LAPORAN HASIL RISET
Disusun Oleh:
Dian Permata Daniel Zuchron Erik Kurniawan
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia
2018
DAFTAR ISI
Daftar Isi
Abstrak ………..………. 2 Bab I Pendahuluan ………...………... 3-6
A. Latarbelakang ………..………. 3-4 B. Rumusan Permasalahan ………...……….……. 4 C. Tujuan Penelitian ……….... 4 D. Manfaat Penelitian ………. 4-5 Bab II Tinjauan Kepustakaan ……….…..… 6-8 A. Kerangka Pikiran ……….………… 6 B. Kajian Literatur ………...……….…..……... 6-8 Bab III Metode Penelitian ………....………..………….. 9-16 A. Pendekatan dan Perspektif Penelitian ………...……… 9-10 B. Lokasi Penelitian ……….………. 10 C. Metode Pengumpulan Data ………...…………...……….. 10-14 D. Instrumen Pengumpulan Data ………..……….. 14 E. Populasi dan Sampling Responden ………..……….….... 14-16 Bab IV Penyajian Hasil Penelitian ……….………... 16-28 A. Penyakit Kambuhan Pemilu ………...…………... 16-19 B. Prilaku Itu Menjadi Permissif: Menjadi Budaya? ……….. 19-20 C. Aktor Bernama itu Klebun dan Blater………...………..…. 20-22 D. Demokrasi Padat Modal Vs Kualitas Demokrasi Menurun ….………...… 22-23 E. Bawaslu, Badan Pengawas Pemilu Nan Kurang Awas ……….……….. 23-24 F. Peran Ulama?………... 24-25 G. Pendidikan Politik ………... 26 H. Ketiadaan Grand Design: Monumental vs Simultan? ………... 26-27 I. Bagaimana 2019?……… 27-28 Bab V Kesimpulan dan Saran ………...……...………... 29-30 Bab VI Daftar Pustaka ……….………… 31-32 Penulis ……….…. 33
Pencegahan Praktik Politik Uang di Pemilu 2019
DIAN PERMATA DANIEL ZUCHRON ERIK KURNIAWAN
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Jalan Proklamasi, No 65 1
[email protected] [email protected] [email protected]
Penelitian ini dilatarbelakangi masih munculnya praktek politik uang (money politics) pada pilkada serentak gelombang ketiga, 2018. Praktik politik uang sering terjadi disetiap pemilu di Indonesia. Adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan infomasi kepada masyarakat tentang praktik politik uang pada hajatan demokrasi.
Politik uang disebut-sebut telah menjelma menjadi budaya baru dalam kaca mata elektoral.
Hal ini sebabkan dengan permisifnya masyarakat dengan politik uang. Mereka beranggapan bahwa politik bagian dari sedekah politik. Dimana pembagiannya berhimpitan atau pada lazimnya berkaitan dengan pelaksanaan pemilu
Di Pemilu 2019, pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden akan dilaksanakan secara serentak. Bawaslu melalui Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2019 memerediksi poliitk uang akan kembali muncul. Bahkan, di beberapa daerah ditenggarai pada zona kerawanan tinggi. Bagaiaman Bawslu mengurai masalah tersebut?
Beragam upaya perlu dilakukan Bawaslu dalam upaya pencegahan politik uang. Hal ini sebagaimana yang diamanat dalam UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bahwa, Bawaslu diperintahkan untuk mencegah politik uang. Dari metode lapor cepat seperti Gowaslu hingga pemetaan melalui IKP. Selain itu, Bawaslu juga dapat memerkaya tehnik tadi dengan menggunakan bermacam pendekatan. Pendekatan budaya, komunikasi, religi dan seterusnya.
Kata Kunci: Politik Uang, Bawaslu, Budaya, Religi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Salah satu ciri negara demokrasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum (Pemilu) yang terjadwal dan berkala. Tanpa terselenggaranya pemilu maka hilanglah sifat demokratis suatu negara. Demikian agar sifat negara demokratis tersebut dapat terjamin oleh adanya pemilu, maka penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara berkualitas (Kartiko, 2009: 38).
Sedangkan salah satu ciri pemilihan umum (pemilu) ideal adalah bahwa dalam proses berjalannya pemilu harus memenuhi prinsip transparan, imparsial, dan terbebas dari manipulasi politik. Proses itu dimulai sebelum pemilu dilaksanakan hingga sampai dengan akhir proses terhadap hasil pemilu (Goodwin-Gill, 2006: 46). Untuk menjamin tercapainya prinsip-prinsip tadi, eksistensi aturan pemilu memegang peranan penting (Elklit dan Svensson, 1997: 35-36).
Dalam pelaksanaanya, pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Pemilu yang dinilai sebagai pesta demokrasi rupanya belum bisa mengimplementasikan sistem demokrasi yang sesungguhnya. Karena, di dalam proses pelaksanaannya, pemilu masih disuguhi kecurangan yang dilakukan oleh para peserta pemilu. Salah satu bentuk kecurangan pemilu yakni adalah adanya praktik politik uang (money politic) (Permata, 2016: 54)1.
Munculnya praktik politik uang dari pemilu ke pemilu lainnya tak bisa dipungkiri menjelma menjadi tantangan besar demokratisasi. Di beberapa daerah, fenomena ini terlihat dan dilakukan terbuka secara kasat mata. Baik itu dilakukan oleh kandidat maupun tim suksesnya. Politisi melakukan praktik-praktik haram pada saat pemilu untuk memengaruhi pemilih. Manifestasi yang paling umum dan mencolok dari pidana pemilu adalah menyuap pemilih secara langsung (Pfeiffer, 2004: 76).
Pilkada serentak 2018 baru saja dilaksanakan. Masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih dan dipilih menyalurkan hak politiknya pada 27 Juni 2018. Ada 171 wilayah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada gelombang pilkada serentak ketiga ini. 17 pilkada di tingkat provinsi, 115 kota, dan 39 kabupaten.
Pada pelaksanaan pilkada serentak gelombang ketiga, praktik politik uang tetap terjadi. Berbagai cara ditempuh penyelenggara agar praktik politik uang dapat diminimalisir. Seperti dengan kampanye dan model pelaporan cepat berbasis IT, Gowaslu2, deklarasi anti politik uang di sejumlah provinsi. Sistem deteksi dini politik uang melalui Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah 20183, penandatanganan nota kesepahaman antara Bawaslu RI dan PPATK tahun 20184, dan
1 Dian Permata, Politik Uang: Cara Primitif Nan Efektif. Harian Jateng Pos 15 Februari 2017.
2 Bawaslu Perkenalkan Sistem Pengawasan Berbasis Pilkada,
http://bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-perkenalkan-sistem-pengawasan-pilkada-berbasis-aplikasi.
Diakses 23 April 2018.
3 Buku Indeks Kerawanan Pemilu Pemilihan Kepala Daerah 2018, Bawaslu RI.
4 Nota Kesepahaman antara Bawaslu RI dengan PPATK Nomor 0156/K.Bawaslu/HM.02.00/II/2018 dan Nomor NK-114/1.02/PPATK/02/2018 tentang Kerjasama Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
gerakan bersama tolak politik uang.5 Selain, itu juga menyiapkan perangkat hukum berupa sanksi pidana bagi pelaku politik uang. Sayangnya, kasus ini tetap muncul.
Ketua Bawaslu Abhan, meminta peserta pemilu mentaati peraturan selama kampanye. Salah satu aturan itu berupa peserta pemilu dilarang melakukan politik uang.
Kata dia, jika ada peserta yang melakukan politik transaksional dan memenuhi unsur terstruktur, sistematif, dan masif, akan langsung didiskualifikasi.6
Kendati demikian, dalam pelbagai laporan di media massa dan Bawaslu, praktik politik uang masih kerap terjadi. Bahkan, sejumlah kalangan menilai bahwa hampir semua pemilihan politik di semua wilayah dan tingkatan sudah teracuni virus praktik politik uang. Entah itu di Pemilihan Kepala Desa (Pilkades), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif (Pileg), maupun Pemilihan Presiden (Pilpres).
Jika menggunakan terminologi Goodwin-Gill, maka politik uang memiliki potensi mengancam kebebasan pemilih. Terutama dalam menentukan pilihan politik. Hal itu dikarenakan adanya pengaruh uang sebagai kekuatan untuk menciptakan diskriminasi antar kontestan. Sehingga, keterpilihan kontestan ditentukan oleh uang.
B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana evaluasi terhadap pengawasan dan pencegahan politik uang pada Pilkada 2018?
2. Bagaimana dan apa strategi Bawaslu melaksanakan upaya pencegahan politik uang dalam Pemilu 2019?
C. Tujuan Penelitian
1. Sebagai bahan evaluasi terhadap penyelenggara dalam menghadapi Pemilu 2019 2. Menyediakan bahan komprehensif terfokus dan rekomendasi bagi penyelenggara
pemilu untuk mencegah politik uang pada pemilu
D. Manfaat Penelitian
1. Bahwa pengaturan tentang pemberantasan politik uang dalam pemilu perlu mendapatkan penajaman pembacaan dalam dimensi hukum. Soalnya, politik uang sebagai sebuah gejala yang selalu muncul dalam setiap perhelatan pemilu tidak berjalan sendiri. Beberapa ketentuan yang ada perlu diulas. Ini untuk mengukur sejauh mana regulasi memberikan penguatan yang memadai bagi upaya memberantas politik uang dalam pemilu
Pencucian Uang, serta Kerjasama dalam rangka Penindakan Pelanggaran Praktik Politik Uang dan Pengawasan Dana Kampanye pada Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilihan Umum
5 Bawaslu Gagas Gerakan Bersama Tolak Politik Uang,
https://www.bawaslu.go.id/id/berita/bawaslu-gagas-gerakan-bersama-tolak-politik-uang-politisasi-sara- dan-ujaran-kebencian. Diakses 24 September 2018.
6 Ketua Bawaslu Peserta Pilkada yang Lakukan Politik Uang Langsung Dicoret,
http://www.tribunnews.com/nasional/2018/02/16/ketua-bawaslu-peserta-pilkada-yang-lakukan-politik- uang-langsung-dicoret. Diakses 10 September 2018.
2. Penyelenggara pemilu sebagai aktor utama pelaksana UU, perlu diberikan tambahan asupan tentang ideal dan empirik politik uang. Hal demikian sebagai bentuk tanggung jawab warga negara atas pemilu jujur dan adil. Sajian yang utuh tentang gambaran politik uang dapat menjadi bahan pengambilan kebijakan penyelenggara terkait atas keresahan warga negara.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Kerangka Pikiran
Presiden Joko Widodo mensahkan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) pada 15 Agustus 2017. UU itu terdiri atas 573 pasal, penjelasan, dan 4 lampiran.
UU ini telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada 16 Agustus 2017.
Di dalam UU itu, Bawaslu memiliki kewenangan yang besar. Seperti memutuskan dan menjatuhkan sanksi pelanggaran pemilu, termasuk politik uang tanpa melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu)7. Hal itu dinyatakan dalam Pasal 93 ayat e.
Bunyi pasal tersebut yakni mencegah terjadinya praktik politik uang.
Isu tentang praktik politik uang ramai dibicarakan dalam setiap perhelatan pemilu.
Ini ditandai adanya informasi yang tersedia dalam literatur dan data pemilu ke pemilu lainnya. Praktik politik uang telah diulas oleh pelbagai pihak. Mereka mencoba mengaitkannya dengan penegakan hukum.
Norma politik uang dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengalami perluasan dan penambahan makna denotatif dan konotatif. Dari yang semula hanya pada aspek dana kampanye saja kemudian diperluas pada penggunaan kekuasaan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM). Dari yang terbatas pada pencalegan DPD saja dan hingga kini seluruh kontestan. Dari yang implisit menjadi eksplisit pada pencegahan praktik politik uang.
Bawaslu berdasarkan UU 7/2017 memiliki tugas dan kewenangan tambahan atas isu politik uang. Hubungan antara norma politik uang, praktik yang terjadi atas politik uang, dan pihak utama yang mendapatkan mandat untuk menangani politik uang menjadi fokus kajan ini. Atas dasar ini maka politik uang menjadi salah satu mandat utama Bawaslu. Sehingga, kajian atas penguatan norma dan praktik politik uang perlu mendapatkan penajaman. Tujuannya, penguatan tugas dan kewenangan Bawaslu menjadi aktual.
B. Kajian Literatur
Pengaruh uang dalam politik menjadi salah isu utama demokratisasi. Isu ini telah mencuri perhatian sejumlah negara. Bahkan, dalam dalam kasus ekstrim, pemilu terlihat manipulatif serta menjadi alat dominan dalam pemilu. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya, dominasi elit, kecurangan pemilu dan ancaman, atau penggunaan kekerasan.
Praktik politik uang didasarkan pada dua (2) sub variabel. Pemahaman politik uang dan pengalaman pemilih terkait politik uang (Brusco, et al, 2004: 69; Schaffer, 2002: 1;
Vicente 2007: 14: Sukmajati: 2016). Sepertinya sesuai dengan pendapat Woshinsky
7 ICW: Kewenangan Besar Bawaslu Harus Atasi Politik Uang,
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/14/14050661/icw-kewenangan-besar-bawaslu-harus-atasi- politik-uang. Diakses 25 Maret 2018
(2008: 132 dalam Kurniawan, 2017: 362) bahwa keputusan untuk memilih dalam sebuah kontes politik pada akhirnya ditentukan oleh pengalaman dan pemahaman pemilih itu sendiri.
Edward Aspinal dan Made Sukmajati menilai, terdapat definisi yang kabur atas istilah politik uang. Karena alasan itulah, keduanya mengaitkan politik uang pada konsep patronase dan klientalisme. Definisi patronase adalah sebuah pembagian keuntungan di antara politisi untuk mendistribusikan sesuatu secara individual kepada pemilih, para pekerja, atau pegiat kampanye. Tujuannya, mendapatkan dukungan politik dari mereka.
Sedangkan klientalisme merujuk kepada karakter relasi antara politisi dan pemilih atau pendukung. Patronase merujuk kepada materi atau keuntungan lain yang didistribusikan oleh politisi kepada pemilih atau pendukung.8
Variasi bentuk patronase yang dijabarkan oleh Aspinal dan Sukmajati menjadi petunjuk atas praktik politik uang yang terjadi pada Pileg 2014 yakni pembelian suara (vote buying), pemberian-pemberian pribadi (individual gifts), pelayanan dan aktivitas (services and activities), barang-barang kelompok (club goods), proyek-proyek gentong babi (pork barrel projects).9 Keduanya juga menunjukkan varian klientalisme yang bekerja pada Pileg 2014 yakni tim sukses, mesin-mesin jaringan sosial, dan partai politik (parpol).10
Kaburnya istilah politik uang secara definisi juga dinyatakan peneliti University of Leeds, Daniel Bumke. Menurut dia, pada sejumlah kasus, istilah ini dapat digunakan pada sejumlah kasus dan prilaku. Seperti korupsi politik hingga klientalisme, sejak pembelian suara (vote buying) hingga pemerasan. Kata Bumke, istilah politik uang merupakan istilah yang masyhur seiring bergulirnya reformasi 1998. Bumke menilai, politik uang merusak proses pemilu, melemahkan parpol, dan memfasilitasi previlige di kalangan elit.11 Menurut dia, istilah politik uang dapat dikatakan sebagai terminologi khas di Indonesia. Hal ini didapati dalam kajian Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA).
Dalam perjalanannya, politik uang merupakan tindakan membagi-bagikan uang, barang, dan jasa sudah mengalami pembiasan makna. Sedangkan batasan pelaku politik uang menurut Ismawan adalah orang yang memberi uang politik baik kandidat, pendukung atau tim sukses, dan penerima uang politik dalam bentuk apapun. Politik uang dilakukan dengan sadar oleh pihak-pihak yang melakukan praktik politik uang (Ismawan, 1999: 5).
Publik memahami politik uang sebagai praktik pemberian uang atau barang atau memberi iming-iming sesuatu, kepada massa (voters) secara berkelompok atau individual. Tujuannya, mendapatkan keuntungan politis (political gain). Artinya, tindakan politik uang itu dilakukan secara sadar oleh pelaku (Permata dan Zuchron, 2018: 6).
8 Edward Aspinal dan Mada Sukmajati (Eds), Politik Uang di Indonesia; Patronase dan Klientalisme pada Pemilu Legislatif 2014, Penerbit PolGov, Yogyakarta, Januari 2015, hal. 2-4. Buku ini kaya akan potret praktik politik uang pada pemilu legislatif, seraya memberikan beberapa tawaran agenda riset selanjutnya yang tidak didalami semisal sebab terjadinya variasi patronase dan klientalisme juga isu penggalangan dana para kandidat.
9 ibid, hal 22-29
10 ibid, hal 33-40
11 ibid, hal 85-88
Politik uang adalah suatu upaya memengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan sebagai jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi maupun parpol untuk memengaruhi suara pemilih (Kumolo, 2015: 155).
Sedangkan kata Teddy Lesmana, politik uang didefinisikan sebagai biaya yang ditujukan dengan maksud melindungi bisnis atau kepentingan politik tertentu atau untuk membeli dukungan parpol atau membeli suara pemilih dengan imbalan yang bersifat finansial.12 Definisi ini menunjuk kepada praktik dalam kehidupan politik secara umum, baik dalam pemilu maupun di luar pemilu. Dalam definisi ini tidak mengaitkan tindakan politik uang dengan norma hukum politik uang dalam peraturan perundang- undangan pemilu.
Ditambahkan dia, politik uang dapat juga terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan parpol tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial. Politik uang bisa juga terjadi ketika pihak penyandang dana memiliki kepentingan bisnis maupun politik tertentu. Bentuknya dapat berupa uang. Dapat pula berupa bantuan-bantuan sarana fisik pendukung kampanye seperti alat peraga kampanye (APK), dan lainnya, untuk pasangan kandidat tertentu.
Dalam studi yang dilakukan Goodpaster (2001:104), menyatakan, politik uang adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pembelian keuntungan atau pengaruh politik.
Dalam studi ini menghubungkan politik uang sebagai bagian dari korupsi yang terjadi dalam proses-proses pemilu, yang meliputi pemilihan presiden, kepala daerah, dan pemilu legislatif. Goodpaster menyimpulkan, politik uang merupakan transaksi suap- menyuap yang dilakukan oleh aktor untuk kepentingan mendapatkan keuntungan suara dalam pemilu.
Dalam kompilasi reportase pemilu, wartawan Republika Harun Husein, menyajikan berbagai petunjuk jurnalistik atas fenomena politik uang. Ia memiliki pandangan politik uang sebagai bagian dari lingkaran korupsi. Menurutnya, parpol dan kandidat pada masa tahapan kampanye tak ubahnya seperti sinterklas. Mereka menabur uang kepada masyarakat. Namun, karakter sinterklas itu berubah total pada saat terpilih dan menjabat. Mereka melakukan korupsi. Ini ditunjukkan dengan lebih dari 100 kepala daerah terkena kasus korupsi hingga akhir 2010.13
Herbert E. Alexander yang dikutip S. Rosyad menyatakan, uang memiliki daya tarik kuat dalam kehidupan manusia. Uang merupakan medium atau alat yang sangat signifikan untuk menguasai energi dan sumber daya. Maka sejak awal uang memiliki karakteristik yang khas, yaitu dapat dipindahkan dan dipertukarkan (konvertibel) tanpa meninggalkan jejak tentang sumbernya. Hal inilah yang dapat menjadi sebuah keuntungan nyata dalam politik.14
12 Lesmana, Teddy, Politik Uang Dalam Pilkada,
www. “Politik Uang Dalam Pilkada (elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/.../9009.pdf , diakses 2 April 2018)
13 Harun Husein, Pemilu Indonesia; Fakta, Angka, Analisis dan Studi Banding, Perludem, Jakarta, 2014, hal. 79- 80. Buku ini menyediakan secara khusus bagian dana politik dan korupsi pemilu sekitar puluhan halaman
14 Lihat S. Rosyad, “Money Politic dalam Pemilu,” (Tesis) (PPS IAIN Walisongo Semarang, 2010), hal 2, dalam http://eprints.walisongo.ac.id/92/2/Rosyad_Tesis_Bab1.pdf (10 Pebruari 2016). Diakses 27 Maret 2018.
Politik uang adalah suatu upaya memengaruhi orang lain (masyarakat) dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan sebagai jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi maupun parpol untuk memengaruhi suara pemilih.15
15 Tjahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak (Cet. 1; Bandung: Mizan Publika, 2015), hal 155
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Perspektif Penelitian
Metode penelitian adalah tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan (Hasan, 2002: 21). Pengertian lain dari metode penelitian ialah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya, seperti wawancara, observasi, tes maupun dokumentasi (Arikunto, 2002:136). Sedangkan menurut Subagyo (2006:2) metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memeroleh kembali pemecahan terhadap segala permasalahan.
Ada juga yang berpendapat, metode penelitian adalah suatu cara untuk memeroleh pengetahuan atau memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi (Ali, 1984:54) atau cara ilmiah yang dilakukan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu (Lasa, 2009:207). Kata ilmiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memunyai makna bersifat keilmuan atau memenuhi syarat (kaidah) ilmu pengetahuan sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Misalnya, prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lainnya, secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.16
Bogdan dan Taylor (1975:5) dalam Moleong (2004) menjelaskan, penelitian kualitatif merupakan sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata tertulis maupun lisan dari orang-orang maupun perilaku yang dapat diamati.17 Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, kepercayaan orang yang akan diteliti dan kesemuanya tidak dapat diukur dengan angka. Dalam penelitian ini teori yang digunakan tidak dipaksakan untuk memoroleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang telah diteliti (Sulistyo Basuki, 2006:24).
Karakteristik penelitian kualitatif, berurusan dengan interpretasi dan pemaknaan terhadap situasi saat ini atau yang sedang berjalan. Menekankan pada peran peneliti sebagai bagian utama dari alat penelitian. Peneliti menggunakan dirinya sendiri sebagai perangkat penelitian, mengupayakan kedekatan dan keakraban antara dirinya dengan obyek atau subyek penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan alat- alat yang mewakili jumlah, intensitas, atau frekuensi. Penelitian kualitatif berbasis pada data non-angka. Data ini akan lebih bersifat verbal, dalam bentuk kata-kata, kalimat, pernyataan, foto, grafik, diagram, peta, dan sebagainya.
Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif- kualitatif, dengan instrumen penelitian menggunakan interview terstruktur dalam bentuk kuesioner berupa pertanyaan dengan pilihan jawaban dan alasan informan/
responden dalam memberikan jawaban. Data-data diperoleh dari observasi langsung ke
16 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), hal 6
17 Ibid hal 4
wilayah penelitian (lapangan) dan kajian pustaka yang berhubungan dengan objek studi melalui riset kepustakaan yaitu studi literatur-literatur, peraturan, dan media informatif lain yang berhubungan dengan pembahasan.
Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau sesuatu pada masa sekarang.
Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang terjadi, (Sukmadinata, 2006:72).
Penelitian deskriptif kualitatif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang dan tengah berlangsung. Pada dasarnya, penelitian deskriptif kualitatif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek dengan tujuan membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta atau fenomena yang diselidiki (Sevilla, 1993:73).
Pendekatan deskriptif, tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis, tetapi hanya menggambarkan suatu gejala atau keadaan yang diteliti secara apa adanya serta diarahkan untuk memaparkan fakta-fakta, kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di tiga (3) provinsi. Surabaya (Jawa Timur) 24-25 Agustus 2018. Bandar Lampung (Lampung) 30-31 Agustu 2018. Jakarta (DKI Jakarta) pada 18 September 2018
C. Metode Pengumpulan Data
1. Jenis dan sumber data
A. Jenis data
Dalam melaksanakan penelitian, diperlukan data yang akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan pembahasan dan analisis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu data-data yang tidak dapat diukur dan dinilai dengan angka-angka. Berbentuk informasi seperti gambaran umum, deskripsi dan penjabaran dalam bentuk kata-kata serta informasi lain yang digunakan untuk membahas rumusan masalah.
B. Sumber data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Menurut Sugiyono (2007), data primer adalah sumber langsung yang memberikan data pada pengumpul data. Sedangkan Menurut Hasan (2002: 82) data primer ialah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer di dapat dari sumber informan yaitu individu atau perseorangan seperti hasil wawancara yang dilakukan oleh
peneliti. Data primer ini antara lain catatan hasil wawancara, hasil observasi lapangan, dan data-data mengenai informan.
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada (Hasan, 2002:
58). Data ini digunakan untuk mendukung informasi primer yang telah diperoleh yaitu dari bahan pustaka, penelitian terdahulu, buku, dan sebagainya. Dapat juga dikatakan bahwa data sekunder merupakan data yang tidak langsung diperoleh peneliti. Misalnya lewat orang lain ataupun dokumen.18
Menurut Lofland dan Lofland (1984:47) dalam Moleong (2104), sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan.
Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal itu maka jenis data dibagi dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, dan statistik.
Kata-kata dan tindakan ialah orang-orang yang diamati atau diwawancara merupakan sumber data utama. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video atau audio tapes, pengambilan foto, atau film. Sumber tertulis ialah sebagai bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis yaitu sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Foto ialah data deskriptif yang cukup berharga dan sering digunakan untuk menelaah segi subyektif dan hasilnya sering dianalisa secara induktif.
Ada dua (2) kategori foto yang dapat dimanfaatkan dalam penelitian kualitatif, yaitu foto yang dihasilkan orang dan foto yang dihasilkan peneliti sendiri (Bogdan dan Bilken, 1982:102).19 Sedangkan data statistik digunakan ialah data statistik yang telah tersedia sebagai sumber data tambahan bagi keperluan si peneliti.
2. Sifat data
Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi yang telah dituangkan dalam catatan lapangan (transkrip). Bentuk data kualitatif dapat juga berupa gambar yang diperoleh melalui pemotretan atau rekaman video.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian. Karena tujuan utama dari penelitian adalah untuk mendapatkan data.
Menurut Sugiyono (2007:402) teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan
18 Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung: CV. Alfabeta, 2007) hal 402
19 Moleong, Op. cit, hal 157-160
cara observasi (pengamatan), interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi, dan gabungan keempatnya.
A. Pengamatan (Observasi)
Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan. Dimana peneliti mengamati fenomena-fenomena yang terjadi dan memiliki kaitan dengan penelitian yang tengah dilakukan. Nasution (1988) menyatakan, observasi adalah dasar semua pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi.20
Penulis menggunakan teknik observasi partisipatif, yaitu observasi dimana peneliti terlibat dengan kegiatan yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian (Sugiyono, 2007:404).
Observasi merupakan tahap pengamatan secara visual yang dilakukan terhadap objek studi yang bertujuan mengidentifikasi dan mendapatkan gambaran yang langsung atau aktual tentang objek yang diteliti berupa elemen-elemen fisik yang ada di wilayah lingkup penelitian.
B. Wawancara (Interview)
Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data.
Caranya bertatap muka secara langsung antara pewawancara dengan informan. Wawancara dilakukan jika data yang diperoleh melalui observasi kurang mendalam dan peneliti ingin mengetahui hal-hal dari informan yang lebih. Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menentukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam (Sugiyono, 2007:411).
Peneliti melakukan kelompok diskusi mendalam dan terfokus (focus group discussion) dengan mengundang beberapa narasumber atau informan.
Informasi yang telah diperoleh dari diskusi tersebut kemudian diperdalam lagi melalui wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi komprehensif.
C. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang, Sugiyono (2007:422). Senada dengan itu, Prastowo (2010:192) menyatakan, dokumen merupakan rekaman yang bersifat tertulis atau film dan isinya merupakan peristiwa yang telah berlalu. Jadi, dokumen bukanlah catatan peristiwa yang terjadi saat ini dan masa yang akan datang, namun catatan masa lalu.
20 Sugiono, Op. cit, hal 403
Dari bahan-bahan dokumenter di atas, para ahli mengklasifikasikan dokumen ke dalam beberapa jenis. Diantaranya, menurut Bungin (2008; 123), terdiri atas dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pribadi adalah catatan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya, berupa buku harian, surat pribadi, dan otobiografi. Dokumen resmi terbagi dua: (a) intern; memo, pengumuman, instruksi, aturan lembaga untuk kalangan sendiri, laporan rapat, keputusan pimpinan, konvensi; (b) ekstern; majalah, buletin, berita yang disiarkan ke mass media, atau pemberitahuan.
Menurut Sugiyono (2007: 422) dokumen yang berbentuk tulisan, seperti catatan harian, life histories, ceritera, biografi, peraturan, kebijakan. Dukumen berbentuk gambar misalnya foto, gambar hidup, sketsa, dan lain- lain.
Dokumen yang bentuk karya, misalnya karya seni berupa gambar, patung, film, dan lain-lain.
D. Studi pustaka
Studi pustaka adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan mengumpulkan sejumlah buku-buku, majalah, liflet yang berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian. Buku tersebut dianggap sebagai sumber data yang akan diolah dan dianalisis seperti banyak dilakukan oleh ahli sejarah, sastra dan bahasa (Danial A.R, 2009:80).
Teknik kepustakaan merupakan cara pengumpulan data bermacam- macam material yang terdapat di ruang kepustakaan. Sseperti koran, buku- buku, majalah, naskah, dokumen, dan sebagainya yang relevan dengan penelitian (Koentjaraningrat, 1983: 420).
Studi kepustakaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya, dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting dalam melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan lepas dari bahan-bahan pustaka ilmiah (Sugiyono, 2012: 291).
Penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah dan membandingkan sumber kepustakaan untuk memeroleh data itu bersifat teoritis. Di samping itu, dengan menggunakan studi pustaka penulis dapat memeroleh informasi tentang teknik-teknik penelitian yang diharapkan. Sehingga, pekerjaan peneliti tidak merupakan duplikasi.
Walaupun penelitian ini bukan kajian pustaka terhadap pengujian suatu teori, akan tetapi penulis perlu mengkaji lebih banyak buku sebagai literatur dalam penyusunan penelitian ini. Alasannya, semakin banyak literasi yang digunakan, mungkin hasilnyapun akan lebih baik dan banyak masukan yang berarti dan sebagai acuan penulisan dalam menyusun suatu hasil karya yang bermakna. Sehingga, bentuk, sistematika, bahasa dan etika penulisan ilmiah dapat diikuti dengan baik. Serta dapat memercepat penyelesaian, dengan tidak terlalu banyak menyita waktu karena dapat bekerja secara efektif, fleksibel, dan akurat.
D. Instrumen Pengumpulan Data
Pada penelitian kualitatif, peneliti memiliki kedudukan khusus. Sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analis, penafsir data, serta pelapor hasil penelitiannya (Moleong, 2014:168). Kedudukan tersebut menjadikan peneliti sebagai key instrument (instrumen kunci) yang mengumpulkan data berdasarkan kriteria-kriteria yang dipahami.
Sebagai instrumen pengumpulan data pendukung yang digunakan dalam penelitian ini berupa alat tulis (digunakan untuk menulis data-data), kamera, komputer (digunakan untuk mengolah data), kuesioner (alat yang digunakan untuk menyebarkan pertanyaan- pertanyaan tertulis untuk memperileh informasi dari responden).
1. Informan
Informan adalah orang dalam latar penelitian. Fungsinya sebagai orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Pemanfaatan informan bagi penelitian ialah agar dalam waktu yang relatif singkat mendapatkan banyak informasi yang benar-benar terjangkau (Basrowi dan Suwandi, 2008: 86).
Pengertian lain dari informan ialah sebagai pemberi umpan balik terhadap data penelitian. Tujuannya dalam rangka cross check data (Bungin, 2011: 133).
Sedangkan menurut Arikunto (2002: 122), informan ialah orang yang memberikan informasi. Cara pengambilan informan dalam penelitian ini ialah dengan teknik purposive sampling (pengambilan sampel dengan tujuan).
Purposive sampling menurut adalah teknik penentuan sampel dengan petimbangan tertentu (Sugiyono, 2009: 85). Pada penelitian ini, informan yang peneliti ambil ialah informan yang berasal dari akademisi, pegiat demokrasi dan pemilu, pemantau pemilu, dan Bawaslu.
BAB IV
PENYAJIAN HASIL PENELITIAN
A. Penyakit Kambuhan Pemilu
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang ketiga, 27 Juni 2018, usai dilaksanakan. Pada Pilkada 2018 ini, ada 171 wilayah yang melaksanakan pilkada.
Dengan rincian, 17 provinsi melaksanan pemilihan gubernur (pilgub). 115 kabupaten melaksanan pemilihan bupati (pilbup). 39 kota melaksanakan pemilihan walikota (pilwalkot).
Pada pilkada gelombang kedua, 19 April 2017, ada 101 daerah yang melaksanakan pilkada. Tujuh (7) provinsi melaksanakan pilgub. 76 kabupaten melaksanakan pilbup. 18 kota melaksanakan pilwalkot. Pada pilkada gelombang pertama, 9 Desember 2015, ada 269 daerah yang melaksanakan pilkada. Sembilan (9) provinsi melaksanakan pilgub. 224 kabupaten melaksanakan pilbup. 36 kota melaksanakan pilwalkot.
Joseph Schumpeter, seorang ahli politik, dalam buku Capitalism, Socialism, and Democracy menyatakan bahwa demokrasi merupakan mekanisme untuk mengisi jabatan politik melalui kompetisi untuk merebut dukungan rakyat. Dalam situasi kompetisi nan kompetitif inilah, kerapkali elit politik mengambil jalan pintas dengan melakukan kecurangan dan beharap memeroleh kemenangan. Cara yang dipakai yakni dengan melakukan politik uang. Motif dan caranya mereka melakukan penyakit inipun kian variatif.
Makanya tidak heran apabila jauh-jauh hari para pihak, seperti Polri, KPK, pegiat pemilu, dan akademisi memerediksi potensi politik uang pada Pilkada 2018 tetap muncul. Prediksi itu rupanya terbukti. Bawaslu menemukan puluhan dugaan praktik politik uang selama rangkaian Pilkada Serentak 2018 dilaksanakan.
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro contohnya.
Faktor uang sulit dihindari dalam mengarungi kontestasi pilkada di Indonesia. Hal ini dilatarbelakangi pemilu saat ini butuh pembiayaan besar (political cost) yang luar biasa.
Akibat penggunaan politik uang maka impian masyarakat bahwa pilkada menghasilkan pemimpin daerah terbaik sulit tercapai.21
Sebagai contoh, Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kota Cirebon Jawa Barat, menerima tiga (3) laporan dugaan politik uang yang terjadi selama 1x24 jam menjelang pencoblosan, Rabu (27/6/2018). Kasus tersebut diduga dilakukan para simpatisan kedua pasangan calon yang sedang bertarung di pemilihan wali kota dan wakil wali kota Cirebon 2018.
Kasus pertama adalah pembagian uang kertas pecahan 50 ribu rupiah sebanyak Sembilan (9) lembar. Uang itu diberikan BD, salah satu simpatisan pasangan calon pada Selasa malam. Kasus kedua, pembagian satu set peralatan olah raga bola voli (bola serta jaring), satu kardus kopi, dan satu buah kaus salah satu pasangan calon. Kasus ketiga
21 Siti Zuhro, “Politik Uang Diprediksi Marak di Pilkada 2018”,
https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180117191337-32-269707/politik-uang- diprediksi-marak-di-pilkada-2018. Diakses 23 Oktober 2018.
adalah dugaan adanya pemberian uang yang dilakukan salah satu simpatisan pasangan calon kepada warga di Kecamatan Lemahwungkuk pukul 04.00 WIB Rabu pagi.22
Di Kota Serang, Rusdi, pelaku politik uang divonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang 1 tahun 8 bulan penjara. Selain dijatuhi hukuman, Rusdi juga didenda 200 juta rupiah subsider 1 bulan kurungan badan. Rusdi dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 187 huruf a ayat (1) UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.Rusdi kedapatan memberikan uang sebesar Rp220.000 dengan pecahan 20 ribu rupiah untuk dibagikan kepada warga. Setiap penerima uang mencoblos paslon nomor urut tiga Syafrudin-Subadri Usuludin.23
Di Lahat, Sumatera Selatan, Pengadilan Negeri Lahat menjatuhkan vonis 36 bulan dan penjara dan denda 200 juta rupiah, subsider 1 bulan penjara kepada terdakwa kasus praktik politik uang (money politics), Syahril Effendi. Syahril terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah karena dengan sengaja membagi-bagikan uang untuk memenangkan pasangan calon nomor 3 Cik Ujang-Haryanto dalam Pilkada Kabupaten Lahat.24
Selama Pilkada 2018, satuan tugas antipolitik uang Polri telah memoroses 25 kasus tindak pidana politik uang. Dari 25 kasus tersebut sebanyak 11 kasus telah selesai penyelidikannya dan masuk ke tahap kedua atau penyidikan. Sementara itu tiga (3) kasus sudah P21 atau hasil penyidikan dinyatakan sudah lengkap. Kemudian Sembilan (9) kasus masih dalam proses penyidikan dan dua kasus dihentikan proses penyidikannya karena tidak cukup bukti.25
Dalam laporan Bawaslu, politik uang masih terjadi di masa tenang. Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Petalolo mengatakan, praktik kotor tersebut tersebar di sejumlah wilayah. Dugaan praktik itu paling banyak terjadi di Sulawesi Selatan dengan delapan (8) kasus. Sumatera Utara dan Lampung, tujuh (7) kasus. Jawa Tengah, lima (5) kasus.
Sulawesi Barat dan Banten, dua (2) kasus. Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Bangka Belitung, masing-masing satu (1) kasus.26
Temuan-temuan di atas mengkonfirmasi temuan riset yang dilakukan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) di medio April-Mei 2018 atau dua (2) bulan jelang coblosan Pilkada 2018, 27 Juni 2018. Dalam riset SPD diketahui, pemilih di Jawa Timur dan
22 Jelang Pencoblosan, Panwaslu Cirebon Tangani 3 Kasus Politik Uang,
https://regional.kompas.com/read/2018/06/27/17561091/jelang-pencoblosan-panwaslu-cirebon tangani-3-kasus-politik-uang. Diakses 25 Oktober 2018.
23 Pelaku Politik Uang Pilkada Kota Serang Divonis 18 Bulan,
https://daerah.sindonews.com/read/1322186/174/pelaku-politik-uang-pilkada-kota-serang-divonis-18- bulan-1531727128. Diakses 29 Oktober 2018.
24 Terdakwa Politik Uang Pilkada Lahat: Jangan Aku Saja, yang Lain Mana?,
https://www.viva.co.id/berita/nasional/1057046-terdakwa-politik-uang-pilkada-lahat-jangan-aku-saja- yang-lain-mana. Diakses 29 Oktober 2018.
25 Tito Karnavian, “Selama Pilkada 2018, Polri Proses 25 Kasus Politik Uang”, https://nasional.kompas.com/read/2018/07/19/14330721/selama-pilkada-2018-polri-proses-25-kasus- politik-uang. Diakses 29 Oktober 2018.
26 Bawaslu Temukan 35 Dugaan Praktik Politik Uang,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180628024354-32-309655/bawaslu-temukan-35-dugaan- praktik-politik-uang. Diakses 25 September 2018.
Lampung rentan dengan politik uang. Pelakunya beragam. Dari simpatisan, relawan, hingga pendukung pasangan peserta pilkada.27
Pada temuan lain, persepsi soal politik uang menjadi salah satu problem lapangan.
Informan Y28 menilai, perspektif politik uang memiliki cakupan sangat luas. Sehingga, perlu diperiksa bagaimana masyarakat mendefinisikan politik uang. Menurutnya, bisa saja masyarakat tidak menganggap politik uang dengan makna yang lebih normatif.
Misalnya, pada tahapan pemilu, masyarakat mengganggap pembagian sembako atau barang lainnya bukan merupakan politik uang. Menurutnya, persepsi masyarakat yang disebut politik uang itu misalnya serangan fajar. Data dikatakan pada kenyataannya, justru praktek politik uang adalah hal yang lumrah. Masyarakat justru menganggap aneh jika tidak ada politik uang.
Menurut hasil penelitian Roby Cahyadi dari 2011-2015, ada pertanyaan publik yang selalu muncul. Apa kentungan yang didapat publik? Publik berargumentasi siapapun yang menang dalam kontestasi pilkada dan siapapun kepala daerahnya nasibnya tetap sama. Oleh karena itu, mereka menganggap, effort yang diberikan dalam memberikan suara harus “dibayar”.
Faktor lain yang mendorong pemilih menerima politik uang adalah hilangnya
“Chemistry” antara kandidat dengan para pemilihnya. Dalam beberapa kasus, misalnya jika calonnya adalah kyai maka berapapun uang yang diberikan kandidat lain tidak terlalu berpengaruh dan pemilih tetap memilih sang kyai.
Sementara itu, menurut Informan I29, praktik politik uang terkait erat dengan prilaku koruptif yang marak. Politik uang terjadi hampir di setiap tahapan pemilu. Seperti pencalonan, kampanye, hari tenang, dan hari pencoblosan. Politik uang lebih rentan terhadap masyarakat pedesaan. Karena menyatu dengan nilai-nilai lokal. Misalnya, politik uang dianggap sedekah. Karena dibungkus dengan charity, santunan anak yatim, dan lainnya. Hal demikian mengkonfirmasi tentang politik uang telah melekat menjadi budaya yang tumbuh di masyarakat.
Secara teknis, sejumlah kasus sebelumnya yang mencerminkan adanya preseden politik uang terkait dengan fakta adanya pemberian uang atau barang antara dua (2) pihak. Pemberi dan penerima pada masa pemilu. Atas dugaan terjadinya peristiwa tersebut maka hukum merujuk kepada batasan norma legalitas yang diatur ketentuan perundang-undangan. Sehingga, kita dapat menetapkan kondisi faktual politik uang merupakan perbuatan antara dua (2) pihak yang aktual dalam lingkup tahapan pemilu.
Dengan kata lain, perbuatan tersebut jika dilakukan di luar tahapan pemilu tidak akan bernilai politik uang. Hal ini lah yang menjadi kunci penghubung antara praktik politik uang dikaitkan dengan budaya. Dalam hal mana para ilmuwan sosial memberikan pernyataan bahwa budaya memberikan akibat terjadinya politik uang yang memberikan dampak berikutnya atas kualitas demokrasi ke depan? Sehingga terdapat kondisi kultur yang menyuburkan praktek politik uang.
Namun, situasi yang demikian tentu saja telah diteropong dengan adanya adagium bahwa perubahan terus bergerak. Salah satunya adalah instrumen hukum terus menyesuaikan atas tuntutan untuk mencegah prilaku dan menindak perbuatan praktek
27 Lihat lebih mendalam Peta Jalan Pencegahan Politik Uang
28 FGD Jakarta, 18 September 2018.
29 FGD Surabaya, 24 Agustus 2018.
politik uang. UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum relatif tegas dan keras memotret fenomena politik uang. Diantara mandat yang tegas untuk memberantas praktek politik uang adalah kewenangan Bawaslu untuk mencegah praktek politik uang, hingga level teritorial struktur pengawas pemilu hingga tingkat desa. Dan ini petunjuk bahwa kasus hukum politik uang terjadi pada lingkup teritorial terkecil yakni komunitas desa. Mandat ini perlu dijabarkan lebih jauh secara integratif dan komprehensif pada lingkup Bawaslu.
Optimisme UU tersebut menuntut pengorganisasian Bawaslu yang efektif sejak tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa.
B. Prilaku Itu Menjadi Permissif: Menjadi Budaya?
Hampir semua ilmuwan politik sepakat bahwa politik uang dan fenomena berbahaya dan buruk bagi demokrasi, karena bisa mengaburkan prinsip kejujuran dan keadilan dalam pemilihan. Maraknya politik uang dalam berbagai pemilihan di Indonesia tidak gagal melakukan penilaian terhadap proses demokrasi di negeri ini.
Praktik tersebut kini telah merasuki beragam tingkatan kompetisi demokrasi.
Sebagai contoh, pilkades, (Kartodirjo, 1992, dan Kana, 2001, dan Mohamad Amanu, 2013), pilkada untuk kabupaten dan kota (Fitriyah, 2005, Ilmia Astuti Rahyu, 2006, dan Fatih Gama Absiono, 2012, dan Rahman 2015), dan provinsi (Amazulian Rifai, 2003, Permata, 2015, Kurniawan, 2017, dan Permata, 2017), pileg, (Dendy Lukmajati, 2014, Dede Irawan, 2014).
Indikasinya tercermin dari munculnya berbagai macam ekspresi budaya politik lokal masyarakat terhadap politik uang. Seperti Wani Piro Nomor Piro (berani bayar berapa, nomor berapa)30. Ana Duit, Ya Dipilih (ada duit, ya akan dipiih). Ora Uwek Ora Obos (tidak ada uang, tidak mencoblos), Ado Kendak Baru Uak Balek (minta dukungan, baru balik), dan Cempedak Dibawa Bilik (ada sesuatu yang dibawa pulang) (Andi, dkk, 2017: 9).
Di Pati dikenal dengan Ora Uwik Ora Obos (tidak ada uang, tidak mencoblos) (Rahman, 2015: 329). Di Madura, istilah yang cukup populer dikalangan pemilih untuk hal seperti ini diakronimkan menjadi “Tongket”. Satu (1) orang satu (1) seket. Atau dipadanankan dengan Bahasa Indonesia kurang lebih, “Satu Orang Lima Puluh Ribu Rupiah,” (Permata dan Zuchron, 2018: 25-26).
Jika kita perhatikan, makna umum yang terkandung dalam sejumlah adagium di atas ialah pemilih meminta imbalan uang dari calon atau tim sukses. Tujuannya, agar pemilih mau menggunakan hak pilihnya di TPS. Kini, istilah-istilah tersebut hidup dalam masyarakat lantaran pengaruh pada sikap elit politik.
Studi Lili Romli (ed.) (2009) menemukan bahwa kecenderungan masyarakat sekarang lebih bersifat transaksional. Yang mana mereka (pemilih) akan meminta imbalan jika partai atau calon tertentu akan meminta suaranya. Sikap atau prilaku pemilih tersebut terekam dalam riset Founding Fathers House (FFH) di Brebes 2011 dan 2016, DKI Jakarta 2012, Mojokerto 2015, Lamongan 2015, Jawa Timur 2017 dan 2018, Sulawesi Tenggara 2018 dapat disimpulkan bahwa masyarakat (baca: pemilih) begitu permisif dengan politik uang.
30 Politik Uang NPWP, Nomor Piro Wani Piro,
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/04/07/politik-uang-npwp-nomor-piro-wani-piro.
Diakses 21 September 2018.
Itu dapat terlihat dari ragam jawaban responden jika ditawari sejumlah uang atau barang oleh calon legislatif atau calon kepala daerah atau tim pasangan. Diantaranya yakni uang yang diberikan para peserta pemilu atau tim sukses sebagai sebuah rejeki yang tidak ditolak. Dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama dapur. Sebagai ongkos pengganti lantaran tidak bekerja pada hari coblosan.
Berungkalinya praktik kotor itu terjadi maka secara alamiah membentuk persepsi masyarakat terhadap politik uang. Akibatnya, publik sangat permisif dengan politik uang.31 Hal itu dapat dilihat dari skala kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional (Permata dan Zuchron, 2018: 7-8)). Karena kondisi seperti inilah, Tjahjo Kumolo mengemukakan, politik uang telah menjelma menjadi “budaya” dalam perpolitikan di Indonesia (Kumolo, 2015: 156).
Sebagai contoh di Jawa Timur. Politik uang masih menjadi momok. Keberadaannya menghantui Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Jawa Timur 2018. Bahkan berpotensi menjadi ancaman kontestasi. Berdasarkan hasil survei Surabaya Survey Center (SSC)—mitra riset Founding Fathers House (FFH), pada periode April 2018, angka toleransi pemilih dengan politik uang masih tinggi, yakni 73.6 persen. Mereka akan menerima politik uang atau barang lainnya jika ada tawaran dari kandidat atau calon, tim sukses, atau lainnya.
Jika dibandingkan pada hasil survei SSC periode Juni 2017, angka tersebut mengalami kenaikan signifikan. Di periode Juni 2017, tingkat penerimaan masyarakat terhadap politik uang atau barang lainnya berada di 64 persen. Ada kenaikan sebesar 9.6 persen.
Angka pada periode April 2018 secara kuantitatif berada di atas tingkat nasional. Untuk tingkat nasional tertinggi berada di 66 persen.
Jika memerhatikan keterangan di atas, rupanya terdapat pengaruh antara budaya permissif dengan momentum politik pemilu yang terkait politik uang. Logis apabila budaya permissif menyumbang situasi yang menyuburkan maraknya aktivitas politik uang. Fakta sosialnya, dalam momentum politik kepemiluan, entah siapa yang memulai, ada supply and demand atas politik uang. Kontestan berharap suara pemilih. Pemilih berharap kemanfaatan dari kontestan.
Kendati demikian, uraian dan analisa budaya tidak serta merta menyudutkan kultur itu sendiri sebagai penyumbang terbesar praktek politik uang. Hal ini kembali kepada sesuatu hal yang bersifat fenomenologis. Tujuannya, dalam rangka mencari akar konseptual maraknya budaya permissif itu. Hal demikian ditujukan bukan dalam rangka penyelidikan hukum. Tetapi menyediakan wadah gagasan dan gambaran yang memudahkan pembaca mencari landasan berpikir penyebab sesuatu.
Narasi politik uang menjelma menjadi budaya dalam terminologi politik kepemilian Indonesia mendapat kritikan besar dari Informan P32. Kata dia, jika masuk dalam kategori budaya maka politik uang itu masuk dalam fase budaya baru atau lama? Sebagai rujukan, ia memotret Pemilu 1955 dan 1971. Di kedua pemilu tersebut tidak ada politik uang.
31 Ironis, Masyarakat Kini Siap Terima Politik Uang di Pilkada Serentak,
https://nasional.kompas.com/read/2015/11/05/15154161/Ironis.Masyarakat.Kini.Siap.Terima.Politik.Uang .di.Pilkada.Serentak. Diakses 25 Agustus 2018
32 FGD Jakarta, 18 September 2018.
C. Aktor Bernama itu Klebun dan Blater
Perbuatan politik uang terjadi ketika ada pemberi dan penerima uang atau barang pada masa pemilu. Kondisi seperti ini menjadikan logika politik uang terjadi pada lingkup terkecil. Alasannya, jika kondisi tersebut terjadi di luar masa pemilu atau tidak terkait langsung dengan tujuan memengaruhi pilihan langsung bukanlah domain penyelenggara pemilu secara langsung. Hal tersebut terkait dengan domain administrasi pemilu atau non pemilu.
Jika uang atau barang bersumber dari sumber illegal maka bukanlah politik uang.
Atau, ketika pemberi dan penerima bukanlah antara oknum dan pemilih secara langsung tidak serta merta langsung bernilai politik uang maka dia dapat dikenakan pelanggaran hukum yang lain seperti ranah dana kampanye, atau pidana pencucian uang.
Dengan demikian, politik uang dalam lingkup normatif terletak pada sektor hilir dari mata rantai uang politik. Di sinilah batas yang tegas antara terminologi politik uang yang dalam literatur akademik lebih dekat dengan jual beli suara (vote buying). Berbeda dengan istilah yang lebih makro seperti korupsi politik, pork barrel, atau suap. Hal ini akan lebih jelas dengan gambaran sosiologis yang terjadi pada lingkup potensial terkecil di tingkat desa. Seperti yang terjadi di pedesaan Madura atau Lampung.
Di Jawa Timur, komposisi etnis Madura mencapai 38 persen populasi. Informan S33 menceritakan, Madura selalu menjadi sorotan dalam demokrasi di Jawa Timur. Ini dikarenakan beragam faktor. Sebagai contoh, keterlibatan sejumlah aktor lokal. Seperti Ulama atau Kiai, Kepala Desa—Di Madura lazim disebut Klebun, dan Blater
Informan I menambahkan, dalam konteks kultural tradisional Madura, peran mereka di masyarakat sangat besar. Dari urusan realisasi program pemerintah hingga penentuan demokrasi elektoral. Dalam kajian ini hanya membatasi pada Klebun dan Blater saja.
Dalam sejumlah kajian dikatakan, Blater merupakan bagian dari sesepuh masyarakat sekitar. Tidak semua orang dapat disebut Blater. Julukan ini hanya untuk orang-orang tertentu saja. Dalam pembahasan di sini, Blater yang diulas adalah sosok yang prilakunya menyerupai jagoan. Sosok Blater juga dianggap sebagian penduduk sebagai kesatria lokal yang memiliki pertemanan luas.
Dalam konteks demokrasi lokal di Madura, para kandidat kerap menggunakan jasa kedua orang tersebut dalam operasi politik uang. Karena itu, praktik politik uang di Madura agak unik. Sebagai contoh, kata Viktor, kandidat di Sampang menggunakan politik uang untuk membeli pengaruh dari Klebun-Blater untuk mendapatkan pengaruh dan suara. Bukan memberikan politik uang secara langsung kepada pemilih.
Setelah uang diberikan, Klebun tidak memberikan uang tersebut pada pemilih.
Klebun menggunakan uang tersebut untuk menyewa atau menggunakan jasa Blater.
Klebun memberikan instruksi khusus kepada Blader untuk mengarahkan pilihan politik pemilih. Intruksi khusus ini diterjemahkan Blater dengan mengintimidasi pemilih untuk mencoblos kandidat tertentu.
Karena peran keduanya sangat sentral di tengah masyarakat Madura maka tidak heran apabila pemilih takut kepada Klebun dan Blater. Walhasil, ada adagium dalam konteks pelaksanaan pemilu di Madura, yang ditakuti pemilih adalah keduanya. Bukan
33 FGD Surabaya, 24 Agustus 2018.
pengawas pemilu. Hal ini sempat muncul dalam FGD Peta Jalan Politik Uang di Pilkada yang dilalukan SPD pada medio April-Mei 2018.
Karena itu, agar demokratisasi dapat berjalan serta melemahkan praktik politik uang di Madura maka kedua aktor tersebut perlu dilemahkan. Perlu ada aktor lain—kelompok mengenah kritis, sebagai aktor penyeimbang kekuatan di masyarakat. Soalnya, selama ini Klebun-Blater masih sangat dominan. Kecuali di Bangkalan, karena Klebun-Blader- dan elit adalah orang yang sama.
Selain itu, demokratisasi dapat berjalan di Madura apabila kepala daerah berasal dari intitusi TNI dan Polri. Dapat diprediksi, pelanggaran pemilu seperti politik uang tidak terjadi secara massif. Ini dikarenakan persepsi positif TNI dan Polri di mata masyarakat Madura. Tentu saja, hal itu di luar faktor sosiologis lainnya, seperti orang Madura agak takut kepada TNI dan Polri.
Informan T34 memerkuat narasi atas keterlibatan oknum aparatus di tingkat desa.
Menurutnya, aparatur desa menjadi bagian dari aktor yang melakukan politik uang.
Mereka menjadi operator dalam membagikan uang kepada pemilih. Di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai contohnya. Begitu pula di Tanggamus, Lampung. Pekon—kepala desa, disinyalir menjadi aktor lapangan pelaku politik uang.
D. Demokrasi Padat Modal Vs Kualitas Demokrasi Menurun
Ketua Umum Pergerakan Indonesia Maju (PIM) Din Syamsudin mengatakan, kualitas demokrasi Indonesia menurun. Hal ini disebabkan banyaknya praktik menyimpang dalam tiap perhelatan pemilihan umum. Sebagai contoh maraknya kasus politik uang dan dominasi pemodal.
Dua (2) kasus itu tentu saja mencederai semangat demokrasi. Akibatnya, kualitas demokrasi menjadi turun. Maka muncul paradima minor bahwa landasan budaya bangsa ini sebenarnya belum cukup siap dalam berdemokrasi dan melakukan perubahan.
Karena itu, dua (2) kasus atau hal yang menyimpang dan keluar dari koridor demokrasi, harus ditindak tegas oleh Bawaslu maupun penegak hukum. Tujuannya, agar tak melanggar prinsip berdemokrasi. Soalnya, pemilu itu harus dipandang sebagai cara beradab untuk menghindari ketidakadaban. Cara beradab untuk menghindari kebiadaban.35
Informan I menilai, praktik politik uang di Indonesia mirip dengan Eropa Timur.
Pengusaha menyuap para politisi untuk melanggengkan kepentingannya. Sebagai contoh, pada daerah wisata, para pengusaha menyogok para politisi agar ketika mereka mendapatkan izin pendirian hotel dan lainnya
Dalam konteks Indonesia, hal ini perlu diperhatikan apa yang ditulis Ong Hok Ham soal “Kapitalisme Birokrasi” alias “Kapitalisme Tuyul”. Pengusaha senantiasa “kawin”
dengan para birokrat untuk melancarkan bisnisnya. Persoalan politik uang juga terkait erat dengan pendanaan parpol. Oleh karena itu, di Jerman dulu partai (terutama partai
34 FGD Surabaya, 24 Agustus 2018.
35 Din Syamsuddin, “Politik Uang Diprediksi Marak di Pilkada 2018”,
https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180117191337-32-269707/politik-uang- diprediksi-marak-di-pilkada-2018?. Diakses 21 September 2018.
konservatif) tergantung pada pengusaha. Akhirnya, Negara memberikan dana kepada parpol. Kebijakan ini berhasil dalam mengatasi ketergantungan partai pada pengusaha.
Informan D36, dalam pemilihan bupati dan gubernur di JawaTimur, politik uang dilakukan oleh Botoh—sponsor. Untuk calon Bupati, Botoh memberikan uang pinjaman antara 100 hingga 150 Miliar rupiah. Untuk pemilihan gubernur, Botoh memberikan pinjaman 150 hingga 400 Miliar rupiah. Jika si kandidat yang dipinjami uang itu menang maka uang tersebut dapat dikembalikan 100 persen dalam bentuk uang cash atau dalam bentuk lain—proyek pemeritah daerah. Sebaliknya, jika gagal maka dikembalikan 20 persen dari uang. Untuk pileg dan pilpres, polanya sama.
Dalam kacamata praktisi media massa, politik uang masih terjadi dalam penyelenggaraan Pilgub 2018 di Lampung. Informan Y237, berdasarkan hasil wawancara kepada kandidat gagal berkontestasi dalam pilkada diperoleh beberapa hal. Pertama, untuk mendapatkan tiket dukungan dari parpol—Candidacy Buying, untuk ukuran Kota Metro, Lampung mencapai 1 Miliar. Untuk Lampung Tengah, mencapai 3 Miliar rupiah.
Dengan asumsi, jumlah kursi DPRD dibanderol antara 100-250 juta rupiah per kursi.
Kedua, Vote buying ke pemilih. Ketiga, suap ke penyelenggara pemilu. Ini untuk mengamankan suara. Keempat, politik uang untuk pressure group/interest group seperti media massa dan konsultan.
Sedangkan menurut Informan Y38, nilai demokrasi yang dianut saat sudah ditunggangi opara pemodal. Akibatnya, muncul adagium baru tentang demokrasi model ini yakni demokrasi padat modal. Benang merahnya, dapat diamati dengan banyaknya kepala daerah yang terbebani selama proses pilkada. Hal ini disebabkan diikutsertakannya pemilik modal dalam mengintervensi proses dan hasil pemilu dalam melindungi kepentingan mereka.
Gambaran demikian menunjukkan, adanya sirkulasi modal/finansial kepemiluan yang tidak berhenti pada lingkup hilir semata. Politik uang adalah perbuatan antara pemberi dan penerima untuk memengaruhi pilihan pada masa pemilu ternyata memiliki latarbelakang kompleks. Soalnya, uang atau barang yang beredar pada masa pemilu tidaklah muncul begitu saja. Terdapat motif terhubung dengan aktor tersembunyi dan modal kuat. Dengan begitu demokrasi tidak lepas dari fenomena modal dan sirkulasi uang di dalamnya.
E. Bawaslu, Badan Pengawas Pemilu Nan Kurang Awas
Masih munculnya praktik politik uang pada perhelatan Pilkada 2018 memunculkan cibiran dari akademisi. Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengatakan, masih maraknya pelanggaran politik uang, merupakan kesalahan Bawaslu yang dinilai tidak bekerja dengan baik dalam melakukan pengawasan.
Menurut Margarito, kinerja Bawaslu dalam pencegahan politik uang tidak maksimal.
Untuk itu, Bawaslu memerbaiki sistem kerja. Soalnya, ia meyakini, politik uang akan kembali muncul pada Pileg dan Pilpres 2019. Selain itu, ia beharap, beban pengawasan dan pencegahan politik uang tidak dibebankan pada masyarakat atau Panwas.
36 FGD Surabaya, 24 Agustus 2018.
37 FGD Lampung, 31 Agustus 2018.
38 FGD Lampung, 31 Agustus 2018.
Menurut Margarito, masyarakat yang bertugas sebagai Panitia Pengawas (Panwas) di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) ini hanya berperan untuk memastikan, penyelenggaraan pemilu di tempatnya berlangsung baik dan benar sesuai Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017, bukan mengawasi pelanggaran seperti praktik politik uang dan sebagainya.39
Loyonya kinerja Bawaslu dalam pengawasan dan pencegahan juga disampaikan mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol (Purn) Susno Duadji. Dia mencontohkan, seringkali ada laporan masyarakat kepada panwas soal dugaan politik uang. Namun, Panwas kerap memertanyakan bukti yang dimiliki pelapor.
Menurut dia, Panwas jangan meminta bukti. Jangan meminta menghadirkan saksi.
Karena itu adalah wilayah tugas seorang Hakim. Jika sudah demikian maka persepsi yang terbangun adalah Panwas menjadi pasif. Harusnya aktif. Panwas harus bergerak bekerja.
Panwas tidak boleh takut.40
Informan Y, pelaku politik uang merupakan pelaku yang berpengalaman. Karena prilaku itu mulai dilakukan dari Pemilu 2008, 2014, dan 2018. Karena itu, saran dia, perbaikan harus dimulai dari perspektif hukum. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, koreksi menyeluruh atas subtansi hukum. Penindakan politik uang lebih kental diwarnai “perdebatan” dibanding “aksinya”. Subtansi hukum malah diinterpretasikan.
Contohnya, pemenuhan unsur pasal dalam menjerat praktik politik uang.
Kedua, struktur kelembagaan pengawas. Struktur kelembagaan Bawaslu sudah sampai kecamatan. Untuk itu, Bawaslu harus keluar dari zona nyaman. Bawaslu bergerak dalam kapasitas sebagai pencegahan dan penindak atas pelanggaran politik uang. Ketiga, partisipasi masyarakat. Masyarakat diajak berpartisipasi dalam proses pengawasan penyelenggaraan pemilu. Tapi, tindak lanjutnya tidak serius. Pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu hanya sebatas programatik.
Apakah Bawaslu berjuang sendiri pada ranah pemberantasan politik uang? Tentu tidak. Meskipun begitu, persoalan kultural bukan domain Bawaslu. Tetapi, secara structukal, atas nama alat negara yang menjaga demokratisasi pemilu, hanya Bawaslu yang mendapatkan mandat mencegah politik uang. Sehingga, peran legal normatif ini harus memberikan dampak kultural bagi segenap pihak untuk memajukan demokratisasi pemilu.
F. Peran Ulama?
Politik uang telah melekat dalam budaya. Karena itu, diperlukan aktor berparadigma budaya untuk mengurai serta menjadi penawar situasi yang demikian. Salah satu peran aktor kultur yang dapat diharapkan seperti dari tokoh agamawan termasuk ulama.
Mereka dapat dijadikan penyuluh masyarakat dari dimensi keagamaan. Hal ini muncul dalam banyak temuan dan saran dari para pihak.
39 Margarito Kamis, “Politik Uang Masih Terjadi saat Pilkada, Bawaslu Dianggap Kurang Awas”,
https://www.idntimes.com/news/indonesia/fitang-adhitia/terjadi-politik-uang-di-35-daerah-pengamat- bawaslu-tidak-optimal/full. Diakses 25 Oktober 2018
40 Susno Duadji, “Tiga Praktik Politik Uang dalam Pemilu”,
https://tirto.id/tiga-praktik-politik-uang-dalam-pemilu-menurut-susno-duadji-cNRY. Diakses 23 Oktober 2018