• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH AWWALIYAH (MDA).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH AWWALIYAH (MDA)."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK

MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK

PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH

AWWALIYAH (MDA)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

dalam Bidang Pengembangan Kurikulum

Promovendus

HJ. NUR DEWI AFIFAH

NIM 0800847

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI

Promotor Merangkap Ketua,

Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.

Ko-Promotor Merangkap Sekertaris,

Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd.

Anggota,

Prof. Dr. Hj Mulyani Sumantri, M.Sc

Mengetahui,

Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum

(3)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK

MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK

PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH

AWWALIYAH (MDA)

Oleh :

HJ. NUR DEWI AFIFAH

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan

Indonesia

©

HJ

. NUR DEWI AFIFAH 2013

(4)

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,

(5)

ABSTRAK

Afifah, Nur Dewi. (2013). 0800847. Pengembangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Akhlak Mulia Peserta Didik pada Mata Pelajaran PAI Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA), Disertasi. Program Studi Pengembangan Kurikulum. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Kata kunci: akhlak mulia, Pendidikan Agama Islam, pengembangan, Madrasah Diniyah.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya perilaku peserta didik yang belum mencerminkan akhlak mulia. Penelitian ini memanfaatkan teori akhlak mulia, model pembelajaran, prinsip pembelajaran PAI, dan filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai pijakan teoretisnya. Pendekatan yang digunakan adalah Research and Development yang diadaptasi dari buku Borg and Gall. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dokumentasi, wawancara, angket dan tes. Hasilnya adalah (1) Pertama, intervensi proses pembelajaran berupa rekayasa model pembelajaran merupakan kebutuhan. Hal itu didasarkan pada kelemahan proses pembelajaran, rendahnya kreativitas guru, dan sarana yang tidak mendukung tumbuh kembangnya akhlak mulia peserta didik; (2) model yang dikembangkan adalah model yang valid berdasarkan uji validitas internal dan eksternal (uji luas). Kontennya bersifat integratif, diorganisasikan secara tematis, dan diimplementasikan dalam pembelajaran dengan prinsip plan-do-evaluate; dan (3) model yang dikembangkan efektif meningkatkan pemahaman dan akhlak mulia peserta didik secara signifikan dengan derajat peningkatan sangat baik. Model pembelajaran memiliki implikasi teoretis maupun praktis bagi studi pengembangan kurikulum, yaitu: (a) pembelajaran PAI tidak sekedar mentransfer pengetahuan dan nilai kepada peserta didik, tetapi yang paling penting adalah penguatan akhlak peserta didik; (b) pembelajaran PAI akan efektif jika nilai-nilai ajaran Islam sebagai spirit yang mendasari proses pembelajaran mampu dipadukan dengan penguatan akhlak mulia secara kontekstual; (c) pembelajaran PAI akan efektif jika ada keteladanan yang diberikan guru dalam proses pembelajaran, dan mewariskan nilai-nilai positif melalui keterlibatan aktif peserta didik dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran; (d) pembelajaran PAI dengan langkah-langkah: orientasi, aktualisasi, presentasi, verifikasi, dan refleksi, efektif meningkatkan ahklak mulia peserta didik. Direkomendasikan agar kepala madrasah dan guru hendaknya mempertimbangkan penggunaan model ini untuk meningkatkan akhlak dan mengaktifkan peserta didik dalam belajar, demikian pula peneliti lain hendaknya melanjutkan penelitian ini dengan mata pelajaran dan pada jenjang dan kelas yang berbeda, serta cakupan yang lebih luas dengan sampel yang lebih besar. LPTK terutama di PTAI dapat memanfaatkan sebagai model pilihan dalan penguatan akhlak peserta didik.

(6)

Afifah, Nur Dewi. (2013). 0800847. Developing Model of Teaching to Increase

Students’ Akhlak at Madrasah Diniyah Awwaliyah in the PAI Lesson. Dissertation, Program Study of Curriculum Development. Indonesia University of Education. Bandung.

Key words: noble character, PAI, developing, Madrasah Diniyah.

This research underpined by the tendency of lack of students’ morality case. This developmental research of model was underline on principles of akhlak, models of teaching, the principles of teaching the PAI lesson, and principles of the constructivism in teaching-learning. Using R&D model adapted from Borg and Gall, the techniques of collecting data were observation, documentation, interview, questionnare and test. The results were (1) intervention learning process by engineering model of teaching is a necessity. This was based on the weakness of the learning process, teachers lack creativity, and facilities that do not support the growth of noble character of students; (2) the model developed was a valid model based on internal and external validity (field evaluation). It was in integrated content, thematically organized, and implemented by plan-do-evaluate princilples; and (3) the model was effective in increasing students’ understanding and effective in enhancing noble character of learners significantly with the degree of improvement was very good. This research has theoretical and practical implications for the study of curriculum development, they were (a) PAI learning not just transferring knowledge and value to students, but the most important is the strengthening of learners’ noble character;(b) PAI learning will be effective where the moral values of Islam as the spirit underlying the learning process is able to be combined with contextual reinforcement of noble character; (c) PAI learning will be effective if teacher was a figure in the learning process, and pass on positive values through the active involvement of learners in the overall learning activities; (d) the PAI learning steps: orientation, actualization, presentations, verification, and reflections, was effective in increasing noble character learners. The prcatical implication were: (a) the teaching - as akhlak as its orientation - will be effective by good planning, (b) the excellent

model shold be followed by the teacher’ skills. Its recomended that: a) headmasters

and teachers should consider continuously using model since this model is able to

(7)

DAFTAR ISI

B. Identifikasi, Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 21

D. Definisi Operasional... 21

E. Manfaat Penelitian ... 26

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Agama Islam (PAI) di MDA ... 29

B. Hakikat Akhlak Mulia ... 47

C. Hakikat Belajar Pembelajaran ... 60

D. Model Pembelajaran ... 68

E. Konstruktivisme dalam Pembelajaran ... 86

F. Kerangka Pikir Penelitian ... 113

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 116

B. Prosedur Penelitian ... 117

... C. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 119

D. Teknik Pengumpulan Data ... 125

E. Teknik Analisis Data ... 126

(8)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian Pendahuluan ... 129

1. Kondisi Peserta Didik... 130

2. Kondisi Guru ... 138

3. Kondisi Sarana Prasarana ... 160

4. Interpretasi Hasil Studi Pendahuluan ……….. 162

B. Pengembangan Model Pembelajaran ... 164

1. Draf I Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia ... 164

2. Uji Ahli Pembelajaran... 171

3. Draf II Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia ... 174

4. Uji Coba Terbatas ... 180

5. Uji Coba Luas (UjiValidasi) ... 199

C. Efektivitas Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia .. 239

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 249

1. Kondisi Pembelajaran PAI Saat Penelitian Dimulai ... 249

2. Model Pembelajaran PAI yang Dikembangkan ... 254

3. Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran PAI ... 266

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 270

B. Implikasi ... 274

C. Saran ... 275

DAFTAR PUSTAKA

RIWAYAT PENULIS

(9)

DAFTAR TABEL

No.Tabel Hal

2.1. Kurikulum MDA dan Wustha ... 37

2.2. Kurikulum Diniyah Ulya ... 37

2.3. Model-model Pembelajaran Rumpun Pemrosesan Informasi ... 75

2.4. Model-model Pembelajaran Personal (Pribadi) ... 76

2.5. Model-model Pembelajaran Interaksi Sosial ... 77

2.6. Model-model Pembelajaran Rumpun Perilaku ... 79

2.7. Prosedur Pembelajaran Terpadu ... 84

3.1. Peserta Didik pada Penelitian Awal ... 123

3.2. Responden sebagai Subjek Penelitian Uji Terbatas ... 123

3.3. Responden sebagai Subjek Penelitian Uji Luas ... 123

3.4. Guru sebagai Subjek Penelitian ... 124

4.1. Tanggapan Responden (peserta Didik) terhadap Desain dan Penerapan Pembelajaran PAI di MDA ... 130

4.2. Kemampuan Peserta Didik MDA Kelas 3 pada Mata Pelajaran PAI ... 133

4.3. Minat Belajar Peserta didik pada mata Pelajaran PAI ... 136

4.4. Latar belakang Pendidikan Responden (Guru) ... 139

4.5. Tujuan Guru Mengajar ... 141

4.6. Harapan Guru terhadap Peserta Didik... 141

4.7. Tugas guru ... 141

4.8. Guru dapat Mengembangkan Kurikulum yang akan Diajarkan ... 142

4. 9. Hal-hal yang dikembangkan Guru Jika belum mampu Mengembangkan Kurikulum ... 143

4. 10. Sikap Guru dalarn Penguasaan Materi ... 143

4. 11. Hal-hal yang Dilakukan Guru Jika Belum Menguasai Materi ... 144

4. 12. Guru Perlu Memperbaiki Cara Mengajar ... 145

4. 13. Kemampuan Guru Mengelola Kelas ... 145

4. 14. Hal-hal yang Dilakukan Guru Jika Belum Mampu Mengelola Kelas ... 146

4.15. Pengalaman Guru Mengajar ... 146

4.16. Hal Paling Penting dalam Pembelajaran PAI... 147

4.17. Pengembangan Rencana Pembelajaran ... 148

4.18. Implementasi Pembelajaran PAI di MDA ... 152

4.19. Penguasaan Guru ... 156

4.20. Kinerja Guru ... 158

4.21. Kelengkapan Sarana dan Prasarana ... 161

4.22. Desain Perencanaan Pembelajaran ... 170

4.23. Desain Implementasi Pembelajaran ... 170

4.24. Desain Evaluasi Pembelajaran ... 171

4.25. Hasil Uji Ahli Pembelajaran ... 172

(10)

4.27. Data Uji Coba Terbatas 1 Peserta Didik pada

Kegiatan Berwudhu’ ... 183

4.28. Data Uji Coba Terbatas 2 pada Kegiatan Sholat Sunnah Rawatib ... 186

4.29. Data Peserta Didik Uji Terbatas 3 pada Kegiatan Kebersihan ... 189

4.30. Hasil Pengamatan/Observasi Kegiatan Peserta Didik pada Uji Terbatas Kegiatan Berwudhu', Sholat Sunnah Rawatib, dan Kebersihan ... 196

4.31. Uji Coba Luas 1 Pada Kegiatan Berwudhu' di MDA MII Cidangiang ... 199

4.32. Uji Coba Luas 2 tentang Kegiatan Sholat Sunnah Rawatib di MDA MII Cidangiang ... 201

4.33. Uji Coba Luas 3 tentang kebersihan di MDA MII Cidangiang ... 203

4.34. Uji Luas 1-3 Peserta Didik tentang Sikap Peserta Didik pada Pelaksanaan Berwudhu', Sholat Sunnah, dan Menjaga Kebersihan di MDA MII Cidangiang ... 206

4.35. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban 'Ya ... 207

4.36. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, 3 pada Jawaban ‘Kadang-kadang’ ... 207

4. 37. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 208

4.38. Uji Coba Luas 1 Pada Kegiatan Berwudhu' di MDA Al-Mubtadin ... 208

4. 39. Uji Coba Luas 2 Pada Kegiatan Sholat sunnah Rawatib di MDA Al-Mubtadin ... 211

4.40. Uji Coba Luas 3 Pada Kegiatan Kebersihan di MDA Al-Mubtadin ... 213

4.41. Pelaksanaan Berwudhu', Sholat Sunnah Rawatib, dan Menjaga Kebersihan di MDA Al-Mubtadin ... 215

4.42. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Ya’ ... 216

4.43. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Kadang-kadang’ ... 216

4.51. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 225

(11)

Anwar Sepan ... 228

4.54. Kegiatan Kebersihan di MDA Masyariqul Anwar Sepan ... 230

4.55. Akumulasi Respon pada Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada. MDA Masyariqul Anwar Sepan ... 231

4.56. Perbandingan Hasit Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Ya’ ... 232

4.57. Perbandingan Hasil Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban. ‘Kadang-kadang’ ... 232

4.58. Perbandingan Hasil Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 233

4.59. Rata-rata Skor Uji 1 dan Uji 2 ... 240

4.60. Perbedaan Uji rata-rata Skor uji 1 dan Uji 2 ... 241

4.61. Rata-rata skor Uji 2 dan Uji 3 ... 241

4.62. Perbedaan Uji rata-rata Uji 2 dan Uji 3 ... 241

4.63. Pengamatan 1 Peningkatan Akhlak Mulia ... 244

4.64. Pengamatan 2 Peningkatan Akhlak Mulia ... 246

4.65. Tabel Konversi Peningkatan Akhlak Mulia ... 268

(12)

No. Gambar Hal

2.1. Kerangka Teoretis Penelitian ... 28

2.2. Kerangka Terminologis Pendidikan ... 30

2.3. Konten dan Arah Pendidikan Islam ... 34

2.4. Akhlak, Etika, Moral dan Relevansinya ... 54

2.5. Hubungan Teaching, Learning, dan Instruction ... 65

2.6. Prosedur Pembelajaran CTL ... 88

2.7. Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan REACT ... 96

2.8. Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual ... 98

2.9. Kerangka Pikir Penelitian ... 115

4.1. Draft Awal Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 165

4.2. Desain Awal Perencanaan Pembelajaran ... 166

4.3. Desain Awal (Draft I) Implementasi Pembelajaran ... 167

4.4. Desain awal (Draft I) Kegiatan Evaluasi ... 169

4.5. Draft II Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 175

4.6. Draft III Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 177

4.7. Model Akhir Model Pembelajaran Yang Dikembangkan ... 264

(13)

DAFTAR GRAFIK

No. Grafik Hal

4.1. Tanggapan Responden (Peserta Didik) terhadap

Desain dan Penerapan Pembelajaran PAI ... 132

4.2. Tanggapan Responden (Peserta Didik) terhadap Kemampuan Responden ... 135

4.3. Minat Belajar Peserta Didik pada Mata Pelajaran PAI kelas 3 MDA ... 137

4.4. Pengembangan Rencana Pembelajaran ... 150

4.5. Implementasi Pembelajaran PAI di MDA ... 155

4.6. Penguasaan Guru ... 157

4.7. Kinerja Guru ... 160

4.8. Respon Guru terhadap Sarana dan Prasarana ... 162

4.9. Penilaian Hasil Pengamatan 1 ... 246

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

Bab Pendahuluan ini membahas tentang latar belakang penelitian,

identifikasi masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,

definisi operasional, dan manfaat penelitian.

A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan merupakan cita-cita kemanusiaan dan idealisme kemanusiaan.

Hal itu karena pendidikan adalah aspek insani yang paling urgen dalam

membentuk pribadi ahsanu taqwim yang beradab dan berbudaya. Melalui

pendidikan, kepribadian seseorang ditempa, dibentuk dan diarahkan sehingga

dapat mencapai derajat kemanusiaan sebagai makhluk berbudaya. Pendidikan

diupayakan tidak hanya sekadar aktivitas transfer ilmu pengetahuan dan

keterampilan (transfer of knowledge and skill) semata, namun lebih dari itu adalah

transmisi perilaku (transmission of attitude). Bahkan yang terpenting adalah

transmisi nilai/akhlak (transmission of value).

Fungsi utama pendidikan tidak lain adalah menyiapkan manusia untuk

menjadi pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara yang baik. Dimensinya

(15)

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2, Pasal 3 disebutkan

bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Fungsi dan tujuan pendidikan tersebut di atas dipertegas dengan orientasi

pendidikan nasional yakni “… untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa” sebagaimana tercantum pada pasal 31 ayat 3. Pasal ini

menekankan dan mengingatkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa

kecerdasan harus didasari oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta

akhlak mulia. Pada bagian ini menjelaskan bagaimana pendidikan dilaksanakan

dengan sebuah ketentuan agar terwujud kecerdasan peserta didik yang penuh

keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.

Cita-cita luhur pendidikan nasional seiring-sejalan dengan kehadiran Islam

sebagai agama. Tujuan utama Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW

untuk rahmatan lil-alamin adalah memperlihatkan kepentingan nilai akhlak atau

moral dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yaitu: “Sesungguhnya

aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (Imam Malik: 132). Oleh

(16)

Agama Islam sebagai ad-Diin atau way of life – antara lain – sangat menekankan

kepada pendidikan dan pendidikan akhlak. Bahkan, Tujuan pertama dan utama

pendidikan Islam adalah membangun kepribadian yang memiliki akhlakul

karimah.

Cara pikir di atas mencerminkan bahwa pengarusutamaan pendidikan

akhlak, budi pekerti, atau pendidikan karakter di sekolah adalah keputusan

strategis bahkan merupakan suatu bentuk “mujahadah dan ibadah”. Oleh karena

itu, Pendidikan Agama Islam dan mata pelajaran lain diharapkan mampu

membentuk peserta didik yang berilmu dan berakhlak mulia.

Fenomena yang kasat mata di tengah masyarakat memperlihatkan bahwa

secara umum hasil pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah

umum dewasa ini belum seluruhnya efektif, dan bahkan dinilai gagal. Pendidikan

Agama Islam dinilai masih terkesan berorientasi pada pengajaran agama yang

bersifat kognitif dan hafalan (pembelajaran tentang agama). Pembelajaran yang

kurang berorientasi pada aspek pengamalan ajaran agama. Di antara indikator

yang sering dikemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat kerap dijumpai

kasus tindakan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama. Masalah

tersebut memperlihatkan adanya penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran Agama

Islam peserta didik yang belum akomodatif.

Menurut Harun Nasution (dalam Muhaimin, 2007: 91), salah satu penyebab

kegagalan dan kelemahan Pendidikan Agama Islam adalah karena dalam praktik

(17)

telah mengabaikan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad

untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan

antara pengetahuan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak

mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral. Padahal inti dari pendidikan agama

adalah pendidikan moral.

Pendidikan termasuk pendidikan agama mendorong ke arah perubahan.

Perubahan yang diperoleh peserta didik setelah melalui proses belajar diharapkan

meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Pendidikan Agama Islam

diharapkan dapat dipahami dengan baik oleh peserta didik, agar dengan

pemahaman ini peserta didik dapat mengaktualisasikan nilai-nilai agama yang

diperoleh dalam praktek kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, pendidik

diharapkan dapat menyampaikan materi secara komunikatif, edukatif dan

persuasif sehingga tujuan yang diharapkan dapat terpenuhi. Pendidikan Agama

Islam diharapkan memiliki peran penting dalam penanggulangan perilaku yang

kurang baik melalui interaksi edukatif yang dilakukan antara pendidik dan peserta

didik.

Kehadiran PAI di sekolah yang belum dirasakan dampaknya secara berarti,

juga disadari oleh pemerintah. Oleh sebab itu pemerintah melalui peraturan terkait

mengeluarkan kebijakan tentang penguatan pendidikan agama di luar pendidikan

atau sekolah umum ataupun sekolah formal. Hajat besar negara mengatasi

(18)

pendidikan agama nonformal yang disebut Madrasah Diniyah yang populer

disebut Madin.

Pembelajaran PAI - di sekolah maupun madrasah, termasuk di dalamnya

Madrasah Diniyah (Madin) meliputi pembelajaran berbagai kompetensi.

Kompetensi tersebut mengarahkan peserta didik agar beriman dan bertaqwa

kepada Allah SWT; berakhlaq mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam

perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah SWT, sesama manusia, dan

alam sekitar; mampu membaca dan memahami Al Qur'an; mampu beribadah dan

bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan

antar umat beragama (sumber: Kompetensi Mata Pelajaran PAI Sekolah Dasar).

Pemerintah tampaknya berharap banyak dengan adanya Madin. Apalagi

dalam sejarahnya, tumbuh-kembangnya Madin ini dilatarbelakangi oleh keresahan

sebagian orang tua peserta didik (baca: wali murid), yang merasakan pendidikan

agama di sekolah umum kurang memadai mengantarkan anaknya untuk dapat

melaksanakan ajaran agama Islam sesuai dengan yang diharapkan. Berangkat dari

kebutuhan dan keresahan masyarakat serta kerisauan pemerintah maka lembaga

seperti Madin inilah tetap harus dikembangkan.

Secara normatif, Madrasah Diniyah merupakan suatu lembaga pendidikan

yang mempunyai ciri khusus pendidikan keislaman. Fungsinya untuk menambah

pendidikan agama bagi peserta didik sekolah umum. Saat ini keberadaan

Madrasah Diniyah telah diakomodasi oleh UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003,

(19)

pemerintah dan masyarakat. Secara kuantitatif keberadaan Madrasah Diniyah

semakin hari semakin meningkat jumlahnya namun secara kualitatif proses

pendidikan berjalan seadanya. Karena itu, perlu ada „pemikiran besar‟ sekaligus

diimplementasikan dalam bentuk action sehingga Madrasah Diniyah akan terus

berkembang dan meningkat kualitasnya.

Pada awalnya penyelenggaraan pendidikan diniyah ini berjalan secara

tradisional. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah

halaqah yaitu seorang guru menerangkan ilmu-ilmu agama sambil duduk di

lantai, dikelilingi oleh peserta didik yang mengitarinya. Di Aceh pendidikan itu

disebut dayah atau munasah, sedangkan di Sumatera Selatan disebut langgar.

Dalam pertumbuhannya, metode yang digunakan mengalami

perkembangan, pengajaran mulai diorganisasikan dengan sistem klasikal, materi

yang diajarkan tidak lagi sekadar membaca Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu dasar

agama, akan tetapi meliputi pula ilmu-ilmu keIslaman lainnya. Sistem klasikal ini

mulai dilaksanakan sekitar pertengahan abad ke 19 sejalan dengan yang

dilaksanakan oleh pemerintah Belanda. Sistem ini kemudian dalam sejarah

pendidikan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan

pendidikan di tanah air termasuk pendidikan Islam, seperti bergesernya sistem

halaqoh. Pendidikan keagamaan semacam itu oleh Charles Michael Stanton

(dalam Muhaimin, 2009: 124) digolongkan sebagai pendidikan keagamaan

eksklusif, yakni lembaga pendidikan keagamaan yang tertutup terhadap

(20)

Madrasah Diniyah dari awal pertumbuhannya hingga saat ini terus

mengalami peningkatan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Lembaga Islam

tahun 2000-2003 jumlah Madrasah Diniyah mencapai 37.600 buah, dengan

jumlah peserta didik 2.173.012 orang berada di lingkungan pesantren. Adapun

perinciannya adalah: tingkat Awwaliyah berjumlah 18.629 buah dengan jumlah

peserta didik 1.244.491, tingkat wustha berjumlah 11.649 buah dengan jumlah

peserta didik 626.005 orang dan tingkat ulya berjumlah 7.322 buah dengan jumlah

peserta didik 302.506. Adapun Madrasah Diniyah di luar pesantren berjumlah

15.577 buah, yang terdiri dari suplemen (tambahan) 3.478 buah, komplemen

(pelengkap) 2.678 buah dan independen 9.473 buah.

Begitu pentingnya peran Madrasah Diniyah, beberapa pemerintah daerah

mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur pelaksanaan Madrasah Diniyah di

masing-masing daerah. Di Kab. Bogor misalnya, Pemda mengeluarkan Peraturan

Daerah no. 11 Tahun 2010 tentang Pendidikan Diniyah Takmiliyah. Kab.

Sukabumi, untuk mendukung program nasional tersebut dibuat regulasi yang lebih

rinci berupa (1) Peraturan Daerah 8 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar Pendidikan

Keagamaan, (2) Peraturan Bupati 6 Tahun 2006 Program Wajib Belajar

Pendidikan Keagamaan sebagai bagian dari Program Wajib Belajar Pendidikan

Dasar, (3) Peraturan Bupati 7 Tahun 2006 Pedoman Akreditasi Madrasah

Diniyah, (4) Peraturan Bupati 30 Tahun 2007 tentang Kurikulum Madrasah

Diniyah Awwaliyah di Kabupaten Sukabumi. Kab. Cianjur menerapkan Peraturan

(21)

Di provinsi Banten, salah satunya di Kabupaten Pandeglang regulasi yang

mengatur Madrasah Diniyah juga telah dilaksanakan. Sejak Peraturan Daerah No.

1 tentang wajib sekolah madrasah (diniyah) ditetapkan pada tahun 2006, jumlah

madrasah di Kabupaten Pandeglang semakin bertambah. Dari sekitar 946

madrasah, jumlah itu meningkat menjadi sekitar 1.500 madrasah pada tahun 2007.

Peningkatan jumlah madrasah mencapai sekitar 60 persen (Kompas, 11-4-2007).

Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah, menjadikan pemerintah daerah berupaya menggali dan mengelola

berbagai potensi yang ada di daerahnya pada berbagai sektor, termasuk sektor

pendidikan agama. Upaya ini sesuai dengan tujuan pemerintah daerah yaitu

meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang beriman dan bertaqwa.

Untuk meraih upaya tersebut pula, Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang

membuat kebijakan berupa penetapan Wajib Belajar Madrasah Diniyah

Awwaliyah (selanjutnya disingkat MDA) selama 4 tahun bagi anak mulai usia 8

tahun.

Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 27

Tahun 2007 tentang Wajib Belajar MDA, dan Peraturan Bupati Pandeglang

Nomor 1 Tahun 2008, tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Wajib Belajar

MDA, maka pemerintah daerah mewajibkan anak usia 8-12 tahun yang duduk di

bangku kelas III sampai kelas VI sekolah dasar, untuk mengikuti kegiatan belajar

di MDA selama 4 tahun. Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana tersebut di atas,

(22)

wajib mengupayakan penyelenggaraan pendidikan MDA agar dapat terlaksana

dengan optimal sehingga dapat diwujudkan generasi penerus bangsa yang

beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.

Pelaksanaan kegiatan belajar di MDA tersebut berdasarkan Bab VI Pasal 8

Kurikulum MDA. Pasal tersebut menyatakan bahwa kurikulum tersebut

merupakan pedoman dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan

penyelenggaraan pendidikan MDA, sedangkan Pasal 9 menjadi dasar bagi struktur

program pembelajaran, yang memuat kurikulum pokok, yaitu: (1) Al-Qur‟an; (2)

Hadits; (3) Aqidah Akhlak; (4) Fiqih; (5) Sejarah Kebudayaan Islam; (6) Bahasa

Arab; (7) Praktik Ibadah.

Kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di MDA

dirancang untuk mengantarkan peserta didik kepada peningkatan keimanan dan

ketakwaan kepada Allah SWT serta pembentukan akhlak yang mulia. Keimanan

dan ketakwaan serta kemuliaan akhlak yang tertuang dalam tujuan akan dapat

dicapai dengan terlebih dahulu jika peserta didik memiliki pengetahuan dan

pemahaman yang utuh dan benar terhadap ajaran Agama Islam, sehingga dapat

terinternalisasi dalam penghayatan dan kesadaran untuk melaksanakannya dengan

benar. Dengan demikian rancangan kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran

PAI di MDA seharusnya dapat menghantarkan peserta didik kepada pengetahuan

dan pemahaman yang utuh dan seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan

tentang Agama Islam, kemampuan melaksanakan ajarannya serta pengembangan

(23)

Dalam pelaksanaannya, MDA tidak luput dari berbagai problem

sebagaimana problem madrasah pada umumnya. Arif Rahman (2003: 199-200)

mengungkapkan kriteria problematika pendidikan termasuk madrasah di

Indonesia adalah peserta didik hanya sebagai pelaku pasif pendidikan, proses

pendidikan berubah menjadi proses pengajaran dan materi pendidikan dan

buku-buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang miskin akan upaya-upaya

untuk menyeimbangkan faktor praktek dan teori, faktor ilmu pengetahuan dan

teknologi, serta iman dan taqwa.

Senada dengan Arif Rahman, Tilaar (1999: 30-51) juga mengungkapkan

beberapa kriteria problematika pendidikan termasuk Madrasah Diniyah di

Indonesia yaitu kualitas guru masih rendah dan masih terdapat salah kamar atau

salah pegang (mismatch) mata pelajaran, inputnya rendah, sarana dan prasarana

kurang memadai, kurikulum yang digunakan tidak relevan dengan kebutuhan dan

bebannya terlalu berat, dan dalam proses belajar mengajar, peserta didik untuk

kurikulum, bukan kurikulum untuk peserta didik, sehingga beban terlalu berat,

pencapaian target dan terkesan adanya pemaksaan.

Fadjar (1998: 37) menandaskan bahwa sebenarnya problem aktual yang

dihadapi madrasah dewasa ini adalah adanya perkembangan kebutuhan

masyarakat terhadap layanan pendidikan serta perkembangan dunia pendidikan

lainnya dan adanya tuntutan agar madrasah mampu mengembangkan kemampuan

anak didiknya agar dapat memiliki dua kompetensi sekaligus, yaitu kompetensi

(24)

iman dan takwa kepada Allah (IMTAQ). Dengan dua kompetensi tersebut,

diharapkan madrasah dapat mempersiapkan peserta didik untuk dapat mengikuti

jenjang pendidikan yang lebih tinggi sekaligus dapat bersaing dengan

sekolah-sekolah lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa output madrasah

masih dianggap kurang berkualitas dan belum mampu bersaing dengan

sekolah-sekolah umum lainnya.

Jika madrasah sebagai sistem memiliki berbagai problem yang harus

ditemukan solusi pemecahannya, maka pembelajaran Pendidikan Agama Islam

sebagai bagian dari sistem madrasah juga menghadapi sejumlah persoalan. Salah

satu persoalan yang dikemukakan oleh Rasdiyanah adalah pembelajaran agama

Islam berorientasi pada kemampuan membaca teks, bukan pada upaya

internalisasi ajaran agama sehingga dapat menjadi karakter peserta didik

(Muhaimin, 2009: 25).

Temuan penelitian di atas juga di dukung hasil observasi dan pengalaman

empiric peneliti di berbagai MDA di Kabupaten Pandeglang, bahwa secara umum

pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MDA belum maksimal.

Hal itu terjadi karena berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah faktor guru.

Guru umumnya merupakan guru kelas yang mengajarkan berbagai mata pelajaran

rumpun Pendidikan Agama Islam, sehingga guru dituntut untuk menguasai

seluruh bidang keilmuan yang diajarkan, dan mampu mengajarkannya dengan

baik. Rumpun mata pelajaran pembelajaran PAI disampaikan secara terpisah,

(25)

yang saling terkait (satu rumpun). Selain itu bentuk evaluasi yang dilakukan oleh

guru berbentuk ulangan formatif dan ulangan sumatif dengan penilaian yang

parsial (terpisah-pisah). Aspek yang dinilai lebih menekankan pada aspek kognisi

dengan menggunakan jenis penilaian tes objektif. Pelaksanaan pembelajaran PAI

tidak diiringi dengan praktik (contoh), begitu pula tidak dilakukannya evaluasi

dalam bentuk praktik. Guru pun masih kurang mampu mengelola kegiatan

pembelajaran PAI di kelas karena jumlah peserta didik yang terkadang melebihi

jumlah ideal dalam satu kelas (40 peserta didik).

Berangkat dari persoalan di atas, maka perlu adanya pembelajaran PAI

yang tidak saja menekankan aspek pengetahuan (kognitif), tetapi yang lebih

penting adalah pembelajaran PAI yang mampu memberikan bimbingan secara

intensif tentang aspek psikomotorik dan afektif para peserta didik. Ketiga aspek

tersebut harus berjalan secara berimbang. Pada aspek kognitif nilai-nilai ajaran

agama diharapkan dapat mendorong peserta didik untuk mengembangkan

kemampuan intelektualnya secara optimal. Dengan penguatan aspek afektif

diharapkan nilai-nilai ajaran agama dapat memperteguh sikap dan perilaku

keagamaan. Demikian pula aspek psikomotor diharapkan mampu menanamkan

keterikatan dan keterampilan peran keagamaan.

Terkait dengan bentuk-bentuk kemerosotan akhlak yang banyak terjadi

dalam dunia pendidikan itu sendiri diantaranya adalah kesenjangan dan

penyimpangan, seperti tawuran antara pelajar, pornografi dan pornoaksi yang

(26)

yang semakin canggih. Pendidikan saat ini seolah hanya mengejar angka

kelulusan dan kurang memperhatikan nilai-nilai agama Islam yang menyentuh

spiritual kaum pelajar. Setiap materi yang diajarkan seolah tidak membekas di hati

dan tidak tercermin dalam tingkah laku mereka. Muncul berbagai perbuatan

memalukan yang jauh dari perilaku akhlak mulia pada masyarakat yang

menjunjung nilai agama dan budaya.

Menurut hasil penelitian BNN (Badan Narkotika Negara) dan UI

(Universitas Indonesia) tentang penyalahgunaan narkoba dalam 33 provinsi tahun

2006-2009 meningkat 1,4 % dengan rincian SLTP 4,2 %, SMA 6,6 %, dan

Mahasiswa 6,0 %. Dalam harian ekonomi neraca per-april 2010, BNN mencatat

prevalensi penyalagunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa meningkat

5,7 % berarti dalam 1 tahun terakhir setiap 100 orang pelajar dan mahasiswa

terdapat 5-6 pemakai. Selain kasus narkoba ada pula kasus yang akhir-akhir ini

menghantui masyarakat khususnya generasi muda yakni pergaulan bebas (seks

bebas) yang ikut melanda para pelajar, Komisi Perlindungan Anak (KPA)

mengungkapkan data bahwa 97% remaja Indonesia pernah menonton dan

mengakses pornografi, 93 % pernah berciuman, 62 % pernah berhubungan badan

serta 21 % remaja telah melakukan aborsi.

Di Jawa Barat tawuran remaja yang menimbulkan korban tercatat pada

enam bulan pertama tahun 2012 tercatat sudah ada 139 kasus dengan menewaskan

12 pelajar. Belum lagi kasus narkoba, freesex, bahkan aborsi. Mirisnya, pelaku

(27)

dipastikan menerima berbagai pendidikan setiap harinya (http: //news.detik.com,

Kamis, 04/10/2012). Bagaimanapun, remaja-remaja tersebut adalah output dari

sebuah sistem bernama pendidikan. Mengendarai kendaraan bermotor dengan

kecepatan tinggi (ngebut), keterlibatan perkelahian antar pelajar, termasuk

keinginan untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah (membolos), meninggalkan

rumah tanpa seizin orang tua, dan melakukan coret-coret di dinding, tindakan

kriminal termasuk pemerasan, pencurian serta perusakan gedung adalah

contoh-contoh akhlak peserta didik yang perlu dicermati (Santoso dan Kristianti, 2000:

1).

Dalam konteks yang lebih sempit kasus kenakalan remaja pun berulang

terjadi di Kabupaten Pandeglang. Terdapat tiga orang remaja melakukan

pembantaian kepada seorang siswa SMP hanya dengan motif pencurian (Radar

Banten, 2011). Begitu pula dengan kasus asusila yang dilakukan oleh peserta

didik tingkat pendidikan dasar terhadap teman perempuannya, dan dalam kasus

lain dilakukan terhadap anak perempuan yang masih dibawah umur, mencoreng

kota Pandeglang yang terkenal dengan sebutan “sejuta santri seribu ulama‟”

(BantenNews.com, 2012).

Temuan Salamah (2004), menegaskan bahwa pelaksanaan PAI di sekolah

yang cenderung hanya memperhatikan aspek kognitif dan mengabaikan aspek

afektif dan konatif volutif, yaitu kemauan dan tekad untuk mengamal nilai-nilai

ajaran agama sehingga dapat membentuk siswa yang berakhlak mulia. Gojwan

(28)

menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, baik dalam proses maupun hasil

pembelajaran siswa. Ada beberapa hal yang dicatatnya sebagai kendala, di

antaranya: (1) rendahnya motivasi belajar siswa pada pembelajaran PAI; (2)

materi pembelajaran PAI masih berorientasi pada kemampuan kognitif dan

kurang dalam pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik); (3)

terbatasnya sikap dan pemahaman guru agama dalam pengembangan pendekatan

pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student centered), sehingga

pembelajaran masih berjalan secara konvensional; dan (4) terbatasnya sarana dan

prasarana penunjang belajar.

Mengacu pada berbagai fakta dan data di atas, kondisi ini

mengindikasikan bahwa pendidikan Agama di Indonesia belum maksimal bahkan

cenderung tidak berhasil. Kegagalan tersebut nampak pada perwujudan sebagian

perilaku peserta didik atau sekelompok peserta didik yang belum mengamalkan

nilai-nilai akhlak mulia dan cenderung memiliki aklak yang buruk atau tercela,

serta jauh dari tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Kemerosotan akhlak sebagian

peserta didik tersebut dapat diamati dari perilaku sehari-hari peserta didik, seperti

tidak jujur ketika ulangan atau ujian, berkata-kata kasar dan jorok, mengumpat,

mencaci maki dengan kata-kata kasar dan tidak sepantasnya, tidak disiplin dalam

berpakaian, dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, termasuk dalam pelaksanaan

ibadah sholat dan bertadarus. Tidak/kurang hormat terhadap guru, tidak saling

menghormati dan menghargai dengan sesama teman, juga terhadap orangtua.

(29)

melalui pendidikan yang diselenggarakan baik secara formal maupun nonformal,

baik secara perseorangan maupun kelembagaan. Untuk itulah penelitian ini dinilai

relevan.

B. Identifikasi, Perumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian

1. Identifikasi masalah

Penelitian pengembangan ini bertolak dari adanya permasalahan

kemerosotan akhlak yang terjadi pada peserta didik. Banyak faktor yang

mempengaruhi terjadinya kemerosotan akhlak pada peserta didik.

Pertama, pengaruh lingkungan keluarga dan orang tua. Lingkungan

keluarga dan peran orang tua menyumbang persentase yang cukup tinggi sebagai

basis pendidikan pertama yang dapat membentuk perilaku peserta didik agar

memiliki akhlak yang baik serta membentengi peserta didik dari

pengaruh-pengaruh negative diluar rumah.

Kedua, pengaruh lingkungan sekolah dengan berbagai factor yang terkait

didalamnya, termasuk factor guru dan pembelajaran PAI di sekolah. Pembelajaran

PAI yang diharapkan mampu menjadi sumber rujukan bagi penambahan

pemahaman, pelaksanaan ibadah dan pencerminan akhlak peserta didik, dianggap

belum maksimal sehingga hasil yang di dapat belum sepenuhnya berdampak pada

perilaku peserta didik. Berdasarkan hal tersebut, kehadiran Madrasah Diniyah

Awwaliyah (MDA) menjadi salah satu alternative yang diharapkan dapat

(30)

materi PAI, mendorong peserta didik agar dapat melaksanakan ibadah dengan

benar, sehingga hasil akhirnya peserta didik memiliki perilaku yang baik

(akhlakul karimah).

Salah satu aspek yang diduga sangat dominan berpengaruh dalam

pelaksanaan pembelajaran PAI adalah model pembelajaran yang spesifik.

Efektifitas model pembelajaran yang digunakan merupakan faktor yang

berpengaruh terhadap kualitas hasil pembelajaran. Oleh karena itu perlu

dikembangkan model pembelajaran dengan cara mengidentifikasi

masalah-masalah yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum mata pelajaran PAI. Hasil

observasi awal peneliti teridentifikasi berbagai persoalan sebagai berikut.

a) Proses pembelajaran kurang menarik dan tidak dikaitkan dengan kehidupan

serta tidak sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna. Perlu dikaji

bagaimana upaya menciptakan suasana belajar sehingga pembelajaran

berlangsung dalam suasana akrab, terbuka, saling menghargai, menerapkan

persamaan kesempatan, menyenangkan, dan memperhatikan keragaman

peserta didik, dan peserta didik mendapat pencerahan akhlak mulia.

b) Hasil pembelajaran mata pelajaran PAI kurang mengembangkan potensi

peserta didik yang holistik dan masih bersifat parsial. Tidak ditemukan

pembelajaran oleh guru yang memungkinkan pengorganisasian dan

pengintegrasiaan komponen kompetensi (knowledge, skills, and attitudes),

(31)

c) Pembelajaran mata pelajaran PAI masih bersifat situasional (sesuai dengan

situasi sekolah), dimana proses dan hasil belajar masih belum memberi makna

yang lebih luas. Hasil belajar hanya bermuara pada nilai mata pelajaran yang

diberikan oleh guru.

d) Lingkungan sekolah kurang menantang tanggung jawab dan kurang

memotivasi peserta didik untuk mengalami peran sebagai pribadi yang baik.

Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana pengorganisasian dan pengintegrasian

lingkungan belajar dalam suasana yang mendukung akhlak mulia.

e) Sebagai ciri pembelajaran konvensional, guru masih sangat dominan dan

kurang memberikan peran kepada peserta didik untuk menentukan jalannya

proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran peserta didik berperan semu

karena penentu jalannya proses pembelajaran didominasi oleh guru. Perlu

dilakukan perubahan orientasi pembelajaran dari konvensional ke model

pembelajaran dimana peserta didik diberi peran yang lebih luas dalam proses

pembelajaran agar mereka menangkap makna pembelajaran tersebut sebagai

milik dirinya. Maka perlu dikaji bagaimana mengorganisasikan proses

pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik dalam penanaman nilai PAI.

f) Penilaian tertulis dan penilaian hasil akhir merupakan alat evaluasi untuk

melihat pencapaian kompetensi peserta didik. Idealnya, pencapaian

kompetensi harus diukur dengan cara yang bervariasi sesuai dengan kriteria

akhlak mulia yang harus dilakukan untuk memperoleh gambaran hasil belajar

(32)

pencapaian kompetensi peserta didik, maka perlu dikaji dan digunakan

teknik-teknik penilaian yang dapat menghasilkan data yang autentik. Hal ini

memudahkan guru dalam mengisi skill pasport sebagai bukti pencapaian

kompetensi peserta didik.

Para guru lebih terbiasa menggunakan pembelajaran yang terpusat pada

guru (teacher centered). Proses belajar berlangsung dengan tanpa

mempertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik. Padahal peserta

didik dengan segala macam potensinya, harus diarahkan untuk mencapai tujuan

mata pelajaran. Pengajar hanya aktif membacakan, menterjemahkan dan

menerangkan materi pelajaran yang diakhiri dengan tugas menghafal ayat-ayat

dan hadis. Dengan kata lain, guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam lebih

dominan menggunakan strategi pembelajaran menghafal (rote learning) dan

jarang sekali menggunakan strategi pembelajaran bermakna (meaningful

learning).

Hasil observasi awal peneliti di atas diperkuat oleh pandangan Muhaimin

(2007: 27; 2001: 24) yang menganggap bahwa titik lemah pendidikan agama

Islam di antaranya adalah “pembelajaran di sekolah, seolah-olah lepas sama sekali

dengan kehidupan sosial masyarakat”. Mata pelajaran PAI seperti Qur‟an Hadits

yang dipelajari misalnya, hanya sekadar dihafal dan belum sampai pada analisis

dan investigasi mendalam dengan melihat kaitannnya langsung dengan kehidupan

(33)

Berdasarkan berbagai persoalan tersebut, penulis memandang pentingnya

model pembelajaran yang lebih mengedepankan aspek aktivitas peserta didik

dalam setiap interaksi edukatif untuk melakukan konstruksi dan menemukan

pengetahuannya sendiri. Hal ini karena nilai yang diajarkan dalam rumpun mata

pelajaran PAI adalah religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli, demokratis, santun,

disiplin, bertanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai

keberagaman, patuh pada aturan sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan

kewajiban, serta kerja keras. Maka model pembelajaran yang memungkinkan

untuk dikembangkan adalah model pembelajaran yang menyediakan kesempatan

kepada peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan tuntunan agama

dalam kehidupan nyata di bawah bimbingan dan teladan pendidik.

2. Perumusan Masalah

Bersandar pada latar belakang dan identifikasi masalah yang telah

dipaparkan di awal, maka permasalahan kemerosotan akhlak peserta didik

menjadi tanggung jawab bersama yang harus segera dicari pemecahannya.

Lembaga pendidikan baik formal maupun non formal dituntut untuk mampu

memfasilitasi peserta didik agar mendapatkan pembelajaran PAI dengan baik,

sehingga hasilnya dapat terwujud dalam perilaku sehari-hari. Penelitian ini

dibatasi pada pengembangan model pembelajaran PAI di MDA sebagai upaya

(34)

Model pembelajaran PAI yang dikembangkan yaitu untuk peserta didik

kelas 3 MDA di wilayah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Model

pembelajaran PAI yang dikembangkan juga dibatasi pada penguatan akhlak

(afeksi) peserta didik sehingga tidak secara khusus menguatkan kognisi peserta

didik. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Model

Pembelajaran yang bagaimana yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta

didik MDA pada mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam?

3. Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada pengembangan model pembelajaran PAI

untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA di Kabupaten Pandeglang.

Permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian

berikut ini:

1) Bagaimana kondisi pelaksanaan pembelajaran PAI MDA di Kabupaten

Pandeglang pada saat penelitian ini dimulai ?

2) Bagaimana model pembelajaran PAI yang dikembangkan untuk meningkatkan

akhlak mulia peserta didik MDA?

3) Bagaimana efektivitas penerapan model pembelajaran PAI yang

dikembangkan untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA?

(35)

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model

pembelajaran adaptif-inovatif dalam pembelajaran mata pelajaran rumpun

Pendidikan Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA di

Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan tujuan yang bersifat umum tersebut

dijabarkan beberapa tujuan yang lebih khusus.

(a) Mendeskripsikan kondisi objektif proses pembelajaran mata pelajaran

rumpun PAI di MDA, yang berkaitan dengan desain, kemampuan dan

aktivitas belajar peserta didik MDA, kemampuan dan kinerja guru MDA,

serta kondisi sarana, fasilitas, dan lingkungan MDA.

(b) Menghasilkan suatu model pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI yang

efektif meliputi langkah perencanaan, implementasi dan

langkah-langkah evaluasi dalam setting MDA. Model yang dikembangkan

mempertimbangkan pembelajaran yang relevan dengan peningkatan akhlak

mulia peserta didik.

(c) Mengetahui dan menganalisis efektivitas penerapan model pembelajaran mata

pelajaran rumpun PAI yang dikembangkan di MDA dan efektivitas model

pembelajaran tersebut dalam meningkatkan akhlak mulia peserta didik.

D. Definisi Operasional

Ada dua variabel yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini yakni (1)

model pembelajaran Pendidikan Agama Islam, dan (2) akhlak mulia peserta didik.

(36)

semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara

operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna

penelitian.

(1) Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah tahapan atau

prosedur pembelajaran berupa kerangka konseptual yang melukiskan prosedur

yang sistematis dalam mengorganisasikan tujuan pembelajaran. Pendidikan

Agama memiliki muatan ajaran iman (keyakinan), ibadah dan mu‟amalah. Kajian

konten keagamaan menuntut peserta didik untuk menerapkannya dalam

kehidupan sehari-hari. Pengkajian konten keagamaan dibarengi dengan upaya

penanaman dan perasukan nilai-nilai ajaran tersebut sehingga nilai tersebut

membentuk karakter peserta didik. Daradjat, et al., (2001: 172) menyatakan

bahwa “pendidikan agama adalah suatu usaha yang secara sadar dilakukan guru

untuk mempengaruhi peserta didik dalam rangka pembentukan manusia

beragama”. Pemberian pengaruh pendidikan agama disini sebagai salah satu

sarana mendidik peserta didik untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa.

Inti dari materi pendidikan Islam itu adalah Iman (Aqidah), Ibadah, dan

Akhlakul Karimah. Secara mendasar ketiga materi pendidikan tersebut harus

ditanamkan sejak dini kepada anak, misalnya materi pendidikan keimanan dapat

menghantarkan anak untuk mengenali siapa Tuhannya, bagaimana cara bersikap

(37)

ini tentu saja untuk mengikat anak dengan dasar iman, rukun Islam dan

dasar-dasar syari‟ah. (Ulwan, 1981: 151). Materi pendidikan Ibadah, yang

membicarakan seluruh tata peribadatan, bila diperkenalkan sejak dini dan sedikit

demi sedikit dibiasakan dalam diri anak, maka kelak mereka akan tumbuh

menjadi insan yang bertakwa dan memiliki jiwa takwa (Mahmud, 2000: 102).

Kaitannya dengan terminologi model, Joyce, et.al. (2009), memberi nama

tiap-tiap pendekatan sebagai model pengajaran, meskipun salah satu dari beberapa

istilah lain, seperti strategi pengajaran, metode pengajaran, atau prinsip

pengajaran, telah digunakan. Istilah model yang dipilih oleh Joyce, et.al., (2009)

digunakan untuk dua alasan penting. Pertama, istilah model mempunyai makna

yang lebih luas daripada suatu strategi, metode, atau prosedur. Istilah model

pengajaran mencakup pendekatan pengajaran yang luas dan menyeluruh. Kedua,

model pengajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting,

apakah yang dibicarakan adalah tentang mengajar di kelas, atau praktek

mengawasi anak-anak. Model pengajaran sering pula disebut sebagai model

pembelajaran karena interaksinya terjadi dua belah pihak, antara guru dan peserta

didik.

Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam didasarkan atas beberapa

pendekatan tertentu dalam pembelajaran agama Islam, yang intinya adalah

(38)

a) Pendekatan pengalaman (experience approach), yaitu memberikan

pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman

nilai-nilai keagamaan.

b) Pendekatan pembiasaan (habitual approach), yaitu memberikan

kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran

agamanya agar terwujud sikap dan perbuatan yang baik (akhlakul

karimah).

c) Pendekatan emosional (emotional approach), yaitu usaha untuk

menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini, memahami

dan menghayati akidah Islam serta memberi motivasi agar peserta didik

ikhlas dalam mengamalkan ajaran agamanya, khususnya yang berkaitan

dengan akhlakul karimah.

d) Pendekatan rasional (rational approach), yaitu usaha memberikan peranan

rasio dalam memahami dan menerima ajaran agama Islam.

e) Pendekatan fungsional (functional approach), yaitu menyajikan ajaran

agama Islam dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi

peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat

perkembangannya.

f) Pendekatan keteladanan (modeling approach), yaitu menyuguhkan

keteladanan, baik yang langsung melalui penciptaan kondisi pergaulan

(39)

yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsung melalui

suguhan ilustrasi/ tontonan berupa kisah-kisah keteladanan.

(2) Akhlak mulia peserta didik

Akhlak mulia peserta didik adalah perilaku dan sifat baik yang harus

dimiliki oleh peserta didik, yang sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak mulia.

Akhlak adalah “keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan

perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu)”

(Miskawaih dalam Zahruddin dan Sinaga, 2004: 4). Keadaan ini terbagi dua: ada

yang berasal dari tabiat aslinya, namun ada pula yang diperoleh dari kebiasaan

yang berulang-ulang. Serta tidak menutup kemungkinan pada mulanya

tindakan-tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan kemudian dilakukan terus menerus,

maka jadilah suatu bakat dan akhlak.

Kemudian “akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang

daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan

pertimbangan pikiran (lebih dahulu)” (Al Ghazali dalam Zahruddin dan Sinaga,

2004: 4). Jika keadaan pada jiwa itu melahirkan tindakan-tindakan yang baik

menurut akal dan agama, keadaan itu disebut sumber akhlak yang baik. Akan

tetapi, jika melahirkan tindakan-tindakan yang buruk, keadaan itu disebut sumber

akhlak yang buruk.

Adapun ilmu Akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur

penting sebagai berikut: (1) kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui

(40)

melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagai bagian dari pengembangan

ilmu pengetahuan; (3) psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke

dalam bentuk perbuatan yang konkret (Saebani & Hamid, 2010: 16).

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Fokus penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran Pendidikan

Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA. Berdasarkan

hal itu, manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

a) Memberikan masukan khususnya bagi guru mata pelajaran rumpun PAI dan

hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam

mengembangkan model pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan

Agama Islam di MDA.

b) Menjadi masukan bagi pihak pembuat kebijakan pendidikan (Kepala MDA,

Kepala Kantor Kemenag, Kanwil Kemenag dan Kemenag), bahwa hasil

penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam

menetapkan bentuk implementasi kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran

rumpun Pendidikan Agama Islam di MDA.

c) Bahan pertimbangan bagi pihak pengembang kurikulum (lembaga atau

(41)

pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI di MDA.

d) Menjadi acuan bagi para peneliti lanjutan yang berkenaan dengan

implementasi kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan

Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA.

2. Manfaat Teoretis

Dari penelitian ini dapat ditemukan sejumlah dalil atau kaidah khususnya

yang berkenaan dengan pengembangan model pembelajaran mata pelajaran

rumpun Pendidikan Agama Islam, yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta

didik di MDA. Munculnya kaidah tersebut dapat dilihat dari perspektif teori

kurikulum, teori pembelajaran, teori pendidikan agama Islam dan akhlak mulia

serta interaksi antar individu dalam proses pembelajaran. Selanjutnya kaidah

tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam studi yang berkaitan

dengan upaya untuk menghasilkan suatu teori baru sesuai dengan

karakteristik-karakteristik lapangan.

Manfaat teoretis lainnya adalah bahwa dalil atau kaidah yang dirumuskan

berdasarkan temuan-temuan penelitian ini, dapat digunakan sebagai dasar untuk

menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena pengembangan model

pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI di MDA, yang tidak menutup

(42)

mengantisipasi terjadinya pengembangan model pembelajaran dan implementasi

(43)

BAB III

METODE PENELITIAN

Bab ini berisi uraian tentang Metode Penelitian, Prosedur Penelitian,

Subjek dan Lokasi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis

Data,

A. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu produk berupa

model pembelajaran untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik pada mata

pelajaran Pendidikan Agama Islam Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) kelas 3

di Kabupaten Pandeglang.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, diperlukan berbagai informasi dan

data-data sebagai bahan analisa dari objek yang diteliti, baik informasi dan data

internal maupun eksternal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian dan pengembangan (Research and Development) atau R&D

berdasarkan pendapat Borg dan Gall (1979 : 624). Penelitian pengembangan

dipakai sebagai pendekatan mengingat tujuan penelitian ini adalah untuk

mengembangkan model pembelajaran. R&D adalah penelitian yang menekankan

(44)

menyempurnakan produk model pembelajaran yang telah ada. Penelitian ini

secara spesifik digolongkan ke dalam jenis penelitian pengembangan program

pengajaran (developing of instruction program). Sugiyono (2008 : 407)

berpendapat bahwa siklus penelitian dan pengembangan meliputi studi hasil –

hasil penelitian itu sendiri untuk mengembangkan produk tersebut berdasarkan

temuan lapangan.

B. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian pengembangan ini prosedur yang akan digunakan

berpedoman pada langkah-langkah menurut Borg dan Gall (1979 : 626) yang

mengemukakan 10 langkah, yaitu:

1) Research and information collecting (penelitian dan pengambilan informasi)

termasuk didalamnya review literature, observasi kelas, dan persiapan laporan.

Review literature yang dilakukan untuk menentukan wilayah pengetahuan

mana penelitian dilakukan, sehingga dapat menunjang pengembangan model

pembelajaran.

2) Planning (perencanaan), kegiatan didalamnya adalah merencanakan desain

pembelajaran, menetapkan tujuan, menetapkan urutan pelajaran yang

dilakukan, uji kelaikan dalam skala kecil tentang model pembelajaran yang

(45)

3) Develop preliminary form of product (mengembangkan bentuk model awal).

Tahapan ini adalah mempersiapkan materi pelajaran, buku yang akan

digunakan, media dan evaluasi. Mengembangkan bentuk awal model yang

dimaksud adalah menyusun model pembelajaran PAI integrated-tematik.

4) Preliminary field testing (uji coba model awal terbatas). Kegiatan yang

dilakukan hanya di 1 MDA dengan subjek dan kelas tertentu.

5) Main product revision (perbaikan terhadap model awal hasil uji coba).

Perbaikan dilakukan berdasarkan temuan, saran, dan dari hasil uji coba

terbatas.

6) Main field testing (uji coba model yang sudah diperbaiki secara lebih luas).

Uji coba lebih luas melibatkan 3 MDAyang semuanya berada di Kabupaten

Pandeglang.

7) Operasional product revision (revisi produk operasional, yaitu merevisi

kembali model pembelajaran berdasarkan hasil uji coba secara luas. Tahap ini

dilakukan bekerjasama dengan guru mata pelajaran rumpun PAI MDA untuk

menghasilkan model pembelajaran integrated-tematik yang ideal.

8) Operasional field testing (melakukan pengujian lapangan operasional) yaitu

uji coba model secara lebih banyak melibatkan sekolah dan subjek. Langkah

ini mengumpulkan data angket, observasi, dan hasil wawancara untuk

(46)

9) Final product revision (revisi produk akhir). Perbaikan model akhir dilakukan

berdasarkan hasil uji coba model lebih luas sehingga di dapat produk model

pembelajaran yang baru.

10)Dessimination and distribution (penyebaran dan distribusi produk baru).

Tahap ini untuk memonitoring sebagai control terhadap kualitas model.

Dari 10 langkah research and development yang dikembangkan oleh Borg

dan Gall diatas, hanya 7 langkah yang diadaptasikan pada penelitian ini, yakni

langkah ke 1 sampai dengan langkah ke 7. Ke tujuh langkah tersebut di

sederhanakan menjadi 3 langkah pokok yang sudah di modifikasi, yaitu : (1) studi

awal; (2) perencanaan dan pengembangan model; (3) pengujian model

(Sukmadinata, 2008 : 189), dengan uraian sebagai berikut :

Pertama, studi pendahuluan (pre survey). Pada tahap studi pendahuluan

ini peneliti melakukan persiapan untuk pengembangan sebuah model

pembelajaran. Ketiga tahap yang dimaksud adalah ;

a) Tahap studi kepustakaan. Pada tahapan ini, peneliti melakukan kajian untuk

menelaah konsep dan teori yang berkenaan model pembelajaran PAI dengan

berbagai pendekatannya, karakteristik pengajaran PAI dan karakteristik

peserta didik Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA). Konsep dan teori

tersebut dikaji melalui buku, hasil penelitian, artikel, makalah, dan

sumber-sumber lainnya yang berkaitan.

b) Tahap survei lapangan. Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan data

(47)

Fokus utama dalam survey ini adalah bagaimana pengembangan diri guru

PAI, bagaimana desain dan implementasi pembelajaran PAI saat ini,

bagaimana pemahaman dan minat belajar peserta didik terhadap mata

pelajaran PAI, bagaimana kemampuan dan kinerja guru PAI dan pemanfaatan

berbagai sumber belajar yang mendukung peningkatan pemahaman

(understanding) dan minat belajar peserta didik dalam mata pelajaran PAI.

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, studi dokumen,

pengamatan dan angket.

Kedua, perencanaan dan pengembangan model pembelajaran, pada tahap

ini hal yang peneliti lakukan adalah :

a) Tahap penyusunan draft pengembangan. Berangkat dari hasil survey dan studi

kepustakaan tersebut, maka peneliti melakukan penyusunan draft

pengembangan. Hasil yang peneliti harapkan dari tahap ini adalah tersusunnya

sebuah draft model pengembangan yang berisikan model pembelajaran PAI

yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta didik kelas 3 Madrasah

Diniyah Awwaliyah (MDA) dalam mata pelajaran PAI.

b) Draf model ini kemudian direview dalam sebuah pertemuan dengan para ahli

dalam bidang yang akan dikembangkan dalam hal ini para promotor. Hasil

review ini kemudian dijadikan dasar untuk melakukan penyempurnaan draft

model yang siap untuk diuji cobakan secara terbatas.

Ketiga, pengujian model pembelajaran. Setelah melakukan perbaikan atas

(48)

seminar proposal, maka draft model hasil perbaikan tersebut diuji cobakan. Ada

tiga tahap dalam proses pengembangan model pembelajaran dalam penelitian ini

yaitu tahap uji coba terbatas, tahap uji coba luas, dan tahap uji validasi.

Tahap pertama adalah tahap uji coba terbatas. Pada tahap ini, peneliti hanya

menetapkan satu Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) sebagai subjek penelitian

yaitu Madrasah Diniyah (MDA) Jami’atul Muslimin di Pandeglang. Sebelum uji

coba di mulai, peneliti mengundang para guru mata pelajaran PAI untuk menyusun

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan mengikuti format yang berlaku di

madrasah tetapi skenario pembelajarannya harus mengikuti acuan draft model yang

dikembangkan oleh peneliti. Selama uji coba ini, peneliti melakukan pengamatan,

pencatatan dan pertemuan dengan guru setiap pertemuan selesai. Hasil pencatatan,

pengamatan dan pertemuan tersebut kemudian dijadikan dasar untuk melakukan

perbaikan draft model secara terus menerus hingga ditemukan model yang ideal.

Tahap kedua adalah uji coba luas. Uji coba luas ini peneliti lakukan dengan

melibatkan Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) yang lebih banyak dibanding

dengan uji coba terbatas. Uji coba luas ini juga bertujuan untuk proses

pengembangan model pembelajaran yang diinginkan. Madrasah Diniyah Awwaliyah

(MDA) yang ditetapkan sebagai lokasi uji coba luas tersebut ditentukan dengan

menggunakan purposive sampling, karena dalam penelitian ini semua MDA berstatus

sama atau belum ada MDA yang telah terakreditasi.

Tahap ketiga adalah Uji validasi. Pada tahap ini, peneliti melakukan

(49)

pembelajaran PAI untuk meningkatkan akhlak mulia bagi peserta didik kelas 3

Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) di Kabupaten Pandeglang.

Setelah dilakukan uji validasi yang menghasilkan produk baru yang dapat

dipraktikkan pada madrasah dengan level yang sama, langkah disseminasi tidak

perlu dilakukan dalam penelitian ini, karena langkah ini tidak menjadi tujuan

dalam penelitian ini.

Atas dasar langkah-langkah yang dikembangkan oleh Borg and Gall,

berdasarkan hasil studi pendahuluan (langkah 1) kemudian disusun suatu

perencanaan (langkah 2) dan uji kemungkinan dalam skala kecil. Langkah

berikutnya adalah pengembangan produk (langkah 3). Hasilnya diuji coba dan

dilakukan revisi sampai mendapat hasil yang sesuai dengan tujuan yang

diinginkan (langkah 4 dan 5).

Dalam pelaksanaan penelitian ini akan dibatasi hanya sampai dengan

langkah tujuh (7) yaitu dihasilkannya model setelah mengalami dua kali uji

lapangan (langkah 4 dan langkah 6). Untuk lebih jelasnya prosedur penelitian

pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan akhlak mulia peserta

didik kelas 3 MDA di Kabupaten Pandeglang digambarkan pada bagan 3.1.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan peserta didik MDA yang

berada di wilayah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Dipilihnya Kabupaten

Gambar

Tabel 3.1. Peserta Didik pada Penelitian Awal
Tabel 3.4. Guru sebagai Subjek Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu buah renungan Sjafruddin ialah harapannya akan sebuah tatanan ideal yang tidak bersifat utopia seperti digagas para sosialis utopian. Bagi Sjafruddin, arah

2.1 Menyimpulkan bahwa Firman Tian adalah karunia Tian yang wajib dijalani oleh setiap manusia Perilaku Jun Zi. Menerapkan kewajiban manusia

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi - Pendapatan komprehensif lain tahun berjalan - net pajak penghasilan terkait -. (319,219)

5 Saya merasa malas ketika mengerjakan skripsi, meskipun pada awalnya mempunyai niat yang tinggi. SS S TS

Organisasi perpustakaan menurut Indri Hendriyani dalam artikelnya yang berjudul ”organisasi perpustakaan” adalah himpunan orang-orang yang bekerja sama untuk mencapai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran cooperative script terhadap peningkatan prestasi belajar IPS tunanetra kelas VIII A di SLB A

[r]

Lebih lanjut, Grotberg (1979) mengemukakan bahwa tugas orangtua (Parental Role) dalam hubungannya dengan proses pendidikan anak adalah memberikan stimulasi edukasi (educational