• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Jatuh 2.1.1 Definisi Jatuh

Jatuh adalah suatu kejadian baik disengaja maupun tidak yang menyebabkan seseorang terbaring dilantai atau tempat yang rendah (Weinberg, J et al, 2011).

Kejadian Jatuh dapat terjadi pada seseorang secara sadar ataupun tidak sadar, kejadian ini menyebabkan seseorang tertunduk dilantai, mendadak terbaring, hingga seseorang tersebut dapat kehilangan ingatan dan luka (Kusumawaty, 2018).

Jatuh merupakan kejadian yang dialami seseorang dan merupakan salah satu masalah serius yang terjadi di Ruang Rawat Inap karena keterbatasan pasien dalam melaku kan aktivitas disaat sakit (Armany, 2017). Pasien dianggap mengalami jatuh bila mengalami luka dan dampak yang signifikan terhadap fisiknya, walaupun pasien tersebut berhasil berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain ataupun kembali ketempat semula (kursi dan tempat tidurnya (PALOMAR 2016.Pdf, n.d.).

2.1.2 Etiologi Jatuh

Menurut (R. J. Mitchell et al., 2014), Kejadian jatuh disebabkan beberapa hal seperti: (a) Lingkungan, seperti kamar mandi tanpa ada pegangan tangan, karpet yang terlipat, pencahayaan yang kurang; (b) penggunaan obat-obatan antidepresan, obat tidur, dan obat hipnotik; (c) kondisi kesehatan seseorang; dan (d) Kurangnya kebutuhan nutrisi yang menyebabkan kelemahan fisik. Penyebab dari kejadian jatuh pada seseorang juga dikarenakan penurunan daya keseimbangan dan kekuatan otot ekstremitas yang ditandai dengan kelemahan fisik dan gaya berjalan yang lemah,

(2)

adanya gangguan pada area ekstremitas bawah (kaki) dan penggunaan alas kaki yang tidak nyaman, adanya penurunan daya penglihatan maupun pendengaran, adanya penurunan kognitif dan presepsi, adanya kondisi medis yang serius, adanya perasaan takut akan jatuh, adanya riwayat jatuh sebelumnya, adanya disorientasi ruangan maupun lingkungan (Willians, Perry, & Watkins, 2010).

2.1.3 Klasifikasi Jatuh

Menurut Morse (2009) dalam Wilson, 1998), Jatuh dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe yaitu:

1) Accidentalfalls

Lingkungan kurang aman, fasilitas sarana dan prasarana Rumah Sakit yang kurangnya pencahayaan, lantai licin, tidak rata, dan mengganggu merupakan penyebab utama jatuh jenis ini. Accidental Falls juga dapat disebabkan karena keadaan kamar mandi yang kurang bersih serta lantai licin, tidak tersedianya alat bantu jalan bagi pasien (seperti handrail), tempat tidur terlalu tinggi, tidak tersedianya siderail sebagai pengaman pasien saat tidur atau beraktivitas di atas tempat tidur. Pasien terpeleset karena lantai licin, tersandung, atau kecelakaan yang tidak disengaja ini diperkirakan terjadi pada 14% pasien di Rumah Sakit.

2) Anticipatedphysiologicalfalls

Insiden jatuh jenis ini terjadi karena kondisi kesehatan tubuh pasien (fisiologis).

Kejadian jatuh jenis anticipatedphysiologicalfallspaling sering terjadi yaitu sekitar 78% dari penyebab kejadian jatuh. Kondisi fisiologis pasien sudah dapat diprediksi dan ditemukan pencegahannya dengan cara melatih pasien dalam meningkatkan keseimbangan saat berjalan dan kekuatan otot. Kondisi fisiologis yang menyebabkan kejadian jatuh adalahkeadaan dimana pasien membutuhkan alat bantu untuk berjalan karena kelemahan otot kaki, pasien post operasi, maupun karena cedera pada kaki. Faktor yang dapat

(3)

memprediksi kejadian jatuh jenis anticipated physiological falls adalah paseien memiliki lebih dari beberapa diagnosa medis, riwayat jatuh sebelumnya, kelemahan atau gangguan berjalan, kurangnya pengkajian atau mental pasien dalam menyadari kemampuannya untuk berjalan kekamar mandi tanpa pendampingan keluarga atau tenaga medis, terpasangnya alat infus atau alat medis lainnya.

3) Unanticipated physiological falls

Jenis jatuh ini disebut juga kejadian jatuh karena kondisi fisiologis yang tidak dapat diantisipasi. Jatuhnya pasien pada tipe ini tidak dapat diprediksi dan dikaji melalui faktor penyebabnya, sehingga tidak mudah untuk dicegah. Pencegahan hanya dapat diantisipasi setelah terjadinya jatuh. Jenis ini terjadi sekitar 8% dari semua penyebab jatuh. Contoh dari jenis kejadian jatuh ini adalah kondisi pasien yang tiba- tiba jatuh dikarenakan pingsan mendadak atau fraktur patologis pada pinggul.

Kondisi tergantung pada penyebab jatuh dan kejadian ini dapat berulang.

2.1.4 Faktor Resiko Jatuh

Menurut WHO (2015) dan Tideiksaar (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi resiko jatuh pada pasien meliputi:

1) Usia

Kemampuan untuk menghindari kejadian jatuh sangat tergantung pada kemampuan seseorang mempertahankan keseimbangan. Fungsi dari sistem syaraf dan otot akan menurun secara bertahap seiring bertambahnya usia, kelemahan fungsi ekstremitas ini mempengaruhi keseimbangan individu dan meningkatkan risiko jatuh karena gangguan kontrol dan kelemahan otot merupakan salah satu faktor prediktor penting terhadap kejadian jatuh pasien di Rumah Sakit.

(4)

2) Jenis Kelamin

Penelitian di dunia menunjukkan bahwa Insiden Jatuh lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini berbanding terbalik dengan angka kematian akibat jatuh, pada pria lebih memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi akibat jatuh dibandingkan wanita. Beberapa penelitian menunjukkan aktivitas fisik yang dilakukan pria lebih berbahaya, seperti perilaku naik tangga yang tinggi, membersihkan atap atau mengabaikan batas-batas kemampuan fisik mereka.

3) Penggunaan Obat

Pengaruh kondisi medis seseorang dan terapi obat seperti obat hipertensi dapat mempengaruhi hipotensi postural yang berdampak pada gaya gravitasi tubuh, sistem koordinasi gerak,kepala pusing dikarenakan perubahan mekanisme keseimbangan dan kemampuan untuk mengenal lingkungan sehingga meningkatkan risiko jatuh pada pasien. Obat penenang juga memiliki dampak peningkatan risiko jatuh, obat-obatan yang dapat menyebabkan jatuh yaitu: anti aritmia, anti kolinergik, anti konvulsan, diuretik, benzodiasepin atau obat hipnotik lainya, anti psikotik, antidepresan dan alkohol.

Menurut (Julimar, 2018), Faktor resiko jatuh dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik, yaitu:

a) Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik atau disebut juga faktor fisiologis merupakanfaktor yang berasal dari seseorang. Faktor intrinsik yang sangat berhubungan dengan peningkatan resiko jatuh adalah riwayat jatuh sebelumnya, usia diatas 65 tahun (lansia) dan usia dibawah 2 tahun (anak) lebih beresiko untuk jatuh, diagnosa sekunder atau penyakit penyerta lain, terpasangnya intravena line, pemakaian alat bantu jalan (misalkan pasien berpegangan pada furniture, memakai tongkat/walker/kruk, atau pasien tidak

(5)

menggunakan alat bantu jalan akan tetapi diwajibkan bedrest), melemahnya kemampuan berjalan pasien (karena ada gangguan sehingga tidak mampu berjalan), status mental, mobilitas fisik kurang seperti berjalan butuh pertolongan orang lain, dan penglihatan terganggu.

b) Faktor Ekstrinsik

Faktor ekstrinsik yang sering menjadi pemicu resiko jatuh berasal dari lingkungan sekitar. Lingkungan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keseimbangan pada resiko jatuh. Kejadian resiko jatuh lebih sering terjadi di ruangan tempat tidur dan kamar mandi. Beberapa lingkungan yang tidak aman dan memiliki resiko jatuh meliputi ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, lorong dan tangga.

Ruang tamu menjadi bagian lingkungan yang tidak aman, bisa jadi karena lantai yang retak, pencahayaan kurang atau kaki kursi yang posisinya miring sehingga resiko tersandung. Kamar mandi menjadi resiko dikarenakan lantai licin, pencahayaan kurang dan penempatan peralatan mandi yang susah dijangkau. Sedangkan lorong dan tangga karena pencahayaan kurang, kondisi lantai, anak tangga yang terlalu tinggi, tidak adanya pegangan tangga.

2.1.5 Dampak Jatuh

Menurut(Miake-Lye et al., 2013), Kejadian jatuh dapat menyebabkan beberapa dampak pada pasien, yaitu:

1) Dampak Fisiologis

Dampak fisiologis yang dimaksud adalah dampak jatuh yang terlihat secara fisik pada pasien. Dampak fisiologis yang sering terlihat adalah adanya luka lecet, memar, luka sobek, fraktur, cidera kepala, bahkan dalam kasus yang fatal jatuh dapat mengakibatkan kematian.

(6)

2) Dampak Psikologis

Jatuh yang tidak menimbulkan dampak fisik dapat juga memicu dampak psikologis yang mengguncang mental pasien seperti rasa ketakutan, cemas/ anxiety, distress, depresi, dan berujung pada kekhawatiran pasien untuk melakukan aktivitas fisik.

3) Dampak finansial

Pasien yang mengalami jatuh di Ruang Rawat Inap dapat menambah biaya perawatan dan memperlama pasien untuk tinggal di Rumah Sakit, hal tersebut terjadi dikarenakan insiden jatuh dapat memperparah kondisi medis dan menyebabkan luka pada pasien.

2.1.6 Pengukuran Resiko Jatuh

Pengukuran Resiko Jatuh dapat dilakukan dengan beberapa instrumen pengukuran sebagai berikut:

1) The Time up and Go Test (TUG)

Pengukuran resiko jatuh menggunakan TUG difokuskan pada kekuatan mobilitas pasien, komponen lain yang diobservasi selama prosedur berlangsung yaitu keseimbanagn tubuh, kekuatan kaki dan goyangan tubuh. Media yang harus disediakan adalah stopwatch, kursi, alat ukur jarak (meteran), dan penanda untuk membuat garis batas. Pasien dapat menggunakan alas kaki yang biasa digunakan, sedangkan pemeriksawajib menyediakan sebuah kursi dan membuat sebuah pola garis batas yang berjarak 3 meter dari tempat duduk pasien. Prosedurnya adalah pasien duduk pada sebuah kursi, ketika pemeriksa mengatakan “mulai” maka pasien akan berdiri dari tempat duduk, berjalan kegaris yang sudah ditandai (berjarak 3 meter dari kursi), dan setelah tiba di garis tersebut maka pasien akan berbalik dan berjalan kembali ke tempat duduk semula lalu duduk seperti semula. Waktu mulai dihitung menggunakan stopwatch saat pemeriksa mengucapkan “mulai” dan berhenti

(7)

ketika pasien duduk kembali. Interpretasi dari pengukuran TUG adalah jika pasien memperoleh waktu > 12 detik, diartikan sebagai risiko tinggi, tetapi jika waktu < 12 detik berarti pasien memiliki risiko rendah(Centers for Disease Control and Prevention, 2017).

2) Morse Fall Scale (MFS)

Menurut Ziolkowski (2014), Morse FallScore adalah instrumen pengukuran resiko jatuh yang sederhana dan cepat untuk mengkaji pasien yang memiliki kemungkinan jatuh atau risiko jatuh dan biasanya digunakan untuk melakukan penilaian ,kepada pasien umur ≥ 16 tahun. Instrumen ini memiliki 6 variabel yaitu: (a) Riwayat jatuh; (b) Diagnosa sekunder; (c) Penggunaan alat bantu; (d) Terpasang infus; (e)Gaya berjalan; dan (f) Status mental.

Hasil interpretasi dari MFS dikatagorikan menjadi: (1)tidak berisiko (NoRisk) dengan skor MFS sebesar 0-24, pasien berisiko rendah (Low Risk) dengan skor MFS sebesar 25-44, sedangkan pasien berisiko tinggi jatuh (HighRisk) memiliki skor MFS

≥ 45. Setiap skor MFS memiliki penatalaksanaan yang berbeda, pada pasien beresiko jatuh akan dilakukan tindakan keperawatan dasar, pada pasien dengan risiko rendah jatuh dilakukan tindakan implementasi standar pencegahan pasien jatuh, dan untuk pasien dengan risiko tinggi jatuh perlu dilakukan implementasi yang lebih intens serta observasi secara berkelanjutan dalam pencegahan pasien jatuh. Berikut ini adalah tabel MFS:

(8)

Tabel 2.1 Instrumen Morse Fall Scale / Skala Jatuh Morse

Parameter Status/Keadaan Skor

Riwayat jatuh (baru- baru ini atau dalam 3 bulan terakhir)

Tidak 0

Ya 25

Penyakit penyerta (Diagnosis Sekunder)

Ya 15

Tidak 0

Alat bantu jalan

Tanpa alat bantu, tidak dapat jalan, tidak ada kursi roda

0 Tongkat penyangga (crutch),Walker. 15

Berpegagan pada perabot 30

Terpasag infuse Ya 20

Tidak 0

Gaya berjalan Normal 0

Lemah 10

Terganggu 20

Status mental Sadar aka kemampua diri sendiri 0 Sering lupa akan keterbatasa yang

dimiliki 15

Total Skor

(RSU UMM, 2016).

3) STRATIFY (St.Thomas Risk Assessment Tool in Falling Elderly Inpatient)

Menurut (Marschollek et al., 2011), Pengkajian menggunakan instrumen ini biasanya digunakan pada pasien usia lanjut (lansia) yang dirawat di Rumah Sakit.

Pengkajian ini terdiri dari lima komponen penting, yaitu: (a) kemampuan mobilisasi, (b) riwayat jatuh, (c) penglihatan, (d) agitasi, dan (e)toileting. Kategori risiko jatuh berdasarkan total skor komponen-komponen yang ada dalam STRATIFY dibedakan menjadi tiga yaitu 0 untuk risiko rendah, 1 untuk risiko sedang, dan 2 atau lebih untuk risiko tinggi.

4) Sydney Scoring

Menurut (Hodgen et al., 2017), Sydney Scoring merupakan nama lain dari OntarioModifiedStratify. Pengkajian menggunakan instrumen ini merupakan adaptasi dari STRATIFY yang diterapkan dan dimodifikasi olehAustralia Hospital. Sydney Scoring digunakan untuk mengkaji risiko jatuh pada pasien usia lanjut (lansia) yang

(9)

mengkaji seseorang dari faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian jatuh seperti riwayat jatuh, status mental, penglihatan, toileting, perpindahan dari kursi roda ke tempat tidur, dan juga skor mobilitas. Kategori risiko jatuh berdasarkan total pengkajian yaitu skor 0-5 untuk risiko rendah, 6-16 untuk risiko sedang, dan 17-30 untuk risiko tinggi. 32

5) HumptyDumptyScale

Pengkajian ini merupakan pengkajian risiko jatuh khusus untuk anak-anak.

Pengkajian ini memiliki komponen penting yang digunakan untuk mengkaji risiko jatuh pasien yaitu rentang usia anak, jenis kelamin, diagnosis, gangguan kognitif, faktor lingkungan, respon terhadap operasi, penggunaan obatsedasi dan anestesi, serta penggunaan obat lainnya. Tingkat risiko jatuh berdasarkan HumptyDumptyScale dibagi menjadi dua yaitu skor 7-11 untuk risiko rendah dan skor ≥ 12 untuk risiko tinggi (Hill-rodriguez et al., 2008).

Tabel 2.2 Instrumen Humpty Dumpty Scale

Parameter Status/Keadaan Skor

Usia < 3 Tahun 4

3 – 7 Tahun 3

7 – 13 Tahun 2

≥ 13 Tahun 1

Jenis Kelamin Laki – laki 2

Perempuan 1

Diagnosis Diagnosis neurologi 4

Perubahan oksigenasi 3

Gangguan perilaku dan psikiatri 2

Diagnosis lainnya 1

Gangguan kognitif Tidak menyadari keterbatasan dirinya 3 Lupa akan adanya keterbatasan 2 Orientasi baik terhadap diri sendiri 1 Faktor lingkungan

Riwayat jatuh/ bayi diletakkan ditempat tidur dewasa

4 Pasien menggunakan alat bantu/ bayi

diletakkan ditempat tidur bayi/ perabot rumah

3

Pasien diletakkan di tempat tidur 2

Area diluar Rumah Sakit 1

(10)

Parameter Status/Keadaan Skor Respon Terhadap:

1. Pembedahan/

sedasi/ anastesi 2. Penggunaan obat

medikamentosa

Dalam 24 jam 3

Dalam 48 jam 2

>48 jam/ tidak menjalani operasi, sedasi, dan anastesi

1 Penggunaan multipel: sedative, obat

hipnotis, barbiturate, fenotiazin, antidepresan, pencahar, diuretik, narkose

3

Penggunaan salah satu obat diatas 2 Penggunaan medikasi lainnya/ tidak

ada medikasi

1 Total Skor

(Hill-rodriguez et al., 2008)

2.1.7 Pelaksanaan Pencegahan Resiko Jatuh

Pelaksanaan pencegahan resiko jatuh adalah serangkaian tindakan yang dilakukan dan menjadi pedoman dalam keselamatan pasien yang beresiko jatuh (Wilkinson, 2011). Pelaksanaan pencegahan resiko jatuh dapat dilakukan saat pasien pertama kali masuk rumah sakit sampai pasien keluar dari rumah sakit.Menurut KEMENKES RI (2011), Rumah Sakit dan tenaga kesehatan wajib melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional komite nasional keselamatan pasien di rumah sakit. Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi pengkajian resiko, identifikasi dan pengelolaan yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan.

Langkah pencegahan resiko jatuh dapat dilakukan dengan cara menganjurkan pasien untuk menekan tombol bel untuk meminta batuan yang dibutuhkan, meminta pasien untuk memakai alas kaki, memastikan jalur kamar mandi bebas hambatan tanpa gangguan dan memiliki pencahayaan yang cukup, tempatkan alat bantu berjalan

(11)

didekat pasien seperti walker dan tongkat, pasang penghalang (siderail) tempat tidur, memastikan pasien yang beresiko jatuh berada dalam pengawasan keluarga, memperhatikan dan menganalisa lingkungan yang dianggap tidak aman dan berpotensi untuk meningkatkan resiko jatuh, melaporkan insiden jatuh, mengedukasi pasien beserta keluarga tentang perawatan pencegahan resiko jatuh (SNARS, 2018)

Menurut(Setyarini, 2010), pencegahan pasien risiko jatuh di Rumah Sakit dapat dilakukan denganpenilaianawalrisiko jatuh, penilaian berkala ketika ada perubahan kondisi fisiologis pasien, serta melaksanakan langkah–langkah pencegahan pada pasien berisiko jatuh. Implementasi di rawat inap berupa proses identifikasi dan penilaian pasien yang akan dijelaskan sebagai berikut:

a) Memasangkan gelang risiko jatuh berwarna kuning dan pasang tanda segitiga risiko jatuh warna kuning pada bedpasien

b) Menerapkan strategi mencegah jatuh dengan penilaian jatuh yang lebih detil seperti analisa cara berjalan sehingga dapat ditentukan intervensi spesifik seperti menggunakan terapi fisik atau alat bantu jalan jenis terbaru untuk membantu mobilisasi.

c) Pasien yang memiliki resiko jatuh tinggi ditempatkan dekat nursestation.

d) Lantai kamar mandi dengan karpet diusahakan tidak licin, serta menganjurkan pasien untuk menggunakan tempat duduk di kamar mandi saat pasien mandi.

e) Pasien saat ke kamar mandi wajib ditemani perawat ataupun keluarga, jangan tinggalkan pasien sendirian di toilet, serta informasikan kepada pasien cara mengunakan bel di toilet untuk memanggil perawat, dan usahakan pintu kamar mandi jangandikunci.

f) Lakukan penilaian ulang risiko jatuh setiapshift untuk menjaga keamanan pasien sesuai dengan kategori resiko jatuh.

(12)

2.1.8 Standart Prosedur Operasional (SPO) Pencegahan Resiko Jatuh

SPO PencegahanPasien Jatuh di Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Malang adalah sebagai berikut :

SPO Pencegahan Pasien Jatuh di Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Malang adalah sebagai berikut :

1. Persiapan Alat

a. Formulir Rekam Medis tentang resiko jatuh dengan berdasarkan penggolongan sebagai berikut.

b. Morse Falls Scale dengan Score > 45 2. Pelaksanaan

a. Pasanglah penanda kuning tanda resiko jatuh pada gelang pasien.

b. Pasang tanda resiko atuh pada tempat tidur pasien (warna merah).

c. Lakukan orientasi kamar inap kepada pasien dan keluarga pasien.

d. Pasang kedua sisis pengamanan tempat tidur dan kunci roda tempat tidur.

e. Rapikan ruangan.

f. Tempatkan benda-benda pribadi dalam jangkauan pasien (telepon genggam, tombol panggilan, kacamata).

g. Pastikan cahaya diruangan cukup terang ( disesuaikan dengan kebutuhan pasien).

h. Letakkan alat bantu dekat dengan pasien (tongkat, alat penopang).

i. Anjurkan penggunaan kacamata dan alat bantu dengan (bila perlu dan pastikan alat berfungsi).

j. Pantau efek obat-obatan yang digunakan pasien.

k. Pantau status mental pasien.

l. Berikan sandal anti licin.

m. Tawarkan bantuan ke kamar mandi/penggunaan pispot.

(13)

n. Lakukan edukasi pencegahan jatuh kepada keluarga pasien (poin 3-8).

o. Libatkan keluarga dalam pelaksanaan resiko jatuh.

p. Kunjungi dan monitoring pasien setiap jam.

q. Tempatkan pasien di kamar yang paling dekat dengan ruang keperawatan (RSU UMM, 2015).

2.2 Konsep Perawat 2.2.1 Definisi Perawat

Perawat adalah tenaga kesehatan yang bekerja secara professional sesuai dengan bidangnya serta memiliki kemampuan, kewenangan dan bertanggung jawab dalam melaksanakan asuhan keperawatan(Wardah, Rizka Febtrina, 2017). Perawat merupakan orang yang telah lulus dari pendidikan keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri, sesuai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Asmadi, 2008).

Perawat adalah salah satu jenis profesi yang mempunyai fungsi autonomiyang didefinisikan sebagai fungsi profesional keperawatan. Fungsi profesional seorang perawat yaitu membantu mengenali dan menemukan kebutuhan pasien yang bersifat segera demi menunjang kehidupan pasien. Teori keperawatan menyebutkan bahwa proses keperawatan mengandung elemen dasar, yaitu perilaku pasien, reaksi perawat, dan tindakan perawatan yang dirancang untuk kebaikan pasien (Suwignyo, 2007).

Perawat adalah seseorang yang lulus pendidikan tinggi Keperawatan baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah RI sesuai dengan peraturan perundangan dan telah disiapkan untuk memiliki kompetensi yang ditetapkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia serta teregistrasi(PPNI, 2011).

(14)

2.2.2 Kinerja Perawat

Kinerja perawat sangat berkaitan dengan keberadaan perawat yang bertugas selama 24 jam melayani dan berada disamping pasien. Jumlah perawat sekitar 40%

hingga 60% di Rumah Sakit mendominasi tenaga kesehatan lainnya.Rumah sakit haruslah memiliki perawat yang memiliki kinerja baik yang akan menunjang kepuasan pelanggan atau pasien(Kinerja et al., 2011). Kinerja perawat adalah aktivitas perawat dalam mengimplementasikan wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya dengan tujuan agar tugas pokok profesi terselesaikan dan segala visi dan misi sasaran unit organisasi terwujud. Kinerja perawat sebenarnya sama dengan prestasi kerja seorang kariawandiperusahaan. Perawat memiliki standar obyektif yang terbuka dan dapat dikomunikasikan (Faizin & Winarsih, 2008).

Berdasarkan penelitian Ali dalam Desri (2008), kinerja perawat merupakan aplikasi pengetahuan dan kemampuan yang telah diterima seorang perawat professional selama mengikuti pendidikan dan menerapkan ilmu tersebut kedalam pelayanan yang berkualitas dan mempunyai tanggungjawab dalam meningkatkan derajat kesehatan, serta melayani pasien sesuai dengan tugas, fungsi dan kompetensi yang dimiliki. Menurut(Sulistyowati, 2012), penilaian kinerja perawat harus dilakukan sesuai dengan tingkat ilmu dan kompetensi yang dimiliki, hal ini mengacu pada standar praktik keperawatan yang telah disesuaikan dengan visi dari RumahSakit.(DeLucia et al., 2009), menjelaskan kinerja dari seorang perawat dapat dilakukan melalui tiga penilaian yaitu kompetensi, tugas spesifik perawat, dan nursing- sensitive quality indicator. Kinerja perawat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

mempengaruhi kinerja individu terutama seorang perawat, yaitu:(1) Variabel individu yang terdiri dari kemampuan dan keterampilan; (2) variabel psikologi yang terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi; sedangkan (3) variabel organisasi

(15)

yang terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

Menurut Ilyas (2013), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja meliputi karakteristik pribadi yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pengalaman, orientasi dan gaya komunikasi, motivasi, pendapatan dan gaji, lingkungan, organisasi, supervisi dan pengembangan karir.

2.2.3 Kompetensi Perawat

Kompetensi seorang perawat adalah sesuatu keahlian yang dimiliki perawat dalam memberikan pelayanan profesional kepada klien. Kompetensi ini mencakup pengetahuan, ketrampilan, dan pertimbangan yang dipersyaratkan dalam situasi praktik keperawatan. Kompetensi keperawatan meliputi hal- hal sebagai berikut:

(a)Pengetahuan, pemahaman, dan pengkajian; (b) Serangkaian keterampilan kognitif, teknik psikomotor, dan interpersonal; dan (c) Kepribadian dan sikap serta perilaku.

Kompetensi perawat tidak hanya menyangkut bidang ilmu danpengetahuan metodologi saja, tetapi juga sikap dan keyakinan akan nilai- nilai perawat yang baik dan berpenampilan menarik. Standar kompetensi profesi lebih berorientasi kepada kualias kinerja (Nursalam, 2008).Kompetensi perawat merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seorang perawat untuk melakukan tindakan keperawatan yang terintegrasi antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan penilaian berdasarkan pendidikan dasar dan tujuan praktik keperawatan yang terukur sesuai standar yang ada. Tujuan dari adanya kompetensi perawat adalah untuk tetap menjaga kualitas kesehatan dan keamanan pasien (Bartlett 2010).

Berdasarkan kerangka kompetensi yang di tetapkan(PPNI, 2012) terdapat 12 kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh setiap perawat Indonesia pada semua jenjang, meliputi: (1) Menerapkan prinsip etika dalam keperawatan; (2) Melakukan komunikasi interpersonal dalam Asuhan keperawatan; (3) Mewujudkan dan

(16)

memelihara lingkungan keperawatan yang aman melalui jaminan kualitas dan manajemen risiko (patientsafety); (4) Menerapkan prinsip pengendalian dan pencegahan infeksi yang diperoleh dari Rumah Sakit;(5) Melakukan tindakan-tindakan untuk mencegah cedera pada klien; (6) Memfasilitasi kebutuhan oksigen; (7) Memfasilitasi kebutuhan elektrolit dan cairan; (8) Mengukur tanda-tanda vital; (9) Menganalisis, menginterpertasikan dan mendokumentasikan data secara akurat; (10) Melakukan perawatan luka; (11) Memberikan obat dengan aman dan benar; (12) Mengelola pemberian darah dengan aman.

2.2.4 Peran Perawat dalam Pencegahan Resiko Jatuh

Pencegahan resiko jatuh merupakan salah satu komponen dari 6 sasaran keselamatan pasien dan merupakan area kerja profesi keperawatan. Perawat memiliki peran dalam melakukan pengkajian resiko jatuh dan melakukan intervensi serta implementasi sesuai dengan kategori resiko jatuh, seperti memberikan penanda digelang pasien, memodifikasi lingkungan pasien agar aman, mendampingi pasien saat mobilisasi, dan memberikan pendidikan kepada keluarga tentang resiko jatuh yang sewaktu-waktu dialami oleh pasien (Isnaini & Rofii, 2014).

Peran seorang perawat begitu besar dalam mengurangi kejadian jatuh di Rumah Sakit karena perawat harus mengkaji serta mengobservasi pasien secara berulang hingga pasien tersebut aman. Hal ini tidak menutup kemungkinan jika perawat juga berkolaborasi dengan tenaga medis untuk melakukan tugasnya dalam pencegahan resiko jatuh. Upaya penyelenggaraan dan menjaga kualitas pelayanan kesehatan di Rumah Sakit tidaklah lepas dari peran penting profesi keperawatan sehingga perawat harus menyadari peran penting ini dan wajib berpartisipasi aktif dalam mewujudkan patient safety terutama dalam program pencegahan resiko jatuh. Kerja keras perawat tidak dapat mencapai

(17)

tingkat yang optimal jika tidak didukung dengan sarana prasarana, manajemen Rumah Sakit dan tenaga kesehatan lainnya (Adib, 2009).

2.3 Hubungan Pelaksanaan Pencegahan Resiko Jatuh dengan Kejadian Jatuh di Ruang Rawat Inap Dewasa

Pelaksanaan pencegahan resiko jatuh merupakan salah satu komponen sasaran keselamatan pasien yang wajib dilakukan demi menjaga mutu pelayanan di Rumah Sakit.

Seluruh pasien di ruang rawat inap harus mendapatkan jaminan keamanan dan terhidar dari insiden jatuh, sehingga diperlukan seorang perawat yang pro aktif dalam mengkaji serta mengidentifikasi resiko jatuh pasien mulai dari awal masuk ruang rawat inap hingga pasien keluar dari ruangan. Perawat juga harus mengambil keputusan dan tindakan untuk mengurangi resiko jatuh sesuai dengan pedoman SPO yang berlaku di Rumah Sakit (Ii &

Pustaka, 2008)

Perawat dapat menerapkan intervensi dasar untuk mencegah adanya insiden jatuh dengan cara: (1) mengorientasikan pasien dan keluarga tentang system komunikasi yang ada dan bersikap hati-hati saat mengkaji pasien dengan keadaan keterbatasan gerak;

(2) melakukan supervise ketat pada awal pasien dirawat terutama saat malam hari; (3) memasang bedrail terutama pada pasien yang kehilangan kesadaran atau gangguan mobilitas fisik; (4) selalu mengecek lingkungan sekitar pasien (Potter & Perry, 2009).

Intervensi dan penerapan pencegahan resiko jatuh di Rumah Sakit dapat berkembang sesuai dengan kebijakan setiap Rumah Sakit tetapi dasar dari pencegahan resiko jatuh akan tetap sama.

Kejadian jatuh yang tidak disengaja dengan atau tidak terjadinya luka paling sering terjadi di ruang rawat inap Rumah Sakit. Hal ini dikarenakan kurangnya pengawasan dan pengkajian perawat dalam mengidentifikasi resiko jatuh pasien. Perawat sering kali hanya mengkaji resiko jatuh pada saat pasien awal masuk ruang rawat inap dan

(18)

tidak melakukannya secara berkelanjutan (Weinbergetal., 2011). Dampak dari kelalaian perawat inilah yang membuat pasien mengalami kerugian fungsi fisiologis, psikis, maupun finansial. Oleh karena itu, perawat diharapkan mampu menjalankan tugasnya dalam upaya pencegahan resiko jatuh sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya.

Gambar

Tabel 2.1 Instrumen Morse Fall Scale / Skala Jatuh Morse
Tabel 2.2 Instrumen Humpty Dumpty Scale

Referensi

Dokumen terkait

Ada satu ba a satu bagian dari gian dari alat uk alat ukur yang ur yang sangat penting yang berfungsi sebagai penerus, pengubah atau pengolah semua isyarat yang diterima oleh

Perlakuan fortifikasi tepung daging ikan lele dumbo dengan perbedaan konsentrasi memberikan pengaruh nyata (p≤0,05) pada biskuit terhadap asam amino lisin, kadar protein,

Temubual mendalam secara bersemuka dan separa bersturuktur telah dilakukan terhadap dua (2) syarikat yang menyediakan khidmat sertu (disebut sebagai Syarikat G

Ashfiya Nur Atqiya, D0212020, JURNALISME DAMAI DAN BERITA TENTANG GAFATAR (Analisis Isi Kuantitatif Penerapan Jurnalisme Damai pada Berita Gerakan Fajar Nusantara

Ouput yang dihasilkan telah dianalisis dengan penilaian dari peran yang telah dilaksanakan, meskipun dari masing-masing stakeholders memiliki kendala dalam

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH RELIGIUSITAS

2) Jika tidak ada pengecualian, titik tengah simbol di peta mempunyai korelasi dengan titik tengah unsur. Dengan demikian, arah penempatan nama harus sesuai

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) bagaimana bentuk perilaku keagamaan remaja di desa Barakkae. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan, 2) dampak penggunaan