atas pembunuhan wanita itu dengan ketagori pembunuhahn Syibhu’amdin dan sekaligus dia harus bertangungjawab memberikan

23

(15)

kompensasi atas kematian janinnya.24 Jadi, lelaki pembius tersebut bertanggung jawab atas jarimah pembunuhan dan juga jarimah aborsi.

Demikian beberapa kriteria dan model sanksi bagi pelaku aborsi atau orang yang membantu melakukannya menurut pemikiran ulama fikih. Jadi sanksi hukum yang harus dibebankan kepada pelaku harus disesuaikan dengan kondisi janin yang ada kalanya ketika aborsi berlangsung janin langsung mati dan ada kalanya janin korban aborsi itu masih hidup. Kalau sudah mati sanksi hukumnya berupa ghurrah, kompensasi pembayaran senilai harga 5 ekor unta, sedangkan apabila janin korban itu masih sempat hidup beberapa saat dan baru mati akibat tindakan pelaku, maka sanksinya adalah berupa diat sempurna, yaitu 100 ekor unta, tetapi sebagian ulama lain tetap memberlakukan sanksi qishas dalam kasus aborsi semacam ini.

Adapun ketentuan-ketentuan pidana bagi pelaku aborsi menurut Hukum Pidana Konvensional Indonesia, bisa dicermati pada pasal-pasal KUHP dalam masalah tindak pidana aborsi ini. Ketentuan-ketentuan pasal dalam KUHP tersebuat adalah sebagai berikut:

Pasal 346 Seorang wanita yang sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 25

Pasal 347 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun26

Pasal 348 (1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun enam bulan. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 349 Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.27

24

Abdul qadir Audah, op cit hlm 301

24

Wahbah az-Zuahaili, op cit hlm 5776

25

Moeljatno KUHP, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet ke-18, hlm 148

26

Moeljatno KUHP, op cit hlm 148

27

(16)

Keempat pasal mengenai aborsi dalam KUHP di atas, bila diperbandingkan dengan kelima kriteria aborsi dengan berbagai ketentuan sanksinya menurut Fikih Jinayah, maka semua sanksi dalam pasal-pasal tersebut berupa pidana penjara baik 4 tahun, 12 tahun, 15 tahun, 15 th 6 Bl, maupun 7 th. Selain sanksi penjara, KUHP juga menentukan sanksi pidana tambahan berupa sanksi pemecatan dari jabatan yang dimiliki pelaku seperti pada pasal 349 KUHP. Dua jenis sanksi pidana versi KUHP ini, bila ditinjau dari perspektif Fikih Jinayah, maka termasuk dalam kategori jenis hukuman ta’zir, padahal sanksi ta’zir hanya diberlakukan untuk jenis aborsi kategori tiga dan empat, yaitu ketika pada awalnya janin tersebut hidup, kemudian mati bukan karena dibunuh pelaku tetapi karena sebab-sebab lain dan ketika janin tidak bisa keluar dari perut ibunya, atau keluar setelah ibunya meninggal dunia (lihat hlm 66 penelitian ini)

Dengan demikian, sanksi pidana penjara dan denda yang merupakan hukuman ta’zir ini, bila diperbandingkan dengan kategori sanksi aborsi menurut Fikih Jinayah, maka sanksi pidana aborsi versi fikih jinayah jauh lebih ketat dan tegas daripada sanksi aborsi menurut KUHP. Sebab pasal 346, 347, 348 dan 349 walaupun jumlah tahunnya berbeda-beda, semuanya tetap bernama ta’zir.

Di samping itu, Tawaran sanksi Fikih Jinayah yang sangat mempertimbangkan kondisi janin, yaitu apakah dalam keadaan hidup atau sudah mati ketika aborsi berlansung, sehingga terdapat dua macam sanksi hukum diat dan ghurrah, sanksi diat diberlakukan ketika janin diaborsi dalam keadaan hidup dan ghurrah diberlakukan ketika janin diaborsi sudah dalam kondisi mati, sama sekali tidak bisa ditemukan kemiripannya dengan sanksi yang terdapat dalam KUHP. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya penjelasan konkrit mengenai pengertian aborsi, kondisi janin pada saat diaborsi, kapan peniupan roh terjadi pada diri janin dan hal-hal lain yang oleh para fukaha dibahas secara panjang lebar dalam banyak literatur fikih, baik yang klasik maupun yang kontemporer.

Bentuk sanksi lain yang ditentukan oleh KUHP adalah berupa denda 3 ribu rupiah, seperti yang terdapat pada pasal 299 ayat (1). Bentuk sanksi ini diberlakukan oleh KUHP untuk pelaku yang dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan. Sanksi denda tawaran KUHP ini mirip dengan konsep sanksi diat dan ghurrah dalam Fikih Jinayah, bila ditinjau dari segi jenisnya. Yaitu berupa denda materi, namun demikian, sanksi 3.000,00 ini tidak sebanding dengan konsep sanksi ghurrah apalagi diat dalam Fikih Jinayah, walaupun nominal 3.000,00 ini sudah ditetapkan sejak 1918. Akan tetapi nominal ini tetap tidak sebanding bila dibandingkan dengan ghrurrah yang merupakan 5 %nya diat yaitu 5 ekor unta, kalau satu ekor harganya 7 juta rupiah, maka 5 x 7 jua adalah 35 juta rupiah untuk ukuran saat ini. 3.000,00 untuk ukuran tahun 1918 tampaknya belum sebanding dengan 35 juta untuk ukuran saat ini. Belum lagi jika dibandingkan dengan diat yang 100 ekor unta x 7 juta = 700 juta rupiah.

(17)

pelaku aborsi (maksimal 15 tahun penjara dan denda sebesar 500 juta rupiah). Sanksi pidana yang ditetapkan oleh UU ini ada dua macam, yaitu pertama, pidana penjara 15 ahun dan kedua, denda 500 juta rupiah. Menurut fikih jinayah sanksi pertama masuk kategori ta’zir, sebagaimana pasal-pasal KUHP di atas, sedangkan sanksi kedua, bisa dikelompokkan ke dalam kategori diat atau ghurrah. Jumlah nominal 500 Juta rupiah tampaknya sudah mendekati konsep diat kamilah bagi sanksi pidana pelaku aborsi versi Fikih Jinayah, bila ketika jarimah itu dilakukan janin sempat hidup beberapa saat dan akhirnya mati.

Pada pasal 15 UU no 23 Tahun 1992 itu disebutkan bahwa dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). Yaitu dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil, dapat dilakukan tindakan medis tertentu. Ketentuan pasal ini sama persis dengan sebuah pemikiran dari sebagian ulama kalangan Hanafiah yang menganggap makruh aborsi yang dilakukan tanpa uzur. di antara yang diterima sebagai uzur, menurut mereka adalah karena takut tidak bisa menyusuinya karena ASInya sudah kering, karena untuk menyelamatkan nyawa sang ibu berkaitan dengan suatu kelainan, karena khawatir tidak bisa menghidupinya dan alasan-alasan logis yang lain. Dalam hal ada alasan-alasan darurat seperti ini, aborsi menurut mereka tidak makruh, kalau ada tanpa uzur, makruh, maka kalau ada uzur berarti tidak makruh, melainkan boleh dilakukan. Inilah pendapat yang paling moderat di antara sekian banyak pendapat ulama.

Dengan demikian, ketentuan pasal 15 UU no 23 Tahun 1992 ini sangat boleh jadi diilhami oleh pendapat sebagian ulama kalangan hanafiah di atas, atau sangat boleh jadi hanya kebetulan ada kesamaan antara keduanya. Sedangkan pendapat ulama-ulama lain, bisa dilihat pada urai-uraian sebelumnya. Permasalahannya adalah siapa yang bisa menentukan kondisi tertentu atau kondisi darurat sebagaimana amanat pasal ini dan apa indikatornya tampaknya menjadi problem teknis tersendiri, apalagi bila dikaitkan dengan siapa yang berhak melakukan aborsi sesuai dengan ketentuan pasal ini, tetunnya harus dilakukan oleh tenaga ahli yang mahir, seorang dokter yang terampil dan terlatih agar bisa memperkecil resiko yang mungkin akan terjadi bagi pelaku aborsi. Di samping itu, juga harus dimusyawarahkan dan disepakati para pihak, baik suami maupun orang tua yang bersangkutan.

E.Aborsi Akibat Perkosaan

Pemerintah melalui PP No 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi menghalalkan aborsi akibat prkosaan. Hal ini cakup mengagetkan banyak pihak khususnya para ulama dan kaum muslim yang selama ini berpandangan bahwa aborsi hukumnhya haram. Penghalalan aborsi akibat perkosaan ini bisa dilihat pada pasal 31 PP ayat (1) tersebut yang berbunyi

“Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan a) indikasi kedaruratan medis; atau b) kehamilan akibat perkosaan.”

(18)

berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

PP No 61 ini dapat membuka peluang kasus aborsi dengan alasan akibat perkosaan jika tidak dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan yang jelas dengan berbagai indikasi gamblang yang mudah dipahami semua pihak. Sementara iti pada

pasal 34 PP ini dinyatakan bahwa “ (1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”. Kemudian mengenai

pembuktian bahwa seorang wanita benar-benar mengalami perkosaan, hingga ia hamil dan agar korban perkosaan ini dibenarkan melakukan aborsi, dikemukakan pada ayat

selanjutnya bahwa “(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan dokter; dan b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.

Rumusan peraturan diperbolehkannya tindakan aborsi bagi wanita korban perkosaan ini memang sudah sangat jelas, yakni bahwa wanita itu benar-benar sebagai korban perkosaan. Dalam hal ini ia tidak bisa dibenarkan dengan sekedar mengaku bahwa telah menjadi korban perkosaan. Melainkan harus membuktikan bahwa ia benar-benar diperkosa oleh seorang laki-laki dengan

melibatkan keterangan-keterenagna yang bisa

dipertanggungjawabkan dari dokter, penyidik dan atau psikolog serta ahli yang lain. Oleh sebab itu untuk melakukan aborsi yang legal berdasarkan PP No 61 ini tidak mudah dan tidak cukup dengan mengaku diperkosa.

Pada Pasal 31 ayat (2) disebutkan bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Batasan usia maksimal kemahilan 40 hari yang dikemukakan di atas besar kemungkinannya diberi masukan oleh para ahli dari kalangan akademisi muslim yang mengutip sebuah hadis sahis terkait proses embriologi anak manusia. Dalam hadis ini dinyatakan bahwa Nabi SAW bersabda, sungguh kalian semua diciptakan dalam perut ibu kalian selama 40 hari pertama dalam bentuk nuthfah, kemudian empat puluh

hari berikutnya dalam bentuk ‘alaqah dan empat puluh hari

(19)

nasib baik dan nasib buruk untuk menuju kea rah surge atau neraka.

Seandainya betul masukan akademisi muslim adalah hadis ini, maka pada dasarnya tidak terlalu kuat alasan aborsi dilakukan sebelum masa kehamilan empat puluh hari. Dari

kalangan mazhab Syafi’I, konon hanya Imam Ramli yang

menyatakan aborsi boleh dilakukan jika belum terjadi peniupan ruh, yaitu usia kehamilan 120 hari. Sedangkan Imam al-Ghazali, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Syaltut dalam al-Fatawanya

menyatakan bahwa aborsi jelas merupakan tindak pidasna atau jarimah. Bahkan Keduanya menganjurkan agar masalah hukum aborsi ini dianalogikan dengan masalah muamalah! Jika antara A dan B sudah terjadi kesepakatan untuk melakukan sebuah transaksi, maka tidak boleh ada C sebagai pihak ketiga yang merusak kesepakan antara kedua orang pertama, A dan B. Kasus hamilnya seorang wanita walau baru memasuki hari atau minggu pertama, dianggap telah terjadi kesepakatan antara A dan B. Jika kehamilan itu dirusak, atau digugurkan, maka berarti sebagai pihak ketiga yang menghancurkan dan merusak kesepakatan dua pihak sebelumnya telah berbuat jarimah (tindak pidana). Di sinilah terjadi perbuatan dosa. Makin besar kehamilan seorang wanita, semakin tua usia kehamilannya, maka aborsi yang dilakukannya akan semakin besar resiko dan dosa yang harus dipertanggungjawabkan oleh para pelaku. Terlebih lagi jika aborsi dilakukan setelah usia kehamilan memasuki empat bulan. Pelaku aborsi dianggap sebagi seorang pembunuh yang harus dikenai sanksi hukum lebih berat daripada jika pelanggaran norma ini dilakukan sebelum masa peniupan ruh.

Kesimpulan

PP No 61 Tahun 2014 Tentang Ksehatan Reproduksi ini rawan dipersalahgunakan oleh para pihak. Dimungkinkan akan terjadi kesepakan menyimpang oleh para pihak, wanita yang tidak mau terkuat aibnya yang dideritanya, oknum dokter dan oknum penyidik. Mereka dapat bersekongkol melakukan aborsi, terlebih lagi jika dalam kasus ini menimpa wanita dari keluarga berada

dan berkecukupan untuk menentukan dan “membeli hukum” di

Republik tercinta ini. Oleh sebab itu, mengingat PP ini telah ditandangani yang berarti telah sah untuk disosialisasikan dan diberlakukan, maka wajib diikuti dengan tata aturan yang jelas, memadai dan mudah dimengerti oleh masyarakat. Sebab kalau tidak sebagian warga masyarakat merasa mendapat angin segar denga PP legalisasi aborsi korban perkosaan ini.

(20)

seorang wanita mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, aborsi mungkin akan marak terjadi. Aborsi legal atau tidak legal, akibat adanya kehamilan yang tidak dinginkan, kehamilan model ini terjadi akibat maraknya pergaulan bebas antar remaja. Maraknya perzinaan akibat delik perzinaan hanya masuk dalam kategori delik aduan. Masuknya zina sebagai delik aduan akibat rumusan pasal 284 KUHP yang sejak tahun 1915 hingga detik ini tidak pernah direvisi. Pada masa akhir periode DPR-RI tahun 2014 ini Rancangan UU tentang KUHP pernah mencuat dan dalam waktu sekejap sirna kembali. Pdahal, jika saja Draft KUHP beru ini disahkan, maka pasal 284 KUHP yang dalam rancangan KUHP baru ini menjadi pasal 484 jelas menjadi rujukan sangat baik bahwa para pelaku hubungan badan luar nikah walaupun mereka masih perjaka dan perawan dan belum atau tidak terikat sebuah tali perkawinan bisa dijerat dengan pasal ini. Dengan demikian, angka perzinaan akan bisa ditekan yang dipastikan angka kasus hamil luar nikah akan bisa diminimalisir, sehingga aborsipun secara otomatis akan dapat dikurangi dengan disahkannya draft KUHP baru sebagai hadiah ulang Tahun HUT RI yang ke- 69. Semoga keluarga kita terhindar dari petaka perkosaan dan aborsi

dan marilah beri’tibar dengan berbagai kasus menarik di negeri

tercinta ini!

Daftar Pustaka

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, ihya ‘Ulumuddin, Semarang:Toha Putera,tth jilid 2 hlm 53.

Al-Mu’jam al-Wasit, Mesir: Dar al-Ma’arif, tth, cet kedua

Abdul Fadl Mohsin Ebrahim, Aborsi, Kontrasepsi dan Mengatasi Kemandulan, Bandung: Mizan, 1997

Abdul qadir Audah, at-Tasyri' al-Jina'i al-Islami, op cit, jilid 2

Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bandung: Maktabah Dahlan, tth , jilid 2 1264-1265 CB. Kusmaryanto, SCJ, Kontroversi Aborsi, akarta: Grasindo, 2004, cet. Kedua, Ensiklopedi HukumIslam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, jilid 1, John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: P. Gramedia, 1987

Mahmud Syaltut, al-Fatawa, Kairo: Dar as-Syuruq, tth

Muslim, Sahih Muslim, Syarh an- Nawawi , Riyad : Bait al-Afkar ad-Dauliyyah, tth h 2643, lihat al-

Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah, Jakarta: Haji Masagung, 1994, Cet VII, hlm 78 Mahmud Syaltut, al-Fatawa, Kairo: Dar as-Syuruq, tth

Muhammad Ali bin Muhammad As-Syaukani, Nail Uatar Syarh muntaqa al-Akhbar min ahadis al-Akhyar, Beirut: Dar al-Fikr, tth

(21)

Moeljatno KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet ke-18,

Nani Soendo, SH., Abostus, LPHN Majalah Lembaga Pembina Nasional XV 0603 Sekt.

PP N0 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

USAID dan LBH APIK, Aboersi dan Hak atas Pelayanan Kesehatan, Lembar Info, Seri 32, hlm 1

Wahbah az-Zuahaili, op cit hlm 5771

Referensi

Dokumen terkait

U pozadini mnogih state-of-the-art metoda super rezolucije nalaze se generativne suparniˇcke mreˇze (eng. generative adversarial networks - GAN) koje spadaju u kategoriju generativ-

Varians dari proses produksi kertas di proses Hidro Pulper sudah terkendali statistik, sehingga selanjutnya dapat melihat apakah suatu proses Hidro Pulper sudah

Setelah mendapatkan parameter-parameter Carbon Nanotube (CNT) dengan menggunakan CNTBANDS 2.0, untuk kemudian dilakukan perhitungan berdasarkan parameter-parameter

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi dan protein sebagian besar wanita usia subur di Desa Selo adalah defisit berat, sedangkan tingkat konsumsi yodium semua

(counter produktiv).. ada bim bingan dan petunjuk-petunjukny a dalam Islam. Oleh sebab itu adalah sangat penting keluarga itu memegan g fungsinya sebaga badan

e. #idang usaha khusus agi perusahaan... Pada dasarnya, kop surat mempunyai peranan ganda. Di satu sisi seagai $ara menyampaikan in%ormasi dan pesan tertentu dari suatu

Kabupaten Labuhan Batu Selatan yaitu sesuai struktur organisasi sekolah, yaitu semua ikut berperan dalam penanganan siswa khususnya masalah kedisiplinan

1) Pemberian skor pada jawaban uraian sebaiknya dilakukan per nomor soal yang sama untuk semua jawaban peserta didik agar konsistensi penskor terjaga dan skor