BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN KEPADA ANAK PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN KEPADA ANAK
KEPADA ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 65/PID.SUS/2018/PN WAT)
D. Analisis Kasus
2. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Dalam ketentuan Pasal 137 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan yang berwenang mengadili.72
Tuntutan penuntut umum jelas pada dakwaan alternatif yang diberikan penuntut umum kepada terdakwa, yaitu Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Yang memiliki unsur-unsur, yaitu:
a. Setiap orang;
72
b. Menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.
Maka dalam hal ini, penulis menilai tuntutan yang dijatuhkan penuntut umum sudah tepat dikarenakan unsur-unsur yang dijelaskan diatas melalui dakwaan alternatif berdasarkan pada Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah dipenuhi dalam perbuatan yang dilakukan terdakwa.
3. Putusan Hakim
Muara dari seluruh proses persidangan perkara pidana adalah pengambilan keputusan hakim atau sering disebut dengan putusan pengadilan atau putusan akhir atau sering disebut dengan istilah putusan saja.73 Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.74
Dalam perkara kekerasan teradap anak yang penulis teliti, Majelis Hakim memberikan putusan akhir yang putusan tersebut dijatuhkan kepada terdakwa berupa putusan pemidanaan. Dikarenakan dalam perkara ini, Majelis Hakim yang memeriksa perkaranya hingga selesai terhadap perbuatan dari terdakwa yang telah dinyatakan oleh penuntut umum sebagaimana telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
73 Al. Wisnubroto, Praktek Persidangan Pidana, Yogyakarta, Cahaya Atma Pustaka, 2014, Hal, 147.
74 M. Karjadi dan R. Suesilo, op.cit, Hal, 4.
Dalam amar putusan Majelis Hakim memutuskan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana kekerasan terhadap anak. Menurut analisa penulis, putusan pengadilan pada perkara ini sudah tepat dan baik. Karena dalam hal ini Majelis Hakim dalam putusannya melihat fakta-fakta hukum yang terjadi di muka persidangan dan Majelis Hakim mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terdapat di persidangan. Dalam hal ini, Majelis Hakim mempertimbangkan unsur-unsur yang terdapat dalam surat dakwaan alternatif oleh Penuntut Umum telah terpenuhi. Kemudian Majelis Hakim dalam putusannya menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 5 (lima) bulan penjara, hal ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. hal ini diharapkan memberikan efek jera kepada pelaku serta memberikan pembinaan terhadap pelaku dalam menjalani hukumannya.
Dengan adanya putusan hakim yang menyatakan pembayaran restitusi hakim melihat perlu dilakukan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan yang dilakukan Terdakwa. Karena dalam perkara ini korban mendapat luka akibat dari perbuatan terdakwa yang mengakibatkan korban tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-sehari seperti biasanya sehingga perlu adanya pemulihan kesehatan korban. Dalam hal ini korban juga telah melakukan prosedur untuk mengajukan permohonan mendapatkan restitusi di pengadilan.
Kemudian menurut analisa dari penulis terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur yang ada pada pertanggungjawaban pidana, yaitu :
a. Kemampuan bertanggung jawab
Dalam unsur ini, keadaan jiwa pelaku harus dapat dibuktikan dalam keadaan yang benar-benar sehat kejiwaannya.
b. Kesalahan
Dalam putusan ini, penulis menganalisa bahwa bentuk kesalahan yang dilakukan Terdakwa adalah kesengajaan. Terdakwa dengan sengaja melakukan tindak pidana kekerasan terhadap korban dengan mencari saksi korban bersama Kevin.
c. Tidak ada alasan pemaaf
Dalam unsur ini menurut analisa penulis, tidak ditemukan adanya alasan pemaaf dari terdakwa yang dapat menghapuskan kesalahan terhadap perbuatan pidana terdakwa.
BAB V PENUTUP C. Kesimpulan
Dari rumusan masalah, berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan diatas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengaturan hukum mengenai tindak pidana kekerasan terhadap anak terdapat dalam beberapa peraturan hukum di Indonesia. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang kekerasan terdapat dalam Pasal 89
“membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan”. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengatur secara khusus tentang kekerasan terdapat dalam Pasal 76 C yang menyatakan bahwa “setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak”.
2. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Penyelenggaraan perlindungan anak berazaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan prinsip–prinsip konvensi hak anak yaitu:
a. Non Diskriminasi;
b. Kepentingan Yang Terbaik Bagi Anak;
c. Kelangsungan Hidup dan Perkembangan;
d. Penghargaan Terhadap Pendapat Anak.
Perlindungan hukum mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dinikmati atau dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas (kepuasan).
Sementara itu, perlindungan yang kongkret pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang dapat dinikmati secara nyata, seperti pemberian yang berupa atau bersifat materi maupun nonmateri. Pemberian yang bersifat materi dapat berupa pemberian kompensasi atau restitusi, pembebasan biaya hidup atau pendidikan. Pemberian perlindungan yang bersifat nonmateri dapat berupa pembebasan dari ancaman, dari pemberitaan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Pengaturan mengenai pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana kekerasan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2008;
c. Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014.
3. Analisis yuridis terhadap putusan Hakim Nomor 65/Pid.Sus/2018/PN.Wat yaitu telah sesuai dengan terpenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam dakwaan kesatu Pasal 80 ayat (1) jo Pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berdasarkan pada keterangan saksi, keterangan terdakwa dan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan
serta mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang dapat meringankan terdakwa, ditambah dengan keyakinan Hakim.
D. Saran
1. Didalam perubahan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas mencatumkan hukuman yang lebih berat, hal ini agar pelaku berpikir dua kali dalam melakukan kekerasan terhadap anak serta diharapkan dapat menanggulangi tindakan kekerasan terhadap anak
2. Dibutuhkan partisipasi dari masyarakat agar dapat mengurangi tindakan kekersan terhadap anak yang bersifat pengawasan. Serta peran Hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa yang melakukan kekerasan terhadap anak dengan hukuman yang maksimal agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku.
3. Perlu adanya kejelasan mengenai pelindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak kekerasan dalam hal pelaku tidak mau membayar restitusi yang dibebankan kepadanya.