• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN STATUSNYA (STUDI KASUS KONDISI TERUMBU KARANG DI PROVINSI BALI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ARTIKEL EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN STATUSNYA (STUDI KASUS KONDISI TERUMBU KARANG DI PROVINSI BALI"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

ARTIKEL

EKOSISTEM TERUMBU KARANG DAN STATUSNYA (STUDI KASUS KONDISI TERUMBU KARANG

DI PROVINSI BALI

OLEH

I WAYAN RESTU

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS UDAYANA BALI

2016

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerah-Nya sehingga “Artikel” yang berjudul “Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya (Studi Kasus Kondisi Terumbu Karang di Wilayah Provinsi Bali” dapat terselesaikan. Artikel ini merupakan kumpulan tulisan, data dan pendapat/keterangan ahli (profesional judment), tentang ekosistem terumbu karang secara umum dan hasil-hasil penelitian di wiayah yang sudah terpublikasi secara luas. Artikel yang berisikan pengetahuan dasar tentang ekosistem terumbu karang, permasalahannya di Indonesia dan kondisi terumbu karang di wilayah Provinsi Bali.

Informasi dalam tulisan singkat ini diharapkan bisa berguna bagi semua pihak, khususnya dalam upaya pemulihan dan konservasi ekosistem terumbu karang dalam kerangka perbaikan manajemen sumberdaya pesisir dan laut menuju pembangunan berkelanjutan.

Bahan utama dalam tulisan artikel ini disadur dari laporan : Profil Ekosistem Terumbu Karang Provinsi Bali tahun 2013 dan ditambahkan dari buku-buku, journal dan hasil penelitian. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari penulisan Artikel ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan koreksi dan saran yang sifatnya membangun sebagai bahan masukan yang bermanfaat.

Bukit Jimbaran, Juli 2016 Penulis.

i

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang... 1

1.2 Tujuan ... 4

1.3 Sasaran ... 4

II. EKOSISTEM TERUMBU KARANG... 5

2.1 Terminologi ... 5

2.2 Biologi hewan karang... 9

2.2.1 Struktur hewan karang... 9

2.2.2 Makanan hewan karang... 11

2.2.3 Reproduksi ... 11

2.2.4 Petumbuhan karang... 12

2.2.5 Musuh karang... 12

2.2.6 Klasifikasi dan Bentuk Pertumbuhan Karang ... 14

2.3 Lingkungan Fisik... 15

2.3.1 Distribusi terumbu karang... 15

2.3.2 Cahaya dan kedalaman... 17

2.3.3 Arus dan aksi gelombang ... 17

2.3.4 Sedimen dan substrat dasar ... 18

2.3.5 Salinitas ... 19

2.3.6 Suhu ... 19

2.4 Nilai EkosistemTerumbu Karang... 20

2.5 Ancaman terhadap Terumbu Karang... 25

2.5.1 Ancaman oleh Faktor Alam... 25

2.5.2 Ancaman oleh Aktivitas Manusia... 27

III. STATUS TERUMBU KARANG BALI ... 33

IV. PENUTUP... ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... ... 37

ii

(4)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

2.1

Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang

... 18

DAFTAR GAMBAR Nomor Teks Halaman

2.1

Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin

... 7

2.2

Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin

... 8

2.3

Anatomi polip karang dan letak zooxanthelae

... 9

2.4

Proses fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan hewan karang

... 10

2.5

Reproduksi generatif hewan karang

... 12

2.6

Acanthaster plancii

... 13

2.7

Diagram klasifikasi karang (sumber: Veron, 1986)

... 14

2.8

Bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform)

... 15

2.9

Destruktif Fishing dengan bahan peledak

... 28

2.10

Kegiatan penambangan batu karang sangat merusak

... 30

(5)

iii

(6)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki sumberdaya pesisir dan lautan sangat tinggi.

Sumberdaya pesisir dan lautan memiliki arti yang sangat penting dan strategis bagi pembangunan kehidupan masyarakat. Salah satu sumberdaya alam pesisir yang penting peranannya ditinjau dari aspek produksi, konservasi, rekreasi dan pariwisata adalah sumberdaya hayati di peraitan pantai. Nilai konservasi ekosistem perairan pantai adalah perlindungan dan pemeliharaan proses-proses ekologis, sistem penyangga kehidupan habitat berbagai jenis biota sehingga berfungsi sebagai cadangan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah, keberadaan terumbu karang, padang lamun berfungsi melindungi pantai dari bahaya erosi/abrasi, penghasil pasir putih dan lain-lain. Ditinjau dari aspek produksi, keberadaan ekosistem pantai telah memberi manfaat yang besar bagi pemenuhan kebutuhan pangan dan industri serta menopang mata pencaharian masyarakat pesisir, khususnya masyarkat nelayan. Berbagai produk dapat dihasilkan dari ekosistem pantai seperti beragam ikan konsumsi, produk ornamental, bahan konstruksi, ekstraksi natural products (senyawa bioaktif, untuk industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, bioenergi, dll) dan bahan baku industri lainnya Sementara itu ditinjau dari aspek rekreasi dan pariwisata, sumberdaya alam di perairan pantai menyediakan jasa-jasa menunjang industri wisata bahari bagi perolehan devisa negara dan menyediakan lapangan pekerjaan dan lapangan usaha bagi masyarakat lokal secara signifikan.

Pesatnya pembangunan di wilayah pesisir dan lautan pada sisi yang lainnya menimbulkan ekses berupa permasalahan pendayagunaan sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak seimbang. Salah satu sumberdaya di wilayah pesisir laut yang mendapatkan tekanan cukup besar adalah ekosistem terumbu karang (Corals reefs ecosystem), dengan kecenderungan tingkat kerusakan terumbu karang semakin berat. Dievaluasi kerusakan yang terjadi adalah akumulasi dampak negatif aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung di wilayah pesisir (internal impact), dan di luar wilayah pesisir (external impact). Disamping itu kerusakan disebabkan oleh terjadi pencemaran, terutama pencemaran sampah dan sedimen.

(7)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

2

Demikian hal dengan wilayah pesisir dan pulau‐pulau kecil Provinsi Bali merupakan sebagai salah satu sebaran ekosistem terumbu karang di kawasan ekoregion Lesser Sunda dengan luas yang telah terinventasasi yaitu mencapai 6.948 ha. Secara keseluruhan terinventarisasi sebanyak 96 site terumbu karang yang telah dipantau untuk mengetahui status kondisinya. Sebanyak 17 site pemantauan hanya dilakukan pada kedalaman 3‐5 meter, 24 site hanya pada kedalaman 7‐10 meter dan 59 site pada kedalaman 3‐5 meter dan 7‐10 meter.

Dari 76 site terumbu karang yang dipantau pada kedalaman 3‐5 meter, sebanyak 13 site 17,11%) dalam kondisi sangat baik, kondisi baik 28 site (36,84%), kondisi sedang 23 site (30,26%) dan kondisi buruk 12 site (15,79%). Terumbu karang dengan kondisi sangat baik terdapat antara lain di Menjangan, Gilimanuk, Pangkung Dedari, Gili Selang, Candidasa, dan Nusa Penida. Terumbu karang dengan kondisi baik tersebar di Menjangan, Gilimanuk, Sumbersari, Lovina, Tejakula, kawasan Candidasa, Sanur, Serangan, Nusa Dua dan Nusa Penida.

Terumbu karang dalam kondisi buruk terdapat di Gianyar, Kampung Baru dan Anturan Kabupaten Buleleng. Sedangkan kondisi sedang tersebar di kawasan Pemuteran dan Sumberkima, Kuta, Tanjung Benoa, Padangbai dan Nusa Penida.

Sementara itu, dari 79 site terumbu karang yang dipantau pada kedalaman 7‐10 meter diperoleh status kondisi terumbu karang di Bali pada kedalaman tersebut terdiri dari kondisi sangat baik 10 site (12,66%), kondisi baik 24 site (30,38%), kondisi sedang 33 site (41,77%) dan kondisi buruk 12 site (15,19%). Terumbu karang pada kedalaman 7‐10 meter dalam kondisi sangat baik antara lain terdapat di Menjangan, Cekik, pesisir timur dan selatan Kabupaten Karangasem, Nusa Dua dan Nusa Penida. Terumbu karang dalam kondisi buruk terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Buleleng, Teluk Gilimanuk, Candikusuma, Tuban, Nusa Lembongan, dan Serangan.

Pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan untuk pembangunan dan menopang mata pencaharian masyarakat dewasa ini dihadapkan pada permasalahan semakin seriusnya kerusakan terumbu karang.

Kerusakan terumbu karang mempunyai implikasi dampak yang luas, seperti merosotnya keanekaragaman hayati, berkurangnya sistem perlindungan alamiah daratan pantai oleh bahaya erosi dan abrasi, memburuknya kualitas obyek dan daya tarik wisata, dan lain sebagainya. Para ahli telah memasukkan ekosistem

(8)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

3

terumbu karang sebagai salah satu ekosistem yang sangat terancam kelestariannya.

Upaya-upaya pelestarian ekosistem terumbu karang merupakan sesuatu hal yang mendesak. Pendekatannya adalah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Pendekatan ini sangat relevan diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang mengingat kompleksitas sistem sumberdaya dan permasalahannya. Salah satu aspek penting dalam pengelolaan terumbu karang adalah ketersediaan data dan informasi. Data dan informasi mengenai kekayaan, potensi, kondisi dan status terumbu karang harus disebarluaskan dan dipublikasikan secara seimbang untuk memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat, dan

menentukan langkah-langkah pengendalian dan pemulihan kerusakan terumbu karang agar sumberdaya ini dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Kewenangan di wilayah laut terdiri dari: (a) eksplorasi, eskploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang;

(d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (e) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Kewenangan ini meliputi juga dalam hal pengelolaan sumberdaya terumbu karang.

Salah satu implikasi dari kewenangan tersebut, Pemerintah Kabupaten/Kota juga berkewajiban melakukan kegiatan pemantauan sebagai bagian dari pengelolaan terumbu karang. Hal ini telah diatur dalam Kep. Men. LH No. 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang yang menyebutkan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota berkewajiban melakukan inventarisasi terumbu karang untuk mengetahui status kondisi terumbu karang dan menyampaikan laporannya kepada Menteri dan instansi yang bertanggung jawab sebagai bentuk perwujudan good environmental governance.

Selain untuk memenuhi kewajiban sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan, kajian-kajian yang menghasilkan solusi tepat bagi perlindungan sumberdaya terumbu karang diperlukan untuk menunjang para pengambil keputusan dalam melaksanakan pembangunan daerah yang efektif dan berkesinambungan. Pengkajian melalui kegiatan pemantauan terumbu karang dan penyebaran hasil kajian ini sangat penting dalam rangka pengelolaan sumberdaya

(9)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

4

terumbu karang seperti : identifikasi faktor-faktor penyebab kerusakan, upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan kerusakan terumbu karang. Dengan langkah-langkah pengelolaan tersebut diharapkan kondisi terumbu karang dapat dipelihara kualitasnya sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

1.2 Tujuan

Penulisan makalah (artikel) yang bertemakan “Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali bertujuan untuk:

a. Memberikan informasi dasar dan bahan bacaan tentang ekosistem terumbu karang secara umum dan kasus-kasus kondisi terumbu karang di wilayah Bali.

b. Sebagai sumber bahan pembelajaran bagi mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakukltas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.

1.3 Sasaran

Sasaran yang diharapkan dari makalah (artikel) yang bertemakan

“Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali adalah:

menyebar tularkan data/informasi bagi berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) mengenai ekosistem terumbu karang dan status kondisi terumbu karang di Provinsi Bali, yang bermanfaat dalam menunjang program pengelolaan ekosistem terumbu karang sebagai salah satu aset bagi pembangunan daerah dalam rangka good environmental governance sesuai dengan Kepmen LH No. 4 Tahun 2001.

(10)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

5

BAB II

EKOSISTEM TERUMBU KARANG 2.1 Terminologi

Istilah terumbu (reef) sudah begitu melekat dengan karang (coral), padahal tidak seluruhnya jenis karang hidup pada terumbu dan tidak semua terumbu dihidupi oleh karang. Terumbu merupakan istilah yang mempunyai beberapa pengertian. Kapten kapal mengertikan terumbu sebagai bagian laut dangkal yang dapat mengganggu navigasi. Nelayan pada umumnya menggunakan istilah terumbu sebagai batuan “submarine” dimana ikan-ikan biasanya bergerombol dan dapat menyangkutkan jaring. Ada juga yang menyebutnya sebagai struktur batuan pada perairan dangkal sampai supratidal yang dapat menyebabkan pecahnya gelombang. Sementara itu, terumbu dalam pengertian biologi adalah suatu struktur kerangka kerja organik yang dibentuk oleh organisme meliputi berbagai avertebrata dan alga, seperti yang terdapat pada karang tertentu, alga koralin, tiram, dan beberapa cacing. Dalam perkembangan selanjutnya, terumbu dibagi atas terumbu karang (coral reef) dan terumbu bukan karang (non-coral reef). Terumbu bukan karang dapat berupa terumbu tiram (oyster reef), atau terumbu cacing (worm reef).

Tipe terumbu lainnya juga kadang-kadang dikaitkan dengan dengan sistem akar mangrove dan kaitannya dengan akumulasi sedimennya (Davis, 1990).

Istilah karang (coral) mempunyai beberapa arti, tetapi biasanya merupakan nama umum yang diberikan kepada ordo Scleractinia, yang semua anggotanya mempunyai skeleton batu kapur keras. Ordo Scleractinia dibagi atas kelompok terumbu bangun (reef building) dan terumbu bukan bangun (non-reef building).

Kelompok pertama dikenal dengan sebutan hermatypic coral dan membutuhkan sinar matahari untuk hidupnya. Sedangkan kelompok kedua dikenal dengan ahermatypic coral dan secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1986).

Sementara itu menurut Barnes dan Hughes (1990), karang berkaitan dengan anemon laut dan dapat divisualisasikan sebagai koloni anemon yang tersusun atas pondasi batu kapur sebagai struktur penopang dan proteksi. Ada organisme pembangun skeleton lainnya yang mirip dengan cara kerja Scleractinia yang disebut sebagai non scleractinia coral. Menurut Veron (1986), struktur masif terumbu karang tersebut terbentuk dari akumulasi dan sedimentasi skeleton karang

(11)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

6

yang terjadi ratusan tahun. Terumbu karang merupakan hasil hubungan kerja yang kompleks dan halus antara polip karang dan alga sel tunggal yang hidup secara simbiosis di dalam sel-sel polip karang. Karang lainnya yang tidak mempunyai skeleton disebut sebagai karang lunak (soft coral).

Menurut Davis (1990), berdasarkan bentuk hubungannya dengan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan, Darwin mengklasifikasikan tipe terumbu karang yang sampai sekarang masih digunakan, yaitu (Gambar 2.1 dan 2.2):

a. Karang tepi (fringing reef), yaitu terumbu karang yang berkembang sepanjang dan dekat pantai (shore) dan jangkauan tumbuhnya ke arah laut dengan jarakbeberapa ratus meter. Tidak terdapat laguna atau lingkungan bukan terumbu antara terumbu karang dan daratan. Tipe ini melindungi garis pantai dan lingkungan pantai dari abrasi karena dapat menahan serangan gelombang yang menghantam pantai. Terumbu karang yang terdapat di Indonesia umumnya termasuk ke dalam tipe ini.

b. Terumbu penghalang (barrier reef), yaitu terumbu karang yang berkembang sejajar garis pantai tetapi terletak dengan membentuk jarak dengan pantai dan di antaranya terdapat laguna. Terumbu karang tipe ini yang paling terkenal di dunia adalah Great Brrier Reef yang terdapat di pantai Queensland Australia, dengan panjang lebih dari 1200 mil dan lebar bervariasi dari 10 sampai 200 mil dan meliputi area seluas 80.000 mil persegi. Barrier reef terbesar kedua di dunia terdapat New Caledonia dengan panjang total 400 mil dengan lebar laguna 1 sampai 8 mil. Barrier reef terbesar ketiga aadalah Great Sea Reef yang terdapat di sebelah utara dua pulau utama Piji, Viti Levu dan Vanua Levu, dengan panjang 165 mil.

c. Terumbu cincin (atoll), yaitu terumbu karang yang berbentuk cincin (lingkaran) yang mengelilingi batas dari pulau-pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Atoll selanjutnya dapat dibedakan atas dua kelompok yaitu: (1) yang muncul dari laut dalam yang disebut deep-sea atoll. Atoll tipe ini strukturnya terisolasi dan umumnya berukuran kecil dengan cincin yang kecil pula, tidak memiliki inlet, diameternya kurang dari 1 mil tetapi ada beberapa yang diameternya melebihi 20 mil dan memiliki beberapa inlet. Atoll Kwajalein di Kepulauan

(12)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

7

Marshall (Pasifik) dan Atoll Suvadiva di Maldive (Samudera Hindia) merupakan atoll-atoll yang terbesar saat ini, masing-masing dengan luas lebih dari 700 mil persegi; (2) atoll yang dijumpai pada paparan benoa yang disebut shelf atoll. Jenis atoll ini banyak dijumpai di beberapa belahan dunia, termasuk di Indonesia (Taka Bone Rate Sulawesi Selatan), Laut Karibia dan Teluk Meksiko, dan Australia (Great Barrrier Reef). Beberapa nama khusus diberikan terhadap shelf atoll untuk membedakannya dengan deep-sea atoll, seperti “bank reef” unuk atoll yang muncul pada paparan benoa, “bank barrier” untuk atoll yang terdapat pulau, “bank atoll” untuk atoll yang tidak terdapat pulau, serta “lagoon atoll” unuk atoll kecil dengan laguna yang luas.

Gambar 2.1 Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin

Fringing Reef Barrier Reef Atoll

(13)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

8

Gambar 2.2. Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin

(14)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

9

2. 2 Biologi Hewan Karang

2. 2. 1 Struktur Hewan Karang

Ditlev (1980) mengemukakan bahwa pada karang hermatypic, organisme hewan karang hidup bersimbiosis dengan alga zooxanthellae yaitu alga coklat mikroskopis, sedangkan pada karang ahermatypic tidak memiliki simbion zooxanthellae. Zooxanthellae yang bersimbiosis dengan hewan karang adalah dinoflagellata unicellular dari jenis Gymnodinium microadriatum. Zooxanthellae ini hidup pada lapisan gastrodermis hewan karang (Gambar 2.3).

Sebagaimana halnya tumbuhan di daratan, zooxanthellae mampu melakukan fotosintesis untuk menangkap sinar matahari dan menggunakannya untuk membuat makanan organik untuk dirinya dari karbon dioksida, nutrien anorganik dan air. Tanpa zooxanthellae, karang menjadi pucat. Meskipun semua karang mengandung kalsium karbonat, tetapi tidak semuanya cukup untuk membentuk terumbu. Air laut yang hangat dan intensitas cahaya matahari yang tinggi sepanjang tahun sangat penting untuk mekanisme simbiosis alga- coelenterata untuk menghasilkan kuantitas kapur yang melimpah. Karang hermatypic terbatas pada kedalaman kira-kira 70 meter dari permukaan air pada laut yang jernih dengan suhu di atas 20o C sepanjang tahun. Di daerah yang lebih dingin dengan kedalaman kurang dari 70 m, karang masih dapat tumbuh tetapi hubungan simbiosisnya dengan zooxanthellae seringkali persisten dan kapasitas karag untuk mendepositkan kapur (limestone) akan menurun sehingga bentuknya relatif kecil.

Sumber: Veron (1986) Sumber: Nybakken (1992) Gambar 2.3 Anatomi polip karang dan letak zooxanthellae

Tentakel

Mulut

Epidermis

Kerongkongan Gastrodermis Kerangka

Septa Kerangka dalam Cawan Cawan Koralit

Zooxanthellae

(15)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

10

Organisme pembangun karang yang hanya dapat hidup pada perairan dangkal dengan sinar matahari yang cukup, sehingga memberi kesan bahwa cara hidup hewan karang seperti tumbuh-tumbuhan. Walaupun demikian keadaannya, karang (coral) merupakan hewan yang tidak bisa melangsungkan proses fotosintesis. Adapun ketergantungan kehidupannya pada sinar matahari yang cukup karena di dalam jaringan tubuhnya terdapat tumbuhan air bersel satu (unicellular) yaitu zooxanthellae.

Dalam hubungan simbiosis mutualisme antara hewan karang dengan zooxanthellae, hewan karang memperoleh sejumlah keuntungan yaitu oksigen untuk respirasi yang dihasilkan dari proses fotosintesis zooxanthellae, zooxanthellae mengendapkan kapur sebagai “rumah” hewan karang dan zooxanthellae merupakan sumber makanan utama bagi hewan karang. Sedangkan zooxanthellae memperoleh keuntungan yaitu tempat hidup, CO2 dan nutrien hasil perombakan ekskresi hewan karang menunjang proses fotosintesis (Gambar 2.4).

Menurut Barnes dan Hughes (1990), cara zooxanthellae mendepositkan kalsium karbonat tidak sepenuhnya dimengerti. Persamaan berikut hanya merupakan hipotesis, yaitu: Ca2+ + 2HCO3-  Ca(HCO3)2  CaCO3 +H2CO3

Hipotesis ini tidak dapat menjelaskan bagaimana karang Acroporidae tipe polip spiral tumbuh lebih cepat daripada tipe lateral sedangkan tipe spiral mengandung zooxanthellae lebih sedikit. Menurut Clark (1995), sebanyak 160-800 ton kalsium karbonat per are per tahun didepositkan oleh zooxanthellae pada terumbu karang.

Gambar 2.4 Proses fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan hewan karang

(16)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

11

2.2. 2 Makanan Hewan Karang

Karang hermatypic mempunyai dua sumber makanan utama yaitu senyawa organik yang dihasilkan dan diekskresikan oleh zooxanthellae di dalam jaringannya dan dari mangsanya. Zooxanthellae mampu mensuplai 98 % total kebutuhan makanan bagi hewan karang. Sumber makanan lainnya berupa debris organik atau plankton. Karang kelompok lainnya seperti Euphyllia, Catalaphyllia dan Goniopora, tidak menyukai perairan keruh dan mempunyai polip yang besar yang hanya mekar pada malam hari. Mereka tidak mempunyai kumpulan sel-sel penyengat pada tentakel. Sumber makanannya masih belum diketahui, tetapi diperkirakan terutama dari debris organik. Karang ahermatypic dimana tidak mempunyai alga simbiosis sebagai pensuplai makanan dalam jaringannya, seluruhnya bersifat kanibal. Seperti anemon, mereka makan hampir segala sesuatu yang dapat mereka lumpuhkan dengan sel penyengatnya, termasuk cacing dan ikan, dan bulu babi (Veron, 1986).

2.2.3 Reproduksi

Perkembangbiakan hewan karang dapat terjadi dengan dua cara yaitu secara vegetatif dan generatif. Secara vegetatif merupakan cara memperbanyak diri dengan membelah diri berulang kali. Perkembangbiakan secara vegetatif dimana karang membentuk tunas intra-tentakuler atau ekstra-tentakuler. Dengan membelah diri berulang kali sehingga koloni karang terdiri atas ribuan polip.

Cara kedua yaitu secara generatif, merupakan pembuahan antar sel kelamin jantan dan sel kelamin betina yang terdapat dalam satu polip dan biasanya dalam jaringan yang sama. Pembuahan ini menghasilkan larva planula dan untuk beberapa saat disimpan di dalam rongga mulutnya. Sedangkan menurut Ditlev (1980), perkembangan menjadi larva planula terjadi melalui reproduksi seksual secara monocious dan diocious. Setelah larva memasuki fase free-swimming (berenang bebas), maka larva planula menempel pada substrat keras dan membentuk koloni karang atau soliter baru. Larva planula yang telah menempel pada substrat keras pertama-tama membentuk suatu basal plate dari kapur (Gambar 2.5).

(17)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

12

-

Gambar 2.5 Reproduksi generatif hewan karang

2.2. 4 Pertumbuhan Karang

Tercapainya evolusi dari ordo Scleractinia yaitu perkembangan dalam memanfaatkan alga simbiosis untuk membentuk terumbu, merupakan kapasitasnya untuk membentuk koloni yang kompleks melalui perbanyakan polip secara aseksual. Dengan terbentuknya koloni yang tersusun atas ratusan atau ribuan individu, karang terbebas dari semua pembatasan polip tunggal. Mereka dapat tumbuh sampai ukuran yang sangat besar, mencapai usia yang besar, menghasilkan larva yang banyak, tumbuh cukup cepat mengalahkan kompetitor dan membangun saringan tangkapan plankton pada skala yang besar.

Karang merupakan koloni hewan yang tumbuh relatif lambat, dengan laju pertumbuhan berkisar dari 0,1 sampai 10 cm tingginya per tahun (Clark, 1995).

Sedangkan menurut Warner (1984), laju pertumbuhan rata-rata karang adalah 1 mm per tahun. Sementara itu, kalsifikasi terumbu pada perairan dangkal (0-10 m) berkisar 4-15 kg CaCO3/m2/tahun.

2.2. 5 Musuh Karang

Dari fase larva sampai pertumbuhan penuh menjadi koloni, karang tidak terlepas dari musuh yang memakannya. Musuh karang yang paling terkenal adalah bulu seribu atau disebut juga mahkota berduri atau crown-of-thorns starfish (Acanthaster planci) (Gambar 2.6). Binatang ini mampu membinasakan

(A)

(B)

(C) (D)

A – Polip dewasa B – Larva Planula

C – Planula stadium akhir dengan septa yang berkembang D – Polip muda setelah pelekatan (Diolah dari Nybakken, 1992)

(18)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

13

karang dalam kawasan yang luas. Hewan ini hidup merayap pada karang dan menyerap jaringan pada karang. Pergerakannya akan meninggalkan kerusakan karang di belakangnya yaitu membuat karang menjadi berwarna putih dan menggosongkan skeleton karang. Untuk memulihkan pertumbuhan karang pada daerah yang terserang mahkota berduri dibutuhkan waktu 3-10 tahun.

Sebagai contoh, Warner (1984) mengemukakan bahwa pada tahun 1969 pernah terjadi kasus kerusakan karang oleh hewan ini yang mencapai 95 % dari karang hidup yang ada sepanjang 38 km garis pantai di Guam mencapai kedalaman 65 m. Kerusakan karang serupa oleh predator karang ini juga sering dilaporkan terjadi di daerah Indo

Pasifik khususnya di Laut Merah dan Great Barrier Reef. Serangan mahkota berduri pernah juga terjadi di kawasan terumbu karang Pulau Menjangan Provinsi Bali pada tahun 1997 yang menimbulkan kerusakan karang yang cukup parah di

kawasan tersebut Gambar 2.6 Acanthaster planci

Selain mahkota berduri, masih ada beberapa organisme lainnya yang juga bisa menimbulkan kerusakan pada terumbu karang. Diantaranya adalah gastropoda kecil Drupella yang mengakibatkan kerusakan karang yang luas di Pasifik Barat, khususnya Jepang dan Micronesia. Organisme pelubang seperti kerang kurma (Lithophaga lessepsiana), berbagai cacing termasuk peacock (Spirobranchus giganteus) dan sponge pelubang juga mempunyai pengaruh jangka panjang yang besar terhadap beberapa komunitas karang. Ikan kakatua (famili Scaridae) juga mempunyai andil terhadap kerusakan karang walaupun tidak begitu signifikan. Ikan famili ini selain bersifat herbivora grazing juga meng-grazing karang hidup, dimana menurut Choat (1991) famili Scaridae dikenal sebagai salah satu penyebab bioerosion yaitu terlepasnya material dari terumbu oleh proses-proses biologi.

(19)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

14

2.2. 6 Klasifikasi dan Bentuk Pertumbuhan Karang

Menurut Ditlev (1980) dan Veron (1986), taksonomi karang didasarkan atas morfologi skeleton (kerangka) karang. Karang pembangun terumbu (reef-building coral) yang terdapat di wilayah Indo Pasifik diklasifikasikan seperti diagram pada Gambar 2.7

Gambar 2.7 Diagram klasifikasi karang (sumber: Veron, 1986) Kelas Subkelas Ordo Subordo Famili

Oculinidae

Merulinidae Faviidae Trachyphylliida e

Meandrinidae Faviina

Mussidae Pectinidae Agariciidae Thannastreidae Sederastreidae Fungiidae Poritidae Fungiina

Tubiporidae

Helioporidae Stolonifera

Octocarallia

Coeno- thecalia

Milleporidae

Stylasteridae Milleporina

Stylasterin a Hydrozoa

Caryophylliidae

Dendrophylliida e

Caryophylliina

Dendrophylliina Scleractini

a Zoantharia

Astrocoeniidae Pocilloporidae Acroporidae Astrocoeniin

a

Anthozoa

(20)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

15

Struktur individu-individu polip karang merupakan kunci identifikasi karang, baik pola formasi koloni maupun bentuk pertumbuhan koloni. Bentuk-bentuk pertumbuhan koloni karang umumnya dibedakan atas karang masif (massive), karang tonggak (columnar/digitate), karang kerak (encrusting), karang bercabang (branching), karang daun atau bunga (foliaceous), dan karang piringan/meja (laminar/tabulate), seperti pada Gambar 2.8 (Veron, 1986).

Sumber: Veron (1986)

Gambar 2.8 Bentuk pertumbuhan karang (coral lifeform)

2.3 Lingkungan Fisik

2.3.1 Distribusi terumbu karang

Terumbu karang tersebar secara ekstensif di wilayah perairan dangkal di wilayah tropis. Penyebarannya hampir secara eksklusif diantara 30o LU dan 30o LS, dan terkonsentrasi pada empat bidang besar yaitu Laut Merah dan Samudera Hindia bagian barat, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat (Indo- Pasifik), Samudera Pasifik Selatan, dan Laut Karibia dan Samudera Atlantik bagian barat. Dari empat wilayah sebaran tersebut, wilayah karang Indo-Pasifik mempunyai keanekaragaman spesies terbesar dan mengandung sistem terumbu yang paling ekstensif, seperti Great Barrier Reef. Membujur sepanjang 2.400 km paralel pantai timur Australia, Great Barrier Reef secara aktual mengandung sekitar 2.400 individu terumbu dan kompleksitas terumbu menutupi sekitar 9% dari 230.000 km2 paparan benua Australia. Di dalam Great Barrier Reef terdapat 250 pulau, 700 jenis karang, 1500 jenis ikan dan 4000 jenis moluska.

a. Karang masif (massive) b. Karang tonggak

(columnar/digitate) c. Karang kerak (encrusting) d. Karang bercabang

(branching)

e. Karang bunga/daun (folioceous)

f. Karang meja/piringan (tabulate/laminar) g. Karang lepas (free-living)

(21)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

16

Karena ketergantungannya terhadap sinar matahari dan perairan yang hangat di daerah tropis, terumbu karang hanya berkembang baik pada perairan dangkal laut ekuatorial di daerah berlintang rendah. Perkembangan terumbu karang lebih baik di daerah barat samudera dibandingkan sebelah timur karena air hangat di daerah tersebut lebih luas penyebaran latitudinalnya.

Terumbu karang teradaptasi dan sebaliknya dapat memodifikasi lingkungan fisiknya, dan oleh karenanya faktor-faktor lingkungan fisik terumbu mempunyai perbedaan yang luas menurut daerah (Jones dan Endean, 1973). Gradien suhu dan salinitas merupakan faktor pembatas utama penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang. Menurut Nybakken (1992), penyebaran terumbu karang meliputi wilayah yang luas (jutaan mil persegi) di daerah tropis. Penyebaran terumbu karang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20o C. Menurut Salm dan Clark (1989), terumbu karang merupakan ekosistem laut yang dangkal daerah tropis dimana perkembangannya yang terbaik pada suhu antara 25o C dan 29o C. Oleh karena perkembangan karang yang ekstensif jarang dijumpai pada suhu di bawah 20o C. Terumbu karang cenderung dibatasi penyebarannya oleh suatu sabuk sirkum global antara 30o LU dan 30o LS. Meskipun demikian, karang masih dijumpai pada 35o LU seperti di Jepang dan pada 32o LS di laut Tasmania.

Kebanyakan jenis karang Indo Pasifik ditemukan mulai dari pantai timur pulau-pulau Marshall dan Samoa. Kawasan marginal dimana hewan karang secara perlahan-lahan membaik adalah pantai laut Afrika, pantai timur dan barat Australia dan setengah Samudera Pasifik bagian timur. Daerah yang paling kaya akan jenis karang adalah kepulauan Indonesia. Pusat kedua dengan beberapa jenis khas adalah bagian barat Samudera Hindia (Ditlev, 1980).

Menurut Nybakken (1992), tidak terdapat terumbu karang pada daerah yang luas di pantai barat Amerika Selatan dan Amerika Tengah dan juga di daerah pantai selatan Afrika dimana daerah-daerah tersebut termasuk daerah tropis. Hal ini disebabkan karena terjadinya up welling air dingin, yang menurunkan suhu perairan dangkal sampai di bawah suhu yang diperlukan untuk perkembangan terumbu karang. Selain itu, daerah tersebut mempunyai arus dingin yang mngalir ke utara membuat suhu tetap rendah yaitu arus Humboldt di pantai Amerika Selatan dan arus Benguala di lepas pantai Afrika Barat.

(22)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

17

2.3.2 Cahaya dan kedalaman

Semua karang hermatypic membutuhkan cahaya yang cukup untuk fotosintesis alga zooxanthellae yang ada dalam jaringannya. Cahaya ini berubah- ubah secara cepat, baik dalam intensitas maupun komposisinya menurut kedalaman. Kecerahan perairan terumbu dapat melebihi 50 meter pada daerah terumbu samudera terbuka dan bisa kurang dari satu meter misalnya setelah terjadi badai di sekitar terumbu tepi. Kisaran kecerahan air ini sangat menentukan kedalaman pertumbuhan karang, dan spesies yang berbeda mempunyai toleransi yang berbeda terhadap tingkat cahaya baik maksimum ataupun minimum. Hal ini juga sangat menentukan variasi komunitas terumbu.

Nontji (1987) mengemukakan bahwa cahaya diperlukan untuk fotosintesis alga simbiosis yaitu zooxanthellae yang produksinya kemudian disumbangkan kepada hewan yang menjadi inangnya. Kedalaman air maksimum untuk hewan karang pembentuk terumbu adalah 40 meter. Lebih dari kedalaman itu cahaya sudah terlalu lemah. Hutabarat dan Evans (1985) mengemukakan bahwa kedalaman untuk kehidupan karang biasanya kurang dari 25 meter. Ditlev (1980) menyatakan bahwa karang menurun pertumbuhannya dengan bertambahnya kedalaman perairan. Jika air keruh, karang hanya dapat tumbuh pada kedalaman 2 meter. Sedangkan pada perairan yang jernih di sekitar pulau-pulau samudera, karang dapat tumbuh sampai pada kedalaman lebih dari 80 meter. Menurut Nybakken (1992), terumbu karang tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam dari 50-70 m. Kebanyakan terumbu karang tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran benoa-benoa atau pulau-pulau. Selanjutnya dikemukakan bahwa tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis zooxanthellae berkurang dan bersamaan dengan itu kemampuan karang untuk mendopositkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang pula.

2.3.3 Arus dan aksi gelombang

Faktor penentu kedua penyebaran dan pertumbuhan karang adalah aksi gelombang. Aksi gelombang bisa terjadi secara ekstrim terhadap permukaan depan terumbu dan belakang dataran terumbu. Pada keadaan hari tenang, keadaan depan terumbu suasananya juga tenang. Sebaliknya, pada saat badai bagian ini sangat berkecamuk dan menjadi lokasi hantaman aksi gelombang. Hanya

(23)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

18

beberapa spesies karang yang dapat bertahan hidup pada kondisi ini (Veron, 1986).

Arus diperlukan karang untuk mendatangkan makanan berupa plankton, membersihkan diri dari endapan-endapan, dan untuk mensuplai oksigen dari laut lepas. Oleh karena itu, pertumbuhan karang di tempat yang selalu teraduk arus dan ombak, lebih baik dari pada di perairan yang tenang dan terlindung. Jika air tenang banyak mengandung lumpur atau pasir maka hewan karang akan mengalami kesulitan untuk membersihkan diri, hanya ada beberapa jenis saja yang mampu membersihkan diri sendiri dari endapan-endapan lumpur atau pasir yang menutupinya (Nontji, 1987).

Pada umumnya terumbu karang lebih berkembang pada daerah-daerah yang mengalami gelombang besar. Koloni karang dengan kerangka yang masif dari kalsium karbonat tidak akan rusak oleh gelombang besar (Nybakken, 1992).

2.3.4 Sedimen dan substrat dasar

Di dalam dan di sekitar terumbu karang terdapat bermacam-macam tipe sedimen, seperti koarsa pecahan karang, berbagai tipe pasir dan juga lumpur halus. Tipe sedimen tersebut pada suatu tempat tergantung pada tingkat eksposur terhadap arus dan aksi gelombang dan juga tergantung pada asal dari sedimen tersebut. Di belakang terumbu yang mengarah ke garis pantai biasanya terdapat sedimen calcareous yang dihasilkan oleh alga koralin, foraminifera, kulit kerang dan karang. Sedimen-sedimen ini dengan mudah terbawa arus tetapi mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap kejernihan air. Dekat dengan garis pantai, sedimen berasal dari daratan terutama melalui limpasan sungai. Sedimen ini biasanya mempunyai kandungan bahan organik tinggi, dan oleh aksi gelombang akan terombang ambing dan tersuspensi dalam air untuk jangka waktu yang relatif lama, yang membuat perairan keruh dan menurunkan penetrasi cahaya. Jika mengalami pengendapan dari suspensinya yang bisa menyebar dalam jarak yang jauh, sedimen ini dapat membunuh organisme karang.

Substrat keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan larva planula karang yang akan membentuk koloni baru. Cangkang moluska, potongan- potongan kayu bahkan juga besi yang terbenam dapat menjadi substrat penempelan larva planula (Nontji, 1987).

(24)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

19

2.3.5 Salinitas

Salinitas yang tinggi jarang menjadi faktor yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan komunitas karang. Sebaliknya salinitas rendah pada umumnya sangat mempengaruhi penyebaran maupun zonasi terumbu karang. Terumbu karang tidak dapat berkembang pada kawasan dimana secara periodik mendapatkan masukan air sungai, dan ini merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi karang sepanjang garis pantai. Pengaruh utama salinitas terhadap zonasi karang adalah disebabkan oleh curah hujan. Karang dengan formasi reef-flat pada umumnya toleran terhadap salinitas rendah dalam periode singkat, akan tetapi jika curah hujan sangat tinggi disertai dengan surut yang sangat rendah, komunitas reef-flat bisa mengalami kerusakan (Veron, 1986).

Nontji (1987) mengemukakan bahwa hewan karang mempunyai toleransi terhadap salinitas sekitar 24-40 promil. Adanya aliran air tawar akan menyebabkan kematian. Menurut Well (1984), salinitas optimal bagi pertumbuhan karang adalah 36 promil. Sedangkan menurut Nybakken (1992), karang hermatypic adalah organisme laut sejati dan tidak dapat bertahan pada salinitas air laut di bawah kisaran yang normal (32-35 promil). Sebaliknya terumbu karang dapat tumbuh di wilayah yang salinitasnya tinggi seperti di Teluk Persia, dimana terumbu karang berkembang pada salinitas 42 promil.

2.3.6 Suhu

Faktor langsung lainnya yang juga sangat mempengaruhi terumbu karang yaitu suhu. Suhu membatasi pertumbuhan karang dan perkembangan terumbu secara menyeluruh. Bathimetri suatu kawasan juga berperan dalam mempengaruhi bentuk suatu terumbu, tingkatan dan kedalaman pada kemiringan sisi luarnya.

Faktor-faktor tersebut, sebaliknya juga sangat mempengaruhi ketersediaan cahaya, turbulensi, arus dan sebagainya (Veron, 1986).

Nontji (1987) mengemukakan bahwa suhu optimal yang dibutuhkan untuk pertumbuhan karang adalah sekitar 25-30o C. Suhu mempunyai peran penting dalam membatasi sebaran terumbu karang. Oleh karena itu, terumbu karang tidak ditemukan di daerah beriklim sedang (temperate) apalagi di daerah dingin.

Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa suhu yang baik untuk pertumbuhan karang 25-29oC. Barnes dan Hughes (1990) mengemukakan bahwa karang hermatypic dapat berkembang di daerah dengan suhu rata-rata diatas 20o

(25)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

20

C sepanjang tahun. Hal serupa juga dikemukakan oleh Ditlev (1980). Sementara itu, menurut Nybakken (1992), karang hermatypic dapat bertahan hidup beberapa waktu pada suhu sedikit di bawah 20o C, akan tetapi terumbu karang tidak ada yang berkembang pada suhu minimum tahunan rata-rata 18o C. Perkembangan paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunan antara 23-25o C.

Dengan suhu toleransi kira-kira antara 36-40oC.

2.4. Nilai EkosistemTerumbu Karang

Manfaat yang terkandung dalam ekosistem terumbu karang sangat besar dan beragam. Menurut Sawyer (1993) dan Cesar (2000), jenis manfaat yang terkandung dalam ekosistem terumbu karang dapat diidentifikasi menjadi dua, yaitu manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat ekosistem terumbu karang yang langsung adalah habitat bagi sumberdaya ikan, batu karang, pariwisata, wahana penelitian dan pemanfaatan biota lainnya. Sedangkan termasuk dalam pemanfaatan tidak langsung adalah seperti fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi pantai, keanekaragaman hayati & cadangan plasma nutfah dan lain sebagainya.

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem dengan potensi sumberdaya alam yang dikelola manusia sejak lama sehingga telah menciptakan suatu tradisi/budaya di masyarakat. Secara historis, ekosistem terumbu karang merupakan “dapur” para nelayan di wilayah pesisir dan laut yang menjadikannya gantungan mata pencaharian. Kontribusi ekosistem terumbu karang terhadap perikanan ada tiga tipe yaitu : (i) penangkapan ikan langsung pada daerah terumbu karang; (ii) penangkapan ikan di laut dangkal sekitar terumbu karang yang menopang jaringan makanan, siklus hidup dan produktivitas; dan (iii) penangkapan ikan di lepas pantai dimana produktivitas terumbu karang yang tinggi memberi kontribusi untuk menopang melimpahnya ikan-ikan.

Menurut Clark (1995), potensi lestari seluruh ikan-ikan konsumsi, krustase dan moluska di dalam ekosistem terumbu karang rata-rata 15 metrik ton per kilometer persegi per tahun, hanya pada perairan dangkal kurang dari 30 m.

Letaknya yang mudah diakses dan tingginya nilai ekonomi sumberdaya perikanan yang dikandungnya, telah menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai daerah perikanan dengan tingkat pemanfaatan yang intensif.

(26)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

21

Kecenderungannya adalah terjadinya overfishing terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang.

Menurut Pasaribu (1996) dalam Puslitbang Perikanan (1996), hampir di seluruh Indonesia telah terjadi overfishing terhadap sumberdaya perikanan terumbu karang khususnya untuk komoditi ikan karang. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan terumbu karang di wilayah Bali dan NTT pada tahun 1996 telah mencapai 133% dari potensi lestarinya yang berjumlah 30.954 ton/th. Begitu juga halnya dengan sumberdaya lobster sudah menunjukkan gejala overfishing.

Sementara itu, pemanfaatan sumberdaya terumbu karang dalam menunjang industri farmasi mulai berkembang, khususnya industri kosmetik dan obat-obatan antibiosis.

Garces (1992) mengemukakan bahwa terumbu karang sebagai salah satu ekosistem pantai mempunyai nilai guna yang sangat signifikan baik ditinjau dari aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut dunia sekitar 10-15% dari total tangkapan. Terumbu karang tepi juga memainkan peranan penting dalam memelihara stabilitas garis pantai. Disamping itu, penampakan estetika, kekayaan biologi, air yang jernih dan aksesibilitas yang relatif tinggi membuat terumbu karang menjadi daerah yang terkenal sebagai kawasan pariwisata.

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu kawasan fungsi lindung di daerah pantai disamping sempadan pantai, ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun dan kawasan konservasi spesies yang dilindungi lainnya yang mengacu kepada UU No. 5 Tahun 1990. Sebagai kawasan fungsi lindung, ekosistem terumbu karang mengemban tugas penting sebagai perlindungan terhadap proses-proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan, sebagai pengawetan keanekaragaman plasma nutfah dan berfungsi dalam memajukan usaha-usaha penelitian, pendidikan dan pariwisata.

Ekosistem terumbu karang bersama-sama dengan ekosistem mangrove dan ekosistem padang lamun merupakan komponen lingkungan pantai yang mempunyai keterkaitan fungsi-fungsi ekologis dan fungsi fisik sebagai habitat.

Migrasi fauna pada berbagai fase hidupnya berlangsung dari satu ekosistem ke ekosistem lainnya untuk pencarian makanan dan tempat perlindungan. Ekosistem terumbu karang juga berperan dalam proses-proses transpor nutrien, baik organik dan anorganik di antara dua ekosistem pantai tersebut (Clark, 1992). Fungsi

(27)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

22

fisik ekosistem terumbu karang lainnya, menurut Baker dan Kaeoniam (1986) adalah sebagai filter air untuk menjaga kualitas air pantai, sebagai “shock absorber”, perlindungan alamiah terhadap daratan pantai dan pulau-pulau, meminimumkan erosi dan gangguan-gangguan di belakang terumbu, serta sebagai penghasil pasir putih bagi pantai dan pulau-pulau.

Baker dan Kaeoniam (1986) dan Kenchington dan Hudson (1988), menggolongkan dua bentuk utama pemanfaatan ekosistem terumbu karang, yaitu pemanfaatan secara ekstraktif dan non ekstraktif. Pemanfaatan ekstraktif meliputi pemanenan jenis-jenis konsumsi (seperti ikan, kepiting, lobster, keong, kerang, gurita, bulu babi, dan penyu); pemanenan produk-produk ornamental (seperti mutiara, ikan hias, karang, ekinodermata, moluska, dan penyu); dan pemanfaatan produk-produk industri (seperti batu karang, sponge, dan kima). Rumput laut yang tumbuh liar di dalam atau di belakang terumbukarang merupakan alga makro yang beberapa diantaranya mempunyai nilai penting sebagai penghasil karaginan dan ekstraksi agar-agar. Pemanfaatan non ekstraktif meliputi : rekreasi, ilmu pengetahuan dan pendidikan, pariwisata, dan proteksi pantai.

Pariwisata sebagai salah satu industri kelautan yang banyak memanfaatkan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Hal ini perlu didorong perkembangannya sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Pemanfaatan ekosistem pesisir seperti terumbu karang untuk ekoturisme merupakan terobosan yang sangat rasional diterapkan di kawasan pesisir, karena menghasilkan manfaat ekonomis langsung dari ekosistem tersebut tanpa langsung mengeksploitasi/memanen, sehingga terjamin keberlanjutan pemanfaatannya.

Sebagai contoh, Bonaire Marine Park (BMP), sebuah pulau dengan luas 288 km2 di Laut Karibia tiap tahunnya dikunjungi oleh 4.000 – 6.000 penyelam/ lokasi. Total penerimaan dari pariwisata yang meliputi : diver fees, dive operation, restourants, souvenir, car rentals, local air transport dan hotel berjumlah US$ 23,20 juta/tahun (Cesar, 2000).

Moberg and Folk (1999) dalam Cesar (2000) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang mengandung berbagai sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (Tabel 1). Sumberdaya alam yang tersedia di dalam ekosistem terumbu karang dapat dibedakan atas sumberdaya alam pulih dan sumberdaya alam tidak pulih. Sumberdaya alam pulih terdiri atas bahan pangan, bahan baku industri, produk-produk ornamental, dan ikan hias. Sedangkan sumberdaya alam tidak pulih

(28)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

23

yang terkandung di dalamnya berupa jenis bahan tambang. Jasa-jasa lingkungan yang diberikan oleh ekosistem terumbu karang meliputi:

a. Jasa fisik, seperti sebagai perlindungan garis pantai, membantu perluasan daratan, mendorong tumbuhnya mangrove dan padang lamun serta sebagai penghasil pasir putih yang selanjutnya akan mengisi sedimen pantai.

b. Jasa biotik di dalam ekosistem, seperti penyedia habitat bagi berbagai macam biota perairan, pemeliharaan keanekaragaman hayati dan plasma nutfah, memelihara dan mengatur proses-proses ekologis yang esensial, serta memelihara kelentingan ekologi.

c. Jasa biotik antar ekosistem, seperti mendukung migrasi hewan-hewan air dari suatu habitat ke habitat lainnya, serta pertukaran nutrien dan memperkaya jaringan makanan di laut.

d. Jasa kimia, seperti fiksasi nitrogen, Pengendali kapasitas CO2/Ca dan asimilasi limbah.

e. Jasa informasi, seperti monitoring dan pencatat atau indikator pencemaran, serta memberi informasi mengenai perubahan iklim.

f. Jasa sosial dan budaya, seperti menunjang rekreasi, nilai estetika dan sumber inspirasi artistik, menjaga kelangsungan mata pencaharian penduduk, dan menunjang budaya, agama dan nilai spiritual.

Jika seluruh fungsi, manfaat dan jasa ekosistem tersebut digabung maka akan dapat mencerminkan Total Nilai Ekonomi. Ekosistem terumbu karang yang menyediakan sumberdaya perikanan yang dapat dipanen dan dijual dapat dihitung nilainya, demikian juga preservasi alam dan pariwisata alam juga menghasilkan nilai. Fungsi fisik terumbu karang sebagai pelindung pantai/daratan juga dapat dihitung nilai ekonominya. Namun demikian, tidak semua fungsi ekosistem terumbu karang dapat dihitung nilai moneternya. Konsep penilaian ekonomi tersebut didasarkan pada kesanggupan membayar (willingness to pay) untuk memperoleh manfaat barang dan jasa atau untuk menghindari kerusakannya.

Dalam penghitungan Total Nilai Ekonomi ekosistem terumbu karang, terdapat 6 kategori nilai yaitu:

a. Nilai penggunaan langsung (direct use value), yang diperoleh baik dari pemanfaatan ekstraktif (perikanan, industri farmasi, dll.) maupun pemanfaatan non-ekstrkatif. Nilai kegunaan langsung, yaitu nilai yang diberikan oleh ekosistem melalui pemanenan secara langsung

(29)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

24

(pemanfaatan ekstraktif) dan dipergunakan oleh orang-orang. Nilai ekonomi langsung dapat dibagi lagi menjadi nilai kegunaan konsumtif (untuk produk-produk yang dikonsumsi secara lokal dan tidak terlihat di dalam pasar, sehingga tidak masuk dalam penghitungan GDP) dan nilai kegunaan produktif (dijual di pasar).

b. Nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value). Nilai kegunaan tidak langsung yaitu jasa-jasa lingkungan ekosistem yang memberi keuntungan tanpa memanen atau merusak selama penggunaannya (pemanfaatan non- ekstraktif). Karena bukan dalam bentuk barang dan jasa dalam pengertian ekonomi, keuntungan ini tidak tertulis dalam statistik ekonomi nasional, seperti GDP contohnya adalah dukungan biologis dalam bentuk nutrien, habitat ikan, dan perlindungan garis pantai. Menentukan nilai moneter jasa ekosistem mungkin agak sulit, terutama pada tingkat global.

c. Nilai pilihan (option value), dapat dilihat dari nilai sekarang terhadap potensi pemanfaatan masa depan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Banyak sekali spesies-spesies karang dan biota lain yang berasosiasi di dalamnya belum teridentifikasi manfaatnya karena kurangnya riset yang dilakukan, atau fungsinya baru kecil saja yang telah diketahui. Mungkin saja spesies-spesies tersebut mempunyai potensi yang besar untuk digunakan di masa depan dengan semakin berkembangnya IPTEK.

d. Jika salah satu spesies tersebut punah sebelum diidentifikasi, hal ini merupakan kehilangan besar bagi ekonomi global. Nilai pilihan (quasi- option), terkait dengan nilai pilihan di masa depan yang dapat diraih dengan adanya upaya pencegahan terhadap kehilangan yang tidak dapat pulih.

e. Nilai warisan (bequest value), terkait dengan pelestarian warisan alam bagi generasi masa depan.

f. Nilai eksistensi (existence value). Nilai eksistensi ekosistem terumbu karang didasarkan kepada jumlah uang yang akan dikeluarkan untuk melindunginya. Di seluruh dunia orang-orang peduli terhadap kehidupan liar dan sangat prihatin terhadap perlindungannya. Keprihatinan ini bisa diasosiasikan dengan keinginan untuk mengunjungi habitat suatu spesies yang unik dan melihatnya di alam bebas, atau ia hanya merupakan identifikasi abstrak. Kekhawatiran masyarakat akan rusaknya ekosistem terumbu karang dan diikuti oleh punahnya biota terumbu karang telah

(30)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

25

mendorong emosi untuk melakukan upaya konservasi atau menyumbang ke organisasi konservasi yang bekerja untuk melindungi keanakeragaman hayati terumbu karang dan ekosistemnya. Jumlah uang yang dibelanjakan untuk pelestarian ekosistem terumbu karang dan jumlah yang bersedia dibayarkan oleh orang-orang untuk menghindari kepunahan spesies dan kehancuran habitatnya menunjukkan nilai eksistensi ekosistem tersebut.

Dengan kata lain, jika diumpamakan keanekaragaman hayati adalah suatu buku pegangan bagaimana menjalankan bumi secara efektif, hilangnya satu spesies adalah seperti merobek satu halaman dari buku itu. Jika kita membutuhkan informasi dari halaman tersebut untuk menyelamatkan dunia, maka kita akan sadar bahwa informasi itu sudah hilang selamanya.

2.5 Ancaman terhadap Terumbu Karang 2.5.1 Ancaman oleh Faktor Alam

Ada dua sumber ancaman terhadap terumbu karang di dunia yaitu ancaman oleh faktor alam (natural threats) dan aktivitas manusia (anthropogenic threats).

Faktor-faktor alam yang menjadi ancaman terhadap terumbu karang antara lain badai gelombang, pemanasan global dan predator karang dan erosi tanah.

Sedangkan ancaman oleh aktivitas manusia berupa ancaman langsung dan tidak langsung serta sumbernya dapat berasal dari aktivitas di daratan dan aktivitas di pesisir dan lautan.

Menurut Jameson et al. (1995) dalam Westmacott, Teliki, Wells dan West (2000), perkiraan terakhir menunjukkan bahwa 10 % dari terumbu karang dunia telah mengalami degradasi yang tak terpulihkan dan 30 % lainnya dipastikan akan mengalami penurunan berarti dalam kurun waktu 20 tahun mendatang. Analisis ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang dari kegiatan manusia (pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebih, praktek perikanan yang merusak, pencemaran darat dan erosi dan pencemaran laut) di tahun 1998 memperkirakan bahwa 27 % dari terumbu karang di tingkat beresiko tinggi dan 31

% lainnya berada di tingkat resiko sedang (Bryant et al., 1998). Ancaman-ancaman ini sebagian besar merupakan hasil dari kenaikan penggunaan sumberdaya pesisir yang berkembang pesat, ditunjang oleh kurangnya pengelolaan yang tepat.

Badai yang mengancam terumbu karang di Bali biasanya berlangsung pada musim barat dimana angin kencang membangkinkan gelombang yang besar dan di

(31)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

26

daerah terumbu karang pecah menjadi ombak dengan hantaman yang keras.

Hantaman gelombang dan ombak yang besar selama badai akan menimbulkan kerusakan mekanik pada terumbu berupa pecahnya karang tipe rapuh seperti karang bercabang dan karang tabulate (karang meja).

Pemanasan global dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) yang mendorong peningkatan suhu air laut (lebih besar dari 33 oC) dapat membunuh alga simbion karang (zooxanthellae) yang mengakibatkan karang memutih (bleaching) dan akhirnya karang mengalami kematian. Perisitiwa El Nino yang terjadi pada tahun 1997/1998 juga berdampak terdapat beberapa sebaran terumbu karang di Bali. Terumbu karang yang umumnya terkena pengaruh peningkatan suhu dan mengalami bleaching adalah jenis karang Acropora (baik Acropora branching maupun Acropora tabulate) serta jenis-jenis karang lunak (soft coral).

Terumbu karang di Bali yang terkena pengaruh El Nino yang terjadi tahun 1997/1998 antara lain terumbu karang yang terdapat di Bali utara dengan perairan yang relatif tenang dan formasi terumbu dangkal seperti di Pulau Menjangan, Pemuteran, Celukan Bawang, dan Teluk Jumeluk. Sedangkan terumbu karang di Bali selatan dengan pola oseanografi yang relatif dinamis seperti di Nusa Penida dan Nusa Dua tidak terkena pengaruh tersebut.

Crown-of Thorns atau sering disebut sebagai mahkota berduri (Acanthaster planci) adalah jenis bintang laut (ekinodermata) yang menjadi predator utama karang di alam. Secara normal, binatang ini merupakan salah satu binatang penghuni terumbu karang. Habitat yang disenangi oleh bintang laut ini adalah jenis- jenis karang bercabang. Sepanjang pergerakan binatang ini akan meninggalkan kematian karang di belakangnya karena dia menyerap atau memakan polip karang selama pergerakannya. Populasinya di alam diatur oleh kesimbangan ekologis dalam sistem jaringan makanan. Mahkota berduri sendiri mempunyai sejumlah predator baik terhadap telur dan larvanya juga terhadap juvenil dan fase dewasanya. Kerang terompet merupakan salah satu predator mahkota berduri.

Aklan tetapi jenis karang ini sudah sangat sedikit dijumpai di alam karena banyak diburu dan diperdagangkan sebagai souvenir.

Jika populasinya mengalami peledakan, binatang ini dapat memusnahkan terumbu karang dalam hamparan yang luas dalam waktu singkat. Peledakan mahkota berduri di alam masih merupakan fenomena dengan beragam hipotesis.

Peristiwa peledakan mahkota berduri pernah terjadi di Bali yaitu di Pulau

Foto Mike Severns Foto Sudiarta

(32)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

27

Menjangan pada tahun 1997. Peledakan mahkota berduri di daerah ini telah mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang cukup parah.

Erosi tanah akibat minimnya vegetasi penutup pada daerah lahan kritis memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap kerusakan karang. Erosi tanah yang masuk ke perairan pantai baik melalui aliran sungai maupun limpasan permukaan menimbulkan sedimentasi di sekitar daerah terumbu karang dan dapat menghambat proses fotosintesis dan menutupi polip karang secara langsung.

Terumbu karang di Bali yang rawan terhadap sedimentasi adalah sebaran terumbu karang di pantai utara khususnya di Kecamatan Gerokgak dan Tejakula mengingat di wilayah ini terdapat lahan kritis dan sangat berdekatan dengan daerah pesisir.

2.5.2 Ancaman oleh Aktivitas Manusia

Aktivitas manusia yang mengancam terumbu karang dapat berasal dari dua sumber yaitu aktivitas manusia di daratan (land-base activities) dan aktivitas di lautan (marine-base activities).

a. Aktivitas di Daratan

Buruknya pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) serta sistem pengelolaan lahan pertanian dengan teknik konservasi lahan yang sangat minim merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya tingkat erosi tanah dan ikut menyumbang peningkatan sedimentasi di wilayah perairan pantai.

Kegiatan pembangunan di sepanjang wilayah pesisir seperti reklamasi lahan dan penambangan pasir merupakan salah bentuk ancaman terhadap terumbu karang. Reklamasi lahan dengan sistem pengerukan dan penimbunan dapat meningkatkan kekeruhan yang levelnya jauh di atas ambang atas yang dapat ditolerir oleh terumbu karang.

Sampah dan air limbah yang berasal dari kegiatan manusia di daratan merupakan salah satu ancaman terhadap terumbu karang khususnya terumbu karang yang penyebarannya relatif berdekatan dengan daerah pemukiman padat dan industri. Buruknya sistem pengelolaan sampah dan air limbah di Bali dapat menjadi ancaman yang sangat serius terhadap terumbu karang Bali. Sampah plastik yang masuk ke laut dapat mematikan karang karena menutupi karang secara langsung.

(33)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

28

b. Aktivitas di Lautan

Aktivitas manusia di lautan yang mengancam kelestarian terumbu karang terbagi atas dua komponen utama yaitu kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang dengan cara-cara yang tidak benar dan kegiatan lain di luar pemanfaatan sumberdaya terumbu karang.

1) Destructive Fishing dan Collecting

Sumberdaya ekosistem terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya alam yang dikelola manusia dan bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhannya.

Kegiatan pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang di bidang perikanan di Bali umumnya dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional dan seringkali bersifat subsisten. Yang menjadi masalah adalah pemanfaatan sumberdaya tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada sistem sumberdaya alamnya, seperti penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRaL). Pemanfaatan sumberdaya terumbu karang yang sangat mengancam kelestarian sumberdaya hayati ekosistemnya ,

Gambar 2.9 Destruktif Fishing dengan bahan peledak

Penangkapan ikan dengan bahan beracun (potasium sianida), penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan spearfishing. Tingkat ancaman terumbu karang tergantung pada besarnya ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya tersebut dan intensitas pemanfaatannya.

Penangkapan ikan dengan bahan beracun biasanya ditujukan untuk menangkap ikan hias dan ikan konsumsi dalam keadaan hidup. Oleh karena itu, maraknya perdagangan ikan hias dan perdagangan ikan hidup merupakan ancaman tersendiri bagi kelestarian terumbu karang mengingat alternatif cara pemanfaatan yang bebas sianida masih belum berkembang. Penggunaan potasium sianida tidak saja memusnahkan larva dan anak-anak ikan juga ikut mematikan hewan (polip) karang.

Penangkapan ikan dengan bahan peledak walaupun intensitasnya sudah semakin berkurang di Bali tetapi praktek-praktek perikanan ilegal tersebut masih

(34)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

29

tetap berlangsung di beberapa lokasi. Penangkapan ikan dengan bahan peledak ini menimbulkan bencana ekologis yang sangat parah karena dapat memusnahkan kehidupan yang ada di sekitar lokasi kejadian. Terumbu karang Bali yang relatif jauh dari pengawasan masyarakat dan aparat merupakan sasaran utama kegiatan destruktif tersebut. Lokasi-lokasi terumbu karang di Bali yang rawan terhadap kegiatan pengeboman antara lain terumbu karang di Kabupaten Karangasem, pantai barat kabupaten Buleleng, pantai barat Jembrana dan Nusa Penida.

Spearfishing atau menangkap ikan dengan panah merupakan cara yang umum dilakukan para nelayan untuk menangkap ikan-ikan konsumsi berukuran relatif besar serta menangkap loster di daerah terumbu karang. Penangkapan ikan dengan panah ini memang bersifat selektif tetapi caranya sangat merusak karena si pelaku dapat mematahkan karang baik karena terinjak kaki maupun gerakan anak panah dan ikan yang sekarat terkena panah tersebut.

Selain praktek-praktek perikanan ilegal, kegiatan collecting yaitu pengambilan biota tertentu yang hidup di terumbu karang yang biasanya dimanfaatkan sebagai produk ornamental dan souvenir juga dapat menjadi ancaman bagi kelestarian ekosistem. Maraknya “industri” akuarium air laut tropis di dunia juga sangat mengancam kelestarian terumbu karang karena akan mendorong peningkatan pengambilan karang hidup dan spesimen lainnya untuk diperdagangkan, baik secara lokal maupun untuk ekspor. Pengambilan karang hidup dan spesimen lainnya tidak saja secara langsung akan mengurangi tutupan karang tetapi diyakini bahwa cara-cara pengambilannya pun dapat menimbulkan kerusakan karang yang bukan menjadi target pengambilan tersebut.

(35)

Ekosistem Terumbu Karang dan Statusnya di Wilayah Provinsi Bali

30

2) Pengambilan Batu Karang

Pengambilan batu karang untuk bahan bangunan merupakan salah satu ancaman terhadap terumbu karang. Pengambilan batu karang walaupun sudah dalam keadaan karang mati akan secara langsung mengurangi substrat keras sebagai tempat penempelan larva karang.

Gambar 2.10 Kegiatan penambangan batu karang sangat merusak

3) Wisata Bahari dan Ancaman terhadap Terumbu Karang

Pemanfaatan jasa-jasa lingkungan ekosistem terumbu karang untuk menunjang pariwisata khususnya wisata bahari sesungguhnya merupakan terobosan yang baik dalam rangka memperoleh nilai guna yang lebih besar tanpa melakukan pemanenan secara langsung terhadap sumberdaya alamnya. Akan tetapi, perkembangan pemanfaatan ekosistem terumbu karang seiring dengan semakin majunya perkembangan pariwisata di Bali masih mendapatkan berbagai sorotan, yaitu masih rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat lokal dan adanya praktek-praktek pemanfaatan yang tidak terkontrol dan tidak ramah lingkungan.

Kegiatan pariwisata bahari yang dapat menjadi ancaman bagi kelestarian terumbu karang di Bali antara lain:

a. Pembangunan fasilitas konstruksi, seperti pembangunan dan penempatan pontoon. Pembangunan pontoon di atas hamparan terumbu karang secara langsung dan permanen dapat merusak karang. Pemasangan jangkar pontoon paling tidak membutuhkan area seluas empat kali luasan pontoon.

Sehingga rantai pontoon akan membentang di dasar perairan sekeliling ponton dan akan mengalami pergerakan akibat pergerakan air (arus dan

Foto Sudiarta

Gambar

Gambar  2.1  Tipe terumbu karang menurut klasifikasi Darwin
Gambar 2.4  Proses fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan hewan karang
Gambar 2.5   Reproduksi generatif hewan karang
Gambar 2.7   Diagram klasifikasi karang (sumber: Veron, 1986)     Kelas        Subkelas     Ordo                   Subordo               Famili
+5

Referensi

Dokumen terkait

PERBEDAAN ANTARA AUDIT DAN AKUNTANSI (LANJUTAN) Transaksi Yang Mempunyai Nilai Uang Bukti Pembukuan Special Journal Trial Balance General Ledger Subsidiary Ledger Laporan

Berdasarkan hasil tes kosakata, ditemukan bahwa persentase skor dari penguasaan kosakata dengan menggunakan lagu tradisional pada siklus 2 yang mendapat 75 atau

Metode BATIK (baca, tulis dan karya) dapat meningkatkan minat siswa dan mahasiswa untuk belajar bahasa Indonesia, dengan menggunakan dan mengenalkan budaya masayarakat

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

Analisis data hasil pengukuran menunjukkan bahwa peserta didik di Madrasah Tsanawiyah kode S mempunyai sikap-sikap spiritual yang unggul pada aspek beriman kepada Allah

Aset pajak tangguhan diakui untuk semua perbedaan temporer yang dapat dikurangkan dan akumulasi rugi fiskal yang belum digunakan, sepanjang besar kemungkinan beda temporer yang

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

• Degree of bodily arousal influences the intensity of emotion felt Schachter’s Theory Type Intensity Emotion (Fear) Perception (Interpretation of stimulus-- danger) Stimulus