• Tidak ada hasil yang ditemukan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN KEPADA ANAK PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN KEPADA ANAK

PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA

D. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh manusia. Dalam keluarga, manusia belajar untuk mulai berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itulah, umumnya orang banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan keluarga. Sekalipun keluarga merupakan lembaga sosial yang ideal guna menumbuh kembangkan potensi yang ada pada setiap individu, dalam kenyataannya keluarga sering sekali menjadi wadah bagi munculnya berbagai kasus penyimpangan atau aktivitas ilegal lain sehingga menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan, yang dilakukan oleh anggota keluarga lainyya, seperti penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan. Situasi inilah yang lazim disebut dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena penyalahgunaan kekuatan oleh yang kuat terhadap yang lemah. Orang tua yang memiliki kekuatan fisik ataupun non-fisik (karena status yang tinggi dalam struktur keluarga) atau merasa dirinya superioritas, sehingga bisa berbuat apa saja, termasuk melakukan kekerasan terhadap anak. Anak dalam posisi yang lemah dan dilemahkan tak berdaya menghadapi perlakuan tersebut.

Jika dicermati bahwa dalam berbagai kasus, permasalahan tersebut justru dilakukan oleh pihak-pihak yang seyogyanya berperan mengasuh dan melindungi anak, terutama orang tua dan keluarga. Undang-undang yang mengatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah Undang-Undang Nomor 23

tahun 2004. Undang-Undang ini sebagai upaya mencegah, mengulangi, dan mengurangi tindak kekerasan ataupun kejahatan yang marak di lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan membentuk rumah tangga/keluarga adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Apabila rumah tangga bahagia, maka lingkungan masyarakat dan bangsa tentu bahagia serta negara menjadi aman damai. Oleh karena itu, pemahaman dan pelaksanaan Undang-Undang dimaksud merupakan suatu keharusan.

Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 terdapat asas yang dipatuhi, (Pasal 3) :

a. Penghormatan hak asasi manusia, b. Keadilan dan kesetaraan gender, c. Nondiskriminasi,

d. Perlindungan korban.

Kepada masyarakat, undang-undang tersebut menegaskan kewajiban dari masyarakat (Pasal 15), setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

1. Mencegah terjadinya tindak pidana;

2. Memberikan perlindungan kepada korban;

3. Memeberkan pertolongan darurat;

4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”27 Selain dalam bentuk kekerasan psikologis/emosional, kekerasan yang dialami anak juga bisa berupa fisik dan seksual. Menurut The National

27 Bambang Waluyo, op.cit, hlm. 89.

Association of Social Workers, kekerasan dalam keluarga merupakan siksaan emosional, fisik dan atau seksual yang dilakukan secara sadar, sengaja, atau kasar dan diarahkan kepada anggota keluarga atau rumah tangga. Dalam lingkup yang lebih luas, juga meliputi kekerasan dalam bentuk penelantaran. Sebagaimana dijelaskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.28

Dengan mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud:

1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Meliputi pemukulan dengan benda tumpul maupun benda keras, menendang, menampar, menjewer, menyundut dengan api rokok, dan menempelkan setrika pada tubuh, dan membenturkan kepala anak pada tembok.

2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya asa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Misalnya dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut didengar oleh anak.

3. Kekerasan seksual, meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya

dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual juga bisa meliputi eksploitasi seksual komersial termasuk penjualan anak untuk tujuan prostitusi dan pornografi, yang dilakukan orang tua maupun anggota keluarga lainnya.

4. Penelantaran rumah tangga, yaitu setiap orang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Termasuk dalam pengertian penelantaran adalah setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut. Kekerasan dalam bentuk penelantaran pada umumnya dilakukan dengan cara membiarkan anak dalam situasi gizi buruk, kurang gizi (malnutrisi), tidak mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau pengamen, memaksa anak menjadi anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pemulung dan jenis pekerjaan lainnya yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak. Termasuk didalamnya penelantaran anak adalah:

a. Penelantaran untuk mendapatkan perawatan kesehatan, misalnya mengingkari adanya penyakit serius pada anak.

b. Penelantaran untuk mendapatkan keamanan, misalnya cedera yang disebabkan kurangnya pengawasan dan situasi rumah yang membahayakan.

c. Penelantaran emosi, yaitu tidak memberikan perhatian kepada anak, menolak kehadiran anak.

d. Penelantaran pendidikan, anak tidak mendapatkan pendidikan sesuai dengan usianya, tidak membawa anak ke sarana pendidikan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga, sehingga terpaksa putus sekolah.

e. Penelantaran fisik, yaitu jika anak tidak terpenuhi kebutuhan makan, pakaian atau tempat tinggal yang layak untuk mendapatkan sarana tumbuh kembang yang optimal.29

Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak terlantar didefinisikan sebagai anak yang karena suatu sebab orang taunya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.

Didalam Undang-Undang ini dikemukakan jenis-jenis anak-anak lainnya yang pada hakekatnya merupakan anak terlantar, yaitu:

1. Anak yang tidak mampu, yaitu anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan, baik secara rohani, jasmani maupun sosial;

2. Anak yang mengalami masalah kelakuan, yaitu anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat;\

3. Anak cacat, yaitu anak yang megalami hambatan rohani dan/atau jasmani sehingga menggangu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga terdapat ketentuan pidana yang dimuat dalam Bab VIII yaitu Pasal 44 sampai dengan Pasal 53, menurut penulis yang termasuk kekerasan terhadap anak dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 sebagai berikut.

Berikut ini diuraikan rumusan unsur pasal-pasal yang memuat ancaman pidana dalam undang-undang ini:

Pasal 44 ayat (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Setiap orang;

b. Melakukan perbuatan kekerasan fisik;

c. Dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a;

d. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

(Catatan: Pasal 5 setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: huruf a.

kekerasan fisik. Dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya

kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Adapun penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga).

Pasal 44 ayat (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);

b. Mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat;

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

Pasal 44 ayat (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2);

b. Mengakibatkan matinya korban;

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

Pasal 45 ayat (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Setiap orang;

b. Melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b;

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

(Catatan: Pasal 5 setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: huruf b.

Kekerasan psikis).

Pasal 46 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12

(dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Setiap orang;

b. Melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a;

c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

(Catatan: Pasal 8 kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Dimaksud dengan kekerasan seksual dalam ketentuan ini adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu).

Pasal 47 “Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Setiap orang;

b. Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya;

c. Melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b;

d. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(Catatan: Pasal 8 kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu).

Pasal 48 “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Dalam hal perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47;

b. Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi;

c. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 49 “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:

a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).”

Jika diteliti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tersebut, maka dapat diketahui adanya unsur-unsur sebagai berikut.

a. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah),

b. Setiap orang yang:

1) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);

2) Menelantarakan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

(Catatan: Pasal 9 ayat (1) setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Ayat (2) penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau diluar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut).30

E. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas