• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mathetes Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen p-issn:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Mathetes Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen p-issn:"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 1 No. 1, Mei 2020 e-ISSN: 2722-2098

Tinjauan Alkitabiah Terhadap Prosesi Perkawinan Adat Dayak Tunjung - Kutai Barat

Daniel Trisio

Sekolah Tinggi Teologi Bethel Samarinda danieltrisio1@gmail.com

Abstract

This research was entitled "A Biblical Review of the Traditional Marriage Procession in the Kutai Barat." The research site is located in the Sekolaq Darat sub-district, Kutai Barat. The question that must be answered in this research is whether or not the implementation of the traditional marriage procession can be done by Christians. The research methods used are survey methods, case studies and bible exegesis. The results of this study are: (1) The implementation of the Dayak Tunjung traditional marriage procession at the level of the ruran, nisa newere and the giving of the sign, is still in accordance with the Word of God (Deut. 6: 7;

11:19; Tit. 2: 3-5). All processions that are ritualistic, and symbols that smell like a worshiper should not be done in a procession of customary marriage for Christians (Ex. 20: 3; 23:13;

Deut. 5: 7; Im. 19:31; 20: 6). In terms of implementation time, the customary marriage procession can only be done as difficult as the blessing of a church marriage, this is in order to preserve and respect the holiness of the marriage. In terms of norms, traditional Dayak Tunjung marriages that are not in accordance with God's provisions, for Christians must be adjusted to God's law in the Bible, because God's law is higher than traditional law (Matt. 15: 3).

Keywords: Marriage; Traditional of Dayak Tunjung

Abstrak

Penelitian ini berjudul “Tinjauan Alkitabiah Prosesi Perkawinan Adat Dayak Tunjung di Kutai Barat.” Tempat penelitiannya di kecamatan Sekolaq Darat, Kutai Barat. Pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah apakah pelaksanaan prosesi perkawinan adat ini boleh dilakukan atau tidak oleh orang Kristen. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey, studi kasus dan eksegese Alkitab. Hasil penelitian ini yaitu: (1) Pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung pada tingkatan sebatas ruran, nisa newere dan penyerahan tanda, masih selaras dengan Firman Tuhan (Ul. 6:7; 11:19; Tit. 2:3-5). Segala prosesi yang bersifat ritual, dan simbol-simbol yang berbau penyembahala tidak boleh dilakukan dalam prosesi perkawinan adat bagi orang Kristen. (Kel. 20:3; 23:13; Ul. 5:7; Im. 19:31; 20:6). Dalam hal waktu pelaksanaan, prosesi perkawinan adat hanya boleh dilakukan sesusah pemberkatan perkawinan gereja, hal ini demi menjaga dan menghormati kekudusan perkawinan. Dalam hal norma, perkawinan adat Dayak Tunjung yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah, bagi orang

(2)

Kristen harus disesuaikan dengan hukum Allah dalam Alkitab, karena hukum Allah lebih tinggi dari hukum adat (Mat. 15:3).

Kata Kunci: Perkawinan; Adat Dayak Tunjung

I. PENDAHULUAN

Upacara pengesahan perkawinan adat, dalam istilah Dayak Tunjung dan Benuaq disebut pelulukng. Suku Dayak Tunjung dan Benuaq memiliki tradisi adat istiadat yang hampir sama, dan jikalau ada perbedaan maka perbedaan itu ada pada hal-hal yang kurang prinsipil.1 Begitu pula dengan tata cara prosesi perkawinan adat atau upacara pengesahan perkawinan adat.

Pelaksanaan upacara pengesahan perkawinan adat atau pelulukng tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Ada seorang ahli belian atau penghulu kampung untuk membacarakan mantra-mantra dan doa-doa khusus. Mantra ini tidak boleh diucapkan oleh sembarangan orang karena umumnya menggunakan kata-kata kiasan dengan bahasa kuno yang halus dan kadang bersyair.2 Untuk melaksanakan upacara pelulukng secara lengkap haruslah didahului dengan upacara adat “naik kepala,” dalam bahasa mereka disebut “pesengket kuhukng” yaitu suatu ritual yang dilakukan oleh seorang ahli belian atau penghulu kampung untuk meminta kepada Sanghiang, agar kedua mempelai dijauhkan dari jin dan setan dan diberi hidup yang baik dan setelah itu dilanjutkan dengan acara “ngeruran”.

Bagi masyarakat Dayak Benuaq, pelulukng merupakan salah satu upacara yang sakral.

Upacara ini dilaksanakan secara turun temurun, dan diyakini memiliki nilai khusus yang merupakan ciri khas yang membedakan dengan suku-suku bangsa lainnya di seluruh Indonesia.3 Tradisi adat perlu dilestarikan karena di dalamnya mengandung nilai-nilai dan norma-norma yang luas dan kuat, untuk mengatur dan mengarahkan tingkah laku setiap individu dalam masyarakat adat.4 Namun sejak masuknya agama-agama samawi, upacara yang berpangkal dari adat dan tradisi, makin hari makin ditinggalkan.”5

Di kalangan orang Kristen, pelaksanaan prosesi perkawinan adat ini memiliki pergumulan atau persoalan tersendiri. Ini terlihat jelas dalam kehidupan gereja dan umat yang berbeda dalam menanggapinya. Ada gereja yang mengizinkan pelaksanaan prosesi perkawinan adat dan ada juga yang tidak memperbolehkan. Ada gereja yang mengizinkan pelaksanaan prosesi perkawinan adat boleh dilakukan tetapi setelah pemberkatan perkawinan gereja, namun ada juga yang mengizinkan prosesi perkawinan adat sebelum pemberkatan perkawinan di gereja.

Ketidak seragaman ini menjadi satu hal yang membingunkan bagi umat Kristen. Beberapa pertanyaan besar yang harus mendapat jawab atas pergumulan ini adalah: pelaksanaan prosesi perkawinan adat ini boleh dilakukan atau tidak oleh orang Kristen. Jika boleh kapan waktu

1 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat (Jakarta), Adat Istiadat Daerah Tematis Adat dan Upacara Perkawinan di Kalimatan Timur, (Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1996),146.

2 Y. Pamung, Pelulukng Tata Cara Pengesahan Perkawinan Orang Dayak Benuaq, (Surabaya : Airlangga University Press, 2003),v.

3 Ibid,v.

4 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat (Jakarta),1.

5 Y.Pamung, vi.

(3)

pelaksanaannya, sesudah pelaksaan pemberkatan perkawinan gereja atau sebelum pelaksanaan pemberkatan perkawinan gereja dan apakah semua bagian prosesinya harus dilakukan semua atau adakah batasan-batasannya yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan bagi orang Kristen? Penelitian ini menyajikan sebuah tinjauan Alkitabiah terhadap pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung yang ada di kecamatan Sekolaq Darat, Kutai Barat.

II. METODE PENELITIAN

Metode yang peneliti gunakan untuk menjawab permasalahan penelitian ini adalah dengan menggunakan metode survey, studi kasus dan eksegese Alkitab.

Metode survey adalah metode pengamatan/penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan berkaitan dengan bagaimana pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung bagi orang Kristen di Kecamatan Sekolaq Darat dan persoalan-persoalan apa saja yang ditimbulkan berkaitan dengan pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung bagi orang Kristen dan gereja.

Studi kasus, metode ini diperlukan karena menyangkut suatu populasi yang merupakan kelompok masyarakat dengan karakteristik relatif seragam atau homogen yang merupakan bagian dari dan potret realita (a snaphshot of reality), memuat sesuatu yang merupakan bagian dari kehidupan (a slice of life) dimana terdapat peristiwa-peristiwa (an episode)6 yang menarik untuk dipelajari.

Eksegesis atau eksegese adalah suatu metode mempelajari Alkitab secara sistematis dan teliti untuk menemukan arti asli yang dimaksudkan.7 Melalui metede eksegese ini, peneliti akan melakukan pengalian kebenaran Alkitab secara induktif, dengan pola pendekatan kontekstual, historis, biografi, perbandingan bahasa, etimologi, gramatikal, dan teologis, sehingga mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya, yaitu sesuai kebenaran dalam teks Alkitab.

Melalui metode ini, peneliti akan dapat melihat secara jelas esensi pokok yang sedang diteliti, dan mendapatkan prinsi-prinsip kebenaran akan dipakai sebagai standart kebenaran untuk menguji obyek penelitian.

III. PEMBAHASAN

Pergertian Perkawinan Secara Umum

Kata “perkawinan” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti:

1) Perihal (urusan) kawin; perkawinan; 2) Pertemuan hewan jantan dan betina secara seksual.8 Berasal dari kata dasar “kawin” berarti: 1) Membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah; 2) Melakukan hubungan kelamin; berkelamin (hewan).9 Dalam KKBI, kata “perkawinan” sinonim dengan kata “pernikahan,” Ensiklopedia Indonesia juga menyatakan hal sama, “kawin” sama dengan “nikah.”10

6 Rulam Ahmadi, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yoqyakarta : AR-Ruzz Media, 2014), 69.

7 Gordon D. Fee dan Douglas Stuart, Hermeneutik, (Malang : Gandum Mas, 2001), 8.

8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), 456.

9 Ibid.

10 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta : ANDI OFFSET, 2009), 11.

(4)

Menurut Purwadarminto, istilah “kawin” sama dengan “menjodohkan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri.11 Dalam bahasa Ingris, “perkawinan” disebut “marriage, “ istilah ini oleh Hornby dijelaskan, “the union of two persons as husband and wife” (bersatunya dua orang pribadi sebagai suami istri).”12 Menurut peneliti pengertian ini tidak begitu jelas, sehingga dapat disalah tafsirkan. Makanya dalam dunia barat ada perkawinan antara laki-laki dengan laki-laki, atau perkawinan perempuan dengan perempuan (homoseks: gay dan lesbian).

Menurut Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang dimaksud dengan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.13 Jadi dari perspetif hukum formil, perkawinan adalah suatu ikatan yang legal menurut hukum. Berdasarkan definisi ini, dapat dirumuskan bahwa ada empat esensi perkawinan secara hukum formal, yaitu:

Pertama: bahwa ikatan perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita, ini artinya kalau ada ikatan perkawinan antara dua orang yaitu wanita dengan wanita, atau pria dengan pria, jelas hal ini tidak bisa dibenarkan secara hukum14 dan tidak bisa dikatakan perkawinan, itu adalah suatu penyimpangan.

Kedua: Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir, ini artinya secara lahir harus nampak terlihat, ikatan yang formal atau tertulis dalam ikatan perjajian perkawinan yang sah menurut hukum dan dilakukan secara terbuka, artinya terlihat oleh masyarakat banyak, tidak boleh diam- diam atau sembunyi-sembunyi atau pernikahan dibawah tangan.

Ketiga: Ikatan perkawinan adalah ikatan secara batin; Yang dimaksud dengan ikatan batin ialah ikatan yang tidak nampak secara langsung, ini merupakan ikatan secara psikologis.15 Ini maksudnya antara suami istri, perkawinan itu harus didasarkan pada rasa saling cinta, saling sayang, dan tidak boleh ada paksaan.

Keempat: Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal (langgeng) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar ikatan perkawinan adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu hukum atau ketentuan Tuhan.

Pengertian Perkawinan Adat Dayak Tunjung

Menurut arti kamus, kata “adat” memiliki arti: 1) Aturan (perbuatan dsb.) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; 2) Kebiasaan; cara (kelakuan dst.) yang sudah menjadi kebiasaan. 3) Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dan yang lainnya menjadi suatu sistem.16 Jadi adat dapat kita mengerti sebagai aturan, norma, hukum yang lazim sejak dahulu, yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Dalam pengertian secara sederhana, adat dapat dipahami sebagai suatu kebiasaan tradisi turun temurun, yang menjadi aturan atau norma hukum dalam satu sistem masyarakat suku tertentu, karena setiap suku memiliki tradisi atau budaya tersendiri.

11 Ibid.

12 Ibid.

13 Ibid.

14 Ibid, 12.

15 Ibid.

16 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1196), 6.

(5)

Dengan demikian, perkawinan adat dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan atau upacara di mana seorang pria mengambil seorang perempuan sebagai istri, atau seorang wanita mengambil seorang laki-laki sebagai suami, melalui ikatan perjanjian antara laki-laki dan perempuan secara resmi, berdasarkan tata cara kebiasaan tradisi budaya yang menjadi norma atau hukum dalam satu sistem masyarakat tertentu. Secara sederhana perkawinan adat dapat dipahami sebagai upacara pengesahan perkawinan berdasarkan aturan tradisi, norma budaya suku. Dalam kontek perkawinan Adat Dayak Tunjung berarti upacara pengesahan perkawinan berdasarkan tradisi adat atau norma hukum adat Dayak Tunjung, dalam istilah orang Dayak Tunjung disebut dengan istilah “pelulukng.”17

Tujuan Perkawinan Adat Dayak Tunjung

Bagi masyarakat Dayak Tunjung perkawinan bukan hannya tradisi yang alami, yang biasa dilakukan oleh semua manusia di muka bumi untuk melangsungkan keturunan, tetapi lebih dari itu, perkawinan bagi mereka memiliki tujuan khusus baik secara pribadi, kekeluargaan dan hubungan sosial. Tujuan perkawinan pada suku Dayak Tunjung secara umum adalah untuk mendapatkan keturunan dan juga untuk mendapatkan tenaga/tambahan tenaga untuk pekerjaan bertani.18 Y. Pamung menegaskan bahwa secara umum tujuan perkawinan dapat dirumuskan sebagai usaha untuk mendapatkan keturunan dan mendapatkan tenaga kerja tambahan dalam sebuah keluarga.19 Namun selain itu, ada juga tujuan yang sifatnya khusus dalam perkawinan bagi masyarakat Dayak Tunjung, tujuan khusus ini dibagi dalam dua bentuk perkawinan, yaitu:

1) Perkawinan Endogem, yaitu perkawinan yang masih ada hubungan kerabat atau keluarga.20 Tujuannya: pertama, memelihara hubungan baik dengan keluarga yang sudah agak jauh berhubungan; kedua, memelihara harta pusaka agar tetap berada di dalam lingkungan keluarga; ketiga, menyatukan dua suku yang masih satu keturunan.

2) Perkawinan Eksogam, yaitu bentuk perkawin yang dilakukan dengan orang luar atau bukan kerabat, bisa suku lain, atau orang kampung lain.21 Perkawinan ini bertujuan untuk mengadakan perluasan kekeluargaan, sehingga ada persahabatan dan hubungan baik dengan suku atau kampung lain.22

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa suku Dayak Tunjung memandang perkawinan bukan hannya sebagai sarana bereproduksi belaka, namun secara sosial untuk memperekat hubungan keluarga, mempertahankan harta pusaka keluarga dan membangun hubungan baik dengan suku dan kampung lain. Ini artinya bahwa perkawinan itu terjadi bukan secara alami, tetapi dilakukan dengan sengaja dan memiliki tujuan yang jelas.

17 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Jakarta, Adat Istiadat Daerah Tematis Adat dan Upacara Perkawinan di Kalimatan Timur, (Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1996), 149.

18 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Jakarta, 123.

19 Y. Pamung, Pelulukng Tata Cara Pengeahan Perkawinan Orang Dayak Benuaq, (Surabaya : Airlangga Univerity Press, 2003),4.

20 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), 264.

21 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Jakarta, 123.

22 Ibid.

(6)

Norma-Norma Perkawinan Adat Dayak Tunjung

Dalam perkawinan adat Dayak Tunjung, ada beberapa aturan norma yang dipegang dan menjadi aturan tradisi (tidak tertulis) secara turun temurun dalam masyarakatnya. Norma-norma menjadi pegangan kebiasaan dalam perkawinan bagi masyarakat Dayak Tunjung ini adalah:

1) Perkawinan bisa dilakukan secara endogem dan eksogam

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, perkawinan endogam dilakukan dengan calon pasangan yang masih ada hubungan kekerabatan atau ada hubungan keluarga. Sedangkan perkawinan eksogam, dilakukan bagi mereka yang ingin mencari pasangan hidup dari luar suku mereka, bisa juga orang dari kampung lain. Pada masa sekarang, perkawinan banyak dilakukan namun bukan untuk tujuan adat mula-mula, tetapi lebih pada alasan pribadi.

Meskipun orang Dayak Tunjung pada umumnya mengenal kebebasan dalam mengambil istri atau suami, boleh endogem dan juga eksogam, tetapi idealnya suami atau istri diambil dari dalam lingkungan sendiri (endogem).23

2) Perkawinan dilaksanakan berdasarkan garis parental dengan sistem matrikal

Perkawinan ini dilakukan berdasarkan garis keturunan parental, maksudnya masih ada hubungan kerabat atau kekeluargaan.24 Kemudian sistem perkawinannya dilakukan dengan sistem matrilocal, maksudnya pelaksanaan prosesi perkawinan dilakukan di keluarga pihak perempuan.25 Pola perkawinan seperti ini juga dapat dijumpai pada suku- suku lain seperti suku jawa.

3) Perkawinan bersifat monogami

Perkawinan monogami adalah perkawinan yang dilakukan hanya dengan satu isti.

Suku Dayak Tunjung pada umumnya berpegang teguh pada azas perkawinan monogami, baik pada perkawinan adat, maupun perkawinan secara agama Kristen/Katolik yang mereka anut, sangat menekankan agar setiap perkawinan berdasar azas monogami.26 Perkawinan adat suku Benuaq juga bersifat monogami.27 Hal tersebut senantiasa dijelaskan dan dipegang teguh oleh para tetua adat. Karakter lainnya adalah perkawinan yang tidak terceraikan, hal ini dinyatakan dalam simbol atau lambang yang digunakan dalam upacara perkawinan adat atau pelulukng.28 Kelanggengan perkawinan merupakan idealisme bagi suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Walaupun demikian, dalam prakteknya ada dispensasi adat untuk bercerai, terutama jika ditemui hal-hal berat yang mengancam perkawinan itu, seperti penganiayaan, perzinahan dan sebagianya.29

23 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Jakarta, 123.

24 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996), 730.

25 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Jakarta, 124.

26 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat (Jakarta), Adat Istiadat Daerah Tematis Adat dan Upacara Perkawinan di Kalimatan Timur, (Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1996), 124.

27 Y. Pamung, Pelulukng Tata Cara Pengeahan Perkawinan Orang Dayak Benuaq, (Surabaya : Airlangga Univerity Press, 2003), 3.

28 Ibid.

29 Ibid.

(7)

4) Pembatasan Jodoh

Meskipun orang Dayak Tunjung menekankan pada perkawinan endogam, bukan berarti mereka dapat menikah atau kawin semaunya dengan kerabat atau keluarganya, ada norma-norma yang dipegang dalam perkawinan endogam ini, yaitu:

Pertama, perkawinan endogam hanya boleh dilakukan menurut garis horizon atau dalam bahasa mereka disebut “sempede” (sejajar). Adapun yang paling dekat adalah sepupu sekali yang sudah “bekesimai” (bertukar muka). Contoh: Jika ada dua orang bersaudara, sama-sama laki-laki atau sama-sama perempuan, sebut saja A dan B, kemudian A punya anak laki-laki dan kemudian B punya anak perempuan, maka anak mereka itu disebut saudara sepupu sekali yang sudah “berkesimai boekn” (bertukar nama/muka), maka boleh kawin. Tetapi jika A dan B bersaudara, A laki-laki memiliki anak laki-laki dan B perempuan punya anak perempuan, maka anak mereka itu tidak boleh kawin, karena anak mereka belum “bekesimai boekn” (bertukar muka). Jika mereka melanggar aturan tersebut maka mereka akan dikenakan sanksi adat yang berat.30

Kedua, perkawinan yang bersifat vertikal tidak dibenarkan dalam hukum adat Dayak Tunjung. Jika terpaksa yang boleh hanya nenek dengan cucu, tetapi mereka sudah harus ada dalam garis kekeluargaan yang sudah jauh sekali. Sedangkan perkawinan antara keponakan dengan paman atau bibi tidak diperbolehkan dalam hukum adat Dayak Tunjung.31 Jika hal ini dilanggar, maka akan dikenakan sanksi adat yang berat.

Ketiga, dalam hal mencari jodoh, bagi orang Dayak Tunjung dipengaruhi oleh tingkatan sosial dalam masyarakat. Dalam masyarakat adat Dayak Tunjung, ada empat tingkatan sosial: 1) Tahun (keturunan raja); 2) Mantiq (keturunan bangsawan); 3) Angeq (keturunan orang biasa); dan 4) Ripan (keturunan hamba).32 Dan biasanya perkawinan yang mereka sukai adalah sederajat. Selain ketiga alasan di atas, alasan lain yang mejadi pertimbangan untuk menentukan jodoh adalah keterampilan yang dimiliki oleh muda-mudi yang bersangkutan; kemudian watak orang yang bersangkutan, dan keadaan rumah tangga orang tuanya. Bagi orang Dayak Tunjung keadaan rumah tangga orang tua merupakan cerminan pendidikan yang telah diberikan pada anaknya.

Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat Dayak Tunjung

Dalam masyarakat suku Dayak Tunjung, dapat dijumpai ada beberapa macam bentuk perkawinan dalam perkawinan adat:

1) Perkawinan dengan meminang

Perkawinan dengan meminang adalah suatu perkawinan yang dilakukan seperti lazimnya perkawinan, yaitu dimulai dari perkenalan, peminangan (lamaran) secara resmi.

Jika seorang pemuda ingin melamar seorang gadis, maka pemuda ini akan menyampaikan maksudnya melalui seorang “peleqaq” (orang tua secara umum/tua-tua kampung atau kepala adat) untuk menyampaikan kepihak yang dilamar.33

30 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat (Jakarta), Adat Istiadat Daerah Tematis Adat dan Upacara Perkawinan di Kalimatan Timur, (Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1996), 124.

31 Ibid.

32 Ibid, 125.

33 Ibid, 127.

(8)

2) Perkawinan menggantikan

Dalam perkawinan adat Dayak Tunjung, mereka juga mempunyai tradisi perkawinan menggantikan, kalau dari suami atau istri meninggal dunia, maka dari seorang saudaranya yang meninggal itu dapat dikawini dan menggantikan saudaranya yang meninggal tersebut.

Hal ini disebut “Gentiq Penacung uwat aahat” (menggantikan tempat duduk).34 3) Perkawinan luar biasa

Perkawinan ini dikatakan perkawinan luar biasa dikarenakan perkawinan ini tidak dapat dilangsungkan seperti biasanya, ini dikarenakan adanya rintangan-rintangan yang harus dilalui bersama.

4) Perkawinan lari bersama

Dalam perkawinan ini, pemuda dan pemudi yang ingin kawin lari bersama dengan peminangan atau pertunangan secara formal, ke satu tempat untuk berkumpul dan kawin di situ. Tempat perkawinan itu biasanya tempat keluarga, baik pihak laki-laki atau pihak perempuan, di kampung sendiri atau di kampung lain. Istilah perkawinan ini disebut

“sempayoh” atau “sempayut” di kalangan suku Dayak Tunjung ini disamakan dengan

“perkawinan lari bersama”.35 5) Perkawinan bawa lari

Biasanya perkawinan bawa lari ini dilakukan oleh orang yang sudah kawin dengan orang yang masih bujang, atau sudah kawin juga, sementara orang yang sudah kawin itu meninggalkan istrinya atau suaminya tanpa melalui perceraian. Istilah perkawinan seperti ini disebut “pengkayu” atau “mengko”.

6) Perkawinan poligami/polyandri

Perkawinan poligami atau polyandri juga terjadi di kalangan masyarakat Dayak Tunjung dan juga suku Dayak Benuaq. Poligami adalah seorang laki-laki yang dengan perepuan lebih dari satu atau punya istri lebih dari satu, dalam istilah Dayak Tunjung disebut “pemaduq baweeq,” sedangkan dalam Dayak Benuaq disebut “penuyang bawe.”

7) Perkawinan darurat

Ada satu macam perkawinan lagi dalam masyarakat Dayak Tunjung yaitu perkawinan darurat. Perkawinan ini merupakan perkawinan yang dipandang hina bagi masyarakat suku Dayak Tunjung. Perkawinan semacam ini dilaksanakan jika terjadi pelanggaran seksuil, yaitu menghamili seorang gadis atau wanita.

Syarat-Syarat Perkawinan Adat Dayak Tunjung

Dalam masyarakat Dayak Tunjung ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi jika seseorang ingin kawin, di antaranya:

1) Bagi wanita, sudah akil balik atau biasanya usia 15 atau 16 tahun. Berkaitan dengan hal ini, jika seorang wanita sudah lulus SD dan tidak melanjutkan sekolah maka sudah dianggap dewasa.

2) Bagi pria, pada umumnya usia 18 sampai 20 tahun dan sudah mempunyai mata pencarian yang tetap.

3) Perkawinan dilangsungkan atas dasar kehendak yang bersangkutan sendiri.

34 Ibid.

35 Ibid, 140-141.

(9)

4) Telah mendapat persetujuan dari orang tua, baik pihak pria mapun pihak wanita.

5) Jika yang menikah adalah janda atau duda, maka biasanya akan diteliti dahulu apakah syarat-syarat perceraian, terutama yang berhubungan dengan adat sudah dipenuhi, dan apakah sudah ada permufakatan berkaitan dengan anak yang dibawa dari hasil perkawinan yang dahulu.

6) Selain syarat di atas, biasanya diikuti juga dengan syarat-syarat sesuai agama yang dianut.36

Pada zaman dahulu, menurut Y. Pamung peraturan di dalam proses perkawinan adat sangat ketat. Ada beberapa kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua calon yang hendak melangsungkan perkawinan. Kriteria tersebut senantiasa membuat kedua belah pihak mengadakan penyelidikan bagi calon menantu mereka. Menurut Y. Pamung, menjelaskan sebagai berikut :

1) Bagi si pria, minimum dapat membuat tangkai dan sarung parang, tangkai beliung, sudah dapat bekerja menebas, menebang ladang, membuat sikutan (berangka, kiaang), dan punya inisiatif untuk membantu orang tua mereka.

2) Bagi si wanita, minimum dapat melakukan tugas ibu di dapur, dapat memasak, dapat menumbuk padi, membantu pekerjaan di ladang, bisa mengerjakan barang anyam- menganyam, sifat dan perbuatannya tidak kekanak-kanankan, melainkan sudah dapat bertanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari.37

Selain dari persyaratan-persyaratan di atas, ada hal yang lain yang menjadi pertimbangan dalam melaksanakan perkawinan yaitu bahwa gadis merupakan keturunan yang tidak boleh bertalian darah terlalu dekat atau memiliki hubungan secara vertikal (kakek, nenek, bapak, ibu, paman, bibi, keponakan).38

Prosesi Perkawinan Adat Dayak Tunjung

Dalam tradisi perkawinan adat Dayak Tunjung biasanya ada dua prosesi dalam tata cara adat perkawinan yaitu tata cara melamar atau mereka sebut “seke” dan upacaya pengesahan perkawinan yang mereka sebut dengan istilah “Pelulukng.”39

Prosesi Lamaran (Sake)

Dalam prosesi peminangan ketika seorang pemuda menaruh hati pada seorang gadis, maka pemuda ini akan menyampaikan maksudnya melalui seorang “peleqaq” (orang tua secara umum/tua-tua kampung atau kepala adat) untuk menyampaikan kepihak yang dilamar.40 Pada saat lamaran, setelah “peleqaq” menyampaikan maksudnya, kemudian orang tua sang gadis akan bertanya kepada anak gadisnya apakah ia setuju akan lamaran itu atau tidak. Jika lamaran tidak diterima oleh si gadis, maka hal ini tidak berarti apa-apa setelah pelegaq memberitahukan kepada pihak pemuda, dan ini sudah selesai sampai di situ. Apabila setuju maka “peleqaq” akan

36 Ibid, 144.

37 Y. Pamung, Upacara Daur Hidup Adat Dayak Benuaq, (Surabaya : Airlangga Univerity Press, 2003), 4.

38 Ibid.

39 Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat (Jakarta), Adat Istiadat Daerah Tematis Adat dan Upacara Perkawinan di Kalimatan Timur, (Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1996), 149.

40 Ibid, 127.

(10)

mengembalikan hasil pembicaraan itu kepada orang tua pihak pemuda, dan selanjutnya dari pihak pemuda akan menyerahkan tanda (berupa pakaian laki-laki) kepada si gadis. Tanda ini dinamakan “Sentanaan bekekakuuq” yaitu sebagai tanda saling mengakui/menyetujui satu sama lain41

Bila telah mendapat persetujuan, maka dari pihak keluarga si pemuda melakukan peminangan ketempat si pemudi dengan membawa perlengkapan alat yang disebut “uru- oncangk”, perlengkapan ini terdiri dari :

1) Sebuah piring putih/polos sebagai tanda maksud baik.

2) Sebuah mangkok yang disebut lampang, maksudnya melamar si gadis.

3) Satu lembar kain baju.

4) Satu lembar kain ulap (sejenis kain sarung).

5) Satu lembar batik.Sebuah cicin tanda pengikat (bagi yang sudah beragama Kristen).

6) Sebuah tombak ataupun mandau, yang bermakna sebagai pengganti diri/hati si jaka yang disebut dengan istilah “tunudu lempusu birang ate”.42

Dalam kebiasaan lamaran, piring putih, mangkok dan kain baju itu dibungkus dengan daun biruq dan disebut “sosongk”, kemudian semua barang-barang di atas dimasukan ke dalam melawetn.43 Untuk menjawab lamaran itu biasanya pihak si gadis meminta waktu beberapa hari untuk berunding dengan keluarga, terutama sang gadis.

Jika lamaran ditolak, maka uru-oncangk dikembalikan berserta membayar denda adat yang disebut “awitn uru ancangk”.44 Denda ini sebagai tanda persahabatan dan penghormatan pihak si gadis. Dalam hal penolakkan pinangan, pinangan tersebut bisa diulang sampai tiga kali, dengan syarat menaikan jumlah alat pinangan. Jika sudah tiga kali dan pinangan tersebut tetap ditolak, maka pihak pemuda tidak akan mengulangi lagi. Jika lamaran itu diterima, maka orang tua si gadis dan keluarga lainnya harus menyerahkan barang-barang kepada orang tua pihak si pria sebagai tanda diterima, berupa :

1) Satu buah piring putih/polos.

2) Satu buah mangkok.

3) Satu lembar baju laki-laki.

4) Satu lembar kesapu/ikat kepala laki-laki.

5) Satu lembar belet/cawat.

6) Sebuah cincin.

7) Sebuah tombak/mandau.45

Bersamaan penyerahan barang-barang tersebut di atas, orang tua si gadis mengadakan mufakat melalui utusan dalam hal menetapkan besarnya sumahan (mas kawin), antara lain berupa antang (tempayan), gong yang mereka sebut “ului ketipe” atau “serat berkas”.

Sumahan ini nanti akan diserahkan pada saat upacara pengesahan perkawinan atau pelulukng.

41 Ibid.

42 Ibid, 147.

43 Ibid.

44 Ibid.

45 Ibid,148.

(11)

Prosesi Pengesahan Perkawinan (Pelulukng)

Pada umumnya upacara pengesahan perkawinan, dalam istilah mereka disebut

“Pelulukng”, dilaksanakan pada saat musim panen padi. Karena pada saat panen padi di sana banyak persediaan bahan –bahan makanan padi dan yang lain-lainnya. Sebelum acara pelulukng dilaksanakan, maka kedua belah pihak diharuskan memenuhi syarat tanda ikatan dalam suatu perkawinan yang disebut “Asengk”

1) Asengk yaitu tombak, mandau, cincin, gelang, pisau dan pakaian.

2) Cat rekah/sirat-berkas yaitu antang atau gong.

3) Pengingat yaitu piring putih atau mangkok putih.46

Di sini kadang kala asengk boleh diganti dengan uang sebesar nilai harga gong, karena mungkin cari barangnya sekarang sudah sulit atau langka. Selain itu dari kedua mempelai diminta mengeluarkan mas kawin yang terdiri dari benda-benda kuno. Besarnya mas kawin tidak tentu, tergantung kemampuan. Dalam masyarakat adat, mas kawin memiliki arti sangat penting, karena mas kawin tersebut sebagai dasar bagi kepala adat untuk memutuskan denda penyelesaian perceraian.47

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan secara lengkap, biasanya dilakukan dua upacara yaitu Upacara Pesengket (naik kepala) dan upacara Ngeruran.

1) Upacara Pesengket

Upacara pesengket biasanya dilakukan di luar rumah yaitu di halaman atau di lapangan. Acara ritual ini dipimpin oleh serang penghulu kampung atau seorang dukun belian dan didampingi oleh kepala adat. Tujuan acara ini adalah agar penghulu kampung yang bertugas mengawinkan mempelai wanita, meminta kepada Sanghiang agar kedua mempelai dijauhkan dari jin dan setan dan diberi hidup yang baik.48 Dalam bahasa mereka disebut ngoding nan na’as, layang nan lihang49. Dalam prosesi ritual ini pasangan pengantin ditaruh di atas Juhan (balai-balai), kemudian dibacarakan doa atau dimemang, yaitu dibacakan mantera, setelah itu kedua mempelai dimandikan dengan air kembang yang disebut Nota. Berikutnya setelah prosesi memandikan pengantin selesai, kedua turun dari juhan dan kembali kerumah adat (lamin) atau kalau sekarang masuk kerumah tempat acara.

Tahap selanjutnya dilanjutkan dengan upacara adat “naik kepala” atau “pesenget kuhung”. Acara ritual pesengket kuhung ini dilaksanakan dihalaman rumah/lapangan dan disedikan empat buah bambu guna mengantung bendera batik dalam empat buah sudut yang mereka sebut ori kelayuq.50 Dan mereka juka menyediakan “parak rantai” dalam sebuah baki berisi : dua buah piring berisi beras, satu lembar sarung perempuan, satu lembar baju laki-laki, satu lembar kesapu dan satu buah masang bungkus. Dalam ritual ini juga disediakan tempurung kepala manusia. Konon duhulu kepala ini didapat dari adat ngayau, yaitu mengadakan perjalanan kekampung lain guna membunuh orang untuk diambil kepalanya. Adat ngayau ini sekarang sudah tidak ada lagi karena sudah tidak

46 Ibid, 128.

47 Ibid, 149.

48 Ibid, 149-150.

49 Ibid, 150.

50 Ibid.

(12)

sesuai dengan tuntutan zaman. Untuk saat sekarang, untuk keperluan pesengket kuhung digunakan tulang kepala peninggalan nenek moyang.51 Dalam ritual pengeset kuhung tempurung kepala akan dibungkus dengan kain biru/daun biru.

Dalam prosesi ini, sebagai awal dimulainya acara, maka akan dipukul gong atau gending dengan alat lainnya yang mereka sebut domex. Penghulu kampung / kepala adat seorang diri akan berjalan ke hutan (biasanya di belakang rumah) membawa nasi beragi dan tepung tawar yang disebut encoy bowok atau encon okan. Sesampai di hutan, penghulu kampung / kepala adat meletakan nasi itu di atas patung (Bentaraq Tuhaq) sambil membacakan mantera yang berarti memohon kepada “Sanghiang” agar dijauhkan dari penyakit dan roh-roh jahat selama diadakan acara pesengket kuhung. Setelah itu penghulu kampung akan kembali dan mengoleskan tepung tawar itu dengan minyak ke dahi para pengunjung yang disebut “kopet ubat pekuliq jus”. Setelah itu penghulu kampung langsung menuju ke pepohonan kayu tempat “naik kepala” yang disebut “tukar nayuq”. Pohon-pohon ini haruslah pohon buah-buahan, seperti pohon durian, pohon rambutan dalan lain-lain. Para pengikut upacara kemudian kembali dan mengambil kepala yang akan digunakan dalam upacara tersebut, sambil berseru/berteriak dengan gembira ria, yang disebut teri lele. 52 Kemudian kepala itu diletakkan di atas pohon tukar nayuq.

Penghulu kampung akan mengambil tombak yang dipegang dengan tangan kiri dan diikuti oleh seluruh pengunjung dan menhadap ke arah tenggelamnya matahari (arah barat) yang bermakna membuang na’as atau sial dalam bahasa mereka “ngoding na’as”. Pada waktu itu, penghulu kampung mengucapkan mantera dan pada setiap bait tertentu mantera itu disambut dengan tari “teri lele” dan setelah itu disambung dengan mantera lagi. Ini dilakukan terus menerus secara bergantian antara “memang” dan “teri lele”. Setelah itu arah tombak dipindahkan dari arah barat ke arah timur dengan cara yang sama. Setelah itu kepala dipindahkan dari “tukar nayuq” dan dibawa ke dalam “juhan” dan diletakkan dalam keliau atau perisai. Dan menurut kepercayaan kepala itu harus diberi makan berupa ayam panggang satu ekor, lemang delapan ruas, dan telur ayam masak satu butir.

Pemberian makan ini dilakukan oleh penghulu kampung/kepala adat dengan cara mengambil sedikit daging ayam, telur dan lemang dan ditaruhnya di atas sebilah mandau dengan diletakkan secara berselang-seling. Dan sementara itu para pengunjung beramai- ramai menari mengelilingi juhan dengan tarian ngelewai. Setelah selesai pemberian ritual memberi makan ini, maka selesailah acara ritual pesengket kuhung dan pengunjung dipersilahkan naik kerumah adat untuk acara ruran atau ngeruran.

2) Upacara Ngeruran

Upacara “ngeruran” atau “ruran” ialah hidangan makanan yang dibuat berbaris memanjang disesuaikan dengan kondisi ruangan. Acara ini bisa saja kita sebut dengan acara pesta makan panjang. Jenis makanannya bermacam-macam disesuaikan dengan kondisi kemampuan yang punya pesta. Semua makanan diletakan dalam piring dan piring diletakan dalam “par” atau baki. Tiap “par” berisi nasi yang berbentuk gunung dan lauk- pauk untuk empat orang. Setelah semua orang telah duduk menghadap hidangan makanan, maka pasangan mempelai akan dipanggil dan didudukan pada tempat yang telah

51 Ibid.

52 Ibid.

(13)

disediakan yaitu sebuah gong besar untuk duduk dan batu asahan sebagai alas kaki.53 Kemudian acara dimulai dipimpin penghulu kampung / kepala adat, acara ini disebut upacara Pejenak Petakar, nota dimulai lagi jelep memerengin adek lampung memelimai.

Tujuannya agar hidup kedua pengantin banyak anak, kebunnya jadi, padinya jadi, dan ternaknya berlimpah dan keduanya sehat walafiat sepanjang hayatnya.54

Setelah ritual di atas, kemudian dilanjutkan dengan memberi makan kepada kedua mempelai. Dalam prosesi pemberian makan ini:

Pertama, nasi dan ayam panggang diletakkan di atas mandau sebanyak tujuh tumpuk (besar tumpukan sebesar jari), kemudian nasi ini diberikan kepada kedua pengantin dan oleh kedua pengantin nasi ini tidak dimakan, akan tetapi diludahi sambil menghadap ke barat dan nasi tersebut langsung dibuang. Menurut kepercayaan, bilangan tujuh adalah bilangan yang sial ke arah kematian dan karena itu tidak dimakan melainkan dibuang untuk diterima leluhur yang telah mati/meninggal.

Kedua, berikutnya penghulu kampung akan menaruh delapan tumpuk nasi di atas mandau dan kembali memberikannya kepada kedua pengantin dan lansung dimakan oleh keduanya sambil menghadap matahari terbit. Setelah prosesi acara memberi makan pengantin selesai dilanjutkan dengan acara makan bersama.

Setelah makan bersama, kemudian dilanjutkan dengan acara pemberian nasehat atau istilah mereka disebut “Nisa Newere” yang dipimpin oleh kepala adat atau wakilnya.

Acara ini meliputi :

a) Pemberian nasehat perkawinan oleh orang tua kedua belah pihak;

b) Menegaskan hukum dan peraturan perkawinan adat yang belaku dalam lingkungan kedua pengantin. Dalam hal ini hukum peraturan Adat Dayak Tunjung.

c) Penyerahan empat buah piring putih oleh masing-masing keluarga pengantin atas nama pengantin kepada kepala adat sebagai tanda penyerahan”Rumah Tangga” yang baru dalam lingkungan adat. Tanda ini bisanya disebut “Ramaq”. 55

Berkaitan dengan penyerahan tanda atau biasa disebut “tanaq,” baik berupa piring putih, dan tanda-tanda lain dalam upacara perkawinan adat, hal ini dimaksudkan :

a) Tanaq pengingat. Tanda ini berupa piring putih yang diberikan kepada Kepala Adat, Kepala Kampung, dan beberapa tokoh masyarakat. Maksud tanda tersebut ialah bila ada perselisihan antara kedua mempelai dalam menjalankan hidup berumah tangga, maka bagi yang menerima tanaq pengingat tersebut berhak memberikan teguran berupa nasehat.

b) Tanaq tuhaq. Tanda tersebut dikeluarkan oleh masing-masing mertua sebesar satu buah mekau (setengan buah antang). Tanda tersebut dimaksudkan bahwa masing- masing mertua dan keluarga garis lurus ke atas dari suami dan istri menerima menantunya sebagai anggota keluarga yang sah dalam keluarga.

c) Tanaq tiaq. Tanda ini dikeluarkan oleh masing-masing mertua sebesar satu buah jie kecil (seperdelapan buah antang). Tanda ini dimaksudkan bahwa semua kakak dan

53 Ibid, 152.

54 Ibid.

55 Ibid, 153.

(14)

adik dan semua keluarga garis lurus kesamping dari suami dan istri menerima ipar sebagai anggota keluarga yang sah dalam keluarga.

d) Tanaq turus. Tanda tersebut diberikan oleh orang tua suami kepada orang tua si istri dan sebaliknya dari orang tua istri kepada orang tua pihak laki-laki masing-masing sebesar satu buah tombak. Tanda tersebut dimaksudkan bahwa perkawinan tersebut telah direstuai oleh kedua belah pihak dan diresmikan menurut prosedur adat yang sebenarnya.

e) Siret berkas. Tanda tersebut dikeluarga oleh masing-masing orang tua sebesar sepuluh buah antang dan satu buah gong. Tanda tersebut ditujukan untuk mempererat hubungan perkawinan tersebut.

f) Asengk. Tanda tersebut dikeluarkan oleh pihak suami sebesar satu buah gong. Tanda ini dimaksudkan bahwa laki-laki mengaku benar-benar mengambil perempuan tersebut untuk dijadikan istrinya.

Tanda ini disimpan oleh mertua si suami, jika dalam tiga tahun keluarga mereka berjalan dengan baik maka akan dikembalikan pada si suami, tetapi jika sebelum tiga tahun terjadi perceraian yang disebabkan oleh si suami, maka tanda ini akan hilang diambil pihak istri dan tidak dapat dituntut.

Adat Istiadat dalam Perspektif Alkitab

Untuk dapat memahami konsep adat istiadat dalam Alkitab, ada baiknya peneliti mengajak pembaca untuk mengerti terlebih dahulu istilah adat istiadat dalam Alkitab. Dalam Alkitab ada beberapa istilah untuk menjelaskan kata adat atau adat istiadat :

Pertama; Kata “adat” dalam Alkitab, dalam PL terdapat dalam Hakim-Hakim 11:39;

“...Dan telah menjadi adat di Israel,” kata “adat” dalam bahasa ingrisnya “custom”56 terjemahan dari istilah kata

קֹח

choq yang berarti : statute, ordinance, limit, something prescribed,57 (undang-undang, peraturan, batas, sesuatu yang ditentukan ). Bentuk aslinya dari kata

קחת

“cha’qaq” artinya : to cut out, decree, inscribe, set, engrave, portray, govern.58 (untuk memotong, keputusan, menuliskan, menetapkan, mengukir, menggambarkan, mengatur).

Dari arti kata di atas, maka arti “Dan telah menjadi adat di Israel” dapat diartikan “telah menjadi undang-undang di Israel; telah menjadi peraturan di Israel, telah menjadi batas atau sesuatu ketentuan di Israel.”

Kedua; Kata “adat” dalam Hakim-hakim 18:7, “Sesudah itu pergilah kelima orang itu, lalu sampailah mereka ke Lais. Dilihat merekalah, bahwa rakyat yang diam di sana hidup dengan tenteram, menurut adat orang Sidon, aman dan tenteram. Orang-orang itu tidak

kekurangan apapun yang ada di muka bumi, malah kaya harta. Mereka tinggal jauh dari orang Sidon dan tidak bergaul dengan siapapun juga.” Dalam bahasa Ingrinya “manner” (cara)59, diambil dari istilah kata

ט ָּפ ְׁש ִמ

mishpat yang artinya : judgment, justice, ordinance60

56 KJV, kata “adat”, Bible Works 9 off line, 08-08-2015.

57 Strong’s, data for “and it was a custom”, Bible Works 9 off Line, 08-08-2015.

58 Ibid.

59 KJV, kata “adat”, Bible Works 9 off line, 08-08-2015.

60 Strong’s, data for “after the manner”, Bible Works 9 off Line, 08-08-2015.

(15)

(pertimbangan, keadilan, peraturan), dalam versi GBT κρίσις (krisis) artinya judgment (pertimbangan). Jadi berdasarkan arti kata di atas, “menurut adat Sidon” itu dapat diartikan :

“menurut cara atau menurut pertimbangan orang Sidon”.

Ketiga; Kata “adat istiadat” dalam 2 Raja-raja 17:8 “dan telah hidup menurut adat istiadat bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari depan orang Israel, dan menurut ketetapan yang telah dibuat raja-raja Israel.” Dalam bahasa Ingrisnya “statute”61

diterjemahkan dari istilah kata

ה ָּק ֻח

chuqqah62 artinya : statute, ordinance, limit, enactment, something prescribed63. (undang-undang, peraturan, batas, pengundangan, sesuatu yang

ditentukan), bentuk aslinya dari kata

קֹח

choq, artinya : statute, ordinance, limit, something prescribed, (undang-undang, peraturan, batas, sesuatu yang ditentukan ). 64 Jadi “... telah hidup menurut adat istiadat...” bisa diartikan “telah hidup menurut undang-undang; telah hidup menurut peraturan, telah hidup menurut batas, telah hidup menurut pengundangan, telah hidup menurut sesuatu yang ditentukan”.

Dalam PB, ada tiga istilah yang sering dipakai untuk pengertian “adat istiadat” atau

“kebiasaan”. Istilah pertama : “adat istiadat” terdapat dalam Matius 15:2, istilah yang dipakai παράδοσιν (paradosin) diambil dari kata παράδοσις (paradosis) artinya giving up, giving over, pemakaiannya untuk tradition dan ordinance.65 Dalam pemahaman arti kamus tradition berarti “tradisi” dan “ordinance” artinya : tata cara, peraturan, peraturan setempat.66 Jadi adat istiadat dapat dimengerti sebagai tata cara, peraturan atau peraturan setempat. Istilah kata ini juga terdapat dalam Matius 15:2, 6; Markus 7:3, 5, 8f, 13; 1 Korintus 11:2; Galatia 1:14; Kolose 2:8; 2 Tesalonika 2:15; 3:6.

Dan istilah kedua : “kebiasaa” dalam Matius 27:15; Kata “kebiasaan” dalam Alkitab terjemahan bahasa Ingris versi KJV : memakai “wont” (kebiasaan)67, diterjemahkan dari istilah

εἰώθει

eiotei, diambil dari kata ἔθω (etho)68 yang memeiliki arti : menjadi kebiasaan; yang biasa. Dalam pemakaiannya, dipakai untuk arti “custom” (adat, kebiasaan). Namun

pemakaiannya secara umum kebanyakan untuk arti “kebiasaan”69 (bandingan dengan Matius 27:15; Markus 10:1; Lukas 4:16; Kisah Para Rasul 17:2). Berdasarkan dari istilah “etho”,

“kebiasaan” juga dapat dimengerti sebagai “adat”. Jadi adat bisa disebut juga kebiasaan.

Dan istilah ketiga adalah συνήθεια (sunetheia); memiliki arti “kebiasaan”dalam Yohanes 18:39; dalam versi KJV : custom (adat; kebiasaan; adat istiadat.). Jadi kata συνήθεια sunetheia penekanan artinya adalah tradisi kebiasaan, ini terlihat jelas dalam Yohanes 18:39;

“Tetapi pada kamu ada kebiasaan, bahwa pada Paskah aku membebaskan seorang bagimu.

Maukah kamu, supaya aku membebaskan raja orang Yahudi bagimu?" Jadi dari ketiga arti istilah yang dipakai dalam PB, dari kata “paradosis, etho, dan sunetheia ” memiliki arti yang tidak jauh beda yaitu adat atau adat istiadat adalah tradisi, tata cara, peraturan atau peraturan

61 Op. Cit.

62 Strong’s, data for “in the statutes”, Bible Works 9 off Line, 08-08-2015.

63 Ibid.

64 Strong’s, data for “and it was a custom”, Bible Works 9 off Line, 08-08-2015.

65 Ibid.

66 Kamusku ” arti kata “traditio dan ordinance”, Kamus eletronik off line 10-08-2015.

67 KJV, kata “adat”, Bible Works 9 off line, 08-08-2015.

68 Strong’s, data for “custom” <4914>, Bible Works 9 off Line, 10-08-2015.

69 Ibid.

(16)

setempat; kebiasaan, dan tradisi kebiasaan. Jadi adat atau adat istiadat adalah tata cara, peraturan atau peraturan setempat yang bisa disebut tradisi atau kebiasaan atau juga tradisi kebiasaan, itu memiliki arti yang sama dalam pemahaman.

Dari pemahaman arti kata di atas, maka peneliti dapat disimpulkan bahwa adat dan adat istiadat dalam PL memiliki pengertian yang sama, yang berarti “undang-undang, peraturan, sesuatu ketentuan untuk membatasi atau untuk mengatur dan juga bisa berarti cara atau pertimbangan.” Sedangkan dalam PB, adat istiadat memiliki pengertian, “tradisi, tatacara, atau peraturan setempat dan juga biasa juga disebut sebagai kebiasaan, tradisi kebiasaan atau adat.”

Apakah salah jika orang percaya mengikuti adat istiadat yang berlaku di masyarakat?

Alkitab menunjukkan bahwa ketika Yesus masih bayi, waktu genap usianya delapan hari, Yesus disunat seperti tradisi orang Yahudi, dan genap waktu pentahiran Yesus juga dibawa ke Yesusalem untuk diserahkan kepada Tuhan, dan orang tua Yesus juga mempersembahkan korban sesuai dengan ketetapan adat Yahudi, yaitu Hukum Taurat sebagi sumber ketetapan hukum Yahudi (Luk. 2:21-23). Jadi Yesus hidup dan dibesarkan dalam lingkungan adat istiadat Yahudi dan sangat menghargai adat istiadat tersebut.

Bagaimana dengan perspektif Rasul Paulus terhadap adat istiadat? Rasul Paulus dahulunya adalah seorang yang kuat memegang adat tradisi Yahudinya (Gal. 1:14). Tetapi Rasul Paulus juga menentang, jika adat Yahudi itu dipaksanakan untuk dilakukan pada orang-orang non-Yahudi, contoh dalam hal sunat (Kis. 15:2). Dari sisi ajaran tradisi lokal yang ada di Kolose, Rasul Paulus menasehatkan bahwa orang-orang Kristen harus berhati-hati dengan ajaran-ajaran yang bersumber dari tradisi. Rasul Paulus melihat ada ajaran-ajaran adat atau tradisi turun-temurun yang harus juga diwaspadai. Nasihat Rasul Paulus “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus” (Kol. 2:8). Dalam bagian ini, Rasul Paulus tidak sedang menasihati orang percaya terhadap bahaya filsafat (disiplin ilmu), tetapi di sini Rasul Paulus menasihati supaya berhati-hati dengan “ajaran turun temurun”, ajaran turun temurun adalah adat istiadat.70

Bagi Rasul Paulus, adat istiadat nenek moyang yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus tidak boleh dilakukan oleh orang Kristen. “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita.

Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” (Kol. 2:6-7). Menurut Rasul Paulus sentral ajaran Kristen adalah Kristus Yesus dan ajaran-Nya. Orang Kristen harus hidup di dalam Kristus, berakar dan bertumbuh di dalam Kristus.

Prosesi Perkawinan Adat Dayak Tunjung dalam Perspektif Alkitab

Telah dipaparkan di atas mengenai pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung, apakah dalam ajaran Kristen memperbolehkan melakukan hal-hal ini? Pada bagian akhir ini, peneliti akan menyajikan sebuah tinjauan Alkitab terhadap pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung yang ada di kecamatan Sekolaq Darat, Kutai Barat.

70https://andregiawaministry.wordpress.com/2012/12/06/kajian-adat-istiadat-dalam-perspektif-iman- kristen/

(17)

Adat yang Bersifat Ritual

Misalnya saja upacara pesengket, meskipun dari sisi tujuan ini bagus yaitu meminta kepada Sanghiang agar kedua mempelai dijauhkan dari jin dan setan dan diberi hidup yang baik, namun bagi orang percaya hal ini jelas bertentangan iman Kristen, karena hal ini dapat dipandang sebagai menduakan Tuhan. Alkitab melarang dengan keras orang percaya menduakan Tuhan. Ini masuk dalam kategori dosa pemyembahan berhala (Kel. 20:3; 23:13; Ul. 5:7).

Pada saat Yesus dicobai, Yesus ditawari kerajaan dan kekayaan oleh iblis, dengan syarat Ia harus menyembah iblis, dan Yesus menjawab "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!" (Mat 4:10) Bagi orang Kristen, apapun yang ditawarkan iblis harus ditolak. Apapun bentuk ritual penyembahan selain pada TUHAN, tidak boleh dilakukan. Yesus sendiri menegaskan hal ini

“...Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!"

Hal lain yang merupakan ritual yang berbau penyembahan adalah pembacaan mantera pada upacara pejenak patakar dan juga acara memberi makan kepada kedua mempelai yaitu Pertama; nasi dan ayam panggang diletakkan di atas mandau sebanyak tujuh tumpuk (besar tumpukan sebesar jari), kemudian nasi ini diberikan kepada kedua pengantin dan oleh kedua pengantin nasi ini tidak dimakan, akan tetapi diludahi sambil menghadap ke barat dan nasi tersebut langsung dibuang. Menurut kepercayaan, bilangan tujuh adalah bilangan yang sial ke arah kematian dan karena itu tidak dimakan melainkan dibuang untuk diterima leluhur yang telah mati/meninggal. Kedua; Berikutnya Penghulu Kampung akan menaruh delapan tumpuk nasi di atas mandau dan kembali memberikannya kepada kedua pengantin dan lansung dimakan oleh keduanya sambil menghadap matahari terbit.

Kedua prosesi tersebut jelas tidak dibenarkan menurut Alkitab. Ini bukan persoalan duduk di atas gong, tetapi ritual mantranya pada saat duduk di gong ini tidak boleh dilakukan, karena hal ini dinilai memiliki unsur pemujaan atau ritual pada roh-roh orang mati. Alkitab melarang umat Tuhan berpaling kepada arwah, atau meminta tolong pada roh-roh orang mati (Im. 19:31), orang yang berpaling pada arwah sama saja dengan melakukan zinah rohani dan Tuhan menentangnya (Im. 20:6).

Peralatan Adat yang Bersifat Simbol

Ini lebih berupa perabot atau peralatan adat yang menjadi lambang atau simbol, yang di dalamnya ada nilai-nilai yang diajarkan, misalnya: segala perlengkapan dari prosesi lamaran dan juga acara ngeruran dan acara nisa newere; Contohnya: uru oncangk : mandau, lading, kain sarung, baju pria dan wanita, piring putih, mangkok putih dan tombak; serta sumahan atau siret berkas berupa: antang dan gong. Dalam prosesi ruran pada acara nisa newere, ada petuah atau nasehat orang tua untuk kedua mempelai, dan juga penegasan tentang hukum dan peraturan perkawinan adat yang berlaku dalam lingkungan kedua mempelai, di adakan penyerahan tanda ramaq meliputi: Tanaq pengingat, Tanaq tuhaq, Tanaq tiaq dan Tanaq turus, serta Siret Berkas dan Asangk.

Benda-benda di atas itu hanya sebagai sarana perlengkapan adat dan tanda ikatan untuk pengesahan sebuah perkawinan. Itu semua bersifat tanda atau simbol yang di dalamnya ada pesan atau maksud adan nilai dalam membuat suatu ikatan dalam perkawinan secara adat, seperti

(18)

yang peneliti sudah jelaskan pada prosesi lamaran (sake) dan Pengesahan perkawinan (pelulukng).

Dari sisi kebenaran Alkitab, ini dipandang sebagai ketentuan tatacara aturan pengesahan perkawinan adat. yang harus diikuti dalam hukum adat formal bagi semua masyarakat. Karena dari sisi pemerintahan adat adalah pemerintahan yang formil di Kutai Barat, karena Kutai Barat adalah Kabupaten yang memegang teguh norma-norma hukum adat dalam mengatur hubungan sosial masyarakatnya. Alkitab mengajarkan, “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. ..” (Ibr. 3:17a). Pemimpin di sini juga termasuk pemimpin adat, yang diberi wewenang pemerintah untuk menjalankan aturan norma sosial dalam masyarakat.

Rasul Petrus juga mengajarkan “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi,” (1Ptr. 2:13). Ketundukan kepada lembaga manusia (lembaga adat) yang ada adalah bentuk atau wujud ketundukan karena Allah.

Karena Allah yang memberi otoritas kepada pemerintah “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah.” (Rm. 13:1). Jadi sajauh itu berupa persyaratan atau tanda pengesahan, dan berupa aturan ketetapan dalam perkawinan adat Dayak Tunjung, yang merupakan aturan pemerintahan yang ada, hal ini diperbolehkan untuk dilakukan, dengan catatan asalkan norma adat itu tidak bertentangan dengan hukum Allah dalam Alkitab.

Waktu Pelaksanaan Prosesi Perkawinan Adat Dayak Tunjung

Berkaitan dengan waktu pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung, kepala adat menjelaskan bahwa untuk waktu pelaksanaannya fleksibel,71 tergantung pada permintaan keluarga atau gereja, jika yang akan melakukan perkawinan adalah warga gereja atau jemaat.

Jadi pelaksanaan perkawinan adat bisa sesudah acara pemberkatan perkawinan gereja, dan juga bisa saja sebelum acara pemberkatan perkawinan gereja, bagi adat tidak ada masalah. Hanya saja ada satu filosofi yang dipegang dalam tradisi adat Dayak Tunjung, bahwa prosesi perkawinan adat itu harus dilakukan pada saat pagi hari atau pada saat matahari mulai naik, tidak boleh lewat tengah hari. Ini dalam tradisi, biasa dilakukan sekitar jam sembilan atau jam sepuluh pagi. Kenapa seperti itu, karena mereka memiliki filosofi bahwa waktu acara ini menjadi lambang perkawinan mereka, supaya perkawinan mereka terus naik, seperti matahari terbit.72

Lepas dari pemahaman filosofi adat Dayak Tunjung, bagi orang Kristen, menurut pandangan peneliti, penerapan waktu pelaksanaan yang benar dalam melaksanakan prosesi perkawinan adat adalah sesudah pemberkatan perkawinan gereja. Adapun dasar pertimbangannya :

1) Esensi perkawinan Kristen, perkawinan merupakan sebuah perjanjian ilahi yang melibatkan Allah di dalamnya. Allah turut hadir dalam pembuatan perjanjian itu. Esensi perkawinan mengandung arti tidak hanya sebuah kontrak bilateral tetapi sebagai sebuah pertalian yang kudus antara suami dan istri, tetapi suatu perjanjian (covenant) yang kudus di hadapan Allah. Ada keterlibatan Allah di dalam perkawinan.

71 Ibid.

72Ibid.

(19)

2) Demi menjaga kekudusan perkawinan di hadapan Allah. Pandangan ini juga yang dipegang oleh Gereja Kemah Injil Indonesia yang secara tegas mengeluarkan edaran bagi semua jemaatnya, bahwa prosesi perkawinan adat boleh dilaksanakan sesudah prosesi pemberkatan perkawinan gereja.73 Hal ini kenapa harus dilakukan, karena berdasarkan tradisi adat, jika seseorang sudah menikah adat mereka sudah bisa kumpul tidur bersama selayaknya suami istri. Menurut gereja hal ini tidak boleh terjadi sebelum mereka mendapat pemberkatan perkawinan di gereja.

3) Prosesi perkawinan adat dilakukan sebagai bentuk pengakuan dalam masyarakat adat.

Berdasarkan hasil data wawancara terhadap jemaat, jika ditanya kenapa mereka melaksanakan prosesi perkawinan adat? Kebanyakkan jika disimpulkan, mereka melaksanakan prosesi perkawinan adat hanya sebagai pemenuhan syarat adat, untuk mendapat pengakuan adat, bahwa mereka telah melakukan perkawinan adat, maka adat akan bertanggung jawab untuk menjaga perkawinan itu jika ada masalah.74 Karena jika tidak melakukan perkawinan adat, jika ada persoalan adat tidak akan mengurus persoalan mereka, karena adat tidak mengetahui.75

4) Dari sisi tradisi perkawinan dalam Alkitab, peneliti mendapati fakta bahwa tradisi perkawinan dalam Alkitab sangat menjunjung tinggi kekudusan dalam perkawinan. Hal ini terlihat dalam dua hal: Pertama, pada saat masa pertunangan, mereka tidak boleh kumpul (dipingit). Dalam Alkitab perempuan yang sudah bertunangan kadang-kadang disebut 'istri' dan mempunyai tanggung jawab kesetiaan yang sama (Kej.29:21, Ul.22:23- 24; Mat.1:18, 20), dan laki-laki yang sudah bertunangan disebut 'suami' (Yl.1:8;

Mat.1:9)76 Namun mereka belum bisa kumpul, jika dalam masa pertungan ini sang gadis ketahui selingkuh atau tidah setia maka pihak laki-laki dapat menceraikan atau memutukan pertungan itu, kasus ini terjadi pada Yusuf dan Maria, Yusuf berniat menceraikan Maria karena tahu maria hamil (Mat. 1:18-19 bandingkan dengan Ul. 24:1). Kedua, dalam tradisi perkawinan dalam Alkitab, ada suatu tradisi Bukti kedaraan; Pakaian dalam perempuan yang bernoda darah dijadikan bukti, bahwa dia anak dara (Ul. 22:13-21). Adat ini masih berjalan terus (sampai sekarang) di Asia Barat.77

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan kajian Alkitab terhadap pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung di kecamatan Sekolaq Darat, Kutai Barat didapatkan prinsip kebenaran:

1) Adat adalah norma yang mengatur kehidupan di dalam masyarakat, dan kita adalah bagian dari masyarakat, sehingga tidak bisa dilepaskan dari kehidupan seseorang Yesus juga dibesarkan dalam tradisi Yahudi dan sangat menghargai adat istiadat ini (Luk.2:21-23).

Dengan demikian, adat tidak harus dijauhi, sebagaimana Yesus juga tidak menjauhi adat dalam pelayanan-Nya (Lih. Yoh. 2:2).

73 Tadius Lawing, Wawancara Gembala Sidang GKII Sekolaq Darat, 30 Juli 2015.

74 Alexander Ngau, Wawancara Jemaat GBI Roroq-Sekolaq Muliaq, 2 Agustus 2015.

75Amos, Wawancara Kepala Adat Kampung Empas, 31 Juli 2015.

76J.D. Dougglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, (Jakarta : Yayasan Bina Kasih, 2011), 155.

77 Ibid, 156.

(20)

2) Aturan adat harus sesuai dengan perintah Allah, jika tidak, adat tidak perlu dilakukan, karena Firman Allah adalah hukum yang tertinggi bagi orang Kristen (Mat. 15:3). Karena itu, orang Kristen harus selektif terhadap adat istiadat, artinya semuanya harus diuji, diperiksa dan dicermati apakah itu mendatangkan kebaikan dan membangun kita (1Tes.

5:21; 1Kor. 10:23).

3) Adat istiadat yang sesuai dengan perintah Allah harus tetap dilestarikan (Kis. 15:20-21).

4) Pelaksanaan prosesi perkawinan adat Dayak Tunjung pada tingkatan sebatas ruran, nisa newere, dan penyerahan tanda, selaras dengan Firman Tuhan (Ul. 6:7; 11:19; Tit. 2:3-5).

5) Segala prosesi yang bersifat ritual, dan simbul-simbul yang berbau penyembahala tidak boleh dilakukan dalam prosesi perkawinan adat bagi orang Kristen. (Kel. 20:3; 23:13; Ul.

5:7; Im. 19:31; 20:6).

6) Dalam hal waktu pelaksanaan, prosesi perkawinan adat hanya boleh dilakukan sesusah pemberkatan perkawinan gereja, hal ini demi menjaga dan menghormati kekudusan perkawinan.

7) Dalam hal norma perkawinan, norma perkawinan adat Dayak Tunjung yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah, bagi orang Kristen harus disesuaikan dengan hukum Allah dalam Alkitab, karena hukum Allah lebih tinggi dari hukum adat (Mat. 15:3).

8) Dalam hal perceraian dalam perkawinan adat Dayak Tunjung, tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan ketetapan Allah dalam Alkitab (Mat. 19:6). Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah (Mat. 15:3).

REFERENSI:

Anderonikus R, King. Merajut Hari Esok. Samarinda: Happy Ofset, 2004.

Ahmadi, Rulam. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2013.

Bible Works 9, 2015.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1996.

Douglas, D. J. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013.

Fee, Gordon D. dan Douglas Stuart. Hermeneutik. Malang: Gandum Mas, 2001.

Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Terjemahan Baru. Jakarta: LAI, 2010.

Muljohardjono, Hanafi. Perkawinan Hubungan dan Kesehatan Jiwa. Surabaya: Usaha Offset, 1999.

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Jakarta. Adat Istiadat Daerah Tematis Adat dan Upacara Perkawinan di Kalimatan Timur. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat, 1996.

Pamung, Y. Pelulukng Tata Cara Pengesahan Perkawinan Orang Dayak Benuaq. Surabaya : Airlangga University Press, 2003.

Pamung, Y. Upacara Daur Hidup Adat Dayak Benuaq. Surabaya: Airlangga University Press, 2003.

Tanuwijaya, Stephen. Bimbingan Konselor Kristen. Jakarta: Sekolah Tinggi Theologia Internasional Philadelphia, 2004.

Worthington Jr., Everett. Marriage Counseling. Amirica: United State of Amirica, 1999.

Walgito, Bimo. Bimbingan dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta: ANDI, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka membantu terwujudnya pembangunan kesejahteraan sosial generasi muda di desa yang dilaksanakan secara komprehensif, terpadu dan terarah serta berkesinambungan oleh

Material sedimen yang mengalami turbulensi karena adanya arus dan gelombang yang bergerak sepanjang atau sejajar dengan garis pantai tersebut terbawa dari tempat satu ke tempat lain,

Penyakit mental yang diderita oleh pemeran tokoh utama dalam film tersebut, dalam kehidupan nyata dikenal dengan Pseudobulbar affect (PBA), yaitu penyakit

Seperti yang dijelaskan oleh Public Relations dan marketing corporate Radio Dahlia, bahwa dalam menghadapi persaingan diera industri 4.0 sekarang ini radio dahlia

Insentif yang diberikan oleh Bank BTN Syari’ah Cabang Semarang diharapkan dapat mempengaruhi perilaku serta sikap kerja karyawan sesuai dengan pencapaian target yang

Potensi dan Kendala Pelaku “Awe-Awe” di Gunung Gumitir; Didit Saputro; 050910302088; 68 Halaman; Program Studi Sosiologi; Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik;

Data yang digali dalam penelitian ini adalah alasan pondok pesantren al-Anshari memilih santri yang masih anak-anak untuk menghafal Al-Qur’an, cara ustadz/ustadzah.. 15 Ira

kerja. d) Pemeriksaan kawat diameter 0,25mm pada mesinWire-CutEDM pada jalur roll-roll yang telah tersedia pada mesin. e) Menghidupkan mesin Wire-Cut EDM serta