PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK
MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK
PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH
AWWALIYAH (MDA)
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan
dalam Bidang Pengembangan Kurikulum
Promovendus
HJ. NUR DEWI AFIFAH
NIM 0800847
PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN KURIKULUM
SEKOLAH PASCASARJANA
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI
Promotor Merangkap Ketua,
Prof. Dr. H. Ishak Abdulhak, M.Pd.
Ko-Promotor Merangkap Sekertaris,
Prof. Dr. H. As’ari Djohar, M.Pd.
Anggota,
Prof. Dr. Hj Mulyani Sumantri, M.Sc
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pengembangan Kurikulum
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN UNTUK
MENINGKATKAN AKHLAK MULIA PESERTA DIDIK
PADA MATA PELAJARAN PAI MADRASAH DINIYAH
AWWALIYAH (MDA)
Oleh :
HJ. NUR DEWI AFIFAH
Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Pengembangan Kurikulum Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan
Indonesia
©
HJ
. NUR DEWI AFIFAH 2013Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,
ABSTRAK
Afifah, Nur Dewi. (2013). 0800847. Pengembangan Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Akhlak Mulia Peserta Didik pada Mata Pelajaran PAI Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA), Disertasi. Program Studi Pengembangan Kurikulum. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
Kata kunci: akhlak mulia, Pendidikan Agama Islam, pengembangan, Madrasah Diniyah.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya perilaku peserta didik yang belum mencerminkan akhlak mulia. Penelitian ini memanfaatkan teori akhlak mulia, model pembelajaran, prinsip pembelajaran PAI, dan filsafat konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai pijakan teoretisnya. Pendekatan yang digunakan adalah Research and Development yang diadaptasi dari buku Borg and Gall. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dokumentasi, wawancara, angket dan tes. Hasilnya adalah (1) Pertama, intervensi proses pembelajaran berupa rekayasa model pembelajaran merupakan kebutuhan. Hal itu didasarkan pada kelemahan proses pembelajaran, rendahnya kreativitas guru, dan sarana yang tidak mendukung tumbuh kembangnya akhlak mulia peserta didik; (2) model yang dikembangkan adalah model yang valid berdasarkan uji validitas internal dan eksternal (uji luas). Kontennya bersifat integratif, diorganisasikan secara tematis, dan diimplementasikan dalam pembelajaran dengan prinsip plan-do-evaluate; dan (3) model yang dikembangkan efektif meningkatkan pemahaman dan akhlak mulia peserta didik secara signifikan dengan derajat peningkatan sangat baik. Model pembelajaran memiliki implikasi teoretis maupun praktis bagi studi pengembangan kurikulum, yaitu: (a) pembelajaran PAI tidak sekedar mentransfer pengetahuan dan nilai kepada peserta didik, tetapi yang paling penting adalah penguatan akhlak peserta didik; (b) pembelajaran PAI akan efektif jika nilai-nilai ajaran Islam sebagai spirit yang mendasari proses pembelajaran mampu dipadukan dengan penguatan akhlak mulia secara kontekstual; (c) pembelajaran PAI akan efektif jika ada keteladanan yang diberikan guru dalam proses pembelajaran, dan mewariskan nilai-nilai positif melalui keterlibatan aktif peserta didik dalam keseluruhan kegiatan pembelajaran; (d) pembelajaran PAI dengan langkah-langkah: orientasi, aktualisasi, presentasi, verifikasi, dan refleksi, efektif meningkatkan ahklak mulia peserta didik. Direkomendasikan agar kepala madrasah dan guru hendaknya mempertimbangkan penggunaan model ini untuk meningkatkan akhlak dan mengaktifkan peserta didik dalam belajar, demikian pula peneliti lain hendaknya melanjutkan penelitian ini dengan mata pelajaran dan pada jenjang dan kelas yang berbeda, serta cakupan yang lebih luas dengan sampel yang lebih besar. LPTK terutama di PTAI dapat memanfaatkan sebagai model pilihan dalan penguatan akhlak peserta didik.
Afifah, Nur Dewi. (2013). 0800847. Developing Model of Teaching to Increase
Students’ Akhlak at Madrasah Diniyah Awwaliyah in the PAI Lesson. Dissertation, Program Study of Curriculum Development. Indonesia University of Education. Bandung.
Key words: noble character, PAI, developing, Madrasah Diniyah.
This research underpined by the tendency of lack of students’ morality case. This developmental research of model was underline on principles of akhlak, models of teaching, the principles of teaching the PAI lesson, and principles of the constructivism in teaching-learning. Using R&D model adapted from Borg and Gall, the techniques of collecting data were observation, documentation, interview, questionnare and test. The results were (1) intervention learning process by engineering model of teaching is a necessity. This was based on the weakness of the learning process, teachers lack creativity, and facilities that do not support the growth of noble character of students; (2) the model developed was a valid model based on internal and external validity (field evaluation). It was in integrated content, thematically organized, and implemented by plan-do-evaluate princilples; and (3) the model was effective in increasing students’ understanding and effective in enhancing noble character of learners significantly with the degree of improvement was very good. This research has theoretical and practical implications for the study of curriculum development, they were (a) PAI learning not just transferring knowledge and value to students, but the most important is the strengthening of learners’ noble character;(b) PAI learning will be effective where the moral values of Islam as the spirit underlying the learning process is able to be combined with contextual reinforcement of noble character; (c) PAI learning will be effective if teacher was a figure in the learning process, and pass on positive values through the active involvement of learners in the overall learning activities; (d) the PAI learning steps: orientation, actualization, presentations, verification, and reflections, was effective in increasing noble character learners. The prcatical implication were: (a) the teaching - as akhlak as its orientation - will be effective by good planning, (b) the excellent
model shold be followed by the teacher’ skills. Its recomended that: a) headmasters
and teachers should consider continuously using model since this model is able to
DAFTAR ISI
B. Identifikasi, Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 21
D. Definisi Operasional... 21
E. Manfaat Penelitian ... 26
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Agama Islam (PAI) di MDA ... 29
B. Hakikat Akhlak Mulia ... 47
C. Hakikat Belajar Pembelajaran ... 60
D. Model Pembelajaran ... 68
E. Konstruktivisme dalam Pembelajaran ... 86
F. Kerangka Pikir Penelitian ... 113
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 116
B. Prosedur Penelitian ... 117
... C. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 119
D. Teknik Pengumpulan Data ... 125
E. Teknik Analisis Data ... 126
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Pendahuluan ... 129
1. Kondisi Peserta Didik... 130
2. Kondisi Guru ... 138
3. Kondisi Sarana Prasarana ... 160
4. Interpretasi Hasil Studi Pendahuluan ……….. 162
B. Pengembangan Model Pembelajaran ... 164
1. Draf I Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia ... 164
2. Uji Ahli Pembelajaran... 171
3. Draf II Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia ... 174
4. Uji Coba Terbatas ... 180
5. Uji Coba Luas (UjiValidasi) ... 199
C. Efektivitas Model Pembelajaran PAI Meningkatkan Akhlak Mulia .. 239
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 249
1. Kondisi Pembelajaran PAI Saat Penelitian Dimulai ... 249
2. Model Pembelajaran PAI yang Dikembangkan ... 254
3. Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran PAI ... 266
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 270
B. Implikasi ... 274
C. Saran ... 275
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT PENULIS
DAFTAR TABEL
No.Tabel Hal
2.1. Kurikulum MDA dan Wustha ... 37
2.2. Kurikulum Diniyah Ulya ... 37
2.3. Model-model Pembelajaran Rumpun Pemrosesan Informasi ... 75
2.4. Model-model Pembelajaran Personal (Pribadi) ... 76
2.5. Model-model Pembelajaran Interaksi Sosial ... 77
2.6. Model-model Pembelajaran Rumpun Perilaku ... 79
2.7. Prosedur Pembelajaran Terpadu ... 84
3.1. Peserta Didik pada Penelitian Awal ... 123
3.2. Responden sebagai Subjek Penelitian Uji Terbatas ... 123
3.3. Responden sebagai Subjek Penelitian Uji Luas ... 123
3.4. Guru sebagai Subjek Penelitian ... 124
4.1. Tanggapan Responden (peserta Didik) terhadap Desain dan Penerapan Pembelajaran PAI di MDA ... 130
4.2. Kemampuan Peserta Didik MDA Kelas 3 pada Mata Pelajaran PAI ... 133
4.3. Minat Belajar Peserta didik pada mata Pelajaran PAI ... 136
4.4. Latar belakang Pendidikan Responden (Guru) ... 139
4.5. Tujuan Guru Mengajar ... 141
4.6. Harapan Guru terhadap Peserta Didik... 141
4.7. Tugas guru ... 141
4.8. Guru dapat Mengembangkan Kurikulum yang akan Diajarkan ... 142
4. 9. Hal-hal yang dikembangkan Guru Jika belum mampu Mengembangkan Kurikulum ... 143
4. 10. Sikap Guru dalarn Penguasaan Materi ... 143
4. 11. Hal-hal yang Dilakukan Guru Jika Belum Menguasai Materi ... 144
4. 12. Guru Perlu Memperbaiki Cara Mengajar ... 145
4. 13. Kemampuan Guru Mengelola Kelas ... 145
4. 14. Hal-hal yang Dilakukan Guru Jika Belum Mampu Mengelola Kelas ... 146
4.15. Pengalaman Guru Mengajar ... 146
4.16. Hal Paling Penting dalam Pembelajaran PAI... 147
4.17. Pengembangan Rencana Pembelajaran ... 148
4.18. Implementasi Pembelajaran PAI di MDA ... 152
4.19. Penguasaan Guru ... 156
4.20. Kinerja Guru ... 158
4.21. Kelengkapan Sarana dan Prasarana ... 161
4.22. Desain Perencanaan Pembelajaran ... 170
4.23. Desain Implementasi Pembelajaran ... 170
4.24. Desain Evaluasi Pembelajaran ... 171
4.25. Hasil Uji Ahli Pembelajaran ... 172
4.27. Data Uji Coba Terbatas 1 Peserta Didik pada
Kegiatan Berwudhu’ ... 183
4.28. Data Uji Coba Terbatas 2 pada Kegiatan Sholat Sunnah Rawatib ... 186
4.29. Data Peserta Didik Uji Terbatas 3 pada Kegiatan Kebersihan ... 189
4.30. Hasil Pengamatan/Observasi Kegiatan Peserta Didik pada Uji Terbatas Kegiatan Berwudhu', Sholat Sunnah Rawatib, dan Kebersihan ... 196
4.31. Uji Coba Luas 1 Pada Kegiatan Berwudhu' di MDA MII Cidangiang ... 199
4.32. Uji Coba Luas 2 tentang Kegiatan Sholat Sunnah Rawatib di MDA MII Cidangiang ... 201
4.33. Uji Coba Luas 3 tentang kebersihan di MDA MII Cidangiang ... 203
4.34. Uji Luas 1-3 Peserta Didik tentang Sikap Peserta Didik pada Pelaksanaan Berwudhu', Sholat Sunnah, dan Menjaga Kebersihan di MDA MII Cidangiang ... 206
4.35. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban 'Ya ... 207
4.36. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, 3 pada Jawaban ‘Kadang-kadang’ ... 207
4. 37. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 208
4.38. Uji Coba Luas 1 Pada Kegiatan Berwudhu' di MDA Al-Mubtadin ... 208
4. 39. Uji Coba Luas 2 Pada Kegiatan Sholat sunnah Rawatib di MDA Al-Mubtadin ... 211
4.40. Uji Coba Luas 3 Pada Kegiatan Kebersihan di MDA Al-Mubtadin ... 213
4.41. Pelaksanaan Berwudhu', Sholat Sunnah Rawatib, dan Menjaga Kebersihan di MDA Al-Mubtadin ... 215
4.42. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Ya’ ... 216
4.43. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Kadang-kadang’ ... 216
4.51. Perbandingan Hasil Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 225
Anwar Sepan ... 228
4.54. Kegiatan Kebersihan di MDA Masyariqul Anwar Sepan ... 230
4.55. Akumulasi Respon pada Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada. MDA Masyariqul Anwar Sepan ... 231
4.56. Perbandingan Hasit Uji Coba Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Ya’ ... 232
4.57. Perbandingan Hasil Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban. ‘Kadang-kadang’ ... 232
4.58. Perbandingan Hasil Uji Coba. Luas 1, 2, dan 3 pada Jawaban ‘Tidak Pernah’ ... 233
4.59. Rata-rata Skor Uji 1 dan Uji 2 ... 240
4.60. Perbedaan Uji rata-rata Skor uji 1 dan Uji 2 ... 241
4.61. Rata-rata skor Uji 2 dan Uji 3 ... 241
4.62. Perbedaan Uji rata-rata Uji 2 dan Uji 3 ... 241
4.63. Pengamatan 1 Peningkatan Akhlak Mulia ... 244
4.64. Pengamatan 2 Peningkatan Akhlak Mulia ... 246
4.65. Tabel Konversi Peningkatan Akhlak Mulia ... 268
No. Gambar Hal
2.1. Kerangka Teoretis Penelitian ... 28
2.2. Kerangka Terminologis Pendidikan ... 30
2.3. Konten dan Arah Pendidikan Islam ... 34
2.4. Akhlak, Etika, Moral dan Relevansinya ... 54
2.5. Hubungan Teaching, Learning, dan Instruction ... 65
2.6. Prosedur Pembelajaran CTL ... 88
2.7. Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan REACT ... 96
2.8. Pelaksanaan Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual ... 98
2.9. Kerangka Pikir Penelitian ... 115
4.1. Draft Awal Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 165
4.2. Desain Awal Perencanaan Pembelajaran ... 166
4.3. Desain Awal (Draft I) Implementasi Pembelajaran ... 167
4.4. Desain awal (Draft I) Kegiatan Evaluasi ... 169
4.5. Draft II Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 175
4.6. Draft III Model Pembelajaran Meningkatkan Akhlak Mulia ... 177
4.7. Model Akhir Model Pembelajaran Yang Dikembangkan ... 264
DAFTAR GRAFIK
No. Grafik Hal
4.1. Tanggapan Responden (Peserta Didik) terhadap
Desain dan Penerapan Pembelajaran PAI ... 132
4.2. Tanggapan Responden (Peserta Didik) terhadap Kemampuan Responden ... 135
4.3. Minat Belajar Peserta Didik pada Mata Pelajaran PAI kelas 3 MDA ... 137
4.4. Pengembangan Rencana Pembelajaran ... 150
4.5. Implementasi Pembelajaran PAI di MDA ... 155
4.6. Penguasaan Guru ... 157
4.7. Kinerja Guru ... 160
4.8. Respon Guru terhadap Sarana dan Prasarana ... 162
4.9. Penilaian Hasil Pengamatan 1 ... 246
BAB I
PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan ini membahas tentang latar belakang penelitian,
identifikasi masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
definisi operasional, dan manfaat penelitian.
A. Latar Belakang Penelitian
Pendidikan merupakan cita-cita kemanusiaan dan idealisme kemanusiaan.
Hal itu karena pendidikan adalah aspek insani yang paling urgen dalam
membentuk pribadi ahsanu taqwim yang beradab dan berbudaya. Melalui
pendidikan, kepribadian seseorang ditempa, dibentuk dan diarahkan sehingga
dapat mencapai derajat kemanusiaan sebagai makhluk berbudaya. Pendidikan
diupayakan tidak hanya sekadar aktivitas transfer ilmu pengetahuan dan
keterampilan (transfer of knowledge and skill) semata, namun lebih dari itu adalah
transmisi perilaku (transmission of attitude). Bahkan yang terpenting adalah
transmisi nilai/akhlak (transmission of value).
Fungsi utama pendidikan tidak lain adalah menyiapkan manusia untuk
menjadi pribadi, anggota masyarakat, dan warga negara yang baik. Dimensinya
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 2, Pasal 3 disebutkan
bahwa “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Fungsi dan tujuan pendidikan tersebut di atas dipertegas dengan orientasi
pendidikan nasional yakni “… untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa” sebagaimana tercantum pada pasal 31 ayat 3. Pasal ini
menekankan dan mengingatkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa
kecerdasan harus didasari oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT serta
akhlak mulia. Pada bagian ini menjelaskan bagaimana pendidikan dilaksanakan
dengan sebuah ketentuan agar terwujud kecerdasan peserta didik yang penuh
keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia.
Cita-cita luhur pendidikan nasional seiring-sejalan dengan kehadiran Islam
sebagai agama. Tujuan utama Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW
untuk rahmatan lil-alamin adalah memperlihatkan kepentingan nilai akhlak atau
moral dalam Islam, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yaitu: “Sesungguhnya
aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (Imam Malik: 132). Oleh
Agama Islam sebagai ad-Diin atau way of life – antara lain – sangat menekankan
kepada pendidikan dan pendidikan akhlak. Bahkan, Tujuan pertama dan utama
pendidikan Islam adalah membangun kepribadian yang memiliki akhlakul
karimah.
Cara pikir di atas mencerminkan bahwa pengarusutamaan pendidikan
akhlak, budi pekerti, atau pendidikan karakter di sekolah adalah keputusan
strategis bahkan merupakan suatu bentuk “mujahadah dan ibadah”. Oleh karena
itu, Pendidikan Agama Islam dan mata pelajaran lain diharapkan mampu
membentuk peserta didik yang berilmu dan berakhlak mulia.
Fenomena yang kasat mata di tengah masyarakat memperlihatkan bahwa
secara umum hasil pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah
umum dewasa ini belum seluruhnya efektif, dan bahkan dinilai gagal. Pendidikan
Agama Islam dinilai masih terkesan berorientasi pada pengajaran agama yang
bersifat kognitif dan hafalan (pembelajaran tentang agama). Pembelajaran yang
kurang berorientasi pada aspek pengamalan ajaran agama. Di antara indikator
yang sering dikemukakan bahwa dalam kehidupan masyarakat kerap dijumpai
kasus tindakan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran agama. Masalah
tersebut memperlihatkan adanya penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran Agama
Islam peserta didik yang belum akomodatif.
Menurut Harun Nasution (dalam Muhaimin, 2007: 91), salah satu penyebab
kegagalan dan kelemahan Pendidikan Agama Islam adalah karena dalam praktik
telah mengabaikan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad
untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan
antara pengetahuan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak
mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral. Padahal inti dari pendidikan agama
adalah pendidikan moral.
Pendidikan termasuk pendidikan agama mendorong ke arah perubahan.
Perubahan yang diperoleh peserta didik setelah melalui proses belajar diharapkan
meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku. Pendidikan Agama Islam
diharapkan dapat dipahami dengan baik oleh peserta didik, agar dengan
pemahaman ini peserta didik dapat mengaktualisasikan nilai-nilai agama yang
diperoleh dalam praktek kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, pendidik
diharapkan dapat menyampaikan materi secara komunikatif, edukatif dan
persuasif sehingga tujuan yang diharapkan dapat terpenuhi. Pendidikan Agama
Islam diharapkan memiliki peran penting dalam penanggulangan perilaku yang
kurang baik melalui interaksi edukatif yang dilakukan antara pendidik dan peserta
didik.
Kehadiran PAI di sekolah yang belum dirasakan dampaknya secara berarti,
juga disadari oleh pemerintah. Oleh sebab itu pemerintah melalui peraturan terkait
mengeluarkan kebijakan tentang penguatan pendidikan agama di luar pendidikan
atau sekolah umum ataupun sekolah formal. Hajat besar negara mengatasi
pendidikan agama nonformal yang disebut Madrasah Diniyah yang populer
disebut Madin.
Pembelajaran PAI - di sekolah maupun madrasah, termasuk di dalamnya
Madrasah Diniyah (Madin) meliputi pembelajaran berbagai kompetensi.
Kompetensi tersebut mengarahkan peserta didik agar beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT; berakhlaq mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam
perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah SWT, sesama manusia, dan
alam sekitar; mampu membaca dan memahami Al Qur'an; mampu beribadah dan
bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga kerukunan intern dan
antar umat beragama (sumber: Kompetensi Mata Pelajaran PAI Sekolah Dasar).
Pemerintah tampaknya berharap banyak dengan adanya Madin. Apalagi
dalam sejarahnya, tumbuh-kembangnya Madin ini dilatarbelakangi oleh keresahan
sebagian orang tua peserta didik (baca: wali murid), yang merasakan pendidikan
agama di sekolah umum kurang memadai mengantarkan anaknya untuk dapat
melaksanakan ajaran agama Islam sesuai dengan yang diharapkan. Berangkat dari
kebutuhan dan keresahan masyarakat serta kerisauan pemerintah maka lembaga
seperti Madin inilah tetap harus dikembangkan.
Secara normatif, Madrasah Diniyah merupakan suatu lembaga pendidikan
yang mempunyai ciri khusus pendidikan keislaman. Fungsinya untuk menambah
pendidikan agama bagi peserta didik sekolah umum. Saat ini keberadaan
Madrasah Diniyah telah diakomodasi oleh UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003,
pemerintah dan masyarakat. Secara kuantitatif keberadaan Madrasah Diniyah
semakin hari semakin meningkat jumlahnya namun secara kualitatif proses
pendidikan berjalan seadanya. Karena itu, perlu ada „pemikiran besar‟ sekaligus
diimplementasikan dalam bentuk action sehingga Madrasah Diniyah akan terus
berkembang dan meningkat kualitasnya.
Pada awalnya penyelenggaraan pendidikan diniyah ini berjalan secara
tradisional. Metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah
halaqah yaitu seorang guru menerangkan ilmu-ilmu agama sambil duduk di
lantai, dikelilingi oleh peserta didik yang mengitarinya. Di Aceh pendidikan itu
disebut dayah atau munasah, sedangkan di Sumatera Selatan disebut langgar.
Dalam pertumbuhannya, metode yang digunakan mengalami
perkembangan, pengajaran mulai diorganisasikan dengan sistem klasikal, materi
yang diajarkan tidak lagi sekadar membaca Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu dasar
agama, akan tetapi meliputi pula ilmu-ilmu keIslaman lainnya. Sistem klasikal ini
mulai dilaksanakan sekitar pertengahan abad ke 19 sejalan dengan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Belanda. Sistem ini kemudian dalam sejarah
pendidikan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan
pendidikan di tanah air termasuk pendidikan Islam, seperti bergesernya sistem
halaqoh. Pendidikan keagamaan semacam itu oleh Charles Michael Stanton
(dalam Muhaimin, 2009: 124) digolongkan sebagai pendidikan keagamaan
eksklusif, yakni lembaga pendidikan keagamaan yang tertutup terhadap
Madrasah Diniyah dari awal pertumbuhannya hingga saat ini terus
mengalami peningkatan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Lembaga Islam
tahun 2000-2003 jumlah Madrasah Diniyah mencapai 37.600 buah, dengan
jumlah peserta didik 2.173.012 orang berada di lingkungan pesantren. Adapun
perinciannya adalah: tingkat Awwaliyah berjumlah 18.629 buah dengan jumlah
peserta didik 1.244.491, tingkat wustha berjumlah 11.649 buah dengan jumlah
peserta didik 626.005 orang dan tingkat ulya berjumlah 7.322 buah dengan jumlah
peserta didik 302.506. Adapun Madrasah Diniyah di luar pesantren berjumlah
15.577 buah, yang terdiri dari suplemen (tambahan) 3.478 buah, komplemen
(pelengkap) 2.678 buah dan independen 9.473 buah.
Begitu pentingnya peran Madrasah Diniyah, beberapa pemerintah daerah
mengeluarkan regulasi khusus yang mengatur pelaksanaan Madrasah Diniyah di
masing-masing daerah. Di Kab. Bogor misalnya, Pemda mengeluarkan Peraturan
Daerah no. 11 Tahun 2010 tentang Pendidikan Diniyah Takmiliyah. Kab.
Sukabumi, untuk mendukung program nasional tersebut dibuat regulasi yang lebih
rinci berupa (1) Peraturan Daerah 8 Tahun 2009 tentang Wajib Belajar Pendidikan
Keagamaan, (2) Peraturan Bupati 6 Tahun 2006 Program Wajib Belajar
Pendidikan Keagamaan sebagai bagian dari Program Wajib Belajar Pendidikan
Dasar, (3) Peraturan Bupati 7 Tahun 2006 Pedoman Akreditasi Madrasah
Diniyah, (4) Peraturan Bupati 30 Tahun 2007 tentang Kurikulum Madrasah
Diniyah Awwaliyah di Kabupaten Sukabumi. Kab. Cianjur menerapkan Peraturan
Di provinsi Banten, salah satunya di Kabupaten Pandeglang regulasi yang
mengatur Madrasah Diniyah juga telah dilaksanakan. Sejak Peraturan Daerah No.
1 tentang wajib sekolah madrasah (diniyah) ditetapkan pada tahun 2006, jumlah
madrasah di Kabupaten Pandeglang semakin bertambah. Dari sekitar 946
madrasah, jumlah itu meningkat menjadi sekitar 1.500 madrasah pada tahun 2007.
Peningkatan jumlah madrasah mencapai sekitar 60 persen (Kompas, 11-4-2007).
Otonomi daerah yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, menjadikan pemerintah daerah berupaya menggali dan mengelola
berbagai potensi yang ada di daerahnya pada berbagai sektor, termasuk sektor
pendidikan agama. Upaya ini sesuai dengan tujuan pemerintah daerah yaitu
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang beriman dan bertaqwa.
Untuk meraih upaya tersebut pula, Pemerintah Daerah Kabupaten Pandeglang
membuat kebijakan berupa penetapan Wajib Belajar Madrasah Diniyah
Awwaliyah (selanjutnya disingkat MDA) selama 4 tahun bagi anak mulai usia 8
tahun.
Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Wajib Belajar MDA, dan Peraturan Bupati Pandeglang
Nomor 1 Tahun 2008, tentang Petunjuk Pelaksanaan Program Wajib Belajar
MDA, maka pemerintah daerah mewajibkan anak usia 8-12 tahun yang duduk di
bangku kelas III sampai kelas VI sekolah dasar, untuk mengikuti kegiatan belajar
di MDA selama 4 tahun. Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana tersebut di atas,
wajib mengupayakan penyelenggaraan pendidikan MDA agar dapat terlaksana
dengan optimal sehingga dapat diwujudkan generasi penerus bangsa yang
beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.
Pelaksanaan kegiatan belajar di MDA tersebut berdasarkan Bab VI Pasal 8
Kurikulum MDA. Pasal tersebut menyatakan bahwa kurikulum tersebut
merupakan pedoman dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan
penyelenggaraan pendidikan MDA, sedangkan Pasal 9 menjadi dasar bagi struktur
program pembelajaran, yang memuat kurikulum pokok, yaitu: (1) Al-Qur‟an; (2)
Hadits; (3) Aqidah Akhlak; (4) Fiqih; (5) Sejarah Kebudayaan Islam; (6) Bahasa
Arab; (7) Praktik Ibadah.
Kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di MDA
dirancang untuk mengantarkan peserta didik kepada peningkatan keimanan dan
ketakwaan kepada Allah SWT serta pembentukan akhlak yang mulia. Keimanan
dan ketakwaan serta kemuliaan akhlak yang tertuang dalam tujuan akan dapat
dicapai dengan terlebih dahulu jika peserta didik memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang utuh dan benar terhadap ajaran Agama Islam, sehingga dapat
terinternalisasi dalam penghayatan dan kesadaran untuk melaksanakannya dengan
benar. Dengan demikian rancangan kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran
PAI di MDA seharusnya dapat menghantarkan peserta didik kepada pengetahuan
dan pemahaman yang utuh dan seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan
tentang Agama Islam, kemampuan melaksanakan ajarannya serta pengembangan
Dalam pelaksanaannya, MDA tidak luput dari berbagai problem
sebagaimana problem madrasah pada umumnya. Arif Rahman (2003: 199-200)
mengungkapkan kriteria problematika pendidikan termasuk madrasah di
Indonesia adalah peserta didik hanya sebagai pelaku pasif pendidikan, proses
pendidikan berubah menjadi proses pengajaran dan materi pendidikan dan
buku-buku pelajaran ditulis dengan cara dan metode yang miskin akan upaya-upaya
untuk menyeimbangkan faktor praktek dan teori, faktor ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta iman dan taqwa.
Senada dengan Arif Rahman, Tilaar (1999: 30-51) juga mengungkapkan
beberapa kriteria problematika pendidikan termasuk Madrasah Diniyah di
Indonesia yaitu kualitas guru masih rendah dan masih terdapat salah kamar atau
salah pegang (mismatch) mata pelajaran, inputnya rendah, sarana dan prasarana
kurang memadai, kurikulum yang digunakan tidak relevan dengan kebutuhan dan
bebannya terlalu berat, dan dalam proses belajar mengajar, peserta didik untuk
kurikulum, bukan kurikulum untuk peserta didik, sehingga beban terlalu berat,
pencapaian target dan terkesan adanya pemaksaan.
Fadjar (1998: 37) menandaskan bahwa sebenarnya problem aktual yang
dihadapi madrasah dewasa ini adalah adanya perkembangan kebutuhan
masyarakat terhadap layanan pendidikan serta perkembangan dunia pendidikan
lainnya dan adanya tuntutan agar madrasah mampu mengembangkan kemampuan
anak didiknya agar dapat memiliki dua kompetensi sekaligus, yaitu kompetensi
iman dan takwa kepada Allah (IMTAQ). Dengan dua kompetensi tersebut,
diharapkan madrasah dapat mempersiapkan peserta didik untuk dapat mengikuti
jenjang pendidikan yang lebih tinggi sekaligus dapat bersaing dengan
sekolah-sekolah lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa output madrasah
masih dianggap kurang berkualitas dan belum mampu bersaing dengan
sekolah-sekolah umum lainnya.
Jika madrasah sebagai sistem memiliki berbagai problem yang harus
ditemukan solusi pemecahannya, maka pembelajaran Pendidikan Agama Islam
sebagai bagian dari sistem madrasah juga menghadapi sejumlah persoalan. Salah
satu persoalan yang dikemukakan oleh Rasdiyanah adalah pembelajaran agama
Islam berorientasi pada kemampuan membaca teks, bukan pada upaya
internalisasi ajaran agama sehingga dapat menjadi karakter peserta didik
(Muhaimin, 2009: 25).
Temuan penelitian di atas juga di dukung hasil observasi dan pengalaman
empiric peneliti di berbagai MDA di Kabupaten Pandeglang, bahwa secara umum
pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam di MDA belum maksimal.
Hal itu terjadi karena berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah faktor guru.
Guru umumnya merupakan guru kelas yang mengajarkan berbagai mata pelajaran
rumpun Pendidikan Agama Islam, sehingga guru dituntut untuk menguasai
seluruh bidang keilmuan yang diajarkan, dan mampu mengajarkannya dengan
baik. Rumpun mata pelajaran pembelajaran PAI disampaikan secara terpisah,
yang saling terkait (satu rumpun). Selain itu bentuk evaluasi yang dilakukan oleh
guru berbentuk ulangan formatif dan ulangan sumatif dengan penilaian yang
parsial (terpisah-pisah). Aspek yang dinilai lebih menekankan pada aspek kognisi
dengan menggunakan jenis penilaian tes objektif. Pelaksanaan pembelajaran PAI
tidak diiringi dengan praktik (contoh), begitu pula tidak dilakukannya evaluasi
dalam bentuk praktik. Guru pun masih kurang mampu mengelola kegiatan
pembelajaran PAI di kelas karena jumlah peserta didik yang terkadang melebihi
jumlah ideal dalam satu kelas (40 peserta didik).
Berangkat dari persoalan di atas, maka perlu adanya pembelajaran PAI
yang tidak saja menekankan aspek pengetahuan (kognitif), tetapi yang lebih
penting adalah pembelajaran PAI yang mampu memberikan bimbingan secara
intensif tentang aspek psikomotorik dan afektif para peserta didik. Ketiga aspek
tersebut harus berjalan secara berimbang. Pada aspek kognitif nilai-nilai ajaran
agama diharapkan dapat mendorong peserta didik untuk mengembangkan
kemampuan intelektualnya secara optimal. Dengan penguatan aspek afektif
diharapkan nilai-nilai ajaran agama dapat memperteguh sikap dan perilaku
keagamaan. Demikian pula aspek psikomotor diharapkan mampu menanamkan
keterikatan dan keterampilan peran keagamaan.
Terkait dengan bentuk-bentuk kemerosotan akhlak yang banyak terjadi
dalam dunia pendidikan itu sendiri diantaranya adalah kesenjangan dan
penyimpangan, seperti tawuran antara pelajar, pornografi dan pornoaksi yang
yang semakin canggih. Pendidikan saat ini seolah hanya mengejar angka
kelulusan dan kurang memperhatikan nilai-nilai agama Islam yang menyentuh
spiritual kaum pelajar. Setiap materi yang diajarkan seolah tidak membekas di hati
dan tidak tercermin dalam tingkah laku mereka. Muncul berbagai perbuatan
memalukan yang jauh dari perilaku akhlak mulia pada masyarakat yang
menjunjung nilai agama dan budaya.
Menurut hasil penelitian BNN (Badan Narkotika Negara) dan UI
(Universitas Indonesia) tentang penyalahgunaan narkoba dalam 33 provinsi tahun
2006-2009 meningkat 1,4 % dengan rincian SLTP 4,2 %, SMA 6,6 %, dan
Mahasiswa 6,0 %. Dalam harian ekonomi neraca per-april 2010, BNN mencatat
prevalensi penyalagunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa meningkat
5,7 % berarti dalam 1 tahun terakhir setiap 100 orang pelajar dan mahasiswa
terdapat 5-6 pemakai. Selain kasus narkoba ada pula kasus yang akhir-akhir ini
menghantui masyarakat khususnya generasi muda yakni pergaulan bebas (seks
bebas) yang ikut melanda para pelajar, Komisi Perlindungan Anak (KPA)
mengungkapkan data bahwa 97% remaja Indonesia pernah menonton dan
mengakses pornografi, 93 % pernah berciuman, 62 % pernah berhubungan badan
serta 21 % remaja telah melakukan aborsi.
Di Jawa Barat tawuran remaja yang menimbulkan korban tercatat pada
enam bulan pertama tahun 2012 tercatat sudah ada 139 kasus dengan menewaskan
12 pelajar. Belum lagi kasus narkoba, freesex, bahkan aborsi. Mirisnya, pelaku
dipastikan menerima berbagai pendidikan setiap harinya (http: //news.detik.com,
Kamis, 04/10/2012). Bagaimanapun, remaja-remaja tersebut adalah output dari
sebuah sistem bernama pendidikan. Mengendarai kendaraan bermotor dengan
kecepatan tinggi (ngebut), keterlibatan perkelahian antar pelajar, termasuk
keinginan untuk tidak mengikuti pelajaran di sekolah (membolos), meninggalkan
rumah tanpa seizin orang tua, dan melakukan coret-coret di dinding, tindakan
kriminal termasuk pemerasan, pencurian serta perusakan gedung adalah
contoh-contoh akhlak peserta didik yang perlu dicermati (Santoso dan Kristianti, 2000:
1).
Dalam konteks yang lebih sempit kasus kenakalan remaja pun berulang
terjadi di Kabupaten Pandeglang. Terdapat tiga orang remaja melakukan
pembantaian kepada seorang siswa SMP hanya dengan motif pencurian (Radar
Banten, 2011). Begitu pula dengan kasus asusila yang dilakukan oleh peserta
didik tingkat pendidikan dasar terhadap teman perempuannya, dan dalam kasus
lain dilakukan terhadap anak perempuan yang masih dibawah umur, mencoreng
kota Pandeglang yang terkenal dengan sebutan “sejuta santri seribu ulama‟”
(BantenNews.com, 2012).
Temuan Salamah (2004), menegaskan bahwa pelaksanaan PAI di sekolah
yang cenderung hanya memperhatikan aspek kognitif dan mengabaikan aspek
afektif dan konatif volutif, yaitu kemauan dan tekad untuk mengamal nilai-nilai
ajaran agama sehingga dapat membentuk siswa yang berakhlak mulia. Gojwan
menunjukkan hasil yang kurang memuaskan, baik dalam proses maupun hasil
pembelajaran siswa. Ada beberapa hal yang dicatatnya sebagai kendala, di
antaranya: (1) rendahnya motivasi belajar siswa pada pembelajaran PAI; (2)
materi pembelajaran PAI masih berorientasi pada kemampuan kognitif dan
kurang dalam pembentukan sikap (afektif) serta pembiasaan (psikomotorik); (3)
terbatasnya sikap dan pemahaman guru agama dalam pengembangan pendekatan
pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student centered), sehingga
pembelajaran masih berjalan secara konvensional; dan (4) terbatasnya sarana dan
prasarana penunjang belajar.
Mengacu pada berbagai fakta dan data di atas, kondisi ini
mengindikasikan bahwa pendidikan Agama di Indonesia belum maksimal bahkan
cenderung tidak berhasil. Kegagalan tersebut nampak pada perwujudan sebagian
perilaku peserta didik atau sekelompok peserta didik yang belum mengamalkan
nilai-nilai akhlak mulia dan cenderung memiliki aklak yang buruk atau tercela,
serta jauh dari tuntutan dan tuntunan ajaran Islam. Kemerosotan akhlak sebagian
peserta didik tersebut dapat diamati dari perilaku sehari-hari peserta didik, seperti
tidak jujur ketika ulangan atau ujian, berkata-kata kasar dan jorok, mengumpat,
mencaci maki dengan kata-kata kasar dan tidak sepantasnya, tidak disiplin dalam
berpakaian, dan mengerjakan tugas-tugas sekolah, termasuk dalam pelaksanaan
ibadah sholat dan bertadarus. Tidak/kurang hormat terhadap guru, tidak saling
menghormati dan menghargai dengan sesama teman, juga terhadap orangtua.
melalui pendidikan yang diselenggarakan baik secara formal maupun nonformal,
baik secara perseorangan maupun kelembagaan. Untuk itulah penelitian ini dinilai
relevan.
B. Identifikasi, Perumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian
1. Identifikasi masalah
Penelitian pengembangan ini bertolak dari adanya permasalahan
kemerosotan akhlak yang terjadi pada peserta didik. Banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya kemerosotan akhlak pada peserta didik.
Pertama, pengaruh lingkungan keluarga dan orang tua. Lingkungan
keluarga dan peran orang tua menyumbang persentase yang cukup tinggi sebagai
basis pendidikan pertama yang dapat membentuk perilaku peserta didik agar
memiliki akhlak yang baik serta membentengi peserta didik dari
pengaruh-pengaruh negative diluar rumah.
Kedua, pengaruh lingkungan sekolah dengan berbagai factor yang terkait
didalamnya, termasuk factor guru dan pembelajaran PAI di sekolah. Pembelajaran
PAI yang diharapkan mampu menjadi sumber rujukan bagi penambahan
pemahaman, pelaksanaan ibadah dan pencerminan akhlak peserta didik, dianggap
belum maksimal sehingga hasil yang di dapat belum sepenuhnya berdampak pada
perilaku peserta didik. Berdasarkan hal tersebut, kehadiran Madrasah Diniyah
Awwaliyah (MDA) menjadi salah satu alternative yang diharapkan dapat
materi PAI, mendorong peserta didik agar dapat melaksanakan ibadah dengan
benar, sehingga hasil akhirnya peserta didik memiliki perilaku yang baik
(akhlakul karimah).
Salah satu aspek yang diduga sangat dominan berpengaruh dalam
pelaksanaan pembelajaran PAI adalah model pembelajaran yang spesifik.
Efektifitas model pembelajaran yang digunakan merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas hasil pembelajaran. Oleh karena itu perlu
dikembangkan model pembelajaran dengan cara mengidentifikasi
masalah-masalah yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum mata pelajaran PAI. Hasil
observasi awal peneliti teridentifikasi berbagai persoalan sebagai berikut.
a) Proses pembelajaran kurang menarik dan tidak dikaitkan dengan kehidupan
serta tidak sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna. Perlu dikaji
bagaimana upaya menciptakan suasana belajar sehingga pembelajaran
berlangsung dalam suasana akrab, terbuka, saling menghargai, menerapkan
persamaan kesempatan, menyenangkan, dan memperhatikan keragaman
peserta didik, dan peserta didik mendapat pencerahan akhlak mulia.
b) Hasil pembelajaran mata pelajaran PAI kurang mengembangkan potensi
peserta didik yang holistik dan masih bersifat parsial. Tidak ditemukan
pembelajaran oleh guru yang memungkinkan pengorganisasian dan
pengintegrasiaan komponen kompetensi (knowledge, skills, and attitudes),
c) Pembelajaran mata pelajaran PAI masih bersifat situasional (sesuai dengan
situasi sekolah), dimana proses dan hasil belajar masih belum memberi makna
yang lebih luas. Hasil belajar hanya bermuara pada nilai mata pelajaran yang
diberikan oleh guru.
d) Lingkungan sekolah kurang menantang tanggung jawab dan kurang
memotivasi peserta didik untuk mengalami peran sebagai pribadi yang baik.
Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana pengorganisasian dan pengintegrasian
lingkungan belajar dalam suasana yang mendukung akhlak mulia.
e) Sebagai ciri pembelajaran konvensional, guru masih sangat dominan dan
kurang memberikan peran kepada peserta didik untuk menentukan jalannya
proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran peserta didik berperan semu
karena penentu jalannya proses pembelajaran didominasi oleh guru. Perlu
dilakukan perubahan orientasi pembelajaran dari konvensional ke model
pembelajaran dimana peserta didik diberi peran yang lebih luas dalam proses
pembelajaran agar mereka menangkap makna pembelajaran tersebut sebagai
milik dirinya. Maka perlu dikaji bagaimana mengorganisasikan proses
pembelajaran yang mengaktifkan peserta didik dalam penanaman nilai PAI.
f) Penilaian tertulis dan penilaian hasil akhir merupakan alat evaluasi untuk
melihat pencapaian kompetensi peserta didik. Idealnya, pencapaian
kompetensi harus diukur dengan cara yang bervariasi sesuai dengan kriteria
akhlak mulia yang harus dilakukan untuk memperoleh gambaran hasil belajar
pencapaian kompetensi peserta didik, maka perlu dikaji dan digunakan
teknik-teknik penilaian yang dapat menghasilkan data yang autentik. Hal ini
memudahkan guru dalam mengisi skill pasport sebagai bukti pencapaian
kompetensi peserta didik.
Para guru lebih terbiasa menggunakan pembelajaran yang terpusat pada
guru (teacher centered). Proses belajar berlangsung dengan tanpa
mempertimbangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik. Padahal peserta
didik dengan segala macam potensinya, harus diarahkan untuk mencapai tujuan
mata pelajaran. Pengajar hanya aktif membacakan, menterjemahkan dan
menerangkan materi pelajaran yang diakhiri dengan tugas menghafal ayat-ayat
dan hadis. Dengan kata lain, guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam lebih
dominan menggunakan strategi pembelajaran menghafal (rote learning) dan
jarang sekali menggunakan strategi pembelajaran bermakna (meaningful
learning).
Hasil observasi awal peneliti di atas diperkuat oleh pandangan Muhaimin
(2007: 27; 2001: 24) yang menganggap bahwa titik lemah pendidikan agama
Islam di antaranya adalah “pembelajaran di sekolah, seolah-olah lepas sama sekali
dengan kehidupan sosial masyarakat”. Mata pelajaran PAI seperti Qur‟an Hadits
yang dipelajari misalnya, hanya sekadar dihafal dan belum sampai pada analisis
dan investigasi mendalam dengan melihat kaitannnya langsung dengan kehidupan
Berdasarkan berbagai persoalan tersebut, penulis memandang pentingnya
model pembelajaran yang lebih mengedepankan aspek aktivitas peserta didik
dalam setiap interaksi edukatif untuk melakukan konstruksi dan menemukan
pengetahuannya sendiri. Hal ini karena nilai yang diajarkan dalam rumpun mata
pelajaran PAI adalah religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli, demokratis, santun,
disiplin, bertanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai
keberagaman, patuh pada aturan sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan
kewajiban, serta kerja keras. Maka model pembelajaran yang memungkinkan
untuk dikembangkan adalah model pembelajaran yang menyediakan kesempatan
kepada peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai dan tuntunan agama
dalam kehidupan nyata di bawah bimbingan dan teladan pendidik.
2. Perumusan Masalah
Bersandar pada latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dipaparkan di awal, maka permasalahan kemerosotan akhlak peserta didik
menjadi tanggung jawab bersama yang harus segera dicari pemecahannya.
Lembaga pendidikan baik formal maupun non formal dituntut untuk mampu
memfasilitasi peserta didik agar mendapatkan pembelajaran PAI dengan baik,
sehingga hasilnya dapat terwujud dalam perilaku sehari-hari. Penelitian ini
dibatasi pada pengembangan model pembelajaran PAI di MDA sebagai upaya
Model pembelajaran PAI yang dikembangkan yaitu untuk peserta didik
kelas 3 MDA di wilayah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Model
pembelajaran PAI yang dikembangkan juga dibatasi pada penguatan akhlak
(afeksi) peserta didik sehingga tidak secara khusus menguatkan kognisi peserta
didik. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Model
Pembelajaran yang bagaimana yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta
didik MDA pada mata pelajaran rumpun Pendidikan Agama Islam?
3. Pertanyaan Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pengembangan model pembelajaran PAI
untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA di Kabupaten Pandeglang.
Permasalahan penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian
berikut ini:
1) Bagaimana kondisi pelaksanaan pembelajaran PAI MDA di Kabupaten
Pandeglang pada saat penelitian ini dimulai ?
2) Bagaimana model pembelajaran PAI yang dikembangkan untuk meningkatkan
akhlak mulia peserta didik MDA?
3) Bagaimana efektivitas penerapan model pembelajaran PAI yang
dikembangkan untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA?
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model
pembelajaran adaptif-inovatif dalam pembelajaran mata pelajaran rumpun
Pendidikan Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA di
Kabupaten Pandeglang. Berdasarkan tujuan yang bersifat umum tersebut
dijabarkan beberapa tujuan yang lebih khusus.
(a) Mendeskripsikan kondisi objektif proses pembelajaran mata pelajaran
rumpun PAI di MDA, yang berkaitan dengan desain, kemampuan dan
aktivitas belajar peserta didik MDA, kemampuan dan kinerja guru MDA,
serta kondisi sarana, fasilitas, dan lingkungan MDA.
(b) Menghasilkan suatu model pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI yang
efektif meliputi langkah perencanaan, implementasi dan
langkah-langkah evaluasi dalam setting MDA. Model yang dikembangkan
mempertimbangkan pembelajaran yang relevan dengan peningkatan akhlak
mulia peserta didik.
(c) Mengetahui dan menganalisis efektivitas penerapan model pembelajaran mata
pelajaran rumpun PAI yang dikembangkan di MDA dan efektivitas model
pembelajaran tersebut dalam meningkatkan akhlak mulia peserta didik.
D. Definisi Operasional
Ada dua variabel yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini yakni (1)
model pembelajaran Pendidikan Agama Islam, dan (2) akhlak mulia peserta didik.
semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara
operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna
penelitian.
(1) Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam.
Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah tahapan atau
prosedur pembelajaran berupa kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
yang sistematis dalam mengorganisasikan tujuan pembelajaran. Pendidikan
Agama memiliki muatan ajaran iman (keyakinan), ibadah dan mu‟amalah. Kajian
konten keagamaan menuntut peserta didik untuk menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari. Pengkajian konten keagamaan dibarengi dengan upaya
penanaman dan perasukan nilai-nilai ajaran tersebut sehingga nilai tersebut
membentuk karakter peserta didik. Daradjat, et al., (2001: 172) menyatakan
bahwa “pendidikan agama adalah suatu usaha yang secara sadar dilakukan guru
untuk mempengaruhi peserta didik dalam rangka pembentukan manusia
beragama”. Pemberian pengaruh pendidikan agama disini sebagai salah satu
sarana mendidik peserta didik untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Inti dari materi pendidikan Islam itu adalah Iman (Aqidah), Ibadah, dan
Akhlakul Karimah. Secara mendasar ketiga materi pendidikan tersebut harus
ditanamkan sejak dini kepada anak, misalnya materi pendidikan keimanan dapat
menghantarkan anak untuk mengenali siapa Tuhannya, bagaimana cara bersikap
ini tentu saja untuk mengikat anak dengan dasar iman, rukun Islam dan
dasar-dasar syari‟ah. (Ulwan, 1981: 151). Materi pendidikan Ibadah, yang
membicarakan seluruh tata peribadatan, bila diperkenalkan sejak dini dan sedikit
demi sedikit dibiasakan dalam diri anak, maka kelak mereka akan tumbuh
menjadi insan yang bertakwa dan memiliki jiwa takwa (Mahmud, 2000: 102).
Kaitannya dengan terminologi model, Joyce, et.al. (2009), memberi nama
tiap-tiap pendekatan sebagai model pengajaran, meskipun salah satu dari beberapa
istilah lain, seperti strategi pengajaran, metode pengajaran, atau prinsip
pengajaran, telah digunakan. Istilah model yang dipilih oleh Joyce, et.al., (2009)
digunakan untuk dua alasan penting. Pertama, istilah model mempunyai makna
yang lebih luas daripada suatu strategi, metode, atau prosedur. Istilah model
pengajaran mencakup pendekatan pengajaran yang luas dan menyeluruh. Kedua,
model pengajaran dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi yang penting,
apakah yang dibicarakan adalah tentang mengajar di kelas, atau praktek
mengawasi anak-anak. Model pengajaran sering pula disebut sebagai model
pembelajaran karena interaksinya terjadi dua belah pihak, antara guru dan peserta
didik.
Model pembelajaran Pendidikan Agama Islam didasarkan atas beberapa
pendekatan tertentu dalam pembelajaran agama Islam, yang intinya adalah
a) Pendekatan pengalaman (experience approach), yaitu memberikan
pengalaman keagamaan kepada peserta didik dalam rangka penanaman
nilai-nilai keagamaan.
b) Pendekatan pembiasaan (habitual approach), yaitu memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk senantiasa mengamalkan ajaran
agamanya agar terwujud sikap dan perbuatan yang baik (akhlakul
karimah).
c) Pendekatan emosional (emotional approach), yaitu usaha untuk
menggugah perasaan dan emosi peserta didik dalam meyakini, memahami
dan menghayati akidah Islam serta memberi motivasi agar peserta didik
ikhlas dalam mengamalkan ajaran agamanya, khususnya yang berkaitan
dengan akhlakul karimah.
d) Pendekatan rasional (rational approach), yaitu usaha memberikan peranan
rasio dalam memahami dan menerima ajaran agama Islam.
e) Pendekatan fungsional (functional approach), yaitu menyajikan ajaran
agama Islam dengan menekankan kepada segi kemanfaatannya bagi
peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
f) Pendekatan keteladanan (modeling approach), yaitu menyuguhkan
keteladanan, baik yang langsung melalui penciptaan kondisi pergaulan
yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsung melalui
suguhan ilustrasi/ tontonan berupa kisah-kisah keteladanan.
(2) Akhlak mulia peserta didik
Akhlak mulia peserta didik adalah perilaku dan sifat baik yang harus
dimiliki oleh peserta didik, yang sesuai dengan prinsip-prinsip akhlak mulia.
Akhlak adalah “keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dulu)”
(Miskawaih dalam Zahruddin dan Sinaga, 2004: 4). Keadaan ini terbagi dua: ada
yang berasal dari tabiat aslinya, namun ada pula yang diperoleh dari kebiasaan
yang berulang-ulang. Serta tidak menutup kemungkinan pada mulanya
tindakan-tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan kemudian dilakukan terus menerus,
maka jadilah suatu bakat dan akhlak.
Kemudian “akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan
pertimbangan pikiran (lebih dahulu)” (Al Ghazali dalam Zahruddin dan Sinaga,
2004: 4). Jika keadaan pada jiwa itu melahirkan tindakan-tindakan yang baik
menurut akal dan agama, keadaan itu disebut sumber akhlak yang baik. Akan
tetapi, jika melahirkan tindakan-tindakan yang buruk, keadaan itu disebut sumber
akhlak yang buruk.
Adapun ilmu Akhlak adalah tindakan yang berhubungan dengan tiga unsur
penting sebagai berikut: (1) kognitif, yaitu pengetahuan dasar manusia melalui
melalui upaya menganalisis berbagai kejadian sebagai bagian dari pengembangan
ilmu pengetahuan; (3) psikomotorik, yaitu pelaksanaan pemahaman rasional ke
dalam bentuk perbuatan yang konkret (Saebani & Hamid, 2010: 16).
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Fokus penelitian ini adalah pengembangan model pembelajaran Pendidikan
Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA. Berdasarkan
hal itu, manfaat yang bisa diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.
a) Memberikan masukan khususnya bagi guru mata pelajaran rumpun PAI dan
hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam
mengembangkan model pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan
Agama Islam di MDA.
b) Menjadi masukan bagi pihak pembuat kebijakan pendidikan (Kepala MDA,
Kepala Kantor Kemenag, Kanwil Kemenag dan Kemenag), bahwa hasil
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
menetapkan bentuk implementasi kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran
rumpun Pendidikan Agama Islam di MDA.
c) Bahan pertimbangan bagi pihak pengembang kurikulum (lembaga atau
pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI di MDA.
d) Menjadi acuan bagi para peneliti lanjutan yang berkenaan dengan
implementasi kurikulum dan pembelajaran mata pelajaran rumpun Pendidikan
Agama Islam untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik MDA.
2. Manfaat Teoretis
Dari penelitian ini dapat ditemukan sejumlah dalil atau kaidah khususnya
yang berkenaan dengan pengembangan model pembelajaran mata pelajaran
rumpun Pendidikan Agama Islam, yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta
didik di MDA. Munculnya kaidah tersebut dapat dilihat dari perspektif teori
kurikulum, teori pembelajaran, teori pendidikan agama Islam dan akhlak mulia
serta interaksi antar individu dalam proses pembelajaran. Selanjutnya kaidah
tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu dasar dalam studi yang berkaitan
dengan upaya untuk menghasilkan suatu teori baru sesuai dengan
karakteristik-karakteristik lapangan.
Manfaat teoretis lainnya adalah bahwa dalil atau kaidah yang dirumuskan
berdasarkan temuan-temuan penelitian ini, dapat digunakan sebagai dasar untuk
menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena pengembangan model
pembelajaran mata pelajaran rumpun PAI di MDA, yang tidak menutup
mengantisipasi terjadinya pengembangan model pembelajaran dan implementasi
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini berisi uraian tentang Metode Penelitian, Prosedur Penelitian,
Subjek dan Lokasi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Teknik Analisis
Data,
A. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu produk berupa
model pembelajaran untuk meningkatkan akhlak mulia peserta didik pada mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) kelas 3
di Kabupaten Pandeglang.
Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, diperlukan berbagai informasi dan
data-data sebagai bahan analisa dari objek yang diteliti, baik informasi dan data
internal maupun eksternal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian dan pengembangan (Research and Development) atau R&D
berdasarkan pendapat Borg dan Gall (1979 : 624). Penelitian pengembangan
dipakai sebagai pendekatan mengingat tujuan penelitian ini adalah untuk
mengembangkan model pembelajaran. R&D adalah penelitian yang menekankan
menyempurnakan produk model pembelajaran yang telah ada. Penelitian ini
secara spesifik digolongkan ke dalam jenis penelitian pengembangan program
pengajaran (developing of instruction program). Sugiyono (2008 : 407)
berpendapat bahwa siklus penelitian dan pengembangan meliputi studi hasil –
hasil penelitian itu sendiri untuk mengembangkan produk tersebut berdasarkan
temuan lapangan.
B. Prosedur Penelitian
Dalam penelitian pengembangan ini prosedur yang akan digunakan
berpedoman pada langkah-langkah menurut Borg dan Gall (1979 : 626) yang
mengemukakan 10 langkah, yaitu:
1) Research and information collecting (penelitian dan pengambilan informasi)
termasuk didalamnya review literature, observasi kelas, dan persiapan laporan.
Review literature yang dilakukan untuk menentukan wilayah pengetahuan
mana penelitian dilakukan, sehingga dapat menunjang pengembangan model
pembelajaran.
2) Planning (perencanaan), kegiatan didalamnya adalah merencanakan desain
pembelajaran, menetapkan tujuan, menetapkan urutan pelajaran yang
dilakukan, uji kelaikan dalam skala kecil tentang model pembelajaran yang
3) Develop preliminary form of product (mengembangkan bentuk model awal).
Tahapan ini adalah mempersiapkan materi pelajaran, buku yang akan
digunakan, media dan evaluasi. Mengembangkan bentuk awal model yang
dimaksud adalah menyusun model pembelajaran PAI integrated-tematik.
4) Preliminary field testing (uji coba model awal terbatas). Kegiatan yang
dilakukan hanya di 1 MDA dengan subjek dan kelas tertentu.
5) Main product revision (perbaikan terhadap model awal hasil uji coba).
Perbaikan dilakukan berdasarkan temuan, saran, dan dari hasil uji coba
terbatas.
6) Main field testing (uji coba model yang sudah diperbaiki secara lebih luas).
Uji coba lebih luas melibatkan 3 MDAyang semuanya berada di Kabupaten
Pandeglang.
7) Operasional product revision (revisi produk operasional, yaitu merevisi
kembali model pembelajaran berdasarkan hasil uji coba secara luas. Tahap ini
dilakukan bekerjasama dengan guru mata pelajaran rumpun PAI MDA untuk
menghasilkan model pembelajaran integrated-tematik yang ideal.
8) Operasional field testing (melakukan pengujian lapangan operasional) yaitu
uji coba model secara lebih banyak melibatkan sekolah dan subjek. Langkah
ini mengumpulkan data angket, observasi, dan hasil wawancara untuk
9) Final product revision (revisi produk akhir). Perbaikan model akhir dilakukan
berdasarkan hasil uji coba model lebih luas sehingga di dapat produk model
pembelajaran yang baru.
10)Dessimination and distribution (penyebaran dan distribusi produk baru).
Tahap ini untuk memonitoring sebagai control terhadap kualitas model.
Dari 10 langkah research and development yang dikembangkan oleh Borg
dan Gall diatas, hanya 7 langkah yang diadaptasikan pada penelitian ini, yakni
langkah ke 1 sampai dengan langkah ke 7. Ke tujuh langkah tersebut di
sederhanakan menjadi 3 langkah pokok yang sudah di modifikasi, yaitu : (1) studi
awal; (2) perencanaan dan pengembangan model; (3) pengujian model
(Sukmadinata, 2008 : 189), dengan uraian sebagai berikut :
Pertama, studi pendahuluan (pre survey). Pada tahap studi pendahuluan
ini peneliti melakukan persiapan untuk pengembangan sebuah model
pembelajaran. Ketiga tahap yang dimaksud adalah ;
a) Tahap studi kepustakaan. Pada tahapan ini, peneliti melakukan kajian untuk
menelaah konsep dan teori yang berkenaan model pembelajaran PAI dengan
berbagai pendekatannya, karakteristik pengajaran PAI dan karakteristik
peserta didik Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA). Konsep dan teori
tersebut dikaji melalui buku, hasil penelitian, artikel, makalah, dan
sumber-sumber lainnya yang berkaitan.
b) Tahap survei lapangan. Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan data
Fokus utama dalam survey ini adalah bagaimana pengembangan diri guru
PAI, bagaimana desain dan implementasi pembelajaran PAI saat ini,
bagaimana pemahaman dan minat belajar peserta didik terhadap mata
pelajaran PAI, bagaimana kemampuan dan kinerja guru PAI dan pemanfaatan
berbagai sumber belajar yang mendukung peningkatan pemahaman
(understanding) dan minat belajar peserta didik dalam mata pelajaran PAI.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, studi dokumen,
pengamatan dan angket.
Kedua, perencanaan dan pengembangan model pembelajaran, pada tahap
ini hal yang peneliti lakukan adalah :
a) Tahap penyusunan draft pengembangan. Berangkat dari hasil survey dan studi
kepustakaan tersebut, maka peneliti melakukan penyusunan draft
pengembangan. Hasil yang peneliti harapkan dari tahap ini adalah tersusunnya
sebuah draft model pengembangan yang berisikan model pembelajaran PAI
yang dapat meningkatkan akhlak mulia peserta didik kelas 3 Madrasah
Diniyah Awwaliyah (MDA) dalam mata pelajaran PAI.
b) Draf model ini kemudian direview dalam sebuah pertemuan dengan para ahli
dalam bidang yang akan dikembangkan dalam hal ini para promotor. Hasil
review ini kemudian dijadikan dasar untuk melakukan penyempurnaan draft
model yang siap untuk diuji cobakan secara terbatas.
Ketiga, pengujian model pembelajaran. Setelah melakukan perbaikan atas
seminar proposal, maka draft model hasil perbaikan tersebut diuji cobakan. Ada
tiga tahap dalam proses pengembangan model pembelajaran dalam penelitian ini
yaitu tahap uji coba terbatas, tahap uji coba luas, dan tahap uji validasi.
Tahap pertama adalah tahap uji coba terbatas. Pada tahap ini, peneliti hanya
menetapkan satu Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) sebagai subjek penelitian
yaitu Madrasah Diniyah (MDA) Jami’atul Muslimin di Pandeglang. Sebelum uji
coba di mulai, peneliti mengundang para guru mata pelajaran PAI untuk menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan mengikuti format yang berlaku di
madrasah tetapi skenario pembelajarannya harus mengikuti acuan draft model yang
dikembangkan oleh peneliti. Selama uji coba ini, peneliti melakukan pengamatan,
pencatatan dan pertemuan dengan guru setiap pertemuan selesai. Hasil pencatatan,
pengamatan dan pertemuan tersebut kemudian dijadikan dasar untuk melakukan
perbaikan draft model secara terus menerus hingga ditemukan model yang ideal.
Tahap kedua adalah uji coba luas. Uji coba luas ini peneliti lakukan dengan
melibatkan Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) yang lebih banyak dibanding
dengan uji coba terbatas. Uji coba luas ini juga bertujuan untuk proses
pengembangan model pembelajaran yang diinginkan. Madrasah Diniyah Awwaliyah
(MDA) yang ditetapkan sebagai lokasi uji coba luas tersebut ditentukan dengan
menggunakan purposive sampling, karena dalam penelitian ini semua MDA berstatus
sama atau belum ada MDA yang telah terakreditasi.
Tahap ketiga adalah Uji validasi. Pada tahap ini, peneliti melakukan
pembelajaran PAI untuk meningkatkan akhlak mulia bagi peserta didik kelas 3
Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA) di Kabupaten Pandeglang.
Setelah dilakukan uji validasi yang menghasilkan produk baru yang dapat
dipraktikkan pada madrasah dengan level yang sama, langkah disseminasi tidak
perlu dilakukan dalam penelitian ini, karena langkah ini tidak menjadi tujuan
dalam penelitian ini.
Atas dasar langkah-langkah yang dikembangkan oleh Borg and Gall,
berdasarkan hasil studi pendahuluan (langkah 1) kemudian disusun suatu
perencanaan (langkah 2) dan uji kemungkinan dalam skala kecil. Langkah
berikutnya adalah pengembangan produk (langkah 3). Hasilnya diuji coba dan
dilakukan revisi sampai mendapat hasil yang sesuai dengan tujuan yang
diinginkan (langkah 4 dan 5).
Dalam pelaksanaan penelitian ini akan dibatasi hanya sampai dengan
langkah tujuh (7) yaitu dihasilkannya model setelah mengalami dua kali uji
lapangan (langkah 4 dan langkah 6). Untuk lebih jelasnya prosedur penelitian
pengembangan model pembelajaran untuk meningkatkan akhlak mulia peserta
didik kelas 3 MDA di Kabupaten Pandeglang digambarkan pada bagan 3.1.
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan peserta didik MDA yang
berada di wilayah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. Dipilihnya Kabupaten