• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bandung 1906 - 1970: Studi Tentang Perkembangan Ekonomi Kota.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bandung 1906 - 1970: Studi Tentang Perkembangan Ekonomi Kota."

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh

Reiza D. Dienaputra

Abstract

Bandung, which was built on September 25, 1810, can be said to be one of the relatively old cities in West Java. The development of Bandung as a city became more active soon after it was officially made capital of Priangan Residency based on besluit no. 18 dated August 7, 1964. The fact that Bandung became the capital of Priangan Residency can be said to be the starting point of the early relatively rapid development of economic activities in Bandung. The progress of Bandung as a new economic centre in Priangan was as if given a legalized status when the colonial Dutch government made Bandung a gemeente

in 1906 (staatsblad 1906 no. 121) through the official opening by Governor General J.B. van Heutz on April 1, 1906.

Having been a gemeente, Bandung as a centre of economic activities in Priangan was becoming solid. In the field of transportation, different railways were constructed, and they linked Bandung with the hinterland, especially having potential in the field of plantation, such as Rancaekek-Jatinangor (February 23, 1918), Bandung-Soreang (February 13, 1921), Bandung-Citeureup-Majalaya (March 18, 1921), and Soreang-Ciwidey (June 17, 1924). Apart from opening those new routes, in order to optimalize the railway transportation, new train-stops were also built in Bandung, such as Andir stop and Kiara Condong train-stop, completed in 1925. Along with the construction of the railways, roads was also built. Still in the field of transportation, another spectacular development was the construction of Andir airport. Through this, since 1930, Bandung had given air service to different destinations such as Semarang, Surabaya, Palembang, and Singapore.

Apart from transportation infrastructure, economic activities in Bandung were also marked by the growth of other supporting economic facilities, such as markets, shops, and financial and banking institutions. In order to support the economy of the local people, Vereeniging Himpoenan Soedara was built in 1906. Then two big banks were also built, namely Javasche Bank (1909) and De Eerste Nederlandsche-Indische Spaarkas en Hyphoteekbank (DENIS, 1915). DENIS could be said to be the first saving and hyphoteek bank in the East Indies.

(2)

Foreigners, and local people had made the economic situation in Bandung far from normal. The war economy developed by the Japanese occupation government had resulted in the stopping of developing economic infrastructure and facilities and in the concentration of economic products for the benefit of the Japanese occupation government. The impact of this was a wide variety of economic problems, such as the difficulty in meeting basic necessities and unemployment due to the closing of privately-owned offices and companies. In this situation, one of the local products which developed quite well was the sale of used goods. Used goods markets grew like in Cicadas and Banceuy, adding to the already existed markets, such as Cibeunying and Suniaraja.

In the era of independence, Bandung as the economic centre in Priangan still remained. Yet, the political instability during the liberal democracy and guided democracy eras more or less gave an influence to economic life in Bandung. During this era, economic activities in Bandung could be seen through the nationalization of the Dutch companies in Bandung, such as NHM, NHB Escompto, and NV DENIS. NV DENIS once involved in banking became PT Bank Karya Pembangunan Daerah Jawa Barat legalized by the Notariat Act Noezar No. 152 dated November 19, 1960. Apart from this, the economic activities in Bandung were also influenced by the saneering publicly informed by the government on August 1959. This saneering called “Kebirian Djuanda” also resulted in the decrease of rupiah value which was only 10 % of the nominal value.

Under this condition, it could be said that the economic life in Bandung developed less significantly. New economic infrastructure and activities were not much developed. On the contrary, this less condusive economic condition caused a lot of violent actions of SARA as a result of big economic gap between the local people and the Chinese ethnic group. One of this relatively big violent actions, an anti-Chinese riot, occurred on may 10, 1963.

The economic activities in Bandung began to be better in the late 1960s. The political stability became better than before, and this led to the improvement of the economic life in Bandung. This era was marked by the growth of different kinds of home industry, small industries and various supporting economic infrastructure and facilities. Entertainment centres, such as cinemas, became one of the most interesting for the people. This condition directly or indirectly pushed forward the economic life in Bandung.

(3)

Pengantar

Bandung yang saat ini menyandang predikat ibukota propinsi Jawa Barat

merupakan salah satu kota penting yang ada di Indonesia. Kota yang di awal abad

ke-20 nyaris menjadi hoofdstad Hindia Belanda menggantikan Batavia ini memiliki akar sejarah panjang. Rentang perjalanan Bandung sebagai sebuah kota

dapat dikatakan dimulai pada tanggal 25 September 1810. Pada tanggal tersebut,

Bupati ke-6 Bandung, R.A. Wiranatakusumah II (1794-1829), tampil sebagai

inisiator pembentukan kota Bandung. Inisiatif Wiranatakusumah II ini secara tidak

langsung mendapat akselerasi dari pemerintah kolonial Belanda, melalui besluit

yang dikeluarkan Gubernur Jenderal H.W. Daendels.

Pada masa-masa awal pembentukannya tidak banyak perkembangan

signifikan yang dialami kota Bandung. Barulah setelah Bandung ditetapkan

sebagai ibukota Karesidenan Priangan pada tahun 1864 menggantikan kedudukan

Cianjur, secara perlahan tapi pasti terjadi perubahan-perubahan yang cukup

berarti pada tampilan kota Bandung. Keberadaan kota Bandung sebagai pusat

politik pemerintahan Karesidenan Priangan ini kemudian diikuti pula oleh

keberadaannya sebagai sentra produksi industri perkebunan besar di Priangan,

seperti kopi, teh, kina, dan karet. Untuk itu semua, pembangunan kota Bandung

hingga akhir abad ke-19 tampak difokuskan untuk dapat memenuhi berbagai

kebutuhan kota Bandung, baik sebagai pusat kegiatan politik maupun pusat

kegiatan ekonomi.

Memasuki abad ke-20, sebuah perubahan mendasar kembali dialami kota

(4)

status wilayah administratif baru sebagai sebuah gemeente.1 Peresmian, sekaligus

penetapan Bandung sebagai sebuah gemeente dilakukan oleh Gubernur Jenderal

J.B. Van Heutzs pada tanggal 1 April 1906.2 Saat Gemeente Bandung didirikan,

wilayahnya meliputi dua buah kecamatan (onderdistrict), yaitu Kecamatan Bandung Kulon (Barat) dan Bandung Wetan (Timur). Kecamatan Bandung Kulon

memiliki 8 desa: Andir, Citepus, Pasar, Cicendo, Suniaraja, Karanganyar, Astana

Anyar, dan Regol. Kecamatan Bandung Timur memiliki 6 desa, yaitu Balubur,

Kejaksan, Lengkong, Kosambi, Cikawao, dan Gumuruh.

Sejak status gemeente disandang kota Bandung tidak pelak lagi Bandung semakin memainkan peranan penting dalam percaturan politik dan ekonomi

pemerintah kolonial Belanda. Bandung pun tampil sebagai primadona tempat

peristirahatan orang-orang Barat, khususnya Belanda. Berbagai prasarana dan

sarana penunjang bagi sebuah kota modern kemudian banyak dibangun di Kota

Bandung. Realitas yang tidak jauh berbeda tetap berlangsung saat Bandung

memasuki alam kemerdekaan. Bahkan status Bandung sebagai kota pusat

pemerintahan mengalami peningkatan saat kota ini ditetapkan sebagai ibukota

propinsi Jawa Barat, menggantikan kedudukan Jakarta. Keberadaan Bandung

sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat pada akhirnya membawa akselerasi

pada perkembangan ekonomi kota bandung hingga tahun 1970.

1 Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1906, No. 121

(5)

Geliat Pembangunan Kota

Bila perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang abad ke-19 lebih

didorong oleh karena keberadaan Bandung sebagai ibukota Karesidenan Priangan,

maka memasuki abad ke-20, berbagai perubahan yang dialami kota Bandung lebih

dikarenakan oleh keberadaan Bandung sebagai sebuah gemeente dan kemudian

stadsgemeente. Tegasnya, berbagai perubahan yang dialami kota Bandung selama empat dasawarsa pertama abad ke-20, lebih dikarenakan adanya desakan

kebutuhan penduduk kota Bandung sendiri.

Perubahan fisik paling awal yang terjadi di kota Bandung pada awal abad

ke-20 lebih diarahkan pada upaya pengadaan prasarana dan sarana fisik yang

dapat digunakan oleh pemerintahan gemeente. Namun demikian, karena satu dan lain hal, keinginan untuk segera memiliki sebuah kantor pemerintahan gemeente

yang representatif ini tidak dapat langsung direalisasikan. Untuk itu, pada masa

awal pembentukan gemeente Bandung, sebagai kantor gemeente dipilih bagian atas dari gedung yang pernah menjadi toko buku Sumur Bandung di Jalan Asia

Afrika. Beberapa waktu kemudian baru pindah ke “Gedong Papak” (kantor

pemerintah kota Bandung sekarang), yakni sebuah bangunan yang berdiri di atas

tanah yang sempat dijadikan gudang kopi milik Andries de Wilde.3 “Gedong

Papak” ini karena letaknya yang strategis kemudian ditetapkan sebagai kantor

tetap pemerintah gemeente Bandung. Penataan terhadap “Gedong Papak” sebagai

kantor pemerintah gemeente Bandung bisa dikatakan dilakukan secara bertahap sebelum benar-benar dapat menjadi gedung pemerintahan yang representatif.

(6)

Setelah pemerintah gemeente memperoleh gedung yang benar-benar representatif, penataan kota Bandung secara keseluruhan kemudian mendapat

perhatian yang benar-benar serius dari pemerintah gemeente. Rencana dan keinginan pemerintah gemeente untuk menjadikan kota Bandung sebagai kota modern seakan mendapat dorongan yang lebih kuat ketika dalam dasawarsa kedua

abad ke-20 atau semasa Gubernur Jenderal J.P. Graaf van Limburg Stirum

(1916-1921) timbul ide dan gagasan untuk memindahkan ibukota Hindia Belanda dari

Batavia (Jakarta) ke kota Bandung.4 Dalam perkembangannya kemudian, agar

pembangunan fisik di kota Bandung dapat tertata dengan baik serta selaras dengan

rencana menjadikan kota Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda, pemerintah

gemeente Bandung bersama-sama dengan pemerintah pusat membentuk sebuah tim perencanaan gabungan, yang terdiri dari militer (zeni), Departemen Pekerjaan

Umum, dan Dinas Teknik Kotapraja. 5

Mengingat tugas tim perencana gabungan lebih difokuskan pada upaya

menjadikan kota Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda, maka agar rencana

pengembangan kota Bandung yang sebelumnya telah dipersiapkan pemerintah

gemeente tidak terbengkalai serta dapat tetap berjalan sesuai dengan yang telah

4 Setidaknya ada tiga alasan yang melatarbelakangi rencana perpindahan ibukota ini. Pertama,

alasan kondisi kesehatan kota Batavia sebagai kota pantai, sebagaimana diungkapkan oleh H.F Tillema, dalm studinya tentang kesehatan di kota-kota pesisir Utara Jawa pada tahun 1916. S.A. Reitsma dan W.H. Hoogland. Gids van Bandoeng en Omstreken. (Bandoeng: N.V. Mij Vorkink, 1921), hal. 98. Kedua, alasan pertahanan. Ketiga, alasan ekonomi.

5 Tim ini dipimpin oleh V.L. Slors, seorang pensiunan militer dari kesatuan zeni. Anggota tim

antara lain terdiri dari, G. Hendriks, E.H. de Roo, dan J. Gerber. Sejalan dengan latar belakang pembentukannya, tim perencana gabungan ini memiliki tugas-tugas, antara lain:

1. Memindahkan semua departemen dan instansi pemerintah pusat dari Batavia ke Bandung. 2. Memilih lokasi yang tepat di kota Bandung untuk dijadikan lokasi bangunan instansi-instansi

pemerintah pusat.

(7)

direncanakan, pemerintah gemeente Bandung pada awal dasawarsa ketiga abad ke-20 atau tepatnya pada tahun 1921, membentuk sebuah komisi pembangunan

kota Bandung. Tugas komisi yang diberi nama Komisi Rencana Perluasan

Wilayah Gemeente Bandung ini, antara lain adalah membenahi wajah kota, termasuk di dalamnya menata dan menghijaukan kota dengan taman-taman kota

agar Bandung benar-benar layak untuk menjadi ibukota Hindia Belanda. Melalui

komisi inilah pada akhirnya lahir sebuah rencana pembangunan kota Bandung

yang benar-benar terpadu. Rencana pengembangan kota Bandung produk Thomas

Karsten ini kemudian dikenal dengan nama Plan Karsten.

Meskipun pada akhirnya rencana menjadikan Bandung sebagai ibukota

Hindia Belanda tidak menjadi kenyataan. Sedikit banyaknya Bandung tetap dapat

merasakan adanya manfaat dari rencana menjadikan kota Bandung sebagai

ibukota Hindia Belanda tersebut. Berkat adanya rencana tersebut, pembangunan

fisik di kota Bandung sepanjang dasawarsa ketiga abad ke-20 bisa dikatakan

relatif pesat. Berbagai bangunan yang cukup megah yang semula dipersiapkan

sebagai gedung perkantoran bagi instansi-instansi pemerintah pusat didirikan di

Bandung. Satu di antara gedung tersebut adalah gedung yang semula

direncanakan sebagai gedung kantor pemerintah pusat (kini dikenal dengan nama

Gedung Sate), yang pembangunannya berhasil diselesaikan pada bulan September

1924. Di sekitar Gedung Sate ini semula direncanakan akan dibangun sebuah

kompleks perkantoran untuk instansi-instansi pemerintah pusat, seperti kantor

Department van Verkeer en Waterstaat (Departemen Perhubungan dan

(8)

Financien (Departemen Keuangan), Department van Binnenlandsch Bestuur

(Departemen Dalam Negeri), Hoge Raad (Makhamah Agung), dan kantor

Volksraad (Dewan Rakyat).6

Bersamaan dengan pembangunan berbagai prasarana dan sarana fisik

pemerintahan, dilakukan pula upaya-upaya optimalisasi pemanfaatan jasa

transportasi kereta api. Optimalisasi pemanfaatan jasa kereta api ini lebih

diarahkan pada upaya untuk menghubungkan Bandung dengan kota-kota Besar di

Jawa yang ada di sebelah Timur Bandung. Upaya optimalisasi ini antara lain

dilakukan dengan mengoptimalkan hubungan kereta api antara Bandung dengan

Batavia serta membangun halteu-halteu di sekitar kota Bandung dan juga

membangun jalur jalan kereta api baru untuk jarak pendek.

Melalui upaya-upaya optimalisasi, perjalanan kereta api dari Bandung

menuju Batavia dan sebaliknya melalui jalur jalan kereta api baru lewat

Purwakarta dan Cikampek, sejak 1 November 1934 dapat ditempuh dalam 2 ¾

jam.7 Untuk menampung besarnya minat penumpang yang menggunakan

transportasi kereta api jalur Batavia-Bandung ini, perusahaan kereta api negara

(Staats Spoorwegen), yang memiliki motto 4S (Staats Spoor Steeds Sneller),8

mengoperasikan sekaligus empat rangkaian kereta api dalam sehari. Pelayanan

kereta api Batavia-Bandung ini kemudian dikenal dengan nama vlugge vier

(empat cepat).

6 Haryoto Kunto, Semerbak Bunga di Bandung Raya, (Bandung: Granesia, 1986) hal. 93-97;

Haryoto Kunto, op. cit., 1996, hal. 94-97. 7 Haryoto Kunto, op. cit., 1984, hal. 101.

8 Gottfried Roelcke dan Gary Crabb, All Around Bandung: Exploring the West Java Highlands,

(9)

Untuk jarak pendek, pembangunan lintasan kereta api baru pada dasarnya

dilakukan untuk menghubungkan Bandung dengan daerah-daerah di sekitarnya,

khususnya daerah-daerah yang memiliki potensi di bidang perkebunan.

Pembangunan jalur kereta api dari Bandung menuju daerah-daerah pedalaman

(hinterland) ini secara umum bisa dikatakan dibagi dalam dua tahapan. Tahap

pertama, pembangunan jalur kereta api yang trayeknya didasarkan atas UU

tanggal 4 Januari 1916.9 Dalam tahap pertama ini setidaknya berhasil dibangun

tiga jalur lintasan kereta api, yakni jalur Rancaekek-Jatinangor, jalur

Bandung-Soreang, dan jalur Soreang-Ciwidey. Jalur Rancaekek-Jatinangor selesai dibangun

pada tanggal 23 Februari 1918. Jalur Bandung-Soreang selesai dibangun tanggal

13 Februari 1921. Jalur Soreang-Ciwidey selesai dibangun tanggal 17 Juni 1924.

Tahap kedua, pembangunan jalur kereta api yang trayeknya ditetapkan

dalam UU tanggal 28 Februari 1920.10 Berbeda dengan tahap pertama,

pembangunan jalur lintasan rel kereta api tahap kedua ini hanya membangun dua

jalur lintasan kereta api baru, yakni jalur lintasan Bandung-Citeureup-Majalaya

dan jalur lintasan Dayeuhkolot-Majalaya. Pembangunan jalur sepanjang 6

kilometer ini berhasil diselesaikan tanggal 6 Juni 1919. Jalur lintasan

Bandung-Citeureup-Majalaya selesai dibangun tanggal 18 Maret 1921. Jalur lintasan

Dayeuhkolot-Majalaya selesai dibangun tanggal 3 Maret 1922.

Masih berkaitan dengan upaya optimalisasi pemanfaatan transportasi

kereta api, dibangun pula halte-halte di kota Bandung. Pembangunan halte-halte

di sekitar kota Bandung ini pada intinya dilakukan untuk menampung calon-calon

9 Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1916, No. 65.

(10)

penumpang kereta api yang berasal dari Bandung Barat dan Bandung Timur, yang

dari waktu ke waktu memperlihatkan lonjakan penumpang yang cukup tajam.

Dengan kata lain, pembangunan halte-halte tersebut juga sekaligus untuk

mengurangi beban stasion Bandung dalam menampung calon penumpang yang

akan pergi dan tiba di kota Bandung.

Setidaknya ada tiga halte baru yang dibangun di kota Bandung dalam

dasawarsa ketiga abad ke-20. Ketiga halte baru tersebut adalah halte Andir, halte

Cikudapateuh, dan halte Kiara Condong. Halte Andir dan Kiara Condong selesai

dibangun tahun 1923, sementara halte Cikudapateuh selesai dibangun tahun 1925.

Sebenarnya, bangunan ketiga halte tersebut tidaklah sama sekali baru. Ketiga

bangunan halte tersebut merupakan hasil peningkatan dari stopplaats yang telah ada sebelumnya.11

Di luar optimalisasi jalur kereta api, optimalisasi lain bagi perhubungan

darat dilakukan dengan meningkatkan serta memperbaiki kualitas jalan-jalan yang

ada di kota Bandung. Upaya perbaikan jalan raya ini dilakukan secara intensif

sejak tahun 1909. Pada awalnya diperbaiki lima buah jalan, yaitu Merdekalioweg

(kini Jalan Wastukencana), Kerklaan (kini Jalan Jawa), Parklaan (kini Jalan

Merdeka), Lembangweg (kini Jalan Cihampelas dan Setiabudi), serta Dagoweg

( kini Jalan Ir. H. Juanda). Perbaikan jalan dilakukan dengan cara memperkeras

jalan-jalan tersebut dengan pasir dan kerikil. Setelah perbaikan dan peningkatan

kualitas kelima jalan tersebut, beberapa waktu kemudian juga dilakukan perbaikan

dan peningkatan kualitas jalan-jalan lainnya yang ada di kota Bandung, termasuk

(11)

di dalamnya pelebaran jalan, seperti, Grote Postweg, Gardujatiweg, Pasar Baru Weg, dan Tamblongweg.12

Di samping upaya optimalisasi sarana transportasi kereta api dan

peningkatan kualitas jalan raya, upaya lain yang dilakukan pemerintah kolonial

untuk membuka kota Bandung adalah melalui jembatan udara. Usaha membuka

Bandung melalui jalur udara ini ditempuh dengan membangun lapangan udara

Andir. Setelah dipandang layak, pada tanggal 1 November 1928 diadakan ujicoba

penerbagan perdana dengan menggunakan pesawat terbang milik perusahaan

penerbangan KNILM. Penerbangan ujicoba yang menempuh rute

Bandung-Batavia ini berlangsung dengan sukses. Setelah ujicoba penerbangan ini, tidak

berapa lama kemudian atau tepatnya sejak tahun 1930, Bandung secara resmi

telah dapat dihubungkan melalui jalur udara. Rute penerbangan yang dapat

ditempuh dari Bandung sejak tahun 1930 adalah rute penerbangan menuju

Semarang, Surabaya, Palembang, dan Singapura.13

Keberhasilan Bandung membuka jalur udara jelas memiliki makna yang

sangat penting dalam menjadikan Bandung sebagai salah satu kota di Indonesia

yang mudah untuk didatangi. Dengan adanya jalur udara ini, jarak tempuh dari

kota Bandung ke kota-kota lain yang telah memiliki jalur udara menjadi lebih

pendek lagi. Lebih dari itu, melalui jalur udara ini, hubungan antara kota Bandung

dengan daerah-daerah lain di luar Jawa, khususnya Sumatera, bisa dilaksanakan

secara lebih intensif.

12 Edi S. Ekadjati, dkk., Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Barat, (Bandung: Depdikbud,

1978/1979), hal. 30.

(12)

Untuk memberi arti yang lebih penting bagi upaya menjadikan Bandung

sebagai daerah terbuka, Bandung sejak abad ke-20 juga dilengkapi dengan sarana

komunikasi radio. Sarana komunikasi radio yang cukup berarti yang dibangun di

kota Bandung adalah radio telepon. Pembangunan studio pemancar bagi radio

telepon ini dilakukan di lereng Gunung Malabar. Setelah melalui persiapan yang

memakan waktu selama kurang lebih lima tahun, sarana radio telepon ini sejak

tanggal 5 Mei 1923, telah dapat digunakan untuk melakukan hubungan

internasional, yakni dari Hindia Belanda ke Belanda. Dengan terbukanya sarana

komunikasi radio telepon ini maka hubungan antara dua wilayah yang dipisahkan

oleh jarak yang sangat jauh tersebut dapat berlangsung jauh lebih cepat.

Menyusul keberhasilan membangun sarana radio telekomunikasi,

dipersiapkan pula sarana komunikasi berupa radio. Langkah awal ke arah

penyediaan sarana komunikasi radio di kota Bandung dimulai tanggal 15 April

1926 dengan didirikannya Bandoengsche Radio Vereeniging (BRV), yang diketuai oleh J.G. Prins. Setelah melalui berbagai persiapan yang cukup matang, BRV

melakukan ujicoba siaran untuk pertama kalinya pada tanggal 8 Agustus 1926.

Setelah keberhasilan siaran percobaan ini, secara resmi BRV mulai mengudara.

Siaran ujicoba dan siaran-siaran selanjutnya BRV dilakukan di studio BRV yang

terletak di ruang atas percetakan Vorkink (dulu sempat menjadi TB Sumur

Bandung). 14

Siaran BRV yang tadinya hanya ditujukan untuk pemirsa di daerah

Bandung dan sekitarnya, ternyata dapat pula ditangkap di Medan, Pare-pare,

Samarinda, dan Pontianak. Bahkan pancarannya dapat pula ditangkap di luar

(13)

negeri. Beberapa negara yang dapat menerima pancaran BRV antara lain adalah

Afrika Selatan dan Selandia Baru.

BRV yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai media komunikasi Bandung

dengan dunia luar secara berkesinambungan, tidaklah berusia lama. Berhubung

satu dan lain hal, khususnya yang berkaitan dengan masalah pendanaan, BRV

tidak dapat melanjutkan siarannya secara mandiri. Untuk itu, sejak tahun 1929,

pengelolaaan BRV diambil alih oleh Nederlandsch Indische Radio Omroep

Maatschappij (NIROM).

Gencarnya pembangunan fisik di kota Bandung pada akhirnya tidak hanya

mengakibatkan semakin menariknya kota Bandung bagi kaum pendatang tetapi

juga mengakibatkan tuntutan akan kebutuhan lahan kota terus bertambah. Kondisi

ini kemudian mendorong pemerintah gemeente Bandung untuk berupaya

menambah luas wilayah kota agar senantiasa sesuai dengan kebutuhan pemerintah

dan warga kota Bandung. Pada saat gemeente Bandung berdiri, luas kota Bandung baru mencapai 1922 ha. Dari jumlah tersebut, sebanyak 240 ha atau 12 persen

digunakan secara langsung untuk berbagai bangunan, baik bangunan

pemerintahan, swasta maupun tempat tinggal warga. Sepuluh tahun kemudian,

luas wilayah kota Bandung meningkat menjadi 2150 ha. Dari jumlah tersebut, 380

ha atau 18 persen digunakan untuk bangunan. Langkah perluasan kota Bandung

yang dilakukan pada tahun 1916 bukanlah upaya perluasan yang terakhir. Pada

tahun 1926 atau saat status kota Bandung berubah menjadi stadsgemeente, wilayah kota Bandung kembali diperluas hingga luas keseluruhan mencapai 2853

(14)

berbagai bangunan. Memasuki akhir pemerintah Hindia Belanda, luas wilayah

kota Bandung telah mencapai 3305 ha, 1600 ha di antaranya atau sebanyak 48,41

persen digunakan untuk bangunan-bangunan. Dari data-data tersebut terlihat

bahwa seiring dengan perluasan wilayah kota Bandung terjadi juga peningkatan

yang cukup pesat dalam penggunaan lahan di kota Bandung, khususnya

penggunaan lahan untuk bangunan-bangunan.

Selanjutnya, memasuki tahun-tahun pertama kemerdekaan, pembangunan

berbagai prasarana dan sarana di kota Bandung dapat dikatakan berhenti sama

sekali, untuk tidak mengatakan mengalami kemunduran. Situasi politik yang

belum stabil serta maraknya upaya-upaya untuk menegakan kemerdekaan dapat

dikedepankan sebagai faktor penyebab dari semua realitas tersebut. Pecahnya

peristiwa Bandung Lautan Api pada tanggal 24 Maret 1946 telah menghancurkan

cukup banyak gedung-gedung pemeritah, termasuk rumah-rumah penduduk,

khususnya yang berada di wilayah Bandung Selatan, seperti Cicadas, Tegallega,

Ciroyom, Kopo, dan Cikudapateuh.15

Barulah memasuki dasawarsa keenam dan ketujuh abad ke-20, terasa

kembali adanya geliat pembangunan di kota Bandung. Fokus penataan pada tahap

awal lebih diarahkan pada pembangunan beberapa prasarana dan sarana umum

yang sempat rusak akibat revolusi fisik. Akselerasi pembangunan prasarana dan

sarana di kota Bandung menjadi semakin terasa saat Bandung kemudian

ditetapkan sebagai tuan rumah Konferensi Asia Afrika (KAA) pada bulan April

1955. Untuk menyambut peristiwa berskala internasional tersebut, dilakukan

15 Aan Abdurachman, dkk. 2000. Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk

(15)

berbagai penataan terhadap gedung-gedung pemerintah, khususnya Gedung

Merdeka yang akan dijadikan tempat konferensi, hotel-hotel yang akan dijadikan

tempat penginapan peserta, jalan-jalan, serta stasion kereta api. Di luar itu, pada

tahun 1958 dibangun pula Taman Olah Raga Karang Setra, yang peresmiannya

dilakukan Presiden Soekarno, serta Bank Tabungan Pos Cabang Bandung.

Keberhasilan Bandung menyelenggarakan KAA pada perkembangannya

kemudian menjadikan Bandung sebagai langganan tuan rumah

pertemuan-pertemuan besar, baik berskala nasional maupun internasional. Setelah menjadi

tuan rumah KAA, Bandung selanjutnya juga menjadi tuan rumah beberapa

peristiwa besar lainnya, seperti, Konferensi Mahasiswa Asia Afrika tahun 1956,

Konferensi I Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia pada bulan Januari 1957,

Konferensi Universitas se-Indonesia pada tahun 1958, dan Konferensi Dinas

Kepolisian Negara pada tahun 1958.16

Geliat Kehidupan Penduduk

Status gemeente bagi kota Bandung sedikit banyaknya memperlihatkan

adanya sosok modern sebuah kota, yang di dalamnya menjanjikan berbagai

fasilitas menarik bagi penduduk. Daya tarik kota Bandung sebagai sebuah

gemeente ini pada akhirnya berpengaruh besar terhadap peningkatan konsentrasi penduduk yang tinggal dan menetap di kota Bandung. Akibatnya, Bandung yang

pada pertengahan abad ke-19 hingga beberapa waktu setelah menyandang status

sebagai ibukota karesidenan Priangan masih menyandang sebutan sebagai daerah

16 Arsip Nasional RI Wilayah Jawa Barat. Data Informasi Arsip Foto Jawa Barat 1956; Arsip

(16)

yang jarang penduduk (sparsely populated region) berubah menjadi daerah yang padat penduduk (densely populated region) memasuki abad ke-20.

Sebagaimana terlihat di dalam tabel, pada saat Bandung menyandang

status sebagai sebuah gemeente untuk pertama kalinya, jumlah penduduk baru tercatat sebanyak 47.391 jiwa. Perubahan penduduk yang cukup berarti pertama

kali dialami Bandung pada tahun 1920. Dari 47.391 jiwa penduduk pada tahun

1906, kurang lebih empatbelas tahun kemudian jumlahnya meningkat sehingga

secara keseluruhan berjumlah 102.227 jiwa. Dalam perubahan penduduk pada

tahun 1920 ini bila kemudian diperhatikan dengan cermat, tampak bahwa

peningkatan penduduk terbesar terjadi pada penduduk golongan Eropa. Bahkan,

peningkatan penduduk Eropa ini bisa dikatakan sangat fantastis yakni hampir lima

kali lipat. Bandingkan dengan peningkatan penduduk pribumi dan Cina yang

hanya sekitar dua kali lipat. Kondisi ini sedikit banyaknya mengindikasikan

bahwa perubahan status kota Bandung menjadi sebuah gemeente telah memberi dorongan yang lebih besar bagi penduduk Eropa untuk datang dan menetap di

kota Bandung. Kenyataan ini sekaligus pula semakin menegaskan bahwa

perubahan status kota Bandung menjadi sebuah gemeente pada dasarnya

benar-benar ditujukan untuk kepentingan orang-orang Eropa.

Selanjutnya memasuki alam kemerdekaan, terlihat pula adanya

peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan dibanding masa

sebelumnya. Pada tahun 1961, jumlah penduduk kota Bandung tercatat sebanyak

973.000 jiwa. Jumlah ini jelas merupakan sebuah peningkatan jumlah penduduk

(17)

Peningkatan jumlah penduduk hingga lebih dari empat kali lipat dalam kurun

waktu 21 tahun benar-benar telah menjadikan Bandung sebagai kota yang cukup

padat. Urbanisasi besar-besaran penduduk yang berasal dari daerah konflik DI/TII

dapat dikedepankan sebagai salah satu pemicu peningkatan jumlah penduduk kota

Bandung yang cukup signifikan.

Tabel

Jumlah Penduduk Kota Bandung 1906-1970

Tahun Pribumi Eropa Cina Total

1906 41.393 2.199 3.799 47.391 1920 82.263 10.658 9.306 102.227 1930 129.871 19.327 16.690 165.888 1935 142.009 22.178 19.242 183.429 1940 171.457 27.726 25.534 224.717

1961 973.000

1965 1.058.000

1970 1.176.000

Sumber: Mooi Bandoeng, October 1940, No. 10, hal. 8; Kantor Sensus dan Statistik Jawa Barat, Statistik Jawa Barat 1971.

Berbeda dengan peningkatan jumlah penduduk yang terjadi pada tahun

1920, peningkatan penduduk Eropa sesudah tahun 1920 , bisa dikatakan tidak ada

yang setinggi peningkatan penduduk tahun 1920. Demikian pula halnya penduduk

pribumi dan Cina. Fenomena perubahan lainnya yang cukup menarik berkaitan

dengan penduduk kota Bandung adalah fenomena perubahan pada perbandingan

jumlah penduduk Cina dan Eropa. Bila pada tahun pertama Bandung menjadi

(18)

atas jumlah penduduk Cina. Menjadi menarik untuk diamati lebih lanjut, mengapa

penduduk Eropa begitu antusias untuk tinggal dan menetap di kota Bandung

setelah Bandung menyandang status sebagai sebuah gemeente.

Perkembangan penduduk kota Bandung yang demikian pesat, dalam

perkembangan selanjutnya meningkatkan pula kebutuhan atas tempat tinggal.

Untuk itu, pemerintah gemeente Bandung berupaya keras untuk dapat memenuhi kebutuhan akan pemukiman ini, khususnya pemukiman untuk penduduk Eropa.

Sejalan dengan kebijakan pembentukan gemeente Bandung yang cenderung diskriminatif, penataan pemukiman di kota Bandung pun jelas-jelas diatur secara

diskrtiminatif pula. Pemerintah gemeente Bandung dengan terang-terangan

mengadakan pemisahan antara pemukiman untuk orang Eropa, orang Cina dan

Timur Asing lainnya, dan pemukiman untuk orang-orang pribumi.

Pemukiman untuk orang Eropa terdiri dari rumah-rumah besar dan

modern. Komplek pemukiman Eropa pertama yang dibangun di Bandung terletak

di daerah Andir atau di sekitar lapangan terbang Andir. Karena letaknya yang

berdekatan dengan lapangan terbang ini pulalah yang menjadikan pemukiman

Eropa di seputar Andir ini dikenal dengan nama Fokkerhuis. Menyusul

pembangunan pemukiman modern di daerah Andir, pemerintah gemeente

bersama-sama dengan pihak swasta kemudian membangun

pemukiman-pemukiman modern di daerah lainnya, seperti di sekitar Kosambi, khususnya di

sekitar halte Cikudapateuh, dan di sekitar Jalan Riau, khususnya sekitar Oranje

Plein, Merdika Weg sampai Grote Post Weg. Berbeda dengan bangunan-bangunan

(19)

didirikan di sekitar Oranje Plein, bisa dikatakan jauh lebih mewah. Bangunan di

sekitar Oranje Plein ini juga merupakan bangunan bertingkat.

Di luar pemukiman-pemukiman yang telah disebutkan di atas, masih ada

daerah pemukiman lainnya yang jauh lebih baik yang juga masih diperuntukan

bagi orang-orang Eropa. Daerah pemukiman tersebut juga masih terletak di

sepanjang Jalan Riau, tetapi tidak lagi berada dekat Oranje Plein. Pemukiman

untuk orang Eropa kali ini terletak di sekitar Gedung Sate dan Insulinde Park (kini

Taman Lalu Lintas Ade Irma Suryani). Berbeda dengan wilayah pemukiman

sebelumnya, wilayah pemukiman di sekitar Insulinde Park ini juga direncanakan

sebagai Pusat Kegiatan Masyarakat Eropa di Kota Bandung. Kematangan dan

kecermatan dalam menata pemukiman di sekitar Insulinde Park, yang dibangun

sejak tahun 1918 oleh sekelompok teknisi di bawah pimpinan Direktur Dinas

Bangunan Gemeente Bandung V.L. Slors, pada akhirnya telah menjadikan

wilayah pemukiman di sekitar Insulinde Park ini sebagai prototipe Indische Koloniaal Stad.17 Dalam kaitannya dengan rencana perpindahan ibukota Hindia

Belanda, selama kurang lebih tujuh tahun atau sejak tahun 1918 hingga tahun

1925 telah berhasil dibangun sebanyak 400 hingga 750 bangunan rumah modern

yang direncanakan sebagai tempat tinggal para pegawai pemerintah pusat.18

Tingginya populasi penduduk Eropa di kota Bandung pada akhirnya

diikuti pula oleh kentalnya kemunculan gaya hidup Eropa di kota yang pada awal

abad ke-20 kemudian dikenal sebagai Parijs van Java ini. Representasi dari gaya hidup Eropa ini tidak hanya tampak dari berdirinya rumah-rumah modern

17 Haryoto Kunto, op. cit., 1984, hal. 64-66.

(20)

berukuran besar bergaya Eropa tetapi juga dari berbagai sarana penunjang

kehidupan lainnya. Sentra dari sebagian besar denyut kehidupan gaya Eropa di

Bandung pada dasarnya berada di sekitar Jalan Braga. Di sepanjang jalan yang

mempromosikan diri sebagai de meest winklestraat van Indie inilah, sebagian besar penduduk Eropa mewarnai kehidupannya. Pakaian-pakaian model mutakhir

dari Perancis tersedia di Au Bon Marche, kendaraan roda empat sejenis Mercedes Benz tersedia di Fuchs en Rens, sementara bila dahaga dan lapar menyergap

sehabis berbelanja mereka dapat menikmati berbagai hidangan lezat di Maison Bogerijen (sekarang, restauran Braga Permai), seperti Champignons Grilles dan

Escalopes de Veau a la Suisse. Di malam hari, khususnya pada malam panjang

menjelang libur kerja, penduduk Eropa biasa menghabiskan waktunya di Societeit Concordia (sekarang, gedung Merdeka), yang terletak di persimpangan Jalan

Braga dan Grote Postweg (sekarang, jalan Asia Afrika).19

Sarana hiburan lain yang sering didatangi orang-orang Eropa untuk

memanjakan gaya hidupnya adalah gedung-gedung bioskop serta feestterrein.

Untuk bioskop, hingga akhir kekuasaan Hindia Belanda setidaknya ada tiga buah

gedung bioskop yang sering dikunjungi orang Eropa, yakni Elita, Oriental, dan

Apollo. Sementara itu untuk feestterrein, antara lain feestterrein yang terdapat di sekitar daerah Kebonjati (Orion), Suniaraja (Empires), dan Cikakak (Orange).

Sesuai fungsinya, di feestterrein ini antara lain sering dipertunjukkan

hiburan-hiburan, seperti, sandiwara, ketuk tilu, pencak silat, dan opera. Tempat-tempat

rekreasi lainnya, antara lain, bursa tahunan (jaarbeurs), taman-taman kota, seperti

(21)

Mollukenpark, Ijzermanpark, Orenje Plein, dan Citarum Plein, serta Bandoengsch

Zoologisch Park (kini, kebun binatang Bandung) pada tahun 1930.20

Bila pemukiman untuk orang Eropa umumnya berupa bangunan-bangunan

besar dan modern, maka tidak demikian halnya dengan bangunan-bangunan untuk

Timur Asing dan terlebih lagi pribumi dari golongan rakyat kebanyakan. Untuk

pemukiman penduduk Timur Asing, khususnya Cina, pemerintah gemeente

Bandung menempatkannya di sekitar pusat-pusat perdagangan. Salah satu daerah

pusat perdagangan yang disediakan pemerintah gemeente Bandung untuk bangunan pemukiman penduduk Timur Asing adalah di sekitar wilayah Pasar

Baru. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila kemudian di daerah sekitar Pasar

Baru ini banyak dijumpai daerah-daerah Pecinan atau tempat-tempat pemukiman

orang Cina.

Bangunan-bangunan perumahan untuk orang-orang pribumi yang

dibangun Belanda pada umumnya didirikan di atas petak-petak tanah yang relatif

kecil serta terbuat dari bilik bambu. Satu di antara wilayah pemukiman yang

dibangun Belanda untuk orang-orang pribumi dari kalangan rakyat kebanyakan

terdapat di sekitar Karapitan. Sementara untuk orang-orang pribumi dari golongan

menengah dibuatkan pemukiman di sekitar Cihapit.21 Di luar pemukiman yang

dibuat Belanda, orang-orang pribumi pada umumnya membangun pemukimannya

berdasarkan kelompok etnis atau daerah asal. Oleh karenanya tidak mengherankan

bila di Kota Bandung dikenal wilayah-wilayah pemukiman pribumi, seperti,

20 Melly Irawati Julita. Kebun Binatang Bandung (1930: 2000): Studi tentang Pembentukan,

Perkembangan, dan Pengaruhnya terhadap Pariwisata. Skripsi. (Bandung: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 2001)

(22)

Kampung Jawa, Babakan Surabaya, Babakan Tarogong, Babakan Ciamis, dan

Babakan Bogor.22 Walaupun bentuk-bentuk bangunan milik pribumi relatif kecil,

tetapi kondisi bangunan dan keadaan lingkungannya selalu diupayakan tetap

bersih dan sehat. Dalam kaitan inilah, tidak bisa dilepaskan peran besar yang telah

dimainkan oleh Bupati Bandung R.A.A. Martanegara (1893-1918) dalam

menciptakan keharmonisan penataan pada bangunan dan lingkungan perumahan

penduduk pribumi. Berkat kejeliannya jugalah atap bangunan-bangunan pada

pemukiman penduduk pribumi dapat diganti dengan genteng. Perubahan atap

bangunan dari ilalang ke genteng dilakukan Martanegara dengan terlebih dahulu

melakukan proses alih teknologi pembuatan genteng dari luar kota Bandung

kepada penduduk kota Bandung.23

Bila upaya pemenuhan kebutuhan pemukiman penduduk pada era kolonial

tampak lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman penduduk eropa,

maka tidak demikian halnya di era kemerdekaan. Pemenuhuan kebutuhan

pemukiman pada era kemerdekaan ini benar-benar ditujukan untuk kepentingan

pemukiman orang-orang pribumi. Namun demikian, karena keterbatasan

anggaran, pemenuhan kebutuhan pemukiman sejak kemerdekaan hingga tahun

1970 dapat dikatakan belum dapat dilakukan secara optimal. Dalam hal

pemenuhan kebutuhan akan pemukiman ini, pemerintah kota Bandung pun

tampak tetap berpegangan pada pola perencanaan yang telah dikembangkan

pemerintah kota sebelum kemerdekaan. Bedanya, bila sebelumnya daerah Utara

22 Ibid., hal. 164-167.

(23)

kota Bandung dikhususkan bagi orang-orang Eropa, kini menjadi zona

pemukiman orang-orang dari golongan menengah ke atas.

Kebutuhan akan pemukiman di kota Bandung pada dasawarsa keenam dan

ketujuh menjadi semakin terasa signifikansinya akibat terjadinya ketidakstabilan

politik. Perjuangan di era revolusi fisik yang salah satunya terepresentasikan

dalam bentuk peristiwa Bandung Lautan Api telah mengakibatkan tingginya

kebutuhan akan perumahan dari para penduduk yang kembali dari daerah-daerah

pengungsian setelah terjadinya aksi pembakaran gedung-gedung pemerintah dan

rumah-rumah rakyat secara besar-besaran. Sementara itu, aksi pengacauan oleh

DI/TII di berbagai wilayah Jawa Barat telah mengakibatkan tingginya arus

urbanisasi dari daerah-daerah konflik ke kota Bandung. Ketidakmampuan

pemerintah kota untuk mengatasi realitas tersebut mendorong sebagian penduduk

untuk membangun tempat-tempat pemukiman sangat sederhana berupa

gubuk-gubuk di pingir jalan atau di bawah jembatan.24

Dalam kaitannya dengan mata pencaharian, memasuki abad ke-20

penduduk kota Bandung tidak lagi semata-mata mengandalkan sumber

kehidupannya dari sektor perkebunan dan pertanian, tetapi seiring dengan

perkembangan kota Bandung sebagai kota modern, banyak pilihan sumber

kehidupan yang dapat dimasuki penduduk kota Bandung. Terjadinya peningkatan

pada jumlah pengguna jasa kereta api, secara otomatis semakin membuka peluang

kerja di sektor pelayanan jasa transportasi di dalam kota maupun jasa pelayanan di

tempat-tempat penginapan. Sementara itu, peningkatan prasarana dan sarana

24 Edi S. Ekadjati, et.al. Sejarah Kota Bandung 1945-1979. (Jakarta: Depdikbud, 1984), hal. 81,

(24)

perdagangan yang dialami kota Bandung sepanjang empat dasawarsa pertama

abad ke-20 juga telah memberi peluang yang cukup luas bagi penmduduk kota

Bandung untuk terjun secara langsung di sektor tersebut.

Perkembangan yang cukup berati di sektor perekonomian, yang ditandai

oleh semakin banyaknya sumber kehidupan bagi penduduk pribumi tidak lantas

membuat bagian terbesar penduduk kota Bandung meninggalkan pekerjaan di

sektor-sektor perkebunan dan pertanian. Dengan kata lain, meskipun semakin

banyak penduduk kota Bandung yang alih profesi tetapi tidak sedikit pula

penduduk Bandung yang tetap setia dengan pekerjaan lamanya di sektor

perkebunan dan pertanian. Sebagaimana yang menjadi kebiasaan sebelumnya, di

antara penduduk Bandung yang setia dengan pekerjaannya di sektor perkebunan

dan pertanian, sebagian di antaranya bekerja di sektor pertanian dan perkebunan

sambil memelihara ternak, seperti sapi, kuda, kambing, dan kerbau. Di luar

mereka yang bekerja di bidang pertanian, perkebunan, dan transportasi, ada juga

anggota masyarakat yang bekerja sebagai tukang dan pengrajin. Para pengrajin ini

di antaranya terdiri dari pelukis, pembuat sepatu, tukang kayu, tukang celup dan

tukang batu. Di luar itu tentunya tetap masih ada juga yang bekerja sebagai

penjahit, tukang cukur, dan tukang daging atau tukang jagal.

Memasuki era Jepang, perkembangan ekonomi di kota Bandung bisa

dikatakan mengalami perubahan yang berbanding terbalik dengan situasi

sebelumnya. Kontrol ketat yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang di

bidang perekonomian, baik terhadap prasarana dan sarana perekonomian milik

(25)

di kota Bandung menjadi jauh dari normal. Ekonomi perang yag dikembangkan

oleh pemerintah pendudukan Jepang telah menyebabkan terhentinya berbagai

pembangunan prasarana dan sarana perekonomian serta terkonsentrasikannya

produk-produk perekonomian hanya untuk kepentingan perputaran mesin perang

Jepang. Dampak dari semua itu, berbagai permasalahan di bidang ekonomi

banyak bermunculan, seperti kesulitan memperoleh bahan pokok kebutuhan

sehari-hari ataupun pengangguran akibat ditutupnya berbagai kantor dan

perusahaan milik swasta. Dalam situasi seperti ini, salah satu jenis usaha pribumi

yang kemudian berkembang relatif cukup subur adalah jual beli barang bekas

(loak). Pasar loak baru pun kemudian bermunculan di daerah Cicadas dan

Banceuy, menyusul pasar loak lama yang telah ada sebelumnya, seperti pasar loak

Cibeunying dan Suniaraja.

Di era kemerdekaan, keberadaan Bandung sebagai pusat kegiatan

perekonomian di tatar Priangan pada dasarnya tetap bertahan. Namun demikian,

instabilitas politik yang terjadi pada era demokrasi liberal dan demokrasi

terpimpin, sedikit banyaknya berpengaruh pula terhadap denyut kehidupan

perekonomian di Kota Bandung. Pada kurun waktu ini, geliat kehidupan ekonomi

di Kota Bandung diwarnai oleh terjadinya nasionalisasi atas

perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Kota Bandung, seperti NHM, NHB Escompto,

dan NV De Eerste Nederlandsche Indische Shareholding (DENIS). NV DENIS

yang bergerak di bidang perbankan kemudian berubah menjadi PT Bank Karya

Pembangunan Daerah Jawa Barat serta dikukuhkan lewat Akte Notaris Noezar

(26)

Bandung juga dipengaruhi oleh terjadinya tindakan saneering yang diumumkan pemerintah pada tanggal 25 Agustus 1959. Tindakan pemerintah yang juga

dikenal dengan “Kebirian Djuanda” ini di antaranya mengakibatkan berkurangnya

nilai rupiah hingga tinggal 10 % saja dari nilai nominal.

Dalam kondisi seperti itu, kehidupan perekonomian di Kota Bandung

dapat dikatakan kurang memperlihatkan perkembangan yang cukup signifikan.

Tidak banyak prasarana dan sarana ekonomi baru yang dapat dikembangkan.

Sebaliknya, situasi perekonomian yang kurang kondusif ini justru melahirkan

aksi-aksi kekerasan bernuansa SARA sebagai akibat terjadinya kesenjangan

ekonomi yang cukup tajam, khususnya antara pribumi dan masyarakat etnis Cina.

Salah satu aksi kekerasan yang relatif berskala besar pada akhirnya pecah pada

tanggal 10 Mei 1963 berupa Kerusuhan Anti Cina.

Geliat perekonomian di Kota Bandung mulai memperlihatkan

perkembangan ke arah yang lebih baik memasuki tahun-tahun terakhir dasawarsa

ketujuh abad ke-20. Stabilitas politik yang tercipta relatif lebih baik dibanding

masa sebelumnya telah menggairahkan kembali kehidupan perekonomian di Kota

Bandung. Era ini diwarnai oleh tumbuhnya berbagai jenis usaha rumah tangga,

industri kecil, serta berbagai prasarana dan sarana pendukung perekonomian.

Tempat-tempat hiburan, seperti bioskop, menjadi salah satu sarana hiburan yang

paling diminati masyarakat. Kondisi ini langsung atau tidak langsung telah turut

pula memacu kehidupan perekonomian di Kota Bandung.

Dalam bidang pendidikan. Berbeda dengan abad sebelumnya, memasuki

(27)

beragam dan semakin lengkapnya institusi-insitusi pendidikan produk pemerintah

kolonial. Dalam abad ke-20 ini, Bandung tidak saja memiliki institusi-institusi

pendidikan setingkat Frobelschool (Taman Kanak-kanak), HIS (sekolah dasar),

tetapi juga memiliki institusi-institusi pendidikan tingkat pertama, menengah dan

tinggi. Besarnya minat dan perhatian penduduk kota Bandung terhadap sektor

pendidikan, sedikit banyaknya dapat dilihat dari banyaknya jumlah institusi

pendidikan yang dibangun di kota Bandung. Hingga sebelum tahun 1925, di

Bandung sedikitnya telah ada 178 sekolah dari berbagai jenis dan tingkatan.25

Adapun beberapa di antara institusi pendidikan dasar dan menengah yang ada di

kota Bandung saat itu, antara lain, Gouvernements Hogere Burgershool

(afdelingen A dan B) yang terletak di Bilitonstraat, Gouvernements Lyceum di

Jaarbeursterrein, Christelijk Lyceum di Dagoweg 81, R.K. 3-jarige Hogere

Burgerschool voor meisjes “Sint Angela” di Merdikaweg, Gouvernements

Muloschool di Javastraat/Sumatrastraat dan Helmersweg, R.K. Muloschool di

Heetjansweg 8, dan Gouvernements 1e Europese Lagere School A di

Tjiliwoengstraat.26 Khusus untuk pribumi antara lain terdapat sekolah dasar kelas

satu dan kelas dua (Eerste en Tweede Klasse Inlandsche School), sekolah guru

(Kweekschool), dan sekolah pamongpraja (Hoofdenschool). Di luar itu, di kota

Bandung juga terdapat institusi pendidikan tinggi yang cukup prestisius, yakni,

Technische Hoogeschool (THS), yang didirikan tanggal 3 Juli 1920.

25 Haryoto Kunto, op. cit., 1984, hal. 186-188.

(28)

Di era kemerdekaan, kebutuhan akan pendidikan secara perlahan tapi pasti

terasa mengalami peningkatan yang sangat tajam. Meningkatnya kesadaran

penduduk untuk menimba pendidikan mendorong terjadinya peningkatan berbagai

institusi pendidikan yang ada di kota Bandung, mulai pendidikan dasar,

menengah, hingga pendidikan tinggi. Memasuki akhir dasawarsa keenam abad

ke-20 atau tepatnya pada tanggal 11 September 1957, untuk pertama kalinya di Kota

Bandung didirikan sebuah perguruan tinggi negeri, Universitas Padjadjaran. Dua

tahun kemudian, “berdiri” Institut Teknologi Bandung (ITB) yang merupakan

pengabungan dari dua buah fakultas yang semula merupakan bagian dari

Universitas Indonesia, yakni, Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Pasti dan

Pengetahuan Alam, serta Akademi Seni Rupa.27 Pembukaan ITB pada tanggal 4

Maret 1959 dilakukan langsung oleh Presiden Soekarno, dengan disaksikan

Presiden Republik Demokrasi Vietnam Ho Chi Minh, yang kedatangannya ke

Bandung dilakukan dalam rangka penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari

Universitas Padjadjaran yang pelaksanaan pemberiannya bersamaan dengan

tanggal pembukaan ITB.28

27 Nina Herlina Lubis, dkk. Sejarah Tatar Sunda. Jilid 2 (Bandung: Lembaga Penelitian Universitas

Padjadjaran, 2003), hal. 340.

(29)

DAFTAR SUMBER

Abdurachman, Aan dkk. 2000. Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan. Bandung: Pustaka Madani.

Arsip Nasional RI Wilayah Jawa Barat. Data Informasi Arsip Foto Jawa Barat 1956.

Arsip Nasional RI Wilayah Jawa Barat. Data Informasi Arsip Foto Jawa Barat 1957.

Arsip Nasional RI Wilayah Jawa Barat. Data Informasi Arsip Foto Jawa Barat 1958.

Arsip Nasional RI Wilayah Jawa Barat. Data Informasi Arsip Foto Jawa Barat 1959.

Ekadjati, Edi S., dkk. 1978/1979. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud.

---, dkk. 1984.Sejarah Kota Bandung 1945-1979. Jakarta: Depdikbud.

Julita, Melly Irawati. 2001. Kebun Binatang Bandung (1930: 2000): Studi tentang Pembentukan, Perkembangan, dan Pengaruhnya terhadap Pariwisata. Skripsi. Bandung: Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Kunto, Haryoto. 1984. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia, 1984.

---. 1986. Semerbak Bunga di Bandung Raya, Bandung: Granesia.

---. 1996. Balai Agung di Kota Bandung, Bandung: Granesia.

Lubis, Nina Herlina, dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid 2. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

(30)

Mooi Bandoeng, October 1940, No. 10.

Kantor Sensus dan Statistik Jawa Barat, Statistik Jawa Barat 1971.

Reitsma, S.A. dan W.H. Hoogland. 1921. Gids van Bandoeng en Omstreken. Bandoeng: N.V. Mij Vorkink.

Roelcke, Gottfried dan Gary Crabb. 1994. All Around Bandung: Exploring the West Java Highlands. Bandung: Bandung Society for Heritage Conservation.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1906, No. 121

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1916, No. 65.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1920, No. 150.

Verslag van den Toestand der Gemeente Bandoeng, 1919.

(31)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian hipotesis 10 yang diterima sesuai dengan tabel 4.29, dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi tentang manfaat sekaligus persepsi kemudahan

Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter (Wibowo, 2011). Dari hal-hal di atas kontribusi pembiasaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik fisik dan proses pelepasan CTM melalui membran selofan dengan konsentrasi paraffin liquid (5%, 7% dan

Hibah Dana Darurat Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemda Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemda Lain-lain Belanja.. Belanja

Penggunaan media tanam Sphagnum moss dengan pupuk daun Mamigro, Gandasil dan perlakuan kontrol serta media tanam Sphagnum moss + arang dengan perlakuan kontrol

Fasilitas adalah berbagai sarana publik yang menunjang untuk kawasan permukiman dan sangat diperlukan saat terjadi bencana gempa bumi, yaitu : fasilitas kesehatan (rumah

Jembatan tipe pratt Dari kedua jenis jembatan di atas, untuk memilih mana jembatan yang lebih efisien untuk di gunakan, maka perlu di tinjau pemilihan profil

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MASYARAKAT AKIBAT GANGGUAN GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK DARI MENARA TELEKOMUNIKASI MENURUT UNDANG-UNDANG Bab ini berisikan akibat hukum