• Tidak ada hasil yang ditemukan

Samsara. Selamat malam, Namo Buddhaya!

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Samsara. Selamat malam, Namo Buddhaya!"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

Selamat malam, Namo Buddhaya!

Kita telah bersama-sama melakukan puja dan melafalkan mantra-mantra, sekarang kita akan mempelajari Dharma.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di hari-hari Uposatha sangat dianjurkan agar kita mengisinya dengan praktik-praktik Dharma yaitu mempelajari Dharma, bermeditasi, menjalankan Athasila, menjalankan vegetarian, atau praktik-praktik yang lain. Itu yang diajarkan oleh Sang Buddha dan juga ditekankan oleh para penerusnya di kemudian hari.

Jadi pada malam hari ini meskipun kita kehujanan, kita akan mempelajari Dharma, saya akan menguraikan tentang samsara.

Kita semuanya telah merasakan bahwa selama kita hidup, sejak dilahirkan sampai sekarang, antara suka dan duka silih berganti mengunjungi kita. Sebabnya bisa macam-macam; ketika masih kecil mungkin karena mainan kita hilang, mau bermain tapi dilarang oleh orang tua, mungkin kita ingin di rumah tapi harus pergi ke sekolah dan sebagainya.

Ketika kita remaja juga mengalami banyak persoalan juga yaitu dalam pergaulan kita punya teman yang baik dan tidak baik; dan ketika menginjak dewasa kita juga punya masalah dalam percintaan, ada orang yang kita sukai, ada orang yang tidak kita sukai dan seterusnya.

(2)

Kemudian setelah kita berumah tangga, memiliki anak, memiliki keluarga, kita juga menghadapi berbagai masalah yang timbul; ada suami yang memiliki masalah dengan istrinya juga sebaliknya, ada suami-istri bermasalah dengan anak-anaknya, atau bermasalah dengan keluarganya dan seterusnya. Ini adalah salah satu bentuk dari keadaan samsara kita.

Secara keseluruhan Sang Buddha menyatakan bahwa sesungguhnya samsara adalah tidak lain daripada penderitaan. Jadi hidup kita, menurut Sang Buddha, sesungguhnya tidak lain dan tidak bukan adalah penderitaan, karena kebahagiaan yang kita rasakan sama sekali tidak sebanding dengan penderitaan yang kita alami.

Meskipun seseorang telah menjalani hidupnya selama berpuluh- puluh tahun dan memiliki banyak hal di dunia ini, apakah itu keluarga, kedudukan, harta benda; mereka semua pada akhirnya harus berhadapan dengan kematian yang sangat menakutkan.

Tidak ada seorang pun yang menanggapi kematian dengan perasaan yang bahagia. Semua makhluk juga manusia pada umumnya melihat kematian sebagai suatu ancaman yang menakutkan. Karena kehidupan kita harus diakhiri dengan kematian, dan untuk meninggal kita harus mengalami kesakitan, maka Sang Buddha mengatakan bahwa di dunia mana pun, bukan hanya di dunia kita tetapi di dunia- dunia yang lain, di alam-alam makhluk yang lain, sesungguhnya tidak ada yang disebut kebahagiaan; yang ada hanyalah penderitaan. Oleh karena itu Sang Buddha menyatakan bahwa semua hal yang ada dalam kehidupan ini sebagai samsara.

Mungkin kita bertanya, “Apa artinya makanan yang lezat, apa artinya suami yang baik atau istri yang manis, apa artinya berbagai macam kenyamanan?” Segala hal yang kita rasakan dalam kehidupan kita saat ini seperti makanan yang lezat, ketenaran, keramahan, segala hal yang membuat kita tertawa dan gembira, semuanya hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat, dan untuk mendapatkannya kita juga harus melakukan banyak sekali usaha dan perbuatan.

(3)

Oleh karena kenyataan inilah maka Sang Buddha mengajarkan pengetahuannya kepada kita agar melihat samsara ini dengan sudut pandang yang sebenarnya yaitu bahwa samsara harus dilepaskan, kita harus keluar dari tempat ini dan menuju ke tempat yang tidak ada lagi penderitaan, tidak ada kesedihan, tidak ada penyakit, tidak ada pertengkaran, tidak ada kekacauan, tidak ada lahir, tua dan mati, yaitu yang disebut pembebasan. Untuk tujuan inilah Sang Buddha datang ke dunia ini.

Jadi Sang Buddha datang ke alam manusia tujuannya bukan supaya manusia kemudian beragama Buddha, orang-orang membangun vihara dan meletakkan patungnya kemudian memuja patung itu, bukan demikian; tetapi Sang Buddha datang ke alam manusia karena melihat di alam manusia belum ada yang mengajarkan bagaimana caranya keluar dari kelahiran yang berulang-ulang, bagaimana mengakhiri kelahiran dan kematian yang berulang-ulang.

Tetapi oleh karena kemudian orang lebih mudah membangun vihara daripada mempelajari ajarannya, orang lebih mudah melakukan pemujaan daripada mempelajari Dharmanya, maka sebagian besar pengikutnya lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan lahiriah dan mengabaikan tujuan utama dari kedatangan Sang Buddha.

Sepanjang zaman sejak kedatangan Sang Buddha ke dunia ini telah banyak Buddha-Buddha dan Bodhisattva-Bodhisattva yang lain datang di antara manusia. Ada yang lahir di India, ada yang lahir di Jawa, ada yang lahir di Tiongkok, dan di mana pun ada orang-orang yang membutuhkan pertolongan yaitu orang yang mencari kebenaran, orang yang mencari kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan yang semu.

Bila Sang Buddha hanya datang untuk memberkati maka kedatangannya tidak dibutuhkan lagi karena sebelum ada Sang Buddha di India sudah banyak dewa-dewa yang bisa memberkati, di Tiongkok juga banyak dewa-dewa yang bisa menyebabkan umur panjang, kesejahteraan, kemakmuran, dan sebagainya. Tetapi sebagaimana yang dinyatakan oleh Sang Buddha dalam berbagai sutra bahwa sesungguhnya kedatangannya adalah untuk menunjukkan pintu menuju pembebasan.

(4)

Di dunia ini kita bisa melihat di sekeliling kita setiap hari siapa pun memiliki kesedihan dan penderitaan. Setiap dari kita memiliki persoalan yang sangat berat untuk dipikul oleh diri kita sendiri. Bisa diketahui bahwa setiap orang di dalam keluarganya, di dalam pikirannya, di dalam lingkungannya, mereka memiliki persoalan- persoalan yang sangat sulit untuk diatasi. Ini mencerminkan bahwa samsara memang tak lain adalah penderitaan itu sendiri.

Setiap hari kita melihat orang diusung ke pemakaman, kita melihat orang dikremasi, orang mengalami kematian yang mendadak di jalanan, orang menderita penyakit yang mengerikan; tetapi kebanyakan dari kita berpikir bahwa itu tidak akan terjadi pada kita, itu hanya terjadi pada orang lain, saya tidak akan mengalami hal seperti itu, saya akan meninggal setelah usia sangat lanjut, saya baru akan meninggal setelah kebaikan saya sangat banyak, saya baru meninggal setelah menyelesaikan praktik namaskara saya, saya telah mendanai banyak yayasan sosial, saya sudah melakukan berbagai puja dan seterusnya. Kebanyakan dari kita berpikir seperti itu tetapi kenyataannya bahwa kita tidak berbuat apa pun juga untuk menghadapinya.

Keadaan yang menyedihkan bukan hanya dialami oleh kita di alam manusia, tetapi juga dialami oleh makhluk-makhluk lain. Kita bisa melihat betapa mengerikannya menjadi seekor babi, menjadi seekor sapi, menjadi binatang-binatang yang setiap hari mengalami pembunuhan secara besar-besaran.

Kita tidak sadar bahwa bilamana kita melakukan pembunuhan maka di lain waktu kita juga akan dibunuh oleh mereka yang pernah kita bunuh. Ketika kita menyantap makanan lezat di piring, kita tidak berpikir bahwa keadaannya akan berbalik dan kita akan disantap oleh mereka di kemudian hari. Jadi samsara sungguh sangat mengerikan.

Bila melihat jarum suntik dokter saja kita sudah merasa ngeri, bagaimana perasaannya bila kita terlahir menjadi seekor binatang kemudian kita melihat di tempat pemotongan sedang diasah pisau yang akan segera memenggal kepala kita? Ini sungguh sangat sulit untuk dibayangkan bagi kita semua.

(5)

Samsara tidak akan ada putusnya karena apa yang kita lakukan akan menyebabkan hal lain di kemudian hari. Jadi bila sekarang dalam hidup ini kita bekerja, kita memiliki suami, kita memiliki istri, memiliki orang tua, itu akan menjadi sebab di kemudian hari mereka akan datang kepada kita dan mengajak kita untuk kembali melibatkan diri dalam arena kehidupan yang baru.

Bila sejak kecil kita telah digendong oleh ibu kita, oleh pembantu kita, kita telah dihidupi oleh perasan keringat ayah kita, dan segala kebaikan yang lain; itu berarti sudah tertanam benih yang akan segera bersemi yang akan menuntun kita untuk berjumpa kembali dengan mereka. Masalahnya adalah di dalam hukum karma, baik dan buruknya perbuatan kita yang akan menentukan kelahiran kembali kita. Seseorang dibedakan antara tubuh lahiriah dengan tubuh astralnya.

Yang disebut sebagai tubuh lahiriah adalah tubuh sebagai seorang manusia seperti yang Anda lihat. Diri Anda sendiri juga seperti yang Anda lihat di cermin, wajah saya seperti ini, suara saya seperti ini, kepribadian saya seperti ini; itu adalah tubuh lahiriah kita.

Sedangkan tubuh astral kita yaitu kesadaran kita. Tubuh lahiriah yaitu badan jasmani kita, jari tangan kita sepuluh, jari kaki juga sepuluh, tangan kita dua, kaki kita dua, mulut kita seperti ini, mata kita seperti ini dan seterusnya; semua ini dapat berubah-ubah disebabkan oleh aktivitas tubuh, ucapan dan pikiran kita.

Ada kalanya seperti sekarang kita mengambil kelahiran sebagai manusia; saya menjadi manusia, Anda menjadi manusia, itu karena karma masa lalu kita memungkinkan kita memiliki tubuh seperti ini.

Bilamana dalam kehidupan yang akan datang kita tidak dapat menjaga sebab yang sama, maka kita tidak akan memiliki tubuh seperti ini lagi dan kita akan berubah dalam bentuk yang lain.

Sang Buddha mengatakan bahwa sangat sulit untuk dapat menjadi seorang manusia, ini adalah kata-kata suci dari seorang Guru yang sangat langka yaitu Sang Buddha. Sang Buddha berkata demikian bukan karena mempelajari kitab-kitab suci dan membaca buku-buku yang ditulis oleh orang-orang suci sebelumnya, tetapi Sang Buddha

(6)

melihat timbul tenggelamnya setiap orang yang meninggal, setiap bayi yang lahir, dari mana mereka datang, ke mana mereka pergi;

Di dalam batin atau mata kebijaksanaan Sang Buddha seperti melihat kunang-kunang di malam hari. Kalau melihat seseorang Sang Buddha bisa langsung mengetahui asal usul inkarnasinya di masa lalu dan mengetahui kecenderungannya di masa yang akan datang.

Sang Buddha membuat suatu perumpamaan bahwa untuk menjadi seorang manusia sama dengan kura-kura buta yang harus berhasil memasukkan kepalanya ke dalam gelang besi yang ada di permukaan laut dan kesempatan itu hanya diberikan seratus tahun sekali.

Sangat sulit sekali untuk menjadi seorang manusia, mengapa demikian? Karena menjadi manusia berarti memiliki pintu menuju berhentinya kelahiran dan kematian. Jadi cara untuk menghentikan kelahiran dan kematian hanya diperoleh ketika kita sedang memiliki tubuh sebagai seorang manusia.

Bila kita kehilangan kelahiran sebagai manusia, maka kesempatan itu harus ditunggu selama berkalpa-kalpa lagi untuk dapat memperolehnya kembali. Oleh karena itu para Buddha dan Bodhisattva banyak yang datang ke alam manusia, diterima atau ditolak, disukai atau dibenci, mereka terus mengutarakan ajaran-ajaran ini kepada semua orang yang berkenan mendengarkannya, karena manusia adalah puncak dari bentuk kelahiran di alam samsara.

Para Guru membuat perumpamaan atau gambaran bagaimana keadaan manusia di alam samsara ini; dikatakan bahwa keadaan kita di dalam samsara sama seperti orang buta yang dimasukkan ke dalam penjara yang gelap sekali, tidak ada lampu penerangannya dan hanya ada satu pintu. Karena diberitahu bahwa hanya ada satu pintu, maka sepanjang hari orang buta ini meraba seluruh dinding terus-menerus hingga akhirnya mendekati dan sudah berhadapan dengan pintu melalui mana dia bisa keluar dari tempat yg gelap dan pengap itu.

Ketika ia hendak menyentuh pintu itu tiba-tiba ia merasakan gatal dan menggaruk kepalanya sambil tetap jalan, dan ketika selesai menggaruk pintu tersebut sudah terlewati, dan untuk mendapatkannya

(7)

lagi ia harus berputar lagi dan meraba setiap bagian dinding di ruang yang gelap itu. Ini adalah perumpamaan dari para Guru suci, bahwa kita sama seperti itu.

Kadang-kadang orang berkata, “Saya tidak punya waktu untuk mempelajari Dharma, saya tidak punya waktu untuk mempraktikkan Dharma.” Mereka tidak sadar bahwa apa yang sekarang membuatnya sangat sibuk, apa yang sekarang membuatnya sangat sombong, contohnya tubuh: kadang-kadang beberapa orang karena tubuhnya jadi memiliki keangkuhan dan kesombongan, beberapa orang karena selembar kain atau busana yang dikenakannya menjadi sombong atau angkuh, beberapa orang karena kekayaannya merintanginya mempelajari Dharma, beberapa orang karena statusnya merintanginya untuk mempelajari Dharma. Padahal tubuh kita akan segera dikremasikan ketika kesadaran kita telah keluar.

Sangat aneh bilamana baju dan segala atribut busana apakah perhiasan emas permata, berlian, atau berbagai asesoris kehidupan lahiriah, menyebabkan seseorang menjadi bersikap angkuh dan sombong; karena semua itu tidak akan menyertai kita, yang akan menyertai kita hanyalah karma putih dan karma hitam yang kita miliki.

Banyak orang lebih senang menghabiskan waktu hidupnya dengan berbagai kegembiraan lahiriah dibandingkan berusaha untuk mempelajari Dharma Sang Buddha. Sebagian besar dari kita juga memastikan bahwa kita tidak akan jatuh ke alam yang rendah tetapi sesungguhnya sama sekali tidak ada orang yang bisa memastikan bahwa dirinya dapat bebas dari kemungkinan terlahir di alam yang rendah.

Bila kita terjatuh ke alam yang rendah dan berhadapan dengan Dewa Yama, semua hal yang kita lakukan akan dirinci mulai dari perkataan, perbuatan dan pikiran-pikiran kita dan kita akan menjalani hukuman di hadapan Dewa Yama dengan mendiami berbagai alam yang rendah.

Dalam kitab suci Kunjarakarna dikatakan bahwa pada suatu ketika Kunjarakarna pergi mengunjungi istana atau kediaman Dewa

(8)

Yama yaitu dewa yang mengendalikan kematian dan kelahiran kembali semua makhluk di dalam samsara.

Itulah sebabnya dalam bahasa Buddhis ketika seseorang akan meninggal dikatakan bahwa ia sudah didatangi oleh pesuruh Dewa Yama. Tanda-tandanya bila mata sudah mulai kabur, telinga sudah mulai tidak mendengar, perasaan sudah timbul-tenggelam, itu berarti pesuruh Dewa Yama sudah memegang tangan dan kakinya untuk segera mencabut tubuh astralnya meninggalkan tubuh lahiriahnya tergeletak, dingin, tidak berdetak dan tidak bisa disapa lagi.

Segala sesuatu yang menyebabkannya angkuh dan sombong kini hanya cocok sebagai makanan cacing dan belatung di tanah. Ketika ini terjadi, seperti yang diceritakan oleh Dewa Yama kepada Kunjarakarna, “Kunjarakarna, setelah makhluk saya hukum dengan hukuman yang sesuai dengan dosa-dosanya maka mereka saya hamburkan ke seluruh triloka atau ketiga dunia, seperti petani yang menaburkan benih di ladangnya.” Jadi Dewa Yama setiap hari menaburkan roh atau kesadaran manusia-manusia, kesadaran binatang-binatang, semut-semut, nyamuk-nyamuk dan sebagainya, yang akan menjalani kehidupan yang baru di dalam samsara.

Kembali pada perumpamaan dari para Guru suci tadi, bahwa kita seperti orang buta yang sedang mencari jalan keluar dari penjara yang gelap gulita, kita meraba-raba dan mencari-cari, “Kenapa saya tidak bahagia, kenapa saya menghadapi banyak persoalan?” Kedua orang tua saya meninggal, banyak keinginan yang tidak terpenuhi, banyak penyakit yang menimpa, istri tidak begitu ramah, suami tidak begitu setia, anak-anak susah diatur, mertua galak sekali, ekonomi seret sekali (ini orang yang malang sekali) belum lagi berbagai persoalan lingkungan kehidupan kita. Kapan keadaan akan membaik? Ketika keadaan mulai membaik maka selalu ada keadaan buruk lain yang datang lain. Semua orang mendambakan kebahagiaan tetapi tidak tahu di mana kebahagiaan itu berada.

Para Guru menyatakan bahwa orang salah mengira: yang masih bujangan menyangka kalau sudah punya suami akan bahagia, ternyata begitu punya suami lalu punya banyak anak kemudian menjadi beban

(9)

hidup yang baru; yang miskin berpikir bila sudah kaya hidupnya akan lebih bahagia, setelah kaya ternyata sama juga; yang sehat berpikir capek menjadi orang sehat, kapan sakit supaya bisa beristirahat; yang sakit berpikir sangat enak menjadi orang sehat, bisa pergi ke mana- mana; yang punya anak pusing karena banyak tingkahnya; yang tidak punya anak berpikir enak bila bisa punya anak. Ini adalah kenyataan di dalam samsara.

Manusia berpikir, “Sang Buddha, kalau saya tidak usah menjadi manusia lagi akan sangat senang sekali. Bila saya lahir menjadi dewa saya tidak usah melihat orang yang aneh-aneh di sekeliling saya, saya tidak perlu bekerja, saya tidak perlu menjadi menantu atau mertua, saya tidak perlu melahirkan, saya tidak perlu memikirkan berbagai hal di dunia ini.” Dewa berdoa, “Sang Buddha, saya pingin menjadi manusia, di sini semuanya serba indah dan sama sekali tidak menarik, bosan.” Jadi satu sama lain saling melihat, saling menyangka.

Sesungguhnya apa yang terjadi pada diri manusia? Sebabnya adalah karena ia belum menemukan sesungguhnya di mana kebahagiaan berada. Kita diumpamakan seperti seorang anak kecil yang sedang berada di pasar malam di mana dunia ini penuh dengan berbagai keramaian. Ketika berada di pasar malam kita merasa senang dan gembira karena kita memegang tangan orang tua kita sehingga lampu yang berkedip-kedip, binatang-binatang dan segala macam permainan terlihat menyenangkan.

Tetapi ketika terlepas dari tangan orang tua kita, lampu masih berkedip, binatangnya masih ada, segala permainan masih berlangsung tetapi kita menjadi takut, cemas, dan akhirnya menangis. Dunia ini masih berlangsung seperti dulu, sekarang dan nanti; tetapi dalam jam atau waktu yang sama kadang-kadang kita juga mengalami hal yang dialami oleh anak kecil tadi karena kita tidak memiliki kepastian di mana sebetulnya letak kebahagiaan. Ini adalah ciri dari samsara.

Oleh karena tubuh kita adalah satu-satunya pintu keluar, Sang Buddha sendiri telah menyarankan kepada kita agar tubuh ini tidak digunakan untuk tujuan yang lain selain untuk mendapatkan pembebasan dari kelahiran dan kematian. Sang Buddha sendiri

(10)

menyarankan kita agar tidak menggunakan tubuh ini untuk tujuan yang lain karena tidak akan ada gunanya, karena itu hanya sementara;

selain tujuan membebaskan diri dari samsara, tujuan-tujuan lainnya hanya akan meningkatkan beban karma kita.

Kita semuanya tahu bahwa karma kita sudah banyak sekali, kita sudah hidup di dalam samsara sejak waktu yang tidak dapat diketahui bahkan oleh Sang Buddha sendiri, dan setiap hari kita menciptakan karma-karma yang baru sehingga karma kita menjadi lebih banyak lagi dari sebelumnya.

Karma yang baik akan menyebabkan kita terlahir mulia, menjadi pemimpin, menjadi tokoh, mungkin juga jadi dewa bila perilaku hidup kita sangat baik yaitu sangat dermawan, berjiwa sosial, senang menolong dan seterusnya; karma-karma seperti ini dapat menyebabkan kita memiliki kemuliaan.

Gemar bernamaskara, gemar melakukan persembahan, gemar melakukan berbagai ibadah, ini akan menghasilkan kelahiran yang sangat mulia. Sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai sutra, sekali saja kita bernamaskara dengan tulus, dengan pikiran yang konsentrasi dan pengertian yang benar ke hadapan Sang Buddha, dikatakan bahwa kita bisa menjadi seorang Cakravarti atau raja dunia sebanyak partikel yang tertutup oleh tubuh kita ketika bernamaskara.

Bila kita bernamaskara berkali-kali berarti kita akan menjadi Cakravarti berkali-kali juga, tetapi harus diketahui bahwa menjadi Cakravarti juga diliputi oleh ketidakkekalan. Bila kita renungkan, bila seseorang terlahir menjadi raja, apakah sudah pasti bahwa ia akan lahir lagi menjadi raja? Tentu saja jawabannya tidak.

Bila seseorang terlahir menjadi pemimpin, menjadi presiden, menjadi perdana menteri, apakah ia akan terlahir lebih mulia lagi?

Tentu saja tidak karena banyak di antara mereka yang ketika hidup menjadi manusia saja harus menghadapi kematiannya di tiang gantung, di hadapan regu tembak atau menghadapi hukuman pancung. Ini adalah kenyataan di dalam samsara.

Jadi kebajikan membawa kemuliaan kebahagiaan samsara biasa;

sebaliknya ketidak bajikan apakah melalui kata-kata, perbuatan,

(11)

pikiran akan menyebabkan kita merayap di atas tanah yang basah, bersembunyi di tempat-tempat yang gelap, yaitu menjadi serangga, binatang melata, menjadi ikan di lautan, menjadi binatang berkaki empat, atau bahkan menjadi preta, ashura, dan penghuni alam-alam yang penuh dengan penderitaan. Kedua-duanya diliputi pengembaraan di dalam samsara, kedua-duanya mengembara di dalam samsara.

Bedanya yang satu mengembara dengan tertawa, yang lain mengembara dengan menangis; jadi yang satu gila tertawa, yang satu menangis. Kalau ke RSJ Grogol, Anda akan tahu orang gila menangis itu seperti apa, ia akan menangis terus sepanjang hari siang dan malam, berhenti kalau tidur dan makan saja, selesai makan atau bangun tidur ia akan menangis lagi.

Di dalam samsara, makhluk seperti ini ada di alam-alam yang rendah, binatang misalnya. Contohnya seekor babi; ketika ia dibesarkan dan hidup di comberan dengan makanan yang begitu keruh dan kotor, ia hanya bisa berkeluh kesah saja tetapi tidak bisa mengangkat dirinya dari tempat yang buruk itu; dan ketika menghadapi tukang jagal, ia tidak bisa melakukan hal yang lain selain merintih dan mati. Kemudian ke mana ia akan terlahir lagi? Ia akan menyusul kelahiran yang menderita berikutnya karena binatang tidak berkreasi terhadap kebajikan.

Begitu seterusnya sehingga dapat diumpamakan seperti orang gila yang selalu menangis. Orang gila yang selalu tertawa juga bisa dilihat RSJ Grogol, ia tertawa terus sepanjang hari, tidak ada temannya juga ketawa, makan ketawa, tidur ketawa, di kamar mandi ketawa, di tempat ramai ketawa dan sebagainya.

Ini adalah cerminan dari makhluk samsara yang menganggap hal-hal yang kecil, seperti yang tadi saya contohkan, ada orang yang hanya karena baju saja menyebabkannya sombong dan tertawa, ada orang yang hanya karena selembar kain menyebabkannya girang dan tertawa, ada orang yang hanya karena batu permata apakah safir, ruby, berlian, menyebabkannya merasa lebih tinggi dan seterusnya. Dalam filosofi Buddhis ini dikatakan sebagai salah satu kebodohan.

(12)

Sebagian makhluk samsara mengembara dengan gembira, sebagian mengembara dengan kesedihan. Kita sekarang mengembara dengan gembira karena sebetulnya kita juga sedang menunggu hukuman yang sudah pasti yaitu suatu saat tidak bisa berjalan lagi dan harus digotong oleh orang lain tetapi kita masih senang dan bergembira.

Bila seseorang jatuh ke dalam kehidupan yang rendah maka waktu yang dibutuhkan untuk kembali lagi bukan setahun, dua tahun, bukan satu kalpa atau seribu kalpa, tetapi bermahakalpa. Bila kita kehilangan tubuh ini setelah kita tua atau kapan pun bilamana kita telah kehilangan daya hidup, kita harus meninggalkan tubuh kita yang fana ini, kita akan diseret oleh karma kita.

Ke mana? Kalau karma menyeret kita ke alam yang lebih rendah maka untuk mendapatkan pintu yang satu ini, tubuh ini, akan membutuhkan waktu sangat lama, Sang Buddha menyatakan bermahakalpa. Jadi jangan berpikir, “Oh tidak menjadi soal, saya santai saja melakukan praktik, santai saja belajar Dharma, hidup harus gembira.” Gembira boleh, tapi teliti dalam mempraktikkan Dharma juga harus. Bila itu terjadi maka kita tidak dapat membayangkan banyaknya penderitaan yang akan dialami dalam kehidupan kita.

Kembali lagi, tujuan Sang Buddha mengajarkan Dharma adalah untuk menunjukkan pintu bagaimana caranya membebaskan diri. Kita semuanya, sebagian dari Anda, dapat dikatakan merupakan orang- orang yang memiliki koneksi karma di masa lalu dengan ajaran Sang Buddha. Ini merupakan pertanda yang sangat baik yang harus dipelihara karena kemajuan batin mudah sekali rusak dan merosot.

Guru Atisha mengatakan bahwa kemajuan batin mudah sekali hilang. Apa maksudnya? Maksudnya adalah bila sekarang kita telah memiliki kecenderungan mental atau kecenderungan pikiran untuk menjadi seorang Buddhis, ini juga merupakan kemajuan batin. Bila kita memiliki keinginan untuk mempelajari Dharma, itu juga merupakan kemajuan batin. Bila timbul keinginan untuk selalu membuat persembahan kepada Sang Triratna, kepada Sang Buddha di altarnya, itu juga merupakan kemajuan batin. “Saya tidak mau

(13)

berbicara kasar lagi”, ini juga merupakan kemajuan batin. “Saya ingin setiap hari Rabu datang melakukan puja dan pelafalan”, ini juga merupakan kemajuan batin. Tetapi kemajuan batin ini mudah sekali hilang karena di dunia ini banyak sekali yang lebih menarik dibandingkan dengan kegiatan praktik Dharma.

Dikatakan di dalam tradisi India bahwa alam kehidupan kita ini dibagi menjadi empat masa. Masa yang pertama adalah zaman Kertayuga atau zaman keemasan. Pada zaman ini, kira-kira beberapa milyar tahun yang lalu, dikatakan bahwa usia manusia sangat lama, mencapai ratusan ribu tahun, dan manusia mengutamakan kebenaran.

Seluruh manusia pada waktu itu mengutamakan kebenaran;

tidak ada yang namanya orang berbohong, tidak ada orang yang berbuat salah; sehingga antara manusia, para dewa dan makhluk- makhluk yang ada di alam yang lebih tinggi hampir tidak bisa dibedakan.

Yang kedua adalah zaman Tetrayuga atau zaman perak di mana ilmu pengetahuan tentang kerohanian adalah yang utama. Kalau di zaman yang pertama orang tidak perlu bekerja, tidak perlu berebut makanan, tidak akan memburu emas dan permata, orang tidak akan mencari pengaruh dan kedudukan, karena pada zaman ini orang hanya berpikir tentang kebenaran. Pada zaman yang kedua yaitu zaman Tetrayuga, orang berpikir tentang ilmu pengetahuan, dan pada zaman inilah mulai diajarkan cara-cara mengendalikan diri, baik dan tidak baik dan seterusnya, karena sudah mulai ada kecenderungan yang tidak baik. Orang tidak memburu hal-hal yang lain tetapi yang dicari adalah pengetahuan bagaimana bisa membuat dirinya menjadi benar.

Zaman ketiga disebut zaman Dwaparayuga atau zaman tembaga di mana yang diutamakan adalah offering atau persembahan atau puja.

Jadi pada zaman ini orang yang dapat melakukan puja sangat dihormati; puja di zaman ini dilakukan dengan berbagai harta kekayaan, berbagai batu permata, emas dan perak. Apakah dia orang biasa, raja, pendeta atau pertapa, kalau dia melakukan puja maka akan dihormati orang. Penghormatan pada waktu itu didasarkan pada

(14)

apakah seseorang melakukan puja atau tidak, bila orang itu diketahui sering melakukan puja maka semua orang akan memuliakannya.

Zaman yang terakhir, zaman kita saat ini disebut zaman Kaliyuga di mana pada zaman ini dikatakan bahwa orang menghormati harta benda. Jadi zaman yang pertama yang diutamakan kebenaran, yang kedua ilmu pengetahuan, yang ketiga persembahan atau puja, dan di zaman kita ini orang menghormati harta benda.

Saya tidak perlu menjelaskan lagi karena kita sudah tahu apakah seseorang penjahat atau bukan, penipu atau bukan, tetapi kalau dia kaya maka orang akan menghormatinya. Apakah dia pembunuh, apakah dia perampok, apakah dia suka beramal atau suka menindas, yang penting dia kaya maka orang akan menghormatinya.

Sebaliknya walaupun seseorang berhati emas, seorang Bodhisattva hidup di mana hanya ada kebenaran dalam dirinya, kalau dia tidak punya harta maka tidak ada orang yang menghargai kata- katanya, ini di zaman sekarang.

Pada saat ini sudah menjadi ketentuan berdasarkan pembagian masa kehidupan, bahwa siapa pun yang lahir pada masa ini yaitu zaman Kaliyuga akan melihat fenomena di mana harta benda dipuja melampaui para dewa, bahkan para dewa pun dijual untuk mendapatkan harta benda, kadang-kadang Buddha-Bodhisattva juga dijual untuk mendapatkan harta benda.

Ini belum pernah terjadi di jaman sebelumnya, hanya ada di zaman Kaliyuga kita ini. Jadi jangan merasa heran bila daya tarik kebenaran, kebajikan, puja, redup pada masa sekarang; dan daya tarik yang cemerlang adalah daya tarik harta benda. Di mana-mana orang berbicara bagaimana caranya mendapatkan harta benda sebanyak- banyaknya, bagaimana memiliki harta benda yang sebanyak-banyak.

Untuk apa? Pokoknya punya dulu yang banyak baru untuk apa belakangan.

Oleh karena itulah manusia membutuhkan pertolongan. Bila pada zaman Kertayuga, orang tidak perlu ditolong karena semua orang sudah lurus hatinya, semua orang bisa melihat benar sebagai benar, salah sebagai salah, dan hampir tidak terpikirkan apa itu salah.

(15)

Zaman kedua juga masih baik, zaman ketiga masih lumayan, tetapi zaman keempat ini kabut kegelapan sungguh-sungguh menyelimuti kehidupan umat manusia. Orang rela saling membunuh hanya karena beberapa ribu rupiah saja, orang rela saling membunuh hanya karena kata-kata saja, ini belum pernah terjadi di masa lalu;

hidup manusia menjadi sangat murah, kehidupan manusia menjadi kurang bernilai bahkan dibandingkan dengan binatang, alat-alat elektronik dan benda-benda perhiasan. Orang menjadi kurang bernilai dibandingkan dengan harta benda yang dibuat oleh manusia, ini terjadi pada masa Kaliyuga yaitu masa kehidupan kita sekarang ini, dan akan berlangsung sampai beberapa milyar tahun di kemudian hari.

Oleh karena karma baik Anda semuanya, Anda semua terlahir di alam manusia ini ketika masih ada ajaran Sang Buddha. Sang Buddha Sakyamuni turun dari Surga Tushita menjadi seorang manusia memang dengan tujuan untuk menolong umat manusia pada masa Kaliyuga ini agar mereka dapat tersekat dari yang selalu dikatakan oleh Sang Buddha sebagai banjir.

Dalam Tripitaka Pali dikatakan bahwa lobha atau keserakahan adalah banjir, kenapa demikian? Karena jarang orang dapat melawannya, mengarungi atau memotong arusnya. Kebencian juga banjir; jarang orang sanggup untuk melawan arus kebencian, apalagi memotong arus kebencian. Kebodohan juga demikian, jarang orang sanggup melawan arus kebodohan; orang lebih suka berbaring dan menyanyi, orang lebih suka duduk dan memelototi pesawat televisi daripada melakukan meditasi vipashana yaitu merenungkan tubuh saya ini apa, pikiran saya itu apa, dan seterusnya. Jadi Sang Buddha mengatakan bahwa ketiga hal tersebut adalah banjir yaitu lobha, dosa dan moha (keserakahan, kebencian dan kebodohan); siapa pun akan hanyut oleh ketiga hal ini, apakah dia seorang raja, apakah seorang tukang sapu, semuanya hanyut di dalam arus yang sangat deras dari ketiga hal yaitu lobha, dosa dan moha.

Oleh karena nasib baik kita maka kita juga harus menerapkan kehidupan ini pada tujuan yang jelas berdasarkan ajaran para Guru.

Kita bukan saja telah bertemu dengan ajaran Sang Buddha tetapi

(16)

beberapa dari kita juga memiliki nasib yang sangat baik telah menerima pemberkatan-pemberkatan baik Mahayana maupun Vajrayana. Ini adalah kesempatan yang sangat langka yang dikatakan oleh Guru Atisha: “Sungguh sangat langka berjumpa dengan ajaran Sang Buddha, apalagi berjumpa dengan para Guru dan mendapatkan pemberkatan.”

Ini adalah kesempatan yang luar biasa langkanya karena dengan demikian kita memiliki pedang di tangan kita untuk memutuskan jerat- jerat samsara yang dengan kuat mengikat makhluk-makhluk yang lain.

Di tangan kita juga ada percikan api yang bilamana dinyalakan akan membakar hangus semua karma masa lalu yang telah kita kumpulkan.

Kita memiliki tiga macam karma secara umum yaitu karma masa lalu yang tertumpuk belum dijalani, karma yang sekarang kita jalani, dan karma yang akan kita jalani berdasarkan akibat yang sekarang.

Dikatakan di dalam sastra para Guru bahwa karma yang tertumpuk di masa lalu dapat dihapuskan, laksana tumpukan kayu kering yang bila diberi sepercik api maka kayu itu meskipun setinggi gunung akan hangus dan menjadi debu. Karma kita yang akan datang juga dapat dilakukan pemurnian dengan cara yang sama; tetapi karma yang sekarang kita alami tidak dapat dimurnikan, kita harus menjalaninya.

Bila dalam masa hidup sekarang kita harus mengalami suasana hidup tertentu, pengalaman hidup tertentu, kita harus menjalani hal itu karena tidak dapat dimurnikan kecuali melalui usaha-usaha yang sungguh-sungguh dengan cara-cara yang khusus.

Beberapa orang beruntung dapat mempelajari ajaran kebajikan dan ketidakbajikan; beberapa lagi sangat beruntung mulai bangkit bodhicittanya di mana ada aspirasi untuk memelihara bodhicitta, memiliki cinta kasih yang kuat dan mulai mengendalikan dirinya;

beberapa lagi telah serius dalam mempraktikkan praktik Vajrayana;

ini adalah keberagaman yang disebabkan oleh berbeda-bedanya karma di masa lalu antara satu orang dengan yang lain; tetapi yang sama adalah bahwa Anda semuanya telah menjadi siswa Sang Buddha.

Ini merupakan kesempatan yang sangat baik, bila ini terlewatkan maka tidak ada siapa pun yang dapat menolong kita bahkan orang

(17)

yang selama hidup kita telah kita cintai dengan sepenuh hati seperti orang tua, suami, istri, anak-anak, yang begitu banyak menyita waktu kita. Mereka sama sekali tidak dapat menolong kita karena mereka juga berhadapan dengan fenomena kelahiran dan kematiannya sendiri, mereka telah mengusung karma-karmanya sendiri.

Oleh karena itu sangat perlu ditekankan bahwa hubungan- hubungan di dalam kehidupan keluarga harus diarahkan untuk saling menopang dalam rangka tujuan mempraktikkan ajaran-ajaran Sang Buddha; bukan untuk menyuburkan pertengkaran, bukan untuk menyuburkan nafsu-nafsu birahi, bukan untuk menyuburkan keterikatan-keterikatan duniawi, tetapi harus diciptakan pada tujuan saling mendukung satu sama lain, siapa yang lebih cepat membebaskan diri dari samsara dan menjadi penolong bagi yang lain.

Ini adalah hal yang harus selalu diingat karena bilamana salah berpikir maka akan lama sekali untuk bisa dikoreksi dan diperbaiki, karena bila kita jatuh tergelincir dari alam manusia ke alam yang rendah, kita akan mengalami kesengsaraan di alam rendah selama bermahakalpa, bukan hanya satu kalpa tetapi bermahakalpa.

Kenapa demikian? Karena hanya sekali dalam kata-kata bohong saja, kalau kita berbohong pada binatang dikatakan kita akan masuk neraka selama 60 kalpa; misalnya kita berkata, “Hai kucing, besok saya akan memberimu ikan yang sedap, jadi besok datanglah kemari.” Besok kucingnya datang tapi ikannya tidak ada, ini artinya berbohong pada kucing.

Ada sastra yang mengatakan bahwa ini akan menyebabkan terlahir di alam neraka selama 60 kalpa. Kalau berbohong pada orang, 60 kalpa x 100; kalau berbohong pada orang tua dikalikan 100 lagi;

kalau berbohong pada Guru atau orang suci dikatakan dikalikan 1.000 kali lagi yaitu kurang lebih 600.000 kalpa tinggal di neraka karena kata- kata bohong.

Oleh karena itu, dalam ikrar Vajrayana khususnya, sangat pantang bagi mereka yang mengangkat jalan Tantra untuk berdosa kepada orang tua dan Guru, karena konsekwensinya sangat

(18)

menakutkan. Jadi sangat gampang penyebab kelahiran di alam yang rendah.

Pabongka Rinpoche menyatakan bahwa hanya dengan menepuk seekor nyamuk cukup bagi kita untuk berdiam di alam neraka, karena nyamuk tersebut akan beranak, karena anaknya susah mendapatkan kelahiran kembali, mereka mengalami kesengsaraan, dan seterusnya berantai kepada banyak hal yang terkait sehingga akibatnya kita hanya pantas untuk masuk neraka.

Bila kita berpikir tentang akibat dari perbuatan buruk kita maka kita akan merasa lemah untuk dapat menanggunggnya, tetapi bila kita berpikir bahwa perbuatan itu bisa dimurnikan maka kita akan antusias untuk melakukan pemurniannya.

Tantra mengajarkan bahwa tujuan melakukan sadhana, tujuan melakukan pelafalan adalah untuk menyalakan kobaran api yang akan membakar seluruh potensi karma-karma yang tertinggal di masa lalu;

selain itu juga untuk meresapkan tubuh, ucapan dan pikiran dari istadevata yang menjadi objek utama praktik kita.

Kita harus bersikap proaktif karena ini sangat mendesak dan semua orang dari kakek, nenek dan orang-orang yang tua dalam keluarga kita telah mengalaminya yaitu mereka sudah dikremasikan, ada yang ditanam, pada akhirnya kita juga akan mengalami hal yang sama. Bila itu yang terjadi dan kita belum melakukan praktik apa pun termasuk purifikasi maka kita akan kehilangan pintu ini.

Geshe Kelsang Gyatso menyatakan, sama dengan orang yang terdampar di suatu pulau, telah lama sekali menunggu datangnya perahu yang melintasi pulau itu agar dapat terbebas dari tempat yang terpencil itu, tetapi ketika perahunya datang orang ini tertidur sehingga perahunya pergi dan dia baru menyadari, “Aduh sayang sekali.”

Pabongka Rinpoche menyatakan bahwa penyesalan sama sekali tidak ada gunanya.

Dengan alasan-alasan dan kenyataan-kenyataan inilah maka kita harus selalu berpikir bahwa saya menjadi Buddhis bukan untuk mencari teman, saya menjadi Buddhis bukan untuk mencari popularitas, saya menjadi Buddhis bukan untuk melakukan kegiatan

(19)

sosial saja; tetapi saya menjadi siswa Sang Buddha adalah untuk mengikuti jejaknya membebaskan diri dari lingkaran samsara.

Oleh karena itu yang menjadi tujuannya, kita harus melakukan dari hal yang paling kecil yaitu mengurangi kesenangan-kesenangan lahiriah yang sama sekali tidak perlu. Apa yang membedakan hal itu perlu atau tidak mungkin tidak perlu saya jelaskan lagi karena sudah sering saya jelaskan. Jadi yang sangat penting adalah bahwa tujuan kita menjadi Buddhis adalah dalam rangka menghentikan kelahiran dan kematian, bukan untuk menjalin ikatan-ikatan yang baru, bukan untuk menjalin keterikatan-keterikatan yang baru.

Dalam hal ini kita memang dapat menjalankannya sebagai seorang bhiksu atau sebagai orang biasa. Kita bisa memilih kedua hal ini, yang penting kita dapat menempatkan diri sebagaimana mestinya.

Jadi bukan berarti kita harus menjadi bhiksu semua, sama sekali tidak;

kita juga bisa melakukan berbagai meditasi atau praktik di rumah kita sendiri, di antara suami kita, istri kita dan anak-anak kita.

Di masa lalu banyak para Arya yang mencapai pencerahan dengan cara yang sama, banyak di antara mereka yang terlahir di alam- alam para Buddha dengan cara yang sama. Tetapi juga tidak menghalangi bilamana memungkinkan dan Anda ingin menjadi seorang bhiksu, itu juga sangat baik sekali.

Banyak orang berpikir bahwa ajaran Sang Buddha hanya ditujukan kepada para bhiksu, itu adalah hal yang sangat keliru, karena yang mengalami timbul-tenggelam di dalam samsara bukan hanya para bhiksu tetapi kita semuanya juga mengalami hal yang sama.

Tujuan dari kehidupan kita di alam manusia ini jangan sampai diselewengkan untuk hal yang lain. Tujuan utama kita ke sini adalah untuk memanfaatkan kesempatan yang sangat langka. Pada akhirnya kita tidak akan ditanya berapa banyak warisan yang kita tinggalkan kepada anak-cucu kita karena orang-orang di masa lalu juga tidak melakukan hal seperti itu. Meskipun kesejahteraan keluarga sangat penting tetapi secara esensi kita harus selalu sadar bahwa keberhasilan kehidupan menurut ajaran Sang Buddha adalah seberapa banyak kita

(20)

menciptakan kebajikan, seberapa banyak meninggalkan ketidakbajikan, itu adalah level yang paling rendah.

Level yang menengah adalah seberapa kuat ia menyucikan dirinya, mengurangi keterikatan-keterikatan duniawinya, meninggalkan hal-hal keduniawian; dan mempraktikkan sila, samadhi dan prajna.

Level yang utama adalah seberapa banyak ia mempraktikkan praktik Vajrayana, melakukan pelafalan, berapa juta kali ia telah mengucapkan mantra seorang istadevata apakah seratus juta, dua ratus juta, atau satu milyar; karena itu menjadi indikator kapan ia akan bebas dari samsara ini. Bagi mereka yang hanya tidur dan makan kenyang, mereka hanya pantas dikeroyok oleh cacing dan belatung di tempat penguburannya; kesadarannya akan jatuh ke alam yang rendah dan akan didera oleh penderitaan selama berkalpa-kalpa. Kita tentu tidak ingin seperti itu.

Ini Dharmadesana yang saya sampaikan pada hari Uposatha ini, mudah-mudahan berguna. Ini adalah bagian dari Lamrim, bagian yang disebut sebagai penolakan samsara. Kenapa kita harus menolak samsara? Karena saya tidak ingin diombang-ambingkan oleh kelahiran dan kematian.

Jey Tsongkhapa menulis dalam Lamrim bahwa kita sudah sering menjadi wanita, bukan hanya Anda yang wanita sekarang saja yang jadi wanita, tetapi saya juga pernah memakai rok dulunya. Yang pria sudah sering menjadi wanita, yang wanita juga sudah sering menjadi pria. Jey Tsongkhapa menyatakan bahwa kita telah sering berganti- ganti tubuh dan sama sekali dan sama sekali tidak ada hasilnya meskipun telah mengganti tubuh kita selama beribu-ribu kali.

Sekarang, kejadian seperti itu jangan terulang lagi. Kita harus membuat hidup kita yang sekarang benar-benar berdaya guna dan berhasil guna bagi kita. Ini yang dapat saya sampaikan, mungkin kalau ada pertanyaan dipersilahkan.

Tanya: …..

Jawab: Ini soal karma. Guru-guru Kadampa menyatakan bahwa karma buruk, kata-kata yang kasar, kata-kata bohong, tangan yang suka

(21)

melakukan hal-hal yang negatif, pikiran yang negatif, semua itu sangat buruk. Itu adalah racun yang akan membunuh diri kita sendiri.

Kadang-kadang orang senang menghina orang lain tetapi sesungguhnya itu adalah racun atau seperti tumor yang akan membuat orang itu sendiri menjadi korbannya. Kemudian kejahatan, kadang- kadang orang melakukan kejahatan dengan gembira karena berpikir yang akan celaka adalah orang lain dan dirinya senang melihat hasil dari akibatnya.

Guru Kadampa menyatakan bahwa semua kejahatan atau ketidakbajikan yang berkaitan dengan sepuluh ketidakbajikan yaitu tiga oleh perbuatan, empat oleh ucapan dan tiga oleh pikiran, adalah sangat buruk dan hanya ada satu baiknya yaitu ia dapat dimurnikan.

Berdasarkan pernyataan ini maka betapapun berdosanya seseorang, betapapun kotornya tangan seseorang, betapapun kotornya mulut seseorang juga pikirannya, kalau ia memiliki kemauan ia bisa menjadi orang suci, ia bisa menjadi seorang Bodhisattva, bahkan dapat menjadi seorang Buddha dalam kehidupan saat ini.

Para Arya di masa lalu, seperti Arya Angulimala yang telah membunuh begitu banyak orang, sampai 999 orang, hanya untuk diambil jarinya dari masing-masing orang karena belajar pada guru yang salah yang mengajarkan kejahatan yaitu membunuh orang dan diambil jarinya untuk penguat atau kesaktian sehingga ia membunuh orang sebanyak itu.

Menurut hukum karma ia harus lahir di neraka, kemudian lahir lagi dan berjumpa dengan mereka yang telah dibunuhnya dan akan mengalami pembunuhan yang sama. Ada istilah: siapa yang meminjam harus membayar, siapa yang menanam harus memetik. Jadi setiap yang membunuh juga akan dibunuh.

Angulimala dalam keadaan yang normal harus menjalani karma itu di alam neraka beberapa kalpa, setelah itu dia menjadi manusia lagi dan harus bertemu dengan inkarnasi manusia lain yang akan menyebabkannya terbunuh dengan cara yang sama. Tetapi pertemuannya dengan Sang Buddha merubah semua hal yang seharusnya berjalan secara alami.

(22)

Sang Buddha mengajarkan teknik-teknik tertentu dan karena barang siapa menghormati Sang Buddha dengan tubuh, ucapan dan pikiran maka berkalpa-kalpa akusala karmanya akan dapat dimurnikan. Angulimala ini termasuk siswa yang sangat berbakti, siswa yang sangat menghormati Sang Buddha, oleh karena itu ia menjadi seorang Arhat.

Kemudian ada lagi seorang bhiksu yang asalnya dia membunuh ayah dan ibunya sendiri. Ini adalah dosa yang tak tertahankan dan harus masuk ke neraka Avici, tetapi pertemuannya dengan Sang Buddha telah merubah banyak hal yang seharusnya dialaminya.

Demikian juga dengan Milarepa; saya sering menceritakan bahwa Milarepa sebelum menjadi Buddhis adalah seorang yang mempelajari black magic dan memiliki kesanggupan untuk mendatangkan hujan dan badai serta membunuh orang dari jarak jauh melalui dewa-dewa yang dapat disuruh.

Diceritakan bahwa dia telah membunuh sebanyak 37 orang ketika ada suatu acara perkawinan, rumahnya dirobohkan oleh hujan dan badai, selain juga membunuh ternak dan merusak berbagai ladang dan pedesaan. Ini adalah karma yang luar biasa beratnya, tetapi karena pertemuannya dengan Marpa Lotsawa yang tidak lain adalah seorang Guru yang telah mencapai pencerahan, karma buruknya dengan cara- cara tertentu dapat diatasi sehingga ia menjadi seorang Buddha hidup.

Milarepa juga merupakan seorang Buddha yang sempurna ketika masih menjadi seorang manusia biasa.

Jadi menurut sudut pandang Mahayana Tantra, karma-karma buruk adalah racun bagi kita. Kata-kata, pikiran dan perbuatan buruk adalah seperti tumor yang akan merugikan diri kita sendiri. Baiknya hanya satu saja yaitu bahwa hal-hal itu bisa dimurnikan. Dan oleh karena itu Sang Buddha mengajarkan berbagai praktik Tantra atau Vajrayana khususnya, agar kita dapat lebih cepat lagi untuk dapat menaklukkan karma-karma di masa lalu kita.

Para Guru Tantra menyatakan bahwa siswa yang paling berbakat, yang memiliki kebajikannya menggunung di masa lalu, ia cukup melakukan sadhana setidaknya 500 ribu kali. Kalau dia melakukan

(23)

sadhana sebanyak 500 ribu kali dengan catatan memiliki kebajikan yang bergunung-gunung; seperti Guru Atisha misalnya, sebelum menjadi manusia beliau pernah menjalani praktik Buddhis atau praktik kebajikan sebanyak 500 kali inkarnasi.

Jadi ketika mendapatkan pemberkatan dari Gurunya dan mempraktikkan praktik Arya Tara langsung mendapat siddhi dapat berkomunikasi secara langsung (bertatap muka) dengan Arya Tara.

Ini untuk siswa yang sangat berbakat karena kebajikannya sangat besar.

Siswa yang setengah berbakat, kebajikannya tidak menggunung tetapi setengah gunung, bakatnya tidak begitu kuat tetapi setengah saja; setidaknya harus melafalkan sebanyak sejuta kali. Berjapa kepada istadevatanya dengan cara yang telah diajarkan oleh Guru Vajrayana tentunya. Jadi yang kurang berbakat setidaknya sejuta kali.

Yang paling tidak berbakat alias yang karma buruknya banyak sekali; ucapan, pikiran dan perbuatannya penuh dengan dosa-dosa di masa lalu, ia membutuhkan 100 juta kali pelafalan.

Kemudian masalahnya, saya yang mana? Saya yang berbakat, setengah berbakat, atau yang tidak berbakat? Tidak tahu tentunya.

Kesimpulannya kita harus melakukan sebanyak-banyaknya selama kita memiliki kesempatan. Jadi jangan berpikir: “Wah saya berbakat, saya cukup hanya 100 ribu kali atau 500 ribu kali.” Itu kan hanya perasaanmu, praktik bukan perasaan tetapi harus realitas.

Jadi jangan merasa: “Wah, saya dekat dengan para Buddha misalnya, kalau saya berdoa terjadi koq.” Itu juga perasaan. Kalau memang dekat harus bisa seperti Guru Atisha tentunya, bisa bertemu wajah dengan wajah dengan Arya Tara misalnya, dengan Arya Avalokiteshvara. Guru Atisha dekat dengan begitu banyak para Arya dan bisa berjumpa langsung dengan mereka.

Vajrayana mengajarkan kepada kita meskipun para Arya itu telah lama meninggalkan dunia ini tetapi bagi mereka yang telah maju maka para Arya tersebut akan terlihat dan dapat berkomunikasi sebagaimana berbicara dengan orang lain, bisa berbicara dan berkomunikasi seperti halnya dengan manusia meskipun saat ini, tetapi itu harus memenuhi

(24)

persyaratan tertentu misalnya pemurniannya harus kuat, cinta kasih dan bodhicittanya harus kuat, baru tanda-tanda kemajuan akan ada.

Kalau pikirannya hanya mistik saja, berpikir: “Saya berdoa terus supaya bisa ini dan itu.” Ini bukan blessing tapi akan menjadi rintangan.

Kalau diajak puja Jambhala pikirnya: “Wah mau kaya ya?” Kita menjadi Buddhis tidak hanya melihat kekayaan sebagai kekayaan, tetapi yang lebih penting kita harus membiasakan untuk dekat dengan para Buddha-Bodhisattva dengan menyenangkan hati beliau-beliau yaitu dengan melakukan puja, melakukan sadhana; itu adalah cara untuk menyenangkan para Buddha dan para Bodhisattva, jadi tidak ada hubungannya dengan harapan-harapan yang sementara saja.

Kalaupun iya, tentu itu bagian dari keagungan para Buddha dan Bodhisattva.

Dalam praktik Tantra cinta kasih juga harus sangat kuat; kalau cinta kasihnya kurang maka praktik kita tidak akan membawa hasil.

Misalnya kita harus sedikit mungkin marah karena kemarahan sekali saja akan menyebabkan ratusan tahun kebajikan kita hangus, ini menurut sutra Mahayana. Jadi kalau kita marah, amal kita sebulan hanya sepuluh ribu, marahnya setiap hari; kita bisa hitung 100 tahun x 30 sudah berapa? Karma baiknya menjadi defisit, nanti yang nombokin siapa? Apakah neneknya?

Ini adalah praktik Mahayana, di masa lalu banyak para yogi, para bhiksu, para upashaka yang sangat menunjukkan cinta kasih sampai melampaui batas kewajaran. Misalnya ada cerita dalam Vajrayogini Tantra, yaitu Tantra yang termasuk Anuttarayoga Tantra, muridnya lebih cepat mencapai realisasi melampaui gurunya karena cinta kasih muridnya lebih kuat.

Dikatakan ada dua orang, seorang Guru bersama seorang muridnya sedang pergi ke suatu tujuan. Guru dan murid ini adalah praktisi Vajrayogini yaitu salah satu manifestasi dari Sang Buddha dalam wujud wanita. Bila Anda punya karma baik lain kali juga bisa menerima abhisekanya dari seorang Vajracharya, tapi ini adalah Anuttarayoga Tantra yang memerlukan banyak persiapan dan kesanggupan.

(25)

Di dalam perjalanan, guru dan murid ini menjumpai seorang wanita tua yang tergeletak di jalan dan menderita penyakit kusta. Sang Guru, sebagaimana biasanya seorang Guru, tidak ingin repot.

Muridnya bertanya, “Guru, apakah kita tidak menolongnya?” “Biarin saja, dia hanya orang biasa, mungkin memang sudah tidak perlu ditolong karena sudah akan meninggal.”

Muridnya berpikir, “Kasihan sekali wanita ini,” dan akhirnya berpikir, “Gak jadi soal, saya akan menolong dan menggendongnya.”

Ketika digendong, wanita ini kemudian berubah menjadi Vajrayogini dan murid ini dibawa serta oleh Buddha Vajrayogini sehingga dengan tubuh kasarnya muncul di alam Vajrayogini dan memperoleh kesempatan untuk hidup di sana sampai menjadi seorang Buddha.

Sedangkan gurunya yang kurang cinta kasihnya tetap menjadi manusia dan melakukan praktik biasa. Ini adalah contoh bahwa praktik Tantra juga membutuhkan cinta kasih yang kuat. Jangan berpikir hanya mantranya saja yang harus dikuatkan tetapi penolakan samsara juga harus diperkuat, cinta kasih juga harus diperkuat, baru sadhananya yang diperkuat.

Sampai di sini saja, sekarang Mandala Offering singkat.

Referensi

Dokumen terkait

kerangka program asesmen kompetensi sesuai konteks yang ditetapkan diatas. 1.2 Tidak dipersyaratkan khusus untuk tempat uji kompetensi. 1.3 Pelaksanakan asesmen terhadap

Dari hasil perbandingan dengan program THAL dan Kuljian, hasil perhitungan kode komputer PresTHa-C untuk temperatur pendingin, kelongsong, dan temperatur pusat

Penelitian ini menggunakan metode survey explanatory, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan instrumen penelitian kuesioner dan

Hasil penelitian ini bertolak belakang Hariyono, Dyah Suryani, Yanuk Wulandari (2009) dengan pendapat Maurits dan Imam (2008) yang bahwa faktor kelelahan menunjukkan

Kinerja keuangan dapat meningkat jika cost of capital (biaya modal) perusahaan rendah, karena tingkat hutang yang terjadi dalam perusahaan semakin rendah ini yang

Pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah Pusat/Daerah kepada masyarakat guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko

a) Quiters (mereka yang berhenti). Tak diragukan lagi, ada banyak orang yang memilih untuk keluar menghindari kewajiban, mundur dari usahanya. Mereka ini disebut dengan

Dengan demikian, nlai T hitung lebih besar dari nilai T syarat yaitu sebesar 1,64, dan nilai p value sebesar 0.000, yang lebih kecil dari α=0.05, yang berarti bahwa H03 ditolak