• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerimaan diri pada penderita glaukoma

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerimaan diri pada penderita glaukoma"

Copied!
259
0
0

Teks penuh

(1)

PENERIMAAN DIRI PADA PENDERITA GLAUKOMA

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Evrisya Glorys Fan Daiy

NIM : 089114011

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Kamu mungkin akan merasa kecewa saat mengalami kegagalan, tapi kamu bisa

benar

benar gagal kalau kamu tidak berusaha

( Beverly Sills )

Orang yang tidak pernah membuat kesalahan berarti tidak pernah mencoba hal

hal baru

( Albert Einstein )

Nasib bukan masalah perubahan, tapi masalah pilihan. Nasib itu tidak harus

ditunggu, tapi harus dicapai

( William Jennings Bryan )

Semua usaha saya dalam upaya pengerjaan hingga menyelesaikan skripsi ini, saya persembahkan untuk kemuliaan Tuhan,

karena ini semua atas campur tangan kuasaNya.

Untuk Papa yang juga menderita glaukoma, yang senantiasa memberi semangat dan

(5)
(6)

vi

PENERIMAAN DIRI PADA PENDERITA GLAUKOMA

Evrisya Glorys Fan Daiy

ABSTRAK

Glaukoma adalah penyakit mata yang tidak dapat disembuhkan dan mengakibatkan kebutaan secara tiba – tiba. Kondisi ini membuat penderita glaukoma perlu menerima diri agar tidak terpuruk dengan kondisinya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses penerimaan diri penderita glaukoma dan mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan diri. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini ialah bagaimana penderita glaukoma berupaya menerima diri atas kondisinya. Pendekatan kualitatif deskriptif dipilih untuk menjawab pertanyaan penelitian ini. Penelitian ini melibatkan 5 penderita glaukoma yang menjadi pasien di Rumah Sakit Mata Dr Yap Yogyakarta. Subjek dipilih menggunakan criterion sampling,

yaitu dipilih dengan kriteria mengalami glaukoma, belum mengalami kebutaan, dan menggunakan obat secara terus menerus. Pengambilan data menggunakan proses wawancara semi – terstruktur. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah penderita glaukoma melakukan emotional focused coping untuk mengurangi dampak psikososial yang dialami dan sebagai upaya dalam menerima diri. Emotional focused coping yang penderita glaukoma lakukan dipengaruhi oleh dukungan sosial emosional dan pola asuh demokratis di masa kecil. Hal ini membuat kelima subjek, mampu menerima diri dan kondisinya. Keberhasilan penderita glaukoma dalam menerima diri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : konsep diri yang stabil, kesuksesan / keberhasilan, pola asuh demokratis di masa kecil, dan dukungan sosial emosional.

Kata kunci : penerimaan diri, penderita glaukoma

(7)

vii

SELF ACCEPTANCE OF GLAUCOMA PATIENTS

Evrisya Glorys Fan Daiy

ABSTRACT

Glaucoma is an eye disease which cannot be healed and can make effect in suddenly blindness. This condition made people with glaucoma disease need to accept their self in order to not be oppressed with their condition. This research have purpose to describe self acceptance process for people with glaucoma disease and to understand the factors which influence their self acceptance. The question in this research is how the people with glaucoma disease have an effort for their self acceptance for their condition. Qualitative descriptive method selected to answer this question research. This research involved 5 people with glaucoma disease whose being the patient at Dr Yap Eye Hospital Yogyakarta. The subjects selected by criterion sampling, with the criteria have glaucoma disease, not experienced in blind yet and use medicine continuously. Data removal use semi structured interview. The result from this research is people with glaucoma disease do emotional focused coping for reduce psychosocial effect and as an effort for self acceptance. Emotional focused coping which people with glaucoma do is influenced by social emotional support and democratic parenting in childhood. This factor made 5 subjects have a capability for their self acceptance and their condition. The success keys for people with glaucoma disease influenced by several factors: stable self concept, successful, democratic parenting in childhood and social emotional support.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan sebagai bentuk

kepedulian peneliti terhadap penerimaan diri penderita glaukoma.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat

terselesaikan tanpa bantuan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besar kepada :

1. Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat rahmatNya yang telah memberikan

kesehatan, kehidupan, akal budi, serta rasa semangat dalam mengerjakan

sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak C. Siswa Widyatmoko selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma yang telah memberikan dukungan dan perizinan penelitian.

3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani dosen pembimbing akademik yang

memberikan dukungan dan bimbingan selama proses perkuliahan sampai

terselesaikannya pengerjaan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

dengan sabar membimbing, berdiskusi, memberikan pencerahan dengan saran

dan pendapat yang sangat bermanfaat bagi penelitian ini.

5. Bapak Yohanes Heri Widodo, M.Psi dan Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi,

M.Psi selaku dosen penguji yang telah memberikan pertanyaan kritis, saran,

dan pengetahuan baru bagi saya untuk menjadikan skripsi ini semakin baik.

6. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si yang sudah dengan sabar berdiskusi dan

memberi saran bagi penelitian ini.

7. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kaprodi dan Ibu Agnes Indar Etikawati,

S.Psi., M.Si., Psi selaku Wakaprodi.

8. Mas Gandung, Bu Nanik, dan Pak Gik atas bantuan yang sudah diberikan

selama ini. Mas Doni atas pinjaman buku dan jurnal, serta Mas Muji atas

(10)

x

1. Untuk pihak Rumah Sakit Mata Dr Yap, yang sudah memberikan ijin bagi

saya guna melakukan penelitian.

2. Ibu TR, Ibu TE, Mbak SR, Mas K, dan Mas NS selaku subjek dalam

penelitian ini, yang bersedia meluangkan waktu untuk berbagai informasi dan

pengalaman bagi proses penyelesaian skripsi saya.

3. Untuk kedua orangtua saya, atas doa tulus dan semangat yang telah diberikan.

Untuk Papa terimakasih sudah dengan sabar memberikan nasehat setiap waktu

sehingga saya bisa tetap berjuang untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Untuk sahabat yang setia menemani untuk memberi semangat, dukungan,

masukan, nasehat, serta doanya, Eka Adhi Wibowo.

5. Untuk adik saya Raja Raja dan Mami Yohana atas dukungan yang sudah

diberikan.

6. Untuk teman – teman saya Ines, Lucy, Monik, Dessy, Kika, Chelly, Anggun, Intan, Ferry , Nopai, Heni, atas dukungan dan semangat yang sudah

diberikan. Untuk semua teman angkatan 2008 dan untuk teman – teman satu bimbingan saya

7. Untuk semua pihak yang sudah mendukung, yang tidak bisa saya sebutkan

satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki keterbatasan dan

kekurangan. Oleh karena itu, sara dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan

untuk memperbaiki skripsi ini. Peneliti berharap agar skripsi ini bermanfaat bagai

para pembaca.

Yogyakarta, 20 Agustus 2013

Penulis,

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...………i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..v

ABSTRAK……….vi

ABSTRACT………vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………..viii

KATA PENGANTAR………...ix

DAFTAR ISI………...xi

DAFTAR TABEL………...xiv

DAFTAR SKEMA……….…..xv

BAB I. PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Rumusan Masalah………..9

C. Tujuan Penelitian………10

D. Manfaat Penelitian………...10 1. Manfaat Teoritis……….10

2. Manfaat Praktis………10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……….11

A. Penerimaan Diri………12

1. Review Literatur tentang Penerimaan Diri……….12

2. Pemahaman tentang Penerimaan Diri………16

3. Aspek – Aspek dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri………...18

a. Aspek – Aspek Penerimaan Diri………..18

(12)

xii

4. Dampak Penerimaan Diri………...26

5. Proses Penerimaan Diri ………...27

B. Glaukoma………30

1. Review Literatur tentang Glaukoma dan Permasalahan Psikologis pada Penderita Glaukoma……….30

2. Pengertian Glaukoma……….33

3. Glaukoma dalam Tinjauan yang Mendetail………...34

a. Jenis –Jenis Glaukoma………34

b. Pengobatan Glaukoma………..35

C. Penderita Glaukoma……….36

D. Kerangka Berpikir………36

E. Pertanyaan Penelitian………...38

BAB. III METODE PENELITIAN………40

A. Jenis Penelitian………40

B. Fokus Penelitian………..41

C. Subjek Penelitian………41

D. Metode Pengumpulan Data……….42

E. Proses Pengumpulan Data………...44

F. Prosedur Analisis Data………45

G. Kredibilitas Penelitian……….47

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...49

A. Proses Penelitian………..49

1. Persiapan Penelitian………...49

2. Pelaksanaan Penelitian………...51

3. Proses Analisis Data………...52

4. Jadwal Pengambilan Data………..54

B. Profil Subjek……….60

1. Subjek 1 ( K )……….61

2. Subjek 2 ( TR )………...62

3. Subjek 3 ( TE )………...63

(13)

xiii

5. Subjek 5 ( SR )………...66

C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian……….67

D. Deskripsi Penerimaan Diri………...68

1. Subjek 1 ( K )………..68

2. Subjek 2 ( TR )………...77

3. Subjek 3 ( TE )………85

4. Subjek 4 ( NS )………...93

5. Subjek 5 ( SR )……….100

E. Pembahasan………111

1. Proses Penerimaan Diri………112

2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri………...124

BAB V. PENUTUP……….129

A. Kesimpulan………129

B. Keterbatasan Penelitian………..130

C. Saran………...131

DAFTAR PUSTAKA……….133

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Guide Line Interview………...43

Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1………...54

Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2………...55

Tabel 4. Jadwal Wawancara dengan Subjek 3………...56

Tabel 5. Jadwal Wawancara dengan Subjek 4………...58

Tabel 6. Jadwal Wawancara dengan Subjek 5………...59

(15)

xv

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Gambaran Umum tentang

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyakit glaukoma adalah penyakit mata yang sering disebut sebagai si

pencuri penglihatan. Penyakit ini bisa menyebabkan kebutaan secara tiba –

tiba. Di seluruh dunia penyakit ini dikenal sebagai penyebab nomor satu

kebutaan. Glaukoma merupakan penyakit mata yang diakibatkan oleh

melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan

kerusakan anatomi, yang dapat berakhir dengan kebutaan. Untuk

mempertahankan kondisi mata pada mereka yang sudah didiagnosa

mengalami glaukoma, penderita harus memakai obat semur hidup untuk

mencegah kebutaan ( Ilyas, 2010 ).

Hal ini dipertegas oleh WHO, yang menyatakan bahwa glaukoma

menimbulkan masalah kesehatan yang lebih besar daripada katarak.

Glaukoma merupakan penyakit yang menghilangkan penglihatan dan

biasanya mereka yang mengidap tidak menyadarinya hingga glaukoma

merusak sedikitnya 40 persen daya penglihatan. Prosesnya tidak menyakitkan

dan tidak terasa, sehingga orang tidak memperhatikannya ( “ WHO : Dampak

Glaukoma Lebih Parah daripada Katarak, “ 2012 ). Sedangkan di Indonesia

jumlah penderita glaukoma yang mengalami kebutaan masih cukup tinggi,

(17)

bahwa 13,4 persen penduduk Indonesia mengalami kebutaan akibat glaukoma

( “ Glaukoma, Gangguan Mata Penyebab Kebutaan, “ 2012 ).

Penelitian terkait dengan glaukoma pernah di lakukan Soemarsono (

1995 ) di Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 149 subjek penderita penyakit

mata. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa angka kebutaan akibat

glaukoma masih cukup tinggi. Dari 149 penderita kebutaan, 69 orang

diakibatkan karena penyakit glaukoma. Penyakit glaukoma diketahui sebagai

penyebab kebutaan yang tidak dapat dipulihkan ( kebutaan permanen ) dan

risikonya semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Usia rata – rata

penderita kebutaan adalah 48 tahun, hal ini berarti terjadi pada usia yang

masih produktif, sehingga berdampak pada sosioekonomi seseorang baik

secara langsung maupun tidak langsung. Tak hanya berdampak pada diri

sendiri, melainkan juga keluarga dan lingkungan sekitar.

Pada pasien glaukoma perubahan emosi seperti bingung dan takut dapat

menimbulkan serangan akut pada kondisinya (Ilyas, 2010 ). Apabila

seseorang mengalami glaukoma maka kesejahteraannya akan terancam,

mengalami stress serta tekanan batin. Hal ini disebabkan karena penyakit

glaukoma berbeda dengan penyakit mata lainnya yang dapat disembuhkan,

sedangkan glaukoma tidak dapat dipulihkan (“ Glaukoma, Gangguan Mata

Penyebab Kebutaan, “ 2012).

Penelitian tentang permasalahan psikologis pada penderita glaukoma

pernah dilakukan oleh Shu-Xin Xi di Cina. Tujuan dari penelitian ini adalah

(18)

permasalahan psikologis yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan Focus

Group Discussion ( FGD ) dalam proses pengumpulan datanya. Dalam

penelitian ini, peneliti melibatkan 24 subjek. Pasien yang dipilih adalah

mereka yang memiliki riwayat sakit glaukoma selama satu bulan sampai dua

belas tahun.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa penderita glaukoma

mengalami perubahan psikologis dan emosional seperti rasa tidak berdaya,

rasa bersalah, takut akan ancaman kebutaaan, merasa hidup dengan

keterbatasan, khawatir jika penyakit glaukoma menyerang keluarga mereka,

dan mengalami gangguan emosional seperti mudah marah. Namun, hal

positifnya ada beberapa dari mereka yang menilai bahwa dengan berdoa

membuat kondisi mereka lebih baik. Dengan kondisi yang dialami, mereka

juga berusaha mengelola diri agar tidak menjadi beban bagi keluarga mereka.

Penderita glaukoma juga seni bela diri dari Tai Chi untuk membantu dalam

mengelola kondisi mereka ( Shu – Xin Xi, 2011 ).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Shu – Xin Xi, hanya

memaparkan permasalahan psikologis pada penderita glaukoma tanpa

mengekplorasi lebih mendalam sebab dan cara penderita glaukoma

mengatasi permasalahannya. Penelitian ini hanya memaparkan bahwa usaha

subjek untuk mengelola kondisi dengan berdoa dan seni bela diri, tanpa

meneliti lebih mendalam perubahan dan dinamika psikologis yang dialami

(19)

memiliki kelemahan pada metode yang digunakan. Menurut Arikunto ( 2002

) penggunaan Focus Group Discussion ( FGD ) kurang efektif untuk

mengetahui kondisi yang sebenarnya pada masing – masing subjek, karena

terdapat kemungkinan subjek menjawab tidak sesuai dengan kondisi yang

sebenarnya. Hal ini dapat terjadi apabila subjek merasa tidak nyaman

berbagi pengalaman dalam sebuah kelompok. Keberhasilan metode ini sangat

tergantung pada kemampuan moderator dalam proses diskusi. Hal lain yang

bisa terjadi apabila moderator tidak bisa memimpin diskusi dengan baik maka

hanya orang - orang tertentu saja yang mendominasi jalannya diskusi.

Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana penderita

glaukoma yang belum mengalami kebutaan berupaya menerima diri dalam

menghadapi berbagai kondisi yang dialaminya selama sakit glaukoma .

Alasan peneliti melihat penerimaan diri sebagai aspek yang penting untuk

diteliti karena penderita glaukoma memiliki kelemahan fisik yakni tidak

optimalnya fungsi penglihatan dan risiko kebutaan yang bisa dialami secara

tiba – tiba. Selain itu, secara medis dapat disimpulkan bahwa glaukoma

merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang mengakibatnya

penderitanya harus menggunakan obat seumur hidup guna menghindari

terjadinya kebutaan. Kondisi seperti itu dapat mempengaruhi kehidupan

pribadi dan kehidupan sosial penderita glaukoma. Kondisi yang dialami

penderita glaukoma juga memunculkan permasalahan psikologis seperti

stress, tekanan batin, merasa tidak berdaya, merasa hidup dengan

(20)

Berlatar belakang kondisi fisik dan permasalahan psikologis yang

penderita glaukoma alami, maka menurut Sheerer ( dalam Cornbach, 1963 ),

penerimaan diri positif menjadi sangatlah penting agar mereka tetap memiliki

keyakinan atas kemampuan yang dimiliki untuk menghadapi kehidupannya

dan tidak menyalahkan diri sendiri atas kondisi yang dialami. Penerimaan diri

positif menjadi penting bagi penderita glaukoma agar mereka tidak terpuruk

dengan kondisi yang dialaminya sehingga dapat menjadi pribadi yang sehat.

Hal ini ditegaskan oleh Maslow (dalam Schultz, 1991 ), untuk menjadi

pribadi yang sehat dibutuhkan sebuah penerimaan diri positif sehingga

mereka tidak merasa malu dan merasa bersalah walaupun memiliki

kelemahan atau mengalami kecacatan. Selain itu, dijelaskan oleh Allport (

dalam Schultz, 1991) untuk menjadi pribadi yang sehat dibutuhkan

kemampuan dalam menerima semua segi dalam diri, termasuk kelemahan dan

kekurangan tanpa menyerah secara pasif pada kondisi tersebut.

Menurut Hurlock ( 1974), dengan meninjau kemampuan penerimaan

diri seseorang, maka akan banyak aspek yang dapat digali, antara lain :

pemahaman dan perspektif diri, konsep diri, kondisi emosional seseorang

terkait dengan peristiwa yang dialaminya, kemampuan beradaptasi, orientasi

atas diri, serta penyesuaian terhadap diri sendiri dan lingkungan sosialnya.

Peneliti memilih penderita glaukoma yang belum mengalami kebutaan

sebagai subjek penelitian karena menurut menurut Shu-Xin Xi ( 2011 )

penderita glaukoma yang belum mengalami kebutaan memiliki banyak

(21)

glaukoma yang belum mengalami kebutaan sebagai subjek karena menurut

Soemarsono ( 1995 ) permasalahan yang muncul pada penderita glaukoma

yang mengalami kebutaan adalah permasalahan sosial dan ekonomi.

Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penerimaan

diri. Namun, dengan subjek yang berbeda – beda. Penelitian tentang

penerimaan diri yang pertama dilakukan oleh Rizkiana dan Retnaningsih (

2009 ). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dari penerimaan

diri dan faktor – faktor yang berperan dalam penerimaan diri remaja

penderita leukemia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa

studi kasus menggunakan metode wawancara dan observasi dalam proses

pengumpulan datanya. Penelitian ini melibatkan seorang remaja perempuan

berusia 14 tahun sebagai subjeknya. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini

adalah subjek penderita leukemia ini memiliki penerimaan diri yang baik,

mampu menerima keterbatasan karena penyakitnya, mampu menerima

kritikan, dan memiliki harapan yang realistis. Sedangkan faktor yang

berperan dalam penerimaan diri penderita leukemia ini adalah pola asuh

demokratis yang diterapkan orang tuanya.

Penelitian lain tentang penerimaan diri adalah penelitian yang

dilakukan oleh Widjanarko ( 2011 ). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi status

HIV positif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan

menggunakan metode wawancara dan observasi dalam proses pengumpulan

(22)

positif mengalami HIV sebagai subjek penelitian. Hasil dari penelitian ini

adalah perbedaan tingkat penerimaan diri pada tiap penderita HIV/AIDS, ada

yang tinggi, sedang, dan lemah.

Dari dua penelitian sebelumnya yang dipaparkan di atas diketahui

gambaran tentang penerimaan diri dan perbedaan kemampuan penerimaan

diri pada masing – masing subjek. Jumlah subjek yang hanya satu pada

penelitian pertama tentang penerimaan diri pada remaja leukemia juga

menjadi sebuah kelemahan. Selain itu, penelitian sebelumnya hanya memberi

gambaran penerimaan diri dan belum memaparkan tentang proses penerimaan

diri serta belum secara eksplisit menggambarkan faktor – faktor yang

mempengaruhi upaya penerimaan diri. Peluang lain yang dapat peneliti

jadikan celah untuk meneliti tentang penerimaan diri pada penderita

glaukoma adalah hasil dari penelitian penerimaan diri pada subjek penderita

leukemia dan HIV tidak dapat digenaralisasikan pada subjek penderita

glaukoma. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan kondisi yang dialami pada

penderita leukemia maupun HIV jika dibandingkan dengan penderita

glaukoma. Pada penderita leukemia dan HIV permasalahan psikologis yang

dialami adalah ketakutan akan kematiaan, adanya stigma, dan diskriminasi

dari masyarakat sekitar. Sedangkan pada penderita glaukoma, permasalahan

psikologis yang dialami adalah ketakutan akan terjadinya kebutaan.

Salwa, dkk ( 2007 ) juga meneliti penerimaan diri dengan subjek yang

berbeda dan metode pengumpulan data yang berbeda. Penelitian ini bertujuan

(23)

terhadap vonis dengan penerimaan diri pada narapidana wanita. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan menggunakan matode analisis

dengan teknik analisis regresi ganda dan korelasi parsial. Para peneliti

melibatkan 92 narapidana wanita yang telah mengikuti masa hukuman

dibawah tiga bulan sebagai subjek penelitian. Data penelitian ini

dikumpulkan dengan menggunakan skala penerimaan diri, skala dukungan

sosial keluarga, dan skala persepsi terhadap vonis. Hasil yang diperoleh dari

penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang sangat singnifikan antara

dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri narapidana wanita ini.

Hubungan yang positif ini memiliki arti bahwa makin tinggi dukungan sosial

keluarga, maka makin tinggi pula penerimaan dirinya.

Penelitian ini memiliki kelemahan pada metode yang digunakan.

Penggunaan skala kurang dapat menggali informasi yang lebih jelas tentang

hubungan dukungan sosial keluarga dan penerimaan diri seseorang. Metode

skala tidak dapat melihat dinamika psikologis yang terjadi dalam proses

penerimaan diri seseorang yang mendapat dukungan dari lingkungan

sosialnya.

Peneliti juga meninjau Self Acceptance Scale milik Berger ( 1950 ),

dimana skala ini memiliki 36 item dengan lima pilihan rating, dari 1 sampai 5

untuk tiap pernyataan. Hasilnya, semakin tinggi skor yang diperoleh maka

semakin tinggi penerimaan dirinya. Kategorinya, 1-110 menggambarkan

penerimaan dirinya negatif, 111 – 150 menggambarkan penerimaan diri yang

(24)

Penggunaan skala yang digunakan tersebut adalah tidak semua

pernyataan menggambarkan situasi dalam diri subjek sedangkan subjek harus

tetap memberi rating, dan sebaliknya akan ada beberapa kondisi subjek yang

sebenarnya, akan tetapi tidak terdapat pada 36 pernyataan tersebut. Jadi,

kelemahan skala adalah tidak semua pernyataan mewakili kondisi

sebenarnya, dan juga sebaliknya kondisi yang sebenarnya terdapat pada diri

subjek tidak terwakili oleh pernyataan yang ada.

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan

pendekatan kualitatif deskriptif. Pengambilan data akan dilakukan melalui

wawancara mendalam secara personal karena peneliti menilai bahwa

pendekatan kualitatif mampu memfasilitasi peneliti untuk mengetahui

dampak yang muncul akibat mengalami glaukoma, proses penerimaan diri

pada penderita glaukoma dan faktor – faktor yang mempengaruhi upaya

penerimaan diri dengan kelemahan dan kekurangan yang dimilikinya. Hal ini

dilakukan peneliti karena pada penelitian sebelumnya yang menggunakan

skala, kuesioner, dan wawacara dalam Focus Group Discussion ( FGD )

kurang efektif untuk menggali penerimaan diri secara lebih mendalam.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya,

rumusan permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana penderita

(25)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeskripsikan proses penerimaan diri pada penderita glaukoma.

2. Mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan diri.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan

dan pemahaman ilmu psikologi, terutama psikologi kepribadian

dan psikologi sosial mengenai penerimaan diri pada penderita

glaukoma.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi tambahan

bagi penderita glaukoma lain dalam menerima diri agar tidak

terpuruk dengan kondisi yang dialami.

b. Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak medis dan

psikolog untuk memilih pendekatan dan bantuan yang disesuaikan

dengan gambaran penerimaan diri pada masing – masing penderita

glaukoma.

c. Penelitian ini juga bermanfaat bagi keluarga penderita glaukoma,

dengan adanya proses penerimaan diri pada penderita glaukoma

(26)

keluarga dapat memberi bantuan bagi penderita glaukoma dalam

menjalani kehidupannya untuk menghadapi penyakit yang berisiko

(27)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri

1. Review Literatur tentang Penerimaan Diri

Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penerimaan

diri. Namun, dengan subjek yang berbeda – beda . Penelitian tentang

penerimaan diri yang pertama dilakukan oleh Rizkiana dan Retnaningsih (

2009 ). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dari

penerimaan diri dan faktor – faktor yang berperan dalam penerimaan diri

remaja penderita leukemia. Pengumpulan data dilakukan dengan

pendekatan kualitatif berupa studi kasus menggunakan metode wawancara

dan observasi dalam proses pengumpulan datanya. Penelitian ini

melibatkan seorang remaja perempuan berusia 14 tahun, yang menderita

leukimia stadium satu dengan lama sakit selama satu tahun sebagai subjek

penelitian. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah subjek penderita

leukemia ini memiliki penerimaan diri yang baik, mampu menerima

keterbatasan karena penyakitnya, mampu menerima kritikan, dan memiliki

harapan yang realistis. Sedangkan faktor yang berperan dalam penerimaan

diri penderita leukemia ini adalah pola asuh demokratis yang diterapkan

(28)

Penelitian lain tentang penerimaan diri adalah penelitian yang

dilakukan oleh Widjanarko ( 2011 ). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi

status HIV positif. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

dengan menggunakan metode wawancara dan observasi dalam proses

pengumpulan datanya. Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan tiga

pekerja seks yang positif mengalami HIV sebagai subjek penelitian. Hasil

dari penelitian ini adalah ada perbedaan tingkat penerimaan diri pada tiap

penderita HIV/AIDS, ada yang tinggi, sedang, dan lemah.

Dari dua penelitian tersebut yang melibatkan penderita leukemia

dan pekerja seks yang positif mengalami HIV telah diketahui gambaran

penerimaan diri pada masing – masing subjek. Jumlah subjek yang hanya

satu pada penelitian pertama tentang penerimaan diri pada remaja

leukemia juga menjadi sebuah kelemahan. Jumlah subjek yang lebih dari

satu akan bisa mencukupi hasil penelitian karena tidak bisa diperiksa

kesamaan dan perbedaan antar subjek. Selain itu, penelitian sebelumnya

hanya memberi gambaran penerimaan diri dan belum memaparkan tentang

proses penerimaan diri serta belum secara eksplisit menggambarkan faktor

– faktor yang mempengaruhi upaya penerimaan diri. Oleh karena itu,

maka ini merupakan peluang bagi peneliti untuk meneliti proses

penerimaan diri pada penderita glaukoma dan faktor – faktor yang

mempengaruhi penerimaan diri secara lebih mendalam. Terdapat peluang

(29)

glaukoma, karena hasil dari penelitian penerimaan diri pada subjek

penderita leukemia dan HIV tidak dapat digenaralisasikan pada subjek

penderita glaukoma. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan kondisi yang

dialami pada penderita leukemia maupun HIV jika dibandingkan dengan

penderita glaukoma. Pada penderita leukemia dan HIV permasalahan

psikologis yang dialami adalah ketakutan akan kematiaan, adanya stigma,

dan diskriminasi dari masyarakat sekitar. Sedangkan pada penderita

glaukoma, permasalahan psikologis yang dialami adalah ketakutan akan

terjadinya kebutaan.

Peneliti juga mengkaji metode yang dipilih pada penelitian

sebelumnya dengan topik penerimaan diri. Salwa, dkk ( 2007 ) pernah

melakukan sebuah penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

dukungan sosial keluarga dan persepsi terhadap vonis dengan penerimaan

diri pada narapidana wanita. Penelitian ini menggunakan pendekatan

kuantitatif, dengan menggunakan matode analisis dengan teknik analisis

regresi ganda dan korelasi parsial. Para peneliti melibatkan 92 narapidana

wanita yang telah mengikuti masa hukuman dibawah tiga bulan sebagai

subjek penelitian. Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan

skala penerimaan diri, skala dukungan sosial keluarga, dan skala persepsi

terhadap vonis. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah terdapat

hubungan antara dukungan sosial keluarga dan persepsi terhadap vonis

dengan penerimaan diri dengan R = 0,561 dan Fhitung = 20,628 dengan

(30)

antara dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri narapidana

wanita ini. Nilai yang diperoleh adalah ry1-2= 0,553 dengan p=0,000

(p<0,01). Sumbangan efektif variabel dukungan sosial keluarga terhadap

penerimaan diri sebesar 30,8 %. Hubungan yang positif ini memiliki arti

bahwa makin tinggi dukungan sosial keluarga, maka makin tinggi pula

penerimaan dirinya. Hasil lain dari penelitian ini adalah tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dengan persepsi terhadap

vonis. Hal ini menunjukkan bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki

tingkat dukungan sosial keluarga yang tinggi, sehingga mempengaruhi

pada penerimaan diri narapida wanita ini.

Penelitian ini memiliki kelemahan pada metode yang digunakan.

Penggunaan skala kurang dapat menggali informasi yang lebih jelas

tentang hubungan dukungan sosial keluarga dan penerimaan diri

seseorang. Metode skala tidak dapat melihat dinamika psikologis yang

terjadi dalam proses penerimaan diri seseorang yang mendapat dukungan

dari lingkungan sosialnya, karena pernyataan pada sebuah skala tidak

semua menggambarkan kondisi yang sebenarnya dialami oleh subjek.

Penggunaan metode skala juga membutuhkan ketelitian dari subjek dalam

membaca dan memahami pernyataan agar subjek dapat menjawab dengan

sungguh – sungguh. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti memilih

metode kualitatif dengan wawancara secara personal pada masing –

masing subjek agar dapat menggali penerimaan diri subjek secara lebih

(31)

2. Pemahaman tentang Penerimaan Diri

Penerimaan diri menurut Wiley ( dalam Josephine dan Srisuini,

1998) merupakan persepsi terhadap diri sendiri mengenai kelebihan dan

keterbatasannya yang dapat digunakan secara efektif. Hal ini dipertegas

oleh Hurlock ( 1974 ) bahwa penerimaan diri adalah suatu tingkat

kemampuan dan keinginan individu untuk hidup dengan segala

karakteristik dirinya. Jersild (1985) juga mendefinisikan penerimaan diri

sebagai tingkat kemampuan seseorang untuk memahami karakteristik

dirinya. Sheerer ( dalam Cronbach, 1963 ) menjelaskan bahwa penerimaan

diri adalah sikap dalam menilai diri dan keadaan diri sendiri secara

objektif.

Menurut Hurlock ( 1974 ) orang yang memiliki penerimaan diri

positif diartikan sebagai individu yang tidak bermasalah dengan dirinya

sendiri, yang tidak memiliki beban perasaan terhadap diri sendiri sehingga

individu tersebut lebih banyak memiliki kesempatan untuk beradaptasi

dengan lingkungan. Hal ini sesuai pernyataan Wiley ( dalam Josephine dan

Srisuini, 1998) penerimaan diri positif meningkatkan toleransi terhadap

orang lain dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya.

Seseorang yang memiliki penerimaan diri positif berarti dapat mengenali

kekurangannya sendiri serta berusaha untuk memperbaiki diri.

Jersild ( 1985 ) juga memaparkan bahwa orang yang memiliki

penerimaan diri positif, mampu menerima kondisi yang ada, menyadari

(32)

dan menjadi sesuatu yang diharapkannya.Menurut Chaplin ( 1981) dengan

penerimaan diri positif, maka seseorang akan bersikap puas dengan diri

sendiri, kualitas – kualitas dan bakat – bakat sendiri, dan pengakuan akan

keterbatasan – keterbatasan sendiri.

Maslow juga menyatakan ( dalam Schultz, 1991, h.100 ) bahwa “

orang yang memiliki penerimaan diri positif , akan menerima kelemahan

– kelemahan dan kekuatan – kekuatan mereka tanpa keluhan dan

kesusahan dapat dikatakan sebagai orang yang mengaktualisasi diri “.

Individu yang sehat tidak merasa malu atau merasa bersalah terhadap

kelemahan atau kecacatan yang mereka miliki. Hal ini diperkuat dengan

pendapat Allport( dalam Schultz, 1991) yang menyatakan bahwa

penerimaan diri positif menjadi aspek utama yang mencerminkan sifat

kepribadian yang sehat. Salah satu kondisi ketika seseorang dapat

dikatakan memiliki kepribadian yang sehat, jika mereka mampu menerima

semua segi dari diri mereka, termasuk kelemahan – kelemahan dan

kekurangan – kekurangan tanpa menyerah secara pasif pada kelemahan

dan kekurangan tersebut .

Sebaliknya menurut Ryff ( 1996) seseorang dikatakan memiliki

penerimaan diri yang rendah apabila ia merasa kurang puas terhadap

dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada

kehidupannya di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari

dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya

(33)

Berdasarkan sejumlah definisi mengenai penerimaan diri, secara

garis besar dapat diketahui bahwa para ahli mendefinisikan bahwa

penerimaan diri merupakan kemampuan mempersepsi diri sendiri

mengenai kelebihan dan keterbatasannya, serta keinginan individu untuk

memahami dan hidup dengan segala karakteristik dirinya. Penerimaan diri

positif merupakan kemampuan seseorang mengenai pengakuan atas diri,

menerima kelemahan atau kekurangan dalam diri, memahami kemampuan

dan ketidakmapuannya, serta tidak bermasalah dengan dirinya. Sedangkan

penerimaan diri negatif merupakan ketidakpuasan atas dirinya, merasa

kecewa atas dirinya dan berkeinginan untuk menjadi orang yang berbeda

dari dirinya sendiri.

3. Aspek – Aspek dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan

Diri

a. Aspek – Aspek Penerimaan Diri

Berdasarkan pemahaman tentang penerimaan diri, Hurlock ( 1974 ),

mengemukakan beberapa aspek dalam penerimaan diri, yaitu sebagai

berikut :

1. Pemahaman dan Perspektif tentang Diri

Pemahaman ini terkait dengan kesempatan seseorang untuk

mengenali kemampuan yang dimiliki, namun tetap tidak

mengabaikan ketidakmampuannya. Mereka memandang

(34)

mereka mampu mengungkapkan dengan baik mengenai persepsi

tentang dirinya yang sebenarnya. Menurut Jersild ( 1985 ), mereka

yang memiliki pemahaman atas dirinya adalah mereka yang yakin

atas diri mereka dan memiliki perhitungan akan keterbatasan diri,

lebih menghargai diri sendiri, dan tidak melihat diri secara

irasional. Hal ini ditegaskan oleh Sheerer ( dalam Cronbach, 1963

), bahwa dengan kondisi apapun mereka tidak menyalahkan diri

sendiri akan keterbatasan yang dimilikinya dan tidak mengingkari

kelebihan yang dimiliki karena mereka memiliki keyakinan akan

kemampuannya dalam menghadapi kehidupan, serta menganggap

dirinya berharga sebagai seseorang yang juga sederajat dengan

orang lain.

2. Tidak Adanya Tekanan Emosi

Keadaan dimana seseorang tidak mengalami sebuah tekanan emosi

yang berat, akan membuat seseorang dapat bekerja sebaik

mungkin, merasa bahagia, sehingga mereka memiliki orientasi atas

dirinya. Hal ini terjadi pada saat seseorang mampu merelaksasikan

kemarahan, kekecewaan, dan rasa frustasi yang dialaminya.

Kondisi ini dapat menjadi dasar sebuah evaluasi dan penerimaan

diri yang baik.

3. Respon terhadap Penilaian Orang Lain

Pada saat menerima penilaian dari orang lain seperti pujian

(35)

Jersild ( 1985 ), mereka juga memiliki kemampuan dalam

menerima kritikan dari orang lain, bahkan mereka dapat

memperoleh esensi dari penerimaan mereka atas kritikan yang

ditujukan pada dirinya.

4. Perilaku Sosial yang Baik

Pada saat seseorang mampu berperilaku baik , berusaha

menghormati aspek – aspek yang dimiliki orang lain dan mengikuti

kebiasaan sosial di lingkungannya, maka ia akan mendapat

perlakuan dan penerimaan yang baik dari orang disekitarnya.

Dengan adanya penerimaan dari lingkungan sekitar inilah yang

membuat seseorang juga akan mampu menerima dirinya sendiri.

5. Harapan yang Realistis

Hal ini berkontribusi untuk kepuasan diri dalam eksistensi untuk

mencapai penerimaan diri. Harapan ini timbul jika seseorang

mampu menentukan sendiri harapannya, yang disesuaikan dengan

pemahamannya mengenai kemampuan yang dimilikinya. Harapan

menjadi hal penting karena menurut Adler ( dalam Alwisol, 2008 ),

kepribadian seseorang dibangun oleh keyakinan subjektif diri

sendiri mengenai masa depannya. Jersild ( 1985 ), mengungkapkan

dalam uasaha untuk mencapai sebuah harapan seseorang

memerlukan keseimbangan antara “ real self “ dan “ Ideal self “.

Pada saat seseorang memiliki sebuah harapan, mereka menyadari

(36)

merupakan sesuatu yang dianggapnya baik. Akan tetapi, dalam

proses mewujudkan sebuah harapan seseorang harus melakukan

sesuai dengan konteks yang dapat dicapainya, sehingga nantinya

mereka tidak mengalami kekecewaan. Hal ini penting karena

menurut Sheerer ( dalam, Cronbach, 1963 ) karena mereka yang

memliki harapan harus tetap bertanggungjawab atas perilakunya.

b. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Upaya Penerimaan Diri

Berdasarkan pemahaman tentang aspek – aspek dalam penerimaan diri,

Hurlock ( 1974 ) mengemukakan tentang faktor – faktor yang

mempengaruhi upaya penerimaan diri seseorang, antara lain adalah :

1. Keberhasilan

Hal ini berkaitan dengan keberhasilan yang pernah dialami

seseorang yang dapat menimbulkan penerimaan diri, sedangkan

kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan adanya penolakan

atas dirinya.

2. Pola Asuh di Masa Kecil

Menurut Santrock (1995), pola asuh sendiri terbagi menjadi empat,

yaitu :

a. Pengasuhan Otoriter

Suatu gaya membatasi dan menghukum anak untuk mengikuti

perintah orang tua dan menghormati pekerjaan dan usaha.

(37)

perbandingan sosial, gagal memprakasai kegiatan, dan memilii

keterampilan komunikasi yang rendah.

b. Pengasuhan otoritatif atau Demokratis

Pengasuhan dimana orang tua mendorong anak agar mandiri

tetapi masih menetapkan batasan – batasan atas tindakan

mereka. Mereka dengan orang tua yang otoritatif berkompeten

secara sosial, percaya diri, dan bertanggungjawab secara sosial.

selain itu, mereka dapat menghargai diri sendiri dan mampu

mengontrol perilakunya.

c. Pengasuhan Permissive–Indifferent

Gaya pengasuhan dimana orang tua sangat tidak terlibat dalam

kehidupan anak. Mereka dengan orang tua seperti itu akan

inkompeten secara sosial, mereka memperlihatkan kendali diri

yang buruk dan tidak membangun kemandirian yang baik.

d. Pengasuhan Permissive-Indulgent

Pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan

anak tetapi menetapkan sedikit batas terhadap anak – anak.

Orang tua seperti itu membiarkan anak melakukan segala hal

yang diinginkan akibatnya mereka tidak pernah belajar

mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu

mengharapkan kemauan mereka dituruti.

(38)

Apabila seorang individu itu yang tidak memiliki konsep diri

stabil, maka terkadang individu tersebut akan menyukai dirinya,

dan kadang ia tidak menyukai dirinya sehingga akan sulit

menunjukan pada orang lain siapa dirinya yang sebenarnya.

Menurut Rogers ( dalam Alwisol, 2008 ) konsep diri merupakan

konsepsi orang mengenai dirinya sendiri, ciri - ciri yang

dianggapnya menjadi bagian dari dirinya. Konsep diri juga

mengggambarkan pandangan diri dalam kaitannya dengan berbagai

perannya dalam kehidupan dan hubungan interpersonal. Menurut

Feist dan Feist ( 2010 ) konsep diri yang sudah terbangun tidak

mungkin membuat perubahan sama sekali . Perubahan biasanya

paling mudah terjadi ketika adanya penerimaan dari orang lain,

yang membantu seseorang untuk mengurangi kecemasan dan

ancaman serta untuk mengakui dan menerima pengalaman –

pengalaman yang sebelumnya ditolak .

4. Identifikasi pada Orang yang Mampu Mampu Menyesuaikan Diri

dengan Baik

Mengidentifikasikan diri dengan orang yang well adjusted akan

berpengaruh pada perkembangan seseorang dalam membangun

sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku

dengan baik. Hal ini bisa menimbulkan penilaian dan penerimaan

diri yang baik.

(39)

Hal ini terkait dengan dukungan dan kesempatan dari orang

disekitar dalam mewujudkan sebuah harapan seseorang. Jika

seseorang sudah memiliki harapan yang realistis, tetapi apabila

lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau

bahkan menghalangi, maka harapan orang tersebut tentu akan sulit

tercapai.

Selain itu, Jersild ( 1985 ) juga mengemukakan bahwa terdapat

beberapa faktor yang berpengaruh dalam upaya penerimaan diri

seseorang, yaitu :

1. Usia

Penerimaan diri seseorang cenderung sejalan dengan usia orang

tersebut. Apabila semakin matang dan dewasa seseorang semakin

tinggi pula tingkat penerimaan dirinya.

2. Pendidikan

Seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan

memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan potensi

dan kemampuan yang dimilikinya, sehingga semakin tinggi pula

kepuasan diri yang diraihnya. Seseorang yang merasa puas dengan

dirinya, akan lebih menerima dirinya secara lebih realistis

3. Keadaan Fisik

Kondisi fisik yang berbeda – beda antar individu akan

(40)

4. Dukungan Sosial

Upaya penerimaan diri akan lebih mudah dilakukan pada mereka

yang memperoleh perlakuan menyenangkan dan dukungan sosial

dari orang disekitarnya. Cohen dan Syme (dalam Gottlieb, 1988)

mengklasifikasikan dukungan sosial menjadi empat jenis, yaitu:

a. Dukungan informasi

Dukungan ini berupa pemberian penjelasan tentang situasi dan

segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang

dihadapi oleh individu. Dukungan ini meliputi pemberian

nasehat, petunjuk, masukan atau penjelasan tentang bagaimana

seseorang bersikap.

b. Dukungan emosional

Meliputi ekspresi empati misalnya dengan mendengarkan,

bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa

yang dikeluhkan, berusaha memahami, serta ekspresi kasih

sayang dan perhatian. Dukungan emosional akan membuat

individu penerima dukungan merasa berharga, nyaman, aman,

dan disayangi.

c. Dukungan Instrumental

Berupa bantuan yang diberikan secara langsung, bersifat

fasilitas atau materi, misalnya menyediakan fasilitas yang

diperlukan, meminjamkan uang, memberikan makanan, atau

(41)

d. Dukungan Penilaian

Dukungan yang berupa penilaian yang positif, penguatan untuk

melakukan sesuatu, umpan balik atau menunjukkan

perbandingan sosial yang membuka wawasan seseorang yang

sedang dihadapkan pada situasi stres.

5. Pola Asuh

Menurut Hurlock ( 1974 ) pola asuh yang demokratis membuat

anak merasa dihargai dalam keluarga. Anak yang lebih dihargai

akan cenderung menghargai diri sendiri dan mampu

memperkirakan tanggungjawab yang harus dimilikinya, sehingga

ia akan mampu mengendalikan perilakunya dengan kerangka

aturan yang dibuatnya dengan berpedoman pada norma – norma

yang berlaku di masyarakat.

4. Dampak Penerimaan Diri

Hurlock ( 1974 ) menjelaskan bahwa jika seseorang semakin baik

dalam menerima diri ,maka akan semakin baik pula penyesuian diri dan

sosialnya. Dampak dari penerimaan diri menurut Hurlock dibedakan

menjadi dua, yaitu :

a. Dampak dalam penyesuaian diri

Orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik adalah mereka

lebih mengenali kelebihan dan kekurangannya, dan biasanya

(42)

lebih dapat menerima kritik, dibandingkan dengan orang yang

kurang dapat menerima dirinya. Dengan demikian orang yang

memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara

realistis, sehingga dapat menggunakan semua potensinya secara

efektif hal tersebut dikarenakan memiliki anggapan yang realistik

terhadap dirinya maka mereka akan bersikap jujur dan tidak

berpura-pura.

b. Dampak dalam penyesuaian sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan dari

orang lain. Orang yang memiliki penerimaa diri akan merasa aman

untuk memberikan perhatiannya pada orang lain, seperti

menunjukkan rasa empati. Dengan demikian orang yang memiliki

penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih

baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau

merasa tidak adekuat sehingga mereka akan cenderung untuk

bersikap inferior atas dirinya sendiri.

5. Proses Penerimaan Diri

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2008 ) proses merupakan

runtutan perubahan peristiwa dalam suatu perkembangan yang berupa

serangkaian tindakan. Proses penerimaan diri merupakan serangkaian

tindakan yang dilakukan seseorang dalam menerima diri. Proses dimana

(43)

emosional dalam diri. Proses penerimaan diri terhadap peristiwa yang

menyakitkan dapat diartikan sebagai rangkaian tindakan seseorang dalam

menerima dirinya dalam menghadapi peristiwa yang menyakitkan. Dalam

konsteks penelitian ini, proses penerimaan diri penderita glaukoma ditinjau

dari rangkaian tindakan yang mereka lakukan untuk membentuk

penerimaan diri yang baik selama mengalami penyakit yang berisiko

kebutaan dan tidak dapat disembuhkan ini.

Pada penelitian ini, peneliti juga menjadikan kerangka berpikir

Kubler – Ross ( 1998 ) untuk melihat tahap penerimaan diri penderita

glaukoma. Teori Kubler – Ross memaparkan tentang tahapan mengenai

penerimaan pada seseorang yang mengalami peristiwa menjelang

kematian. Kematian sendiri merupakan peristiwa yang menyakitkan.

Peneliti menggunakan kerangka berpikir ini karena peneliti menilai bahwa

seseorang yang menghadapi kematian dan seseorang yang berpotensi

mengalami kebutaan, sama – sama mengalami peristiwa yang

menyakitkan meski bentuk ketakutannya berbeda. Peneliti memutuskan

untuk mempergunakan tahap penerimaan Kubler – Ross karena dapat

menggambarkan penerimaan diri penderita glaukoma terkait dengan

kondisi yang dialami. Dimana penderitanya menghadapi penyakit yang

tidak dapat disembuhkan, harus ditanggung penderitanya seumur hidup

dan bisa berakhir pada kebutaan merupakan salah satu bentuk peristiwa

yang menyakitkan. Alasan lain peneliti menggunakan tahap penerimaan

(44)

secara umum dan atau yang dikhususkan pada penderita glaukoma. Tahap

– tahap penerimaan diri menurut Kubler – Ross ( 1998 ) :

a. Tahap 1 ( Penolakan )

Pada tahap ini seseorang mengalami perasaan shock/kaget, tidak

percaya dengan diagnose, merasa bingung, melakukan penyangkalan

terhadap kondisi yang dialami sehingga memungkinkan seorang

tersebut mengasingkan diri sendiri.

b. Tahap 2 ( Marah )

Tahap ini memunculkan perasaan marah dan cenderung melakukan

proyeksi. Hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian atau

perhatian yang berlebih dari orang terdekat terhadap kondisinya,

harapan tidak sesuai dengan kenyataan, adanya perbedaan dengan

kondisi yang dulu dan sekarang serta ada penolakan-penolakan.

Dalam tahap ini selanjutnya juga menimbulkan perasaan bersalah

yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena dianggap

sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu hal buruk atau

karena kelemahan yang

c. Tahap 3 ( Tawar – Menawar )

Tahap ketiga seseorang mengalami pengalaman religiusitas dengan

Tuhan. Ada proses tawar menawar dimana seseorang itu berjanji

untuk bertingkah laku baik asalkan permintaannya dipenuhi. Namun

pada kenyataannya janji tidak selalu dipenuhi dan terus menuntut

(45)

dengan orang lain disekitarnya. Di tahap ketiga ini memungkinkan

munculnya perasaan bersalah, ketakutan atau merasa dihukum karena

kesalahannya.

d. Tahap 4 ( Depresi )

Pada tahap ini terdapat dua jenis depresi. Pertama, depresi reaktif

yaitu keinginan untuk mengungkapkan banyak hal secara verbal, ada

rasa bersalah, dan keinginan untuk mati. Kedua, depresi preparation

yaitu banya sedikit atau bahkan tidak ada reaksi verbal melainkan

pada keinginan non verbal seeti keinginan ditemani.

e. Tahap 5 ( Penerimaan )

Munculnya sikap penerimaaan terhadap kondisi yang dialami.

Merasakan kedamaian, sudah dapat melalui tahap-tahap sebelumnya

dengan baik sehingga tidak akan merasakan depresi maupun marah

terhadap kondisinya.

B. Glaukoma

1. Review Literatur tentang Glaukoma dan Permasalahan Psikologis

pada Penderita Glaukoma

Penelitian terkait dengan glaukoma pernah di lakukan Soemarsono

( 1995 ) di Yogyakarta. Penelitian ini melibatkan 149 subjek, dengan 70

subjek wanita dan 79 subjek pria. Dari 149 subjek penelitian diketahui

bahwa 71 orang mengalami kebutaan pada dua mata dan 78 orang

(46)

hasil bahwa angka kebutaan akibat glaukoma masih cukup tinggi. Dari

149 penderita kebutaan, 69 orang diakibatkan karena penyakit glaukoma.

Penyakit glaukoma diketahui sebagai penyebab kebutaan yang tidak dapat

dipulihkan ( kebutaan permanen ) dan risikonya semakin meningkat

seiring bertambahnya usia. Secara psikososial ditemukan bahwa usia rata

– rata penderita kebutaan adalah 48 tahun, hal ini berarti terjadi pada usia

yang masih produktif, sehingga berdampak pada sosioekonomi seseorang

baik secara langsung maupun tidak langsung. Tak hanya berdampak pada

diri sendiri, melainkan juga keluarga dan lingkungan sekitar.

Penelitian tentang permasalahan psikologis pada penderita

glaukoma pernah dilakukan oleh Shu-Xin Xi di Cina. Penelitian ini

dilakukan di sebuah rumah sakit mata di Cina. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengalaman penderita glaukoma terkait dengan

permasalahan psikologis yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode wawancara dan

Focus Group Discussion ( FGD ) dalam proses pengumpulan datanya.

Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan 24 subjek, 10 pria dan 14 wanita

yang berusia 23 sampai 43 tahun. Pasien yang dipilih adalah mereka yang

memiliki riwayat sakit glaukoma selama satu bulan sampai dua belas

tahun.

Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa penderita glaukoma

mengalami perubahan psikologis dan emosional seperti rasa tidak berdaya,

(47)

keterbatasan, khawatir jika penyakit glaukoma menyerang keluarga

mereka, dan mengalami gangguan emosional seperti mudah marah.

Namun, hal positifnya ada beberapa dari mereka yang menilai bahwa

dengan berdoa membuat kondisi mereka lebih baik. Dengan kondisi yang

dialami, mereka juga berusaha mengelola diri agar tidak menjadi beban

bagi keluarga mereka. Penderita glaukoma juga mencari info sebanyak

mungkin untuk menambah pemahaman mereka tentang glaukoma dan

melakukan seni bela diri dari Tai Chi untuk membantu dalam mengelola

kondisi mereka ( Shu – Xin Xi, 2011 ).

Berdasarkan deskripsi tentang penelitian sebelumnya, terdapat

beberapa peluang untuk dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang

penerimaan diri pada penderita glaukoma. Pertama, penyakit glaukoma

diketahui sebagai penyebab kebutaan yang tidak dapat dipulihkan (

kebutaan permanen ) dan risikonya semakin meningkat seiring

bertambahnya usia. Kedua, adanya kelemahan pada penelitian

sebelumnya yang hanya memaparkan permasalahan psikologis pada

penderita glaukoma tanpa mengekplorasi lebih mendalam sebab dan cara

penderita glaukoma mengatasi permasalahannya. Penelitian sebelumnya

hanya memaparkan bahwa usaha subjek untuk mengelola kondisi dengan

berdoa dan seni bela diri, tanpa meneliti lebih mendalam perubahan dan

dinamika psikologis yang dialami subjek ketika melakukan usaha tersebut.

Selain itu, terdapat alasan sehingga penelitian selanjutnya tentang

(48)

dengan metode pengumpulan data melalui wawancara secara personal,

karena penelitian sebelumnya memiliki kelemahan pada metode yang

digunakan. Penggunaan Focus Group Discussion ( FGD ) kurang efektif

untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya pada masing – masing subjek,

karena terdapat kemungkinan subjek menjawab tidak sesuai dengan

kondisi yang sebenarnya. Hal ini dapat terjadi apabila subjek merasa

tidak nyaman berbagi pengalaman dalam sebuah kelompok. Pada saat

berada dalam kelompok memungkinkan seseorang menjawab pertanyaan

dengan tidak jujur untuk menghindari pandangan atau dampak negatif dari

perilaku dan pernyataan yang dibuatnya. Keberhasilan metode ini sangat

tergantung pada kemampuan moderator dalam proses diskusi. Apabila

moderator tidak menguasai situasi diskusi, akan timbul kemungkinan

subjek diskusi menjadi bosan atau didominasi orang-orang tertentu saja.

Jumlah subjek yang terlalu banyak juga kurang dapat mengekplorasi

sebuah pengalaman dari masing – masing individu. Kondisi seperti itu bisa

diminimalisir apabila diwawancara secara personal pada masing – masing

subjek.

2. Pengertian Glaukoma

Menurut kamus kedokteran ( Dorland, 2002 ) glaukoma adalah

kelompok penyakit mata yang ditandai dengan peninggian intraokular

yang mengakibatkan perubahan patologis dalam diskus optikus dan defek

(49)

Menurut Ilyas ( 2010, h. 212 ) glaukoma adalah “ kelainan mata

yang ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf

optic, dan menciutnya lapang pandang “. Glaukoma disebabkan oleh

melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapang pandang dan

kerusakan anatomi berupa ekskavasi ( penggaungan ) serta degenerasi

papil saraf optic, yang dapat berakhir dengan kebutaan.

3. Glaukoma dalam Tinjauan yang Mendetail

a. Jenis – Jenis Glaukoma

Mohlan dan Robert ( 1988 ) mengungkapkan bahwa glaukoma

diklasifikasikan sebagai glaukoma primer dan glaukoma sekunder.

Dengan pemeriksaan lebih lanjut melalui gonioskopik akan

diklasifikasikan pada glaukoma primer dan sekunder dalam jenis

sudut terbuka dan sudut tertutup. Empat jenis glaukoma tersebut,

yaitu :

1. Glaukoma primer sudut tertutup

Glaukoma yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan

intraocular yang tiba – tiba. Gejala – gejala klinik berupa perasaan

nyeri hebat, ditemukan pula berbagai derajat kehilangan

penglihatan, perasaan mual dan muntah – muntah.

2.Glaukoma primer sudut terbuka

Merupakan jenis glaukoma yang hanya sebagian kecil penderitanya

(50)

atrofi serabut saraf retina dan kerusakan lapangan penglihatan yang

cukup berate di perifer, berkas makulopapilaris umumnya masih

terpelihara dengan baik, sehingga hasil pemeriksaan ketajaman

penglihatan sentral tetap normal.

3.Glaukoma sekunder sudut tertutup

Tipe glaukoma yang disebabkan oleh adanya peradangan selaput,

yang timbul setelah kekambuhan iridosiklitis akut dan kronik dan

organisasi selaput neovaskular setelah gangguan perdarahan retina,

misalnya diabetes mellitus dan penyakit penyumbatan darah.

4.Glaukoma sekunder sudut terbuka

Glaukoma yang menyebabkan komplikasi uveitis anterior akut,

dimana aequos tetap dibentuk terus menerus, tetapi tidak mengalir

keluar karena adanya penyumbatan pada saluran trabekular oleh

debris yang kaya protein dan sel – sel radang dalam lekukan sudut

filtrasi.

b. Pengobatan Glaukoma

Ilyas ( 2010 ) menjelaskan bahwa glaukoma merupakan penyakit

mata yang tidak dapat disembuhkan, dimana penderitanya harus

menjalani pengobatan seumur hidup. Beragam pengobatan dilakukan

guna menjaga kondisi mata penderita glaukoma agar tidak semakin

memburuk, antara lain dengan obat tetes mata seperti pilokarpin 2 %,

(51)

memburuk maka perbaikan kondisi anatomi mata dilakukan dengan

Laser Trabeculoplasty ( LPT ) atau Operasi Filtrasi Mata (

Trabeculectomy ).

C. Penderita Glaukoma

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2008 ) penderita adalah

orang yang menderita. Maka, penderita glaukoma adalah orang yang

menderita penyakit glaukoma, dimana orang tersebut menderita kelainan mata

yang ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf

optik, dan menciutnya lapang pandang.

D. Kerangka Berpikir

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimana penderita

glaukoma berupaya menerima diri atas kondisi yang dialaminya. Alasan

peneliti melihat penerimaan diri sebagai aspek yang penting untuk diteliti

karena penderita glaukoma memiliki kelemahan fisik yakni tidak optimalnya

fungsi penglihatan dan risiko kebutaan yang bisa dialami secara tiba – tiba.

Selain itu, secara medis dapat disimpulkan bahwa glaukoma merupakan

penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang mengakibatnya penderitanya

harus menggunakan obat seumur hidup guna menghindari terjadinya kebutaan.

Kondisi seperti itu dapat mempengaruhi kehidupan pribadi dan kehidupan

(52)

memunculkan permasalahan psikologis seperti stress, tekanan batin, merasa

tidak berdaya, merasa hidup dengan keterbatasan, dan merasa bersalah.

Penerimaan diri positif menjadi penting bagi penderita glaukoma

agar mereka tidak terpuruk dengan kondisi yang dialaminya sehingga dapat

menjadi pribadi yang sehat. Hal ini ditegaskan oleh Maslow (dalam Schultz,

1991 ), untuk menjadi pribadi yang sehat dibutuhkan sebuah penerimaan diri

positif sehingga mereka tidak merasa malu dan merasa bersalah walaupun

memiliki kelemahan atau mengalami kecacatan. Selain itu, dijelaskan oleh

Allport ( dalam Schultz, 1991) untuk menjadi pribadi yang sehat dibutuhkan

kemampuan dalam menerima semua segi dalam diri, termasuk kelemahan dan

(53)

Skema 1. Gambaran umum tentang penerimaan diri penderita

glaukoma

E. Pertanyaan Penelitian

Peneliti menyusun pertanyaan penelitian berdasar kerangka penelitian.

Pertanyaan penelitian disusun menjadi dua macam, yaitu central question dan

subquestion.

1. Central Question : Bagaimana penderita glaukoma berupaya menerima

diri atas kondisi yang dialaminya ?

Dampak yang ditumbulkan

Faktor – faktor yang mempengaruhi ( Hurlock, 1974 ) :

 Keberhasilan

 Pola asuh di masa kecil  Konsep diri yang stabil  Identifikasi pada orang

yang mampu menyesuaikan diri dengan baik

 Tidak adanya hambatan dari lingkungan

( Jersild, 1963 ) :

 Usia  Pendidikan  Keadaan fisik  Dukungan sosial  Pola asuh

Proses Penerimaan Diri

Didiagnosa mengalami glaukoma

Dampak yang dialami

Upaya penerimaan diri

Penerimaan Diri ( Hurlock, 1974 ) :

 Pemahaman dan perspektif tentang diri

 Tidak adanya tekanan emosi  Respon terhadap penilaian

orang lain

 Perilaku sosial yang baik  Harapan yang realistis

Dampak penerimaan diri : ( Hurlock, 1974 ) :

(54)

2. Subquestion adalah pertanyaan yang mengarahkan pada pertanyaan utama

penelitian. subquestion pada penelitian ini adalah :

a. Bagaimana proses penerimaan diri pada penderita glaukoma ?

(55)

40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang berjudul “Penerimaan Diri pada Penderita

Glaukoma “ ini menggunakan metode kualitatif. Pemilihan metode ini

dinilai tepat untuk memenuhi tujuan penelitian, yaitu untuk

mendeskripsikan proses penerimaan diri pada penderita glaukoma dan

mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi upaya penerimaan diri.

Hal ini dipilih oleh peneliti karena penelitian kualitatif berusaha untuk

mengeksplorasi, mendeskripsikan maupun menginterpretasikan maksud

dari suatu fenomena maupun pengalaman personal dan sosial yang dialami

oleh subjek penelitian (Creswell, 2007).

Poerwandari (2005) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah

penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif,

seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman

video, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, data yang dihasilkan

berupa transkrip wawancara kemudian data akan diolah menjadi bentuk

deskripsi sehingga penelitian ini memenuhi syarat untuk menggunakan

pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk

menggali dan memahami inti sebuah masalah sosial atau fenomena yang

dialami individu secara alamiah dalam suatu konteks khusus dengan

(56)

kualitatif adalah suatu penelitian yang menjelaskan suatu fenomena secara

deskriptif ( Smith, 2009).

B. Fokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini adalah memahami dan mendeskripsikan

upaya penderita glaukoma dalam menerima diri yang ditinjau dari :

1. Proses penerimaan diri (Bagaimana proses penerimaan diri penderita

glaukoma ? )

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi penerimaan diri ( Apa faktor –

faktor yang mempengaruhi penerimaan diri ? )

C. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah penderita glaukoma yang tinggal

di Yogyakarta. Subjek penelitian diperoleh di Rumah Sakit Mata dr Yap

Yogyakarta. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah lima orang.

Menurut Smith ( 2009 ), jumlah subjek lima atau enam sudah mencukupi

pada sebuah penelitian kualitatif. Dimana dengan jumlah subjek lima atau

enam dapat dipergunakan oleh peneliti untuk memeriksa kesamaan dan

perbedaan antarsubjek. Subjek dipilih menggunakan Criterion Sampling,

yaitu cara penentuan subjek berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti yaitu

telah didiagnosa mengalami glaukoma yang belum mengalami kebutaan

dan menggunakan obat secara terus menerus untuk menjaga kondisinya.

Gambar

Tabel 1. Guide Line Interview…………………………………………………...43
Tabel 1
tabel dan skema temuan penelitian untuk melihat kesesuaian
Tabel 2 Jadwal wawancara dengan subjek 1 ( K )
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kompetensi yang tercakup dalam unit kompetensi ini harus diujikan secara konsisten pada seluruh elemen dan dilaksanakan pada situasi pekerjaan yang sebenarnya ditempat kerja

Mekanisasi pertanian dalam hal perontokkan padi hingga menjadi beras selain dapat mengurangi kehilangan produksi dalam kegiatan pasca panen tanaman padi juga dapat

Disini tampak pula bahwa menurut golongan petani, terkecuali strata III, ternyata pendapatan yang berasal dari usaha industri gula masih lebih tinggi dibandingkan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh model problem based learning terhadap kemampuan berfikir kritis siswa kelas VIII pada mata pelajaran IPS, kemudian

(2011) dalam penelitian yang berjudul Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja Supply Chain dengan Pendekatan SCOR Model di PT Kubota Indonesia membahas mengenai

Berdasarkan 17 (tujuh belas) data kasus yang digunakan untuk pengujian, sistem menghasilkan 5 (lima) data kasus yang memiliki urutan nilai akhir terbesar

Bank DKI, Bank Jabar &amp; Banten, dan Bank Jatim merupakan beberapa Bank Pembangunan Daerah yang telah mencatatkan sahamnya pada Bursa Efek Indonesia, maka

Suku Sentani salah satunya dengan budaya khani he kla he diharapkan dapat menjadi conoth konkrit nyata bahwa masyarakat tradisionalpun memiliki perhatian dalam