SINKRONISASI TUNTUTAN DENGAN VONIS HAKIM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP RESIDIVIS
(Studi Putusan Nomor 1270/Pid.Sus/2018/PN-Mdn)
S K R I P S I
Diajukan untuk melengkapi Tugas-tugas dan memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
Rejeki Fibrian Nainggolan 140200272
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
ABSTRAK
Rejeki Fibrian Nainggolan*) M. Hamdan**)
Alwan***)
Kepastian hukum dan penerapan sanksi yang tepat, merupakan wujud dari sinkronisasi antara tuntutan dengan suatu vonis, dalam membuat putusan hakim selalu berpatokan dengan fakta persidangan namun tuntutan jaksa penuntut umum juga merupakan bagain penting dari suatu putusan. Adapun permasalahan dalam penelitian ini pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Penegakan hukum terhadap pelaku residivis (Studi Putusan Nomor 1270/Pid.Sus/2018/PN-Mdn) dan kebijakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana narkotika
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dengan sifat penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan studi kepustakaan (library research) dan dianalisis kualitatif.
Pengaturan tentang penyidikan menurut Undang-Undang Narkotika berbeda dengan KUHAP, dalam undang-undang narkotika penyidik yang ditunjuk adalah Badan Narkotika Nasional dalam pengaturan KUHAP penyidik yang ditunjuk adalah kepolisian dengan pangkat yang sudah di tentukan, dalam Undang-Undang Narkotika, juga dikenal teknik pembelian terselubung (under coverbuy) banyak hal yang membedakan proses penyidikan menurut Undang- Undang narkotika dengan KUHAP. Sinkroniasi tuntutan dengan vonis hakim tentang tindak pidana penyalahgunaan narkotika (studi putusan Nomor 1270/Pid.Sus/2018/PN-Mdn) dalam putusan ini pelaku didakwakan dengan tiga pasal oleh jaksa penuntut umum yang dimana perbuatan tersebut diatur dan diancam Pidana Pasal 114 ayat (1) Jo Pasal 132 ayat Nomor 35 Tahun 2009, kedua Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 (1) Undang-Undang Narkotika, dan yang ketiga Pasal 127 ayat (1) Jo Pasal 132 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009. Penulis kurang setuju dengan Vonis hakim yang menjatuhkan pidana penjara selama 5 Tahun kepada Hendrian Alias Een, karena perbuatan pelaku tersebut merupakan pengulangan atas tindakan sebelumnya, dalam Penuntutan jaksa seharusnya menjelaskan hal tersebut agar hakim dapat memberikan vonis yang seadil-adilnya sehingga akan timbul efek jera terhadap pelaku. Proses penuntutan ini lah salah satu pertimbangan dalam vonis dan putusan hakim, apabila tuntutan tidak menjelaskan seterang-terangnya maka hakim juga akan memutus suatu perkara dengan keyakinannya sendiri, untuk penuntutan terhadap pelaku penggulangan seharunya dijelaskan bahwa Pasal 114 Undang-Undang Narkotika.
Kata Kunci: Sinkronisasi Tuntutan dengan Vonis Hakim, Pelaku Residivis Penyalahgunaan Narkotika
*) Mahasiswa
**) Dosen Pembimbing I
***) Dosen Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Ucapan puji dan syukur saya ucapkan kepada tuhan atas kasih dan karunianya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari skripsi ini adalah SINKRONISASI TUNTUTAN DENGAN VONIS HAKIM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERHADAP RESIDIVIS (Studi Putusan Nomor 1270/Pid.Sus/2018/PN-Mdn). Untuk penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belum lah dapat dicapai dengan maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, S.H, M,Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M,Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. OK.Saidin, S.H, M,Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H, M,Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M,Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Dr. H. M.Hamdan, S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan Petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Alwan S.H, M.Hum., sekalu Dosen Pembimbing II, yang telahMeluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan Pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. seluruh staf dan pengajar Fakultas Hukum USU yang dengan penuh Dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.
10. Terkhusus penulis Ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis ayahanda Bangun Nainggolan dan ibu Estina Simamora yang telah memberikan saya dukungan motivasi sampai terselesaikan nya skripsi ini.
11. Penulis juga berterima kasih kepada nantulang M. Br. Sitanggang yang telah memberikan dukungan dan motivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
12. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Kekasih Hati Anastasia Pricillia Haloho yang selalu memberikan semangat dan membantu pengerjaan skripsi ini.
13. Buat rekan-rekan saya Yosi Esa Hadi Saputra, Mahmuddin, Syahsyahubin Arifin Teman-teman kos sembada dan rekan-rekan stambuk 2014 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu terimakasih atas dukungan dan motivasi kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini.
Demikianlah yang saya dapat sampaikan, semoga apa yang telah kita lakukan mendapat Balasan dari Tuhan Yang Maha Esa, penulis memohon maaf kepada bapak dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini.
Medan, Oktober 2018
Penulis
Rejeki Fibrian Nainggolan
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1
B. Permusuan Masalah……….8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 8
D. Keaslian Penulisan………. 9
E. Tinjauan Pustaka……… 10
a. Pengertian Tindak Pidana………10
b. Pertanggungjawaban Pidana………14
c. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika…………...16
d. Residivis………..17
F. Metode Penelitian……….. 20
G. Sistematika Penulisan………23
BAB II DASAR DASAR ATURAN HUKUM MENGENAI PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DENGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Pengertian Penyidikan………25
B. Asas Dalam Penyidikan………..30
C. Proses Penyidikan Menurut KUHAP………..32
E. Perbandingan Penyidikan Menurut KUHAP dengan Undang- Undang Narkotika………36
BAB III DASAR DASAR ATURAN HUKUM MENGENAI PROSES PENUNTUTAN A. Pengertian Penuntutan………44
B. Dasar Penuntutan Terhadap Residivis………....47
C. Proses Penuntutan Menurut KUHAP………...51
D. Tuntutan Sebagai Dasar Pertimbangan Hakim………. 54
BAB IV ANALISIS SINKRONISASI TUNTUTAN DENGAN VONIS HAKIM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Kasus Posisi………...57
B. Dakwaan ………...60
C. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum………...62
D. Putusan Pengadilan………...63
E. Analisis Yuridis Terhadap Putusan Nomor 1270/Pid.Sus/2018/ PN-Mdn……….64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan………...71
B. Saran………..72
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini perkembangan mengenai tindak pidana narkotika semakin luas,banyak yang mendorong hal tersebut, mulai dari faktor sosialisasi dan pendidikan karakter yang kurang baik dari orang tua dan instansi terkait, di sisi lain banyak juga hal yang mendorong penyalahgunaan tersebut seperti, meningkatkan rasa berani, mempermudah penyaluran nafsu, berusaha keluar dari kehidupan yang biasa-biasa saja, menghilangkan rasa frustasi, mengikuti kemauan kawan, karena rasa ingin tahu yang sangat tinggi.
Dalam Undang-Undang Narkotika , narkotika didefenisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.1
Sedangkan menurut para ahli narkotika didefenisikan sebagai berikut.
Menurut Kurniawan, Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan sebagainya. Menurut Ghoodse Narkoba adalah zat kimia yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan, ketika zat tersebut masuk kedalam organ tubuh maka terjadi satu atau lebih perubahan fungsi di dalam tubuh. Lalu di lanjutkan lagi ketergantungan secara fisik dan psikis pada tubuh, sehingga bila zat
1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
tersebut dihentikan konsumsinya maka akan terjadi gangguan secara fisik dan psikis. Menurut Wartono narkotika adalah dampak yang ditimbulkan antara lain dapat berupa gangguan konsentrasi dan penurunan daya ingat bagi pemakai, sedangkan dampak sosialnya dapat menimbulkan kerusuhan di lingkungan keluarga yang menyebabkan hubungan pemakai dengan orangtua menjadi renggang, serta menimbulkan perilaku yang tidak diinginkan seperti pencurian dan penodongan.2
Dari penjelasan defenisi di atas dapat dilihat perbandingan yang jelas, dalam Undang-undang ditekankan bahwa narkotika adalah zat yang dapat menyebabkan perubahan rasa kesadaran dan menimbulkan ketergantungan, Menurut Kurniawan dikatakan efek yang ditimbulkan mengubah keadaan psikologi, pikiran dan perasaan, namun dalam pendapat Ghoodse dikatakan Narkotika diperlukan untuk menjaga kesehatan, namun apabila digunakan berkelanjutan maka akan terjadi ketergantungan, pendapat lain juga mengatakan Menurut Wartono narkotika adalah zat yang dapat mengganggu konsentrasi dan dapat menimbulkan dampak sosial seperti menimbulkan kerusuhan bahkan mengancam orang lain.
Penjelasan di atas jelas menekankan bahwa penyalahgunaan narkotika memiliki dampak yang sangat besar terhadap pemakai dan lingkungan, meskipun Undang-undang dan ahli berbeda pemahaman namun tetap saja narkotika merupakan obat yang harus digunakan dibawah pengawasan dan hanya untuk kepentingan lembaga kesehatan seperti Rumah sakit dan lembaga riset.
Adapun Golongan narkotika yang diatur dalam Undang-undang ada tiga Golongan yaitu sebagai berikut:
2 https://www.sekolahpendidikan.com/2017/11/pengertian-narkoba-menurut-para-ahli.html#
dikases pada tanggal 13 Oktober 2018 jam 17:57 WIB.
A. Golongan I
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.3 Golongan ini termasuk jenis narkotika yang paling banyak diedarkan oleh pengedar, karena hal tersebut akan menguntungkan pengedar, akibat efek yang ditimbulkan sehingga pengguna akan terus membeli kepada pengedar tersebut.
Contoh dari golongan I adalah :
1. Opiat : morfin, heroin, atau putauw, petidin, candu.
2. Ganja : kanabis, mariyuana, hashis.
3. Kokain : serbuk kokain, pasta kokain, daun koka, metamfetamina.4 B. Golongan II
Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.5 Dalam praktek ilmu kesehatan, golongan II banyak digunakan dalam bahan baku obat, dan dalam dunia bedah sebagai penenang, pengurang rasa sakit terhadap pasian yang ditangani.
Contoh dari golongan II :
petidin, morphin, fentanil atau metadon.
C. Golongan III
Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
3 Gatot Supramono, S.H, Hukum Narkoba Indonesia, ( Jakarta : Djambatan, 2004 ) hlm 160.
4 https://www.merdeka.com/pendidikan/3-golongan-narkotika-berbahaya-yang-harus- dihindari.html diakses pada tanggal 05 jam 00:20 Wib.
5 Ibid,hlm 163.
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.6 Dalam prakteknya golongan III digunakan kepada pengguna yang sedang direhabilitasi, untuk mengurangi ketergantungan terhadap narkotika golongan I dan II.
Contoh golongan III adalah : kodein difenoksilat.
Menurut data Badan Narkotika Nasional jumlah pengguna narkotika pada tahun 2017 mencapai angka 3,5 Juta orang yang dimana 1 Juta merupakan pecandu berat dan setiap tahun nya ada lebih dari 12 Ribu kematian yang disebabkan oleh narkotika itu sendiri, hal ini merupakan tidak angka yang kecil angka tersebut sudah masuk dalam kategori yang mengkhawatirkan, dimana akibat penyalahgunaan narkotika ini berimplikasi besar pada kesehatan, kerugian sosial dan ekonomi negara, karena setiap pengguna bukan pengedar akan di rehabilitasi tidak di penjara melihat hal itu dari jumlah, pengguna lebih besar dari pada pengedar sehingga negara mengalami kerugian besar apabila hal ini terus terjadi.7
Dari sekian pengguna narkoba, lebih banyak adalah generasi muda, dimana remaja memiliki rasa penasaran, ingin tahu yang sangat tinggi dan keinginan keluar dari zona kehidupan yang biasa-biasa saja, maka dari hal tersebut perkembangan mengenai pengaturan tindak pidana narkotika harus lebih mengikuti tindakan dan jenis dari narkotika itu sendiri, pengguna dan pengedar sendiri tidak menyadari dampak buruk dari penggunaan narkotika tidak sesuai pada aturannya, yang dimana mungkin saja juga mengancam anggota keluarganya, dan pengedar hanya memikirkan keuntungan dari yang mereka
6 Ibid,hlm 167.
7 http://www.bnn.go.id/_multimedia/document/20180508/BUKU_HASIL_LIT_2017.pdf di Akses pada tanggal 20 Agustus 2018 Jam 21:45
lakukan. Pengguna narkotika pada saat ini banyak dilakukan oleh generasi muda dan golongan produktif, hal ini dijelaskan dalam data Badan Narkotika Nasional, dimana pengguna banyak dari kalangan umur produktif dan pekerja dari 72,67 Juta pekerja sekitar 5% dalam kurun 4 tahun adalah pengguna narkotika, dan dalam jangka waktu 9 tahun yaitu Tahun 2009 sampai 2017 data 2009 menjelaskan jumlah pengguna narkotika 13,641 kasus dan pada tahun 2017 meningkat 33,388 kasus, jumlah ini sudah pengguna Laki-laki dan perempuan, kasus ini rata-rata adalah dibawah umur 30 Tahun.8
Melihat data tersebut jelas bahwa pengedar atau Bandar mengincar usia di bawah 30 tahun dan para pekerja karena lebih mudah dijangkau, diajak kerjasama dan lebih mudah terpengaruh, pada saat ini juga para pengedar sudah mempunyai cara lain untuk menjalankan aksi nya lewat baik lewat makanan dan minuman, pengedar juga sudah memiliki cara lain untuk mengedarkan narkotika tadi, baik lewat transportasi online dan media komunikasi elektronik lain nya, sehingga menyulitkan aparat untuk mengetahui dan menangkap para pengedar tersebut.
Faktor-faktor yang mendorong tingginya tindak pidana penyalahgunaan narkotika juga didasari oleh tidak adanya peran aktif dari masyarakat itu sendiri baik dari orang tua dan lingkungan bermain, seperti hal nya banyak terjadi pada anak-anak yang sudah berani merokok dan tidak di larang oleh orang di sekitar nya dan tumbuh keinginan mencoba hal baru yaitu narkotika dan obat-obatan terlarang tersebut, untuk hal ini peran lembaga edukasi diperlukan untuk membangkitkan rasa sadar akan bahaya penggunaan narkotika diluar dari pada ketentuan yang diatur.
8 http://www.bnn.go.id/_multimedia/document/20180508/BUKU_HASIL_LIT_2017.pdf di Akses pada tanggal 24 Agustus 2018 Jam 09:14
Ada lima faktor penyebab penyalahgunaan narkotika diantara lain pribadi, keluarga, sosial, kelompok, dan ekonomi. Kelima faktor tersebut tentu saling berkaitan dan mempunyai hubungan satu sama lain. Berikut penjabaran secara rinci mengenai faktor tersebut. 9
Faktor pribadi merupakan hal yang utama diantara seperti mental yang lemah apabila ada nya ajakan dari orang lain maka mudah terpengaruh oleh perkataan orang lain tersebut, faktor stress dan depresi hal ini yang sering terjadi di tengah masyarakat saat ini, keinginan untuk mengetahui bagaimana rasa saat menggunakan narkoba, mencari sensasi dan tantangan banyak orang bosan dengan tembakau dan ingin mencoba hal baru seperti ganja.
Selanjutnya adalah faktor keluarga, dimana keluarga merupakan lingkungan yang paling sering menjalin komunikasi namun apabila dalam keluarga tersebut sudah tidak baik atau (Broken Home) maka hal tersebut sering menjadi kan anak atau keluarga itu kehilangan jati diri dan rasa sayang sehingga mencari kesenangan diluar kendali, pendidikan yang keras dalam lingkungan keluarga juga menjadikan anak kehilangan jati diri sehingga membuat anak memberontak dan berbuat diluar perkiraan, kurang nya keterbukaan dan komunikasi, sehingga anak tidak mau bercerita tentang apa yang dia lakukan dan yang dirasakan nya.
Selain itu lingkungan dan pergaulan sosial juga termasuk sebagai faktor pendukung karena dianggap dapat mempengaruhi pribadi dan moral seseorang, seperti hal nya apabila berteman dengan teman yang buruk maka kemungkinan pasti ikut, bahkan untuk masalah narkoba, faktor ikut dengan teman atau orang lain yang di sudah candu atau pengedar di sekitarnya.
9 https://www.pelangiblog.com/2016/01/5-faktor-utama-penyebab-penyalahgunaan.html diakses pada tanggal 13 Oktober 2018 jam 18:15 WIB
Faktor yang tidak kalah penting adalah situasi dalam kelompok. Dalam lingkungan banyak hal yang mendorong penyalahgunaan narkotika ini, adanya iming-iming mendapat untung besar apabila menjadi pengedar, salah satu nya lagi adalah teman yang sudah menjadi pengedar atau pengguna sehingga adanya keinginan untuk ikut dan merasakan.
Faktor yang terakhir adalah ekonomi yang mana merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan, sehingga banyak orang yang tidak berpikir panjang untuk mau menjadi pengedar narkoba dikarenakan hasil yang begitu besar, banyak kasus terjadi dan alasan nya ialah dorongan ekonomi untuk membiayai kehidupan.10
Di sisi lain penggunaan narkoba memiliki dampak positif dan negatif tergantung siapa yang menggunakan dan atas ijin siapa, dalam dunia kesehatan dan bidang ilmu narkotika sangat penting, namun di Indonesia saat ini hal tersebut tidak terlaksana akibat kurang nya sosialisasi dan banyak nya orang tidak bertanggung jawab sehingga sampai saat ini kasus pengguna narkotika terus bertambah dan belum ada nya upaya sadar hukum dari masyarakat dan peran aktif dari semua golongan baik instansi pendidikan dan lain nya.11
Berdasarkan uraian diatas maka penulis menyimpulkan penelitian dengan judul Sinkronisasi Penyidik Dengan Jaksa Penuntut Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Terhadap Residivis ( Studi Putusan No.
1270 Pid.Sus/2018 PN Mdn )
10 https://www.pelangiblog.com/2016/01/5-faktor-utama-penyebab-penyalahgunaan.html di Akses pada tanggal 22 Agustus 2018 Jam 00:34 WIB
11 http://dilanoviantitentangnarkoba.blogspot.com/2015/04/pengertian-dampak-positif-dan- negatif.html diakses pada tanggal 13 Oktober 2018 Jam 18:24 WIB
B. Perumusan Masalah
Dari uraian diatas maka dapat dibuatlah rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimankah dasar-dasar Aturan Hukum mengenai proses Penyidikan?
2. Bagaimanakah dasar-dasar Aturan Hukum mengenai proses Penuntutan?
3. Bagaimanakah Sinkronisasi Penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum Tentang tindak pidana Narkotika terhadap Residivis?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Untuk Mengetahui dasar-dasar aturan hukum mengenai proses penyidikan.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar aturan hukum mengenai proses penuntutan.
3. Untuk mengetahui sinkronisasi penyidik dengan jaksa penuntut umum tentang tindak pidana narkotika terhadap residvis.
Dari penulisan skripsi ini, penulis mengharapkan adanya manfaat yang di dapat dan diambil dari penulisan ini, adapun manfaat nya antara lain
1. Manfaat teoritis
Untuk pihak yang berkepentingan : seperti lembaga pembentuk undang- undang dan akademisi sebagai bentuk masukan dan kritik dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran dan pengembangan di bidang hukum khususnya terhadap tindak pidana narkotika.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharpkan mampu manambah wawasan dan pengetahuan masyarakat dan siapa pun terhadap pengaturan tentang tindak pidana
narkotika dan bahaya penggunaan narkotika secara tidak bertanggung jawab.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan studi uji bersih di perpustakaan Universitas Sumatera Utara bahwa judul tentang Sinkronisasi Penyidik dengan Jaksa Penuntut Umum Tentang Tindak Pidana Narkotika Terhadap Residivis ( Analisis Putusan No.
1270 Pid.Sus/2018 PN Mdn ) maka dinyatakan bahwa belum ada penelitian yang sama dengan apa yang menjadi kajian dan ruang lingkup yang saya angkat dan saya teliti dalam penelitian ilmiah ini. Oleh sebab itu, penelitian yang saya lakukan ini jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan secara moril, karena dalam melakukan penelitian ini saya menjunjung tinggi etika penelitian yang dimana hal tersebut harus diterapkan dalam melakukan penelitian hukum.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Khusus a. Pengertian tindak pidana
Tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang- undangan negara kita. Hampir seluruh perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.12
Istilah tindak pidana ini berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”.13
12 Adami chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta : Rajawali Grafindo Persada, 2002), hlm. 67.
13 Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana (Edisi II). (USU Press, 2013). Hlm 73.
Beberapa ahli merumuskan istilah mengenai pengertian tindak pidana itu sendiri dengan melihat berbagai perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh manusia adapun pengertian itu dijelaskan sebagai berikut :
Simons, mengemukakan bahwa strafbar feit adalah suatu tindakan melawan hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakan nya, yang dinyatakan merupakan perbuatan dapat dihukum.14
Menurut P.A.F Lamintang, pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana dalam kitab undang-undang hukum pidana. Perkataan feit itu sendiri apabila diartikan dalam Bahasa Belanda berarti sebagian dari kenyataan, sedangkan strafbaar artinya dihukum, jadi secara harafiah perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan debagai sebagian dari pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, maupun tindakan.15
Vos merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.16
Martiman prodjomidjojo memberi pendapat bahwa delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa oleh seorang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan. Sedangkangkan arti delict itu sendiri dalam kamus
14 Simons, Kitab Pelajaran Hukum Pidana (Titel asli : Van Het Nederlandse Strafrecht) diterjemahkan oleh PAF Leminting, (Bandung : Pioner Jay, 1992), hlm. 127.
15 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Cetakan ketiga), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997) hlm. 181.
16 Martiman Prodjomidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1995), hlm. 16.
hukum diartikan sebagai delik, tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman.17
Tindak pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk yaitu kejahatan dan pelanggaran, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu yang terdapat dalam buku II dan buku III yang memuat perincian berbagai jenis tindak pidana.
Tujuannya adalah guna melindungi kepentingan hukum yang dilanggar, kepentingan hukum pada dasarnya dapat dirinci dalam 3 (tiga) jenis :
1. Kepentingan hukum perorangan 2. Kepentingan hukum masyarakat 3. Kepentingan hukum negara.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasanya tindak pidana adalah sesuatu perbuatan melanggar hukum pidana yang dilakukan oleh sesorang yang dapat bertanggungjawab atas tindakannya tersebut. Dimana saat dilakukan atas unsur kesengajaan atau lainnya selama unsur pidana itu terpenuhi, sehingga tindakan tersebut dapat diancam dengan aturan pidana yang dimana pemberian sanksi tersebut untuk memberikan efek jera, agar tidak mengulang perbuatan tersebut baik itu kepada pelaku ataupun orang lain yang mengetahuinya.
Tindak pidana adalah sebuah perbuatan yang dapat dipidana. Dalam mengkaji unsur tindak pidana terdapat 2 (dua) aliran, yaitu :18
1. Aliran monistis
17 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 1990), hlm. 60.
18 Ratna WP, Aspek Pidana Penyalahgunaan Narkotika, Legality, Yogyakarta, 2017.
Yaitu memandang semua syarat untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak pidana. Aliran ini tidak memisahkan unsur yang melekat pada perbuatannya (criminal act) dengan kesalahan (criminal responsibility dan criminal liability).
Kelompok aliran monistis : Simon, Mezger, Hamel, dan Wiryono Prodjodikoro.
2. Aliran dualistis
Yaitu memisahkan antara unsur yang melekat pada perbuatan (criminal act) dengan kesalahan (criminal responsibility dan criminal liability) aliran dualistis memisahkan tindak pidana (criminal art) dengan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) menyatakan bahwa terjadinya tindak pidana belum pasti diikuti dengan pemidanaan. Pemidanaan baru dapat dilakukan apabila orang yang melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Sebaliknya apabila orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana yang dirumuskan sebagai tindak pidana, ia tidak akan dijatuhi pidana.
b. Unsur Formal dan Materil Tindak Pidana Unsur formal tindak pidana, meliputi :19 1. Perbuatan manusia
2. Melanggar peraturan pidana/sifat melawan hukum
Perbuatan yang dilakukan akan dihukum apabila sudah ada peraturan pidana sebelumnya yang telah mengatur perbuatan tersebut (asas legalitas).
3. Diancam dengan hukuman
19 Ibid hlm 62
4. Adanya kesalahan
Dimana unsur-unsur kesalahan yaitu harus ada kehendak dari orang yang melakukan tindak pidana serta orang tersebut berbuat sesuatu dengan sengaja, mengetahui dan sadar sebelumnya terhadap akibat perbuatannya (dolus). Kesalahan dalam arti sempit dapat diartikan kesalahan yang disebabkan karena si pembuat kurang memperhatikan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang (culpa).
5. Pertangungjawaban pidana
Dalam hal ini terkait dengan alasan pembenar (alasan untuk meniadakan tindak pidana) dan alasan pemaaf (alasan meniadakan kesalahan).20
Unsur materil adalah perbuatan yang dilakukan harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
2. Pertanggungjawaban Pidana
Dalam hukum pidana dikenal asas “actus non facit reum, nisi mens sit rea”
atau asas tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam prakteknya, penerapan asas tersebut kaku akan menyulitkan proses pembuktian dalam beberapa tindal pidana.
Konsep “strict liability” dalam hukum Anglo Saxon mengajarkan adanya pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) dan ditujukan kepada tindak pidana yang tidak membutuhkan “mens rea” (keadaan batiniah
20 Ibid, hlm 63
yang salah). Mengingat dampak yang mungkin timbul dari penggunaan konsep pertanggungjawaban ini, oleh karena itulah konsep “strict liability” hanya dipergunakan untuk tindak pidana ringan yang hanya mengancam pidana denda, dan terkait dengan pelanggaran kesejahteraan masyarakat.21
Seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya apabila unsur- unsur kesalahan dan kesengajaan pelaku terpenuhi unsur itu meliputi :
1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada pelaku, artinya keadaan jiwa pelaku harus normal.
2. Adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbutannny, yang berbentuk kesengajaan ( dolus ) atau kealpaan ( culpa ).
3. Tidak ada alasan untuk mengahapuskan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.22
Menurut Van Hamel, kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kecerdasan yang membawa 3 ( tiga ) kemampuan, yaitu :23
1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri.
2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak diperbolehkan.
3. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatan itu.
Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila akalnya sehat mampu membedakan perbuatan yang halal dan haram, disamping akal yang sehat, seseorang harus mampu menyesuaikan tingkah lakunya dengan kesadarannya atas perbutan yang diperbolehkan dan yang dilarang. Faktor kehendak ini sebenarnya
21 Ibid, hlm 72
22 Ibid, hlm 74
23 Ibid, hlm 73
dapat dikatakan bukan sebagai faktor untuk menentukan kemampuan bertanggung jawab, melainkan salah satu faktor untuk menentukan kesalahan (pertanggung- jawaban dalam hukum pidana).24
3. Peredaran dan Penyalahgunaan Narkotika
Indonesia darurat narkoba, data ini didapat dari Badan Narkotika Nasional terkait jumlah narkoba yang masuk ke Indonesia menembus hingga berton-ton dengsn 72 jaringan aktif, mengindikasikan indonesia tengah darurat narkoba.
Jaringan tersebut begitu lihai dan mampu menyembunyikan narkoba. Barang hanya akan keluar apabila terdapat pesanan. Kegiatan jaringan ini beroperasi dengan melibatkan berbagai negara. BNN sudah berhasil mengidentifikasi 11 negara yang terlibat dalam rantai penyuplai narkoba ke Indonesia. Tidak main- main rupanya peredaran gelap barang haram ini, karena dalam 4 (kasus terakhir di tahun 2017 yang di tangani BNN, para mafia narkoba sudah menggunakan senjata api pabrikan, bukan lagi rakitan seperti M16, AK47 dan Revolver.25
Pasal 60 Undang-undang narkotika menjelaskan:
1. Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika
2. Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya:
1) Memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingna pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2) Mencegah penyalahgunaan narkotika;
3) Mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan narkotika, termasuk dengan memasukkan
24 Ratna WP, loc.cit.
25 Ibid hlm 43
pendidikan yang berkaitan dengan narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas;
4) Mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan
5) Meningakatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika, baik yang diselengarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.26
4. Residivis
Pengulangan atau residive terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Pernyataan sangat mirip dengan gabungan dari beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan hukuman. Alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar pemberatan hukuman ini adalah bahwa seseorang yang telah dijatuhi hukuman dan mengulang lagi melakukan kejahatan, membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat buruk. Jahat karenanya dianggap sangat membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.27
Pengulangan diatur dalam tiga pasal yang terdapat di KUHP yaitu sebagai berikut :
1. Pasal 486 2. Pasal 487 3. Pasal 488
26 Ratna WP,loc.cit, hlm 43.
27 Prof.Dr.Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si.,Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, hlm 191
Sehubungan dengan pengulangan ini harus diingat kembali ajaran tentang tujuan hukuman, antara lain mengenai:
a. Pembalasan
Bertujuan terhadap :
a) Subjek, kesalahan sipelaku, b) Objek, perbuatan pelaku.
b. Preventif (Pencegahan)
Bertujuan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat :
a) Umum (general preventive), pencegahan terhadap masyarakat agar tidak melanggar ketertiban dengan cara memenjarakan, dan agar takut.
b) Khusus (Speciale preventive), pencegahan agar sipenjahat tidak mengulangi kejahatan.
c. Respresif (mendidik) atau perbaikan (verbetering)
Bertujuan untuk mendidik seseorang yang pernah melakukan perbutan tidak baik, menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
d. Tidak berdaya (onschadelijk)
Bertujuan terhadap penjahat yang tidak dapat diperbaiki lagi maka pidananya bertujuan untuk menyingkirkan.
e. Memperbaiki kerugian masyarakat
Bertujuan untuk memperbaiki kerugian masyarakat pada masa yang lalu sebagai akibat perbuatan jahat.
f. Gabungan
Bertujuan agar pidana membuat pembalasan dan mempertahankan ketertiban.28
28 http://artonang.blogspot.com/2015/02/dasar-dan-tujuan-pemidanaan.html diakses pada tanggal 14 Oktober 2018 Jam 13:45 WIB
Akan tetapi, apabila mereka ternyata mengulang kembali melakukan kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi.
Kriminologi mengganggap,bahwa dasar hukum bagi residive dianggap kurang tepat, berhubung seseorang yang telah menjalani hukuman sudah tidak takut lagi untuk menjalani hukuman. Akan tetapi, ancaman hukuman yang berat itu akan menakut-nakuti justru orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu juga akan takut untuk melakukan sesuatu kejahatan.29
Pengulangan menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis:
1. Residive Umum
a. Seorang telah mengulang kejahatan.
b. Terhadap kejahatan mana telah dijatuhi hukuman yang telah dijalani.
c. Kemudian ia mengulang kembali melakukan setiap jenis kejahatan.
d. Maka pengulangan ini dapat dipergunakan sebagai dasar pemberatan hukuman.
2. Residive Khusus
a. Seorang melakukan kejahatan.
b. Yang telah dijatuhi hukuman.
c. Setelah menjalani hukuman ia mengulang lagi melakukan kejahatan.
d. Kejahatan mana merupakan kejahatan sejenisnya.
Persamaan jenis kejahatan tersebut merupakan dasar pemberatan hukum, sistem yang dipergunakan dalam KUHP adalah sistem antara, berhubung penggolongan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang memliki sifat yang sama dengan kejahatan yang ia lakukan sebelumnya.30
29 Ibid, hlm 192
30 Prof.Dr.Teguh Prasetyo, loc.cit, hlm 193
Dalam pengulangan tindak pidana atau residivis menurut undang-undang narkotika Pasal 114 dijelaskan bahwa yang dikatakan pengulangan ialah apabila sesorang tersebut melakukan perbuatan yang sama dengan perbuatan yang dilakukan sebelumnya dan divonis dengan pasal yang sama juga, maka pelaku tersebut dikategorikan sebagai residivis.
F. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif.
Penelitian normatif merupakan suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenarannya berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.31 Penelitian hukum normative adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas, norma, kaidah dari Putusan Nomor 1270/Pid.Sus/2018/PN-Mdn.32
2. Sifat penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian yang dilakukan penulis dalam penelitian hukum ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk meberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.33 Penulisan hukum ini penulis bertujuan memberikan data yang seteliti mungkin dan memberikan gambaran yang sistematis yang menganalisa tentang penegakan hukum pidana terhadap anggota kepolisan penyalahgunaan narkotika.
31 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normative, Malang, Bayumedia Publishing, 2011, hlm 57.
32 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010, hlm 34.
33 Soerjana Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta, UI Press, 2007, hlm 10.
3. Sumber data
sumber data yang digunakan dalam penelitian dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh lewat penelitian kepustakaan (library research), yang dilakukan dengan menghimpun data yang terkait meliputi :
a. Bahan hukum primer34 bahan hukum primer yaitu terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada berbagai peraturan perundang-undangan khususnya antara lain :
1). Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 143 2). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer diatas berupa pendapat para ahli hukum, jurnal ilmiah dan berita internet yang memiliki relevansi dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yaitu berupa data penunjang yang memerikan penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus hukum, dan ensiklopedia.
4. Teknik Pengumpulan Data
Guna mendapatkan data sekunder dalam penulisan skripsi adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Alat yang digunakan dalam metode ini merupakan studi dokumen dimana selanjutnya dilakukan analisis dengan mengumpulkan fakta-fakta yang didapat dari studi kepustkaan (library
34 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2010, hlm 141.
research) sebagai acuan umum dan kemudian di susun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk mencapai kejelasan maslah yang dimaksud berdasarkan sumber-sumber bacaan, seperti buku-buku, jurnal ilmiah, media elektronik, serta mempelajari dan menganalisis putusan dan bahan lainnya yang berkaian dengan skripsi ini.
5. Analisis Data
Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode kualitatif Metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran berdasarkan sumber- sumber hukum dan doktrin yang ada, bukan dari segi kuantitas kesamaan data yang diteliti. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan melakukan penelitian yang berisfat deskriptif analistis yaitu dengan memberikan penjelasan menngenai proses pemeriksaan saksi di pengadilan, serta pemaparan mengenai pertimbangan hakim dalam meringankan dan memberatkan terdakwa dalam putusannya.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam pembahasan hasil penelitian dan unutk mengantarkan pembaca pada pokok pembahasan masalah, maka sistematika penulisan ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab yang berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, dan keaslian penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II DASAR DASAR ATURAN HUKUM MENGENAI PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DENGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Bab ini berisikan bagaimana proses penyidikan dalam kasus narkotika dan siapa badan yang berwenang menyidik dalam undang-undang dan apa perbedaan pengaturan antara Tindak Pidana Umum lain nya dengan Tindak Pidana Narkotika.
BAB III DASAR-DASAR ATURAN HUKUM MENGENAI PROSES PENUNTUTAN
Bab ini menjelaskan proses penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Narkotika dan apa bedanya dengan Tindak Pidana Biasa, serta menjelaskan bahwa penuntutan merupakan bagian pertimbangan dalam persidanagan
BAB IV SINKRONISASI TUNTUTAN DENGAN VONIS HAKIM TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Bab ini memuat Kasus Posisi, Dakwaan, Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Fakta Hukum, Putusan Pengadilan, dan Analisis Putusan
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir dari skripsi ini, pada bagian ini dikemukakan kesimpulan dan saran dari penulis yang didapat sewaktu mengerjakan skripsi ini mulai dari awal hingga selesai.
BAB II
DASAR DASAR ATURAN HUKUM MENGENAI PROSES PENYIDIKAN
A. Pengertian Penyidikan
Dalam Pasal 1 butir (2) Undang-undang No.8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Aacara Pidana (KUHAP) dijelaskan “penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.35
Ahli juga berpendapat mengenai defenisi penyidikan, Menurut R. Soesilo dalam bidang reserse kriminal, penyidikan itu biasa dibedakan sebagai berikut :
1. Penyidikan dalam arti luas, yaitu meliputi penyidikan, pengusutan dan pemeriksaan yang sekaligus rangkaian dari terus-menerus, tidak ada pangkal permulaan dan penyelesaiannya.
2. Penyidikan dalam arti kata sempit, yaitu semua tindakan-tindakan yang merupakan suatu bentuk represif dan reserse criminal polri yang merupakan permulaan dari pemeriksaan perkara pidana.36
Berdasarkan defenisi diatas dapat dilihat bahwa penyidikan merupakan proses yang menjamin hukum acara dalam pidana berjalan sesuai dengan yang dilakukan oleh penyidik, dimana setiap yang dilakukan penyidik dalam proses hukum, harus patuh dan ikut kepada aturan yang ada dalam KUHAP.
35 Dr.Leden Marpaung., S.H, 2009, op.cit., hlm 11
36 http://www.definisi-pengertian.com/2015/05/definisi-pengertian-penyidikan-proses.html diakses pada tanggal 13 september 2018 jam 13:02 Wib
Berdasarkan rumusan diatas, tugas utama penyidik adalah:
1. Mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti-bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi.
2. Menemukan tersangka.
Untuk tugas utama tersebut, penyidik diberi kewenangan-kewenangan sebagaimana diatur oleh Pasal 75 KUHAP, yang selanjutnya secara rinci di bahas dalam Bab V. Pada pasal 7 KUHAP, diberikan kewenangan-kewenangan melaksanakan kewajibannya, yang bunyinya sebagai berikut:
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, karena kewajibannya mempunyai wewenang.
b. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
c. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
d. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka;
e. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
g. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
h. Memangil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
i. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan pemeriksaan perkara;
j. Mengadakan penghentian penyidikan;
k. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab;
Dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (sehari-hari dikenal dengan nama SPDP/Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan sesuai dengan pasal 109 ayat (1) KUHAP).
Setelah bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan, maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk dilimpahkan kepada Penuntut Umum (Kejaksaan) atau ternyata bukan tindak pidana.
Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum “Pemberhentian Penyidikan” hal ini diberitahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangka/keluarganya.
Atas “Pemberhentian Penyidikan” tersebut, jika penuntut umum atau pihak ketiga (lain) yang berkepentingan, dapat mengajukan “Praperadilan” kepada Pengadilan Negeri yang akan memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan. Jika Pengadilan Negeri sependapat dengan “Penyidikan” maka penghentian penyidikan sah adanya tetapi jika Pengadilan Negeri tidak sependapat maka “Penyidikan” wajib dilanjutkan. Dalam hal ini ada pihak yang bertanya bahwa jika putusan praperadilan untuk melanjutkan penyidikan, tidak dilaksakan oleh Penyidik, bagaimana sanksinya? Pertanyaan yang demikian adalah berlebihan. Bukankah setiap orang dapat menanyakannya dan penyidik tersebut masih diawasi aparat atasanya?
Setelah selesai dilakukan penyidikan, maka berkas diserahkan kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (2) KUHAP).
Penyerahan ini dilakukan 2 tahap, yakni:
1. Tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
2. Dalam hal penyidik sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.
Jika pada penyerahan tahap pertama, penuntut umum berpendapat bahwa berkas kurang lengkap maka ia dapat:
1. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi disertai petunjuk. (Penuntut Umum menerbitkan P-18 dan P-19).
2. Melengkapi sendiri, dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 30 ayat(1) huruf e Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI).
Berdasarkan Pasal 110 ayat (4) KUHAP, jika dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas (hasil penyelidikan) maka penyidikan dianggap telah selesai.
Mengenai penyidikan sendiri diatur dan dijelaskan dalam KUHAP yang diatur dalam pasal 1 Angka 1 KUHAP yang berbunyi :
“Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”37 Aparat penyidik berdasarkan KUHAP secara garis besar pada saat ini ditentukan :
a. Berdasarkan KUHAP.
b. Berdasarkan peraturan perundang-undangan.
37 Lihat ketentuan umum BAB I KUHAP
Berdasarkan KUHAP Pada pasal 6 ayat (1) tercantum Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Selanjutnya oleh pasal 6 ayat (2) KUHAP dicantumkan bahwa syarat- syarat untuk diangkat menjadi “penyidik” diatur oleh peraturan pemerintah (PP).
Atas kuasa pasal 6 ayat (2) maka telah diterbitkan PP Nomor 27 Tahun 1983, yang berdasarkan pasal 2 dan Pasal 3, dapat disimpulkan bahwa “penyidik”
adalah sebagai berikut :
a. Pejabat Polisi Negara RI yang sekurang-kurangnya berpangkat pembantu Letnan Dua ( Pelda Pol ), ditunjuk oleh kepala kepolisian RI
b. Komandan sektor ( karena jabatannya adalah penyidik/Pelda Pol tidak ada:
untuk melaksanakan “penyidikan” atas usul Komandan/Pimpinanya, Kepala Kepolisian RI mengangkat “pemyidik pembantu dengan syarat- syarat:
- Pejabat Kepolisian Negara RI tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi.
- Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda ( Golongan II/a )
c. Pejabat pegawai negeri tertentu, yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda tingkat I (Golongan II/b) atas usul dari Departemen yang bersangkutan, diangkat Menteri kehakiman setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Negara RI.
Pada hakikatnya “Penyidik Pembantu” merupakan “penyidik” jika diperhatikan Pasal 11 dan Pasal 12 KUHAP. Pasal 11 KUHAP berbunyi:
“Penyidik pembantu mempunyai wewenang dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik”.38
Penjelasan resmi Pasal 11 KUHAP, tercantum, Pelimpahan wewenang penahanan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan atau dimana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau di tempat yang belum ada petugas penyidik dan/ atau dalam hal lain dapat diterima menurut kewajaran.
Penyidik menurut ketentuan Khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh penyidik, jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan perarturan perundang-undangan.39
B. Asas dalam penyidikan
a. Asas yang berlaku dalam sistem peradilan pidana, antara lain:
1. Asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence), terhadap setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan di depan sidang pengadilan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde).
2. Asas Persamaan dimuka hukum (equality before the later), adanya perlakuan sama terhadap diri setiap orang dimuka hukum/hakim dengan perlakuan yang berbeda.
38 Lihat Pasal 7 BAB III dasar peradilan KUHAP
39 Dr. Leden Marpaung, Op cit, hlm 73.
3. Asas Oportunis, asas yang memberi wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan dakwaan terhadap sesorang yang melanggar peraturan hukum pidana, dengan jalan mengesampingkan perkara yang sudah terang pembuktiannya, dengan tujuan untuk kepentingan negara dan atau umum.
4. Asas Legalitas, kepada seorang yang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang dan atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan hukum, wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum, yang dengan sengaja atau kelalaiannya, menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar maka akan dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman adminidtratif.
Dalam proses penyidikan asas ini merupakan dasar penyidik dalam bertindak, dijelaskan bahwa dalam proses penyidikan juga harus berpatokan pada aturan KUHAP agar hak dan kewajiban pelaku dibatasi oleh aturan tersebut, dalam penyidikan juga tidak diperbolehkan untuk memaksakan kehendak penyidik terhadap pelaku, yang dijelaskan dalam asas persamaan didalam proses hukum.
Dalam hal proses untuk kepentingan pembelaan dalam proses peradilan pidana, seorang warga negara yang menjadi tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum, dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP). Selain itu seorang tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasehat hukumnya (Pasal 55 KUHAP). Setiap orang yang tersangkut perkara pidana wajib memperoleh bantuan hukum dan didampingi oleh penasehat hukum dari tingkat penyidikan sampai peradilan.
C. Proses Penyidikan Menurut KUHAP
Proses dan mekanisme penyelesaian perkara pidana menurut KUHAP meliputi 3 (tiga) tahapan senagai berikut :
1. Tahap pemeriksaan di tingkat penyidikan 2. Tahap penuntutan
3. Tahap pemeriksaan di sidang pengadilan Dimulainya penyidikan
Penyelasaian perkara di tingkat kepolisian dalam hal penyidik telah memulai melakukan penyidikan suatu persitiwa yang diduga merupakan perbuatan pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (vide Pasal 109 ayat (1) KUHAP).
Pemberitahuan dimulainya penyidikan dilakukan dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) yang dilampiri :
1. Laporan polisi 2. Resume BAP saksi 3. Resume BAP tersangka 4. Berita acara penangkapan 5. Berita acara penahanan 6. Berita acara penggeledahan 7. Berita acara penyitaan.
Kegiatan-kegiatan pokok dalam penyidikan meliputi 3 (tiga) hal yang saling berhubugan dalam proses hukum, sebagai berikut :
1. Penyelidikan
Serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai perbuatan pidana, guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan.
2. Penindakan
Setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap orang atau barang yang ada hubungannya dengan perbuatan tindak pidana yang terjadi, hal ini dapat berupa :
a. Pemanggilan b. Penangkapan c. Penahanan d. Penggeledahan e. Penyitaan 3. Pemeriksaan
Kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan keidnetikan tersangka dan atau saksi atau barang bukti, maupun unsur-unsur perbuatan pidana yang terjadi, sehingga peranan sesorang atau barang bukti dalam perbuatan pidana itu mejadi jelas, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupaka kegiatan akhir dari penyidikan perbuatan pidana, yang meliputi :
a. Pembuatan resume
b. Penyusunan isi berkas perkara c. Pemberkasan
Penyerahan berkas perkara untuk ditindaklanjuti memiliki beberapa tahap yang saling bersinggungan yaitu :
1. Tahap pertama
Penyidik hanya menyerahkan berkas perkara saja 2. Tahap kedua
Dalam hal penyidikan sudah lengkap (P21) penyidikan menyerahkan tanggungjawab Tersangka dan barang bukti.
Penyelesaian Perkara di tingkat Kejaksaan, dijelaskan pada pasal 109 ayat (1) KUHAP : penyidik memberitahukan kejaksaan tentang dimulainya penyidikan dengan SPDP.
SPDP dikelola oleh Kasi Pidum/Pidsus, Kasi menunjuk jaksa peneliti, dengan tugas :
1. Mengikuti dan memantau perkembangan penyidikan sesuai SPDP.
2. Mempersiapkan petunjuk untuk penyidik.
3. Melakukan penelitian terhadap, berkas perkara, tersangka dan barang bukti.
4. Meneliti, apakah pelakunya tunggal atau lebih.
5. Melihat apakah ketentuan Pidana yang diterapkan sesuai dengan fakta/kejadian.
6. Melihat apakah tersangka dapat ditahan.
7. Melihat apakah barang bukti merupakan barang bukti yang sah.
8. Apakah setiap unsur perbuatan pidana didukung oleh alat bukti yang cukup.
9. Meneliti apakah harus mengajukan ke persidangan apakah sudah sesuai dengan ketentuan pidana yang disangkakan oleh penyidik.
10. Mengkontruksiakan beberapa perbuatan pidana yang terjadi dan siapa saja calon tersangkanya.40
Dalam penyidikan harus terencana dan terjadwal agar setaip proses menjadi sinkron, setelah Berita Acara Pemeriksaan di tempat kejadian perkara dan pula telah dibuat Berita Acara Pemeriksaan saksi terlapor atau saksi pengadu, penyidik/ pembantu telah dapat membuat “Rencana Penyidikan” yang mencakup jadwal dan kegiatan.
Dengan “Rencana dik” telah dapat dengan cermat diperkirakan tentang
“Penahanan” tersangka yang berlaku 20 hari (Pasal 21 ayat (1) KUHAP) dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum selama 40 hari (Pasal 24 ayat (2) KUHAP), penuntut umum tidak akan memberikan perpanjangan jika penyidik lalai mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan harus disadari bahwa SPDP tersebut adalah “Kewajiban” (Pasal 109 ayat (1) KUHAP).
Seandainya SPDP belum ada maka “Penyidik” belum mulai melakukan penyidikan.
Terhadap penerbit ataupun penerbitan SPDP ini agar tidak dilalaikan, karena bukan hal yang mustahil jiika penasihat hukum mengajukan pembatalan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat lebih dahuku dari SPDP.
Penjelasan diatas merupakan hal yang dilakukan penyidik dalam melaksanakan tugas dalam mencari dan menyelesaikan perkara yang sedang berjalan, penyidik akan terus bekerja sebelum penuntut umum mengatakan berkas telah lengkap, yang selanjutnya diserahkan kepada pihak pengadilan untuk diperiksa dan diadili oleh majelis hakim.
40 http://humamlawoffice.blogspot.com/2014/05/proses-dan-mekanisme-perkara-pidana.html diakses pada tanggal 13 september 2018 jam 14:29 Wib
E. Perbandingan Penyidikan Menurut Undang-Undang Narkotika dengan KUHAP
Penyidikan dalam Undang-Undang Narkotika dijelaskan tersendiri dalam undang-undang No.35 Tahun 2009 Tentang narkotika yang dijelaskan dalam pasal 73 bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dilakukan berdasarkan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.
Dalam undang Narkotika penyidik yang dimaksud adalah badan yang di bentuk oleh presiden yaitu BNN (Badan Narkotika Nasional) yang dimana tugas kewenangan nya diatur dalam pasal 70 Undang-undang No.35 Tahun 2009 salah satu nya adalah tugas dalam penyidikan Pasal 70 Butir i “melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Mengenai penyidikan yang dilakukan Badan Narkotika Nasional berpatokan pada pasal 71 sebagai berikut :
“Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredarn gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika”.
1. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN.
2. Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh kepala BNN.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN.
Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidikan BNN berwenang hal ini diatur dalam Pasal 75 butir a samapi s sebagai berikut :
a. Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalhgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
c. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
d. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahagunaan dan peredaran gelap Narkotika dan perkursor Narkotiks serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
e. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan perderan gelap Narkotika dan Prekursor Narkotia;
f. Memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan perderan gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
h. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
i. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapar bukti awal yang cukup;
j. Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan;
k. Memusnahkan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
l. Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam diolsiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya;
m. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
n. Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
o. Membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
p. Melakukan penyegelan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang telah disita;
q. Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti Narkotika dan Prekursor Narkotika;
r. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran Narkotika dan Prekursor Narkotika dan
s. Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalhgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Kewenangan ini semakin diperkuat dalam Pasal 80 yang menambah kewenangan penyidik BNN sebagai berikut :
Pasal 80, penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 juga berwenang :
a. Mengajukan langsung berkas perkara, tersangka dan barang bukti, termsuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
b. Memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
c. Untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
d. Untuk mendapar informasi dari pusat pelaporan dan analisis Transaksi keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e. Meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang sesorang berpergian ke luar negri;
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsensi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negri.
Dalam penyidikan pihak BNN tetap memiliki hubungan antara penyidik kepolisian dan penyidik pegawai negri sipil, hal itu dijelaskan pada Pasal 81, Pasal 82 ayat butir (1) dan (2), Pasal 83 dan Pasal 84, Pasal 83 mengatakan