• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. , a disebut pembilang dan b disebut penyebut (Kartono, dkk., 2009: 62).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. , a disebut pembilang dan b disebut penyebut (Kartono, dkk., 2009: 62)."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang berkenaan dengan pola keteraturan, struktur yang terorganisasi, ide-ide atau konsep abstrak, dan pola pikir yang deduktif. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2006:

147), matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak bisa lepas dari masalah matematika Semua berkaitan dengan pemecahan masalah matematika, seperti kegiatan menghitung dan mengukur.

Matematika merupakan salah satu pelajaran yang wajib diajarkan di setiap jenjang pendidikan dasar, menengah hingga Perguruan Tinggi. Di Sekolah Dasar (SD), tujuan akhir pembelajaran matematika yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam matematika setiap konsep berkaitan dengan konsep lain dan suatu konsep menjadi prasyarat bagi konsep yang lain (Heruman, 2008: 4). Oleh karena itu, siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melakukan keterkaitan tersebut melalui belajar bermakna. Dengan belajar bermakna ini siswa tidak menghafal tetapi juga mampu dan memahami materi yang diperolehnya.

Salah satu materi yang diajarkan di SD adalah pecahan. Pecahan merupakan suatu bilangan yang dapat ditulis melalui pasangan terurut dari bilangan bulat a dan b, dan dilambangkan dengan 𝑎𝑏, dengan b ≠ 0. Pada pecahan

𝑎

𝑏, a disebut pembilang dan b disebut penyebut (Kartono, dkk., 2009: 62).

Kemampuan menghitung pecahan sangat penting untuk diajarkan kepada siswa

(2)

sekolah dasar karena materi pecahan berkelanjutan sampai pada tingkat Sekolah Menengah Atas.

Operasi hitung penjumlahan pecahan merupakan salah satu materi yang diajarkan pada semester 2. Perhitungan dengan pecahan tanpa pemahaman konseptual yang kuat tentang pecahan seperti belajar aturan-aturan tanpa logika, tujuan yang tidak bisa diterima (Van de Walle, 2008: 58). Untuk melakukan perhitungan pecahan, perlu adanya kemampuan sebelumnya yang harus dikuasai.

Penguasaan materi sebelumnya sangat penting untuk dapat memahami materi yang lain. Kemampuan dalam menjumlahkan pecahan sangat membutuhkan kemampuan yang lain, seperti penguasaan konsep nilai pecahan, pecahan senilai, dan penjumlahan bilangan bulat.

Materi operasi hitung penjumlahan terdiri dari penjumlahan pecahan berpenyebut sama dan berpenyebut berbeda. Kemampuan prasyarat yang harus dikuasai siswa dalam operasi penjumlahan pecahan adalah penguasaan konsep nilai pecahan, pecahan senilai, dan penjumlahan bilangan bulat (Heruman, 2008:

55). Untuk penjumlahan pecahan yang penyebutnya berbeda, kita harus mencari pecahan-pecahan yang senilai dengan pecahan terjumlah maupun penjumlah sehingga diperoleh pecahan-pecahan yang penyebut sama (Kartono, dkk., 2009:

62). Jadi, untuk melakukan operasi penjumlahan pecahan harus mempunyai kemampuan prasyarat salah satunya menguasai konsep pecahan, dan pecahan senilai.

Menurut Reys, dkk. (1998: 277-278) For example, given the fraction 25and

3

4, finding a common denominator requires finding a fraction equivalent to

2

5 and 𝑎 𝑓𝑟𝑎𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑒𝑞𝑢𝑖𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑡 𝑡𝑜 34 with the same denominator. That is you must find a number for the determination that both 5 and 4 will divide.

For example, a common denominator of 56and 34 is 6 x 4, or 24, but the least common denominator is 12. The least common denominator is the smallest number that both 6 and 4 will divide. With small detominators, the least common denominator can often be found by inspection, which is probably a more beneficial approach than learning a routine.

Jadi, jika ada dua pecahan dengan berpenyebut berbeda, bilangan untuk menyamakan kedua penyebut yang berbeda itu dibutuhkan bilangan pembagi.

Bilangan pembagi tersebut adalah bilangan yang dapat dibagi oleh kedua

(3)

penyebut tersebut, untuk itu diperlukan kelipatan terkecil untuk menyamakan penyebut kedua pecahan yang berbeda tersebut. Oleh karena itu, dalam penjumlahan dalam pecahan berpenyebut tidak sama harus mencari kelipatan persekutuan terkecil (KPK) terlebih dahulu. Materi dalam matematika saling berhubungan, misalnya pada materi pecahan yang berhubungan dengan materi sebelumnya seperti pecahan senilai, dan faktor persekutuan. Materi penjumlahan pecahan juga behubungan dengan materi kelipatan persekutuan terkecil (KPK) karena untuk menyamakan penyebut dalam penjumlahan pecahan menggunakan KPK.

Menurut Suh, Moyer, dan Heo dalam International Journal of Interactive Online Learning (2005:7) yang mengutip simpulan Ashlock bahwa “One common problem in the addition of fraction with unlike denominators is known as the “add across” error where students add both the numerators and denominators.”

Pendapat tersebut menjelaskan bahwa salah satu masalah yang biasa ditemui dalam menjumlahkan pecahan yang berbeda penyebutnya adalah siswa masih saja menjumlahkan pembilang dengan pembilang dan penyebut dengan penyebut.

Pemahaman siswa tentang materi KPK yang kurang maksimal akan memengaruhi kemampuan siswa dalam memahami materi tentang penjumlahan pecahan.

Konsep pembilang dan penyebut juga belum tertanam dengan baik dalam pemikiran siswa, sehingga siswa kebingungan menjumlahkan pecahan sederhana.

Jika hal ini dibiarkan dikhawatirkan akan terjadi salah persepsi pada saat siswa memahami soal, misalnya 12 + 23=35. Misalnya menjumlah pecahan 14 + 24, masih banyak siswa yang penjumlahan pecahan tersebut dengan menjumlahkan pembilang dan juga menjumlahkan penyebutnya.

Fenomena di atas terjadi pada siswa kelas IV SDN Carangan No. 22 Surakarta. Berdasarkan observasi dan wawancara awal yang dilakukan peneliti, pada tanggal 5 Desember 2015, permasalahan yang terjadi di SD tersebut antara lain : (1) masih rendahnya kemampuan berhitung siswa. (2) masih rendahnya pemahaman konsep pecahan. (3) masih sedikit siswa yang mampu melakukan operasi hitung penjumlahan pecahan.

(4)

Hal ini dibuktikan dari dokumen nilai pada tentang materi KPK diperoleh data bahwa 13 dari 21 (61,9%) siswa belum mencapai KKM, sedangkan 8 dari 21 (38,1%) yang sudah mencapai KKM. Hasil pratindakan materi pecahan hanya 6 dari 21 siswa (28,6%) yang mampu mencapai KKM. Sedangkan 15 dari 21 siswa (71,4%) belum mencapai Ketuntasan Kriteria Minimal (KKM) yaitu 70.

Instrumen soal tentang kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan pada pratindakan dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 174. Hasil kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan pada pratindakan dapat dilihat pada lampiran 9 halaman 178. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kemampuan menghitung siswa khususnya kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan masih rendah.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan siswa kelas IV SDN Carangan No. 22 Surakarta yaitu dalam pembelajaran siswa tidak fokus memperhatikan guru. Siswa kurang berkonsentrasi dan mudah bosan. Apalagi karakteristik siswa kelas IV SDN Carangan No. 22 yang agak aktif dalam artian aktif melakukan hal-hal diluar kegiatan belajar mengajar seperti suka jalan-jalan sendiri, asyik bermain sendiri dan lain-lain. Dalam melakukan pembelajaran, guru sudah menggunakan keterampilan menjelaskan dengan baik namun masih didominasi oleh guru.

Pembelajaran juga ditekankan pada latihan pengerjaan soal atau drill, konsekuensinya kalau siswa diberi soal yang berbeda dengan soal latihan, mereka mengalami kesulitan atau membuat kesalahan dalam menyelesaikan tugas- tugasnya. Guru juga menjelaskan konsep pecahan didominasi secara lisan dan penulisannya di papan tulis saja. Kurangnya penggunaan media juga menjadi faktor siswa mudah bosan dan kurang tertarik pada saat pembelajaran berlangsung. Hal tersebut pada akhirnya membuat kemampuan siswa kurang maksimal dan hasil belajar siswa menjadi rendah.

Jika permasalahan di atas terus berlanjut, ditakutkan penguasaan siswa tentang konsep matematika khususnya materi penjumlahan pecahan kurang optimal. Selain itu, karena konsep matematika terus berkaitan, kemampuan siswa terhadap materi yang lebih luas juga akan berkurang. Untuk itu, perlu adanya suatu perbaikan dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa

(5)

dalam pembelajaran matematika khusunya materi penjumlahan pecahan.

Perbaikan dapat dilakukan dalam melakukan proses belajar mengajar. Pemilihan model, metode pembelajaran yang tepat serta penggunaan media akan meningkatkan keaktifan anak dalam belajar dan hasil belajar siswa.

Perbedaan gaya belajar mempunyai dampak besar dalam cara belajar anak.

Menurut David Kolb (dalam Pitadjeng, 2015: 29) gaya belajar anak didasarkan 4 kutub kecenderungan anak belajar, yaitu kutub feeling (concrete experience), thingking (abstract conceptualization), watching (reflective obsevation), doing (active experimentation). Maka, dalam pembelajaran matematika disarankan guru memakai strategi dan model pembelajaran yang memungkinkan anak didik dapat mengoptimalkan gaya belajar mereka seperti membaca, menulis atau menggambar, mengemukakan pendapat, bertanya, mengamati, mendengarkan, dan melakukan tindakan dalam setiap pertemuan kelas.

Menurut Jean piaget seorang pakar yang banyak memberikan kontribusi dalam pengkajian perkembangan kognitif membagi empat peringkat perkembangan kognitif manusia salah satunya adalah perkembangan kognitif siswa usia sekolah dasar (7-11 tahun). Beliau menyatakan bahwa perkembangan kognitif anak usia 7-11 tahun termasuk pada tahapn concrete operasional dimana anak telah dapat berpikir secara logis mengenai peristiwa-peristiwa yang konkret dan mengklasifikasikan benda-benda ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda (Desmita, 2008: 47)

Dengan melihat tahap perkembangan siswa, guru harus dapat menemukan model pembelajaran yang membuat siswa aktif dengan memanfaatkan indranya sebanyak mungkin dan membuat seluruh tubuh maupun pikiran terlibat langsung dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran akan menjadi lebih bermakna, menarik dan menyenangkan. Tidak hanya mendengar ceramah dari guru, melihat hal-hal yang ditulis oleh guru di papan tulis, tetapi juga menggerakkan fisik dan aktivitas intelektual dalam proses pembelajaran.

Gerakan fisik mampu meningkatkan proses mental. Bagian otak manusia yang terlibat dalam gerakan tubuh terletak tepat di bagian otak yang digunakan untuk berpikir dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, dengan melibatkan

(6)

tubuh dalam belajar cenderung membangkitkan kecerdasan terpadu manusia sepenuhnya.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan guru dalam mengembangkan pembelajarannya yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang inovatif.

Model pembelajaran inovatif yang dapat digunakan adalah model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, and Intellectualy (SAVI). Model ini menekankan pada penggunaan semua alat indera dengan aktivitas intelektual dan gerakan fisik. Starting point dalam model pembelajaran SAVI ini adalah Somatic (Learning by Doing), Auditory (Learning by Hearing), Visualization (Learning by Seeing), Intellectualy (Learning by Thingking) (Huda, 2013: 284).

Model SAVI termasuk dalam pembelajaran accelerated learning. Menurut Bobbi DePorter (Baharuddin dan Wahyuni, 2015: 135) menganggap accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak tidak mempunyai persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran fisik, dan kesehatan emosional. Semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

Jadi belajar yang efektif bukan semata-mata bersifat verbal dan kognitif, tapi juga reflektif, terbuka, melibatkan emosi, seluruh tubuh dan indera. Model SAVI ini juga memahami, setiap orang memiliki gaya belajar yang berbeda-beda.

Beberapa prinsip belajar yang diterapkan: belajar seluruh pikiran dan tubuh, belajar adalah berkreasi dan mencipta, bukan hanya menyerap materi, kerja sama membantu proses belajar, pembelajaran berlangsung pada banyak tingkatan dan simultan, belajar paling baik adalah belajar dalam konteks. Emosi positif sangat membantu pembelajaran, serta bentuk visual lebih kuat untuk ditangkap informasinya.

Matematika merupakan ilmu yang mempunyai konsep abstrak, dan berisi angka-angka dan bilangan serta pengoperasiannya. Salah satu kompetensi dalam pembelajaran matematika adalah operasi hitung penjumlahan pecahan. Operasi hitung penjumlahan pecahan merupakan aktivitas menghitung penjumlahan

(7)

pecahan. Dalam pembelajarannya materi ini membutuhkan penggunakan media untuk memudahkan guru dalam mengonkretkan materi yang melibatkan kemampuan berpikir dan penggabungan dari beberapa indra atau modalitas belajar yang dimiliki siswa.

Model pembelajaran SAVI merupakan model pembelajaran yan menekankan pada penggunaan alat indra dengan aktiitas fisik dan intelektual.

Model pembelajaran ini memiliki empar unsur yang harus muncul dalam pembelajaran. Unsur tersebut adalah somatic (gerak), auditory (mendengar dan berbicara), visualization (melihat), dan intellctualy (berpikir). Penggunaan model pembelajaran SAVI dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan belajar matematika khususnya kompetensi Hal tersebut disebabkan karena model pembelajaran SAVI siswa dapat belajar dengan seluruh indra dan anggota tubuhnya.

Model pembelajaran SAVI juga memperhatikan gaya belajar siswa. Siswa dapat belajar dengan melihat (visual) penggunaan media dalam materi pecahan, mendengar penjelasan guru (auditory) atau berbicara melalui presentasi ataupun pendapat dari teman, gerakan (somatic) melalui permainan ataupun bergerak dan melakukan aktivitas dengan menggunakan media dalam materi pecahan, dan terakhir berpikir (intellecualy) dengan mengerjakan soal yang berkaitan dengan materi pecahan. Dengan begitu siswa dapat aktif dalam pembelajaran, siswa juga dapat berpikir kreatif dan inovatif dalam menciptakan hal yang baru yang berkaitan dengan perkembangan otak kanan dan otak kiri, karena pada model pembelajaran ini seluruh anggota tubuh terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Sehingga terdapat keterkaitan antara model pembelajaran SAVI dengan operasi hitung penjumlahan pecahan yaitu mengaktifkan seluruh indra siswa untuk melakukan operasi hitung penjumlahan pecahan dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

Bersadarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dengan judul

“Peningkatan Kemampuan Operasi Hitung Penjumlahan Pecahan Melalui Model Pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI)

(8)

(Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas IV SDN Carangan No. 22 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016)”.

Penelitian serupa juga telah dilaksanakan oleh beberapa peneliti lain, salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ginza Firsta Putri dengan judul

“Peningkatan Keterampilan Menulis Laporan Melalui Model Pembelajaran Somatic Auditory Visualization Intellectualy (SAVI) pada Siswa Kelas V SDN Pajang IV Laweyan Surakarta Tahun Ajaran 2014/2015”. Penelitian lain dilakukan oleh Devi Novitasari dengan judul “Peningkatan Keterampilan Menulis Deskripsi Melalui Model Pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, and Intellectualy (SAVI) pada Siswa Kelas IV SD Negeri Tegalsari No. 60 Laweyan Surakarta Tahun Ajaran 2014/2015.” Hal yang relevan dari kedua penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah variabel bebasnya yang sama-sama menggunakan SAVI. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa penerapan model SAVI dapat meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang ada yaitu sebagai berikut :

1. Apakah penggunaan model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI) dapat meningkatkan kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan pada siswa kelas IV SDN Carangan No. 22 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016?

2. Bagaimana penerapan model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI) yang dapat meningkatkan kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan pada siswa kelas IV SDN Carangan No. 22 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016?

(9)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah penelitian di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk meningkatkan kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan dengan menggunakan model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI) pada siswa kelas IV SDN Carangan No. 22 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.

2. Untuk memaparkan penerapan model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI) yang dapat meningkatkan kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan pada siswa kelas IV SDN Carangan No.

22 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat diantaranya sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini menjadi referensi teoritik dan sumbangan ide-ide yg lebih bersifat konseptual tentang peningkatan kemampuan operasi hitung penjumlahan melalui model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI).

b. Sebagai bahan pertimbangan penelitian selanjutnya tentang peningkatan kemampuan operasi hitung dalam pembelajaran Matematika dengan model pembelajaran Somatic, Auditory, Visualization, Intellectualy (SAVI).

2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa

1) Siswa memeroleh pengetahuan dan pandangan yang lebih luas tentang operasi hitung penjumlahan melalui model pembelajaran SAVI.

2) Siswa memeroleh pengalaman sehingga dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran operasi hitung penjumlahan pecahan melalui penerapan model pembelajaran SAVI.

(10)

b. Bagi Guru

1) Guru memeroleh informasi mengenai model pembelajaran yang inovatif dan kreatif dengan menggunakan model pembelajaran SAVI dalam proses pembelajaran operasi hitung penjumlahan pecahan.

2) Guru dapat termotivasi dalam meningkatkan pembelajaran operasi hitung penjumlahan pecahan melalui penerapan model pembelajaran SAVI.

c. Bagi Sekolah

1) Sekolah memeroleh pengalaman penelitian tentang penerapan model pembelajaran SAVI untuk meningkatkan kemampuan operasi hitung penjumlahan pecahan siswa kelas IV.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah media pembelajarannya siap, guru kemudian menetapkan langkah-langkah penggunaan media tersebut. Terlebih dahulu guru membagi kelas menjadi delapan kelompok

Mannose-binding lectin (MBL) mengenali gugus gula yang biasanya terdapat pada permukaan mikroba dan merupakan aktivator sistem protein plasma (komplemen) yang sangat kuat yang

judul “ ANALISA PEMBEBANAN MOTOR UNIVERSAL DENGAN MENGGUNAKAN DUA SUMBER TEGANGAN AC DAN DC” Laporan Akhir ini adalah salah satu syarat menyelesaikan program Diploma III

[r]

aturan yang tetap (struktur) akan tetapi juga oleh faktor-faktor lain. Oleh karena itu di samping kami mempergunakan model analisa struktur kami juga mem:

D, selaku Ketua Program Studi Ilmu Fisika Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus sebagai Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan

Diajukan untuk menempuh ujian akhir pada Program Studi Manajemen Keuangan Program Diploma III Manajemen

Bahwa terhadap kewajiban PPID untuk melakukan Pengujian Konsekuensi, Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008