commit to user
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Inflasi
Case dan Fair (2006) mendefinisikan inflasi sebagai peningkatan tingkat harga secara keseluruhan. Sebaliknya, penurunan tingkat harga secara keseluruhan atau serentak disebut deflasi. Segala bentuk peningkatan harga yang dapat menggeser kurva Agregat Demand ke kanan dan Agregat Supply ke kiri dapat menyebabkan inflasi. Inflasi satu kali merupakan kondisi dimana tingkat inflasi yang tinggi terjadi dalam waktu singkat (sementara). Sementara itu, inflasi yang terjadi ketika tingkat harga keseluruhan terus naik selama satu periode waktu yang cukup lama disebut sebagai inflasi yang berlanjut. Inflasi dapat diukur dengan melihat dan menghitung peningkatan rata-rata harga pada sejumlah barang dan jasa yang besar selama beberapa periode.
Bank Indonesia (2016) mengelompokkan inflasi dalam dua bentuk, yaitu inflasi inti dan inflasi non inti. Inflasi inti yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran dan lingkungan eksternal (nilai tukar, komoditi internasional, inflasi mitra dagang, dan ekspektasi inflasi pedagang dan konsumen). Sementara itu, inflasi non inti yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen tersebut antara lain sebagai berikut (Bank Indonesia, 2016):
1) Inflasi komponen bergejolak (volatile food) yaitu inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shock dalam kelompok bahan makanan seperti
commit to user
10
panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik dan internasional.
2) Inflasi komponen harga pemerintah (Administered Prices) yaitu inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shock berupa kebijakan harga pemerintah, seperti BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dan sebagainya.
Boediono (2013) dalam bukunya mendefinisikan inflasi secara singkat sebagai kecenderungan harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus- menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat dikatakan sebagai inflasi, kecuali kenaikan harga tersebut memberikan dampak berkelanjutan terhadap harga barang-barang lainnya. Inflasi dibedakan kedalam tiga dasar pembagian yaitu berdasarkan tingkat “parah” tidaknya inflasi, penyebabnya, dan berdasarkan asal dari inflasi.
Inflasi berdasarkan tingkatannya dibagi kedalam empat tingkatan, yaitu (Boediono,2013):
1) Inflasi ringan (di bawah 10% setahun) 2) Inflasi sedang (antara 10-30% setahun) 3) Inflasi berat (antara 30-100% setahun) 4) Hiper inflasi (diatas 100% setahun)
Berdasarkan penyebabnya inflasi dibagi kedalam 2 (dua) macam (Boediono,2013):
1) Demand pull inflation yaitu inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang yang terlalu kuat. Secara sederhana dapat dikatakan demand pull inflation sebagai tingkat inflasi yang disebabkan karena peningkatan permintaan agregat. Beberapa hal yang
commit to user
11
dapat mendorong terjadinya demand pull inflation antara lain meningkatnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah.
Gambar 2.1 Efek Pergeseran Permintaan terhadap Penawaran
Sumber : Boediono (2013:163)
Tingginya permintaan menyebabkan kurva agregat demand bergeser ke kanan (dari D1 ke D2 ). Berdampak pada peningkatan harga ekuilibirum (dari H1 menjadi H2 ).
2) Cost push inflation yaitu inflasi yang timbul karena adanya kenaikan biaya produksi.
Gambar 2.2 Efek Pergeseran Penawaran terhadap Permintaan
Sumber : Boediono (2013:163)
S2
S1
D
Q2 Q1
H2
H1
Output Harga
D2
D1
S
Q2
Q1
H2
H1
Output Harga
commit to user
12
Peningkatan biaya produksi menyebabkan terjadinya penurunan penawaran kepada masyarakat yang digambarkan oleh pergeseran kurva penawaran agregat (dari S1 ke S2). Bergesernya penawaran menyebabkan tingkat harga ekuilibrium naik (dari H1 menjadi H2) dan tingkat output menurun (dari Q1 ke Q2).
Pengelompokan inflasi berdasarkan asal dari inflasi dibedakan menjadi (Boediono, 2013):
1) Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation)
Inflasi dari dalam negeri dapat terjadi karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen gagal, dan sebagainya.
2) Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi dari luar negeri dapat terjadi karena adanya kenaikan harga- harga atau inflasi di luar negeri atau negara yang menjadi relasi perdagangan. Meningkatnya harga barang-barang yang diimpor berdampak pada peningkatan indeks biaya hidup secara langsung, secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi, dan secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga dalam negeri.
Terdapat tiga teori yang membahas mengenai inflasi, diantaranya (Boediono, 2013):
a. Teori Kuantitas
Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi dari jumlah uang beredar dan psikologi (harapan) masyarakat mengenai peningkatan harga.
teori ini beranggapan bahwa inflasi hanya bisa terjadi apabila dilakukan
commit to user
13
penambahan volume uang beredar. Apabila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya. Dari sisi psikologi masyarakat, terdapat tiga kondisi yang dapat mempengaruhi terjadinya inflasi: (1) apabila masyarakat tidak mengharapkan harga-harga meningkat dimasa mendatang, peningkatan jumlah uang beredar yang diterima masyarakat akan digunakan untuk menambah likuiditasnya; (2) saat masyarakat mulai menyadari adanya inflasi, penambahan jumlah uang beredar yang diterima masyarakat tidak lagi digunakan untuk menambah likuiditasnya melainkan digunakan untuk membeli barang untuk menghindari terjadinya kenaikan harga dimasa mendatang; dan (3) mencapai tahap hiperinflasi, pada tahap ini masyarakat mulai kehilangan kepercayaan terhadap nilai mata uang dan peredaran uang semakin cepat.
b. Teori Keynes
Teori Keynes berpendapat bahwa inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Oleh sebab itu, akan terbentuk suatu inflationary gap yang timbul karena golongan- golongan masyarakat tertentu menterjemahkan aspirasi mereka menjadi sebuah permintaan yang efektif. Sehingga tingkat permintaan atas barang selalu melebihi tingkat ketersediaan barang di pasar.
c. Teori Strukturalis
Teori ini menekankan pada ketegaran (regidities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Terdapat dua ketegaran utama, yaitu:
commit to user
14
1) Ketegaran berupa “tidak-elastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan pertumbuhan sektor-sektor lain.
2) Ketegaran berupa “tidak-elastisan” dari supply atau produksi bahan makanan dalam negeri. Produksi bahan pangan yang tidak dapat mengimbangi peningkatan jumlah penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga bahan pangan dalam negeri cenderung terus meningkat dibandingkan harga barang-barang lain.
Teori ini memiliki anggapan yang serupa dengan teori kuantitas, tanpa penambahan jumlah uang beredar, proses peningkatan harga akan berhenti dengan sendirinya. Teori strukturalis juga menyatakan bahwa faktor-faktor struktural tidak seluruhnya berperan sebagai penyebab dasar dari proses inflasi tersebut. Ketegaran-ketegaran dapat terjadi karena kebijakan harga atau kebijakan moneter yang ditetapkan pemerintah.
B. Keidakpastian Inflasi (Inflation Uncertainty)
Ketidakpastian dalam perekonomian secara umum dijelaskan oleh Harin (2006) bahwa ketidakpastian atau ketidakpastian parsial mungkin tidak terlihat dan penting. Dalam kasus apapun, mayoritas peristiwa masa depan berisi ketidakpastian. Dalam bentuk sederhana prinsip ketidakpastian berbunyi
“peristiwa masa depan berisi (setidaknya) tingkat ketidakpastian (tersembunyi)”.
Ketidakpastian inflasi adalah kondisi dimana tidak diketahui arah yang jelas mengenai inflasi dimasa depan. Tingkat saving dan belanja, suku bunga serta investasi dapat terpengaruh oleh ketidakpastian inflasi. Dalam jangka panjang
commit to user
15
tingginya tingkat ketidakpastian inflasi dianggap dapat mempengaruhi penurunan output ekonomi (Bussiness Dictionary, 2016).
Pada penelitian sebelumnya, ketidakpastian inflasi dijelaskan oleh Jiranyakul dan Opiela (2010) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ball (1992), dan Cukierman dan Meltzer (1986) sebagai varians dari komponen tidak terduga dari prediksi atau perkiraan inflasi yang akan datang.
C. Jumlah Uang Beredar
Uang (money) adalah seperangkat aset dalam perekonomian yang digunakan oleh orang-orang secara rutin untuk membeli barang atau jasa dari orang lain. Uang berfungsi sebagai alat pertukaran, satuan hitung dalam menentapkan harga, dan sebagai penyimpan nilai yang digunakan untuk mentrasfer daya beli dari masa sekarang ke masa depan (Mankiw, 2006).
Boediono (1985) menjelaskan definisi uang sebagai uang beredar dalam arti sempit dan uang beredar dalam arti luas berikut ini:
a. Uang beredar dalam arti sempit (narrow money / M1) adalah seluruh uang kartal dan uang giral yang tersedia untuk digunakan oleh masyarakat.
Uang kartal adalah uang tunai (yang dikeluarkan oleh pemerintah atau bank sentral) yang langsung berada di bawah kekuasaan masyarakat (umum) untuk menggunakannya. Uang yang termasuk dalam uang kartal adalah uang kertas atau logam yang beredar diluar bank umum dan bank sentral. Uang kertas atau logam yang berada di bank tidak termasuk dalam uang kartal. Uang giral adalah seluruh nilai saldo rekening koran (giro) yang dimiliki masyarakat pada bank-bank umum. Saldo ini
commit to user
16
termasuk dalam uang beredar karena sewaktu-waktu bisa digunakan oleh pemiliknya untuk memenuhi kebutuhan.
b. Uang beredar dalam arti luas (board money/M2) adalah narrow money ditambah dengan deposito berjangka dan tabungan (quasi money).
Deposito berjangka dan tabungan dianggap sebagai uang beredar karena kedua bentuk simpanan ini dapat diubah menjadi uang tunai untuk pembayaran.
Irving Fisher dalam Boediono (2013) berpendapat bahwa permintaan akan uang timbul dari penggunaan uang dalam proses transaksi. Dengan asumsi perekonomian dalam kondisi full employment sebuah persamaan dapat ditulis sebagai berikut :
Keterangan :
M = Volume uang di masyarakat VT = rata-rata perputaran uang P = Harga rata-rata barang T = Volume transaksi
Dalam kondisi ekuilibrium di sektor moneter permintaan uang (Md) sebanding dengan penawaran uang (Ms).
Berdasarkan teori preferensi likuiditas Keynes (Mishkin dalam Maryati, 2010:17), terdapat 3 motif permintaan atas uang, antara lain:
commit to user
17 1. Motif transaksi
Komponen permintaan akan uang ditentukan oleh besarnya tingkat transaksi seseorang, sehingga permintaan akan uang proporsional terhadap pendapatan.
2. Motif berjaga-jaga
Seseorang memegang uang sebagai antisipasi terhadap kebutuhan yang tidak terduga.
3. Motif spekulasi
Permintaan uang untuk tujuan spekulasi dipengaruhi oleh tingkat bunga.
Permintaan atas uang besar apabila tingkat bunga rendah, dan permintaan atas uang rendah apabila tingkat bunga tinggi.
D. Tingkat Suku Bunga
Suku bunga adalah harga kredit, dan imbalan atas kerelaan orang melepaskan likuiditasnya. Tinggi rendahnya suku bungga dipengaruhi oleh banyak faktor seperti laju inflasi besar-kecilnya risiko, jangka waktu pinjaman, jaminan dan lain-lain (Gilarso, 2008).
Boediono (2013) mendefinisikan bunga sebagai “harga” yang harus dibayar apabila terjadai suatu “pertukaran” antara satu rupiah sekarang dan satu rupiah dimasa mendatang. Menurut mashab klasik bunga timbul karena uang bersifat produktif, dalam arti bahwa dengan dana di tangan seorang pengusaha bisa menambah alat produksinya (modal) yang bisa menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi. Menurut mashab Keynessian, uang bisa produktif dengan cara lain yaitu dengan berspekulasi di pasar surat berharga dengan kemungkinan memperoleh keuntungan. Mashab klasik menganggap uang sebagai dana
commit to user
18
investasi, sedangkan mashab Keynesian menganggap uang sebagai aktiva yang likuid yang dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan dari pasar surat berharga. Kedua pandangan sebenarnya saling melengkapi. Uang sebenarnya adalah aktiva likuid sekaligus dana investasi. Tingkat bunga adalah harga uang yang dihasilkan dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran dana investasi. Tingkat bunga adalah harga uang yang timbul dari keseimbangan antara permintaan dan penawaran uang sebagai aktiva likuid.
Titik dimana kuantitas uang yang diminta sama dengan kuantitas uang yang ditawarkan menentukan tingkat bunga ekuilibrium dalam perekonomian (Case dan Fair, 2006:161).
Gambar 2.3 Penyesuaian Pasar Uang
Sumber : Case dan Fair (2006:162)
Berdasarkan Gambar 2.3 Case dan Fair (2006:162) menjelaskan penyesuaian pasar uang sebagai berikut:
Jika tingkat bunga pada awalnya cukup tinggi sehingga menciptakan penawaran uang berlebih, tingkat bunga akan segera turun, menurunkan niat orang untuk berpindah dari memegang uang ke obligasi. Jika tingkat bunga awalnya cukup rendah sehingga menciptakan permintaan uang berlebih, tingkat bunga akan segera meningkat, menurunkan niat orang untuk berpindah dari memegang obligasi ke uang (Case dan Fair 2006 :162).
Permintaan uang berlebih Permintaan
uang berlebih
Md1
Md0 MS
Md r0
r* r1
%
0
commit to user
19
Case dan Fair (2006) menunjukkan bahwa kurva permintaan uang juga dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan agregat dan harga. Meningkatnya pendapatan agregat berarti tingkat aktivitas ekonomi riil yang lebih tinggi.
Semakin banyak jumlah produksi, pendapatan akan lebih tinggi, dan ada lebih banyak transaksi dalam perekonomian. Berdampak pada semakin tingginya permintaan uang perusahaan dan rumah tangga secara agregat. Meningkatnya pendapatan agregat menggeser kurva permintaan uang ke kanan.
Berikut ini penjelasan Case dan Fair (2006:164) mengenai bagaimana permintaan jumlah uang, tingkat harga, dan suku bunga saling berhubungan dengan asumsi kuantitas uang tidak berubah:
Kurva permintaan uang bergeser ketika tingkat harga berubah. Jika harga meningkat permintaan uang bergeser ke kanan, karena orang perlu lebih banyak uang untuk melakukan transaksi harian mereka. Akan tetapi, ketika kuantitas uang yang beredar tidak berubah, tingkat suku bunga terus meningkat untuk mengurangi kuantitas uang yang diminta terhadap kuantitas penawaran uang yang tetap. Jika tingkat harga turun, kurva permintaan uang bergeser ke kiri, karena orang perlu lebih sedikit uang untuk transaksi mereka.
Akan tetapi, dengan kuantitas uang yang ditawarkan tak berubah, tingkat bunga harus turun untuk meningkatkan kuantitas uang yang diminta terhadap kuantitas penawaran uang yang tak berubah (Case dan Fair 2006:164).
E. Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen 1. Hubungan Ketidakpastian Inflasi dengan Inflasi
Penelitian yang dilakukan oleh Friedman (1977 dalam Thornton, 2007) telah banyak digunakan sebagai acuan untuk penelitian terkait lainnya. Dalam penelitiannya Friedman berpendapat bahwa peningkatan tingkat inflasi dapat menyebabkan respon kebijakan moneter menjadi tidak menentu, sehingga menimbulkan tingkat inflasi dimasa mendatang menjadi semakin tidak pasti. Peneliti lain yang dilakukan oleh Cukierman-
commit to user
20
Meltzer (1986 dalam Thornton, 2007) menjelaskan bahwa otoritas moneter memiliki insentif untuk membuat sebuah shock inflasi atau inflation surprise untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan pada ketidakpastian pertumbuhan jumlah uang dan inflasi yang akan meningkatkan tingkat inflasi rata-rata.
Jiranyakul dan Opiela (2010) melakukan sebuah penelitian serupa untuk menyelidiki hubungan antara inflasi dan ketidakpastian inflasi dengan metode uji kausalitas Granger untuk menguji hubungan dari kedua variabel. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa inflasi dan ketidakpastian inflasi memiliki hubungan positif dimana meningkatnya inflasi menyebabkan ketidakpastian inflasi yang lebih tinggi dan meningkatnya ketidakpastian inflasi menyebabkan meningkatnya tingkat inflasi. Sedangkan menurunnya tingkat inflasi menyebabkan semakin berkurangnya ketidakpastian inflasi.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Fountas (2010). Berdasarkan pengujian diperoleh hasil yang signifikan bahwa ketidakpastian inflasi berdampak positif terhadap tingkat inflasi. Disamping itu, ditemukan juga bukti bahwa terdapat hasil gabungan dimana sebagian negara menunjukkan terdapat kausalitas tingkat inflasi terhadap ketidakpadtian inflasi, sesuai dengan pendapat Friedman.
Nguyen Van Phoung (2014) juga melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara inflasi dan ketidakpastian inflasi dengan negara Vietnam sebagai objek penelitiannya. Menggunakan model EGARCH dan VAR untuk mengestimasikan nilai ketidakpastian dan menguji hubungan
commit to user
21
antar kedua variabel, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa inflasi menyebabkan ketidakpastian inflasi. Namun, tidak ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa ketidakpastian inflasi menyebabkan tingkat inflasi untuk naik. Dapat dikatakan bahwa Phoung memiliki pendapat yang sesuai dengan pernyataan Friedman.
Penelitian lain juga telah dilakukan dengan meneliti tingkat inflasi dan ketidakpastian inflasi di Malaysia oleh Baharumshah dan Soon (2014).
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa sebuah shock negatif yang tidak terduga pada tingkat inflasi menghasilkan nilai ketidakpastian inflasi yang lebih besar dibandingkan shock positif. Begitu pun pada pertumbuhan ekonomi, shock negatif pertumbuhan ekonomi menghasilkan nilai ketidakpastian pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan shock positif.
Thornton (2007) untuk menguji hubungan inflasi dan ketidakpastian inflasi pada Emerging Market Economies dilakukan dengan menggunakan metode yang sama dengan beberapa peneliti lainya.
GARCH digunakan untuk mengukur ketidakpastian inflasi disuatu negara, dan Granger Causality digunakan untuk menguji hubungan antara kedua variabel. Berdasarkan penelitiannya disimpulkan bahwa tingkat inflasi yang lebih tinggi menyebabkan peningkatan ketidakpastian inflasi, sesuai dengan hipotesis Friedman. Dampak yang dihasilkan dari ketidakpastian inflasi terhadap tingkat inflasi rata-rata bulanan menunjukkan bahwa pada sebagian sampelnya tingkat ketidakpastian inflasi menyebabkan tingkat inflasi bulanan yang lebih rendah, sedangkan sample lainnya menunjukkan
commit to user
22
ketidakpastian inflasi menyebabkan tingkat inflasi bulanan yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan hipotesisi Holland dan Cukierman-Meltzer.
2. Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Inflasi
Pertumbuhan uang yang tinggi mengakibatkan inflasi yang tinggi.
Jika uang beredar terus bertumbuh pada tahun-tahun berikutnya, perekonomian akan terus bergerak ke tingkat harga yang lebih tinggi dan lebih tinggi. Selama uang beredar tumbuh, proses ini akan terus berlanjut dan inflasi akan terjadi (Mishkin dalam Maryati, 2010:20).
Teori Kuantitas Uang
Salah satu teori yang menjelaskan bagaimana perubahan jumlah uang beredar mempengaruhi tingkat inflasi adalah teori kuantitas uang (quantity theory of money). Teori ini mengasumsikan bahwa kecepatan uang adalah konstan dari waktu ke waktu. Secara umum teori ini menggambarkan hubungan jumlah uang beredar, output dan harga yang dapat ditulis dalam persamaan berikut:
Keterangan:
M = jumlah uang beredar V = perputaran uang P = tingkat harga Y = tingkat pendapatan
Persamaan tersebut dapat menunjukkan bahwa jika satu atau lebih variabel mengalami perubahan, maka satu atau lebih variabel lainnya juga akan mengalami perubahan untuk menjaga keseimbangan. Jika jumlah
commit to user
23
uang beredar meningkat, maka dari ketiga variabel harus berubah untuk menjaga keseimbangan. Harga akan meningkat, kuantitas output juga harus meningkat, atau kecepatan perputaran uang harus turun.
Persamaan kuantitas dalam bentuk persen dapat ditulis sebagai berikut:
Perubahan jumlah uang beredar dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral, sedangkan perubahan perputaran uang dipengaruhi oleh permintaan uang, perubahan persentase tingkat harga adalah inflasi, dan perubahan output tergantung dari perubahan faktor produksi dan kemajuan teknologi. Jika diasumsikan ΔV dan ΔY konstan maka dapat disimpulkan bank sentral mempengaruhi inflasi (Herlambang dalam Maryati, 2010:22).
3. Hubungan Tingkat Suku Bunga dengan Inflasi
Hubungan tingkat bunga dan inflasi dapat dijelaskan dengan pengertian tingkat bunga nominal. Sebuah hubungan dapat dituliskan dalam pesamaan berikut:
r = tingkat bunga riil
Hubungan seperti ini dikenal sebagai Fisher Effect (one for one relation) yang menunjukkan 1% perubahan inflasi akan menyebabkan 1%
perubahan tingkat bunga nominal (Herlambang dalam Maryati, 2010 : 23).
Persamaan tersebut dapat diubah menjadi:
commit to user
24
Inflasi sama dengan tingkat bunga nominal dikurangi dengan tingkat bunga riil. Jadi terdapat hubungan antara tingkat suku bunga dan inflasi.
Case dan Fair (2006) menjelaskan bahwa bunga adalah biaya peluang untuk memegang uang. Semakin tinggi tingkat bunga, semakin tinggi biaya peluang memegang uang dan semakin sedikit yang uang yang ingin dipegang orang. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa ketika tingkat bunga tinggi, orang ingin mengambil keuntungan penghasilan tinggi dari obligasi, sehingga mereka memilih memegang uang sangat sedikit. Dengan demikian, tingkat bunga memiliki pengaruh terhadap inflasi dengan mempengaruhi spekulasi para pelaku ekonomi.
F. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk melihat pengaruh antara variabel ketidakpastian inflasi dan tingkat inflasi. Beberapa penelitian lain juga melihat bagaimana pengaruh variabel-variabel moneter terhadap tingkat inflasi. Berikut ini penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya:
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No. Judul (Penulis) Alat Analisis Hasil Penelitian 1. Inflation and Inflation
Uncertainty in The ASEAN – 5 Economies Jiranyakul dan Opiela (2010)
Journal of Asians Economics, Vol. 21
AR(p) – EGARCH (1,1) dan Uji Kausalitas Granger
Peningkatan inflasi menyebabkan lebih banyak ketidakpastian inflasi, sebaliknya penurunan tingkat inflasi menghasilkan lebih sedikit ketidakpastian inflasi. Uji Granger menunjukkan terdapat hubungan positif yang mengindikasikan bahwa meningkatnya inflasi menyebabkan terjadinya
commit to user
25
No. Judul (Penulis) Alat Analisis Hasil Penelitian peningkatan ketidakpastian inflasi dan sebaliknya meningkatnya
ketidakpastian inflasi meningkatkan tingkat inflasi.
2. The Relationship between Inflation and Inflation Uncertainty in Emerging Market Economies
Thornton (2007)
Southern Economics Journal, Vol. 37
GARCH (q,v) dan Uji Kausalitas Granger
Tingkat inflasi yang lebih
tinggi mendorong
meningkatnya
ketidakpastian inflasi.
Penemuan ini membuktikan hipotesis Friedman. Hasil uji pengaruh ketidakpastian inflasi pada inflasi bulanan rata-rata adalah campuran.
Kolombia, Israel, meksiko dan turki menunjukkan
hubungan dimana
peningkatan ketidakpastian inflasi mengarah untuk menurunkan tingkat inflasi seperti hipotesis Holland.
Sedangkan, Hungaria, Indonesia dan Korea menunjukkan hubungan dimana meningkatnya ketidakpastian inflasi mengarah pada tingkat inflasi yang lebih tinggi.
3. The Tradeoff between Inflation and Inflation Uncertainty : The Case of Vietnam
Phoung (2014)
Social Science Research Network
AR – EGARCH dan VAR
Ditemukan hubungan kausalitas satu arah inflasi terhadap ketidakpastian inflasi, dimana inflasi secara signifikan menyebabkan ketidakpastian inflasi meningkat. Sedangkan, ketidakpastian inflasi tidak menyebabkan tingkat inflasi meningkat.
4. Inflation, Inflation Uncertainty and Growth: Are They Related?
Fountas (2010)
Economic Modelling, Vol. 27
GARCH in Mean (GARCH-M)
Terdapat dampak positif dari ketidakpastian inflasi terhadap inflasi yang mendukung hipotesis Cukierman-Meltzer.
Namun, ditemukan juga adanya bukti campuran pada dampak kausalitas inflasi
commit to user
26
No. Judul (Penulis) Alat Analisis Hasil Penelitian pada ketidakpastian inflasi.
5. Inflation, Inflation Uncertainty and Output Growth: What Does The Data Say for Malaysia?
Baharumshah dan Soon (2014)
Journal of Economics Studies, Vol. 41
GARCH (Generalized Autoregressive Conditional
Heteroscedasicity)
Terdapat dampak positif
perubahan pada
ketidakpastian inflasi seperti hipotesis Friedman-Ball yaitu meningkatnya tingkat inflasi menyebabkan peningkatan ketidakpastian inflasi.
6. Money Supply and Inflation; How and How much can The Money Supply Affect The Inflation Rate?
Amedeo
Journal of Economic Literature (JEL) Classification
Regresi data Panel Berdasarkan tampilan grafik hasil penelitian diketahui bahwa jika penawaran uang meningkat tingkat inflasi juga akan meningkat, jika penawaran uang menurun tingkat inflasi juga turun.
7. Pengaruh Faktor-faktor Moneter terhadap Inflasi di Indonesia Maryati (2010)
Regresi Linear Berganda
Hasil menunjukkan bahwa jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah terhadap dollar secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Secara parsial peningkatan jumlah uang beredar dan nilai tukar tidak selalu mempengaruhi inflasi. Sedangkan variabel tingkat suku bunga berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi.
8. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inflasi di Indonesia Periode 2000.1 – 2011.4
Nugroho dan Basuki (2012)
Regresi Linear Berganda
Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel PDB, dan
suku bunga SBI
berpengaruh positif terhadap inflasi. Sedangkan nilai tukar tidak berpengaruh terhadap inflasi. Disisi lain, variabel jumlah uang beredar berpengaruh negatif dan signifikan terhadap inflasi.
9. Penentu Inflasi di Indonesia; Jumlah Uang Beredar, Nilai
Analisis regresi berganda kuadrat terkecil (OLS)
Hasil menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto, jumlah uang beredar, nilai
commit to user
27
No. Judul (Penulis) Alat Analisis Hasil Penelitian Tukar, ataukah
Cadangan Devisa?
Utami dan Subagiyo (2013)
tukar, dan cadangan devisa secara bersama-sama berpengaruh terhadap inflasi. Secara parsial, PDB dan cadangan devisa tidak berpengaruh terhadap inflasi. Nilai tukar berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi.
Sedangkan jumlah uang beredar berpengaruh negatif signifikan terhadap inflasi.
10. Pengaruh Aspek Moneter dan Fiskal terhadap Inflasi di Indonesia (Periode Tahun 2000-2014) Watulingas, Rotinsulu, dan Siwu (2016)
Analisis Linear Berganda
Hasil penelitian
menunjukkan variabel Jumlah uang beredar dalam jangka pendek berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi. Dari aspek fiskal, variabel belanja pemerintah berpengaruh positif signifikan terhadap inflasi dan penerimaan pajak berpengaruh negatif signifikan terhadap inflasi.
G. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu hubungan kausalitas antara inflasi dan ketidakpastian inflasi, serta untuk mengetahui bagaimana pengaruh antara jumlah uang beredar, tingkat suku bunga dan ketidakpastian inflasi terhadap tingkat inflasi. Berdasarkan tujuan tersebut, hubungan antara variabel dalam penelitian dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.4 Kerangka Pikiran Jumlah Uang Beredar
Ketidakpastian Inflasi
Tingkat Suku Bunga
Inflasi
commit to user
28
Berdasarkan skema diatas, penelitian akan difokuskan pada pengaruh variabel ketidakpastian inflasi, jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga terhadap inflasi. Penelitian ini juga menguji hubungan kausalitas antara inflasi dan ketidakpastian inflasi. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut diketahui bahwa inflasi dipengaruhi oleh ketidakpastian inflasi, jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga.
Ketidakpastian inflasi merupakan sebuah nilai yang mewakili unsur ketidakpastian pada inflasi yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penetapan kebijakan pemerintah, ekspektasi masyarakat, serta faktor musim yang dapat mempengaruhi harga. Hal-hal tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian tingkat inflasi di masa depan. Beberapa penelitian menunjukkan tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi tingkat ketidakpastian inflasi, dan peneliti lain berpendapat bahwa tingkat ketidakpastian inflasi yang tinggi mempengaruhi tingkat inflasi.
Jumlah uang beredar dalam arti luas merupakan banyaknya jumlah uang yang dipegang oleh masyarakat baik dalam bentuk tunai, rekening giro, atau deposito berjangka. Ketika jumlah uang beredar di masyarakat tinggi, jumlah transaksi di pasar akan meningkat. Perputaran uang di pasar menjadi semakin cepat. Dalam kondisi seimbang hal ini akan diimbangi dengan meningkatnya harga. Maka dapat dikatakan, tingginya jumlah uang beredar dapat meningkatkan inflasi.
Tingkat suku bunga merupakan biaya peluang memegang uang. Tingkat suku bunga memiliki peran dalam mengendalikan permintaan uang oleh masyarakat. Ketika tingkat suku bunga tinggi, masyarakat akan memilih untuk
commit to user
29
mengambil keuntungan dari obligasi dan memegang uang lebih sedikit. Dengan demikian, tingkat suku bunga mempengaruhi tingkat inflasi dengan mempengaruhi spekulasi masyarakat.
H. Hipotesis
Berdasarkan teori kuantitas uang, Fisher effect dan penelitian sebelumnya mengenai hubungan ketidakpastian inflasi dan tingkat inflasi, serta kerangka pemikiran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis yang akan dibuktikan adalah sebagai berikut:
1. Diduga tingkat ketidakpastian inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia, Filipina, Malaysia dan Thailand periode 1998-2015.
2. Diduga jumlah uang beredar berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia, Filipina, Malaysia dan Thailand periode 1998- 2015.
3. Diduga tingkat suku bunga deposito berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia, Filipina, Malaysia dan Thailand periode 1998-2015.