• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENALARAN MORAL ANAK TUNARUNGU DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOGNISI DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DI SEKOLAH LUAR BIASA KOTA BOGOR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENALARAN MORAL ANAK TUNARUNGU DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOGNISI DAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DI SEKOLAH LUAR BIASA KOTA BOGOR."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

v

KATA PENGANTAR

Anak tunarungu dalam mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya, seringkali dihadapkan kepada berbagai masalah sehingga dapat menghambat perkembangan dirinya. Anak tunarungu adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbatasan dalam kemampuan mendengar. Dari keterbatasan itu seringkali mempengaruhi kehidupannya secara kompleks, karena ketunarunguan membawa dampak terhadap perkembangan bicara dan bahasa, kecerdasan, emosi, maupun perkembangan pribadi dan sosialnya.

Upaya pendidikan melalui pemberian program pembelajaran di Sekolah Luar Biasa tidak sekedar mempersiapkan para siswanya mencapai perkembangan yang optimal sesuai tingkat dan jenis ketunarunguan, tetapi lebih dari itu adalah untuk mengarahkan siswanya agar kelak bisa hidup di lingkungan masyarakat yang luas dan heterogen dengan memberinya bekal ilmu pengetahuan dan budi pekerti yang baik. Tetapi dengan kemajuan teknologi yang berkembang dengan pesat dewasa ini menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi perkembangan moral anak tunarungu.

(2)

vi

tunarungu berkembang dengan baik sehingga anak dapat berbaur dilingkungan masyarakat dengan memiliki pemahaman penalaran moral yang baik.

Laporan penelitian ini merupakan upaya untuk memberikan jawaban sementara atas pencarian data dari tahapan penalaran moral anak tunarungu usia 11-12 tahun. Laporan ini terdiri dari lima bab, yang dilengkapi dengan instrumen, beberapa tabel dan bagan tentang data dilapangan mengenai penalaran moral anak tunarungu usia 11-12 tahun ditinjau dari kemampuan kognisi dan kemampuan komunikasi yang dilakukan di Sekolah Luar Biasa di kota Bogor.

Akhirnya dengan temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi pijakan peneliti lain dan semoga dapat memberikan kontribusi praktis dan teoritis terhadap penalaran moral anak tunarungu juga bermanfaat bagi pengembangan ilmu pendidikan, khususnya bagi pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

Bandung, Juli 2011

(3)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat dan izinNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Penulisan Penelitian ini Alhamdulillah dapat selesai berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu peneliti memberikan ruang khusus untuk mengucapkan rasa terima kasih peneliti kepada pihak-pihak yang terkait.

Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd, rektor Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

2. Bapak Dr. Zaenal Alimin, M.Ed, selaku ketua program studi dan pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan sumbangan pemikiran untuk membantu peneliti membangun tesis dan memberikan motivasi yang sangat besar kepada peneliti.

(4)

viii

4. Ibu Dra. Permanarian Somad, M.Pd, ibu Dr. Imas Diana Aprilia, M.Pd, dan ibu Hj. Pin Sudiraharti, S.Pd, yang telah memberikan arahan terhadap instrumen kemampuan komunikasi yang dipakai dalam penelitian.

5. Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, yang telah memberikan kesempatan beasiswa program magister (S2) bagi pendidik dan tenaga kependidikan PLB Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tahun 2009.

6. Bapak Dede Supratman, S.Pd, kepala SLB Sejahtera Bogor sebagai kepala sekolah penulis yang telah banyak memberikan kebijakan dalam kelancaran penyelesaian studi di Sekolah Pascasarjana (S2) UPI Bandung.

7. Kepala SLB se kota Bogor, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian beserta guru-guru yang telah membantu dalam proses kelancaran dalam pemerolehan data di lapangan.

8. Dengan penuh rasa hormat kepada ibunda tercinta, Hj Tryatni dan Hj Otas Saodah beserta keluarga yang senantiasa tiada putus memberikan doa dan harapan untuk kebaikan dan kelancaran penulis, juga kepada bapak Lagimin dan apa Idi yang telah tiada semoga Allah SWT memberikan tempat yang baik disisiNya.

(5)

ix

10. Ketiga belahan hatiku, mas Hafiz, mbak Mia, dan dek Fariz, yang sebagian besar waktu kebersamaan kita telah ibu renggut untuk menyelesaikan studi dan tesis ini.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah mendukung secara moril hingga terselesaikannya tesis ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati semoga apa yang telah diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis, dapat menjadikan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin Yaa Robbal Alamin.

Bandung, Juli 2011

(6)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PENGESAHAN ………. ii

HALAMAN PERNYATAAN ………. iii

ABSTRAK ……….... iv

KATA PENGANTAR ………. v

UCAPAN TERIMA KASIH ………... vii

DAFTAR ISI ……… x

DAFTAR BAGAN ………... xiii

DAFTAR TABEL ……… xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……… 1

B. Rumusan Masalah ………. 6

C. Tujuan Penelitian ……….. 6

D. Manfaat Penelitian ……… 7

E. Metode Penelitian ………. 7

F. Lokasi dan Sampel Penelitian ……….. 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Penalaran Moral ……….. 9

1. Penalaran Moral ………. 9

2. Tahapan Penalaran Moral ……….. 11

(7)

xi

B. Kemampuan Kognisi ……… 19

1. Pengertian Kognisi ………. 19

2. Perkembangan Struktur Kognitif ……… 20

3. Tahap Perkembangan Kognitif ……… 22

4. Perkembangan Kognisi Anak Tunarungu ……….. 32

5. Hambatan dalam Perkembangan Fungsi Kognitif ……….. 34

Anak Tunarungu C. Kemampuan Komunikasi ……….. 36

1. Pengertian Komunikasi ………... 36

2. Jenis Komunikasi ………. 38

3. Proses Komunikasi ……….. 41

4. Kemampuan Komunikasi Anak Tunarungu ……… 42

D. Keterkaitan antara Kemampuan Kognisi ……….. 44

dan Kemampuan Komunikasi terhadap Penalaran Moral Anak Tunarungu BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian ……….. 49

B. Definisi Operasional Variabel ………. 50

C. Instrumen Penelitian …………..……….. 52

D. Proses Pengembangan Instrumen ……… 55

E. Teknik Pengumpulan Data ……… 60

F. Teknik Analisis Data ………. 61

(8)

xii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ……… 66

1. Hubungan Kualitatif Kemampuan Kognisi ……… 66

terhadap Penalaran Moral Anak Tunarungu 2. Hubungan Kualitatif Kemampuan Komunikasi ………. 69

terhadap Penalaran Moral Anak Tunarungu 3. Kaitan antara Kemampuan Kognisi, ……….. 70

Kemampuan Komunikasi, terhadap Penalaran Moral B. Pembahasan ……… 72

1. Keterkaitan Kemampuan Kognisi ……… 73

Dengan Penalaran Moral 2. Keterkaitan Kemampuan Komunikasi ………. 74

Dengan Penalaran Moral BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ………. 75

B. Saran……… 76

DAFTAR PUSTAKA ……….. 78

(9)

xiii

DAFTAR BAGAN

Bagan

2.1 Keterkaitan Kemampuan Komunikasi dan Kemampuan Kognisi ……….. 42 Pada Penalaran Moral Anak Tunarungu

(10)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel

3.1 Subjek Penelitian ………. 48 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Tes Komunikasi Anak Tunarungu ……….. 56 Usia 11 – 12 tahun

4.1 Hubungan Tahap Kognisi dan Tahap Penalaran Moral ……….. 66 Anak Tunarungu

(11)

1

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah

Sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai tanggungjawab dalam

mengembangkan kemampuan anak secara optimal. Kemampuan yang harus

dikembangkan bukan saja pada area kecerdasan intelektual saja.

Tanggungjawab lain yang harus dikembangkan oleh sekolah adalah masalah

moral. Peningkatan kecerdasan anak tidak akan berarti jika tidak diikuti oleh

pemahaman moral yang baik. Moralitas dapat diartikan sebagai sopan santun,

segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun (Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, cet Ke III:2288).

Era globalisasi dan kemajuan teknologi selain menimbulkan dampak positif

juga membawa dampak negatif. Sebagai contoh, tayangan yang bertemakan

percintaan, perselingkuhan, dan kekerasan di televisi yang tidak mengenal

waktu turut mempengaruhi gaya hidup anak-anak dan remaja Indonesia. Belum

lagi kehadiran internet yang memberi kemudahan bagi semua orang untuk

mendapatkan beragam informasi tanpa batas telah membuat sebagian

anak-anak dan remaja kita mengetahui masalah seksual sebelum waktunya.

Pemahaman moral sangat besar artinya bagi kehidupan seorang anak.

Pemahaman moral dapat membantu anak untuk hidup dimasyarakat. Dalam

berinteraksi dengan lingkungan maka etiket atau adat sopan santun merupakan

bagian komunikasi yang dilakukan oleh anak. Secara lahiriyah proses

(12)

2 perilakunya. Perilaku baik yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya

tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan dengan

sukarela. Ia muncul bersamaan dari peralihan kekuasaan eksternal ke internal

dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai tanggung

jawab pribadi untuk tindakan masing-masing (Elizabet B Hurlock, 1978:75).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penalaran moral sangat

diperlukan oleh anak. Penalaran moral yang rendah dapat mengakibatkan

juvenile delinnquency seperti terjadinya perkelahian antar pelajar, penggunaan

obat-obat terlarang, seks bebas dan sebagainya. Itu dikarenakan para remaja

merasa bahwa tindakan yang dilakukannya adalah baik, benar, dan tidak

merugikan kepentingan umum atau orang lain.

Penalaran moral adalah cara berfikir seseorang atau sekelompok orang

dalam menilai dan memutuskan apakah tindakan itu adalah baik atau buruk,

benar atau salah. Dari hasil penelitian (Anita Aryaputri, 2008), didapatkan

bahwa penalaran moral setiap individu berbeda-beda tidak tergantung pada

jenis kelamin dan usia individu. Dari hasil penelitian itu juga didapatkan data

yang menyimpulkan bahwa tidak adanya hubungan antara inteligensi dengan

tahap perkembangan penalaran moral, namun kemungkinan dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain adalah

pendidikan agama dan pengalaman sosial (jurnal ilmiah penelitian psikologi,

Mahargyantari. P. D, Ritandiyono, 2000).

Bagi remaja, agama memiliki arti yang sangat pentingnya dengan moral.

(13)

3 (2008), agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat

seseorang mampu membandingkan tingkah lakunya. Agama memberikan

perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi

dirinya.

Dalam bukunya The moral judgement of the child (1923) Piaget

menyatakan bahwa kesadaran moral anak mengalami perkembangan dari satu

tahap yang lebih tinggi. Pertanyaan yang melatar belakangi pengamatan Piaget

adalah bagaimana pikiran manusia menjadi semakin hormat pada peraturan. Ia

mendekati pertanyaan itu dari dua sudut. Pertama kesadaran akan peraturan

(sejauh mana peraturan dianggap sebagai pembatasan) dan kedua adalah

pelaksanaan dari peraturan itu.

Perkembangan moral menurut Lowrence Kohlberg yang terinspirasi teori

Jean Piaget dengan menggunakan perkembangan kognitif yang kemudian

mengembangkan sendiri teori tentang perkembangan penalaran moral dan

mendalami struktur proses berpikir yang terlibat dalam penalaran moral.

Penelitiannya dilakukan dengan merancang serangkaian cerita imajinatif yang

memuat dilemma-dilemma moral untuk mengukur penalaran moral seseorang.

Berdasarkan uraian di atas, penalaran moral dipengaruhi oleh banyak

faktor. Pendidikan agama dan pengalaman sosial menjadi faktor yang

berpengaruh terhadap penalaran moral. Bagaimana dengan anak berkebutuhan

khusus? Anak berkebutuhan khusus mempunyai keterbatasan-keterbatasan

untuk memperoleh pengalaman-pengalaman seperti anak pada umumnya. Anak

(14)

4 dalam komunikasi. Karena adanya hambatan komunikasi maka perkembangan

intelegensinyapun mengalami perkembangan yang tidak sama dengan anak

pada umumnya.

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus bertujuan untuk

mengembangkan potensi yang masih dimiliki secara optimal, agar mereka

dapat hidup mandiri dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana

mereka berada. Anak tunarungu adalah anak yang termasuk ke dalam anak

yang memiliki kebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam

pendengarannya. Sehingga dalam hal komunikasi, anak tunarungu akan

dihadapkan pada bagaimana kemampuan penalaran dapat terbentuk sesuai

dengan norma-norma dan akan bermuara pada aspek moralitasnya.

Fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan, mengisyaratkan bahwa

telah terjadi degradasi moral, tayangan televisi, kupasan media cetak, berita di

dalam internet marak dengan berita-berita tentang sikap-sikap negatif, seperti

tidak menghargai, dan menghormati kepada para guru-guru, bahkan sampai

terjadi perkelahian, tawuran, pelecehan seksual, pemerkosaan dan juga

pembunuhan yang dilakukan oleh peserta didik di jenjang Sekolah Dasar (SD),

Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) di

berbagai kota besar di negara ini.

Atas gambaran peristiwa atau kejadian di atas, ini merupakan indikasi

merosotnya moralitas yang mustinya dijunjung tinggi demi terwujudnya

manusia yang bermoral. Untuk membentuk dan mengarahkan peserta didik

(15)

5 benar-benar berada dalam keadaan selaras, tenang, tentram, tanpa perselisihan,

pertentangan, damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima,

dalam suasana tenang dan sepakat.

Kenyataan yang terjadi di lapangan juga menunjukkan bahwa sering kita

melihat anak tunarungu berprilaku aneh karena proses internalisasi diri atas apa

yang dia dapat dari lingkungan tidak sepenuhnya utuh. Keanehan tingkah laku

anak tunarungu tersebut pada akhirnya akan berkaitan dengan kemampuan

menunjukkan komunikasi yang baik dalam penalaran moralnya.

Ditinjau dari perspektif teori kognitif Piaget dalam Desmita (2008),

bahwa pemikiran masa remaja telah mencapai tahap pemikiran operasional

formal (formal operational formal thought), yakni suatu tahap perkembangan

kognitif yang dimulai pada usia 11 atau 12 tahun dan terus berlanjut sampai

remaja mencapai masa tenang atau dewasa (Learner & Hustsch, 1983). Pada

tahap ini anak sudah dapat berfikir secara abstrak dan hipotetik. Pada masa ini,

anak sudah mampu memikirkan sesuatu yang akan atau mungkin terjadi,

sesuatu yang abstrak.

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, anak tunarungu pun

pada usia 11 sampai 12 tahun kemampuan untuk berfikir abstrak sudah mulai

berkembang. Pada umur-umur itu, kodifikasi (penentuan) peraturan sudah

dianggap perlu. Kadang-kadang mereka lebih asyik tertarik pada soal-soal yang

menyangkut peraturan daripada menjalankan permainannya sendiri.

Maka berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Kohlberg dan hasil

(16)

6 penulis mencoba melakukan penelitian terhadap penalaran moral anak

tunarungu pada usia 11 sampai 12 tahun ditinjau dari kemampuan kognisi dan

kemampuan komunikasinya.

B. Rumusan Masalah

Sejalan dengan latar belakang penelitian, penulis mencoba meneliti tentang

penalaran moral anak tunarungu. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini,

yaitu “ Bagaimanakah penalaran moral anak tunarungu ?”.

Selanjutnya dalam rangka menjawab masalah tersebut diatas, maka secara

spesifik rumusan masalah diatas diuraikan kembali dalam pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah penalaran moral anak tunarungu ditinjau dari kemampuan

kognisinya?

2. Bagaimanakah penalaran moral anak tunarungu ditinjau dari kemampuan

komunikasinya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian di dalam karya ilmiah merupakan target yang hendak

dicapai melalui serangkaian aktifitas penelitian, karena segala yang diusahakan

pasti mempunyai tujuan tertentu yang sesuai dengan permasalahannya.Tujuan

akan sangat membantu terhadap pencapaian hasil yang optimal dan dapat

(17)

7 Sesuai dengan persepsi tersebut dan berpijak pada rumusan masalah

yang telah disebutkan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini

adalah:

1. Mengetahui penalaran moral anak tunarungu berdasarkan tahapan dalam

kemampuan

kognisi.

2. Mengetahui penalaran moral anak tunarungu berdasarkan kriteria

kemampuan komunikasi.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

terkait, terutama bagi:

1. Bagi pengembangan ilmu, penelitian ini berguna untuk memperluas

cakrawala ilmu pendidikan luar biasa, psikologi perkembangan, psikologi

kognitif, dan psikologi sosial.

2. Bagi aspek guna laksana, penelitian ini akan membuka wawasan guru,

orang tua dan pihak-pihak yang terkait dalam memilih model dan cara

berkomunikasi yang tepat dalam mengajarkan moral pada anak-anak

tunarungu.

E. Metode Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penalaran moral

anak tunarungu. Untuk kepentingan itu, maka metode yang sesuai adalah

(18)

8 Untuk mendapatkan gambaran data yang sesuai dengan tujuan penelitian

maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan

data yang dianggap relevan dengan permasalahan peneliti, yaitu melalui:

a. Pengukuran penalaran moral dengan menggunakan tes penalaran moral dari

Lawrence Kohlberg.

b. Pengukuran kemampuan kognisi dengan menggunakan tes perkembangan

kognitif dari Jean Piaget.

c. Penilaian kemampuan komunikasi dengan menggunakan tes yang diambil

dari pemahaman Anton Van Uden.

F. Lokasi dan Sampel Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Sekolah Luar Biasa (SLB) yang berada

di kota Bogor. Dari sepuluh SLB yang berada di kota Bogor, ada enam SLB

yang memiliki anak tunarungu yang berusia 11-12 tahun. Bogor merupakan

sebuah kota yang diapit oleh dua ibukota provinsi yang diperkirakan

perkembangan moral generasi mudanya sudah mengalami degradasi. Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah penalaran moral, sehingga usia terendah

yang diperkirakan cocok untuk memahami masalah penalaran moral adalah

usia remaja, karena pada usia remaja moral merupakan suatu kebutuhan yang

penting, terutama sebagai pedoman untuk menemukan identitas dirinya,

mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari

konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi. Sehingga dalam

penelitian ini yang menjadi subjeknya adalah siswa tunarungu yang berusia

(19)

48

BAB III

METODE PENELITIAN

Dalam melakukan penelitian, peneliti membutuhkan sistematika yang jelas

tentang langkah-langkah yang akan diambil sehubungan dengan tujuan penelitian

yang ingin dicapainya. Sukmadinata (2005: 52) menyebutkan bahwa metode

penelitian merupakan rangkaian cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang

berdasarkan pada asumsi-asumsi dasar, pandangan-pandangan filosofis dan

ideologis, pertanyaan dan isu-isu yang dihadapai. Dalam metode penelitian akan

tergambar bagaimana prosedur atau langkah-langkah yang harus ditempuh, waktu

penelitian, sumber data dan kondisi data yang dikumpulkan, serta dengan cara

bagaimana data tersebut diperoleh dan diolah.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan keterkaitan antara

kemampuan kognisi dan kemampuan komunikasi terhadap penalaran moral anak

tunarungu. Berdasarkan tujuan tersebut, maka pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, Schumacher dan Millan (2001: 22)

dalam Sartika (2009: 91) menyebutkan bahwa pendekatan kuantitatif memiliki

tujuan mengembangkan hubungan antara dua variabel terukur.

Cara penyajian data yang diperoleh dari lapangan disajikan apa adanya

tanpa adanya manipulasi, sehingga berdasarkan cara penyajian data yang

disampaikan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sukmadinata (2005: 54), menyatakan

(20)

49

Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang

menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau. Penelitian ini tidak mengadakan manipulasi atau pengubahan pada variabel-variabel bebas, tetapi menggambarkan suatu kondisi apa adanya.

A. Lokasi dan Subjek Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di enam Sekolah Luar Biasa (SLB) yang

berada di kota Bogor. Pemilihan keenam SLB tersebut berdasarkan alasan

praktis, di mana populasi anak tunarungu yang merupakan subjek dalam

penelitian ini dan sesuai dengan kebutuhan peneliti mengingat relatif mudah

diperoleh di keenam SLB tersebut.

Subjek dalam penelitian ini adalah anak tunarungu yang berusia antara

11 – 12 tahun dengan jumlah 18 siswa. Alasan pemilihan usia ini didasarkan

pada asumsi bahwa perkembangan penalaran pada anak mulai berkembang

pada usia remaja, yaitu sekitar usia 11 tahun. Walaupun telah dikemukakan

dari hasil pengkajian Myklebust bahwa sebenarnya perkembangan kognisi

anak tunarungu itu tidak berbeda dengan anak pada umumnya, tetapi

dikarenakan anak tunarungu mengalami hambatan dalam pendengarannya

sehingga mereka kurang dapat memahami hal-hal yang bersifat abstrak.

Tetapi dari batasan usia ini kita dapat melihat keberfungsian faktor kognitif

terhadap perkembangan moral pada anak tersebut.

Subjek penelitian yang dimaksud tergambar pada Tabel 3.1. di halaman

berikut.

(21)

50

menjadi objek pengamatan penelitian (Suryabrata, 1992: 72), berbentuk apa

saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh

informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Penelitian ini mengambil judul: “Penalaran Moral Anak Tunarungu

Ditinjau dari Kemampuan Kognisi dan Kemampuan Komunikasi”.

Berdasarkan judul tersebut variabel dalam penelitian ini terdiri dari satu

variabel terikat (dependen) dan dua variabel bebas (independen). Variabel

terikat dalam penelitian ini adalah penalaran moral anak tunarungu,

sedangkan variabel bebasnya adalah kemampuan kognisi dan kemampuan

(22)

51 Untuk dapat mengukur variabel-variabel penelitian di atas maka

diperlukan pendefinisian secara operasional dari variabel-variabel tersebut.

Sofyan Effendi (1995), menyebutkan bahwa definisi operasional adalah unsur

penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu

variabel. Sehingga penting sekali bagi seorang peneliti untuk merumuskan hal

tersebut.

Berikut ini penjelasan dari definisi operasional variabel yang terdapat

dalam penelitian:

1. Penalaran moral anak tunarungu adalah pemahaman anak tunarungu

tentang konsep yang menunjukkan mengapa sesuatu dianggap baik atau

buruk. Penalaran moral ditunjukkan oleh data kualitatif dalam bentuk

tingkatan atau tahapan moral. Data tersebut diperoleh dari hasil tes

penalaran moral tentang cerita dilemma yang disampaikan oleh peneliti.

2. Kemampuan kognisi adalah kemampuan individu dalam memahami

sesuatu konsep yang diperoleh melalui suatu proses sensoris dan persepsi.

Kemampuan kognisi ditunjukkan oleh deskripsi jawaban tentang

pemahaman individu tentang konsep konservasi isi atau substansi,

keseimbangan, dan pendulum, yang kemudian dicocokkan dengan tahapan

kognisi yang sesuai yang diperoleh dari hasil tes perkembangan kognitif

yang merujuk kepada teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget.

3. Kemampuan komunikasi adalah kemampuan individu dalam

berkomunikasi. Kemampuan komunikasi yang diberikan adalah berupa tes

(23)

52 dideskripsikan tentang kemampuan komunikasi anak tunarungu baik yang

berupa komunikasi reseptif maupun komunikasi ekspresif yang merujuk

pada pendapat dari Anton Van Uden.

C. Instrumen Penelitian

Menurut Suryabrata (1992), disebutkan bahwa dalam sebuah penelitian,

instrumen atau alat pengumpul data menentukan kualitas data yang akan

dikumpulkan dan hal tersebut menentukan juga kualitas dari penelitiannya.

Keputusan mengenai pemilihan instrumen yang akan digunakan ditentukan

oleh variabel yang akan diamati atau diambil datanya. Dengan kata lain

instrumen yang digunakan harus sesuai dengan variabel penelitiannya.

Berdasarkan variabel dan tujuan dari penelitian, maka instrumen yang

dipakai dalam penelitian ini terdiri dari instrumen wawancara penalaran

moral, instrumen tes kemampuan kognisi, yaitu tes konservasi isi,

keseimbangan, dan pendulum, dan instrumen tes kemampuan komunikasi.

1. Moral Judgement Interview (MJI)

Moral Judgement Interview atau wawancara Penalaran Moral merupakan

alat ukur yang disusun oleh Lawrence Kohlberg. MJI merupakan

wawancara langsung antara pewawancara dan responden tentang resolusi

tiga dilemma moral. Dari tes ini dapat dijaring bagaimana cara

penyelesaian seseorang terhadap masalah sosial menyangkut moral yang

dihadapinya sehingga dapat ditentukan tahapan atau stages moral orang

(24)

53 MJI yang sudah terstandar terdiri dari tiga paralel bentuk yaitu Form A,

Form B, dan Form C. Masing-masing bentuk terdiri dari tiga cerita dilema

dan masing-masing cerita dilemma terdiri dari 9 – 12 pertanyaan yang

dirancang untuk mengungkap pembenaran, pengembangan, dan klarifikasi

penalaran moral subjek. Bagi masing-masing dilemma pertanyaan yang

disampaikan terfokus pada dua isu moral. Sebagai contoh, dalam cerita

Heinz (Dilemma III) menyajikan konflik antara isu kehidupan dan hukum.

Pendapat yang memilih untuk mencuri obat termasuk pendapat yang

mendukung isu kehidupan dan pendapat untuk tidak mencuri

dikelompokkan pada pendapat yang mendukung isu hukum. Wawancara

dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu wawancara langsung dengan

menggunakan tape recorder dan pencatatan data, wawancara langsung

tanpa menggunakan tape recorder tapi pewawancara mencatat jawaban

dari responden, dan wawancara tertulis.

Pada penelitian ini pewawancara tidak menggunakan tape recorder

karena subjek yang diwawancara adalah anak tunarungu, jadi peneliti

menggunakan wawancara penalaran moral dengan mencatat jawaban dari

subjek secara langsung dan dengan memakai bantuan gambar untuk

memperjelas pertanyaan yang terdapat dalam setiap cerita dilemma moral.

Untuk mengetahui tahapan penalaran moral dari subjek maka salah

satu langkah yang harus ditempuh, yaitu dengan mencocokkan jawaban

dan alasan yang dikemukakan oleh subjek dengan kriteria penalaran yang

(25)

54

2. Tes Kemampuan Kognisi

Untuk melihat kemampuan kognisi anak tunarungu, maka peneliti

melakukan tes konservasi , keseimbangan, dan pendulum. Tes konservasi

yang dilakukan adalah tes konservasi isi atau substansi. Kemampuan dalam

memahami konservasi isi ini dilihat berdasarkan pemahaman subjek

terhadap perubahan bentuk objek yaitu perubahan dari bentuk bola menjadi

bentuk tabung atau bentuk seperti sosis berdasarkan isinya. Yang dimaksud

konsep konservasi isi atau substansi dalam penelitian ini adalah kemampuan

individu dalam melihat kekekalan isi atau substansi dari sebuah objek.

Tes keseimbangan adalah, tes tentang kemampuan subjek dalam

menyeimbangkan anak timbangan yang telah ditaruh oleh tester. Tes

pendulum yang dilakukan adalah, testee menentukan pendulum mana yang

bergerak lebih cepat setelah tester mengamati gerak pendulum dengan berat

dan panjang tali pendulum yang berbeda-beda.

Untuk menentukan tahap kognisi subjek, maka komentar subjek

dalam menjawab pertanyaan tentang perubahan bentuk dari plastisin bola

menjadi plastisin bentuk tabung atau bentuk seperti sosis, kemampuan

menyeimbangkan anak timbangan, dan faktor yang mempengaruhi cepat

lambatnya gerak sebuah pendulum disesuaikan dengan karakteristik tahap

(26)

55

3. Tes Kemampuan Komunikasi

Untuk melihat kemampuan komunikasi anak tunarungu, maka peneliti

melakukan tes kemampuan komunikasi berdasarkan definisi yang

dikemukakan oleh Anton Van Uden yang terbagi menjadi dua komponen, yaitu

komunikasi reseptif dan komunikasi ekspresif. Didalam komunikasi reseptif

akan mengungkap kemampuan anak tunarungu dalam memahami apa yang

diucapkan orang lain dengan mengeteskan indikator dari menyimak dan

membaca, dan pada komunikasi ekspresif akan mengungkap kemampuan anak

tunarungu dalam mengekspresikan pikiran dengan berbicara, dan indikator

yang dikembangkan adalah berbicara dan menulis. (lihat lampiran).

D. Proses Pengembangan Instrumen

Dalam penelitian ini terdiri dari tiga pedoman tes. Pertama, tes

penalaran moral yang digunakan untuk mengukur tahapan penalaran moral.

Kedua, tes kemampuan kognisi (konservasi isi, keseimbangan, dan

pendulum) untuk mengukur tahapan kognisi. Ketiga, tes kemampuan

komunikasi (reseptif dan ekspresif) untuk mengukur kemampuan komunikasi

yang dimiliki anak tunarungu usia 11 - 12 tahun.

Pertama, tes tentang penalaran moral. Tes ini diadaptasi dari

instrumen wawancara penalaran moral yang disusun oleh Kohlberg.

Instrumen tersebut berisikan tiga cerita dilemma yang harus diberikan pada

(27)

56

1. Langkah pertama dalam pengembangan instrumen penalaran moral adalah

menterjemahkan tiga cerita dilemma kedalam bahasa Indonesia, karena

cerita aslinya berbahasa Inggris. Sebelum instrumen tersebut digunakan

dilakukan uji coba kepada dua orang anak tunarungu. Dari hasil uji coba

diketahui data bahwa anak kurang memahami beberapa istilah dan

pertanyaan-pertanyaan tertentu.

2. Peneliti melakukan penyesuaian terhadap kalimat-kalimat yang terdapat

dalam cerita atau pertanyaan wawancara versi Kohlberg tanpa merubah

inti dari ceritanya dan dibantu dengan menggunakan gambar. Pada setiap

cerita dilemma disertakan gambar berseri yang dapat mewakili inti cerita

dari dilemma moral tersebut.

3. Cerita dilemma penalaran moral yang sudah memalui tahap penyesuaian

pada kalimat-kalimat dalam cerita dan sudah disertakan dengan bantuan

gambar berseri divalidasi oleh guru tunarungu mengenai kesesuaian antara

isi cerita dengan gambar yang disertakan dalam cerita dalam dilemma

penalaran moral.

Kedua, instrumen tes konservasi isi, keseimbangan, dan pendulum.

Instrumen ini merupakan tiga diantara instrumen yang dibuat oleh Piaget

untuk mengetahui tahap kemampuan kognitif seseorang. Instrumen ini

sifatnya universal, sehingga tidak diperlukan uji coba sebelum digunakan.

Walaupun sudah bersifat universal, tetapi peneliti tetap mempersiapkan

alat-alat yang akan dipergunakan dalam tes kognisi ini dan mengganti alat-alat yang

(28)

57 kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh dalam panduan tertera tanah lempung,

dalam tes konservasi isi, peneliti menggantinya dengan plastisin dengan

alasan plastisin lebih mudah didapat dan tidak sampai membuat akibat

(mengotori tangan atau pakaian), dalam tes keseimbangan peneliti mengganti

alat timbang dengan sedotan minum yang terbuat dari plastik dan anak

timbangan diganti dengan paper klip (penjepit kertas).

Ketiga, instrumen kemampuan komunikasi. Instrumen ini

dikembangkan berdasarkan pengertian dari Anton Van Uden. Adapun

langkah-langkah pengembangannya sebagai berikut:

1. Membuat kisi-kisi tes kemampuan komunikasi berdasarkan milestone yang

ada.

2. Membuat item-item pernyataan berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat.

3. Instrumen yang telah dibuat lalu dinilai oleh tiga orang ahli dalam

komunikasi khususnya bagi anak tunarungu.

4. Melakukan perbaikan instrumen berdasarkan masukan-masukan yang

disampaikan oleh penilai.

5. Instrumen yang telah diperbaiki kemudian dinilai kembali oleh salah satu

penilai yang kesehariannya berada di Sekolah Luar Biasa bagi anak

tunarungu.

6. Melakukan perbaikan instrumen berdasarkan masukan-masukan yang

disampaikan oleh penilai.

Berikut ini kisi-kisi dalam tes kemampuan komunikasi anak

(29)

58

Tabel 3.2

KISI-KISI INSTRUMEN TES KOMUNIKASI ANAK TUNARUNGU USIA 11 SAMPAI 12 TAHUN

No Milestones 2. Sudah berapa hari adik sakit? 3. Kemana ibu membawa adik? 3. Buang sampah itu ke tempat

(30)
(31)

60 Ada kendaraan

Bentuk rodanya …. Roda itu berjumlah …. Kendaraan itu bernama ….

Gambar ikan

Dia seekor binatang Hidupnya di …. Matanya ada …. Binatang itu adalah ….

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh jawaban mengenai pertanyaan penelitian yang telah

dirumuskan pada BAB I, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara:

a. Memberikan tes penalaran moral terhadap anak tunarungu tentang

dilemma moral, melalui cerita dilemma moral berdasarkan cerita yang

dirancang oleh Kohlberg dengan sedikit penyesuaian mengenai nama

tokoh dan beberapa istilah yang diperkirakan kurang dipahami oleh anak

tunarungu, dan diperjelas dengan bantuan gambar berseri yang mewakili

cerita dari setiap dilemma. Penyesuaian tersebut diperoleh melalui tahapan

penilaian yang dilakukan peneliti terhadap guru anak tunarungu. Dalam tes

penalaran moral ini menggunakan tiga buah cerita dilemma moral dan

setiap cerita disertai dengan gambar berseri.

b. Pemberian tes kemampuan kognisi kepada anak tunarungu yang diadaptasi

dari tes yang dirancang oleh Piaget. Ada banyak tes yang dibuat oleh

(32)

61 digunakan dalam penelitian ini yaitu tes konservasi isi, tes keseimbangan,

dan tes pendulum (Labinowicz, 1980).

c. Pemberian tes kemampuan komunikasi kepada anak tunarungu yang

didasari dari pendapat A. Van Uden (dalam Bunawan dan Cecilia, 2000).

Komponen kemampuan komunikasi yang diteskan yaitu bentuk

komunikasi reseptif dan bentuk komunikasi ekspresif.

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kuantitatif, analisis data merupakan kegiatan setelah

data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Karena jumlah

subjek dalam penelitian ini hanya 18 orang dan data dalam penelitian ini

terdiri dari data kualitatif, maka teknik analisis data dalam penelitian ini tidak

menggunakan perhitungan statistik. Teknik analisis yang dilakukan dengan

cara deskriptif. yaitu dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data

yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat

kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.

Kegiatan yang dilakukan dalam menganalisis data dalam penelitian ini

dilakukan dengan cara mengelompokkan data berdasarkan variabelnya,

mentabulasi data berdasarkan variabel, menyajikan data setiap variabel dalam

bentuk tabel, dan melakukan interpretasi data untuk menjawab masalah dalam

(33)

62

G. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh

penelitian dalam menemukan data penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif,

prosedur pengumpulan data tidak memiliki pola yang pasti, sebab desain serta

fokus penelitian dapat mengalami perubahan akan tetapi untuk memudahkan

pengumpulan data peneliti menggunakan prosedur yang secara garis besar

melalui beberapa langkah. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian

ini melalui beberapa tahapan, yaitu: (1) mempersiapkan instrumen penelitian,

(2) proses pengambilan data ke lapangan, (3) pengolahan data, dan (4)

penyusunan laporan penelitian.

1. Mempersiapkan instrumen penelitian

Dalam sebuah penelitian, peranan instrumen penelitian memegang

peranan yang penting. Karena tanpa instrumen, sebuah penelitian tidak

akan menghasilkan data yang dibutuhkan. Langkah yang dilakukan dalam

mempersiapkan masing-masing instrumen dalam penelitian ini sudah

dibahas dalam sub bab pengembangan instrumen,yakni:

a. Tes penalaran moral

b. Tes kemampuan kognisi

(34)

63

2. Pengambilan data ke lapangan

Pengambilan data dari lapangan dilakukan langsung oleh peneliti dengan

tahapan sebagai berikut:

a. Melakukan observasi ke Sekolah Luar Biasa di kota Bogor.

b. Mencatat data anak tunarungu yang berusia 11 - 12 tahun pada Sekolah

Luar Biasa.

c. Permohonan izin kepada Kepala Sekolah yang siswanya akan dijadikan

objek penelitian dengan memberikan surat penelitian yang

direkomendasikan dari Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung.

d. Melakukan tes penalaran moral kepada anak tunarungu yang berusia

11 - 12 tahun.

e. Melakukan tes kognisi kepada anak tunarungu yang berusia 11 - 12

tahun.

f. Melakukan tes komunikasi kepada anak tunarungu yang berusia 11 - 12

tahun.

3. Pengolahan data

Pengolahan data penelitian ini dilakukan setelah peneliti selesai

mengambil semua data penelitian dari lapangan. Pengolahan data dalam

(35)

64 a. Pengolahan data penalaran moral

Data yang diperoleh dari hasil tes penalaran moral tentang

dilemma moral yang telah diberikan kepada setiap anak dicatat dan

dideskripsikan sehingga menghasilkan data tentang tahapan penalaran

moral anak tersebut.

b. Pengolahan data kemampuan kognisi

1) Tes konservasi isi, anak diperlihatkan pada dua buah plastisin yang

berbentuk bola dengan bentuk dan isi yang sama, kemudian salah

satu plastisin dibuat menjadi bentuk tabung (sosis), anak mengamati

perubahan itu dan ditanyakan apakah isi plastisin itu berubah?

2) Tes keseimbangan, anak memperhatikan timbangan yang terbuat dari

sedotan minum plastik, tester menggantungkan anak timbangan pada

salah satu sisi timbangan pada bagian paling ujung, tester meminta

testee untuk menyeimbangkan timbangan tersebut. Pada tes ini

semua subjek dapat menyeimbangkan anak timbangan yang

dipasangkan tester berarti semua subjek telah memahami konsep

keseimbangan didalam tes kemampuan kognisi.

3) Tes pendulum, anak diperlihatkan pendulum dengan ukuran berat dan

panjang tali pendulum yang berbeda, anak mengamati dan

menemukan manakah dari faktor-faktor yang mengakibatkan

pendulum bergerak cepat atau lambat. Hasil yang didapat dari tes

(36)

65 pendulum yang ringan yang bergerak lebih cepat dan sembilan anak

menyatakan pendulum yang berat yang bergerak lebih cepat.

c. Pengolahan data kemampuan komunikasi

1) Data yang diperoleh dari tes kemampuan komunikasi adalah skor.

2) Skor yang didapat diolah dengan menggunakan Penilaian Acuan

Patokan (PAP) agar mendapatkan hasil yang berupa data

kualitatif, dengan cara penghitungan sebagai berikut:

- Menentukan jumlah kelas interfal (k) dengan rumus k = 1 + 3, 3

(log n)

1 + 3,3 (log 18) = 5,14 , dibulatkan menjadi 5

- Menentukan kelas interfal (R:k), R=skor maksimal

100 : 5 = 20

- Membuat Kriteria Penilaian

0 - 20 = Kurang Sekali 21 – 40 = Kurang 41 – 60 = Cukup 61 – 80 = Baik 81 – 100 = Baik Sekali

4. Penyusunan Laporan Penelitian

Bagian akhir dalam sebuah penelitian adalah kegiatan penyusunan

laporan penelitian. Kegiatan ini dilakukan peneliti setelah proses pengambilan

data (tes penalaran moral, tes kemampuan kognisi, dan tes kemampuan

komunikasi) dilapangan dan analisis data terhadap anak tunarungu usia 11-12

(37)

75

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bagian terakhir dari rangkaian dalam penulisan tesis.

Uraian yang akan dikemukakan pada bab ini meliputi dua bagian, yaitu simpulan

dan saran.

Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan tentang penalaran moral

anak tunarungu usia 11-12 tahun yang ditinjau dari kemampuan kognisi dan

kemampuan komunikasi di Sekolah Luar Biasa yang berada di kota Bogor, dapat

dikemukakan beberapa simpulan dan saran sebagai berikut:

A. SIMPULAN

Simpulan dalam penelitian ini merupakan hasil pencapaian dari tujuan

penelitian. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data penelitian diperoleh

beberapa simpulan yang berkenaan dengan hasil penelitian tentang hubungan

kemampuan kognisi dengan penalaran moral anak tunarungu dan hubungan

kemampuan komunikasi terhadap penalaran moral anak tunarungu . Simpulan

yang diperoleh dalam penelitian ini tidak berlaku umum, tetapi hanya berlaku bagi

anak tunarungu yang menjadi subjek dalam penelitian ini saja. Simpulan yang

dihasilkan merupakan sebuah hipotesis yang muncul dari studi lapangan yang

dilakukan oleh peneliti. Berikut ini simpulan yang dapat ditarik berdasarkan hasil

analisis temuan data di lapangan.

Pertama, terlihat hubungan yang paralel antara tahapan perkembangan

(38)

76

dalam penelitian ini. Hal tersebut bedasarkan data bahwa tahap kognisi anak

tunarungu yang menjadi subjek dalam penelitian ini berada pada tahap kognisi

praoperasional dan operasional konkrit, dan tahap penalaran moralnya berada

pada tingkat pra konvensional (tahap 1 dan 2).

Kedua, dari data yang peneliti dapatkan dilapangan terhadap subjek yang

diteliti terlihat adanya keterkaitan antara kemampuan komunikasi dengan

penalaran moral anak tunarungu. Banyak anak yang kemampuan komunikasinya

baik, namun tahap penalaran moralnya sama dengan anak yang kemampuan

komunikasinya cukup. Anak yang kemampuan komunikasinya kurang, tahap

penalaran moralnya sama dengan sebagian anak yang kemampuan komunikasinya

cukup, ini dimungkinkan karena anak tunarungu mengalami hambatan dalam

memahami maksud sebuah konsep abstrak secara utuh dan akurat, sedangkan

dalam penalaran moral dibutuhkan pemahaman yang baik terhadap konsep yang

bersifat abstrak (sebagai contoh kata indah,sayang, dan bahagia).

B. SARAN

Berdasarkan simpulan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka ada

beberapa hal yang ingin peneliti sampaikan:

Pertama, sebelum guru membuat rancangan program pembelajaran moral,

yang mana didalamnya berisi materi, metode, dan hal lainnya yang berhubungan

dengan pembelajaran, sebaiknya guru mengetahui tahap kognisi dan tahap

(39)

77

dalam menentukan pemilihan materi dan metode yang sesuai dengan kebutuhan

dan hambatan yang ada pada anak tunarungu.

Kedua,dengan adanya keterkaitan antara kemampuan komunikasi dengan

penalaran moral pada penelitian ini , maka dalam menyampaikan konsep tentang

sesuatu yang yang mengandung unsur moral perlu diperhatikan kemampuan

komunikasinya.

Ketiga, peneliti mengakui adanya kelemahan dalam penelitian ini, sehingga

bagi peneliti lainnya yang tertarik untuk melakukan penelitian ini disarankan

untuk melakukan penelitian ini dengan subjek yang lebih banyak dan dengan

indikator tes kemampuan kognisi yang tidak dibatasi tapi menggunakan seluruh

aspek yang terdapat dalam tes kemampuan kognisi, serta mencari faktor-faktor

pada kemampuan yang lain yang dapat diungkap dari penelitian sekarang ini.

Sehingga diharapkan dapat menemukan temuan data lain yang berguna bagi

pengembangan ilmu pendidikan luar biasa khususnya dan ilmu-ilmu yang lain

(40)

78 DAFTAR PUSTAKA

Alimin, Z. (2008). Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita Menurut Teori Piaget. Tersedia: http/Zaenal Alimin [online]

Aprilia, D. I. (2010). Model bimbingan Dan Konseling Untuk Mengembangkan KemandirianRemaja Tunarungu Di SLB-B Bandung. Disertasi. Bandung: Fakultas Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan.

Bunawan, L. & Yuwati, S. (2000). Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santirama.

Colby, A., Kohlberg, L., dkk. (1990). THE MEASUREMENT of MORAL JUDGMENT. Vol. II. Theoritical Foundations and Research Validation. New York: Cambridge University Press.

Colby, A., Kohlberg, L., dkk. (1990). THE MEASUREMENT of MORAL JUDGMENT. Vol. II. Standard Issue Scoring Manual. New York: Cambridge University Press.

Desmita. (2008). Psikologi Perkembangan. Pengantar Prof. Dr. Hj. Samsunuwiyati Mar’at, S.Psi.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. (2006). Identifikasi Anak

Berkebutuhan Khususdalam Pendidikan Inklusif, diambil dari

http:/www.ditplb.or.id/new/index.php/menu=profile&pro=52

Hadi, P. (2007). Komunikasi Aktif Bagi Tunanetra. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Direktorat Ketenagaan.

Hallahan, D & Kauffman, M. J. (1998). Exceptional Children, Introduction to Special Education (Fifth Edition). New Jersey: Prentice-Hall International Inc.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. (1990). Balai Pustaka, cetakan Ke III.

(41)

79

Maryati & Suryawati. (2003). TJ .[online]. Tersedia:

http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009 [21 Desember 2010]

Moores, D. F. (1982). Educating The Deaf, Psychology, Principles, Practices. Boston: Houghton Mifflin Company.

Neely, M. (1982). Counseling and Guidance Practices with Special Student. Illionis: The Dorsey Press Homewood.

Piaget, J. (1965). The moral judgement of the child. Glencoe, IL: Free Press. (original published in 1932).

Rahardja, D. (2006). Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Visiting Foreign

Research Fellow, Indonesia University of Education. Center for Research on International Cooperation in Educational Development. University of

Tsukuba.

Rama, T. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung.

Ritandiyono, M. (2000). Jurnal Ilmiah Penelitian Psikologi. Depok: Universitas Gunadharma.

Sartika, R. (2009). Pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Pengembangan Kecakapan Partisipatoris Pemilih Pemula (Studi Deskriptif Pada Siswa SMA Negeri di Kota Bandung). Tesis.Bandung:UPI.

Setiono, K. Jurnal Psikologi Dan Masyarakat. Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Somad, P. (2007). Interaksi-Komunikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Buku Materi Pokok Mata Kuliah Hambatan Interaksi Komunikasi. Bandung: Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Suharnan. (2005). Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

Suryabrata, S. (1992). METODOLOGI PENELITIAN. Edisi 1, Cetakan 7. Jakarta: CV Rajawali.

Gambar

Tabel
Tabel 3.1 Subjek Penelitian
gambar berseri divalidasi oleh guru tunarungu mengenai kesesuaian antara
Gambar Adik minum
+3

Referensi

Dokumen terkait