• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN KEPADA ANAK PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN KEPADA ANAK

PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA

E. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat beberapa pasal yang mengalami perubahan termasuk mengenai ketentuan pidana serta mencantumkan larangan.

Dari masing-masing ketentuan pidana tersebut, terdapat dua unsur objektif yang sama yaitu:

1. Unsur objektif: “setiap orang”

Yang dimaksud dengan “setiap orang”, yaitu sebagai subjek atau pelaku dari tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 77 sampai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah orang perseorangan atau korporasi.

30 Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-Delik di Luar KUHP, Jakarta, Kencana, 2017, hlm. 261-264.

Dalam ilmu hukum yang dimaksud dengan “setiap perseorangan” yang disebutkan oleh masing-masing ketentuan yang terdapat dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah natuurlijk persoon (bahasa Belanda), yaitu yang bertindak sebagai pelaku atau subjek tindak pidana.

Dengan adanya undang-undang Nomor 11 tahun 2012, maka unsur “setiap orang” khususnya unsur “orang perseorangan” yang disebutkan oleh masing-masing ketentuan yang terdapat dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 dapat dibedakan antara lain sebagai berikut.

a. Orang perseorangan yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang melakukan tindak pidana, yang menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 disebutkan anak.

Orang perseorangan yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang melakukan tindak pidana tersebut, tidak tergantung apakah orang perseorangan itu sudah atau belum kawin.

Untuk menyelesaikan perkara anak tersebut diberlakukan Sistem Peradilan Pidana Anak. Sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.

b. Orang perseorangan yang telah berumur diatas 18 tahun.

Untuk menyelesaikan perkara pidananya tetap diberlakukan Kitab Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981.

2. Unsur objektif: “anak”

Yang dimaksud dengan “anak”, yaitu sebagai objek dari tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 77 sampai dengan Pasal 89 Undang-Undang Nomor

35 tahun 2014. Dengan menunjuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam pengertian anak tersebut, tidak tergantung apakah seseorang itu sudah atau belum pernah kawin.

Sebagai akibatnya seseorang yang belum berusia 18 tahun, tetapi sudah atau pernah kawin adalah masih termasuk anak sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.31 Ketentuan pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 dapat disebutkan dan diberikan penjelasan berikut.

1. Pasal 77 Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 76A huruf a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tersebut, maka selain adanya unsur “setiap orang”

dan unsur “anak” seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, juga akan diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Unsur subjektif: sengaja.

Dengan menunjuk pada Memori van Toelichting, yaitu dimaksud dengan

“sengaja” (opzet) adalah dikehendaki dan diketahui (willen en wettens).

31 R. Wiyono, Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2016, hlm. 85-88.

b. Unsur objektif:

1) Diskriminatif;

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2002 tidak ada ketentuan yang memberikan pengertian apa yang dimaskud dengan “diskriminasi” dalam Pasal 76A huruf a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, yang ada adalah apa yang dimaksud dengan “nondiskriminasi” seperti yang teradapat dalam penjelasan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.

Dengan berpedoman pada penafsiran a contrario dari penjelasan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, maka apa yang dimaksud dengan

“diskriminasi” dalam Pasal 76A huruf a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan atau mental.

2) Kerugian;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan

“kerugian” adalah menanggung atau menderita kerugian.

3) Fungsi sosial.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan “fungsi sosial” adalah fungsi yang berkenaan dengan masyarakat.32

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 76A huruf b Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, maka selian adanya unsur “setiap orang” dan unsur “anak” seperti yang dijelaskan dimuka, juga akan diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Unsur subjektif: sengaja

Dengan menunjuk pada Memori van Toelichting, yaitu dimaksud dengan

“sengaja” (opzet) adalah dikehendaki dan diketahui (willen en wettens).

b. Unsur objektif:

1) Anak Penyandang Disabilitas;

Yang dimaksud dengan “anak penyandang disabilitas” dapat berpedoman pada penjelasan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 yang menyebutkan Anak Penyandang Disabilitas adalah Anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.

2) Diskriminatif;

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2002 tidak ada ketentuan yang memberikan pengertian apa yang dimaskud dengan “diskriminasi” dalam Pasal 76A huruf a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, yang ada adalah apa yang dimaksud dengan “nondiskriminasi” seperti yang teradapat dalam penjelasan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.

Dengan berpedoman pada penafsiran a contrario dari penjelasan Pasal 2 huruf c Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, maka apa yang dimaksud dengan

“diskriminasi” dalam Pasal 76A huruf a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan atau mental.

Dengan adanya frasa “dan/atau” dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana kumulatif atau alternatif, yaitu:

a. Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau

b. Pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00, (seratus juta rupiah) atau c. Pidana penjara palling lama 5 (lima) tahun, dan

d. Pidana denda paling banyak Rp.100.000.00,00 (seratus juta rupiah).

2. Pasal 77A ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang –undangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45A, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahundan denda paling banyak Rp. 1000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Ayat (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kejahatan.”

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 77A Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tersebut, maka selain adanya unsur “setiap orang” dan unsur “anak” seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, juga akan diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Unsur subjektif: sengaja.

Mengenai unsur subjektif ini lihat penjelasan terhadap Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.

b. Unsur objektif:

1) Aborsi;

Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2002 tidak ada ketentuan yang memberikan pengertian apa yang dimaskud dengan “aborsi”. Aborsi berasal dari bahasa latin yaitu abortus yang berarti kelahiran sebelum waktunya. Dikenal

dengan istilah “kelahiran yang prematur” atau miskraam (Belanda) berarti keguguran.

2) Tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan “tidak sesuai dengan peraturan undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 45A” adalah tidak berdasarkan alasan dan tata cara yang diatur dalam perundang-undangan. Didalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Di dalamnya, terdapat pasal yang memperbolehkan aborsi dengan dua alasan, indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.

Dalam ketentuan Pasal 77A Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 memandang tindakan aborsi sebagai tindak kejahatan terhadap nyawa dan menjatuhkan hukuman pidana kepada pelaku aborsi tersebut.

Dengan adanya frasa “dan” dalam pasal 77A Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana kumulatif, yaitu:

a. Pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan;

b. Pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00, (satu miliar rupiah).

3. Pasal 77B Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76B, dipidana dengan penjara dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah )

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 77B Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, maka selain adanya unsur “setiap orang” dan unsur “anak”

seperti yang dijelaskan dimuka, juga akan diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Unsur subjektif: sengaja

Mengenai unsur subjektif ini lihat penjelasan terhadap Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.

b. Unsur objektif:

1) Menempatkan;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksudkan dengan

“menempatkan” dalam Pasal 77B Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah memberikan tempat.

2) Membiarkan;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksudkan dengan

“membiarkan” adalah tidak melarang (menegakkan), tidak menghiraukan atau tidak memlihara baik-baik.

3) Melibatkan;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan

“melibatkan” adalah menjadikan turut terlibat (tersangkut, terbawa-bawa) di suatu masalah.

4) Menyuruh melibatkan;

Maksud dari “menyuruh” dalam Pasal 77B Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah “menyuruh” (doen plegen) dalam pengertian ketentuan yang terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan

“menyuruh” berarti memerintah. Dalam hal ini menyuruh anak untuk melakukan sesuatu.

5) Perlakuan salah;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan

“perlakuan” adalah perbuatan yang dikenakan terhadap orang.

6) Penelantaran;

Dalam penjelasan Pasal 77B Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 telah disebutkan apa yang dimaksud dengan “penelantaran”.33 Yang dimaksud dengan

“penelantaran” dapat berpedoman pada penjelasan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 yang menyebutkan apa yang dimaskud dengan perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.

Dengan adanya frasa “dan/atau” dalam pasal 77B Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana kumulatif atau alternatif, yaitu:

a. Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, atau

b. Pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00, (seratus juta rupiah) atau c. Pidana penjara palling lama 5 (lima) tahun, dan

d. Pidana denda paling banyak Rp.100.000.00,00 (seratus juta rupiah).

4. Pasal 80 ayat (1) “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan /atau dendapaling banyak Rp.72.000.000,-(tujuh puluh dua juta rupiah).

Ayat (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

33 R.Wiyono, loc.cit, hlm. 90.

Ayat (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas tahun) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000, (tiga miliar rupiah)

Ayat (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.”

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tersebut, maka selain adanya unsur “setiap orang”

dan unsur “anak” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, juga akan dapat diketahui adanya unsur sebagai berikut.

a. Unsur subjektif: sengaja b. Unsur objektif:

1) Menempatkan;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksudkan dengan

“menempatkan” dalam Pasal 77B Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah memberikan tempat.

2) Membiarkan;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksudkan dengan

“membiarkan” adalah tidak melarang (menegakkan), tidak menghiraukan atau tidak memlihara baik-baik.

3) Melakukan;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia apa yang dimaksud dengan

“melakukan” dapat diartikan sebagai menjalankan atau mengerjakan perbuatan.

4) Menyuruh melakukan;

Yang dimaksud dengan “menyuruh melakukan” adalah memerintahkan anak untuk melakukan sesuatu.

5) Turut serta melakukan;

Yang dimaksud dengan “turut serta” berarti ikut dalam melakukan perbuatan tersebut.

6) Kekerasan.

Didalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 ketentuan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa “kekerasan” terdapat dalam Pasal 1 angka 15 huruf a “Kekerasan” adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Dengan adanya frasa “dan/atau” dalam Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3), maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana kumulatif atau alternatif, yaitu sebagai berikut.

a. Tidak sampai menimbulkan luka berat atau mati pada anak:

1) Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan; atau

2) Pidana denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah); atau

3) Pidana penjara paling banyak 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan; dan

4) Pidana denda paling banyak Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

b. Sampai menimbulkan luka berat pada anak:

1) Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau

2) Pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

c. Sampai menimbulkan anak mati:

1) Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau

2) Pidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);

atau

3) Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; dan

4) Pidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Jika yang melakukan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak adalah orang tua dari anak, maka pidana ditambah sepertiganya.

5. Pasal 81 ayat (1) “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana penjara paling singkat 5 tahun, dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp.

5.000.000,00 (lima miliar rupiah)

Ayat (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ayat (3) Dalam hal tindak pidana sebagamna dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, Pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tersebut, maka selain adanya unsur “setiap orang” dan unsur “anak” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, juga dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Unsur subjektif: sengaja.

Mengenai unsur subjektif ini, lihat penjelasan terhadap pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.

b. Unsur objektif:

1) Kekerasan;

Menurut Simons yang dimaksud dengan “ kekerasan” atau geweld adalah setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu tidak berarti, artinya setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.34

2) Ancaman kekerasan;

Mengenai apa yang dimaksud dengan “ancaman kekerasan”, diberikan penjelasan sebagai berikut. Didalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 sendiri tidak ada ketentuan yang menjelaskan apa yang dimaksud dengan frasa

“ancaman kekerasan”, maka penulis berpedoman pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu maksud dari ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.35

Menurut Simons, untuk dapat dikatakan adanya “ancaman kekerasan” harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

a) Bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, hingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam bahwa yang diancamkan itu benar-benar dapat merugikan kebebasan pribadinya.

b) Bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.36

34 Ibid, hlm. 97.

35 Ibid, hlm. 99.

36 Ibid, hlm. 98.

3) Memaksa;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan

“memaksa” adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa, sedang yang dimaksud dengan “paksa” adalah mengerjakan sesuatu yang diharuskan walaupun tidak mau.

4) Persetubuhan.

Van Bemmelen-Van Hattum menegmukakan sependapat dengan Noyon-Langemeijer bahwa bagi adanya suatu perbuatan mengadakan hubungan kelamin itu tidak disyaratkan telah terjadinya suatu ejaculatio seminis, melainkan cukup jika orang telah memasukkan penisnya kedalam vagina seorang wanita.37

Dalam putusan Hoge Raad tanggal 5 februari 1912 dinyatakan bahwa suatu persinggungan diluar antara alat-alat kelamin pria dan wanita itu bukan merupakan persatuan antara alat-alat kelamin tersebut, yang diperlukan dalam suatu perkosaan.38

Dengan adanya frasa “dan” dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana kumulatif, yaitu:

a. Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) tahun, dan

b. Pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) Jika ketentuan yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 dikaitkan dengan yang terdapat dalam Pasal 81 ayat (2)

37

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, maka dapat diketahui bahwa pidana penjara dan pidana denda tersebut ditujukan kepada:

a. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan prang lain; atau

b. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain;.

Jika yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan maka pidana ditambah sepertiganya.

Dengan berpedoman pada pendapat para pakar dan jurisprudensi menegani unsur-unsur objektif dan Pasal 378 KUHP, maka dapat diberikan penjelasan sebagai berikut.39

a. Maksud “tipu muslihat” dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah sama dengan “tipu muslihat” atau lestige kunsgrepen dalam Pasal 378 KUHP, yang menurut Satochid Kartanegara adalah tindakan-tindakan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kepercayaan orang atau memberikan kesan pada orang yang digerakkan, seolah-olah keadaannya sesuai dengan kebenaran.

Putusan Hoge Raad tanggal 30 Januari 1911, tanggal 1 Spetember 1931 dan tanggal 24 Juli 1936 menyatakan bahwa tipu daya itu adalah tindakan

39 Ibid, hlm. 103-105.

yang sifatnya menipu, yang dapat dipakai sebagai sarana untuk membuka jalan bagi kesan-kesan dan gambaran-gambaran yang sesungguhnya tidak benar.

b. Maksud dari “serangkaian kebohongan” dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah sama dengan “rangkaian kata-kata bohong” atau samenweefsel van verdichtsels dalam Pasal 378 KUHP.

Dalam hal ini menurut Satochid Kartanegara adalah serangkaian kata-kata yang terajalin sedemikian rupa, hingga kata-kata tersebut mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain dan dapat menimbulkan kesan seolah-olah kata-kata yang saat itu membenarkan kata-kata yang lain, padahal semuanya itu sesungguhnya tidak sesuai dengan kebenaran.

Putusan Hoge Raad tanggal 8 Maret 1936, tanggal 28 Juli 1916 dan tanggal 11 Maret 1929 menyatakan bahwa dapat diakatakan terdapat suatu

“susunan kata-kata bohong” bilamana antara beberapa kebohongan itu terdapat hubungan yang satu dengan kebohongan yang lain itu keadaannya adalah sedemikian rupa. Dengan semikian, semua kata-kata bohong itu secara timbal balik memberikan kesan seolah-olah apa yang dikatakan itu sesuai dengan kebenaran, padahal keadaan yang sebenarnya adalah tidak demikian.

c. Maksud dari “membujuk” dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 adalah sama dengan “membujuk” atau oplichting dalam Pasal 378 KUHP yang menurut R. Soesilo adalah melakukan pengaruh dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang itu menurutnya berbuat

sesuatu yang apabila mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, ia tidak akan berbuat demikian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berusaha meyakinkan seseorang bahwa yang dikatakan benar.

6. Pasal 82 ayat (1) “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan palinglama 15 tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Ayat (2) dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh anak, atau tenaga kependidikan,maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tersebut maka selain adanya unsur “setiap orang” dan unsur

“anak” seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, juga akan dapat diketahui pula adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Unsur subjektif: sengaja.

Mengenai unsur subjektif ini lihat penjelasan terhadap Pasal 77 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.

b. Unsur objektif:

1) Kekerasan;

Menurut Kamus Besar Bahasan Indonesia yang dimaksud dengan

“kekerasan” adalah setiap penggunaan tenaga yang kuat yang dapat membahayakan nyawa.

2) Ancaman kekerasan;

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, yaitu maksud dari ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.

3) Memaksa;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan

“memaksa” adalah memperlakukan, menyuruh, meminta dengan paksa.

4) Tipu muslihat;

Putusan Hoge Raad tanggal 30 Januari 1911, tanggal 1 Spetember 1931 dan tanggal 24 Juli 1936 menyatakan bahwa tipu daya itu adalah tindakan yang sifatnya menipu, yang dapat dipakai sebagai sarana untuk membuka jalan bagi kesan-kesan dan gambaran-gambaran yang sesungguhnya tidak benar.

5) Serangkaian kebohongan;

Putusan Hoge Raad tanggal 8 Maret 1936, tanggal 28 Juli 1916 dan tanggal 11 Maret 1929 menyatakan bahwa dapat diakatakan terdapat suatu

“susunan kata-kata bohong” bilamana antara beberapa kebohongan itu terdapat hubungan yang satu dengan kebohongan yang lain itu keadaannya adalah sedemikian rupa. Dengan semikian, semua kata-kata bohong itu secara timbal balik memberikan kesan seolah-olah apa yang dikatakan itu sesuai dengan kebenaran, padahal keadaan yang sebenarnya adalah tidak demikian.

6) Membujuk;

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berusaha meyakinkan seseorang bahwa yang dikatakan benar.

7) Perbuatan cabul.

Mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan cabul dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, menurut penulis sama maksudnya dengan

“tindakan-tindakan yang melanggar kesusilaan” atau ontuchtige handelingen dalam Pasal 289 KUHP. Dalam hal ini menurut Simons adalah tindakan-tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dalam bidang seksual dan dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan pandangan umum tentang kesusilaan. Dengan kata lain, ontuchtige handelingen merupakan kata-kata yang mempunyai pengertian yang sifatnya umum, hingga termasuk pula dalam pengertiannya, yakni perbuatan-perbuatan melakukan “hubungan kelamin” seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285-287 KUHP.40

“tindakan-tindakan yang melanggar kesusilaan” atau ontuchtige handelingen dalam Pasal 289 KUHP. Dalam hal ini menurut Simons adalah tindakan-tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dalam bidang seksual dan dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan pandangan umum tentang kesusilaan. Dengan kata lain, ontuchtige handelingen merupakan kata-kata yang mempunyai pengertian yang sifatnya umum, hingga termasuk pula dalam pengertiannya, yakni perbuatan-perbuatan melakukan “hubungan kelamin” seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285-287 KUHP.40