• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN BANDINGAN WAWACAN BABAD SUMEDANG KARYA R.A.A. MARTANAGARA DENGAN NASKAH DRAMA PRABU GEUSAN ULUN KARYA SAINI K.M. SEBAGAI ALTERNATIF PEMODELAN PEMBELAJARAN ALIH WAHANA DI KELAS X PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KAJIAN BANDINGAN WAWACAN BABAD SUMEDANG KARYA R.A.A. MARTANAGARA DENGAN NASKAH DRAMA PRABU GEUSAN ULUN KARYA SAINI K.M. SEBAGAI ALTERNATIF PEMODELAN PEMBELAJARAN ALIH WAHANA DI KELAS X PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister

Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

oleh

ANNA MEIRLINA SULIANTI NIM 1201554

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

(2)

PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA

Oleh

Anna Meirlina Sulianti

M.Pd. UPI Bandung, 2012

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

© Anna Meirlina Sulianti 2014

Universitas Pendidikan Indonesia

Agustus 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

KARYA R.A.A. MARTANAGARA DENGAN NASKAH DRAMA PRABU GEUSAN ULUN KARYA SAINI K.M. SEBAGAI ALTERNATIF

PEMODELAN PEMBELAJARAN ALIH WAHANA DI KELAS X PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA

Anna Meirlina Sulianti

1201554

Disetujui dan Disahkan oleh:

Pembimbing I,

Prof. Dr. Yus Rusyana

Pembimbing II,

Dr. Sumiyadi, M. Hum. NIP 1966032019910331004

Diketahui oleh:

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Sekolah Pascasarjana

(4)

Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A. Martanagara dengan Naskah Drama

Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M. sebagai Alternatif Pemodelan

Pembelajaran Alih Wahana di Kelas X Program Peminatan Ilmu Bahasa dan

Budaya” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya

tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai

dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan

ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila

kemudian ditemukan adanya pelanggaran dengan etika keilmuan dalam karya

saya ini, atau ada klaim dari pihak lain dengan keaslian karya saya ini.

Bandung, Agustus 2014

Yang membuat pernyataan,

Anna Meirlina Sulianti

(5)

ABSTRAK

KAJIAN BANDINGAN WAWACAN BABAD SUMEDANG KARYA R.A.A. MARTANAGARA DENGAN NASKAH DRAMA PRABU GEUSAN ULUN KARYA SAINI K.M. SEBAGAI ALTERNATIF

PEMODELAN PEMBELAJARAN ALIH WAHANA DI KELAS X PROGRAM PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA

Anna Meirlina Sulianti 1201554

(6)

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia dan karakter bangsa.

Kata kunci: kajian bandingan, wawacan, drama ABSTRAC

A Comparative study on the wawacan “Babad Sumedang” written by R.A.A. Martanagara and drama”Prabu Geusan Ulun”

written by Saini K.M. on an effort to provide as an alternative teaching models for literary appreciation at Senior High School

Anna Meirlina Sulianti

Indonesia Language Eduacation, School of Postgraduate, UPI Bandung

The studi was aimed at (1) finding out the relationship between elements and inter-elements in the Sundanese classical poetry Wawacan Babad Sumedang written by R.A.A. Martanagara; (2) finding out the relationship between elements and inter-elements in the Indonesian drama Prabu Geusan Ulun written by Saini K.M.; (3) finding out the comparison of elements and inter-elements relationship between Wawacan Babad Sumedang written by R.A.A. Martanagara and Drama Prabu Geusan Ulun written by Saini K.M.; (4) finding out the comparison of myths between Wawacan Babad Sumedang written by R.A.A. Martanagara and Drama Prabu Geusan Ulun written by Saini K.M.; (5) finding out a teaching Models for Literary Appeciation at Senior High School by using Wawacan Babad Sumedang and Drama Prabu Geusan Ulun. The study was a comparative analytical description, that is the core of inter-textual semiotic theory and comparative literature approach. The study used semiotic method and applied qualitative methodology principles. To gain the data, literary and documentation study on Wawacan Babad Sumedang and Drama Prabu Geusan Ulun were conducted. The steps of collecting data were reading both of the texts accurately, making note of relevant data, identifying and classifying the data, making data tabulation and comparing them. In analyzing the data, semiotic analysis was applied. In analyzing the structure, AJ Greimas theory was adobted. The result of the study showed that Wawacan Babad Sumedang and Drama Prabu Geusan Ulun had similarities and differences in their elements and myths. All elements formed a whole unity. The result of comparative study on both texts can be used as an alternative teaching model for literary appreciation, especially at senior high school. It is in line with the goal of the 2013 Curriculum, that is, to build, a

foundation for the growth of the learners’ potency in order to become people who

(7)
(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR iii

UCAPAN TERIMA KASIH iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL DAN BAGAN x

DAFTAR LAMPIRAN xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang ... 1

1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah ... 14

1.3 Rumusan Masalah ... 17

1.4 Tujuan Penelitian ... 17

1.5 Manfaat Penelitian ... 18

1.6 Definisi Operasional... 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 21 2.1 Perkembangan Tradisi Wawacan dalam Sastra Sunda ... 21

2.1.1 Batasan Wawacan ... 21

2.1.2 Prosodi dan Huruf Wawacan ... 23

2.1.3 Jenis-Jenis dan Fungsi Wawacan ... 27

2.2 Penelitian Isi Babad dalam Wawacan Babad Sumedang ... 32

2.2.1 Batasan Babad ... 32

2.2.2 Naskah Babad sebagai Karya Sastra Sejarah ... 34

2.2.3 Isi Babad Sumedang Versi Tradisi Lisan dan Tulisan 37 2.3 Drama Modern Indonesia ... 40

2.3.1 Batasan Drama ... 40

(9)

2.3.3 Unsur-Unsur Struktur Drama ... 46

2.4 Sastra Bandingan ... 58

2.4.1 Batasan Sastra Bandingan ... 58

2.4.2 Perkembangan Sastra Bandingan ... 59

2.4.3 Kajian Bidang Penelitian Sastra Bandingan ... 61

2.5 Kajian Semiotika ... 66

2.5.1 Kerangka Kerja Analisis Semiotik ... 71

2.5.2 Analisis Struktural A.J. Greimas ... 73

2.6 Model Pembelajaran Menulis Alih Wahana di Kelas X Program Program Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya ... 79 2.6.1 Batasan Model Pembelajaran ... 79

2.6.2 Model Pembelajaran Menulis ... 81

2.6.3 Menulis Kreatif Sastra dengan Dramatisasi Cerpen ... 82

BAB 3 METODE PENELITIAN 88 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 88

3.2 Data dan Sumber Penelitian ... 88

3.2.3 Data Penelitian ... 88

3.2.4 Sumber Penelitian ... 89

3.3 Instrumen Penelitian ... 91

3.4 Teknik Analisis Data ... 99

3.5 Langkah-Langkah Penelitian ... 99

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 102 4.1 Kajian Semiotik Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A Martanegara ... 102

4.1.1 Analisis Sintaksis ... 102

4.1.1.1 Pengarang dan Karyanya ... 102

4.1.1.2 Analisis Bentuk Penulisan ... 104

(10)

4.1.1.4 Sinopsis Cerita Saduran BSM ... 113

4.1.1.5 Skema Aktan dan Model Fungsional ... 117

4.1.2 Analisis Semantik ... 149

4.1.2.1 Analisis Tokoh Berdasarkan Gambaran Fisik, Nama Diri, Karakter/Watak, dan Status Tokoh dalam Lingkungan Sosial ... 150

4.1.2.2 Analisis Latar Tempat/Ruang, Waktu, Suasana, dan Budaya ... 156

4.1.2.3 Tema Teks Cerita ... 165

4.1.3 Analisis Pragmatik ... 177

4.1.3.1 Fungsi Referensial ... 179

4.1.3.2 Fungsi Emotif ... 180

4.1.3.3 Fungsi Puitis ... 180

4.1.3.4 Fungsi Fatis ... 180

4.1.3.5 Fungsi Konatif ... 180

4.1.3.6 Fungsi Metalingual ... 180

4.2 Kajian Semiotik Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M. ... 182

4.2.1 Analisis Sintaksis ... 182

4.2.1.1 Pengarang dan Karyanya ... 182

4.2.1.2 Analisis Bentuk Penulisan ... 183

4.2.1.3 Deskripsi Fakta Cerita ... 185

4.2.1.4 Sinopsis Cerita ... 186

4.2.1.5 Skema Aktan dan Model Fungsional ... 188

4.2.2 Analisis Semantik ... 196

(11)

4.2.2.2 Analisis Latar Tempat/Ruang, Waktu, Suasana,

dan Budaya ... 203

4.2.2.3 Tema Teks Cerita ... 211

4.2.3 Analisis Pragmatik ... 219

4.2.3.1 Fungsi Referensial ... 221

4.2.3.2 Fungsi Emotif ... 222

4.2.3.3 Fungsi Puitis ... 222

4.2.3.4 Fungsi Fatis ... 222

4.2.3.5 Fungsi Konatif ... 222

4.2.3.6 Fungsi Metalingual ... 223

4.3 Analisis dan Pembahasan Pembandingan dalam Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A Martanegara dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M. ... 225

4.3.1 Pembandingan Semiotik ... 225

4.3.1.1 Perbandingan Aspek Sintaksis Analisis Struktur Greimas ... 225

4.3.1.2 Pembandingan Aspek Semantik ... 226

4.3.1.3 Pembandingan Aspek Pragmatik ... 227

4.3.2 Tanggapan Pembandingan Mitos ... 232

4.3.2.1 Mitos Tokoh ... 232

4.3.2.2 Mitos Benda ... 239

4.3.2.3 Mitos Sumpah dan Larangan ... 241

BAB 5 MODEL PEMBELAJARAN MENULIS ALIH WAHANA KELAS X PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA 244 5.1 Rancangan RPP Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana .... 244 5.2 Penerapan Model Pembelajaran Advance Organizer dalam

Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana

(12)

Organizer dalam Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana

kelas X Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya ... 263

BAB 6 PENUTUP 271 6.1 Simpulan ... 271

6.2 Saran ... 277

DAFTAR PUSTAKA 278 BIOGRAFI 283 LAMPIRAN 285 DAFTAR TABEL DAN BAGAN TABEL 2.1 Aturan dan Watak Pupuh ... 24

TABEL 2.2 Sastra Bandingan sebagai Kajian Sastra dalam Satu Negara yang Berbeda Bahasa ... 61

BAGAN 2.3Kerangka Kerja Analisis Semiotik dalam Pengkajian Sastra Bandingan ... 72

BAGAN 2.4 Skema Aktan ... 76

TABEL 3.1 Data dan Sumber Penelitian ... 90

BAGAN 3.2 Bentuk Instrumen Skema Aktan A.J. Greimas ... 92

TABEL 3.3 Bentuk Instrumen Skema Model Fungsional A.J. Greimas ... 93

TABEL 3.4 Pedoman Analisis Semantik ... 94

TABEL 3.5 Pedoman Analisis Pragmatik ... 95

TABEL 3.6 Pedoman Tanggapan Pembandingan Mitos ... 96

TABEL 3.7 Instrumen Wawancara Berstruktur ... 97

(13)

TABEL 4.1 Prosodi Wawacan Babad Sumedang ... 110

TABEL 4.2 Fakta Cerita Wawacan Babad Sumedang ... 111

TABEL 4.3 Deskripsi Data Berkaitan dengan Penokohan dan Perwatakan Tokoh PGU dalam Naskah Drama PGU ... 150 TABEL 4.4 Tabel Deskripsi Data Berkaitan dengan Latar/Setting ... 156

TABEL 4.5 Deskripsi Data Tema Berkaitan dengan Persoalan yang Menonjol ... 166 TABEL 4.6 Episode dalam Babad Sumedang ... 168

TABEL 4.7 Deskripsi Data Tokoh PGU dan Perwatakannya ... 174

TABEL 4.8 Data Setting yang Paling Menonjol ... 175

TABEL 4.9 Analisis Pragmatik Babad Sumedang ... 177

TABEL 4.10Fakta Cerita Drama Prabu Geusan Ulun ... 185

TABEL 4.11Deskripsi Data Berkaitan dengan Penokohan dan Perwatakan Tokoh PGU dalam Naskah Drama PGU ... 198 TABEL 4.12 Deskripsi Data Berkaitan dengan Latar/Setting ... 203

TABEL 4.13 Episode Drama Prabu Geusan Ulun 213

TABEL 4.14 Deskripsi Data Tokoh PGU dan Perwatakannya 216

TABEL 4.15 Data Setting yang Paling Menonjol 217

TABEL 4.16 Data Aspek Pragmatik tentang Fungsi bahasa dalam Naskah Drama “Prabu Geusan Ulun” Karya Saini K.M.

219

TABEL 4.17 Data Perbandingan Aspek Sintaksis Analisis Struktur Greimas 225 TABEL 4.18 Data Perbandingan Aspek Semantik Wawacan Babad

Sumedang dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun

226

TABEL 4.18 Data Perbandingan Aspek Pragmatik Wawacan Babad Sumedang dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun

227

TABEL 5.1 RPP Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana Kelas X Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya

(14)

TABEL 5.2 Perbandingan Penyusunan Model Pembelajaran 260 TABEL 5.3 Perbaikan Penyusunan Model Pembelajaran Advance Organizer

dalam RPP

264

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 Terjemahan Isi Babad Sumedang ... 285

LAMPIRAN 2 Naskah Drama Pangeran Geusan Ulun ... 321

LAMPIRAN 3 Data Identitas Naskah Wawacan Babad Sumedang ... 344

LAMPIRAN 4 Hasil Wawancara dengan Saini K.M. ... 345

LAMPIRAN 5 Foto-Foto dan Biodata Narasumber ... 349

LAMPIRAN 6 Surat-Surat Penelitian ... 350

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sumedang memiliki perjalanan sejarah yang sangat panjang. Berdasarkan

data kesejarahannya, sebelum Indonesia merdeka, wilayah Sumedang pernah

mengalami zaman prasejarah, zaman sejarah Sumedang kuno, zaman Kerajaan

Sumedang Larang (1580 - 1620), zaman pengaruh Mataram (1620-1677), zaman

Kompeni (1677 - 1799), zaman Pemerintah Hindia Belanda (1808 - 1942), dan

zaman Pendudukan Jepang (1942 - 1945).

Tiap zaman pemerintahan penguasa-penguasa itu baik raja maupun bupati

meninggalkan jejak-jejak sejarahnya, baik berupa artefak (fakta berupa

benda-benda) dan mentifak (fakta mental), maupun sosiefak (fakta sosial). Dari waktu ke

waktu, fakta-fakta itu mengakumulasi menjadi memori kolektif dan sekaligus

menjadi kebanggaan masyarakat daerah setempat. Salah satu raja yang mashyur

dikenal di Sumedang dan seantero Jawa Barat, yaitu Pangeran Geusan Ulun

(1580-1601), seorang raja di zaman Sumedang Larang.

Bukti-bukti sejarah membuktikan kebesaran Pangeran Geusan Ulun. Dalam

buku Rutjatan Sejarah Sumedang yang disusun oleh Dr. R. Asikin

Widjayakoesoema (1960), antara lain disebutkan bahwa “Pangeran Geusan Ulun

(16)

Burak Pajajaran” (Pangeran Geusan Ulun menjadi raja di Sumedang Larang

setelah Burak Pajajaran). Geusan Ulun itu sendiri berarti Geusan adalah tempat

dan ulun (kumawula) adalah bekerja/mengabdi. Yang dimaksud dengan Pangeran

Geusan Ulun adalah Pangeran Angkawijaya yang lahir pada tanggal 19 Juli 1558

Masehi dari kerajaan Sumedang Larang. Ketika peristiwa Burak Pajajaran, tahta

penerus Pajajaran diserahkan pada Pangeran Angkawijaya yang memiliki darah

turunan dari Pajajaran dari pihak ayah dan ibunya. Ia dinobatkan pada tanggal 18

November 1580 Masehi dengan gelar Geusan Ulun Sumedang Larang ketika ia

sudah mencapai usia 23 tahun. Ketika ayahnya meninggal, ia baru berusia 22

tahun sehingga belum saatnya dinobatkan menjadi raja karena dalam tradisi

kebiasaan kerajaan Pajajaran, penobatan dilakukan ketika tepat berusia 23 tahun

(Iskandar, 2013: 296).

Kemudian dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (1694: 69) disebutkan “Ghesan

Ulun nyrakrawartti mandala ning Pajajaran kang wus pralaya, ya ta sirna, ing

bhumi Parahyangan. Ikang kdatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri

Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah

runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di

Kutamaya dalam daerah Sumedang). Selanjutnya diberitakan bahwa “Rakyat

samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun”

(Para penguasa lain di Parahyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). Kata

(17)

pemerintahan, raja merdeka dan lega kekuasaanya. Sumedang Larang yang

awalnya hanya kerajaan kecil berubah menjadi luas dan besar sejajar dengan

Cirebon dan Banten dengan legitimisasi sebagai penerus Pajajaran oleh empat

pembesar (Kandaga Lante) padanya. Daerah kekuasaan Geusan Ulun meluas

hingga batasnya dari Cipamali di Timur dan Cisadane di Barat sedangkan di

Utara dan Selatan berbatasan dengan laut.

Penobatan dan penyerahan kekuasaan dari pihak Pajajaran itu tentu saja

tidak disukai oleh Cirebon dan Banten yang sekian lama mencoba melakukan

penyerangan ke Pajajaran dan ingin mengislamkannya. Kerajaan Banten dalam

serangan ketiga kalinya hanya menemukan kerajaan dalam keadaan kosong

karena raja dan keluarganya telah melarikan diri dan pasukan Banten hanya

berhasil memboyong batu penobatan saja. Pada akhirnya, persembunyian raja

Pajajaran terakhir dan pengikutnya diketahui dan mereka tewas semua di tangan

pasukan Banten. Karena masih penasaran, Banten berbalik arah, yaitu berkali-kali

mengepung dan menyerang Sumedang Larang hingga zaman penjajahan VOC.

Pasca-Burak Pajajaran (1579 Masehi) disebutkan pula dalam Carita

Parahyangan (Atja, 1968), kekuasaan Pangeran Geusan Ulun mendapat dukungan

dari empat Kandaga Lante. Keempatnya diberitakan secara ringkas “Sira paniwi

dening Pangeran Ghesan Ulun. Rikung sira rumaksa wadyabalad, sinangguhan

(18)

Ulun. Di sana mereka membina bala tentara, ditugasi mengatur pemerintahan dan

lain-lainnya).

Empat kandaga lante, mereka empat bersaudara, merupakan bekas senapati

dan pembesar Pajajaran yaitu Jaya Perkosa (Sahyang Hawu) sebagai senapati,

Wiradijaya (Nangganan), Pancar Buana (Terong Peot), dan Kondang Hapa yang

diutus raja Pajajaran terakhir, Prabu Ragamulya Suryakancana, menyerahkan

amanat berupa simbol perangkat dan atribut kerajaan Pajajaran, yaitu mahkota

emas Binokasih, benten, siger, tampekan, kilat bahu, kalung susun dua dan tiga

(Kosmajadi, 1994). Bukti fisik atribut tersebut sekarang dapat dilihat di Musium

Pangeran Geusan Ulun Sumedang.

Pada masa pemerintahan Pangeran Geusan Ulun pun terjadi sebuah

peristiwa penting yang melekat dalam memori kolektif masyarakat. Peristiwa itu dikenal sebagai “Peristiwa Harisbaya” yang menyebabkan konflik antara

Sumedang Larang dengan Cirebon. Menurut Pustaka Kertabhumi I /2 (1694: 70),

kejadian penculikan Putri Harisbaya, isteri Pangeran Girilaya Cirebon itu terjadi

tahun 1585 Masehi. Pada akhirnya Pangeran Geusan Ulun menikah dengan Putri

Harisbaya dua tahun kemudian, yaitu tanggal 2 bagian terang bulan Waisaka

tahun 1509 Saka atau 10 April 1587 Masehi. Peristiwa-peristiwa itu melahirkan

cerita rakyat yang disampaikan secara lisan turun-menurun berupa legenda dan

mitos yang menimbulkan berbagai versi di tengah masyarakat, wawacan, bahkan

(19)

novel, dan drama. Selanjutnya menurut Wawacan Babad Sumedang

(Martanagara, 1978), muncullah perselisihan paham antara Pangeran Geusan Ulun

dengan Jaya Perkosa yang mengakibatkan kemarahan Jaya Perkosa mengenai

perpindahan ibukota Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan ingkar janji terhadap

amanat yang berkaitan dengan penanaman pohon hanjuang. Jaya Perkosa

membunuh Nangganan yang dianggap bertanggung jawab olehnya dan ia

mengundurkan diri dari jabatannya. Sebagai langkah kompromi agar tidak terjadi

peperangan lebih lanjut, surat talak Pangeran Girilaya kepada Harisbaya

digantikan Pangeran Geusan Ulun dengan wilayah Sindangkasih, Majalengka.

(Lihat lebih lanjut dalam Lampiran 1 mengenai isi Babad Sumedang dan

terjemahannya).

Kisah tentang Pangeran Geusan Ulun dan Putri Harisbaya itu beredar dalam

bentuk puisi klasik yaitu wawacan. Ketika itu, wawacan menggambarkan alam

kesadaran seluruh masyarakat Sunda. Pikiran kolektif masyarakat Sunda di zaman

Pajajaran dapat disimak dari dunia pantun, pikiran kolektif masyarakat Sunda

setelah memeluk agama Islam dan mengenal tradisi tulisan dapat disimak dari

wawacan semenjak abad ke-17. Wawacan merupakan jendela yang cukup lebar

untuk melihat kehidupan masa lalu. Gambaran kehidupan yang

terdokumentasikan dalam wawacan antara lain, kehidupan bernegara pada masa

lalu, suasana kerajaan, etika, kepercayaan, perang, politik, alat tukar, senjata,

(20)

Wawacan berasal dari dua komunitas yaitu lingkungan pesantren Sunda dan

lingkungan kaum menak. Wawacan yang berhuruf pegon dan berisi ajaran Islam

dan mitos-mitos islami diduga berasal dari di kalangan pesantren sedangkan

wawacan berhuruf cacarakan Jawa dan berisi mitos-mitos Sunda, Jawa, dan Islam

berkembang di kalangan menak. Dua jenis wawacan inilah yang diwarisi oleh

masyarakat Sunda.

Wawacan Babad Sumedang memiliki versi pula, yaitu terdiri dua versi

cerita (Abdurachman, 1986: 42-43). Cerita versi A yang penulis temukan, yaitu

dari Musium Nasional Jakarta dengan No. kode: Plt. 29 berasal dari koleksi C.M.

Pleyte. Naskah dengan tulisan tangan tersebut berjudul Wawacan Babad

Sumedang (Abdur’rachman, 1907). Penulis menganggap cerita versi A merupakan

hipogram dari cerita versi B. Adapun untuk penelitian bandingan ini, penulis

menggunakan cerita versi B, yaitu wawacan Babad Sumedang yang ditulis R.A.A.

Martanagara. (Untuk lebih jelasnya, lihat Lampiran 3 mengenai identitas kedua

versi naskah Wawacan Babad Sumedang tersebut).

Wawacan-wawacan tersebut dibuat dalam bentuk cerita babad. Menurut

penulis, hal itu disebabkan dengan munculnya kasus “Peristiwa Harisbaya”

mengakibatkan posisi Pangeran Geusan Ulun cukup terganggu sehingga dengan

penulisan babad ini diharapkan dapat meredam suara hati bagi yang tidak

berkenan terhadap kedudukan tokoh yang bersangkutan. Disamping itu juga untuk

menumbuhkan rasa bangga dan kepercayaan terhadap tokoh Pangeran Geusan

(21)

Adanya unsur mitos, legenda, hagiografi, simbolisme dan sugesti dalam

naskah babad, termasuk naskah wawacan Babad Sumedang, pada umumnya

diciptakan untuk memberikan kekuatan dan kemantapan pada status seorang

tokoh melalui pengakuan genealogi atau silsilah dari tokoh yang dikisahkan

sebagai keturunan dewa-dewa dan tokoh wayang, sejarah nabi-nabi, dan

sebagainya.

Frazer (Pradotokusumo, 1986:11) berpendapat bahwa pada hakikatnya

pikiran manusia itu tidak mau menerima begitu saja semua gejala yang

ditangkapnya dengan akal dan pancaindera. Karena dorongan secara naluriah

yang tak dapat dielakkan, pikiran itu mencari sesuatu yang dianggap lebih nyata

dan lebih kekal daripada kenyataan duniawi. Namun dalam usaha mencari sesuatu

yang lebih nyata dan lebih kekal tadi, ia cenderung membayangkan sesuatu

dengan perkiraanya sendiri dari semua kejadian sekelilingnya yang sering

dijumpainya atau didengarnya. Dengan demikian, orang terus-menerus mencari

yang tersirat di belakang sesuatu sehingga terjadilah mitos.

Sebuah mitos yang hidup dalam sebuah masyarakat berhubungan dengan

masa lampau, sekarang, dan masa depan. Mitos seperti kepercayaan lainnya

mungkin saja benar mungkin juga tidak. Mitos dapat berubah sesuai dengan

kepentingan dan kerangka acuan masyarakatnya atau individu dalam masyarakat

tempat mitos itu hidup.

Mitos dalam istilah sastra antara lain cerita, apakah benar atau tidak; mitos

(22)

pernah diakui kebenarannya oleh suatu kelompok kebudayaan tertentu. Jika tokoh

ceritanya manusia dan bukan makhluk gaib biasanya disebut legenda; apabila

berhubungan dengan makhluk gaib, tetapi bukan bagian dari mitologi yang

sistematis, biasanya digolongkan cerita rakyat (Pradotokusumo, 1986:13).

Ceritera tentang Prabu Geusan Ulun merupakan perpaduan dari keduanya dalam

bentuk wawacan.

Mitos tentang Prabu Geusan Ulun, amanat tentang pohon hanjuang,

kehebatan Jaya Perkosa, perselisihan paham antara Jaya Perkosa dengan Pangeran

Geusan Ulun hingga terjadi pembunuhan Nangganan, sumpah Jaya Perkosa, dan

larangan memakai batik tumbuh dalam memori kolektif masyarakat Sumedang

Larang berlangsung hingga kini. Isi cerita tersebut dalam beragam versi dan

bentuk genre sastra memiliki persamaan dan perbedaan-perbedaan. Adanya

persamaan dan perbedaan-perbedaan itu memunculkan studi untuk

membandingkan dan mencari sebab-sebab timbulnya persamaan dan perbedaan

tersebut. Upaya membandingkan dua karya atau lebih merupakan kegiatan studi

sastra bandingan (Endraswara, 2011: 2).

Dalam disertasinya yang berjudul “Model Pengkajian dan Pengajaran Sastra Indonesia berbasis Konsep Sastra Bandingan”, Sumiyadi (2010)

menyimpulkan bahwa konsep sastra bandingan memiliki landasan keilmuan baik

dari segi ontologis, espitemologis, dan aksiologis. Dari segi ontologis sastra

bandingan adalah studi sastra di luar batas negara dan studi keterkaitan antara

(23)

sastra bandingan merupakan perbandingan satu karya sastra dengan karya satra

lain dan perbandingan karya sastra dengan bentuk-bentuk ekspresi manusia

lainnya. Sastra bandingan pun merupakan satu pendekatan yang tidak

menghasilkan teori sehingga teori apapun dapat digunakan sebagai sarana

pengkajiannya.

Karena bahasa merupakan kristalisasi kebudayaan, syarat utama dalam

kajian sastra bandingan adalah penguasaan bahasa karya sastra yang

dibandingkan. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu, kita dapat membandingkan

karya sastra terjemahan dengan catatan yang dibandingkan adalah tema atau fakta

cerita; bukan gaya bahasa sastranya. Kajian sastra bandingan pun tidak selalu

harus berbeda negara. Dalam satu negara pun kita dapat membandingkan karya

sastra daerah yang berbeda bahasa, bahkan seorang pengarang yang menulis

dalam dua bahasa berbeda, karya sastranya dapat dibandingkan

Dari segi epistemologis, cara kerja utama kajian sastra bandingan adalah

membandingkan-bandingkan karya sastra dengan karya sastra lain, karya sastra

dengan karya seni lain, atau karya sastra dengan bidang disiplin ilmu tertentu.

Oleh karena sastra bandingan merupakan pendekatan yang tidak menghasilkan

teori tertentu, maka teori sastra apapun dapat digunakan sebagai sarana pengkajian

sastra bandingan. Setiap teori akan menawarkan metode. Metode apapun dapat

(24)

kegiatan pembandingan yang dapat berfokus pada tema, mitos, genre, pengaruh,

analogi, atau aliran sastra.

Dari segi aksiologis, karya sastra merupakan produk budaya yang

menggunakan bahasa sebagi medianya. Sementara bahasa juga dianggap sebagai

kristalisasi kebudayaan umat manusia. Oleh sebab itu, kajian satra bandingan

sangat penting dan strategi untuk memahami kebudayaan manusia pada umumnya

dan sekaligus sebagai upaya pelestariannya.

Penelitian sastra bandingan berangkat dari asumsi bahwa karya sastra tidak

mungkin terlepas dari karya-karya yang telah ditulis sebelumnya. Menurut Culler

(Teeuw 1984 : 175; Pradotokusomo, 1991: 162), “A work can only be read in

connection with or against other texts...,” (Sebuah karya hanya dapat dipahami

dalam hubungan dengan teks-teks lain)”. Karya sastra tidak mungkin terlepas

dari karya-karya sastra yang pernah ditulis sebelumnya. Suatu teks pasti mendapat

ilham atau ide-ide dari teks lain yang sudah ada sebelum teks tersebut sehingga

pengembangan dari teks tersebut yang menyebabkan adanya kajian intertekstual.

Hal tersebut benar adanya karena tidak ada teks yang mandiri berdiri sendiri.

Setiap teks mengacu pada teks sebelumnya, bahkan teks tersebut menjadi rujukan

bagi teks yang lahir setelahnya.

Penelitian hubungan dan kaitan yang dimiliki beberapa teks tersebut

merupakan bagian dari kajian sastra bandingan. Dalam hal ini, perbandingan

intertekstual di Indonesia sangatlah penting karena karya-karya sastra di Indonesia

(25)

dalam Kakawin Gajah Mada (1986), Kakawin Gajah Mada dibangun oleh

mozaik-mozaik karya sastra terdahulu. Pudentia (1990) dalam “Transformasi Sastra: Analisis Lutung Kasarung”, telah melakukan kajian intertekstual pada

sebuah hipogram dan menemukan transformasi antarteks tersebut.

Cerita-cerita yang mengandung sastra sejarah telah menjadi teks hipogram

dari kebanyakan naskah Nusantara, termasuk Wawacan Babad Sumedang. Tidak

hanya ke dalam sastra tulis saja seperti puisi dan prosa, naskah Wawacan Babad

Sumedang pun sudah menjadi hipogram dari beberapa pertunjukan teater, puisi,

dan novel. Hal tersebut merupakan salah satu ciri perkembangan sastra modern.

Perkembangan sastra modern menunjukkan adanya proses saling mencuri atau

saling meminjam dari beberapa karya sastra lain, dalam hal ini mungkin yang

dipinjam adalah ide, amanat, nilai-nilai, atau alur cerita (Damono 2005 : 22).

Perkembangan sastra modern juga berdampingan dengan transformasi

bentuk atau alih wahana. Kristeva (Kalsum, 2008) mengemukakan hubungan

antarteks sebagai berikut: every text take shape as mosaic of citations, every text is

the absorption and transformation of other text, “setiap teks mengambil bentuk

seperti mosaik cuplikan-cuplikan, setiap teks merupakan serapan dan transformasi

dari teks-teks lain.”

Menurut Sapardi Djoko Damono (2005 : 96) transformasi atau alih wahana

adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke kesenian lain. Karya sastra tidak

hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga bisa dari satu

(26)

dimasukkan dalam kurikulum baik di bangku-bangku perguruan tinggi maupun

sekolah-sekolah menengah.

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum terbaru saat ini dan merupakan

kelanjutan dari kuriulum-kurikulum sebelumnya. Kurikulum ini lahir dalam

rangka mempertinggi daya saing di era gobal, kemampuan memahami hakikat

perubahan, dan memanfaatkan peluang yang timbul, serta mengantisipasi

terkikisnya rasa nasionalisme dan erosi ideologi kebangsaan, serta penanaman

sistem nilai bangsa Indonesia diperlukan pengkajian kembali terhadap kurikulum

sebagai ruhnya nilai pendidikan terutama berkaitan dengan pendidikan karakter

yang hilang dari kehidupan bangsa ini. (Mulyasa, 2013 : 8). Revitalisasi dan

penekanan karakter dalam pengembangan kurikulum 2013 diharapkan dapat

menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga masyarakat dan

bangsa Indonesia bisa menjawab berbagai masalah dan tantangan yang semakin

rumit dan kompleks.

Pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 bertujuan untuk meningkatkan

mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan budi pekerti

dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan

standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Melalui implementasi

kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi sekaligus berbasis karakter, dengan

pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik mampu secara

mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan

(27)

sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pencapaian nilai-nilai karakter dan

akhlak mulia siswa dapat diperoleh melalui pembelajaran dalam apresiasi sastra.

Dalam kurikulum sebelumnya, KTSP, untuk kelas program bahasa,

sebenarnya telah diperkenalkan konsep perbandingan sastra, yaitu dalam

Kompetensi Dasar (KD) membandingkan karya sastra Indonesia dan karya sastra

terjemahan, baik puisi, prosa, dan drama untuk kelas XII semester 2 dan KD

menulis drama pendek berdasarkan ceritera pendek atau novel untuk kelas XI

semester 1. Terminologi dan teori mengenai bandingan dan alih wahana secara

eksplisit tidak disebutkan dalam KTSP, tetapi secara implisit telah ada dalam

kurikulum tersebut.

Dalam kurikulum 2013 untuk kelas X bagi Program Peminatan Ilmu

Bahasa dan Budaya, ada perkembangan yaitu KD membandingkan puisi lama

dan puisi baru dan prosa lama dan prosa baru telah diberikan di kelas X semester

1 sedangkan KD membandingkan drama dan teater serta KD mengalihwahanakan

cerpen ke dalam drama sederhana (dramatisasi) diberikan di kelas X semester 2.

Dramatisasi merupakan karya sastra yang telah mengalami perubahan

bentuk yaitu transformasi atau yang disebut dengan alih wahana. Cerita dibentuk

(disesuaikan) untuk pertunjukan sandiwara, pendramaan yang mengesankan.

Untuk mentransformasi sebuah karya sastra seseorang perlu untuk membaca dan

menulis.

Sejauh ini penelitian dan penerapan model pembelajaran mengenai alih

(28)

hasil penelitian Agus Hamdani dalam tesisnya yang berjudul “Penyusunan Model

pengajaran apresiasi drama: Studi kuasi eksperimen terhadap siswa kelas II SMU

Negeri Cililin (2010) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan

kurang maksimalnya hasil pembelajaran adalah kurang variatifnya model

pembelajaran yang diterapkan. Lebih lanjut hasil penelitian Neneng Sri Wulan dalam tesisnya yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan

Sumber Belajar Dalam Menulis Drama: Studi Aplikatif terhadap Mahasiswa

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI” (2012) menyebutkan

model pembelajaran sumber belajar meningkatkan motivasi dan kemampuan

menulis drama. model pembelajaran berdasarkan sumber belajar memerlukan

persiapan yang matang dan penentuan sumber belajar agar menarik dan siswa

terlibat aktif dalam pembelajaran.

Sejauh ini pun pemanfaatan sumber belajar dari kearifan lokal yang ada dan

tumbuh dalam masyarakat jarang digunakan. Padahal kearifan lokal yang dimiliki

oleh berbagai kelompok masyarakat tersebut dapat digali kembali melalui karya

sastra puisi klasik seperti wawacan sebagai materi pembelajaran di sekolah.

Sebagai bentuk sastra tulisan, wawacan memuat pesan-pesan moral yang baik,

yang dapat menjadi perantara untuk memahami nilai-nilai kearifan lokal

kelompok masyarakat tertentu. Pembandingan karya sastra berbahasa daerah dan

sastra modern pun dapat menjadi alternatif model pembelajaran yang menarik.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan di atas,

(29)

Wawacan Babad Sumedang karya R.A.A Martanagara dengan Naskah Drama

Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M. sebagai Alternatif Pemodelan

Pembelajaran Alih Wahana di Kelas X Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya.”

1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Permasalahan-permasalahan yang penulis temukan yaitu banyaknya

berbagai versi cerita tentang Pangeran Geusan Ulun, baik tradisi lisan berupa

cerita rakyat di tengah masyarakat Sumedang maupun tradisi tulisan berupa

wawacan yang telah bertransformasi ke dalam bentuk puisi, novel, dan drama

modern. Wawacan merupakan karya sastra puisi klasik dalam bentuk pupuh yang

berkembang di Jawa Barat setelah pra-Islam dalam bentuk tulisan dan diterima

karena memiliki kriteria utile dan dulce, indah dan menghibur. Sebagai bentuk

puisi klasik, permasalahan yang dapat diidentifikasikan dalam wawacan yang

dibahas adalah sebagai berikut.

1) Bahasa Sunda, bahasa daerah yang digunakan menggunakan ejaan lama dan

ejaan baru Sunda serta belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia.

2) Isi mengandung aspek sejarah yang tidak diketahui masyarakat sekarang

karena kisah yang beredar berupa tradisi lisan cerita rakyat.

3) Tidak semua masyarakat mengetahui kandungan isi naskah wawacan

(30)

Keberadaan naskah Wawacan Babad Sumedang ditemukan baik di dalam

dan di luar negeri (lihat Ekadjati, 1988: 125-526). Naskah-naskah yang

menceritakan kisah tentang Geusan Ulun-Harisbaya tersebut di antaranya sebagai

berikut:

1) Negeri Belanda yaitu dengan judul:

(1) Wawacan Babad Geusan Ulun dengan kode No kode: Lor. 7898 (mal

1994) berasal dari koleksi Snouck Hurgronje (no.121) salinan ke-2 dari

Sumedang, Januari 1903 berhuruf Jawa.

(2) Wawacan Geusan Ulun dengan No. Kode: Lor. 7814 (mal.2032) berasal

dari koleksi Sn. Hurgronje ditulis berdasarkan naskah yang lebih tua,

titimangsa Darmaraja, 18 Juni 1902 berhuruf Arab Pegon.

2) Naskah di Perpustakaan Nasional Jakarta yang asalnya merupakan pindahan

dari Musium Jakarta yaitu dengan judul:

(3) Wawacan Babad Sumedang dengan No. kode: Plt. 29 berasal dari koleksi

C. M. Pleyte peti 121 berhuruf Latin.

(4) Wawacan Turunan Usul Asalna Sumedang dengan No. Kode: Plt. 38

berasal dari koleksi C.M. Pleyte peti 121.

3) Di Musium Pangeran Geusan Ulun yaitu dengan judul:

(5) Kitab Sajarah Sumedang dengan No. Kode : YPS 32 berasal dari Salinan

dari naskah yang ditulis oleh R. Natadinaja (lihat naskah di Leiden Lor.

6499) karangannya sendiri disusun oleh R.A Surialaga yang pernah

(31)

(6) Babad Sumedang yang dikarang R.A.A. Martanegara edisi

Raksakusumah dan Ekadjati (1978) berhuruf latin.

4) Di masyarakat sekitar Sumedang yaitu dengan judul

(7) Babad Sumedang berasal H. Muh. Jeni, cibitung, Padasuka, Sumedang

berhuruf Arab.

(8) Babad Sumedang berasal dari Cibangkong, Sumedang berhuruf Arab.

(9) Babad Sumedang berasal dari Min Rukmini, Conggeang, Sumedang.

Dari berbagai sumber naskah wawacan yang dapat digunakan, penulis

hanya menggunakan sumber naskah wawacan, yaitu Babad Sumedang yang

dikarang R.A.A. Martanagara edisi Raksakusumah dan Ekadjati (selanjutnya

disingkat BSM) di Musium Pangeran Geusan Ulun dalam penelitian ini.

Dalam buku berjudul Babad Sumedang Karya R.A.A. Martanagara, fakta

cerita puisi klasik wawacan tersebut memuat tidak hanya kisah PGU saja, tetapi

hingga bupati-bupati penerusnya semasa penulis masih hidup. Oleh sebab itu,

penulis membatasi pembahasan Babad Sumedang sebatas kisah tentang tokoh

Pangeran Geusan Ulun dan Putri Harisbaya saja.

Pada akhirnya harus ada kegiatan pembandingan yang dapat berfokus pada

tema, mitos, genre, pengaruh, analogi, atau aliran sastra dalam kajian sastra

bandingan. Untuk perbandingan kajian bandingan, penulis membatasi kajian

bandingan pada bidang mitos saja. Mitos yang ada dalam karya sastra tersebut

(32)

karya R.A.A. Martanegara dan mitos dalam naskah drama Prabu Geusan Ulun

karya Saini K.M.

1.3 Rumusan Masalah

Adapun masalah-masalah yang ditemukan dirumuskan dalam bentuk

pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.

1) Bagaimanakah hubungan unsur dan antarunsur yang terdapat dalam wawacan

Babad Sumedang karya R.A.A. Martanagara?

2) Bagaimanakah hubungan unsur dan antarunsur yang terdapat dalam naskah

drama Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M.?

3) Bagaimanakah perbandingan unsur dan hubungan antarunsur antara

wawacan Babad Sumedang karya R.A.A. Martanagara dan naskah drama

Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M.?

4) Apakah terdapat perbedaan mitos antara wawacan Babad Sumedang karya

R.A.A. Martanagara dan naskah drama Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M?

5) Bagaimana penyiapan alternatif model pembelajaran dengan menggunakan

wawacan Babad Sumedang karya R.A.A. Martanagara dan naskah drama

(33)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi berkaitan dengan:

1) hubungan unsur dan antarunsur yang terdapat dalam wawacan Babad

Sumedang karya R.A.A. Martanegara,

2) hubungan unsur dan antarunsur yang terdapat dalam naskah drama Prabu

Geusan Ulun karya Saini K.M.,

3) perbandingan unsur dan hubungan antarunsur antara wawacan Babad

Sumedang karya R.A.A. Martanegara dan naskah drama Prabu Geusan Ulun

karya Saini K.M.,

4) perbedaan mitos antara wawacan Babad Sumedang karya R.A.A.

Martanegara dan naskah drama Prabu Geusan Ulun karya Saini K.M., dan

5) penyiapan alternatif model pembelajaran dengan menggunakan wawacan

Babad Sumedang karya R.A.A. Martanegara dan naskah drama Prabu

Geusan Ulun karya Saini K.M.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat-manfaat penelitian yang bisa diperoleh adalah sebagai berikut:

1) memperkenalkan budaya tulis sebuah daerah kepada masyarakat luas,

melestarikan dan mengembangkan budaya dan sastra daerah serta

(34)

2) menampilkan dan mengambil manfaat dari kearifan lokal yang mengakar

sejak lama dalam masyarakat Indonesia sebagai sumber pembelajaran dalam

kelas.

3) sumbangan bagi kesusastraan Indonesia khususnya dan kesusastraan dunia

umumnya baik dalam kajian sejarah sastranya maupun teori sastranya, dan

4) sumbangan bagi pengembangan model pembelajaran sastra dengan

memanfaatkan kearifan lokal pada kurikulum 2013 di kelas X program

Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya.

1.6 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan adalah sebagai berikut.

1) Kajian bandingan dalam penelitian ini adalah penelitian sastra yang

menggunakan pendekatan dan metode sastra bandingan.

2) Wawacan merupakan cerita yang ditulis dan dibacakan dalam bentuk puisi

pupuh. Babad adalah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan

Madura yang berisi peristiwa sejarah; cerita sejarah; riwayat; sejarah; tambo;

hikayat. Babad biasanya berbentuk puisi klasik yaitu wawacan. Wawacan

Babad Sumedang berisi kisah Pangeran Geusan Ulun dan Harisbaya.

3) Dalam arti luas, drama adalah semua bentuk tontonan yang mengandung

cerita yang dipertunjukkan di depan banyak orang, sedangkan dalam arti

(35)

diproyeksikan ke atas panggung, disajikan dalam bentuk dialog dan gerak

berdasarkan naskah; didukung tata panggung; tata lampu; tata musik; tata

rias; dan tata busana. Karya sastra selain drama yang dapat juga menjadi

bahan dasar pertujukan drama yaitu dramatisasi sehingga dikenal istilah

dramatisasi puisi atau dramatisasi cerpen. Selain itu, dramatisasi bisa

dilakukan pula dengan menggali sumber dari cerita rakyat yang merupakan

kearifan lokal di setiap daerah. Dramatisasi berupa cerita dalam alih wahana

tersebut dibentuk (disesuaikan) untuk pertunjukan sandiwara, pendramaan

yang mengesankan.

4) Alih wahana adalah kegiatan pengubahan dari satu jenis kesenian ke jenis

kesenian lain. Alih wahana mencakup kegiatan penerjemahan, penyaduran,

dan pemindahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Istilah lain

alih wahana adalah transformasi. Perubahan berupa musikalisasi, novelisasi,

(36)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Metode

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sastra bandingan.

Pendekatan ini tidak menghasilkan teori sendiri. Metode yang digunakan adalah

metode deskriptif analitis komparatif (Ratna, 2012: 53). Metode ini merupakan

gabungan dua metode yaitu metode analisis struktural semiotik dan metode

analisis bandingan. Analisis struktural semiotik menggunakan teori greimas yaitu

skema aktan dan model fungsional. Analisis bandingan dilakukan dengan

membandingkan dua buah karya sastra yaitu naskah drama PGU karya Saini

K.M. yang berbahasa Indonesia dan puisi klasik wawacan yang berbahasa Sunda.

Penelitian analisis komparatif dilakukan bersifat kualitatif dengan model yang

dianggap relevan dengan konsep sastra bandingan.

3.2 Data dan Sumber Penelitian

3.2.1 Data

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada kondisi

alamiah, sumber data primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada

(37)

2012: 225). Penulis menggunakan teknik pengumpulan data yaitu triangulasi

berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi.

Observasi yang dilakukan pada awalnya adalah observasi berupa tinjauan

pustaka yang mendukung ketertarikan penulis terhadap masalah yang ditemukan.

Penulis tidak menyiapkan secara sistematis apa yang akan diobservasi, tetapi

hanya berupa rambu-rambu pengamatan saja. Selanjutnya, penulis pun melakukan

observasi partisipatif baik secara pasif dan aktif ketika terjun di lapangan secara

langsung.

Wawancara dilakukan dengan menetapkan narasumber utama yang

merupakan key informan dalam penelitian ini. Narasumber lain dipilih secara

acak untuk mengetahui cerita rakyat tentang kisah PGU-Harisbaya dengan

mengambil tiga orang narasumber dengan profesi dan lokasi berbeda. Selain itu,

diberlakukan Snowball sampling yang diterapkan pada narasumber lainnya untuk

mendukung hasil penelitian.

Tahap selanjutnya adalah tahap pendokumentasian data. Dokumen artinya

barang-barang yang ditulis. Peneliti menyelidiki benda-benda tertulis berupa

naskah, buku sumber acuan, dan dokumentasi foto-foto. Kemudian

mendokumentasikan data dalam catatan observasi, daftar pertanyaan, dan daftar

riwayat hidup narasumber.

(38)

Dalam memperoleh informasi, penulis memperhatikan tiga macam sumber,

yaitu tulisan, tempat, kertas atau orang. berikut sumber penelitian yang digunakan

[image:38.595.123.513.246.714.2]

peneliti.

Tabel 3.1

Data dan Sumber Penelitian

Data Sumber Penelitian

1. Cerita Rakyat tentang mitos PGU, JP, dan Harisbaya

Wawancara dengan 3 narasumber utama: R. Aom Ahmad, ketua Musium PGU dan keturunan PGU; Pak Dudu dari pihak kuncen makam Dayeuh Luhur, dan Pak Sumpena, petani, dari masyarakat biasa.

2. Naskah Wawacan Babad

Sumedang

Dua buah wawacan dengan judul Wawacan Babad Sumedang karya

Abdrur’rachman dari Musium Nasional Jakarta (versi A) dan Babad Sumedang karya R.A.A. Martanagara (versi B) dari Musium PGU Sumedang

3. Naskah Drama Prabu Geusan Ulun

Naskah drama karya Saini K.M. dari STSI Bandung

4. Wawancara utama seputar

proses pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun

Wawancara dengan Prof. Saini K.M. sebagai penulis naskah drama Prabu Geusan Ulun

5. Perbedaan wawacan dan beluk Wawancara dengan Gangan Gumilar, pembina Lises Adinira SMAN 1 Sumedang

6. Tradisi babad sebagai sumber sejarah

Wawancara dengan Nunung Julaeha, guru Sejarah SMAN 1 Sumedang 7. Pementasan drama PGU oleh

Hiji-Hiji Adinira Teater SMAN 1 Sumedang

Wawancara dengan Cece Rohidayat, penulis naskah drama PGU versi bahasa Sunda

8. Pembelajaran alih wahana di kelas X program peminatan

(39)

bahasa dan budaya

3.3 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen utama atau alat

penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human intererst

berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data,

melakukan pengumpulan data, menilai kualitas data, analisis data, menafsirkan

data dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiono, 2012:222). Untuk

melaksanakan teknik penelitian digunakan empat instrumen penelitian semiotik

sebagai berikut.

1. Instrumen Kajian Sintaksis

Kajian sintaksis dilakukan yaitu dengan menggunakan instrumen struktural

A.J. Greimas dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Mengemukakan pengarang dan karyanya;

b) Menyusun ringkasan cerita;

c) Membuat skema-skema aktan;

d) Membuat model fungsional;

e) Menyusun aktan utama;

(40)

a. Bentuk instrumen sintaksis skema aktan A.J. Greimas

Bagan 3.2

Bentuk Instrumen Skema Aktan A.J. Greimas

PENGIRIM OBJEK PENERIMA

PENOLONG SUBJEK PENENTANG

Penjelasan Instrumen:

Pengirim (sender) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan

berfungsi sebagai pennggerak cerita. Dialah yang menimbulkan keinginan bagi

subjek atau pahlawan untuk mencapai objek.

Objek (object) adalah seseorang atau sesuatu yang diingini, dicari, dan diburu

(41)

Subjek (subject) atau pahlawan adalah seseorang atau sesuatu yang ditugasi

pengirim untuk mendapatkan objek.

Penolong (helper) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu atau

mempermudah usaha pahlawan dalam mencapai objek. Penentang (opponent)

adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha pahlawan dalam mencari

objek.

Penerima (receiver) adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objek hasil

buruan subjek.

[image:41.595.108.518.521.641.2]

b. Bentuk Instrumen Skema Model Fungsional A.J. Greimas

Tabel 3.3

Bentuk Instrumen Skema Model Fungsional A.J. Greimas

SITUASI

AWAL

TRANSFORMASI

TAHAPAN

AKHIR TAHAP UJI

KECAKAPAN

TAHAP

UTAMA

TAHAP

KEBERHASILAN

(42)

Situasi awal: Dalam situasi awal, cerita diawali dengan munculnya

pernyataan adanya keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Di sini ada panggilan,

perintah, atau persetujuan.

Transformasi: Dalam transformasi terdapat tiga tahap, yaitu tahap

kecakapan (adanya keberangkatan subjek, munculnya penentang dan penolong,

dan jika pahlawan tidak mampu mengatasi tantangan akan didiskualifikasi sebagai

pahlawan), tahap utama (adanya pergeseran ruang dan waktu, dalam arti pahlawan

telah mengatasi tantangan dan melalukan perjalanan kembali), dan tahap

kegemilangan atau keberhasilan (kedatangan 87 pahlawan, eksisnya pahlawan

asli, terbongkarnya tabir pahlawan palsu, dan jasa bagi pahlawan sejati).

Situasi akhir: Dalam situasi akhir objek telah diperoleh dan diterima oleh

penerima, keseimbangan telah terjadi, berakhirnya suatu keinginan terhadap

sesuatu, dan berakhirnya suatu keinginan terhadap sesuatu, dan berakhirlah sudah

cerita itu.

2. Instrumen Kajian Semantik

Tabel 3.4

Pedoman Analisis Semantik

Aspek yang Dianalisis Indikator

(43)

nama diri, karakter/watak, dan status tokoh dalam

lingkungan sosial

2. Latar/setting a. Latar tempat/ruang

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya

peristiwa yang diceritakan dalam teks, biasanya dalam

suatu cerita terdapat lebih dari satu lokasi.

b. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

keadaan yang diceritakan harus mengacu pada waktu

tertentu karena latar waktu akan selalu beruah-ubah.

c. Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu

tempat yang diceritakan. Latar sosial dapat berupa

bahasa atau dialek tertentu, nama tokoh ataupun status

sosial dan kedudukan orang yang bersangkutan.

3. Tema Menentukan tema teks berdasarkan fakta cerita (alur,

tokoh, dan latar) atau isotopi

(44)
[image:44.595.107.520.193.697.2]

Tabel 3.5

Pedoman Analisis Pragmatik

Aspek yang Dianalisis Indikator

Fungsi referensial Terkait dengan makna pesan yang

disampaikan dalam konteks tertentu.

Fungsi emotif Terkait erat dengan suasana batin

penutur terhadap pesan yang

disampaikan.

Fungsi puitis Bahasa merupakan estetika bahasa,

yang memungkinkan terciptanya pesan.

Fungsi fatis Bertujuan untuk mempertahankan

komunikasi antara penutur dengan

petutur.

Fungsi konatif Bertujuan untuk menimbulkan reaksi

kepada petutur (misalnya: menyuruh,

melarang, mengajak, dsb.)

Fungsi metalingual Bahasa yang digunakan sebagai

metabahasa untuk menjelaskan hal-hal

yang terkait dengan bahasa tersebut

(45)

kata)

[image:45.595.107.521.334.435.2]

4. Instrumen Kajian Mitos

Tabel 3.6

Pedoman Tanggapan Pembandingan Mitos

NO. KARYA

SASTRA

PENGARANG TANGGAPAN TERHADAP MITOS

AFIRMASI RESTORASI ALUSI PARODI NEGASI

1. WBS Martanagara

2. DPGU Saini K.M.

5. Instrumen Wawancara

Pedoman wawancara: pedoman wawancara berstruktur dengan narasumber

utama, yaitu Prof. Saini K.M. dan wawancara tidak berstruktur dengan tiga

narasumber berkaitan mitos PGU, peristiwa Harisbaya, dan JP.

Tabel 3.7

Instrumen Wawancara Berstruktur

Daftar Pertanyaan

(46)

Naskah Drama Prabu Geusan Ulun? (Alasan dan tahun pembuatan)

2. Apakah pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun berhubungan dengan situasi sosial masyarakat kala itu?

3. Apakah pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun terinspirasi sumber tradisi lisan atau cerita-cerita orang tua Sumedang yang pernah didengar? 4. Apakah pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun terinspirasi sumber

tradisi tulisan yang hidup di masyarakat Sumedang seperti penembangan wawacan dalam mamaca atau beluk?

5. Apakah pembuatan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun berdasarkan buku-buku sejarah? (Bisa disebutkan sumbernya)

6. Dapatkah dikatakan bahwa kisah Geusan Ulun dan Harisbaya adalah tipikal percintaan seperti Romeo-Juliet ataukah Rama-Shinta?

7. Bisa dijelaskan mengapa tokoh Lengser hadir dalam naskah Prabu Geusan Ulun?

8. Bisa dijelaskan siapakah tokoh Kawung Anten, Layung Sari, Sancawiru, dan Gajahmalela?

9. Amanat apakah yang ingin disampaikan dari pementasan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun?

10.Bagaimana pandangan bapak mengenai karya sastra sejarah atau mengandung sejarah?

11. Bisakah bapak menjelaskan keterlibatan bapak dengan kegiatan Studi Teater Bandung?

12.Seingat Bapak pada tahun berapa dan berapa kalikah naskah ini dipentaskan?

6. Pedoman Penyusunan Model Pembelajaran

Tabel 3.8

Pedoman Penyusunan Model Pembelajaran

Aspek yang Dianalisis Indikator

(47)

b. Menghadirkan organizer

 Mengidentifikasi gambaran

benda

 Memberikan contoh

 Memberikan hubungan konteks

 Pengulangan

c. Mendorong kesadaran siswa

 Menghubungkan pengetahuan

dengan pengalaman

2. presentasi materi a. menghadirkan materi

b. menjaga perhatian

c. membuat organisasi eksplisit

d. membuat hubungan logika

pengetahuan secara eksplisit

3. penguatan pengolahan kognitif a. menggunakan rekonsiliasi integrarif b. meningkatkan belajar resepsi aktif c. memperoleh pendekatan kritik pada

materi pokok d. mengklarifikasi.

3.4 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan meliputi:

a. Membaca seluruh data utama, yaitu membaca secara saksama, cermat, dan

kritis untuk memahami puisi klasik wawacan dan naskah drama; menemukan

data yang telah ditetapkan.

[image:47.595.108.520.109.517.2]
(48)

c. Data dikelompokkan berdasarkan masalah penelitian, yaitu berdasarkan

analisis semiotik wawacan dan drama yaitu analisis sintaksis, semantik, dan

pragmatik.

d. Pengkajian mitos dalam puisi klasik wawacan dan drama.

e. Menyusun model pembelajaran berbasis konsep sastra bandingan.

3.5 Langkah-Langkah Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik pembacaan terpadu

dan menyeluruh terhadap sumber data yaitu Wawacan Babad Sumedang Karya

R.A.A Martanegara dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M.

untuk mendapatkan hasil penelitian akurat, dilakukan model pembacaan ulang

untuk menemukan data yang sesuai dengan masalah penelitian dan tujuan

penelitian. Beberapa langkah yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu sebagai

berikut.

a. Memilih dan menentukan karya sastra yang diteliti yang mengandung

kearifan lokal. Dalam penelitian ini ditetapkan puisi klasik wawacan berjudul

Wawacan Babad Sumedang Karya R.A.A Martanegara dan Naskah Drama

Prabu Geusan Ulun Karya Saini K.M.

b. Membaca secara cermat dan saksama, berulang-ulang menelaah untuk

memahami isinya, dan menemukan unsur-unsur struktur puisi klasik

(49)

c. Mencatat data yang ditentukan sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian

berupa kata, frasa, kalimat, ungkapan-ungkapan, pernyataan-pernyataan yang

berkaitan langsung dengan struktur puisi klasik wawacan dan drama.

d. Mengidentifikasi dan mengelompokkan data berdasarkan unsur struktur puisi

klasik wawacan dan drama.

e. Membuat tabulasi data berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi

berdasarkan unsur struktur puisi klasik wawacan dan drama.

f. Mendeskripsikan data berdasarkan unsur struktur puisi klasik wawacan dan

drama.

g. Menganalisis data berdasarkan unsur struktur puisi klasik wawacan dan

drama.

h. Membandingkan unsur struktur dan mitos wawacan Babad Sumedang Karya

R.A.A Martanegara dan Naskah Drama Prabu Geusan Ulun Karya Saini

K.M.

i. Menyimpulkan hasil analisis berdasarkan unsur struktur dan mitos wawacan

Babad Sumedang Karya R.A.A Martanegara dan Naskah Drama Prabu

Geusan Ulun Karya Saini K.M.

j. Menyusun laporan hasil penelitian.

k. Melaporkan hasil penelitian.

(50)

BAB 5

MODEL PEMBELAJARAN MENULIS ALIH WAHANA KELAS X

PEMINATAN ILMU BAHASA DAN BUDAYA

5.1 RPP Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana kelas X Peminatan Ilmu

Bahasa dan Budaya

[image:50.595.109.541.446.712.2]

Penulis membuat RPP untuk kompetensi dasar menulis alih wahana kelas X peminatan ilmu bahasa dan budaya , yaitu sebagai berikut.

Tabel 5.1

RPP Kompetensi Dasar Menulis Alih Wahana kelas X

Peminatan Ilmu Bahasa dan Budaya

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Pelajaran I/ Kegiatan 1

Satuan Pendidikan : Sekolah Menengah Atas ( SMA) Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : X/2

Materi Pokok : alih wahana

Alokasi Waktu : 4 X 45 menit ( 1 x pertemuan )

(51)

1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya

2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, displin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsive dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagi bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serrta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia

3. Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan teknologi, seni budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan

B. KOMPETENSI DASAR DAN INDIKATOR

1.2 Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks drama

2.2 Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, dan proaktif dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk dalam menulis naskah drama.

3.4Membandingkan perbedaan drama dengan teater serta mengapresiasi-nya. 1. Mengidentifikasi karakteristik drama dan teater.

(52)

4. Menganalisis perbedaan drama dan teater

4.4Mengalihwahanakan (mengonversi) cerpen ke dalam naskah drama sederhana

1. Menginterpretasi istilah-istilah alih wahana

2. Menyampaikan tanggapan terhadap proses pengalihwahanaan cerpen.

3. Membuat naskah drama yang dibuat dari cerpen

4. Mengevaluasi naskah drama yang dibuat

C. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Melalui hasil pengamatan terhadap tayangan slide tentang alam sekitar, siswa dapat mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulisan dalam bentuk naskah drama 2. Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa dapat menunjukkan sikap tanggung

jawab dan disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk membuat naskah drama.

3. Melalui kegiatan membaca dan mencermati contoh naskah drama.

4. Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa dapat mengidentifikasi karakteristik drama dan teater.

5. Setelah kegiatan membaca, siswa menjawab pertanyaan sesuai dengan isi teks mengenai perkembangan drama dan teater Indonesia.

6. Setelah kegiatan membaca dan diskusi kelompok, siswa dapat menunjukkan jenis-jenis drama

7. Setelah kegiatan membaca dan diskusi kelompok, siswa dapat menganalisis perbedaan drama dan teater

8. Setelah kegiatan membaca dan diskusi kelompok menginterpretasi perkembangan drama.

(53)

10. Setelah kegiatan membaca dan diskusi kelompok, siswa dapat menginterpretasi pengalihwahanaan,

11. Melalui kegiatan diskusi kelompok, siswa dapat membuat naskah drama sederhana yang merupakan alih wahana dari bentuk cerpen.

1. MATERI PEMBELAJARAN

1. Penanaman sikap: memiliki tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia.

2. Mengidentifikasi karakteristik drama dan teater. 3. Membedakan jenis-jenis drama dan teater. 4. Menginterpretasi perkembangan drama dan teater.

5. Membandingkan genre drama yang merupakan alih wahana dari cerpen.

6. Menulis sebuah naskah drama yang merupakan pengalihwahanaan sebuah cerpen

D. METODE PEMBELAJARAN

1. Pendekatan : Saintifik

2. Metode : Diskusi kelompok, penugasan

E. MEDIA , ALAT, DAN SUMBER PEMBELAJARAN

1. Media Pembelajaran : naskah Cerpen “Merdeka” karya Putu Wijaya 2. Alat Pembelajaran : Laptop dan infokus

3. Sumber Pembelajaran : a. Lingkungan

(54)

F. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

Kegiatan Deskripsi Kegiatan Alokasi Waktu

Pendahuluan 1. Salah seorang siswa memimpin doa. 2. Siswa menjawab salam dan pertanyaan

dari guru berhubungan dengan kondisi dan pembelajaran sebelumnya.

3. Guru melakukan apersepsi, yaitu mengaitkan pembelajaran sebelumnya dengan materi pembelajaran alih wahana 4. Guru memberikan informasi kompetensi,

materi, tujuan, dan langkah

pembelajaran yang akan dilaksanakan.

(55)

Inti 1. Siswa membaca dan mencermati contoh teks drama.

2. Guru Siswa bertanya jawab tentang hal-hal yang berhubungan dengan perbedaan drama dan teater termasuk penggunaan kaidah bahasa Indonesia pada teks tersebut.

3. Siswa yang berani menjawab mendapat penghargaan dari guru.

4. Dengan sikap tanggung jawab dan disiplin, siswa menjawab pertanyaan teks drama yang telah dibacanya.

5. Siswa bersama guru mengoreksi

kesesuaian jawaban yang telah

disampaikan.

6. Siswa berkelompok untuk membedah struktur dalam cerpen “Merdeka” karya Putu Wijaya.

7. Perwakilan setiap kelompok secara

bergiliran menyampaikan hasil

diskusinya yang ditanggapi kelompok lain dengan santun dan responsif.

(56)

PENUTUP 1. Siswa diminta membuat tugas individu pengalihwahanaan cerpen ke Drama. Guru menutup pembelajaran dengan berdoa bersama.

menit

1. PENILAIAN JENIS/TEKNIK PENILAIAN

Jenis/Teknik Bentuk Instrumen

Observasi Lembar pengamatan sikap dan rubrik

Tes Tulis Tes uraian: membedakan karakterisitik, jenis, perkembangan drama, dan teater

Tes Praktik-Proyek Menulis alih wahana cerpen ke dalam bentuk dtama

2. CONTOH INSTRUMEN

1.1Lembar Pengamatan Sikap

No. Aspek yang Diamati BT

(1)

MT

(2)

MB

(3)

MK

(4)

1. Berdoa sebelum mengerjakan tugas.

2. Tidak menjiplak pada kegiatan mengonversi teks, membuat definisi, dan deskripsi. 3. Tepat waktu menyelesaikan tugas

4. Merespons hal-hal yang disampaikan dalam laporan hasil observasi

(57)

Keterangan:

BT : Belum Tampak

MT : Mulai Tampak

MB : Mulai Berubah

MK : Makin Konsisten

1.2Soal Penilaian Pengetahuan

No. Butir-butir Soal

1. Bacalah teks mengenai perkembangan drama di Indonesia. berikut kemudian ubahlah ke dalam bentuk diagram klasifikasi!

2. Jelaskan karakteristik atau ciri-ciri drama dan teater

3. Sebutkan jenis-jenis drama!

Kunci Jawaban Penilaian Pengetahuan

No.

Soa

l

(58)

1. Sinonim dari kata yang bercetak tebal dalam bacaan adalah sebagai berikut:

a. menyediakan = menyiapkan, mengadakan b. dibutuhkan = diperlukan

c. sandang = pakaian d. pangan = makanan e. papan = perumahan

f. tumbuhan = tanaman, pepohonan

g. mengolah = mengerjakan, mengusahakan h. kemampuan = kekuatan, daya

i. ditunjang = didukung, ditopang, dibantu j. alat = sarana

2. Antonim dari kata bercetak miring yang terdapat dalam bacaan

a. Terang >< gelap b. Rimbun >< meranggas c. Uzur >< muda, kuat

d. Bekerja keras >< berpangku tangan, malas e. Berbahagia >< berduka, bersedih, kecewa

3. Kalimat simpleks yang terdapat dalam bacaan

a. Di Gua Pawon terlihat lembah sempit di antara dua rangkaian perbukitan.

b. Suara gemericiknya terdengar setiap saat.

c. Di tempat itu suara domba terdengar bersahutan. d. Kerbau merumput di tegalan.

4. Penggunaan konjungsi dalam kalimat

a. Ia menanam anyelir beraneka warna serta memeliharanya dengan rajin. b. Ketika hujan mulai menyirami bumi, berbagai tanaman tumbuh dengan

subur.

c. Sungai kotor dapat menjadi penyebab bencana oleh karena itu kita harus membersihkannya bersama-sa

Gambar

TABEL 2.1  Aturan dan Watak Pupuh ...........................................................
TABEL 5.2 Perbandingan  Penyusunan Model Pembelajaran
Tabel 3.1
Tabel 3.3
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) ada empat bentuk kalimat yang sudah dikuasai oleh Kinan, yaitu kalimat deklaratif, interogatif, imperatif dan eksklamatif (2) urutan

Doantur melakukan pembayaran ZIS via offline maka Proses transaksi dimulai dengan admin membuka sistem kemudian transaksi dilakukan dengan mengisi data donatur. Apabila sebelumnya

Bagian pariwisata tersebut dijabarkan untuk menangkap perbedaan dalam pengeluaran antara masyarakat lokal terhadap wisatawan, kegiatan wisata siang terhadap kegiatan

Dilihat dari analisis data dalam penelitian ini terbukti bahwa faktor hambatan penerimaan pajak bumi dan bangunan yang paling tinggi adalah dipengaruhi oleh aspek

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data Tabel 4 dan 5 menunjukkan jenis batang atas tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit tanaman jarak pagar pada

Solusi ideal positif didefinisikan sebagai jumlah dari seluruh nilai terbaik yang dapat dicapai untuk setiap atribut, sedangkan solusi ideal negatif terdiri dari seluruh

Berdasarkan SNI 19-2454-2002 tentang Tata cara Pengelolaan Sampah Perkotaan, timbulan sampah adalah banyaknya sampah yang timbul dari masyarakat dalam satuan volume

Metode ini melakukan analisis investasi bangunan hotel dengan studi kasus hotel Best Western Premier Surakarta, hingga diperoleh suatu hasil yang menegaskan hubungan antar