(Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN Wat)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
ABDULLAH SYATRIA NASUTION NIM: 160200127
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
NAMA : ABDULLAH SYATRIA NASUTION
NIM : 160200127
DEPARTEMEN : HUKUM PIDANA
JUDUL SKRIPSI : Analisis putusan hakim terhadap pemberian restitusi kepada anak korban tindak pidana kekerasan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor
65/Pid.Sus/2018/PN Wat)
Dengan ini menyatakan :
1. Bahwa skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan skripsi atau karya ilmiah orang lain;
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah jiplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Medan, Desember 2019
ABDULLAH SYATRIA NASUTION NIM: 160200127
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas limpahan kasih sayang beserta rahmat dan nikmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Analisis putusan hakim terhadap pemberian restitusi kepada anak korban tindak pidana kekerasan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN Wat)” dapat terselesaikan Tak lupa pula penulis mengirimkan salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa umat Islam ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat meraih gelar Sarjana Hukum pada Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penyusunan skripsi ini idak lepas dari keterlibatan berbagai pihak yang senantiasa membantu dan membimbing penulis dalam suka dan duka. Kemudian melalui kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang sangat besar kepada seluruh pihak yang telah membantu moril maupun materil demi terwujudnya skripsi ini. Penulis menghanturkan terima kasih setinggi-tingginya kepada Ayahanda tercinta Ahmad Bakhori dan Ibunda yang sangat luar biasa Runelly Siregar yang senantiasa mendo’akan segala kebaikan, mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang yang tidak dapat ternilai dengan apapun. Serta memberikan dorongan semangat pantang menyerah demi kesuksesan Penulis selama menyelesaikan studi. Tak lupa juga kepada adik-adik penulis Abdillah Husein Nasution dan Astri Handayani Nasution serta seluruh keluarga besar penulis, yang selalu memberi motivasi dan dukungan penyemangat kepada penulis.
Selanjutnya dengan segala kerendahan hati Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., Selaku Wakil Dekann II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., Selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., Selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., Selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS., Selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi.
9. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum., Selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.
10. Ibu Megarita S.H., CN., Selaku Dosen PA penulis dari semester I sampai semester akhir.
11. Seluruh Dosen pengajar yang mengabdikan diri mengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang turut mendukung segala perkuliahan penulis selama menjalani urusan perkuliahan.
12. Seluruh Pegawai, dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk setiap Pelayanan yang di berikan.
13. Terima Kasih Kepada Teman-teman Stambuk 2016, Khususnya grup D 2016.
14. Terima kasih untuk IMADANA, Sebagai Ikatan Mahasiswa Departemen terbesar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
15. Sahabat seperjuangan yang paling perhatian, Yusril Azharudin, Syahrizal Ginting, Adlyanshah Pasaribu, Mila Suvia, Helnia Safitri dan May Alda terima kasih atas dukungan, doa, semangat, tawa, keceriaan, serta perjuangan bersama melewati masa-masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Semoga S.H segera tercantum di belakang nama kita semua.
16. Serta seluruh pihak yang turut membantu hingga terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis memohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran sangat diharapkan demi penyempurnaan penulisan serupa di masa yang akan datang. Akhir kata, Penulis berharap semoga apa yang tertulis dalam skripsi ini bisa bermanfaat khusunya bagi Penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin Ya Rabbal Alamin.
Medan, Desember 2019 Penulis,
Abdullah Syatria Nasution
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
I. Latar Belakang ... 1
II. Rumusan Masalah ... 10
III. Tujuan Penulisan ... 10
IV. Manfaat Penulisan ... 11
V. Keaslian Penulisan ... 11
VI. Tinjauan Pustaka ... 12
1. Pengertian anak ... 12
2. Pengertian kekerasan ... 15
3. Pengertian restitusi ... 18
VII. Metode Penelitian ... 19
VIII. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA ... 24
A. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 24
B. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 35
C. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 (Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak) Jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak ... 73
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM DAN KAITANNYA DENGAN RESTITUSI BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA
KEKERASAN ... 80
A. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Anak ... 80
1. Pengertian Perlindungan Hukum ... 80
2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak ... 84
B. Pengaturan Restitusi Dalam Perundang-Undangan ... 93
1. Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 93
2. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ... 94
3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana ... 108
C. Mekanisme Pemberian Restitusi Kepada Anak Korban Tindak Pidana ... 114
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN KEPADA ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 65/PID.SUS/2018/PN WAT) ... 119
A. Kasus Posisi ... 119
1. Kronologis Perkara ... 119
2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 122
3. Fakta Hukum ... .... 127
4. Pertimbangan Hakim ... 129
5. Putusan Hakim ... 137
B. Analisis Kasus ... 138
a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ... .... 138
b. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 144
c. Putusan Hakim ... .. 145
BAB V PENUTUP ... 148
A. Kesimpulan ... 148
B. Saran ... 151
DAFTAR PUSTAKA ... 152
ABSTRAK
Abdullah Syatria Nasution* Nurmalawaty**
Madiasa Ablisar***
Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Anak sering menjadi sasaran tindak pidana kekerasan. Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup sendiri membutuhkan orang-orang disekitar untuk tempat berlindung. Skripsi ini diberi judul “Analisis putusan hakim terhadap pemberian restitusi kepada anak korban tindak pidana kekerasan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN Wat)”. Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam hukum pidana, bagaimana perlindungan hukum dan kaitannya dengan restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan, dan Analisis yuridis terhadap Putusan Hakim Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN.Wat.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dengan didasarkan pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu inventarisasi peraturan mengacu pada norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Yang berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan terhadap anak, selain itu juga dipergunakan bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.
Tindak pidana kekerasan terhadap anak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan hukum terhadap anak merupakan upaya untuk tercapainya kesejahteraan anak.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN.Wat menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 80 ayat (1) jo Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sehingga perbuatan terdakwa mengakibatkannya di jatuhi hukuman 5 (lima) bulan penajara.
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
IX. Latar Belakang
Manusia dilahirkan ke muka bumi dengan membawa hak-hak dasar yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa atau lazim disebut dengan hak asasi manusia.
Hak asasi manusia diberikan kepada setiap individu di dunia tanpa memandang suku, ras, warna kulit, asal-usul, golongan, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Hak ini tidak pernah lepas dan selalu melekat pada tiap individu seumur hidupnya.1
Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu, setiap upaya perampasan terhadap nyawa termasuk didalamnya tindak pidana kekerasan lainnya, pada hakekatnya merupakan pelanggaran HAM yang berat bila dilakukan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum dan perundangan yang berlaku.2 Demikian pentingnya hak asasi manusia bagi setiap individu sehingga eksistensinya harus senantiasa diakui, dihargai, dan dilindungi, diantaranya melalui berbagai produk perundang-undangan. Adanya pengakuan terhadap hak asasi manusia tentunya membawa konsekuensi perlunya diupayakan perlindungan terhadap hak-hak tersebut dari kemungkinan munculnya tindakan-tindakan yang dapat merugikan manusia itu sendiri baik dilakukan oleh manusia lainnya maupun pemerintah tanpa terkecuali anak. Anak juga manusia
1 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 158.
2 Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, PT Refika Aditama, 2005, hlm. 121.
dan karenanya menghormati hak anak sama halnya dengan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Smith bahkan menguatkan bahwa secara sempurna, keseluruhan instrumen HAM Internasional justru berada pada “jantung” hak-hak anak. Sayangnya, fakta masih menunjukkan, anak termasuk sebagian dari kelompok yang rentan terjadinya kekerasan.3
Begitu pula terhadap anak dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perindungan Anak dikatakan bahwa “Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.”4 Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya segala bentuk tindakan kekerasan pada anak perlu dicegah dan diatasi.
3 Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, Budaya, Jakarta, Rajawali Pers, 2008, hlm. 223.
4
Setiap Negara wajib memberikan perhatian serta perlindungan yang cukup terhadap hak anak. Namun kedudukan dan hak anak jika dilihat dari perspektif yuridis belum mendapatkan perhatian serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya yang masih jauh dari apa yang sebenarnya harus diberikan kepada mereka. Kondisi ini pun dipersulit oleh lemahnya penerapan hukum mengenai hak anak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri.
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Rpublik Indonesia yang rumusannya “Negara Indonesia adalah negara hukum.5 Dengan keberadaannya sebagai negara hukum (rechtstaat) ada berbagai konsekuensi yang melekat padanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, bahwa konsepsi rechtstaat maupun konsepsi the rule of law, menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu ciri khas pada negara yang disebut rechstaat atau menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia merupakan salah satu ukuran baik buruknya suatu pemerintahan. Untuk itu Indonesia sebagai negara hukum sedikitnya harus memiliki 3 (tiga) ciri pokok sebagai berikut:
a. Pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya;
5 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan lain apapun;
c. Menjunjung tinggi asas legalitas.6
Negara hukum menghendaki agar hukum itu dapat ditegakkan oleh semua lapisan masyarakat. Yang berarti setiap perbutan harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Hukum adalah peraturan yang hidup dalam masyarakat yang mengatur tingkah laku manusia yang memaksa supaya orang menaati tata tertib masyarakat dan memberikan sanksi yang tegas terhadap siapa saja yang tidak menaatinya. Dengan tujuan menciptakan kemakmuran, kebahagiaan serta tertib dalam masyarakat.
Negara Indonesia didalam Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan untuk melindungi sengenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut serta dalam upaya perdamaian dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam tujuan itu adanya dijamin perlindungan bagi masyarakat dan adanya hak- hak masyarakat yang dijamin dalam semua aspek kehidupannya. Namun dewasa ini kita melihat fenomena yang terjadi di masyarakat mulai berbanding terbalik dengan tujuan dari negara kita. Pola tingkah laku yang menyimpang yang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat seperti adanya suatu pelanggaran dan kejahatan. Salah satu bentuk kejahatan yang yang berkembang dalam masyarakat adalah tindak pidana kekerasan. Kekerasan merupakan suatu perbuatan seseorang secara melawan hukum yang dapat menimbulkan bahaya terhadap badan dan nyawa yang menimbulkan terampasnya kemerdekaan
seseorang. Kekerasan juga merupakan pelanggaran terhadap kebebasan seseorang dan hak asasi manusia, yaitu hak seseorang untuk diperlakukan secara manusiawi.
Kekerasan merupakan suatu tindakan yang sengaja dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lemah. Tindakan tersebut dilakukan dengan menggunakan kekuatan fisik maupun non fisik. Kekuatan fisik misalnya sesorang menggunakan tenaganya yang kuat untuk memaksa orang lain bertindak sesuai dengan keinginannya, sedangkan kekuatan non fisik misalnya seseorang menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memenuhi keinginannya sehingga menimbulkan penderitaan kepada orang lain. Ada berbagai bentuk kekerasan terhadap anak, mulai dari yang ringan hingga yang berat. Seperti mencubit, memukul, menendang, menganiaya, bahkan membunuh. Kekerasan menyebabkan orang lain merasa terganggu, tidak senang, merasa tidak aman, takut, trauma, dan dendam.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis hasil pengawasan dan pengaduan kekerasan di lembaga pendidikan. Sejak bulan Januari hingga Oktober 2019, tercatat 127 kasus kekerasan yang terdiri dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. "Kekerasan di lembaga pendidikan melibatkan guru atau kepala sekolah, siswa, dan orang tua siswa," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti. Berdasarkan data KPAI, kekerasan seksual berjumlah 17 kasus dengan korban 89 anak, yang terdiri darj 55 anak perempuan dan 34 anak laki-laki. Pelaku mayoritas adalah guru 88 persen dan kepala sekolah 22 persen. Adapun pelaku guru terdiri dari guru olahraga 6 orang, guru agama 2 orang, guru kesenian 1 orang, guru komputer 1 orang, guru IPS 1 orang, dan guru
kelas 4 Sekolah Dasar empat orang. "Dari 17 kasus kekerasan seksual, 11 kasus terjadi di jenjang SD, 4 kasus di SMP, dan 2 di SMA," kata Retno. Sedangkan dalam kasus kekerasan fisik, KPAI melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap 21 kasus yang itu terdiri dari 7 kasus di jenjang SD, 5 kasus di SMP, 3 kasus SMA dan 4 kasus SMK. "Dari 21 kasus, siswa korban kekerasan mencapai 65 anak. Sedangkan guru korban kekerasan ada 4 orang," katanya. Retno menjabarkan, pelaku kekerasan itu dilakukan guru dan kepala sekolah berjumlah 8 orang, pelaku orang tua siswa 3 orang, dan pelaku siswa 37 orang. Modus kekerasan fisik yang dilakukan guru rata-rata mengatasnamakan pendisiplinan siswa berupa cubitan, pukulan dan tamparan, bentakan, makian, dijemur di bawah sinar matahari, hingga hukuman lari keliling lapangan sebanyak 20 putaran.7
Tindak pidana kekerasan biasanya ditujukan pada anak dan perempuan karena mereka dianggap lemah karena dipandang tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk melawan. Sehingga hak-hak anak kurang mendapat perhatian dan perlindungan terhadap anak sering terabaikan dewasa ini. Padahal dalam peraturan perundang-undangan sudah memberikan ketentuan dengan tegas bahwa dalam hal melakukan perlindungan kepada anak tidak hanya menyangkut peran dari Pemerintah saja melainkan semua pihak dapat melakukan perlindungan terhadap anak mulai dari keluarga, orang tua sampai masyarakat ikut terlibat dalam melakukan perlindungan kepada anak. Nampaknya kita perlu menyadari bahwa permasalahan anak bukanlah hal yang sederhana. Penanggulangan permasalahan anak sangat menuntut banyak pihak. Mereka bukan semata-mata
7 Kukuh S. Wibowo, Berita, KPAI: Kekerasan di Dunia Pendidikan Mencapai 127 Kasus, https:// https://nasional.tempo.co/read/1266367/kpai-kekerasan-di-dunia-pendidikan-mencapai-
tanggungjawab orang tua, melainkan juga menjadi tanggung jawab dari negara dan pemerintah serta masyarakat. Optimalisasi peran orang tua, negara dan pemerintah, serta masyarakat melalui LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam upaya mensejahterakan anak perlu diupayakan. Anak-anak adalah harapan masa depan bangsa.
Keberadaan anak yang belum mampu untuk hidup sendiri tentu sangat membutuhkan orang-orang disekitar untuk tempat berlindung. Pandangan bahwa anak perlu dilakukan perlindungan terhadapnya karena anak merupakan aset terbesar bagi suatu bangsa atau negara untuk meneruskan cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis serta melangsungkan dan melanjutkan kehidupan bangsa ini terkhusus negara Indonesia di masa depan. Kondisi anak di Indonesia tidak menjadi lebih baik setiap harinya tetapi justru semakin menderita.
Meski ada Hari Anak Nasional, ada Undang-Undang Perlindungan Anak, ada lembaga perlindungan anak, ada negara, ada orangtua, dan ada kita semua, namun anak tetap merupakan problem yang tidak dapat diselesaikan yang oleh Abu Huraerah dalam bukunya child abuse (kekerasan terhadap anak) dikatakan sebagai
“unfinished agenda” agenda yang tidak terselesaikan”8. Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih dan terus memburuk.
Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat serta bakatnya untuk masa depan, realitasnya diwarnai data kelam dan menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan. Kekerasan sering terjadi terhadap anak, yang dapat merusak,
8Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak) Edisi Revisi, Bandung, Nuansa, 2007, hlm. 15.
berbahaya dan menakutkan anak. Anak yang menjadi korban kekerasan menderita kerugian, tidak saja bersifat material, tetapi juga bersifat immaterial seperti goncangan emosional dan psikologis, yang dapat berpengaruh terhadap masa depan anak.
Kekerasan terhadap anak seringkali di identikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisik dan seksual. Padahal, kekerasan yang bersifat psikis dan sosial (struktural) juga membawa dampak buruk dan permanen terhadap anak.
Karenanya, istilah child abuse atau perlakuan salah terhadap anak bisa berentang mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse); dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan struktural. Kekerasan struktural adalah kekerasan sistemik dan tidak tampak, namun secara destruktif melahirkan kemiskinan, kematian dan penderitaan luar biasa, luas dan berjangka panjang terhadap anak.9
Perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan politik dan legislasi (kewajiban negara). Perlindungan terhadap kesejahteraan anak juga merupakan bagian dari tanggungjawab orang tua dan kepedulian masyarakat. Tanpa partisipasi dari masyarakat, pendekatan legal formal saja ternyata tidak cukup efektif melindungi anak. Perlunya dilakukan upaya yang serius para penegak hukum dalam memberantas dan menjerat pelaku kekerasan terhadap anak. Peran serta masyarakat juga merupakan bagian yang penting agar terciptanya pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak untuk kehidupan yang sejahtera bagi anak sebagai generasi muda untuk melanjutkan perjuangan bangsa, membawa kepada kemajuan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, negara
bersama-sama dengan segenap anggota masyarakat lainnya, perlu bahu-membahu dalam memberikan perlindungan yang memadai kepada anak-anak dari berbagai bentuk kekerasan dari orang-orang yang mengancam hak anak yang tidak bertanggung jawab, agar anak sebagai generasi pewaris bangsa dapat berdiri dengan kokoh dalam memasuki kehidupan di masa-masa yang akan datang.
Dengan adanya peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang perlindungan anak, maka akan memberikan kepastian hukum terhadap tindak pidana kekerasan terhadap anak yang harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku dan menjatuhkan hukuman yang sesuai terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap anak agar pelaku jera untuk tidak melakukannya lagi.
Dalam hukum nasional, perlindungan terhadap anak telah memperoleh dasar pijakan yuridis diantaranya Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional dalam ketentuan Pasal 28 B ayat (2) menyebutkan bahwa: setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Serta Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sebagai generasi penerus bangsa, anak selayaknya mendapatkan hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan secara memadai. Mereka bukanlah objek (sasaran) tindakan kesewenang-wenangan dan perlakuan yang tidak manusiawi dari
siapapun atau dari pihak manapun. Anak yang dinilai rentan terhadap tindakan kekerasan dan penganiayaan, seharusnya dirawat, diasuh dididik dengan sebaik- baiknya agar mereka dapat tumbuh dan berkembang secara sehat dan wajar. Hal inilah yang perlu dilakukan agar dikemudian hari tidak terjadi generasi yang hilang.
X. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana kekerasan terhadap anak dalam hukum pidana ?
2. Bagaimana perlindungan hukum dan kaitannya dengan restitusi bagi anak korban tindak pidana kekerasan ?
3. Analisis yuridis terhadap putusan hakim dalam perkara tindak pidana tindak pidana kekerasan terhadap anak (Studi Putusan Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN.Wat)
XI. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana kekerasan terhadap anak.
2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban tindak pidana kekerasan.
3. Untuk mengetahui tata cara pemberian restitusi kepada anak korban tindak pidana kekerasan.
XII. Manfaat Penulisan
Disaming tujuan dari penulisan yang dikemukakan di atas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk:
1. Manfaat Secara Teoritis
Yaitu untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya menganai hukum pidana. Dan memberikan pengetahuan yang mendalam tentang pengaturan perundang-undangan yang ada yang dimaksudkan untuk melindungi anak dari tindak pidana.
2. Manfaat Secara Praktis
Untuk memberi masukan kepada pemerintah, aparat, serta masyarakat untuk memberikan perlindungan terhadap anak.
XIII. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis putusan hakim terhadap pemberian restitusi kepada anak korban tindak pidana kekerasan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Wates Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN Wat)” Merupakan hasil dari penelitian yang dilakukan secara pribadi di perpustakaan dan dalam penelitian ini belum pernah dipakai dan belum pernah tertulis bedasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu tulisan ini adalah asli dari buah pikiran dan kerja keras penulis. Apabila dikemudian hari terdapat kesamaan atau terbukti melakukan penipuan dari penulisan skripsi ini, maka dengan ini saya bertanggungjawab sepenuhnya terhadap penulisan skripsi ini.
XIV. Tinjauan Pustaka 4. Pengertian Anak
Menurut the Minimum Age Convention nomor 138 (1973), pengertian tentang anak adalah seorang yang berusia 15 tahun ke bawah.
Dalam Convention on the Rights of the Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres nomor 39 tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun ke bawah.
UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0 sampai dengan 18 tahun.
Terdapat pengertian anak di dalam beberapa peraturan perundang- undangan di Indonesia namun tidak ada keserangaman mengenai pengertian anak.
Secara umum pengertian anak adalah seorang yang dilahirkan melalui perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tidak mengenyampingkan bahwa seseorang yang telah dilahirkan oleh wanita itu meskipun tidak dalam ikatan pernikahan yang sah tetap dikatakan anak.
Berikut ini beberapa perbedaan pengertian anak dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 330 yang dikategorikan anak adalah mereka yang belum berumur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.10
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.11
10
Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam Pasal 1 angka 8 terdapat beberapa anak didik permasyarakatan yaitu anak pidana, anak negara, anak sipil yang di didik di lembaga pemasyarakatan paling lama berumur 18 (delapan belas) tahun.12
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 anak adalah setiap manusia yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk juga anak yang masih dalam kandungan.13
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 angka 1 menyatakan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan14. Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.
Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang didalam Pasal 1 angka 5 menyebutkan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.15
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak berbunyi “Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
12 Pasal 1 angka 8Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
13 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
14 Pasal 1 angka 1Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
15 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”16
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pasal 1 angka 2 menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.17
Defenisi anak yang ditetapkan perundang-undangan berbeda dengan defenisi menurut hukum islam dan hukum adat. Menurut hukum islam dan hukum ada sama-sama menentukan seseorang masih anak-anak atau sudah dewasa bukan dari usia anak. Hal ini karena masing-masing anak berbeda usia untuk mencapai tingkat kedewasaan. Hukum islam menentukan definisi anak dilihat dari tanda- tanda pada seseorang apakah seseorang itu sudah dewasa atau belum. Artinya seseorang dinyatakan sebagai anak apabila anak tersebut belum memiliki tanda- tanda yang dimiliki oleh orang dewasa sebagaimana ditentukan dalam hukum islam. Ter Haar, seorang tokoh adat mengatakan bahwa hukum adat memberikan dasar untuk menentukan apakah seseorang itu anak-anak atau orang dewasa yaitu melihat unsur yang dipenuhi seseorang, yaitu apakah anak tersebut sudah kawin, meninggalkan rumah orang tua atau rumah mertua dan mendirikan kehidupan keluarga sendiri.18
16 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
17 Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
18
5. Pengertian Kekerasan
Dalam kamus bahasa hukum perbuatan kekerasan ialah perbuatan yang menggunakan kekuatan phisic atau jasmani yang dapat diperkirakan akibatnya oleh pihak yang terkena perbuatan itu menjadi pingsan, tak berdaya atau tidak dapat berbuat sesuatu.19
Kekerasan adalah hal yang bersifat atau berciri keras yaitu perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain atau paksaan.20
Abuse adalah kata yang diterjemahkan menjadi kekerasan, penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Dalam The Social Work Dictionary Barker mendefenisikan abuse atau kekerasan adalah perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugain atau bahaya secara fisik, psikologis, atau finansial, baik yang dialami individu maupun kelompok). Richard J Gelles dalam Encyclopedia Article From Encarta, mengartikan kekerasan terhadap anak adalah perbuatan di sengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak secara fisik maupun emosional. Istilah child abuse meliputi berbagai macam bentuk tingkah laku, dari tindakan ancaman fisik secara langsung oleh orang tua atau orang dewasa lainnya sampai kepada penelantaran kebutuhan-kebutuhan dasar anak).
Sementara itu, Baker dalam child abuse mendefinisikan kekerasan terjadap anak adalah tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak
19 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap, Semarang, Aneka Ilmu, 1977, hlm. 511
20 M.Soesilo, Kamus Hukum, Gama Press, 2009, Hlm. 343.
terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual, biasanya dilakukan para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak.21
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan hukum positif di Indonesia terdapat beberapa pengertian kekerasan, yaitu:
Didalan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 89 menyatakan bahwa yang disamakan melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Dalam penjelasannya melakukan kekerasan artinya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak syah. Pingsan berarti tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Yang disebut tidak berdaya yaitu tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun.22
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang didalam Pasal 1 angka 4 menentukan kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam ketentuan Pasal 5 terdapat 3 macam kekerasan antara lain:23
21 Abu Huraerah, op.cit hlm. 47.
22 R. Soesilo, Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, 2016, hlm. 98.
23
a. kekerasan fisik, yaitu adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.
b. kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
c. kekerasan seksual, meliputi:
i. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
ii. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menentukan Pasal 1 angka 11 menyebutkan kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan, atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ketentuan Pasal 1 angka 15 huruf a bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
6. Pengertian Restitusi
Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, yang dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.24
Terdapat beberapa pengertian restitusi dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia diantaranya:
Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dimaksud dengan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi dapat berupa:25
a. Pengembalian harta milik;
b. Pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan; atau c. Penggantian biaya untuk tindakan tertentu
Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang dalam pasal 36 ayat (3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan pasal 1 angka 13 Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku
24 Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Jakarta, Sinar Garfika, 2014, hlm.. 43.
25
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 angka 11 Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.26
Dalam penjelasan pasal 71D ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Khusus untuk Anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak mendapatkan restitusi adalah Anak korban.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
XV. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan sehubungan dengan itu, dalam penerapan ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
26 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
1. Tipe Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang didasarkan pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu inventarisasi peraturan mengacu pada norma-norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan terhadap anak, selain itu juga dipergunakan bahan-bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.
2. Jenis Data
Data pokok dalam penelitian ini adalah data yang meliputi:
a) Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan peraturan perundang-undangan yang relevan.
b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan acuan lainnya yang berisikan informasi tentang bahan primer berupa tulisan/buku berkaitan dengan kekerasan terhadap anak.
c) Bahan hukum tersier, berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan primer dan sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia maupun Kamus Hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan di dalam penelitian ini, antara lain:
a) Dokumen atau Bahan Pustaka
Bahan Pustaka yang dimaksud yaitu bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak
pidana kekerasan terhadap anak, serta Peraturan Pemerintah. Bahan hukum sekunder berupa karya tulis dari para ahli hukum.
b) Studi Putusan
Studi putusan dilakukan terkait dengan penelitian yang bersangkutan sehingga dapat menemukan data-data yang dapat diambil dan dijadikan dasar untuk menulis penelitian ini.
4. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisa data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Analisa kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian dan kebenarannya. Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan untuk berpikif yang bersifat dedukatif yaitu data hasil penelitan dari hal yang bersifat khusus menjadi yang bersifat umum. Dengan metode dedukatif ini diharapkan akan memperoleh jawaban dari permasalahan.
XVI. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan penjabaran penulisan, penulis akan membagi kedalam 5 (lima) bab dengan sistematikanya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisi antara lain latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA
Dalam bab ini diuraikan antara lain Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indoneisa Nomor 1 Tahun 2016 tentang (Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak) jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM DAN KAITANNYA DENGAN RESTITUSI BAGI ANAK KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi anak bagian-bagian yang diuraikan adalah pengertian perlindungan hukum dan bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak. Pengaturan restitusi dalam perundang-undangan bagian-bagian yang diuraikan adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana dan Mekanisme pemberian restitusi kepada anak korban tindak pidana.
BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN KEPADA ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 65/Pid.Sus/2018/PN WAT)
Dalam bab ini diuraikan mengenai analisis putusan hakim Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN Wat. Bagian-bagian yang diuraikan yaitu kasus posisi pada putusan hakim tersebut, Dakwaan, Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Pertimbangan Hakim, dan Putusan Hakim.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bagian ini berisi penutup yang berisi kesimpulan dan saran sekaligus bagian akhir dari penulisan skripsi ini.
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA
D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia. Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itulah, umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna menumbuh kembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya keluarga sering sekali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan atau aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga lainyya, seperti penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan. Situasi inilah yang lazim disebut dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena penyalahgunaan kekuatan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Orang tua yang memiliki kekuatan fisik ataupun non-fisik (karena status yang tinggi dalam struktur keluarga) atau merasa dirinya superioritas, sehingga bisa berbuat apa saja, termasuk melakukan kekerasan terhadap anak. Anak dalam posisi yang lemah dan dilemahkan tak berdaya menghadapi perlakuan tersebut.
Jika dicermati bahwa dalam berbagai kasus, permasalahan tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seyogyanya berperan mengasuh dan melindungi anak, terutama orang tua dan keluarga. Undang-undang yang mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah Undang-Undang Nomor 23
tahun 2004. Undang-Undang ini sebagai upaya mencegah, mengulangi, dan mengurangi tindak kekerasan ataupun kejahatan yang marak di lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan membentuk rumah tangga/keluarga adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Apabila rumah tangga bahagia, maka lingkungan masyarakat dan bangsa tentu bahagia serta negara menjadi aman damai. Oleh karena itu, pemahaman dan pelaksanaan Undang-Undang dimaksud merupakan suatu keharusan.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 terdapat asas yang dipatuhi, (Pasal 3) :
a. Penghormatan hak asasi manusia, b. Keadilan dan kesetaraan gender, c. Nondiskriminasi,
d. Perlindungan korban.
Kepada masyarakat, undang-undang tersebut menegaskan kewajiban dari masyarakat (Pasal 15), setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
1. Mencegah terjadinya tindak pidana;
2. Memberikan perlindungan kepada korban;
3. Memeberkan pertolongan darurat;
4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”27 Selain dalam bentuk kekerasan psikologis/emosional, kekerasan yang dialami anak juga bisa berupa fisik dan seksual. Menurut The National
27 Bambang Waluyo, op.cit, hlm. 89.
Association of Social Workers, kekerasan dalam keluarga merupakan siksaan emosional, fisik dan atau seksual yang dilakukan secara sadar, sengaja, atau kasar dan diarahkan kepada anggota keluarga atau rumah tangga. Dalam lingkup yang lebih luas, juga meliputi kekerasan dalam bentuk penelantaran. Sebagaimana dijelaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.28
Dengan mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud:
1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Meliputi pemukulan dengan benda tumpul maupun benda keras, menendang, menampar, menjewer, menyundut dengan api rokok, dan menempelkan setrika pada tubuh, dan membenturkan kepala anak pada tembok.
2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya asa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Misalnya dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut didengar oleh anak.
3. Kekerasan seksual, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Kekerasan seksual juga bisa meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak untuk tujuan prostitusi dan pornografi, yang dilakukan orang tua maupun anggota keluarga lainnya.
4. Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Kekerasan dalam bentuk penelantaran pada umumnya dilakukan dengan cara membiarkan anak dalam situasi gizi buruk, kurang gizi (malnutrisi), tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau pengamen, memaksa anak menjadi anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pemulung dan jenis pekerjaan lainnya yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak. Termasuk didalamnya penelantaran anak adalah:
a. Penelantaran untuk mendapatkan perawatan kesehatan, misalnya mengingkari adanya penyakit serius pada anak.
b. Penelantaran untuk mendapatkan keamanan, misalnya cedera yang disebabkan kurangnya pengawasan dan situasi rumah yang membahayakan.
c. Penelantaran emosi, yaitu tidak memberikan perhatian kepada anak, menolak kehadiran anak.
d. Penelantaran pendidikan, anak tidak mendapatkan pendidikan sesuai dengan usianya, tidak membawa anak ke sarana pendidikan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga, sehingga terpaksa putus sekolah.
e. Penelantaran fisik, yaitu jika anak tidak terpenuhi kebutuhan makan, pakaian atau tempat tinggal yang layak untuk mendapatkan sarana tumbuh kembang yang optimal.29
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak terlantar didefinisikan sebagai anak yang karena suatu sebab orang taunya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.
Didalam Undang-Undang ini dikemukakan jenis-jenis anak-anak lainnya yang pada hakekatnya merupakan anak terlantar, yaitu:
1. Anak yang tidak mampu, yaitu anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, baik secara rohani, jasmani maupun sosial;
2. Anak yang mengalami masalah kelakuan, yaitu anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat;\
3. Anak cacat, yaitu anak yang megalami hambatan rohani dan/atau jasmani sehingga menggangu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terdapat ketentuan pidana yang dimuat dalam Bab VIII yaitu Pasal 44 sampai dengan Pasal 53, menurut penulis yang termasuk kekerasan terhadap anak dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 sebagai berikut.
Berikut ini diuraikan rumusan unsur pasal-pasal yang memuat ancaman pidana dalam undang-undang ini:
Pasal 44 ayat (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Setiap orang;
b. Melakukan perbuatan kekerasan fisik;
c. Dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a;
d. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(Catatan: Pasal 5 setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: huruf a.
kekerasan fisik. Dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Adapun penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga).
Pasal 44 ayat (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (2) Undang- Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat;
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Pasal 44 ayat (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (3) Undang- Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. Mengakibatkan matinya korban;
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
Pasal 45 ayat (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Setiap orang;
b. Melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b;
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(Catatan: Pasal 5 setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: huruf b.
Kekerasan psikis).
Pasal 46 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12
(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Setiap orang;
b. Melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a;
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
(Catatan: Pasal 8 kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dimaksud dengan kekerasan seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu).
Pasal 47 “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Setiap orang;
b. Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya;
c. Melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b;
d. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(Catatan: Pasal 8 kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu).
Pasal 48 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Dalam hal perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47;
b. Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi;
c. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).”
Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.
a. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah),
b. Setiap orang yang:
1) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
2) Menelantarakan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
(Catatan: Pasal 9 ayat (1) setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Ayat (2) penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut).30
E. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat beberapa pasal yang mengalami perubahan termasuk mengenai ketentuan pidana serta mencantumkan larangan.
Dari masing-masing ketentuan pidana tersebut, terdapat dua unsur objektif yang sama yaitu:
1. Unsur objektif: “setiap orang”
Yang dimaksud dengan “setiap orang”, yaitu sebagai subjek atau pelaku dari tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 77 sampai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perseorangan atau korporasi.
30 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP, Jakarta, Kencana, 2017, hlm. 261-264.
Dalam ilmu hukum yang dimaksud dengan “setiap perseorangan” yang disebutkan oleh masing-masing ketentuan yang terdapat dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah natuurlijk persoon (bahasa Belanda), yaitu yang bertindak sebagai pelaku atau subjek tindak pidana.
Dengan adanya undang-undang Nomor 11 tahun 2012, maka unsur “setiap orang” khususnya unsur “orang perseorangan” yang disebutkan oleh masing- masing ketentuan yang terdapat dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 89 Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 dapat dibedakan antara lain sebagai berikut.
a. Orang perseorangan yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang melakukan tindak pidana, yang menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 disebutkan anak.
Orang perseorangan yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang melakukan tindak pidana tersebut, tidak tergantung apakah orang perseorangan itu sudah atau belum kawin.
Untuk menyelesaikan perkara anak tersebut diberlakukan Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.
b. Orang perseorangan yang telah berumur diatas 18 tahun.
Untuk menyelesaikan perkara pidananya tetap diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana dimaksud Undang- Undang Nomor 8 tahun 1981.
2. Unsur objektif: “anak”
Yang dimaksud dengan “anak”, yaitu sebagai objek dari tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 77 sampai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor