PENERIMAAN DIRI PADA PENDERITA GLAUKOMA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Evrisya Glorys Fan Daiy
NIM : 089114011
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Kamu mungkin akan merasa kecewa saat mengalami kegagalan, tapi kamu bisa
benar
–
benar gagal kalau kamu tidak berusaha
( Beverly Sills )
Orang yang tidak pernah membuat kesalahan berarti tidak pernah mencoba hal
–
hal baru
( Albert Einstein )
Nasib bukan masalah perubahan, tapi masalah pilihan. Nasib itu tidak harus
ditunggu, tapi harus dicapai
( William Jennings Bryan )
Semua usaha saya dalam upaya pengerjaan hingga menyelesaikan skripsi ini, saya persembahkan untuk kemuliaan Tuhan,
karena ini semua atas campur tangan kuasaNya.
Untuk Papa yang juga menderita glaukoma, yang senantiasa memberi semangat dan
vi
PENERIMAAN DIRI PADA PENDERITA GLAUKOMA
Evrisya Glorys Fan Daiy
ABSTRAK
Glaukoma adalah penyakit mata yang tidak dapat disembuhkan dan mengakibatkan kebutaan secara tiba – tiba. Kondisi ini membuat penderita glaukoma perlu menerima diri agar tidak terpuruk dengan kondisinya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses penerimaan diri penderita glaukoma dan mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan diri. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini ialah bagaimana penderita glaukoma berupaya menerima diri atas kondisinya. Pendekatan kualitatif deskriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Penelitian ini melibatkan 5 penderita glaukoma yang menjadi pasien di Rumah Sakit Mata Dr Yap Yogyakarta. Subjek dipilih menggunakan criterion sampling,
yaitu dipilih dengan kriteria mengalami glaukoma, belum mengalami kebutaan, dan menggunakan obat secara terus menerus. Pengambilan data menggunakan proses wawancara semi – terstruktur. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah penderita glaukoma melakukan emotional focused coping untuk mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya dalam menerima diri. Emotional focused coping yang penderita glaukoma lakukan dipengaruhi oleh dukungan sosial emosional dan pola asuh demokratis di masa kecil. Hal ini membuat kelima subjek, mampu menerima diri dan kondisinya. Keberhasilan penderita glaukoma dalam menerima diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : konsep diri yang stabil, kesuksesan / keberhasilan, pola asuh demokratis di masa kecil, dan dukungan sosial emosional.
Kata kunci : penerimaan diri, penderita glaukoma
vii
SELF ACCEPTANCE OF GLAUCOMA PATIENTS
Evrisya Glorys Fan Daiy
ABSTRACT
Glaucoma is an eye disease which cannot be healed and can make effect in suddenly blindness. This condition made people with glaucoma disease need to accept their self in order to not be oppressed with their condition. This research have purpose to describe self acceptance process for people with glaucoma disease and to understand the factors which influence their self acceptance. The question in this research is how the people with glaucoma disease have an effort for their self acceptance for their condition. Qualitative descriptive method selected to answer this question research. This research involved 5 people with glaucoma disease whose being the patient at Dr Yap Eye Hospital Yogyakarta. The subjects selected by criterion sampling, with the criteria have glaucoma disease, not experienced in blind yet and use medicine continuously. Data removal use semi structured interview. The result from this research is people with glaucoma disease do emotional focused coping for reduce psychosocial effect and as an effort for self acceptance. Emotional focused coping which people with glaucoma do is influenced by social emotional support and democratic parenting in childhood. This factor made 5 subjects have a capability for their self acceptance and their condition. The success keys for people with glaucoma disease influenced by several factors: stable self concept, successful, democratic parenting in childhood and social emotional support.
ix
KATA PENGANTAR
Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan sebagai bentuk
kepedulian peneliti terhadap penerimaan diri penderita glaukoma.
Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat
terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besar kepada :
1. Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat rahmatNya yang telah memberikan
kesehatan, kehidupan, akal budi, serta rasa semangat dalam mengerjakan
sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak C. Siswa Widyatmoko selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma yang telah memberikan dukungan dan perizinan penelitian.
3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani dosen pembimbing akademik yang
memberikan dukungan dan bimbingan selama proses perkuliahan sampai
terselesaikannya pengerjaan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan sabar membimbing, berdiskusi, memberikan pencerahan dengan saran
dan pendapat yang sangat bermanfaat bagi penelitian ini.
5. Bapak Yohanes Heri Widodo, M.Psi dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi,
M.Psi selaku dosen penguji yang telah memberikan pertanyaan kritis, saran,
dan pengetahuan baru bagi saya untuk menjadikan skripsi ini semakin baik.
6. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si yang sudah dengan sabar berdiskusi dan
memberi saran bagi penelitian ini.
7. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kaprodi dan Ibu Agnes Indar Etikawati,
S.Psi., M.Si., Psi selaku Wakaprodi.
8. Mas Gandung, Bu Nanik, dan Pak Gik atas bantuan yang sudah diberikan
selama ini. Mas Doni atas pinjaman buku dan jurnal, serta Mas Muji atas
x
1. Untuk pihak Rumah Sakit Mata Dr Yap, yang sudah memberikan ijin bagi
saya guna melakukan penelitian.
2. Ibu TR, Ibu TE, Mbak SR, Mas K, dan Mas NS selaku subjek dalam
penelitian ini, yang bersedia meluangkan waktu untuk berbagai informasi dan
pengalaman bagi proses penyelesaian skripsi saya.
3. Untuk kedua orangtua saya, atas doa tulus dan semangat yang telah diberikan.
Untuk Papa terimakasih sudah dengan sabar memberikan nasehat setiap waktu
sehingga saya bisa tetap berjuang untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Untuk sahabat yang setia menemani untuk memberi semangat, dukungan,
masukan, nasehat, serta doanya, Eka Adhi Wibowo.
5. Untuk adik saya Raja Raja dan Mami Yohana atas dukungan yang sudah
diberikan.
6. Untuk teman – teman saya Ines, Lucy, Monik, Dessy, Kika, Chelly, Anggun, Intan, Ferry , Nopai, Heni, atas dukungan dan semangat yang sudah
diberikan. Untuk semua teman angkatan 2008 dan untuk teman – teman satu bimbingan saya
7. Untuk semua pihak yang sudah mendukung, yang tidak bisa saya sebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki keterbatasan dan
kekurangan. Oleh karena itu, sara dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan
untuk memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap agar skripsi ini bermanfaat bagai
para pembaca.
Yogyakarta, 20 Agustus 2013
Penulis,
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………...………i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN ……….iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..v
ABSTRAK……….vi
ABSTRACT………vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………..viii
KATA PENGANTAR………...ix
DAFTAR ISI………...xi
DAFTAR TABEL………...xiv
DAFTAR SKEMA……….…..xv
BAB I. PENDAHULUAN………...1
A. Latar Belakang Masalah……….1
B. Rumusan Masalah………..9
C. Tujuan Penelitian………10
D. Manfaat Penelitian………...10 1. Manfaat Teoritis……….10
2. Manfaat Praktis………10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….11
A. Penerimaan Diri………12
1. Review Literatur tentang Penerimaan Diri……….12
2. Pemahaman tentang Penerimaan Diri………16
3. Aspek – Aspek dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri………...18
a. Aspek – Aspek Penerimaan Diri………..18
xii
4. Dampak Penerimaan Diri………...26
5. Proses Penerimaan Diri ………...27
B. Glaukoma………30
1. Review Literatur tentang Glaukoma dan Permasalahan Psikologis pada Penderita Glaukoma……….30
2. Pengertian Glaukoma……….33
3. Glaukoma dalam Tinjauan yang Mendetail………...34
a. Jenis –Jenis Glaukoma………34
b. Pengobatan Glaukoma………..35
C. Penderita Glaukoma……….36
D. Kerangka Berpikir………36
E. Pertanyaan Penelitian………...38
BAB. III METODE PENELITIAN………40
A. Jenis Penelitian………40
B. Fokus Penelitian………..41
C. Subjek Penelitian………41
D. Metode Pengumpulan Data……….42
E. Proses Pengumpulan Data………...44
F. Prosedur Analisis Data………45
G. Kredibilitas Penelitian……….47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...49
A. Proses Penelitian………..49
1. Persiapan Penelitian………...49
2. Pelaksanaan Penelitian………...51
3. Proses Analisis Data………...52
4. Jadwal Pengambilan Data………..54
B. Profil Subjek……….60
1. Subjek 1 ( K )……….61
2. Subjek 2 ( TR )………...62
3. Subjek 3 ( TE )………...63
xiii
5. Subjek 5 ( SR )………...66
C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian……….67
D. Deskripsi Penerimaan Diri………...68
1. Subjek 1 ( K )………..68
2. Subjek 2 ( TR )………...77
3. Subjek 3 ( TE )………85
4. Subjek 4 ( NS )………...93
5. Subjek 5 ( SR )……….100
E. Pembahasan………111
1. Proses Penerimaan Diri………112
2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri………...124
BAB V. PENUTUP……….129
A. Kesimpulan………129
B. Keterbatasan Penelitian………..130
C. Saran………...131
DAFTAR PUSTAKA……….133
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Guide Line Interview………...43
Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1………...54
Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2………...55
Tabel 4. Jadwal Wawancara dengan Subjek 3………...56
Tabel 5. Jadwal Wawancara dengan Subjek 4………...58
Tabel 6. Jadwal Wawancara dengan Subjek 5………...59
xv
DAFTAR SKEMA
Skema 1. Gambaran Umum tentang
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit glaukoma adalah penyakit mata yang sering disebut sebagai si
pencuri penglihatan. Penyakit ini bisa menyebabkan kebutaan secara tiba –
tiba. Di seluruh dunia penyakit ini dikenal sebagai penyebab nomor satu
kebutaan. Glaukoma merupakan penyakit mata yang diakibatkan oleh
melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan
kerusakan anatomi, yang dapat berakhir dengan kebutaan. Untuk
mempertahankan kondisi mata pada mereka yang sudah didiagnosa
mengalami glaukoma, penderita harus memakai obat semur hidup untuk
mencegah kebutaan ( Ilyas, 2010 ).
Hal ini dipertegas oleh WHO, yang menyatakan bahwa glaukoma
menimbulkan masalah kesehatan yang lebih besar daripada katarak.
Glaukoma merupakan penyakit yang menghilangkan penglihatan dan
biasanya mereka yang mengidap tidak menyadarinya hingga glaukoma
merusak sedikitnya 40 persen daya penglihatan. Prosesnya tidak menyakitkan
dan tidak terasa, sehingga orang tidak memperhatikannya ( “ WHO : Dampak
Glaukoma Lebih Parah daripada Katarak, “ 2012 ). Sedangkan di Indonesia
jumlah penderita glaukoma yang mengalami kebutaan masih cukup tinggi,
bahwa 13,4 persen penduduk Indonesia mengalami kebutaan akibat glaukoma
( “ Glaukoma, Gangguan Mata Penyebab Kebutaan, “ 2012 ).
Penelitian terkait dengan glaukoma pernah di lakukan Soemarsono (
1995 ) di Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 149 subjek penderita penyakit
mata. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa angka kebutaan akibat
glaukoma masih cukup tinggi. Dari 149 penderita kebutaan, 69 orang
diakibatkan karena penyakit glaukoma. Penyakit glaukoma diketahui sebagai
penyebab kebutaan yang tidak dapat dipulihkan ( kebutaan permanen ) dan
risikonya semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Usia rata – rata
penderita kebutaan adalah 48 tahun, hal ini berarti terjadi pada usia yang
masih produktif, sehingga berdampak pada sosioekonomi seseorang baik
secara langsung maupun tidak langsung. Tak hanya berdampak pada diri
sendiri, melainkan juga keluarga dan lingkungan sekitar.
Pada pasien glaukoma perubahan emosi seperti bingung dan takut dapat
menimbulkan serangan akut pada kondisinya (Ilyas, 2010 ). Apabila
seseorang mengalami glaukoma maka kesejahteraannya akan terancam,
mengalami stress serta tekanan batin. Hal ini disebabkan karena penyakit
glaukoma berbeda dengan penyakit mata lainnya yang dapat disembuhkan,
sedangkan glaukoma tidak dapat dipulihkan (“ Glaukoma, Gangguan Mata
Penyebab Kebutaan, “ 2012).
Penelitian tentang permasalahan psikologis pada penderita glaukoma
pernah dilakukan oleh Shu-Xin Xi di Cina. Tujuan dari penelitian ini adalah
permasalahan psikologis yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan Focus
Group Discussion ( FGD ) dalam proses pengumpulan datanya. Dalam
penelitian ini, peneliti melibatkan 24 subjek. Pasien yang dipilih adalah
mereka yang memiliki riwayat sakit glaukoma selama satu bulan sampai dua
belas tahun.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa penderita glaukoma
mengalami perubahan psikologis dan emosional seperti rasa tidak berdaya,
rasa bersalah, takut akan ancaman kebutaaan, merasa hidup dengan
keterbatasan, khawatir jika penyakit glaukoma menyerang keluarga mereka,
dan mengalami gangguan emosional seperti mudah marah. Namun, hal
positifnya ada beberapa dari mereka yang menilai bahwa dengan berdoa
membuat kondisi mereka lebih baik. Dengan kondisi yang dialami, mereka
juga berusaha mengelola diri agar tidak menjadi beban bagi keluarga mereka.
Penderita glaukoma juga seni bela diri dari Tai Chi untuk membantu dalam
mengelola kondisi mereka ( Shu – Xin Xi, 2011 ).
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Shu – Xin Xi, hanya
memaparkan permasalahan psikologis pada penderita glaukoma tanpa
mengekplorasi lebih mendalam sebab dan cara penderita glaukoma
mengatasi permasalahannya. Penelitian ini hanya memaparkan bahwa usaha
subjek untuk mengelola kondisi dengan berdoa dan seni bela diri, tanpa
meneliti lebih mendalam perubahan dan dinamika psikologis yang dialami
memiliki kelemahan pada metode yang digunakan. Menurut Arikunto ( 2002
) penggunaan Focus Group Discussion ( FGD ) kurang efektif untuk
mengetahui kondisi yang sebenarnya pada masing – masing subjek, karena
terdapat kemungkinan subjek menjawab tidak sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya. Hal ini dapat terjadi apabila subjek merasa tidak nyaman
berbagi pengalaman dalam sebuah kelompok. Keberhasilan metode ini sangat
tergantung pada kemampuan moderator dalam proses diskusi. Hal lain yang
bisa terjadi apabila moderator tidak bisa memimpin diskusi dengan baik maka
hanya orang - orang tertentu saja yang mendominasi jalannya diskusi.
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana penderita
glaukoma yang belum mengalami kebutaan berupaya menerima diri dalam
menghadapi berbagai kondisi yang dialaminya selama sakit glaukoma .
Alasan peneliti melihat penerimaan diri sebagai aspek yang penting untuk
diteliti karena penderita glaukoma memiliki kelemahan fisik yakni tidak
optimalnya fungsi penglihatan dan risiko kebutaan yang bisa dialami secara
tiba – tiba. Selain itu, secara medis dapat disimpulkan bahwa glaukoma
merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang mengakibatnya
penderitanya harus menggunakan obat seumur hidup guna menghindari
terjadinya kebutaan. Kondisi seperti itu dapat mempengaruhi kehidupan
pribadi dan kehidupan sosial penderita glaukoma. Kondisi yang dialami
penderita glaukoma juga memunculkan permasalahan psikologis seperti
stress, tekanan batin, merasa tidak berdaya, merasa hidup dengan
Berlatar belakang kondisi fisik dan permasalahan psikologis yang
penderita glaukoma alami, maka menurut Sheerer ( dalam Cornbach, 1963 ),
penerimaan diri positif menjadi sangatlah penting agar mereka tetap memiliki
keyakinan atas kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi kehidupannya
dan tidak menyalahkan diri sendiri atas kondisi yang dialami. Penerimaan diri
positif menjadi penting bagi penderita glaukoma agar mereka tidak terpuruk
dengan kondisi yang dialaminya sehingga dapat menjadi pribadi yang sehat.
Hal ini ditegaskan oleh Maslow (dalam Schultz, 1991 ), untuk menjadi
pribadi yang sehat dibutuhkan sebuah penerimaan diri positif sehingga
mereka tidak merasa malu dan merasa bersalah walaupun memiliki
kelemahan atau mengalami kecacatan. Selain itu, dijelaskan oleh Allport (
dalam Schultz, 1991) untuk menjadi pribadi yang sehat dibutuhkan
kemampuan dalam menerima semua segi dalam diri, termasuk kelemahan dan
kekurangan tanpa menyerah secara pasif pada kondisi tersebut.
Menurut Hurlock ( 1974), dengan meninjau kemampuan penerimaan
diri seseorang, maka akan banyak aspek yang dapat digali, antara lain :
pemahaman dan perspektif diri, konsep diri, kondisi emosional seseorang
terkait dengan peristiwa yang dialaminya, kemampuan beradaptasi, orientasi
atas diri, serta penyesuaian terhadap diri sendiri dan lingkungan sosialnya.
Peneliti memilih penderita glaukoma yang belum mengalami kebutaan
sebagai subjek penelitian karena menurut menurut Shu-Xin Xi ( 2011 )
penderita glaukoma yang belum mengalami kebutaan memiliki banyak
glaukoma yang belum mengalami kebutaan sebagai subjek karena menurut
Soemarsono ( 1995 ) permasalahan yang muncul pada penderita glaukoma
yang mengalami kebutaan adalah permasalahan sosial dan ekonomi.
Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penerimaan
diri. Namun, dengan subjek yang berbeda – beda. Penelitian tentang
penerimaan diri yang pertama dilakukan oleh Rizkiana dan Retnaningsih (
2009 ). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dari penerimaan
diri dan faktor – faktor yang berperan dalam penerimaan diri remaja
penderita leukemia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa
studi kasus menggunakan metode wawancara dan observasi dalam proses
pengumpulan datanya. Penelitian ini melibatkan seorang remaja perempuan
berusia 14 tahun sebagai subjeknya. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini
adalah subjek penderita leukemia ini memiliki penerimaan diri yang baik,
mampu menerima keterbatasan karena penyakitnya, mampu menerima
kritikan, dan memiliki harapan yang realistis. Sedangkan faktor yang
berperan dalam penerimaan diri penderita leukemia ini adalah pola asuh
demokratis yang diterapkan orang tuanya.
Penelitian lain tentang penerimaan diri adalah penelitian yang
dilakukan oleh Widjanarko ( 2011 ). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi status
HIV positif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode wawancara dan observasi dalam proses pengumpulan
positif mengalami HIV sebagai subjek penelitian. Hasil dari penelitian ini
adalah perbedaan tingkat penerimaan diri pada tiap penderita HIV/AIDS, ada
yang tinggi, sedang, dan lemah.
Dari dua penelitian sebelumnya yang dipaparkan di atas diketahui
gambaran tentang penerimaan diri dan perbedaan kemampuan penerimaan
diri pada masing – masing subjek. Jumlah subjek yang hanya satu pada
penelitian pertama tentang penerimaan diri pada remaja leukemia juga
menjadi sebuah kelemahan. Selain itu, penelitian sebelumnya hanya memberi
gambaran penerimaan diri dan belum memaparkan tentang proses penerimaan
diri serta belum secara eksplisit menggambarkan faktor – faktor yang
mempengaruhi upaya penerimaan diri. Peluang lain yang dapat peneliti
jadikan celah untuk meneliti tentang penerimaan diri pada penderita
glaukoma adalah hasil dari penelitian penerimaan diri pada subjek penderita
leukemia dan HIV tidak dapat digenaralisasikan pada subjek penderita
glaukoma. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan kondisi yang dialami pada
penderita leukemia maupun HIV jika dibandingkan dengan penderita
glaukoma. Pada penderita leukemia dan HIV permasalahan psikologis yang
dialami adalah ketakutan akan kematiaan, adanya stigma, dan diskriminasi
dari masyarakat sekitar. Sedangkan pada penderita glaukoma, permasalahan
psikologis yang dialami adalah ketakutan akan terjadinya kebutaan.
Salwa, dkk ( 2007 ) juga meneliti penerimaan diri dengan subjek yang
berbeda dan metode pengumpulan data yang berbeda. Penelitian ini bertujuan
terhadap vonis dengan penerimaan diri pada narapidana wanita. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan menggunakan matode analisis
dengan teknik analisis regresi ganda dan korelasi parsial. Para peneliti
melibatkan 92 narapidana wanita yang telah mengikuti masa hukuman
dibawah tiga bulan sebagai subjek penelitian. Data penelitian ini
dikumpulkan dengan menggunakan skala penerimaan diri, skala dukungan
sosial keluarga, dan skala persepsi terhadap vonis. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang sangat singnifikan antara
dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri narapidana wanita ini.
Hubungan yang positif ini memiliki arti bahwa makin tinggi dukungan sosial
keluarga, maka makin tinggi pula penerimaan dirinya.
Penelitian ini memiliki kelemahan pada metode yang digunakan.
Penggunaan skala kurang dapat menggali informasi yang lebih jelas tentang
hubungan dukungan sosial keluarga dan penerimaan diri seseorang. Metode
skala tidak dapat melihat dinamika psikologis yang terjadi dalam proses
penerimaan diri seseorang yang mendapat dukungan dari lingkungan
sosialnya.
Peneliti juga meninjau Self Acceptance Scale milik Berger ( 1950 ),
dimana skala ini memiliki 36 item dengan lima pilihan rating, dari 1 sampai 5
untuk tiap pernyataan. Hasilnya, semakin tinggi skor yang diperoleh maka
semakin tinggi penerimaan dirinya. Kategorinya, 1-110 menggambarkan
penerimaan dirinya negatif, 111 – 150 menggambarkan penerimaan diri yang
Penggunaan skala yang digunakan tersebut adalah tidak semua
pernyataan menggambarkan situasi dalam diri subjek sedangkan subjek harus
tetap memberi rating, dan sebaliknya akan ada beberapa kondisi subjek yang
sebenarnya, akan tetapi tidak terdapat pada 36 pernyataan tersebut. Jadi,
kelemahan skala adalah tidak semua pernyataan mewakili kondisi
sebenarnya, dan juga sebaliknya kondisi yang sebenarnya terdapat pada diri
subjek tidak terwakili oleh pernyataan yang ada.
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif. Pengambilan data akan dilakukan melalui
wawancara mendalam secara personal karena peneliti menilai bahwa
pendekatan kualitatif mampu memfasilitasi peneliti untuk mengetahui
dampak yang muncul akibat mengalami glaukoma, proses penerimaan diri
pada penderita glaukoma dan faktor – faktor yang mempengaruhi upaya
penerimaan diri dengan kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya. Hal ini
dilakukan peneliti karena pada penelitian sebelumnya yang menggunakan
skala, kuesioner, dan wawacara dalam Focus Group Discussion ( FGD )
kurang efektif untuk menggali penerimaan diri secara lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,
rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana penderita
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan proses penerimaan diri pada penderita glaukoma.
2. Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan diri.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan
dan pemahaman ilmu psikologi, terutama psikologi kepribadian
dan psikologi sosial mengenai penerimaan diri pada penderita
glaukoma.
2. Manfaat praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan
bagi penderita glaukoma lain dalam menerima diri agar tidak
terpuruk dengan kondisi yang dialami.
b. Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak medis dan
psikolog untuk memilih pendekatan dan bantuan yang disesuaikan
dengan gambaran penerimaan diri pada masing – masing penderita
glaukoma.
c. Penelitian ini juga bermanfaat bagi keluarga penderita glaukoma,
dengan adanya proses penerimaan diri pada penderita glaukoma
keluarga dapat memberi bantuan bagi penderita glaukoma dalam
menjalani kehidupannya untuk menghadapi penyakit yang berisiko
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penerimaan Diri
1. Review Literatur tentang Penerimaan Diri
Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penerimaan
diri. Namun, dengan subjek yang berbeda – beda . Penelitian tentang
penerimaan diri yang pertama dilakukan oleh Rizkiana dan Retnaningsih (
2009 ). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dari
penerimaan diri dan faktor – faktor yang berperan dalam penerimaan diri
remaja penderita leukemia. Pengumpulan data dilakukan dengan
pendekatan kualitatif berupa studi kasus menggunakan metode wawancara
dan observasi dalam proses pengumpulan datanya. Penelitian ini
melibatkan seorang remaja perempuan berusia 14 tahun, yang menderita
leukimia stadium satu dengan lama sakit selama satu tahun sebagai subjek
penelitian. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah subjek penderita
leukemia ini memiliki penerimaan diri yang baik, mampu menerima
keterbatasan karena penyakitnya, mampu menerima kritikan, dan memiliki
harapan yang realistis. Sedangkan faktor yang berperan dalam penerimaan
diri penderita leukemia ini adalah pola asuh demokratis yang diterapkan
Penelitian lain tentang penerimaan diri adalah penelitian yang
dilakukan oleh Widjanarko ( 2011 ). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi
status HIV positif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan menggunakan metode wawancara dan observasi dalam proses
pengumpulan datanya. Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan tiga
pekerja seks yang positif mengalami HIV sebagai subjek penelitian. Hasil
dari penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat penerimaan diri pada tiap
penderita HIV/AIDS, ada yang tinggi, sedang, dan lemah.
Dari dua penelitian tersebut yang melibatkan penderita leukemia
dan pekerja seks yang positif mengalami HIV telah diketahui gambaran
penerimaan diri pada masing – masing subjek. Jumlah subjek yang hanya
satu pada penelitian pertama tentang penerimaan diri pada remaja
leukemia juga menjadi sebuah kelemahan. Jumlah subjek yang lebih dari
satu akan bisa mencukupi hasil penelitian karena tidak bisa diperiksa
kesamaan dan perbedaan antar subjek. Selain itu, penelitian sebelumnya
hanya memberi gambaran penerimaan diri dan belum memaparkan tentang
proses penerimaan diri serta belum secara eksplisit menggambarkan faktor
– faktor yang mempengaruhi upaya penerimaan diri. Oleh karena itu,
maka ini merupakan peluang bagi peneliti untuk meneliti proses
penerimaan diri pada penderita glaukoma dan faktor – faktor yang
mempengaruhi penerimaan diri secara lebih mendalam. Terdapat peluang
glaukoma, karena hasil dari penelitian penerimaan diri pada subjek
penderita leukemia dan HIV tidak dapat digenaralisasikan pada subjek
penderita glaukoma. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan kondisi yang
dialami pada penderita leukemia maupun HIV jika dibandingkan dengan
penderita glaukoma. Pada penderita leukemia dan HIV permasalahan
psikologis yang dialami adalah ketakutan akan kematiaan, adanya stigma,
dan diskriminasi dari masyarakat sekitar. Sedangkan pada penderita
glaukoma, permasalahan psikologis yang dialami adalah ketakutan akan
terjadinya kebutaan.
Peneliti juga mengkaji metode yang dipilih pada penelitian
sebelumnya dengan topik penerimaan diri. Salwa, dkk ( 2007 ) pernah
melakukan sebuah penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
dukungan sosial keluarga dan persepsi terhadap vonis dengan penerimaan
diri pada narapidana wanita. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif, dengan menggunakan matode analisis dengan teknik analisis
regresi ganda dan korelasi parsial. Para peneliti melibatkan 92 narapidana
wanita yang telah mengikuti masa hukuman dibawah tiga bulan sebagai
subjek penelitian. Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan
skala penerimaan diri, skala dukungan sosial keluarga, dan skala persepsi
terhadap vonis. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat
hubungan antara dukungan sosial keluarga dan persepsi terhadap vonis
dengan penerimaan diri dengan R = 0,561 dan Fhitung = 20,628 dengan
antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri narapidana
wanita ini. Nilai yang diperoleh adalah ry1-2= 0,553 dengan p=0,000
(p<0,01). Sumbangan efektif variabel dukungan sosial keluarga terhadap
penerimaan diri sebesar 30,8 %. Hubungan yang positif ini memiliki arti
bahwa makin tinggi dukungan sosial keluarga, maka makin tinggi pula
penerimaan dirinya. Hasil lain dari penelitian ini adalah tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan persepsi terhadap
vonis. Hal ini menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki
tingkat dukungan sosial keluarga yang tinggi, sehingga mempengaruhi
pada penerimaan diri narapida wanita ini.
Penelitian ini memiliki kelemahan pada metode yang digunakan.
Penggunaan skala kurang dapat menggali informasi yang lebih jelas
tentang hubungan dukungan sosial keluarga dan penerimaan diri
seseorang. Metode skala tidak dapat melihat dinamika psikologis yang
terjadi dalam proses penerimaan diri seseorang yang mendapat dukungan
dari lingkungan sosialnya, karena pernyataan pada sebuah skala tidak
semua menggambarkan kondisi yang sebenarnya dialami oleh subjek.
Penggunaan metode skala juga membutuhkan ketelitian dari subjek dalam
membaca dan memahami pernyataan agar subjek dapat menjawab dengan
sungguh – sungguh. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti memilih
metode kualitatif dengan wawancara secara personal pada masing –
masing subjek agar dapat menggali penerimaan diri subjek secara lebih
2. Pemahaman tentang Penerimaan Diri
Penerimaan diri menurut Wiley ( dalam Josephine dan Srisuini,
1998) merupakan persepsi terhadap diri sendiri mengenai kelebihan dan
keterbatasannya yang dapat digunakan secara efektif. Hal ini dipertegas
oleh Hurlock ( 1974 ) bahwa penerimaan diri adalah suatu tingkat
kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala
karakteristik dirinya. Jersild (1985) juga mendefinisikan penerimaan diri
sebagai tingkat kemampuan seseorang untuk memahami karakteristik
dirinya. Sheerer ( dalam Cronbach, 1963 ) menjelaskan bahwa penerimaan
diri adalah sikap dalam menilai diri dan keadaan diri sendiri secara
objektif.
Menurut Hurlock ( 1974 ) orang yang memiliki penerimaan diri
positif diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya
sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga
individu tersebut lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi
dengan lingkungan. Hal ini sesuai pernyataan Wiley ( dalam Josephine dan
Srisuini, 1998) penerimaan diri positif meningkatkan toleransi terhadap
orang lain dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya.
Seseorang yang memiliki penerimaan diri positif berarti dapat mengenali
kekurangannya sendiri serta berusaha untuk memperbaiki diri.
Jersild ( 1985 ) juga memaparkan bahwa orang yang memiliki
penerimaan diri positif, mampu menerima kondisi yang ada, menyadari
dan menjadi sesuatu yang diharapkannya.Menurut Chaplin ( 1981) dengan
penerimaan diri positif, maka seseorang akan bersikap puas dengan diri
sendiri, kualitas – kualitas dan bakat – bakat sendiri, dan pengakuan akan
keterbatasan – keterbatasan sendiri.
Maslow juga menyatakan ( dalam Schultz, 1991, h.100 ) bahwa “
orang yang memiliki penerimaan diri positif , akan menerima kelemahan
– kelemahan dan kekuatan – kekuatan mereka tanpa keluhan dan
kesusahan dapat dikatakan sebagai orang yang mengaktualisasi diri “.
Individu yang sehat tidak merasa malu atau merasa bersalah terhadap
kelemahan atau kecacatan yang mereka miliki. Hal ini diperkuat dengan
pendapat Allport( dalam Schultz, 1991) yang menyatakan bahwa
penerimaan diri positif menjadi aspek utama yang mencerminkan sifat
kepribadian yang sehat. Salah satu kondisi ketika seseorang dapat
dikatakan memiliki kepribadian yang sehat, jika mereka mampu menerima
semua segi dari diri mereka, termasuk kelemahan – kelemahan dan
kekurangan – kekurangan tanpa menyerah secara pasif pada kelemahan
dan kekurangan tersebut .
Sebaliknya menurut Ryff ( 1996) seseorang dikatakan memiliki
penerimaan diri yang rendah apabila ia merasa kurang puas terhadap
dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada
kehidupannya di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari
dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya
Berdasarkan sejumlah definisi mengenai penerimaan diri, secara
garis besar dapat diketahui bahwa para ahli mendefinisikan bahwa
penerimaan diri merupakan kemampuan mempersepsi diri sendiri
mengenai kelebihan dan keterbatasannya, serta keinginan individu untuk
memahami dan hidup dengan segala karakteristik dirinya. Penerimaan diri
positif merupakan kemampuan seseorang mengenai pengakuan atas diri,
menerima kelemahan atau kekurangan dalam diri, memahami kemampuan
dan ketidakmapuannya, serta tidak bermasalah dengan dirinya. Sedangkan
penerimaan diri negatif merupakan ketidakpuasan atas dirinya, merasa
kecewa atas dirinya dan berkeinginan untuk menjadi orang yang berbeda
dari dirinya sendiri.
3. Aspek – Aspek dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan
Diri
a. Aspek – Aspek Penerimaan Diri
Berdasarkan pemahaman tentang penerimaan diri, Hurlock ( 1974 ),
mengemukakan beberapa aspek dalam penerimaan diri, yaitu sebagai
berikut :
1. Pemahaman dan Perspektif tentang Diri
Pemahaman ini terkait dengan kesempatan seseorang untuk
mengenali kemampuan yang dimiliki, namun tetap tidak
mengabaikan ketidakmampuannya. Mereka memandang
mereka mampu mengungkapkan dengan baik mengenai persepsi
tentang dirinya yang sebenarnya. Menurut Jersild ( 1985 ), mereka
yang memiliki pemahaman atas dirinya adalah mereka yang yakin
atas diri mereka dan memiliki perhitungan akan keterbatasan diri,
lebih menghargai diri sendiri, dan tidak melihat diri secara
irasional. Hal ini ditegaskan oleh Sheerer ( dalam Cronbach, 1963
), bahwa dengan kondisi apapun mereka tidak menyalahkan diri
sendiri akan keterbatasan yang dimilikinya dan tidak mengingkari
kelebihan yang dimiliki karena mereka memiliki keyakinan akan
kemampuannya dalam menghadapi kehidupan, serta menganggap
dirinya berharga sebagai seseorang yang juga sederajat dengan
orang lain.
2. Tidak Adanya Tekanan Emosi
Keadaan dimana seseorang tidak mengalami sebuah tekanan emosi
yang berat, akan membuat seseorang dapat bekerja sebaik
mungkin, merasa bahagia, sehingga mereka memiliki orientasi atas
dirinya. Hal ini terjadi pada saat seseorang mampu merelaksasikan
kemarahan, kekecewaan, dan rasa frustasi yang dialaminya.
Kondisi ini dapat menjadi dasar sebuah evaluasi dan penerimaan
diri yang baik.
3. Respon terhadap Penilaian Orang Lain
Pada saat menerima penilaian dari orang lain seperti pujian
Jersild ( 1985 ), mereka juga memiliki kemampuan dalam
menerima kritikan dari orang lain, bahkan mereka dapat
memperoleh esensi dari penerimaan mereka atas kritikan yang
ditujukan pada dirinya.
4. Perilaku Sosial yang Baik
Pada saat seseorang mampu berperilaku baik , berusaha
menghormati aspek – aspek yang dimiliki orang lain dan mengikuti
kebiasaan sosial di lingkungannya, maka ia akan mendapat
perlakuan dan penerimaan yang baik dari orang disekitarnya.
Dengan adanya penerimaan dari lingkungan sekitar inilah yang
membuat seseorang juga akan mampu menerima dirinya sendiri.
5. Harapan yang Realistis
Hal ini berkontribusi untuk kepuasan diri dalam eksistensi untuk
mencapai penerimaan diri. Harapan ini timbul jika seseorang
mampu menentukan sendiri harapannya, yang disesuaikan dengan
pemahamannya mengenai kemampuan yang dimilikinya. Harapan
menjadi hal penting karena menurut Adler ( dalam Alwisol, 2008 ),
kepribadian seseorang dibangun oleh keyakinan subjektif diri
sendiri mengenai masa depannya. Jersild ( 1985 ), mengungkapkan
dalam uasaha untuk mencapai sebuah harapan seseorang
memerlukan keseimbangan antara “ real self “ dan “ Ideal self “.
Pada saat seseorang memiliki sebuah harapan, mereka menyadari
merupakan sesuatu yang dianggapnya baik. Akan tetapi, dalam
proses mewujudkan sebuah harapan seseorang harus melakukan
sesuai dengan konteks yang dapat dicapainya, sehingga nantinya
mereka tidak mengalami kekecewaan. Hal ini penting karena
menurut Sheerer ( dalam, Cronbach, 1963 ) karena mereka yang
memliki harapan harus tetap bertanggungjawab atas perilakunya.
b. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Upaya Penerimaan Diri
Berdasarkan pemahaman tentang aspek – aspek dalam penerimaan diri,
Hurlock ( 1974 ) mengemukakan tentang faktor – faktor yang
mempengaruhi upaya penerimaan diri seseorang, antara lain adalah :
1. Keberhasilan
Hal ini berkaitan dengan keberhasilan yang pernah dialami
seseorang yang dapat menimbulkan penerimaan diri, sedangkan
kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan adanya penolakan
atas dirinya.
2. Pola Asuh di Masa Kecil
Menurut Santrock (1995), pola asuh sendiri terbagi menjadi empat,
yaitu :
a. Pengasuhan Otoriter
Suatu gaya membatasi dan menghukum anak untuk mengikuti
perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha.
perbandingan sosial, gagal memprakasai kegiatan, dan memilii
keterampilan komunikasi yang rendah.
b. Pengasuhan otoritatif atau Demokratis
Pengasuhan dimana orang tua mendorong anak agar mandiri
tetapi masih menetapkan batasan – batasan atas tindakan
mereka. Mereka dengan orang tua yang otoritatif berkompeten
secara sosial, percaya diri, dan bertanggungjawab secara sosial.
selain itu, mereka dapat menghargai diri sendiri dan mampu
mengontrol perilakunya.
c. Pengasuhan Permissive–Indifferent
Gaya pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam
kehidupan anak. Mereka dengan orang tua seperti itu akan
inkompeten secara sosial, mereka memperlihatkan kendali diri
yang buruk dan tidak membangun kemandirian yang baik.
d. Pengasuhan Permissive-Indulgent
Pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan
anak tetapi menetapkan sedikit batas terhadap anak – anak.
Orang tua seperti itu membiarkan anak melakukan segala hal
yang diinginkan akibatnya mereka tidak pernah belajar
mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu
mengharapkan kemauan mereka dituruti.
Apabila seorang individu itu yang tidak memiliki konsep diri
stabil, maka terkadang individu tersebut akan menyukai dirinya,
dan kadang ia tidak menyukai dirinya sehingga akan sulit
menunjukan pada orang lain siapa dirinya yang sebenarnya.
Menurut Rogers ( dalam Alwisol, 2008 ) konsep diri merupakan
konsepsi orang mengenai dirinya sendiri, ciri - ciri yang
dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Konsep diri juga
mengggambarkan pandangan diri dalam kaitannya dengan berbagai
perannya dalam kehidupan dan hubungan interpersonal. Menurut
Feist dan Feist ( 2010 ) konsep diri yang sudah terbangun tidak
mungkin membuat perubahan sama sekali . Perubahan biasanya
paling mudah terjadi ketika adanya penerimaan dari orang lain,
yang membantu seseorang untuk mengurangi kecemasan dan
ancaman serta untuk mengakui dan menerima pengalaman –
pengalaman yang sebelumnya ditolak .
4. Identifikasi pada Orang yang Mampu Mampu Menyesuaikan Diri
dengan Baik
Mengidentifikasikan diri dengan orang yang well adjusted akan
berpengaruh pada perkembangan seseorang dalam membangun
sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku
dengan baik. Hal ini bisa menimbulkan penilaian dan penerimaan
diri yang baik.
Hal ini terkait dengan dukungan dan kesempatan dari orang
disekitar dalam mewujudkan sebuah harapan seseorang. Jika
seseorang sudah memiliki harapan yang realistis, tetapi apabila
lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau
bahkan menghalangi, maka harapan orang tersebut tentu akan sulit
tercapai.
Selain itu, Jersild ( 1985 ) juga mengemukakan bahwa terdapat
beberapa faktor yang berpengaruh dalam upaya penerimaan diri
seseorang, yaitu :
1. Usia
Penerimaan diri seseorang cenderung sejalan dengan usia orang
tersebut. Apabila semakin matang dan dewasa seseorang semakin
tinggi pula tingkat penerimaan dirinya.
2. Pendidikan
Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan potensi
dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga semakin tinggi pula
kepuasan diri yang diraihnya. Seseorang yang merasa puas dengan
dirinya, akan lebih menerima dirinya secara lebih realistis
3. Keadaan Fisik
Kondisi fisik yang berbeda – beda antar individu akan
4. Dukungan Sosial
Upaya penerimaan diri akan lebih mudah dilakukan pada mereka
yang memperoleh perlakuan menyenangkan dan dukungan sosial
dari orang disekitarnya. Cohen dan Syme (dalam Gottlieb, 1988)
mengklasifikasikan dukungan sosial menjadi empat jenis, yaitu:
a. Dukungan informasi
Dukungan ini berupa pemberian penjelasan tentang situasi dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang
dihadapi oleh individu. Dukungan ini meliputi pemberian
nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan tentang bagaimana
seseorang bersikap.
b. Dukungan emosional
Meliputi ekspresi empati misalnya dengan mendengarkan,
bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa
yang dikeluhkan, berusaha memahami, serta ekspresi kasih
sayang dan perhatian. Dukungan emosional akan membuat
individu penerima dukungan merasa berharga, nyaman, aman,
dan disayangi.
c. Dukungan Instrumental
Berupa bantuan yang diberikan secara langsung, bersifat
fasilitas atau materi, misalnya menyediakan fasilitas yang
diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan, atau
d. Dukungan Penilaian
Dukungan yang berupa penilaian yang positif, penguatan untuk
melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan
perbandingan sosial yang membuka wawasan seseorang yang
sedang dihadapkan pada situasi stres.
5. Pola Asuh
Menurut Hurlock ( 1974 ) pola asuh yang demokratis membuat
anak merasa dihargai dalam keluarga. Anak yang lebih dihargai
akan cenderung menghargai diri sendiri dan mampu
memperkirakan tanggungjawab yang harus dimilikinya, sehingga
ia akan mampu mengendalikan perilakunya dengan kerangka
aturan yang dibuatnya dengan berpedoman pada norma – norma
yang berlaku di masyarakat.
4. Dampak Penerimaan Diri
Hurlock ( 1974 ) menjelaskan bahwa jika seseorang semakin baik
dalam menerima diri ,maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan
sosialnya. Dampak dari penerimaan diri menurut Hurlock dibedakan
menjadi dua, yaitu :
a. Dampak dalam penyesuaian diri
Orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah mereka
lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, dan biasanya
lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang
kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang
memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara
realistis, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara
efektif hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistik
terhadap dirinya maka mereka akan bersikap jujur dan tidak
berpura-pura.
b. Dampak dalam penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari
orang lain. Orang yang memiliki penerimaa diri akan merasa aman
untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti
menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memiliki
penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih
baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau
merasa tidak adekuat sehingga mereka akan cenderung untuk
bersikap inferior atas dirinya sendiri.
5. Proses Penerimaan Diri
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2008 ) proses merupakan
runtutan perubahan peristiwa dalam suatu perkembangan yang berupa
serangkaian tindakan. Proses penerimaan diri merupakan serangkaian
tindakan yang dilakukan seseorang dalam menerima diri. Proses dimana
emosional dalam diri. Proses penerimaan diri terhadap peristiwa yang
menyakitkan dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan seseorang dalam
menerima dirinya dalam menghadapi peristiwa yang menyakitkan. Dalam
konsteks penelitian ini, proses penerimaan diri penderita glaukoma ditinjau
dari rangkaian tindakan yang mereka lakukan untuk membentuk
penerimaan diri yang baik selama mengalami penyakit yang berisiko
kebutaan dan tidak dapat disembuhkan ini.
Pada penelitian ini, peneliti juga menjadikan kerangka berpikir
Kubler – Ross ( 1998 ) untuk melihat tahap penerimaan diri penderita
glaukoma. Teori Kubler – Ross memaparkan tentang tahapan mengenai
penerimaan pada seseorang yang mengalami peristiwa menjelang
kematian. Kematian sendiri merupakan peristiwa yang menyakitkan.
Peneliti menggunakan kerangka berpikir ini karena peneliti menilai bahwa
seseorang yang menghadapi kematian dan seseorang yang berpotensi
mengalami kebutaan, sama – sama mengalami peristiwa yang
menyakitkan meski bentuk ketakutannya berbeda. Peneliti memutuskan
untuk mempergunakan tahap penerimaan Kubler – Ross karena dapat
menggambarkan penerimaan diri penderita glaukoma terkait dengan
kondisi yang dialami. Dimana penderitanya menghadapi penyakit yang
tidak dapat disembuhkan, harus ditanggung penderitanya seumur hidup
dan bisa berakhir pada kebutaan merupakan salah satu bentuk peristiwa
yang menyakitkan. Alasan lain peneliti menggunakan tahap penerimaan
secara umum dan atau yang dikhususkan pada penderita glaukoma. Tahap
– tahap penerimaan diri menurut Kubler – Ross ( 1998 ) :
a. Tahap 1 ( Penolakan )
Pada tahap ini seseorang mengalami perasaan shock/kaget, tidak
percaya dengan diagnose, merasa bingung, melakukan penyangkalan
terhadap kondisi yang dialami sehingga memungkinkan seorang
tersebut mengasingkan diri sendiri.
b. Tahap 2 ( Marah )
Tahap ini memunculkan perasaan marah dan cenderung melakukan
proyeksi. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian atau
perhatian yang berlebih dari orang terdekat terhadap kondisinya,
harapan tidak sesuai dengan kenyataan, adanya perbedaan dengan
kondisi yang dulu dan sekarang serta ada penolakan-penolakan.
Dalam tahap ini selanjutnya juga menimbulkan perasaan bersalah
yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena dianggap
sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu hal buruk atau
karena kelemahan yang
c. Tahap 3 ( Tawar – Menawar )
Tahap ketiga seseorang mengalami pengalaman religiusitas dengan
Tuhan. Ada proses tawar menawar dimana seseorang itu berjanji
untuk bertingkah laku baik asalkan permintaannya dipenuhi. Namun
pada kenyataannya janji tidak selalu dipenuhi dan terus menuntut
dengan orang lain disekitarnya. Di tahap ketiga ini memungkinkan
munculnya perasaan bersalah, ketakutan atau merasa dihukum karena
kesalahannya.
d. Tahap 4 ( Depresi )
Pada tahap ini terdapat dua jenis depresi. Pertama, depresi reaktif
yaitu keinginan untuk mengungkapkan banyak hal secara verbal, ada
rasa bersalah, dan keinginan untuk mati. Kedua, depresi preparation
yaitu banya sedikit atau bahkan tidak ada reaksi verbal melainkan
pada keinginan non verbal seeti keinginan ditemani.
e. Tahap 5 ( Penerimaan )
Munculnya sikap penerimaaan terhadap kondisi yang dialami.
Merasakan kedamaian, sudah dapat melalui tahap-tahap sebelumnya
dengan baik sehingga tidak akan merasakan depresi maupun marah
terhadap kondisinya.
B. Glaukoma
1. Review Literatur tentang Glaukoma dan Permasalahan Psikologis
pada Penderita Glaukoma
Penelitian terkait dengan glaukoma pernah di lakukan Soemarsono
( 1995 ) di Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 149 subjek, dengan 70
subjek wanita dan 79 subjek pria. Dari 149 subjek penelitian diketahui
bahwa 71 orang mengalami kebutaan pada dua mata dan 78 orang
hasil bahwa angka kebutaan akibat glaukoma masih cukup tinggi. Dari
149 penderita kebutaan, 69 orang diakibatkan karena penyakit glaukoma.
Penyakit glaukoma diketahui sebagai penyebab kebutaan yang tidak dapat
dipulihkan ( kebutaan permanen ) dan risikonya semakin meningkat
seiring bertambahnya usia. Secara psikososial ditemukan bahwa usia rata
– rata penderita kebutaan adalah 48 tahun, hal ini berarti terjadi pada usia
yang masih produktif, sehingga berdampak pada sosioekonomi seseorang
baik secara langsung maupun tidak langsung. Tak hanya berdampak pada
diri sendiri, melainkan juga keluarga dan lingkungan sekitar.
Penelitian tentang permasalahan psikologis pada penderita
glaukoma pernah dilakukan oleh Shu-Xin Xi di Cina. Penelitian ini
dilakukan di sebuah rumah sakit mata di Cina. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengalaman penderita glaukoma terkait dengan
permasalahan psikologis yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan
Focus Group Discussion ( FGD ) dalam proses pengumpulan datanya.
Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan 24 subjek, 10 pria dan 14 wanita
yang berusia 23 sampai 43 tahun. Pasien yang dipilih adalah mereka yang
memiliki riwayat sakit glaukoma selama satu bulan sampai dua belas
tahun.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa penderita glaukoma
mengalami perubahan psikologis dan emosional seperti rasa tidak berdaya,
keterbatasan, khawatir jika penyakit glaukoma menyerang keluarga
mereka, dan mengalami gangguan emosional seperti mudah marah.
Namun, hal positifnya ada beberapa dari mereka yang menilai bahwa
dengan berdoa membuat kondisi mereka lebih baik. Dengan kondisi yang
dialami, mereka juga berusaha mengelola diri agar tidak menjadi beban
bagi keluarga mereka. Penderita glaukoma juga mencari info sebanyak
mungkin untuk menambah pemahaman mereka tentang glaukoma dan
melakukan seni bela diri dari Tai Chi untuk membantu dalam mengelola
kondisi mereka ( Shu – Xin Xi, 2011 ).
Berdasarkan deskripsi tentang penelitian sebelumnya, terdapat
beberapa peluang untuk dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang
penerimaan diri pada penderita glaukoma. Pertama, penyakit glaukoma
diketahui sebagai penyebab kebutaan yang tidak dapat dipulihkan (
kebutaan permanen ) dan risikonya semakin meningkat seiring
bertambahnya usia. Kedua, adanya kelemahan pada penelitian
sebelumnya yang hanya memaparkan permasalahan psikologis pada
penderita glaukoma tanpa mengekplorasi lebih mendalam sebab dan cara
penderita glaukoma mengatasi permasalahannya. Penelitian sebelumnya
hanya memaparkan bahwa usaha subjek untuk mengelola kondisi dengan
berdoa dan seni bela diri, tanpa meneliti lebih mendalam perubahan dan
dinamika psikologis yang dialami subjek ketika melakukan usaha tersebut.
Selain itu, terdapat alasan sehingga penelitian selanjutnya tentang
dengan metode pengumpulan data melalui wawancara secara personal,
karena penelitian sebelumnya memiliki kelemahan pada metode yang
digunakan. Penggunaan Focus Group Discussion ( FGD ) kurang efektif
untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya pada masing – masing subjek,
karena terdapat kemungkinan subjek menjawab tidak sesuai dengan
kondisi yang sebenarnya. Hal ini dapat terjadi apabila subjek merasa
tidak nyaman berbagi pengalaman dalam sebuah kelompok. Pada saat
berada dalam kelompok memungkinkan seseorang menjawab pertanyaan
dengan tidak jujur untuk menghindari pandangan atau dampak negatif dari
perilaku dan pernyataan yang dibuatnya. Keberhasilan metode ini sangat
tergantung pada kemampuan moderator dalam proses diskusi. Apabila
moderator tidak menguasai situasi diskusi, akan timbul kemungkinan
subjek diskusi menjadi bosan atau didominasi orang-orang tertentu saja.
Jumlah subjek yang terlalu banyak juga kurang dapat mengekplorasi
sebuah pengalaman dari masing – masing individu. Kondisi seperti itu bisa
diminimalisir apabila diwawancara secara personal pada masing – masing
subjek.
2. Pengertian Glaukoma
Menurut kamus kedokteran ( Dorland, 2002 ) glaukoma adalah
kelompok penyakit mata yang ditandai dengan peninggian intraokular
yang mengakibatkan perubahan patologis dalam diskus optikus dan defek
Menurut Ilyas ( 2010, h. 212 ) glaukoma adalah “ kelainan mata
yang ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf
optic, dan menciutnya lapang pandang “. Glaukoma disebabkan oleh
melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan
kerusakan anatomi berupa ekskavasi ( penggaungan ) serta degenerasi
papil saraf optic, yang dapat berakhir dengan kebutaan.
3. Glaukoma dalam Tinjauan yang Mendetail
a. Jenis – Jenis Glaukoma
Mohlan dan Robert ( 1988 ) mengungkapkan bahwa glaukoma
diklasifikasikan sebagai glaukoma primer dan glaukoma sekunder.
Dengan pemeriksaan lebih lanjut melalui gonioskopik akan
diklasifikasikan pada glaukoma primer dan sekunder dalam jenis
sudut terbuka dan sudut tertutup. Empat jenis glaukoma tersebut,
yaitu :
1. Glaukoma primer sudut tertutup
Glaukoma yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan
intraocular yang tiba – tiba. Gejala – gejala klinik berupa perasaan
nyeri hebat, ditemukan pula berbagai derajat kehilangan
penglihatan, perasaan mual dan muntah – muntah.
2.Glaukoma primer sudut terbuka
Merupakan jenis glaukoma yang hanya sebagian kecil penderitanya
atrofi serabut saraf retina dan kerusakan lapangan penglihatan yang
cukup berate di perifer, berkas makulopapilaris umumnya masih
terpelihara dengan baik, sehingga hasil pemeriksaan ketajaman
penglihatan sentral tetap normal.
3.Glaukoma sekunder sudut tertutup
Tipe glaukoma yang disebabkan oleh adanya peradangan selaput,
yang timbul setelah kekambuhan iridosiklitis akut dan kronik dan
organisasi selaput neovaskular setelah gangguan perdarahan retina,
misalnya diabetes mellitus dan penyakit penyumbatan darah.
4.Glaukoma sekunder sudut terbuka
Glaukoma yang menyebabkan komplikasi uveitis anterior akut,
dimana aequos tetap dibentuk terus menerus, tetapi tidak mengalir
keluar karena adanya penyumbatan pada saluran trabekular oleh
debris yang kaya protein dan sel – sel radang dalam lekukan sudut
filtrasi.
b. Pengobatan Glaukoma
Ilyas ( 2010 ) menjelaskan bahwa glaukoma merupakan penyakit
mata yang tidak dapat disembuhkan, dimana penderitanya harus
menjalani pengobatan seumur hidup. Beragam pengobatan dilakukan
guna menjaga kondisi mata penderita glaukoma agar tidak semakin
memburuk, antara lain dengan obat tetes mata seperti pilokarpin 2 %,
memburuk maka perbaikan kondisi anatomi mata dilakukan dengan
Laser Trabeculoplasty ( LPT ) atau Operasi Filtrasi Mata (
Trabeculectomy ).
C. Penderita Glaukoma
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2008 ) penderita adalah
orang yang menderita. Maka, penderita glaukoma adalah orang yang
menderita penyakit glaukoma, dimana orang tersebut menderita kelainan mata
yang ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf
optik, dan menciutnya lapang pandang.
D. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana penderita
glaukoma berupaya menerima diri atas kondisi yang dialaminya. Alasan
peneliti melihat penerimaan diri sebagai aspek yang penting untuk diteliti
karena penderita glaukoma memiliki kelemahan fisik yakni tidak optimalnya
fungsi penglihatan dan risiko kebutaan yang bisa dialami secara tiba – tiba.
Selain itu, secara medis dapat disimpulkan bahwa glaukoma merupakan
penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang mengakibatnya penderitanya
harus menggunakan obat seumur hidup guna menghindari terjadinya kebutaan.
Kondisi seperti itu dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan kehidupan
memunculkan permasalahan psikologis seperti stress, tekanan batin, merasa
tidak berdaya, merasa hidup dengan keterbatasan, dan merasa bersalah.
Penerimaan diri positif menjadi penting bagi penderita glaukoma
agar mereka tidak terpuruk dengan kondisi yang dialaminya sehingga dapat
menjadi pribadi yang sehat. Hal ini ditegaskan oleh Maslow (dalam Schultz,
1991 ), untuk menjadi pribadi yang sehat dibutuhkan sebuah penerimaan diri
positif sehingga mereka tidak merasa malu dan merasa bersalah walaupun
memiliki kelemahan atau mengalami kecacatan. Selain itu, dijelaskan oleh
Allport ( dalam Schultz, 1991) untuk menjadi pribadi yang sehat dibutuhkan
kemampuan dalam menerima semua segi dalam diri, termasuk kelemahan dan
Skema 1. Gambaran umum tentang penerimaan diri penderita
glaukoma
E. Pertanyaan Penelitian
Peneliti menyusun pertanyaan penelitian berdasar kerangka penelitian.
Pertanyaan penelitian disusun menjadi dua macam, yaitu central question dan
subquestion.
1. Central Question : Bagaimana penderita glaukoma berupaya menerima
diri atas kondisi yang dialaminya ?
Dampak yang ditumbulkan
Faktor – faktor yang mempengaruhi ( Hurlock, 1974 ) :
Keberhasilan
Pola asuh di masa kecil Konsep diri yang stabil Identifikasi pada orang
yang mampu menyesuaikan diri dengan baik
Tidak adanya hambatan dari lingkungan
( Jersild, 1963 ) :
Usia Pendidikan Keadaan fisik Dukungan sosial Pola asuh
Proses Penerimaan Diri
Didiagnosa mengalami glaukoma
Dampak yang dialami
Upaya penerimaan diri
Penerimaan Diri ( Hurlock, 1974 ) :
Pemahaman dan perspektif tentang diri
Tidak adanya tekanan emosi Respon terhadap penilaian
orang lain
Perilaku sosial yang baik Harapan yang realistis
Dampak penerimaan diri : ( Hurlock, 1974 ) :
2. Subquestion adalah pertanyaan yang mengarahkan pada pertanyaan utama
penelitian. subquestion pada penelitian ini adalah :
a. Bagaimana proses penerimaan diri pada penderita glaukoma ?
40
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian yang berjudul “Penerimaan Diri pada Penderita
Glaukoma “ ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode ini
dinilai tepat untuk memenuhi tujuan penelitian, yaitu untuk
mendeskripsikan proses penerimaan diri pada penderita glaukoma dan
mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi upaya penerimaan diri.
Hal ini dipilih oleh peneliti karena penelitian kualitatif berusaha untuk
mengeksplorasi, mendeskripsikan maupun menginterpretasikan maksud
dari suatu fenomena maupun pengalaman personal dan sosial yang dialami
oleh subjek penelitian (Creswell, 2007).
Poerwandari (2005) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah
penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif,
seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman
video, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, data yang dihasilkan
berupa transkrip wawancara kemudian data akan diolah menjadi bentuk
deskripsi sehingga penelitian ini memenuhi syarat untuk menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk
menggali dan memahami inti sebuah masalah sosial atau fenomena yang
dialami individu secara alamiah dalam suatu konteks khusus dengan
kualitatif adalah suatu penelitian yang menjelaskan suatu fenomena secara
deskriptif ( Smith, 2009).
B. Fokus Penelitian
Fokus pada penelitian ini adalah memahami dan mendeskripsikan
upaya penderita glaukoma dalam menerima diri yang ditinjau dari :
1. Proses penerimaan diri (Bagaimana proses penerimaan diri penderita
glaukoma ? )
2. Faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan diri ( Apa faktor –
faktor yang mempengaruhi penerimaan diri ? )
C. Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah penderita glaukoma yang tinggal
di Yogyakarta. Subjek penelitian diperoleh di Rumah Sakit Mata dr Yap
Yogyakarta. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah lima orang.
Menurut Smith ( 2009 ), jumlah subjek lima atau enam sudah mencukupi
pada sebuah penelitian kualitatif. Dimana dengan jumlah subjek lima atau
enam dapat dipergunakan oleh peneliti untuk memeriksa kesamaan dan
perbedaan antarsubjek. Subjek dipilih menggunakan Criterion Sampling,
yaitu cara penentuan subjek berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti yaitu
telah didiagnosa mengalami glaukoma yang belum mengalami kebutaan
dan menggunakan obat secara terus menerus untuk menjaga kondisinya.