PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister
Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
oleh
ANNA MEIRLINA SULIANTI NIM 1201554
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA
Oleh
Anna Meirlina Sulianti
M.Pd. UPI Bandung, 2012
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
© Anna Meirlina Sulianti 2014
Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
KARYA R.A.A. MARTANAGARA DENGAN NASKAH DRAMA PRABU GEUSAN ULUN KARYA SAINI K.M. SEBAGAI ALTERNATIF
PEMODELAN PEMBELAJARAN ALIH WAHANA DI KELAS X PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA
Anna Meirlina Sulianti
1201554
Disetujui dan Disahkan oleh:
Pembimbing I,
Prof. Dr. Yus Rusyana
Pembimbing II,
Dr. Sumiyadi, M. Hum. NIP 1966032019910331004
Diketahui oleh:
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana
Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A. Martanagara dengan Naskah Drama
Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M. sebagai Alternatif Pemodelan
Pembelajaran Alih Wahana di Kelas X Program Peminatan Ilmu Bahasa dan
Budaya” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya
tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan
ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila
kemudian ditemukan adanya pelanggaran dengan etika keilmuan dalam karya
saya ini, atau ada klaim dari pihak lain dengan keaslian karya saya ini.
Bandung, Agustus 2014
Yang membuat pernyataan,
Anna Meirlina Sulianti
ABSTRAK
KAJIAN BANDINGAN WAWACAN BABAD SUMEDANG KARYA R.A.A. MARTANAGARA DENGAN NASKAH DRAMA PRABU GEUSAN ULUN KARYA SAINI K.M. SEBAGAI ALTERNATIF
PEMODELAN PEMBELAJARAN ALIH WAHANA DI KELAS X PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA
Anna Meirlina Sulianti 1201554
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa.
Kata kunci: kajian bandingan, wawacan, drama ABSTRAC
A Comparative study on the wawacan “Babad Sumedang” written by R.A.A. Martanagara and drama”Prabu Geusan Ulun”
written by Saini K.M. on an effort to provide as an alternative teaching models for literary appreciation at Senior High School
Anna Meirlina Sulianti
Indonesia Language Eduacation, School of Postgraduate, UPI Bandung
The studi was aimed at (1) finding out the relationship between elements and inter-elements in the Sundanese classical poetry Wawacan Babad Sumedang written by R.A.A. Martanagara; (2) finding out the relationship between elements and inter-elements in the Indonesian drama Prabu Geusan Ulun written by Saini K.M.; (3) finding out the comparison of elements and inter-elements relationship between Wawacan Babad Sumedang written by R.A.A. Martanagara and Drama Prabu Geusan Ulun written by Saini K.M.; (4) finding out the comparison of myths between Wawacan Babad Sumedang written by R.A.A. Martanagara and Drama Prabu Geusan Ulun written by Saini K.M.; (5) finding out a teaching Models for Literary Appeciation at Senior High School by using Wawacan Babad Sumedang and Drama Prabu Geusan Ulun. The study was a comparative analytical description, that is the core of inter-textual semiotic theory and comparative literature approach. The study used semiotic method and applied qualitative methodology principles. To gain the data, literary and documentation study on Wawacan Babad Sumedang and Drama Prabu Geusan Ulun were conducted. The steps of collecting data were reading both of the texts accurately, making note of relevant data, identifying and classifying the data, making data tabulation and comparing them. In analyzing the data, semiotic analysis was applied. In analyzing the structure, AJ Greimas theory was adobted. The result of the study showed that Wawacan Babad Sumedang and Drama Prabu Geusan Ulun had similarities and differences in their elements and myths. All elements formed a whole unity. The result of comparative study on both texts can be used as an alternative teaching model for literary appreciation, especially at senior high school. It is in line with the goal of the 2013 Curriculum, that is, to build, a
foundation for the growth of the learners’ potency in order to become people who
DAFTAR ISI
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR iii
UCAPAN TERIMA KASIH iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL DAN BAGAN x
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang ... 1
1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 14
1.3 Rumusan Masalah ... 17
1.4 Tujuan Penelitian ... 17
1.5 Manfaat Penelitian ... 18
1.6 Definisi Operasional... 19
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 21 2.1 Perkembangan Tradisi Wawacan dalam Sastra Sunda ... 21
2.1.1 Batasan Wawacan ... 21
2.1.2 Prosodi dan Huruf Wawacan ... 23
2.1.3 Jenis-Jenis dan Fungsi Wawacan ... 27
2.2 Penelitian Isi Babad dalam Wawacan Babad Sumedang ... 32
2.2.1 Batasan Babad ... 32
2.2.2 Naskah Babad sebagai Karya Sastra Sejarah ... 34
2.2.3 Isi Babad Sumedang Versi Tradisi Lisan dan Tulisan 37 2.3 Drama Modern Indonesia ... 40
2.3.1 Batasan Drama ... 40
2.3.3 Unsur-Unsur Struktur Drama ... 46
2.4 Sastra Bandingan ... 58
2.4.1 Batasan Sastra Bandingan ... 58
2.4.2 Perkembangan Sastra Bandingan ... 59
2.4.3 Kajian Bidang Penelitian Sastra Bandingan ... 61
2.5 Kajian Semiotika ... 66
2.5.1 Kerangka Kerja Analisis Semiotik ... 71
2.5.2 Analisis Struktural A.J. Greimas ... 73
2.6 Model Pembelajaran Menulis Alih Wahana di Kelas X Program Program Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya ... 79 2.6.1 Batasan Model Pembelajaran ... 79
2.6.2 Model Pembelajaran Menulis ... 81
2.6.3 Menulis Kreatif Sastra dengan Dramatisasi Cerpen ... 82
BAB 3 METODE PENELITIAN 88 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 88
3.2 Data dan Sumber Penelitian ... 88
3.2.3 Data Penelitian ... 88
3.2.4 Sumber Penelitian ... 89
3.3 Instrumen Penelitian ... 91
3.4 Teknik Analisis Data ... 99
3.5 Langkah-Langkah Penelitian ... 99
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 102 4.1 Kajian Semiotik Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A Martanegara ... 102
4.1.1 Analisis Sintaksis ... 102
4.1.1.1 Pengarang dan Karyanya ... 102
4.1.1.2 Analisis Bentuk Penulisan ... 104
4.1.1.4 Sinopsis Cerita Saduran BSM ... 113
4.1.1.5 Skema Aktan dan Model Fungsional ... 117
4.1.2 Analisis Semantik ... 149
4.1.2.1 Analisis Tokoh Berdasarkan Gambaran Fisik, Nama Diri, Karakter/Watak, dan Status Tokoh dalam Lingkungan Sosial ... 150
4.1.2.2 Analisis Latar Tempat/Ruang, Waktu, Suasana, dan Budaya ... 156
4.1.2.3 Tema Teks Cerita ... 165
4.1.3 Analisis Pragmatik ... 177
4.1.3.1 Fungsi Referensial ... 179
4.1.3.2 Fungsi Emotif ... 180
4.1.3.3 Fungsi Puitis ... 180
4.1.3.4 Fungsi Fatis ... 180
4.1.3.5 Fungsi Konatif ... 180
4.1.3.6 Fungsi Metalingual ... 180
4.2 Kajian Semiotik Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M. ... 182
4.2.1 Analisis Sintaksis ... 182
4.2.1.1 Pengarang dan Karyanya ... 182
4.2.1.2 Analisis Bentuk Penulisan ... 183
4.2.1.3 Deskripsi Fakta Cerita ... 185
4.2.1.4 Sinopsis Cerita ... 186
4.2.1.5 Skema Aktan dan Model Fungsional ... 188
4.2.2 Analisis Semantik ... 196
4.2.2.2 Analisis Latar Tempat/Ruang, Waktu, Suasana,
dan Budaya ... 203
4.2.2.3 Tema Teks Cerita ... 211
4.2.3 Analisis Pragmatik ... 219
4.2.3.1 Fungsi Referensial ... 221
4.2.3.2 Fungsi Emotif ... 222
4.2.3.3 Fungsi Puitis ... 222
4.2.3.4 Fungsi Fatis ... 222
4.2.3.5 Fungsi Konatif ... 222
4.2.3.6 Fungsi Metalingual ... 223
4.3 Analisis dan Pembahasan Pembandingan dalam Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A Martanegara dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M. ... 225
4.3.1 Pembandingan Semiotik ... 225
4.3.1.1 Perbandingan Aspek Sintaksis Analisis Struktur Greimas ... 225
4.3.1.2 Pembandingan Aspek Semantik ... 226
4.3.1.3 Pembandingan Aspek Pragmatik ... 227
4.3.2 Tanggapan Pembandingan Mitos ... 232
4.3.2.1 Mitos Tokoh ... 232
4.3.2.2 Mitos Benda ... 239
4.3.2.3 Mitos Sumpah dan Larangan ... 241
BAB 5 MODEL PEMBELAJARAN MENULIS ALIH WAHANA KELAS X PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA 244 5.1 Rancangan RPP Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana .... 244 5.2 Penerapan Model Pembelajaran Advance Organizer dalam
Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana
Organizer dalam Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana
kelas X Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya ... 263
BAB 6 PENUTUP 271 6.1 Simpulan ... 271
6.2 Saran ... 277
DAFTAR PUSTAKA 278 BIOGRAFI 283 LAMPIRAN 285 DAFTAR TABEL DAN BAGAN TABEL 2.1 Aturan dan Watak Pupuh ... 24
TABEL 2.2 Sastra Bandingan sebagai Kajian Sastra dalam Satu Negara yang Berbeda Bahasa ... 61
BAGAN 2.3Kerangka Kerja Analisis Semiotik dalam Pengkajian Sastra Bandingan ... 72
BAGAN 2.4 Skema Aktan ... 76
TABEL 3.1 Data dan Sumber Penelitian ... 90
BAGAN 3.2 Bentuk Instrumen Skema Aktan A.J. Greimas ... 92
TABEL 3.3 Bentuk Instrumen Skema Model Fungsional A.J. Greimas ... 93
TABEL 3.4 Pedoman Analisis Semantik ... 94
TABEL 3.5 Pedoman Analisis Pragmatik ... 95
TABEL 3.6 Pedoman Tanggapan Pembandingan Mitos ... 96
TABEL 3.7 Instrumen Wawancara Berstruktur ... 97
TABEL 4.1 Prosodi Wawacan Babad Sumedang ... 110
TABEL 4.2 Fakta Cerita Wawacan Babad Sumedang ... 111
TABEL 4.3 Deskripsi Data Berkaitan dengan Penokohan dan Perwatakan Tokoh PGU dalam Naskah Drama PGU ... 150 TABEL 4.4 Tabel Deskripsi Data Berkaitan dengan Latar/Setting ... 156
TABEL 4.5 Deskripsi Data Tema Berkaitan dengan Persoalan yang Menonjol ... 166 TABEL 4.6 Episode dalam Babad Sumedang ... 168
TABEL 4.7 Deskripsi Data Tokoh PGU dan Perwatakannya ... 174
TABEL 4.8 Data Setting yang Paling Menonjol ... 175
TABEL 4.9 Analisis Pragmatik Babad Sumedang ... 177
TABEL 4.10Fakta Cerita Drama Prabu Geusan Ulun ... 185
TABEL 4.11Deskripsi Data Berkaitan dengan Penokohan dan Perwatakan Tokoh PGU dalam Naskah Drama PGU ... 198 TABEL 4.12 Deskripsi Data Berkaitan dengan Latar/Setting ... 203
TABEL 4.13 Episode Drama Prabu Geusan Ulun 213
TABEL 4.14 Deskripsi Data Tokoh PGU dan Perwatakannya 216
TABEL 4.15 Data Setting yang Paling Menonjol 217
TABEL 4.16 Data Aspek Pragmatik tentang Fungsi bahasa dalam Naskah Drama “Prabu Geusan Ulun” Karya Saini K.M.
219
TABEL 4.17 Data Perbandingan Aspek Sintaksis Analisis Struktur Greimas 225 TABEL 4.18 Data Perbandingan Aspek Semantik Wawacan Babad
Sumedang dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun
226
TABEL 4.18 Data Perbandingan Aspek Pragmatik Wawacan Babad Sumedang dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun
227
TABEL 5.1 RPP Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana Kelas X Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya
TABEL 5.2 Perbandingan Penyusunan Model Pembelajaran 260 TABEL 5.3 Perbaikan Penyusunan Model Pembelajaran Advance Organizer
dalam RPP
264
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Terjemahan Isi Babad Sumedang ... 285
LAMPIRAN 2 Naskah Drama Pangeran Geusan Ulun ... 321
LAMPIRAN 3 Data Identitas Naskah Wawacan Babad Sumedang ... 344
LAMPIRAN 4 Hasil Wawancara dengan Saini K.M. ... 345
LAMPIRAN 5 Foto-Foto dan Biodata Narasumber ... 349
LAMPIRAN 6 Surat-Surat Penelitian ... 350
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sumedang memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan
data kesejarahannya, sebelum Indonesia merdeka, wilayah Sumedang pernah
mengalami zaman prasejarah, zaman sejarah Sumedang kuno, zaman Kerajaan
Sumedang Larang (1580 - 1620), zaman pengaruh Mataram (1620-1677), zaman
Kompeni (1677 - 1799), zaman Pemerintah Hindia Belanda (1808 - 1942), dan
zaman Pendudukan Jepang (1942 - 1945).
Tiap zaman pemerintahan penguasa-penguasa itu baik raja maupun bupati
meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik berupa artefak (fakta berupa
benda-benda) dan mentifak (fakta mental), maupun sosiefak (fakta sosial). Dari waktu ke
waktu, fakta-fakta itu mengakumulasi menjadi memori kolektif dan sekaligus
menjadi kebanggaan masyarakat daerah setempat. Salah satu raja yang mashyur
dikenal di Sumedang dan seantero Jawa Barat, yaitu Pangeran Geusan Ulun
(1580-1601), seorang raja di zaman Sumedang Larang.
Bukti-bukti sejarah membuktikan kebesaran Pangeran Geusan Ulun. Dalam
buku Rutjatan Sejarah Sumedang yang disusun oleh Dr. R. Asikin
Widjayakoesoema (1960), antara lain disebutkan bahwa “Pangeran Geusan Ulun
Burak Pajajaran” (Pangeran Geusan Ulun menjadi raja di Sumedang Larang
setelah Burak Pajajaran). Geusan Ulun itu sendiri berarti Geusan adalah tempat
dan ulun (kumawula) adalah bekerja/mengabdi. Yang dimaksud dengan Pangeran
Geusan Ulun adalah Pangeran Angkawijaya yang lahir pada tanggal 19 Juli 1558
Masehi dari kerajaan Sumedang Larang. Ketika peristiwa Burak Pajajaran, tahta
penerus Pajajaran diserahkan pada Pangeran Angkawijaya yang memiliki darah
turunan dari Pajajaran dari pihak ayah dan ibunya. Ia dinobatkan pada tanggal 18
November 1580 Masehi dengan gelar Geusan Ulun Sumedang Larang ketika ia
sudah mencapai usia 23 tahun. Ketika ayahnya meninggal, ia baru berusia 22
tahun sehingga belum saatnya dinobatkan menjadi raja karena dalam tradisi
kebiasaan kerajaan Pajajaran, penobatan dilakukan ketika tepat berusia 23 tahun
(Iskandar, 2013: 296).
Kemudian dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (1694: 69) disebutkan “Ghesan
Ulun nyrakrawartti mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing
bhumi Parahyangan. Ikang kdatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri
Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah
runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di
Kutamaya dalam daerah Sumedang). Selanjutnya diberitakan bahwa “Rakyat
samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun”
(Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). Kata
pemerintahan, raja merdeka dan lega kekuasaanya. Sumedang Larang yang
awalnya hanya kerajaan kecil berubah menjadi luas dan besar sejajar dengan
Cirebon dan Banten dengan legitimisasi sebagai penerus Pajajaran oleh empat
pembesar (Kandaga Lante) padanya. Daerah kekuasaan Geusan Ulun meluas
hingga batasnya dari Cipamali di Timur dan Cisadane di Barat sedangkan di
Utara dan Selatan berbatasan dengan laut.
Penobatan dan penyerahan kekuasaan dari pihak Pajajaran itu tentu saja
tidak disukai oleh Cirebon dan Banten yang sekian lama mencoba melakukan
penyerangan ke Pajajaran dan ingin mengislamkannya. Kerajaan Banten dalam
serangan ketiga kalinya hanya menemukan kerajaan dalam keadaan kosong
karena raja dan keluarganya telah melarikan diri dan pasukan Banten hanya
berhasil memboyong batu penobatan saja. Pada akhirnya, persembunyian raja
Pajajaran terakhir dan pengikutnya diketahui dan mereka tewas semua di tangan
pasukan Banten. Karena masih penasaran, Banten berbalik arah, yaitu berkali-kali
mengepung dan menyerang Sumedang Larang hingga zaman penjajahan VOC.
Pasca-Burak Pajajaran (1579 Masehi) disebutkan pula dalam Carita
Parahyangan (Atja, 1968), kekuasaan Pangeran Geusan Ulun mendapat dukungan
dari empat Kandaga Lante. Keempatnya diberitakan secara ringkas “Sira paniwi
dening Pangeran Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabalad, sinangguhan
Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan
lain-lainnya).
Empat kandaga lante, mereka empat bersaudara, merupakan bekas senapati
dan pembesar Pajajaran yaitu Jaya Perkosa (Sahyang Hawu) sebagai senapati,
Wiradijaya (Nangganan), Pancar Buana (Terong Peot), dan Kondang Hapa yang
diutus raja Pajajaran terakhir, Prabu Ragamulya Suryakancana, menyerahkan
amanat berupa simbol perangkat dan atribut kerajaan Pajajaran, yaitu mahkota
emas Binokasih, benten, siger, tampekan, kilat bahu, kalung susun dua dan tiga
(Kosmajadi, 1994). Bukti fisik atribut tersebut sekarang dapat dilihat di Musium
Pangeran Geusan Ulun Sumedang.
Pada masa pemerintahan Pangeran Geusan Ulun pun terjadi sebuah
peristiwa penting yang melekat dalam memori kolektif masyarakat. Peristiwa itu dikenal sebagai “Peristiwa Harisbaya” yang menyebabkan konflik antara
Sumedang Larang dengan Cirebon. Menurut Pustaka Kertabhumi I /2 (1694: 70),
kejadian penculikan Putri Harisbaya, isteri Pangeran Girilaya Cirebon itu terjadi
tahun 1585 Masehi. Pada akhirnya Pangeran Geusan Ulun menikah dengan Putri
Harisbaya dua tahun kemudian, yaitu tanggal 2 bagian terang bulan Waisaka
tahun 1509 Saka atau 10 April 1587 Masehi. Peristiwa-peristiwa itu melahirkan
cerita rakyat yang disampaikan secara lisan turun-menurun berupa legenda dan
mitos yang menimbulkan berbagai versi di tengah masyarakat, wawacan, bahkan
novel, dan drama. Selanjutnya menurut Wawacan Babad Sumedang
(Martanagara, 1978), muncullah perselisihan paham antara Pangeran Geusan Ulun
dengan Jaya Perkosa yang mengakibatkan kemarahan Jaya Perkosa mengenai
perpindahan ibukota Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan ingkar janji terhadap
amanat yang berkaitan dengan penanaman pohon hanjuang. Jaya Perkosa
membunuh Nangganan yang dianggap bertanggung jawab olehnya dan ia
mengundurkan diri dari jabatannya. Sebagai langkah kompromi agar tidak terjadi
peperangan lebih lanjut, surat talak Pangeran Girilaya kepada Harisbaya
digantikan Pangeran Geusan Ulun dengan wilayah Sindangkasih, Majalengka.
(Lihat lebih lanjut dalam Lampiran 1 mengenai isi Babad Sumedang dan
terjemahannya).
Kisah tentang Pangeran Geusan Ulun dan Putri Harisbaya itu beredar dalam
bentuk puisi klasik yaitu wawacan. Ketika itu, wawacan menggambarkan alam
kesadaran seluruh masyarakat Sunda. Pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman
Pajajaran dapat disimak dari dunia pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda
setelah memeluk agama Islam dan mengenal tradisi tulisan dapat disimak dari
wawacan semenjak abad ke-17. Wawacan merupakan jendela yang cukup lebar
untuk melihat kehidupan masa lalu. Gambaran kehidupan yang
terdokumentasikan dalam wawacan antara lain, kehidupan bernegara pada masa
lalu, suasana kerajaan, etika, kepercayaan, perang, politik, alat tukar, senjata,
Wawacan berasal dari dua komunitas yaitu lingkungan pesantren Sunda dan
lingkungan kaum menak. Wawacan yang berhuruf pegon dan berisi ajaran Islam
dan mitos-mitos islami diduga berasal dari di kalangan pesantren sedangkan
wawacan berhuruf cacarakan Jawa dan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam
berkembang di kalangan menak. Dua jenis wawacan inilah yang diwarisi oleh
masyarakat Sunda.
Wawacan Babad Sumedang memiliki versi pula, yaitu terdiri dua versi
cerita (Abdurachman, 1986: 42-43). Cerita versi A yang penulis temukan, yaitu
dari Musium Nasional Jakarta dengan No. kode: Plt. 29 berasal dari koleksi C.M.
Pleyte. Naskah dengan tulisan tangan tersebut berjudul Wawacan Babad
Sumedang (Abdur’rachman, 1907). Penulis menganggap cerita versi A merupakan
hipogram dari cerita versi B. Adapun untuk penelitian bandingan ini, penulis
menggunakan cerita versi B, yaitu wawacan Babad Sumedang yang ditulis R.A.A.
Martanagara. (Untuk lebih jelasnya, lihat Lampiran 3 mengenai identitas kedua
versi naskah Wawacan Babad Sumedang tersebut).
Wawacan-wawacan tersebut dibuat dalam bentuk cerita babad. Menurut
penulis, hal itu disebabkan dengan munculnya kasus “Peristiwa Harisbaya”
mengakibatkan posisi Pangeran Geusan Ulun cukup terganggu sehingga dengan
penulisan babad ini diharapkan dapat meredam suara hati bagi yang tidak
berkenan terhadap kedudukan tokoh yang bersangkutan. Disamping itu juga untuk
menumbuhkan rasa bangga dan kepercayaan terhadap tokoh Pangeran Geusan
Adanya unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme dan sugesti dalam
naskah babad, termasuk naskah wawacan Babad Sumedang, pada umumnya
diciptakan untuk memberikan kekuatan dan kemantapan pada status seorang
tokoh melalui pengakuan genealogi atau silsilah dari tokoh yang dikisahkan
sebagai keturunan dewa-dewa dan tokoh wayang, sejarah nabi-nabi, dan
sebagainya.
Frazer (Pradotokusumo, 1986:11) berpendapat bahwa pada hakikatnya
pikiran manusia itu tidak mau menerima begitu saja semua gejala yang
ditangkapnya dengan akal dan pancaindera. Karena dorongan secara naluriah
yang tak dapat dielakkan, pikiran itu mencari sesuatu yang dianggap lebih nyata
dan lebih kekal daripada kenyataan duniawi. Namun dalam usaha mencari sesuatu
yang lebih nyata dan lebih kekal tadi, ia cenderung membayangkan sesuatu
dengan perkiraanya sendiri dari semua kejadian sekelilingnya yang sering
dijumpainya atau didengarnya. Dengan demikian, orang terus-menerus mencari
yang tersirat di belakang sesuatu sehingga terjadilah mitos.
Sebuah mitos yang hidup dalam sebuah masyarakat berhubungan dengan
masa lampau, sekarang, dan masa depan. Mitos seperti kepercayaan lainnya
mungkin saja benar mungkin juga tidak. Mitos dapat berubah sesuai dengan
kepentingan dan kerangka acuan masyarakatnya atau individu dalam masyarakat
tempat mitos itu hidup.
Mitos dalam istilah sastra antara lain cerita, apakah benar atau tidak; mitos
pernah diakui kebenarannya oleh suatu kelompok kebudayaan tertentu. Jika tokoh
ceritanya manusia dan bukan makhluk gaib biasanya disebut legenda; apabila
berhubungan dengan makhluk gaib, tetapi bukan bagian dari mitologi yang
sistematis, biasanya digolongkan cerita rakyat (Pradotokusumo, 1986:13).
Ceritera tentang Prabu Geusan Ulun merupakan perpaduan dari keduanya dalam
bentuk wawacan.
Mitos tentang Prabu Geusan Ulun, amanat tentang pohon hanjuang,
kehebatan Jaya Perkosa, perselisihan paham antara Jaya Perkosa dengan Pangeran
Geusan Ulun hingga terjadi pembunuhan Nangganan, sumpah Jaya Perkosa, dan
larangan memakai batik tumbuh dalam memori kolektif masyarakat Sumedang
Larang berlangsung hingga kini. Isi cerita tersebut dalam beragam versi dan
bentuk genre sastra memiliki persamaan dan perbedaan-perbedaan. Adanya
persamaan dan perbedaan-perbedaan itu memunculkan studi untuk
membandingkan dan mencari sebab-sebab timbulnya persamaan dan perbedaan
tersebut. Upaya membandingkan dua karya atau lebih merupakan kegiatan studi
sastra bandingan (Endraswara, 2011: 2).
Dalam disertasinya yang berjudul “Model Pengkajian dan Pengajaran Sastra Indonesia berbasis Konsep Sastra Bandingan”, Sumiyadi (2010)
menyimpulkan bahwa konsep sastra bandingan memiliki landasan keilmuan baik
dari segi ontologis, espitemologis, dan aksiologis. Dari segi ontologis sastra
bandingan adalah studi sastra di luar batas negara dan studi keterkaitan antara
sastra bandingan merupakan perbandingan satu karya sastra dengan karya satra
lain dan perbandingan karya sastra dengan bentuk-bentuk ekspresi manusia
lainnya. Sastra bandingan pun merupakan satu pendekatan yang tidak
menghasilkan teori sehingga teori apapun dapat digunakan sebagai sarana
pengkajiannya.
Karena bahasa merupakan kristalisasi kebudayaan, syarat utama dalam
kajian sastra bandingan adalah penguasaan bahasa karya sastra yang
dibandingkan. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, kita dapat membandingkan
karya sastra terjemahan dengan catatan yang dibandingkan adalah tema atau fakta
cerita; bukan gaya bahasa sastranya. Kajian sastra bandingan pun tidak selalu
harus berbeda negara. Dalam satu negara pun kita dapat membandingkan karya
sastra daerah yang berbeda bahasa, bahkan seorang pengarang yang menulis
dalam dua bahasa berbeda, karya sastranya dapat dibandingkan
Dari segi epistemologis, cara kerja utama kajian sastra bandingan adalah
membandingkan-bandingkan karya sastra dengan karya sastra lain, karya sastra
dengan karya seni lain, atau karya sastra dengan bidang disiplin ilmu tertentu.
Oleh karena sastra bandingan merupakan pendekatan yang tidak menghasilkan
teori tertentu, maka teori sastra apapun dapat digunakan sebagai sarana pengkajian
sastra bandingan. Setiap teori akan menawarkan metode. Metode apapun dapat
kegiatan pembandingan yang dapat berfokus pada tema, mitos, genre, pengaruh,
analogi, atau aliran sastra.
Dari segi aksiologis, karya sastra merupakan produk budaya yang
menggunakan bahasa sebagi medianya. Sementara bahasa juga dianggap sebagai
kristalisasi kebudayaan umat manusia. Oleh sebab itu, kajian satra bandingan
sangat penting dan strategi untuk memahami kebudayaan manusia pada umumnya
dan sekaligus sebagai upaya pelestariannya.
Penelitian sastra bandingan berangkat dari asumsi bahwa karya sastra tidak
mungkin terlepas dari karya-karya yang telah ditulis sebelumnya. Menurut Culler
(Teeuw 1984 : 175; Pradotokusomo, 1991: 162), “A work can only be read in
connection with or against other texts...,” (Sebuah karya hanya dapat dipahami
dalam hubungan dengan teks-teks lain)”. Karya sastra tidak mungkin terlepas
dari karya-karya sastra yang pernah ditulis sebelumnya. Suatu teks pasti mendapat
ilham atau ide-ide dari teks lain yang sudah ada sebelum teks tersebut sehingga
pengembangan dari teks tersebut yang menyebabkan adanya kajian intertekstual.
Hal tersebut benar adanya karena tidak ada teks yang mandiri berdiri sendiri.
Setiap teks mengacu pada teks sebelumnya, bahkan teks tersebut menjadi rujukan
bagi teks yang lahir setelahnya.
Penelitian hubungan dan kaitan yang dimiliki beberapa teks tersebut
merupakan bagian dari kajian sastra bandingan. Dalam hal ini, perbandingan
intertekstual di Indonesia sangatlah penting karena karya-karya sastra di Indonesia
dalam Kakawin Gajah Mada (1986), Kakawin Gajah Mada dibangun oleh
mozaik-mozaik karya sastra terdahulu. Pudentia (1990) dalam “Transformasi Sastra: Analisis Lutung Kasarung”, telah melakukan kajian intertekstual pada
sebuah hipogram dan menemukan transformasi antarteks tersebut.
Cerita-cerita yang mengandung sastra sejarah telah menjadi teks hipogram
dari kebanyakan naskah Nusantara, termasuk Wawacan Babad Sumedang. Tidak
hanya ke dalam sastra tulis saja seperti puisi dan prosa, naskah Wawacan Babad
Sumedang pun sudah menjadi hipogram dari beberapa pertunjukan teater, puisi,
dan novel. Hal tersebut merupakan salah satu ciri perkembangan sastra modern.
Perkembangan sastra modern menunjukkan adanya proses saling mencuri atau
saling meminjam dari beberapa karya sastra lain, dalam hal ini mungkin yang
dipinjam adalah ide, amanat, nilai-nilai, atau alur cerita (Damono 2005 : 22).
Perkembangan sastra modern juga berdampingan dengan transformasi
bentuk atau alih wahana. Kristeva (Kalsum, 2008) mengemukakan hubungan
antarteks sebagai berikut: every text take shape as mosaic of citations, every text is
the absorption and transformation of other text, “setiap teks mengambil bentuk
seperti mosaik cuplikan-cuplikan, setiap teks merupakan serapan dan transformasi
dari teks-teks lain.”
Menurut Sapardi Djoko Damono (2005 : 96) transformasi atau alih wahana
adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke kesenian lain. Karya sastra tidak
hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga bisa dari satu
dimasukkan dalam kurikulum baik di bangku-bangku perguruan tinggi maupun
sekolah-sekolah menengah.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum terbaru saat ini dan merupakan
kelanjutan dari kuriulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini lahir dalam
rangka mempertinggi daya saing di era gobal, kemampuan memahami hakikat
perubahan, dan memanfaatkan peluang yang timbul, serta mengantisipasi
terkikisnya rasa nasionalisme dan erosi ideologi kebangsaan, serta penanaman
sistem nilai bangsa Indonesia diperlukan pengkajian kembali terhadap kurikulum
sebagai ruhnya nilai pendidikan terutama berkaitan dengan pendidikan karakter
yang hilang dari kehidupan bangsa ini. (Mulyasa, 2013 : 8). Revitalisasi dan
penekanan karakter dalam pengembangan kurikulum 2013 diharapkan dapat
menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga masyarakat dan
bangsa Indonesia bisa menjawab berbagai masalah dan tantangan yang semakin
rumit dan kompleks.
Pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 bertujuan untuk meningkatkan
mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan budi pekerti
dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan
standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Melalui implementasi
kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, dengan
pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pencapaian nilai-nilai karakter dan
akhlak mulia siswa dapat diperoleh melalui pembelajaran dalam apresiasi sastra.
Dalam kurikulum sebelumnya, KTSP, untuk kelas program bahasa,
sebenarnya telah diperkenalkan konsep perbandingan sastra, yaitu dalam
Kompetensi Dasar (KD) membandingkan karya sastra Indonesia dan karya sastra
terjemahan, baik puisi, prosa, dan drama untuk kelas XII semester 2 dan KD
menulis drama pendek berdasarkan ceritera pendek atau novel untuk kelas XI
semester 1. Terminologi dan teori mengenai bandingan dan alih wahana secara
eksplisit tidak disebutkan dalam KTSP, tetapi secara implisit telah ada dalam
kurikulum tersebut.
Dalam kurikulum 2013 untuk kelas X bagi Program Peminatan Ilmu
Bahasa dan Budaya, ada perkembangan yaitu KD membandingkan puisi lama
dan puisi baru dan prosa lama dan prosa baru telah diberikan di kelas X semester
1 sedangkan KD membandingkan drama dan teater serta KD mengalihwahanakan
cerpen ke dalam drama sederhana (dramatisasi) diberikan di kelas X semester 2.
Dramatisasi merupakan karya sastra yang telah mengalami perubahan
bentuk yaitu transformasi atau yang disebut dengan alih wahana. Cerita dibentuk
(disesuaikan) untuk pertunjukan sandiwara, pendramaan yang mengesankan.
Untuk mentransformasi sebuah karya sastra seseorang perlu untuk membaca dan
menulis.
Sejauh ini penelitian dan penerapan model pembelajaran mengenai alih
hasil penelitian Agus Hamdani dalam tesisnya yang berjudul “Penyusunan Model
pengajaran apresiasi drama: Studi kuasi eksperimen terhadap siswa kelas II SMU
Negeri Cililin (2010) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan
kurang maksimalnya hasil pembelajaran adalah kurang variatifnya model
pembelajaran yang diterapkan. Lebih lanjut hasil penelitian Neneng Sri Wulan dalam tesisnya yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan
Sumber Belajar Dalam Menulis Drama: Studi Aplikatif terhadap Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI” (2012) menyebutkan
model pembelajaran sumber belajar meningkatkan motivasi dan kemampuan
menulis drama. model pembelajaran berdasarkan sumber belajar memerlukan
persiapan yang matang dan penentuan sumber belajar agar menarik dan siswa
terlibat aktif dalam pembelajaran.
Sejauh ini pun pemanfaatan sumber belajar dari kearifan lokal yang ada dan
tumbuh dalam masyarakat jarang digunakan. Padahal kearifan lokal yang dimiliki
oleh berbagai kelompok masyarakat tersebut dapat digali kembali melalui karya
sastra puisi klasik seperti wawacan sebagai materi pembelajaran di sekolah.
Sebagai bentuk sastra tulisan, wawacan memuat pesan-pesan moral yang baik,
yang dapat menjadi perantara untuk memahami nilai-nilai kearifan lokal
kelompok masyarakat tertentu. Pembandingan karya sastra berbahasa daerah dan
sastra modern pun dapat menjadi alternatif model pembelajaran yang menarik.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan di atas,
Wawacan Babad Sumedang karya R.A.A Martanagara dengan Naskah Drama
Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M. sebagai Alternatif Pemodelan
Pembelajaran Alih Wahana di Kelas X Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya.”
1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Permasalahan-permasalahan yang penulis temukan yaitu banyaknya
berbagai versi cerita tentang Pangeran Geusan Ulun, baik tradisi lisan berupa
cerita rakyat di tengah masyarakat Sumedang maupun tradisi tulisan berupa
wawacan yang telah bertransformasi ke dalam bentuk puisi, novel, dan drama
modern. Wawacan merupakan karya sastra puisi klasik dalam bentuk pupuh yang
berkembang di Jawa Barat setelah pra-Islam dalam bentuk tulisan dan diterima
karena memiliki kriteria utile dan dulce, indah dan menghibur. Sebagai bentuk
puisi klasik, permasalahan yang dapat diidentifikasikan dalam wawacan yang
dibahas adalah sebagai berikut.
1) Bahasa Sunda, bahasa daerah yang digunakan menggunakan ejaan lama dan
ejaan baru Sunda serta belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
2) Isi mengandung aspek sejarah yang tidak diketahui masyarakat sekarang
karena kisah yang beredar berupa tradisi lisan cerita rakyat.
3) Tidak semua masyarakat mengetahui kandungan isi naskah wawacan
Keberadaan naskah Wawacan Babad Sumedang ditemukan baik di dalam
dan di luar negeri (lihat Ekadjati, 1988: 125-526). Naskah-naskah yang
menceritakan kisah tentang Geusan Ulun-Harisbaya tersebut di antaranya sebagai
berikut:
1) Negeri Belanda yaitu dengan judul:
(1) Wawacan Babad Geusan Ulun dengan kode No kode: Lor. 7898 (mal
1994) berasal dari koleksi Snouck Hurgronje (no.121) salinan ke-2 dari
Sumedang, Januari 1903 berhuruf Jawa.
(2) Wawacan Geusan Ulun dengan No. Kode: Lor. 7814 (mal.2032) berasal
dari koleksi Sn. Hurgronje ditulis berdasarkan naskah yang lebih tua,
titimangsa Darmaraja, 18 Juni 1902 berhuruf Arab Pegon.
2) Naskah di Perpustakaan Nasional Jakarta yang asalnya merupakan pindahan
dari Musium Jakarta yaitu dengan judul:
(3) Wawacan Babad Sumedang dengan No. kode: Plt. 29 berasal dari koleksi
C. M. Pleyte peti 121 berhuruf Latin.
(4) Wawacan Turunan Usul Asalna Sumedang dengan No. Kode: Plt. 38
berasal dari koleksi C.M. Pleyte peti 121.
3) Di Musium Pangeran Geusan Ulun yaitu dengan judul:
(5) Kitab Sajarah Sumedang dengan No. Kode : YPS 32 berasal dari Salinan
dari naskah yang ditulis oleh R. Natadinaja (lihat naskah di Leiden Lor.
6499) karangannya sendiri disusun oleh R.A Surialaga yang pernah
(6) Babad Sumedang yang dikarang R.A.A. Martanegara edisi
Raksakusumah dan Ekadjati (1978) berhuruf latin.
4) Di masyarakat sekitar Sumedang yaitu dengan judul
(7) Babad Sumedang berasal H. Muh. Jeni, cibitung, Padasuka, Sumedang
berhuruf Arab.
(8) Babad Sumedang berasal dari Cibangkong, Sumedang berhuruf Arab.
(9) Babad Sumedang berasal dari Min Rukmini, Conggeang, Sumedang.
Dari berbagai sumber naskah wawacan yang dapat digunakan, penulis
hanya menggunakan sumber naskah wawacan, yaitu Babad Sumedang yang
dikarang R.A.A. Martanagara edisi Raksakusumah dan Ekadjati (selanjutnya
disingkat BSM) di Musium Pangeran Geusan Ulun dalam penelitian ini.
Dalam buku berjudul Babad Sumedang Karya R.A.A. Martanagara, fakta
cerita puisi klasik wawacan tersebut memuat tidak hanya kisah PGU saja, tetapi
hingga bupati-bupati penerusnya semasa penulis masih hidup. Oleh sebab itu,
penulis membatasi pembahasan Babad Sumedang sebatas kisah tentang tokoh
Pangeran Geusan Ulun dan Putri Harisbaya saja.
Pada akhirnya harus ada kegiatan pembandingan yang dapat berfokus pada
tema, mitos, genre, pengaruh, analogi, atau aliran sastra dalam kajian sastra
bandingan. Untuk perbandingan kajian bandingan, penulis membatasi kajian
bandingan pada bidang mitos saja. Mitos yang ada dalam karya sastra tersebut
karya R.A.A. Martanegara dan mitos dalam naskah drama Prabu Geusan Ulun
karya Saini K.M.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang ditemukan dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah hubungan unsur dan antarunsur yang terdapat dalam wawacan
Babad Sumedang karya R.A.A. Martanagara?
2) Bagaimanakah hubungan unsur dan antarunsur yang terdapat dalam naskah
drama Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M.?
3) Bagaimanakah perbandingan unsur dan hubungan antarunsur antara
wawacan Babad Sumedang karya R.A.A. Martanagara dan naskah drama
Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M.?
4) Apakah terdapat perbedaan mitos antara wawacan Babad Sumedang karya
R.A.A. Martanagara dan naskah drama Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M?
5) Bagaimana penyiapan alternatif model pembelajaran dengan menggunakan
wawacan Babad Sumedang karya R.A.A. Martanagara dan naskah drama
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi berkaitan dengan:
1) hubungan unsur dan antarunsur yang terdapat dalam wawacan Babad
Sumedang karya R.A.A. Martanegara,
2) hubungan unsur dan antarunsur yang terdapat dalam naskah drama Prabu
Geusan Ulun karya Saini K.M.,
3) perbandingan unsur dan hubungan antarunsur antara wawacan Babad
Sumedang karya R.A.A. Martanegara dan naskah drama Prabu Geusan Ulun
karya Saini K.M.,
4) perbedaan mitos antara wawacan Babad Sumedang karya R.A.A.
Martanegara dan naskah drama Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M., dan
5) penyiapan alternatif model pembelajaran dengan menggunakan wawacan
Babad Sumedang karya R.A.A. Martanegara dan naskah drama Prabu
Geusan Ulun karya Saini K.M.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat-manfaat penelitian yang bisa diperoleh adalah sebagai berikut:
1) memperkenalkan budaya tulis sebuah daerah kepada masyarakat luas,
melestarikan dan mengembangkan budaya dan sastra daerah serta
2) menampilkan dan mengambil manfaat dari kearifan lokal yang mengakar
sejak lama dalam masyarakat Indonesia sebagai sumber pembelajaran dalam
kelas.
3) sumbangan bagi kesusastraan Indonesia khususnya dan kesusastraan dunia
umumnya baik dalam kajian sejarah sastranya maupun teori sastranya, dan
4) sumbangan bagi pengembangan model pembelajaran sastra dengan
memanfaatkan kearifan lokal pada kurikulum 2013 di kelas X program
Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya.
1.6 Definisi Operasional
Definisi operasional yang digunakan adalah sebagai berikut.
1) Kajian bandingan dalam penelitian ini adalah penelitian sastra yang
menggunakan pendekatan dan metode sastra bandingan.
2) Wawacan merupakan cerita yang ditulis dan dibacakan dalam bentuk puisi
pupuh. Babad adalah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan
Madura yang berisi peristiwa sejarah; cerita sejarah; riwayat; sejarah; tambo;
hikayat. Babad biasanya berbentuk puisi klasik yaitu wawacan. Wawacan
Babad Sumedang berisi kisah Pangeran Geusan Ulun dan Harisbaya.
3) Dalam arti luas, drama adalah semua bentuk tontonan yang mengandung
cerita yang dipertunjukkan di depan banyak orang, sedangkan dalam arti
diproyeksikan ke atas panggung, disajikan dalam bentuk dialog dan gerak
berdasarkan naskah; didukung tata panggung; tata lampu; tata musik; tata
rias; dan tata busana. Karya sastra selain drama yang dapat juga menjadi
bahan dasar pertujukan drama yaitu dramatisasi sehingga dikenal istilah
dramatisasi puisi atau dramatisasi cerpen. Selain itu, dramatisasi bisa
dilakukan pula dengan menggali sumber dari cerita rakyat yang merupakan
kearifan lokal di setiap daerah. Dramatisasi berupa cerita dalam alih wahana
tersebut dibentuk (disesuaikan) untuk pertunjukan sandiwara, pendramaan
yang mengesankan.
4) Alih wahana adalah kegiatan pengubahan dari satu jenis kesenian ke jenis
kesenian lain. Alih wahana mencakup kegiatan penerjemahan, penyaduran,
dan pemindahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Istilah lain
alih wahana adalah transformasi. Perubahan berupa musikalisasi, novelisasi,
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sastra bandingan.
Pendekatan ini tidak menghasilkan teori sendiri. Metode yang digunakan adalah
metode deskriptif analitis komparatif (Ratna, 2012: 53). Metode ini merupakan
gabungan dua metode yaitu metode analisis struktural semiotik dan metode
analisis bandingan. Analisis struktural semiotik menggunakan teori greimas yaitu
skema aktan dan model fungsional. Analisis bandingan dilakukan dengan
membandingkan dua buah karya sastra yaitu naskah drama PGU karya Saini
K.M. yang berbahasa Indonesia dan puisi klasik wawacan yang berbahasa Sunda.
Penelitian analisis komparatif dilakukan bersifat kualitatif dengan model yang
dianggap relevan dengan konsep sastra bandingan.
3.2 Data dan Sumber Penelitian
3.2.1 Data
Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi
alamiah, sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada
2012: 225). Penulis menggunakan teknik pengumpulan data yaitu triangulasi
berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Observasi yang dilakukan pada awalnya adalah observasi berupa tinjauan
pustaka yang mendukung ketertarikan penulis terhadap masalah yang ditemukan.
Penulis tidak menyiapkan secara sistematis apa yang akan diobservasi, tetapi
hanya berupa rambu-rambu pengamatan saja. Selanjutnya, penulis pun melakukan
observasi partisipatif baik secara pasif dan aktif ketika terjun di lapangan secara
langsung.
Wawancara dilakukan dengan menetapkan narasumber utama yang
merupakan key informan dalam penelitian ini. Narasumber lain dipilih secara
acak untuk mengetahui cerita rakyat tentang kisah PGU-Harisbaya dengan
mengambil tiga orang narasumber dengan profesi dan lokasi berbeda. Selain itu,
diberlakukan Snowball sampling yang diterapkan pada narasumber lainnya untuk
mendukung hasil penelitian.
Tahap selanjutnya adalah tahap pendokumentasian data. Dokumen artinya
barang-barang yang ditulis. Peneliti menyelidiki benda-benda tertulis berupa
naskah, buku sumber acuan, dan dokumentasi foto-foto. Kemudian
mendokumentasikan data dalam catatan observasi, daftar pertanyaan, dan daftar
riwayat hidup narasumber.
Dalam memperoleh informasi, penulis memperhatikan tiga macam sumber,
yaitu tulisan, tempat, kertas atau orang. berikut sumber penelitian yang digunakan
[image:38.595.123.513.246.714.2]peneliti.
Tabel 3.1
Data dan Sumber Penelitian
Data Sumber Penelitian
1. Cerita Rakyat tentang mitos PGU, JP, dan Harisbaya
Wawancara dengan 3 narasumber utama: R. Aom Ahmad, ketua Musium PGU dan keturunan PGU; Pak Dudu dari pihak kuncen makam Dayeuh Luhur, dan Pak Sumpena, petani, dari masyarakat biasa.
2. Naskah Wawacan Babad
Sumedang
Dua buah wawacan dengan judul Wawacan Babad Sumedang karya
Abdrur’rachman dari Musium Nasional Jakarta (versi A) dan Babad Sumedang karya R.A.A. Martanagara (versi B) dari Musium PGU Sumedang
3. Naskah Drama Prabu Geusan Ulun
Naskah drama karya Saini K.M. dari STSI Bandung
4. Wawancara utama seputar
proses pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun
Wawancara dengan Prof. Saini K.M. sebagai penulis naskah drama Prabu Geusan Ulun
5. Perbedaan wawacan dan beluk Wawancara dengan Gangan Gumilar, pembina Lises Adinira SMAN 1 Sumedang
6. Tradisi babad sebagai sumber sejarah
Wawancara dengan Nunung Julaeha, guru Sejarah SMAN 1 Sumedang 7. Pementasan drama PGU oleh
Hiji-Hiji Adinira Teater SMAN 1 Sumedang
Wawancara dengan Cece Rohidayat, penulis naskah drama PGU versi bahasa Sunda
8. Pembelajaran alih wahana di kelas X program peminatan
bahasa dan budaya
3.3 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen utama atau alat
penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human intererst
berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,
melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan
data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiono, 2012:222). Untuk
melaksanakan teknik penelitian digunakan empat instrumen penelitian semiotik
sebagai berikut.
1. Instrumen Kajian Sintaksis
Kajian sintaksis dilakukan yaitu dengan menggunakan instrumen struktural
A.J. Greimas dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Mengemukakan pengarang dan karyanya;
b) Menyusun ringkasan cerita;
c) Membuat skema-skema aktan;
d) Membuat model fungsional;
e) Menyusun aktan utama;
a. Bentuk instrumen sintaksis skema aktan A.J. Greimas
Bagan 3.2
Bentuk Instrumen Skema Aktan A.J. Greimas
PENGIRIM OBJEK PENERIMA
PENOLONG SUBJEK PENENTANG
Penjelasan Instrumen:
Pengirim (sender) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan
berfungsi sebagai pennggerak cerita. Dialah yang menimbulkan keinginan bagi
subjek atau pahlawan untuk mencapai objek.
Objek (object) adalah seseorang atau sesuatu yang diingini, dicari, dan diburu
Subjek (subject) atau pahlawan adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi
pengirim untuk mendapatkan objek.
Penolong (helper) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu atau
mempermudah usaha pahlawan dalam mencapai objek. Penentang (opponent)
adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha pahlawan dalam mencari
objek.
Penerima (receiver) adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objek hasil
buruan subjek.
[image:41.595.108.518.521.641.2]b. Bentuk Instrumen Skema Model Fungsional A.J. Greimas
Tabel 3.3
Bentuk Instrumen Skema Model Fungsional A.J. Greimas
SITUASI
AWAL
TRANSFORMASI
TAHAPAN
AKHIR TAHAP UJI
KECAKAPAN
TAHAP
UTAMA
TAHAP
KEBERHASILAN
Situasi awal: Dalam situasi awal, cerita diawali dengan munculnya
pernyataan adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Di sini ada panggilan,
perintah, atau persetujuan.
Transformasi: Dalam transformasi terdapat tiga tahap, yaitu tahap
kecakapan (adanya keberangkatan subjek, munculnya penentang dan penolong,
dan jika pahlawan tidak mampu mengatasi tantangan akan didiskualifikasi sebagai
pahlawan), tahap utama (adanya pergeseran ruang dan waktu, dalam arti pahlawan
telah mengatasi tantangan dan melalukan perjalanan kembali), dan tahap
kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan 87 pahlawan, eksisnya pahlawan
asli, terbongkarnya tabir pahlawan palsu, dan jasa bagi pahlawan sejati).
Situasi akhir: Dalam situasi akhir objek telah diperoleh dan diterima oleh
penerima, keseimbangan telah terjadi, berakhirnya suatu keinginan terhadap
sesuatu, dan berakhirnya suatu keinginan terhadap sesuatu, dan berakhirlah sudah
cerita itu.
2. Instrumen Kajian Semantik
Tabel 3.4
Pedoman Analisis Semantik
Aspek yang Dianalisis Indikator
nama diri, karakter/watak, dan status tokoh dalam
lingkungan sosial
2. Latar/setting a. Latar tempat/ruang
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam teks, biasanya dalam
suatu cerita terdapat lebih dari satu lokasi.
b. Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
keadaan yang diceritakan harus mengacu pada waktu
tertentu karena latar waktu akan selalu beruah-ubah.
c. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan. Latar sosial dapat berupa
bahasa atau dialek tertentu, nama tokoh ataupun status
sosial dan kedudukan orang yang bersangkutan.
3. Tema Menentukan tema teks berdasarkan fakta cerita (alur,
tokoh, dan latar) atau isotopi
Tabel 3.5
Pedoman Analisis Pragmatik
Aspek yang Dianalisis Indikator
Fungsi referensial Terkait dengan makna pesan yang
disampaikan dalam konteks tertentu.
Fungsi emotif Terkait erat dengan suasana batin
penutur terhadap pesan yang
disampaikan.
Fungsi puitis Bahasa merupakan estetika bahasa,
yang memungkinkan terciptanya pesan.
Fungsi fatis Bertujuan untuk mempertahankan
komunikasi antara penutur dengan
petutur.
Fungsi konatif Bertujuan untuk menimbulkan reaksi
kepada petutur (misalnya: menyuruh,
melarang, mengajak, dsb.)
Fungsi metalingual Bahasa yang digunakan sebagai
metabahasa untuk menjelaskan hal-hal
yang terkait dengan bahasa tersebut
kata)
[image:45.595.107.521.334.435.2]4. Instrumen Kajian Mitos
Tabel 3.6
Pedoman Tanggapan Pembandingan Mitos
NO. KARYA
SASTRA
PENGARANG TANGGAPAN TERHADAP MITOS
AFIRMASI RESTORASI ALUSI PARODI NEGASI
1. WBS Martanagara
2. DPGU Saini K.M.
5. Instrumen Wawancara
Pedoman wawancara: pedoman wawancara berstruktur dengan narasumber
utama, yaitu Prof. Saini K.M. dan wawancara tidak berstruktur dengan tiga
narasumber berkaitan mitos PGU, peristiwa Harisbaya, dan JP.
Tabel 3.7
Instrumen Wawancara Berstruktur
Daftar Pertanyaan
Naskah Drama Prabu Geusan Ulun? (Alasan dan tahun pembuatan)
2. Apakah pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun berhubungan dengan situasi sosial masyarakat kala itu?
3. Apakah pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun terinspirasi sumber tradisi lisan atau cerita-cerita orang tua Sumedang yang pernah didengar? 4. Apakah pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun terinspirasi sumber
tradisi tulisan yang hidup di masyarakat Sumedang seperti penembangan wawacan dalam mamaca atau beluk?
5. Apakah pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun berdasarkan buku-buku sejarah? (Bisa disebutkan sumbernya)
6. Dapatkah dikatakan bahwa kisah Geusan Ulun dan Harisbaya adalah tipikal percintaan seperti Romeo-Juliet ataukah Rama-Shinta?
7. Bisa dijelaskan mengapa tokoh Lengser hadir dalam naskah Prabu Geusan Ulun?
8. Bisa dijelaskan siapakah tokoh Kawung Anten, Layung Sari, Sancawiru, dan Gajahmalela?
9. Amanat apakah yang ingin disampaikan dari pementasan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun?
10.Bagaimana pandangan bapak mengenai karya sastra sejarah atau mengandung sejarah?
11. Bisakah bapak menjelaskan keterlibatan bapak dengan kegiatan Studi Teater Bandung?
12.Seingat Bapak pada tahun berapa dan berapa kalikah naskah ini dipentaskan?
6. Pedoman Penyusunan Model Pembelajaran
Tabel 3.8
Pedoman Penyusunan Model Pembelajaran
Aspek yang Dianalisis Indikator
b. Menghadirkan organizer
Mengidentifikasi gambaran
benda
Memberikan contoh
Memberikan hubungan konteks
Pengulangan
c. Mendorong kesadaran siswa
Menghubungkan pengetahuan
dengan pengalaman
2. presentasi materi a. menghadirkan materi
b. menjaga perhatian
c. membuat organisasi eksplisit
d. membuat hubungan logika
pengetahuan secara eksplisit
3. penguatan pengolahan kognitif a. menggunakan rekonsiliasi integrarif b. meningkatkan belajar resepsi aktif c. memperoleh pendekatan kritik pada
materi pokok d. mengklarifikasi.
3.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan meliputi:
a. Membaca seluruh data utama, yaitu membaca secara saksama, cermat, dan
kritis untuk memahami puisi klasik wawacan dan naskah drama; menemukan
data yang telah ditetapkan.
[image:47.595.108.520.109.517.2]c. Data dikelompokkan berdasarkan masalah penelitian, yaitu berdasarkan
analisis semiotik wawacan dan drama yaitu analisis sintaksis, semantik, dan
pragmatik.
d. Pengkajian mitos dalam puisi klasik wawacan dan drama.
e. Menyusun model pembelajaran berbasis konsep sastra bandingan.
3.5 Langkah-Langkah Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pembacaan terpadu
dan menyeluruh terhadap sumber data yaitu Wawacan Babad Sumedang Karya
R.A.A Martanegara dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M.
untuk mendapatkan hasil penelitian akurat, dilakukan model pembacaan ulang
untuk menemukan data yang sesuai dengan masalah penelitian dan tujuan
penelitian. Beberapa langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sebagai
berikut.
a. Memilih dan menentukan karya sastra yang diteliti yang mengandung
kearifan lokal. Dalam penelitian ini ditetapkan puisi klasik wawacan berjudul
Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A Martanegara dan Naskah Drama
Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M.
b. Membaca secara cermat dan saksama, berulang-ulang menelaah untuk
memahami isinya, dan menemukan unsur-unsur struktur puisi klasik
c. Mencatat data yang ditentukan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian
berupa kata, frasa, kalimat, ungkapan-ungkapan, pernyataan-pernyataan yang
berkaitan langsung dengan struktur puisi klasik wawacan dan drama.
d. Mengidentifikasi dan mengelompokkan data berdasarkan unsur struktur puisi
klasik wawacan dan drama.
e. Membuat tabulasi data berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi
berdasarkan unsur struktur puisi klasik wawacan dan drama.
f. Mendeskripsikan data berdasarkan unsur struktur puisi klasik wawacan dan
drama.
g. Menganalisis data berdasarkan unsur struktur puisi klasik wawacan dan
drama.
h. Membandingkan unsur struktur dan mitos wawacan Babad Sumedang Karya
R.A.A Martanegara dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini
K.M.
i. Menyimpulkan hasil analisis berdasarkan unsur struktur dan mitos wawacan
Babad Sumedang Karya R.A.A Martanegara dan Naskah Drama Prabu
Geusan Ulun Karya Saini K.M.
j. Menyusun laporan hasil penelitian.
k. Melaporkan hasil penelitian.
BAB 5
MODEL PEMBELAJARAN MENULIS ALIH WAHANA KELAS X
PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA
5.1 RPP Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana kelas X Peminatan Ilmu
Bahasa dan Budaya
[image:50.595.109.541.446.712.2]Penulis membuat RPP untuk kompetensi dasar menulis alih wahana kelas X peminatan ilmu bahasa dan budaya , yaitu sebagai berikut.
Tabel 5.1
RPP Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana kelas X
Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Pelajaran I/ Kegiatan 1
Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas ( SMA) Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester : X/2
Materi Pokok : alih wahana
Alokasi Waktu : 4 X 45 menit ( 1 x pertemuan )
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, displin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsive dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagi bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serrta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan teknologi, seni budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan
B. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR
1.2 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks drama
2.2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, dan proaktif dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk dalam menulis naskah drama.
3.4Membandingkan perbedaan drama dengan teater serta mengapresiasi-nya. 1. Mengidentifikasi karakteristik drama dan teater.
4. Menganalisis perbedaan drama dan teater
4.4Mengalihwahanakan (mengonversi) cerpen ke dalam naskah drama sederhana
1. Menginterpretasi istilah-istilah alih wahana
2. Menyampaikan tanggapan terhadap proses pengalihwahanaan cerpen.
3. Membuat naskah drama yang dibuat dari cerpen
4. Mengevaluasi naskah drama yang dibuat
C. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Melalui hasil pengamatan terhadap tayangan slide tentang alam sekitar, siswa dapat mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulisan dalam bentuk naskah drama 2. Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa dapat menunjukkan sikap tanggung
jawab dan disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk membuat naskah drama.
3. Melalui kegiatan membaca dan mencermati contoh naskah drama.
4. Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa dapat mengidentifikasi karakteristik drama dan teater.
5. Setelah kegiatan membaca, siswa menjawab pertanyaan sesuai dengan isi teks mengenai perkembangan drama dan teater Indonesia.
6. Setelah kegiatan membaca dan diskusi kelompok, siswa dapat menunjukkan jenis-jenis drama
7. Setelah kegiatan membaca dan diskusi kelompok, siswa dapat menganalisis perbedaan drama dan teater
8. Setelah kegiatan membaca dan diskusi kelompok menginterpretasi perkembangan drama.
10. Setelah kegiatan membaca dan diskusi kelompok, siswa dapat menginterpretasi pengalihwahanaan,
11. Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa dapat membuat naskah drama sederhana yang merupakan alih wahana dari bentuk cerpen.
1. MATERI PEMBELAJARAN
1. Penanaman sikap: memiliki tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia.
2. Mengidentifikasi karakteristik drama dan teater. 3. Membedakan jenis-jenis drama dan teater. 4. Menginterpretasi perkembangan drama dan teater.
5. Membandingkan genre drama yang merupakan alih wahana dari cerpen.
6. Menulis sebuah naskah drama yang merupakan pengalihwahanaan sebuah cerpen
D. METODE PEMBELAJARAN
1. Pendekatan : Saintifik
2. Metode : Diskusi kelompok, penugasan
E. MEDIA , ALAT, DAN SUMBER PEMBELAJARAN
1. Media Pembelajaran : naskah Cerpen “Merdeka” karya Putu Wijaya 2. Alat Pembelajaran : Laptop dan infokus
3. Sumber Pembelajaran : a. Lingkungan
F. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN
Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi Waktu
Pendahuluan 1. Salah seorang siswa memimpin doa. 2. Siswa menjawab salam dan pertanyaan
dari guru berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya.
3. Guru melakukan apersepsi, yaitu mengaitkan pembelajaran sebelumnya dengan materi pembelajaran alih wahana 4. Guru memberikan informasi kompetensi,
materi, tujuan, dan langkah
pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Inti 1. Siswa membaca dan mencermati contoh teks drama.
2. Guru Siswa bertanya jawab tentang hal-hal yang berhubungan dengan perbedaan drama dan teater termasuk penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada teks tersebut.
3. Siswa yang berani menjawab mendapat penghargaan dari guru.
4. Dengan sikap tanggung jawab dan disiplin, siswa menjawab pertanyaan teks drama yang telah dibacanya.
5. Siswa bersama guru mengoreksi
kesesuaian jawaban yang telah
disampaikan.
6. Siswa berkelompok untuk membedah struktur dalam cerpen “Merdeka” karya Putu Wijaya.
7. Perwakilan setiap kelompok secara
bergiliran menyampaikan hasil
diskusinya yang ditanggapi kelompok lain dengan santun dan responsif.
PENUTUP 1. Siswa diminta membuat tugas individu pengalihwahanaan cerpen ke Drama. Guru menutup pembelajaran dengan berdoa bersama.
menit
1. PENILAIAN JENIS/TEKNIK PENILAIAN
Jenis/Teknik Bentuk Instrumen
Observasi Lembar pengamatan sikap dan rubrik
Tes Tulis Tes uraian: membedakan karakterisitik, jenis, perkembangan drama, dan teater
Tes Praktik-Proyek Menulis alih wahana cerpen ke dalam bentuk dtama
2. CONTOH INSTRUMEN
1.1Lembar Pengamatan Sikap
No. Aspek yang Diamati BT
(1)
MT
(2)
MB
(3)
MK
(4)
1. Berdoa sebelum mengerjakan tugas.
2. Tidak menjiplak pada kegiatan mengonversi teks, membuat definisi, dan deskripsi. 3. Tepat waktu menyelesaikan tugas
4. Merespons hal-hal yang disampaikan dalam laporan hasil observasi
Keterangan:
BT : Belum Tampak
MT : Mulai Tampak
MB : Mulai Berubah
MK : Makin Konsisten
1.2Soal Penilaian Pengetahuan
No. Butir-butir Soal
1. Bacalah teks mengenai perkembangan drama di Indonesia. berikut kemudian ubahlah ke dalam bentuk diagram klasifikasi!
2. Jelaskan karakteristik atau ciri-ciri drama dan teater
3. Sebutkan jenis-jenis drama!
Kunci Jawaban Penilaian Pengetahuan
No.
Soa
l
1. Sinonim dari kata yang bercetak tebal dalam bacaan adalah sebagai berikut:
a. menyediakan = menyiapkan, mengadakan b. dibutuhkan = diperlukan
c. sandang = pakaian d. pangan = makanan e. papan = perumahan
f. tumbuhan = tanaman, pepohonan
g. mengolah = mengerjakan, mengusahakan h. kemampuan = kekuatan, daya
i. ditunjang = didukung, ditopang, dibantu j. alat = sarana
2. Antonim dari kata bercetak miring yang terdapat dalam bacaan
a. Terang >< gelap b. Rimbun >< meranggas c. Uzur >< muda, kuat
d. Bekerja keras >< berpangku tangan, malas e. Berbahagia >< berduka, bersedih, kecewa
3. Kalimat simpleks yang terdapat dalam bacaan
a. Di Gua Pawon terlihat lembah sempit di antara dua rangkaian perbukitan.
b. Suara gemericiknya terdengar setiap saat.
c. Di tempat itu suara domba terdengar bersahutan. d. Kerbau merumput di tegalan.
4. Penggunaan konjungsi dalam kalimat
a. Ia menanam anyelir beraneka warna serta memeliharanya dengan rajin. b. Ketika hujan mulai menyirami bumi, berbagai tanaman tumbuh dengan
subur.
c. Sungai kotor dapat menjadi penyebab bencana oleh karena itu kita harus membersihkannya bersama-sa