• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA: PROBLEM DAN TANTANGANNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGATURAN POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA: PROBLEM DAN TANTANGANNYA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGATURAN POLITIK IDENTITAS DI INDONESIA:

PROBLEM DAN TANTANGANNYA

Fadila Nur Annisa1 Iwan Satriawan 2

1 Ilmu hukum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia,55183

2 Ilmu hukum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia,55183 Email: Fadila.nur.law19@mail.umy.ac.id1 ; iwansatriawan@umy.ac.id 2

ABSTRAK

Politik identitas merupakan politik yang digunakan dengan penegasan pembedaan antara kelompok satu dengan kelompok lain. Indonesia negara dengan komposisi masyarakat yang majemuk. Oleh karena itu, politik identitas mudah bermunculan dan semakin terbuka berbarengan dengan munculnya semangat desentralisasi.

Penelitian bertujuan untuk menganalisis UU Pemilu terkait pengaturan politik identitas serta urgensi revisi UU pemilu terkait pengaturan politik identitas yang lebih baik dimasa mendatang. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yuridis normatif dengan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu BAB 1 Pasal 1 No. 35 mengenai kampanye yang merupakan kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, serta citra diri peserta Pemilu. Pada kenyataannya para elit politik saat ini lebih memilih menggunakan politik identitas daripada melakukan kampanye sesuai dengan peraturannya. Urgensi revisi UU Pemilu pengaturan politik identitas adalah karena budaya hukum yang buruk, politik identitas menjadi deskruktif sehingga menyebabkan fanatisme, primodialisme, bahkan bisa berujung SARA.

SARA merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat 2 mengenai toleransi. SARA bahkan dapat mempersulit terwujudnya semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”. Oleh karena itu, perlu pengaturan mengenai politik identitas yang lebih baik komprehensif sehingga tidak menimbulkan efek destruktif yang dapat menyebabkan perpecahan bangsa indonesia.

Dalam UU No. 7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat 1 point B sebenarnya telah menegaskan bahwa dilarang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, peraturan tersebut belum dapat mencegah terjadinya politik identitas deskruktif karena faktor lainnya seperti aspek penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat.

Kata kunci: politik identitas, masyarakat majemuk, pemilu PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat majemuk adat kebiasaan yang berbeda-beda. Masyarakat majemuk terdapat pula di Jakarta yang merupakan kota metropolitan, dimana penduduk jakarta berasal dari asal dan latar belakang kebiasaan dan kepercayaan berbeda- beda. Hal ini sesuai dengan pendapat Soemantri pada tahun 1990 yang menjelaskan bahwa kebanyak-an warga Jakarta berasal dari etnis Jawa, Sunda, Betawi, Minang, Tionghoa, Tapanuli, Bugis, Bali, Menado, Aceh, dan sebagainya. Fakta tersebut didukung oleh kajian ilmuwan

sosial Australia yaitu Lance Castles pada tahun 1960-an.

Bentuk nyata kehadiran suku bangsa di Jakarta ditandai dengan nama-nama kampung asal pendatang seperti kampung Melayu, kampung Makassar, kampung Bali dan yang lainnya. Menurut Arif Fahrudin yang merupakan sekretaris LP Maa’arif dan pemimpin pondok pesantren al Wathoniyah menjelaskan bahwa perilaku agama di Jakarta sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan situasi yang ada baik politik ataupun ekonomi. Semakin kondusif ekonomi dan politik pada suatu wilayah masyarakat majemuk maka akan tipis unsur-unsur politik agama, namun apabila semakin tinggi tensi ekonomi dan politiknya maka agama akan rentan digunakan legistimasi.

(Ihsan, 2020)

Politik identitas ditengah masyarakat majemuk seperti Idonesia yang jumlah penduduknya ketiga terbesar didunia yang terbelah oleh ribuan pulau. Politik identitas yang menonjol di Indonesia setelah era reformasi adalah politik identitas mayoritas. Di Indonesia politik identitas mayoritas didominasi oleh agama islam yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat. Menurut Joseph Klen politik identitas merupakan kecenderungan orang-orang dari ras, agama, jenis kelamin, atau etnis tanpa memperhatikan kelompok kolektif yang lebih besar. Politik identitas sering hanya ditunjukan pada partai politik yang membawa nama agama. Gerakan masa 212 yang dianggap berhasil memenangkan Anies Baswedan dalam pemilihan Gubernur DKI 2017, ulama yang mendukung Prabowo- Sandiaga Uno dalam Pilpres 2019. Padahal menurut Wassem Hammed ruang lingkup politik identitas sangat luas tidak terbatas hanya oleh hal tersebut. (Bakry, 2020) Politik identitas merupakan salah satu politik yang menonjolkan perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya untuk mendapatkan suara dari kelompok terbanyak. Politik identitas akhir-akhir ini sering hadir menjelang pemilu. Politik identitas sering dijadikan suatu strategi untuk mendapatkan bagian kekuasaan dengan cara menjatuhkan pihak lawan melalui politik identitas. Di wilayah Jakarta banyak wajah keagamaan yang sekuler, fanatik, liberal dan moderat kondisi tersebut dapat menujukan identitas ketika terdapat faktor yang mempertajamnya baik dalam politik ataupun ekonomi.

Secara sosiologis konflik antar kelompok akan menimbulkan menguatnya identitas seseorang, bahkan faktor politik sering menjadi penggerak penampakan identitas tersebut. (Ihsan, 2020) Indonesia meruakan negara yang luas terdiri dari 17.000 pulau, etnis, sub- kultur, serta terdapat ratusan bahasa local, kaya akan budaya. Bahkan di Papua 252 suku dengan bahasa khas yang berbeda-beda, yang dipenuhi dengan perbedaan adat istiadat, dan kebiasaan. (Abdullah, 2017) Hal tersebut menegaskan kembali bahwa negara Indonesia adalah negara yang dihuni oleh masyarakat majemuk yang

(2)

memiliki keberagaman yang dapat berdampak terhadap persatuan bangsa, apabila terdapat politik identitas.

Politik identitas merupakan suatu proses penyatuan dari berbagai identitas dalam self concept dan self image.

Selain hal tersebut politik identitas dibangun untuk gambaran streotype lingkungan. Politik identitas memiliki dua hal penting, yaitu:

1. Pertama, terdapatnya reformasi dan demokrasi menghasilkan nilai pluralisme terhadap kaum minoritas yang termaginalkan sehingga mereka mendapatkan perilaku yang sama.

2. Kedua, pengakuan dari berbagai identitas tidak dianggap sebagai alat national building , akan tetapi hal tersebut dapat merusak identitas nasional. (Kiftiyah, 2019)

Pada awalnya hal ini tampak menjadi sesuatu yang lumrah, namun pada kenyataannya politik identitas deskruktif di tengah negara yang dihuni oleh masyarakat majemuk seperti Indonesia dapat menjadi masalah yang mengancam kekuatan dan keamanan negara. Hal tersebut akan mendorong perpecahan dan sulit dalam menerapkan semboyan Indonesia Bhineka Tunggal Ika. Padahal sesudah merdeka bangsa Indonesia telah sepakat untuk menjungjung tinggi nilai identitas nasional yang bersumber pada nilai kesatuan dan persatuan dalam kebhinekaan yang memiliki arti bahwa identitas antar suku, ras, agama, serta antar golongan dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa untuk mewujudkan nasionalisme Indonesia. (Alfaqi, 2015) Namun pada kenyataannya pada saat ini kelompok-kelompok terjebak pada identitas kelompok masing-masing yang melahirkan primodialisme, fanatisme kedaerahan, kesukuan serta agama. Menurut Agnes Heller politik identitas merupakan politik yang memfokuskan pada perbedaan sebagai kategori utamanya, seolah-olah memberikan kebebasan yang dilandasi janji dan toleransi yang pada kenyataannya menimbulkan pola- pola intoleransi yang menyebabkan pertegangan etnis dan kekerasan. (Kiftiyah, 2019) Pola-pola intoleransi yang pada akhirnya akan bermuara terhadap pelanggaran UUD 1945 Pasal 29 ayat 2. Politik identitas yang merusak dapat menyebabkan SARA. Politik identitas memiliki dampak yang sangat luas, dampak tersebut dapat dirasakan baik sebelum ataupun sesudah pemilu dilakukan. Bahkan politik indentitas berpengaruh meluas, menciptakan sekat- sekat yang menonjolkan perbedaan. Namun, dalam UU NO. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, politik identitas belum diatur. Politik identitas yang diterapkan di Indonesia semakin hari semakin kuat bahkan menyebabkan perpecahan. Politik identitas semakin terang-terangan dipraktekan hingga saat ini. Bahkan pada Pemilu 2019 tidak tanggung-tangung dengan penyebaran hoaks yang merajalela yang tidak jarang menyebakan masyarakat saling melakukan ujaran kebencian. Hal ini jelas menjadi urgensi untuk pengaturan politik identitas. Sehingga, dapat meminimalisir dampak negatif politik identitas yang dapat mengancam kesatuan dan keamanan negara Indonesia.

Terdapat pola operasional politik identitas yang dapat dilihat dari realitas di masyarakat Indonesia karena saat ini banyak terjadi benturan dengan berbagai kepentingan dan fenomena ego sektoral masyarakat. Pola tersebut dibagi dalam tiga bagian, yaitu:

1. Politik identititas beroperasional memainkan peranan secara optimal melalui pemerintahan yang sejalan dengan pola sentralisasi menjadi desentralisasi hal ini dapat menimbulkan keresahan apabila identitas politik kedaerahan ditarik ke panggung politik.

2. Politik identitas agama yang menjadi lahan operasional politik.

3. Politik identitas dalam wilayah hukum, setiap wilayah negara atau agama memiliki aturan sendiri-sendiri. (Kiftiyah, Upaya Rekonsiliasi Politik Identitas Pasca Pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia, 2019)

Politik identitas menyebabkan konflik karena menarik bagian primodial yang merupakan salah satu yang dibawa sejak lahir dengan membangga-banggakan berlebihan yang dibawa sejak lahir, dibawa ke ruang publik yang menempatkan suatu tokoh sebagai pemegang tafsir terhadap primodialisme. Politik identitas tumbuh subur di Indonesia dibarengi dengan kebebasan untuk mengekpresikan pendapat. Hal tersebut diakibatkan karena negara demokratis yang dari penyakit terbukanya kebebasan akan senantiasa muncul, sehingga diperlukan suatu tatanan etika dan moralitas demokrasi.

(Ardipandanto, 2020) Indonesia merupakan negara demokrasi yang memperjuangkan HAM, kebebasan, pluralisme, serta kesetaraan yang menempatkan mayoritas dan minoritas di atas panggung yang sama sejajar.

Demokrasi tidak akan dapat berjalan hanya dengan mengandalkan itikad baik, maka sekurang- kurangnya membutuhkan:

I. Hukum yang jeli dalam menutup setiap celah peluang yang memungkinkan munculnya sikap serta kondisi yang berpotensi meniadakan keberagaman.

II. Kehadiran media masa yang berdiri sendiri sebagai tempat the general will berproses. Media massa dapat menjadi acuan dalam landasan nilai bersama, maka hukum dan media massa sekaligus mengemban tugas untuk menanamkan budaya politik demokrasi dimasyarakat. (Maghfiroh, 2019)

Etnik dan agama memiliki ruang tersendiri di Indonesia, hal ini dijadikan ladang oleh para politik untuk berkampanye dan menggalakan suara untuk mendapatkan kursi kekuasaan. Selain, hal tersebut dapat mengelabui pilihan pemilih karena mengutamakan primodialismenya, dari pada seorang pemimpin yang memiliki visi dan misi yang berkualitas untuk dapat memajukan Indonesia.

Politik identitas dikreasi sedemikian rupa oleh para elit politik supaya yang pada awalnya tersingkir dari pusat- pusat kekuasaan bisa masuk dan menikmati kekuasaan.

Cara kerja politik identitas di beberapa wilayah bervariasi, seperti:

1. Pertama, politik identitas yang dijadikan basis perjuangan elit lokal dalam rangka pemekaran wilayah yang terjadi di wilayah Provinsi Kalimantan Barat dan Irian Jaya.

2. Kedua, politik identitas dilakukan tranformasi kedalam entitas politik dengan harapan untuk

(3)

dapat menguasai pemerintahan daerah hingga penggantian pimpinan puncak.

3. Ketiga, politik etnisitas dipergunakan untuk dapat mempersoalkan antara “kami dan mereka” “Saya dan kamu” hingga terbentuknya polarisasi seperti ekstrim “jawa” dan “luar jawa” “islam “ dan

“kristen”

Politik identitas dibangun untuk dapat menjatuhkan lawan politiknya dengan memobilisasi sehinga mendapatkan simpatik masyarakat. Politik identitas yang sudah terlanjut diterapkan sangat sulit dikendalikan ataupun dikembalikan kekeadaan semula. (Muhtar, 2012)

Politik identitas lebih berbahaya dibandingkan dengan politik uang dampak serta masa dampak politik identitas lebih luas dan lama. (Hidayat, 2020) Politik uang dilarang secara terang-terangan melaui UU NO. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Namun, dalam UU tersebut belum ada yang mengatur politik identitas secara jelas. Hanya dalam UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu pada Pasal 280 ayat 1 point b menegaskan larangan terhadap kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini menjadi salah satu penyebab diwajarkannya politik identitas walaupun dampaknya jelas dapat mengancam kesatuan negara dan melanggar beberapa peraturan yang terkait. Tantangan Bangsa Indonesia saat ini terjadi primodialisme serta fanatisme yang ditarik politik identitas untuk dapat mendapatkan kursi kekuasaan, bahkan dapat menimbulkan SARA yang turut serta dijadikan alat untuk melakukan kampanye pemilu.

Rumusan Masalah:

1. Bagaimanakah pengaturan politik identitas dalam UU Pemilu?

2. Apakah urgensi revisi UU Pemilu terkait pengaturan politik identitas yang lebih baik dimasa mendatang?

KAJIAN LITERATUR Politik Indentitas

Politik berkaitan dengan penggunaan kekuasaan. Para ahli sosiologi, filsafat, dan psikolog membedakan antara identitas individu dan kelompok. Identitas individu merupakan konsep yang dikembangkan dirinya yang berkembang selama orang itu hidup. Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi identitas pribadi yaitu, ras, kebangsaan, tempat tinggal sesorang, jenis kelamin, dan seksualitas seseorang. Menurut Eric Olson identitas pribadi mengacu terhadap properti tertentu dimana sesorang merasakan keterikatan atau kepemilikan khusus.

Sedangkan, identitas kelompok merupakan rasa kesamaan atau kebersamaan yang dimiliki oleh suatu kelompok.

Menurut Justin lessard identitas kelompok merupakan sekelompok entitas yang berbagi atau termotivasi oleh suatu masalah atau kepentingan bersama untuk mencapai tujuan bersama. Sejarah politik identitas berawal pada abad ke-18 terdapat gerakan Englightenment yang memperjuangkan nilai–nilai dan moral universal yang berasal dari Prancis abad ke-18 seperti kebebasan, persaudaraan, kesetaraan, pemisahan geraja dengan

negara, sains, individualisme, pasar bebas, demokrasi, dan sebagainya. Terdapat perlawanan terhadap nilai- nilai universalistik serta solidaritas manusia pada abad ke-19.

Filsup Prancis yaitu Joseph de Maintre mengutuk cita-cita yang berkaitan dengan hak- hak manusia sebagai omong kosong dan abstrak, tidak ada namanya manusia yang ada adalah orang Prancis, orang Italia, dan orang Rusia. Politik identitas di Indonesia pada masa orde baru seolah dijadikan barang haram. Presiden Soeharto melakukan penyeragaman disegala bidang. Kebijakan Orde Baru tersebu menjadi bom waktu setelah rezim tersebut runtuh, ledakan tersebut memunculkan kembalinya primodial terutama dalam hal agama dan etnis.(Bakry, 2020)

Politik identitas merupakan Politik yang menonjolkan perbedaan kelompok. Menurut Kemala Chanrakirana (1989) menjelaskan bahwa Politik identitas digunakan oleh para pemimpin sebagai retorika politik dengan sebutan kami bagi “orang asli” yang menghendaki kekuasaan dan mereka bagi “orang pedatang” yang harus melepaskan kekuasaan. (Muhtar, 2012) Politik identitas mempelihatkan perbedaan yang membuatnya menjadi lebih nyata dan jelas perbedaan disetiap kelompoknya.

Terdapat teori umum dalam politik identitas, yang terbagi dalam dua faktor pokok yang membuat etnis dan agama menjadi menarik dan muncul dipakai dan berpengaruh dalam proses politik. (Nasrudin, 2018) Hal tersebut menjadi salah satu primodialisme yang menarik untuk dibawa kedalam publik. Politik Identitas adalah suatu tindakan politis dalam upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan penguasa terhadap nilai-nilai yang berharga serta tuntutan yang mendasar yaitu penentuan nasib sendiri yang didasarkan keprimodialan.

(Nasrudin, 2018) Politik identitas pada saat ini memiliki wajah yang sama buruknya dengan kata politik itu sendiri, terkhususnya di Indonesia. (Santoso, 2019)

Identitas politik dengan politik identitas memiliki perbedaan yang sangat tajam, identitas politik merupakan suatu kontruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek dalam ikatan suatu komunitas politik, sedangkan politik identitas mengacu terhadap mekanisme politik pengorganisasian identitas baik identitas dalam politik ataupun sosial yang dijadikan sebagai sumber serta sarana politik. (Muhtar, 2012) Politik identitas merupakan cara politis mengutamakan kepentingan suatu kelompok karena memiliki persamaan identitas dalam agama, ideologi, ras etnis ataupun gender. Pada dasarnya politik identitas merupakan cara berpolitik dengan mempersatukan kelompok karena terdapat persamaan ketidak adilan dan ketidak puasan yang didasarkan oleh persamaan golongan, seperti suku, ras, gender, ataupun agama. (Kiftiyah, Upaya Rekonsiliasi Politik Identitas Pasca Pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia, 2019)

Politik identitas dalam arti luas merupakan kepentingan dari situasi yang terpinggirkan yang secara spesifik mencakup konstitusi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. (Nasrudin, 2018) Politik identitas memperjelas perbedaan dari setiap kelompok, bahkan akan condong terhadap mayoritas masyarakat yang berada disuatu wilayah tersebut baik dari segi etnis, agama ataupun hal lainnya yang memiliki kesamaan dengan calon pemilu. Dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu BAB 1 Pasal 1 No. 35 kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta

(4)

Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.

Namun, pada kenyataannya kampanye yang dilakukan oleh para kandidat bukannya mengunggulkan visi-misi setiap kandidat, tetapi malah menonjolkan perbedaan di masyarakat karena menerapkan politik identitas.

Masyarakat majemuk

Masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terdiri dari beberapa kelompok yang tinggal bersama yang mempunyai berbagai suku dengan bahasa lokal yang berbeda-beda disetiap pulaunya sehingga menimbulkan keberagaman. (Kiftiyah, Upaya Rekonsiliasi Politik Identitas Pasca Pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia, 2019) Masyarakat majemuk atau sering dikenal juga dengan multikulturisme sebuah filosfi klasik yang didasarkan terhadap universalisme serta kesetaraan individu. Dibawah liberasme klasik setiap orang harus diperlakukan sama, serta pemerintah harus tetap buta terhadap ke khasan etnis, agama, atau asal kebudayaan. Di pemerintahan Kanada mutikulturalisme merupakan dasar keyakinan bahwa semua negara sama dan memastikan setiap warganya bangga pada leluhurnya dan memiliki rasa saling memiliki. Dalam Teori Republikan atau Augie Fleras mendukung prinsip-prinsip tata kelola yang buta budaya. Konsep kebebasan dari dominasi yang dikenalkan oleh Philip Petit menjelaskan bahwa bebas dari dominasi merupakan persyaratan terwujudnya prinsip kesetaraan dan perlakuan yang sama didepan hukum.

Pemilu

Pemilu akronim dari pemilihan umum. Pemilu merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum bebas rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Hal tersebut dijelaskan dalam UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Pemilu memberikan kesempatan terhadap masyarakat untuk dapat berperan secara aktif yang menjadi bagian dari demokrasi.

Pemilu merupakan suatu mekanisme yang seharusnya dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil. Namun pelaksanaan Pemilu di Indonesia sering terlihat tidak sehat. Hal tersebut terbukti dalam cara-cara berkampanye para aktor politik. (Kiftiyah, Upaya Rekonsiliasi Politik Identitas Pasca Pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia, 2019)

Dari penelitian- penelitian terdahulu belum terdapat ketersinggungan mengenai politik identitas desktruktif terhadap UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Padahal politik identitas desktruktif sering hadir saat Pemilu. Maka dari itu penulis menjadikan penelitian sebelumnya sebagai sumber literatur yang dikaitkan dengan UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilu. Homo homini lupus yang artinya bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Maka dari itu untuk dapat mencegah politik identitas deskruktif yang dapat merugikan banyak orang diperlukan suatu peraturan hukum yang dapat mengatur masyarakat untuk dapat saling menjaga hak dan kewajiban.

METODE

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan penelitian yuridis normatif karena tidak melakukan penelitian lapangan. Dengan menggunakan pendekatan kasus. Ditinjau dari metodenya , penelitian ini termasuk deksriptif kualitatif. Bahan hukum sekunder yang digunakan yaitu jurnal dan peraturan yang terkait yaitu UUD 1945 dan UU NO. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian empiris ini penulis menggunaan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka (library Research). Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat catatan dari buku- buku, serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.

3. Teknik Analisis Data

Teknik analaisis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah analisis logis dan sistematis.

HASIL DAN DISKUSI

1) Pengaturan politik identitas dalam UU Pemilu Politik identitas berasal dari dua kata politik dan identitas.

Politik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Politea atau Polis yang memiliki arti negara atau kota.

Sedangkan Identitas secara etimologi berasal dari kata identity yang artinya suatu ciri yang melekat pada seorang atau kelompok seperti suku, ras, agama. (Alfaqi, 2015) Politik menurut Benard Crick sebagai arena yang didalamnya perebutan kekuasaan serta kompromi direkonsiliasikan. Bahkan menuru Clarke E. Cochran politik merupakan suatu arena yang didalamnya terdapat kepentingan individu atau kelompok masuk dalam beberapa cara untuk ditangani melaui proses tertentu yang menjadi hasil kebijakan atau keluaran. Kaum realistis meyakini bahwa didalam arena politik para aktornya saling mengejar kepentingan masing-masing. (Bakry, 2020) Politik Identitas saat ini menjadi semakin mencolok muncul dalam setip pemilu. Politik identitas yang pada awal mulanya muncul hanya dipusat, menjadi menyeluruh termasuk daerah di Indonesia berbarengan dengan adanya desentralisasi di Indonesia. Politik identitas di Indonesia yang bebas dan belum terdapat pengaturan yang dapat meminimalisir dampak politik identitas yang dapat merusak kesatuan dan persatuan bangsa. Jelas akan menjadi bom waktu untuk masyarakat Indonesia.

Masyarakat tanpa hukum menurut Thomas Hobbe digambarkan dengan kata “homo homini lupus” yang artinya bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya.

Hukum dirumuskan sebagai suatu tata aturan sosial, yang berlakunya didasarkan terhadap paksaan melalui mekanisme reward and punishment, bukan berdasarkan kesukarelaan. (Maghfiroh, 2019) Melalui punishment atau sanksi dapat memberikan efek jera terhadap pelaku, maka dari itu diperlukan pengaturan yang nyata untuk dapat mengatasi permasalahan politik identitas.

Politik identitas yang menonjolkan perbedaan tidak menutup kemungkinan terdapat primodialisme. Hal-hal tersebut saling berkaitan dan dapat dengan kuat memecah belah persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Politik

(5)

identitas yang deskruktif akan menyebabkan SARA serta minimnya toleransi bahkan intoleransi. Toleransi kembali lagi dipertanyakan karena tergadaikan untuk dapat menjatuhkan pihak lawan meskipun mengancam kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Permasalahan ditemukan terhadap upaya penegakan hukum terhadap kampanye yang menggunakan politik identitas yang mengandung unsur suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), pembuat UU terlihat abai terhadap fenomena politik identitas yang terjadi semenjak demokrasi liberal dilakukan di Indonesia. UU pemilu hanya menghimbau supaya politik identitas tidak digunakan, karena identitas otentik Indonesia adalah kebhinekaan. (Muhaimin &

Wahab, 2019) Padahal saat pemilu 2019 terdapat berita- berita hoaks untuk dapat menggiring isu-isu yang beredar dimasyarakat. Masyarakat seolah- olah dibuat buta oleh para calon terhadap identitas yang dibawa oleh setiap calon. Hal ini jelas mengancam kesatuan dan persatuan bangsa, bahkan tidak ragu-ragu saling melakukan perampasan HAM. Toleransipun sulit diterapkan karena dampak politik identitas yang hanya memperkuat kelompoknya, dengan tujuan menjatuhkan pihak lawan.

Bahkan condongnya politik identitas deskruktif dapat menimbulkan SARA. Pada saat pemilu 2019 berbeda pilihan, seolah- olah menjadi musuh bahkan tali persaudaraanpun renggang dengan adanya pemilu 2019.

Bahkan pada saat Pemilu 2019 antara pendukung Capres/

Cawapres dibuat kesan suatu pihak menjalankan nilai-nilai agama dan pihak lainnya tidak menjalankan nilai-nilai agama. (Ardipandanto, 2020) Dampaknya dengan jelas mengancam kesatuan dan pesatuan bangsa, bahkan dengan beberapa peristiwa besar yang menumbuhkan gejolak politik terdapat polarisasi ataupun pengotak- kotakan masyarakat yang satu dengan yang lainnya yang dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat. Seperti misalnya gerakan “2019 Ganti Presiden”, “Partai setan vs partai Allah”, People power tidak percaya terhadap lembaga- lembaga mapan seperti KPU dan MK yang menyebabkan polarisasi yang meluas dikalangan elite politik ataupun masyarakat. (Ardipandanto, 2020)

Padahal dalam UU No. 17 Tahun 2017 Tentang Pemilu BAB 1 ayat 35 kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Definisi kampanye ini seolah bukan prioritas dalam melakukan kampanye untuk menarik suara rakyat. Para calon Pemilu pada saat ini lebih condong melakukan kampanye dengan melakukan politik identitas dari pada membumikan visi dan misi setiap calon. Seharusnya para politisi berfokus terhadap politik narasi yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada dengan mengedepankan rasionalitas bukan emosionalitas. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa politik identitas yang selalu muncul saat pemilu diselenggarakan memiliki dampak negatif bagi bangsa indonesia. Bahkan dapat menyebabkan SARA , sehingga sulit dalam menerapkan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 mengenai toleransi serta dalam menerapkan semboyan Indonesia Bhineka Tunggal Ika. UU Pemilu tahun 2017 belum dapat mengatasi permasalahan politik identitas pada pemilu 2019. Hal tersebut terbukti dengan politik identitas yang telah terbukti melahirkan polarisasi yang tajam, exit poll indikator politik terhadap 2.975 responden yang baru mencoblos pada taggal 17 April 2019 memberikan gambaran bagaimana terbelahnya masyarakat Indonesia.

Kelompok muslim tradisional dan non- muslim cenderung memilih Joko Widodo- Ma’ruf Amin, sedangkan Prabowo subianti- Sandiaga Uno cenderung dipilih oleh muslim modernis. Jokowi Ma’ruf 97 persen dipilih oleh non muslim, mengalami penaikan sebesar 15 persen dibandingkan 2014. Pemilih yang dekat dengan NU memilih Jokowi- Ma’ruf serta sebesar 56 persen warga Nahdiyin mengaku memilih Jokowi- Ma’ruf, sehingga mengalami kenaikan 12 persen dibandingkan pemilu 2014.

Sedangkan, Prabowo – Sandiaga menang dikalangan warga Muhammadiyah, Persis, dan ormas- ormas modernis yang lainnya. Selain itu terdapat juga pandangan yang menunjukan aspek politik identitas pada Pilpres 2019 dikaitkan dengan daerah yang basis keislaman yang relatif dipandang kuat. Salah satunya terdapat di Provinsi Sumatera Barat yang perolehan suara Jokowi- Maruf (Paslon 1) kalah dari Prabowo- Sandiaga Uno (Paslon 2).

Politik identitas dan gencarnya sentimen negatif terhadap paslon Nomor 1 dan juga partai pengusungnya yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang dianggap tidak ramah dengan umat islam serta berjarak dengan umat islam. Hal sebaliknya didapat oleh capres 02 beserta partai pendukungnya yaitu Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat yang mendapat anggapan memperjuangkan aspirasi umat islam. Masyarakat Sumatera Barat dinilai memiliki irisan keislaman yang berbeda dengan pendukung Paslon 01. Paslon 01 dan PDI-P dianggap tidak bersahabat dengan umat islam hal tersebut terlihat dari kriminalisasi ulama, penangkapan aktivis islam. Meskipun di Paslon 01 terdapat tokoh-tokoh agama hal tersebut tidak dapat mencairkan politik identitas serta setimen negatif masyarakat Sumatera Barat terhadap Paslon 01. Hal tersebut merupakan akibat dari isu-isu berbasis keagamaan (Ardipandanto, 2020) Politik identitas terhadap ras, suku serta agama yang dilakukan dalam berkampanye menciptakan polarisasi terhadap ras, suku serta agama yang semakin besar. Bahkan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) mengeluarkan suatu indeks kerawanan Pemilu pada Tahun 2018 yang mengidentifikasikan terdapat daerah- daerah yang menimbulkan potensi kerawanan pada pilkada 2018 IKP ( Indeks Kerawanan Pemilu) melakukan pembobotan terhadap 3 dimensi yaitu partispasi, kontestasi, serta penyelenggaraan. Lima kerawanan tertinggi yaitu Papua (3,41), Maluku (3,25), Kalimantan Barat (3,04), Sumatera Utara (2,76), dan Sulawesi tenggara (2,81). Bahkan pada Pemilu Presiden 2019 Bawaslu memasukan dimensi kerawanan terhadap SARA yang merupakan salah satu aspek dalam Pilkada.

(Kiftiyah, Upaya Rekonsiliasi Politik Identitas Pasca Pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia, 2019)

Pada UU tersebut belum mengatur politik identitas yang memiliki kepastian hukum, ataupun peraturan yang mengatur dengan tegas. Hal ini cukup dikhawatirkan karena politik identitas yang tidak diatur dengan nyata, jelas dan tegas, sehingga belum dapat mencegah terjadinya politik identitas deskruktif. Penegak hukum yang tidak memberikan sanksi yang nyata serta kesadaran masyarakat yang kurang menyebabkan para calon dengan semena- mena melakukan polarisasi yang menyebabkan segregasi yang pada ujungnya menyebakan SARA. Pada akhirnya apabila politik identitas tidak diatur secara jelas dan nyata di UU pemilu yang akan datang dapat berdampak besar terhadap masyarakat Indonesia karena terpolarisasi yang memudahkan memecah belah NKRI. Dalam Pasal 280 UU

(6)

No.7 Tahun 2017 Tentang pemilu Bagian ke 4 mengenai larangan kampanye ayat 1 point B melarang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia. Namun, peraturan tersebut belum dapat membendung politik identitas deskruktif yang dilakukan oleh setiap calon, karena belum ada sanksi yang nyata sehingga dapat menimbulkan efek jera. Padahal tujuan penegakan hukum dalam penyelenggaraan Pemilu digagas untuk menjadi alat konsolidasi demokrasi, salah satunya untuk memperluas cakupan aspek pelanggaran dan penegakan hukum kepemiluan, serta memberikan kepastian hukum dan memberikan hak utuk pengawas pemilu dalam melakukan penindakan hukum kepemiluan.

(Muhaimin & Wahab, 2019) Pada kenyataannya UU No.7 Tahun 2017 belum dapat memberikan sanksi efek jera terhadap pelaku kampanye yang melakukan politik identitas destruktif yang menyebabkan SARA.

2) Urgensi revisi undang-undang Pemilu terkait Pengaturan Politik Identitas yang lebih baik di Masa Mendatang

UU No. 17 Tahun 2017 belum dapat memberikan efek jera terhadap pelaku politik identitas deskruktif. Hal tersebut terbukti dengan Pemilu tahun 2019 presiden terdapat kasus sengketa pemilu. Bahkan sengketa pemilu ini membuat dunia perpolitikkan semakin memanas, hal ini pun dirasakan oleh rakyat. Dimana berbedanya pilihan calon presiden memicu terjadinya disintegrasi dalam masyarakat, bukannya beradu argumen ide tapi yang terjadi adalah saling caci memaki, bahkan saling hujat menghujat. Calon presiden yang maju pada pemilu 2019, merupakan tokoh-tokoh politik yang memiliki pengaruh sehingga dapat menarik suara rakyat karena ke populerannya serta pencapaiannya. Kedua calon presiden merupakan tokoh politik yang cukup berpengaruh, bahkan dilakukan koalisi partai untuk dapat memenuhi peraturan serta suara yang diraih diharapkan akan lebih besar. Pada Pemilu pilpres 2014 telah terdapat politik identitas yang dikaitkan dengan agama, ideologi, serta etnis yang digunakan elit politik untuk menyerang lawan politiknya.

Pasca pemilu pilpres 2014, berlanjut pada Pilgub DKI 2017 yang disinyalir kembali berlanjut pada Pemilu 2019.

Di Indonesia yang merupakan negara yang masyarakatnya majemuk agama serta etnis merupakan politik identitas yang sangat kental terjadi, agama dan etnis merupakan alat yang sangat ampuh dalam menarik massa serta menimbulkan sentimen antara satu sama lain. Hal tersebut menyebakan agama dan etnik sering dibahas oleh aktor politik dalam melakukan kampanye, sehingga menyebabkan polarisasi. Polarisasi dapat menumbuhkan suatu rasa eksklusif terhadap kelompok- kelompok tertentu yang didasarkan pada etnis atau ideologi tertentu yang bertujuan untuk menegaskan perbedaan- perbedaan yang berujung terhadap SARA. Politik identitas bahkan menjadi cara yang efektif untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat secara bersifat emosional. (Kiftiyah, Upaya Rekonsiliasi Politik Identitas Pasca Pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia, 2019) Politik identitas berupaya untuk memunculkan negara yang mono indentitas atau satu identitas, padahal Indonesia merupakan negara yang di isi oleh masyarakat majemuk.

Hasil riset Lembaga Survey Naional (LSN) memperlihatkan bahwa indentitas agama yang berbeda cenderung membedakan perilaku pemilih dan Pemilu

2019 di Indonesia. Politik identitas semakin kuat menjelang Pemilu 2019, diimbangi dengan narasi ketertidasan kelompok islam. Kebangkitan politik identitas dilatar belakangi oleh pengalaman termaginalkan seperti terancam, tertekan, ataupun dirugikan. Selain agama menurut Ahmad syafii Maarif politik identitas berkaitan juga dengan etnisitas, ideologi, dan kepentingan- kepentingan lokal.(Bakry, 2020) Pemilu 2019 terdapat politik identitas yang dapat terlihat dari setiap kubu capres dan cawapres. Politik identitas telah diprediksi oleh Peter Mumford setelah Ma’ruf Amin diangkat menjadi cawapres Jokowi. (Ardipandanto, 2020) Ma’ruf Amin merupakan tokoh penting agama, beliau pernah menjabat menjadi ketua umum MUI dan pengurus besar NU. Sehingga terpilihnya Ma’ruf Amin menjadi cawapres, dapat diprediksi oleh ahli bahwa Pemilu 2019 akan kental dengan politik identitas. Hal ini juga dilakukan oleh Paslon 02 menggunkan politik identitas untuk memperlemah sosok lawan politiknya dengan isu agama seperti kurang islami. Politik identitas deskruktif merupakan indikasi budaya hukum dikalangan elit politik yang buruk.

Seharusnya elit politik terkhususnya calon- calon pemilu memiliki kedewasaan untuk tidak mengorban persatuan dan kesatuan bangsa hanya untuk meraup suara pemilih.

Dampak politik identitas ini yang akan berdampak terhadap ke stabilitasan negara dimana didalam masyarakat terjadi perpecahan antara pendukung paslon 01 dan paslon 02, hal ini berdampak besar terhadap masyarakat yang memiliki perbedaan memilih. Bahkan politik identitasa ini dapat membawa Indonesia menuju perpecahan, perpecahan ini pun dapat dilihat dari setiap pendukung capres dan cawapres yang saling menghujat.

Bahkan bukan hanya hujatan, tetapi memutus silaturahmi karena perbedaan pilihan capres. Politik identitas ini betujuan untuk mendulang popularitas, sehingga dapat dipilih oleh banyak masyarakat pada saat Pemilu 2019.

Namun, Identitas Politik memiliki dampak yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat Indonesia. Dampak yang berpengaruh salah satunya terjadi polarisasi antara pendukung capres 01 dan pendukung capres 02, hal ini jelas dapat memecah belah masyarakat karena terfokus pada perbedaan yang mempermudah terjadinya perpecahan. Mereka membuat suatu narasi yang dapat menggiring pendapat masyarakat, bahkan narasi itu dibuat dengan narasi-narasi identitas yang ditunjukan untuk lawan politiknya. Tokoh politik yang merupakan perwakilan partai politik kembali menjadi penentu berjalannya pemilu 2019, dimana setiap pilihannya akan menjadi referensi masyarakat dalam menentukan sesuatu.

Ketika politik identitas merajalela didalam pemilu 2019, tokoh politikpun mengambil andil besar dalam menentukan politik identitas. Politik indentitas yang terlalu jauh dapat menyebabkan perpecahan masyarakat.

Semboyan Bhineka Tunggal ika, turut dipertaruhkan.

Setiap tokoh politik sangat berpengaruh dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Bahkan dalam menarik suara terbanyak tokoh politik tidak ragu saling menggunakan politik identitas. Politik identitas ini bertujuan untuk dapat meraih suara masyarakat tetapi dapat menyebabkan perpecahan. Perpecahan dapat menjadi malapetaka untuk bangsa Indonesia, dimana persatuan dan kesatuan sulit didapatkan lagi. Sehingga apabila ini terjadi stabilitas negara akan terancam, bahkan penyelenggaraan pemilupun dapat terancam juga karena negara tidak stabil. Maka dari itu Politik Identitas yang terjadi pada pemilu 2019 harus

(7)

dapat menjadi pelajaran supaya tidak terjadi lagi, politik identitas yang deskruktif.

Bahkan pada sengketa pemilu masih sangat kental dengan politik identitas yang semakin memperlihatkan jurang yang berbeda antara pendukung capres dan cawapres 01 ataupun 02. Hal ini perlu diperhatikan karena dapat mengancam persatuan Indonesia. Masyarakat yang termakan narasi-narasi ataupun isu- isu hoaks akan merasa benar dengan pendapat masing-masing. Hal ini akan menyebabkan konflik sehingga ujaran kebencianpun saling terlontarkan. Masyarakat perlu diberikan edukasi mengenai politik, sehingga diharapkan mereka tidak akan dimanfaatkan oleh kebutuhan para politik. Dalam politik, teman politik, berteman ketika ada kepentingan, ketika tidak ada kepentingan teman politikpun berakhir. Jadi oleh karena itu perlunya edukasi masyarakat sehingga apabila tokoh politik kembali melakukan poltik identitas dengan menciptakan narasi yang dapat memecah belah bangsa, masyarakat dapat memfilter setiap informasi yang ada.

Tokoh politik tidak seharusnya melakukan politik identias yang deskruktif, karena hal itu dapat berdampak sangat fatal, dimana kesatuan dan persatuan bangsa turut dipertaruhkan. Tokoh politik pasca Pilpres pun melakukan pertemuan antara Capres 01 dan Capres 02 hal ini diharapkan dapat mengatasi ketegangan yang terjadi dimasyarakat.

Partai-partai sudah tidak lagi menjadi representasi dan wadah maupun alat untuk proses konsolidasi, dan komunikasi. Mendominasinya politik identitas dalam ruang publik yang sehari-hari sekarang terjadi dengan gelombang yang begitu besar di media sosial bukan hal yang patut dirayakan, karena sepertinya media sosial juga turut andil terjadinya segresi sosial secara horizontal yang semakin melebar. (Ardipandanto, 2020) Hal ini jelas berbahaya bagi persatuan dan kesatuan Negara Indonesia.

Politik identitas yang sudah sering terjadi di Indonesia terus berlangsung dari waktu ke waktu bahkan saat ini didukung oleh teknologi yang dapat diakses melalui media sosial. Menurut Prof. Henks Nordholt (2007) politik identitas merupakan bentukan dari Negara Orde Baru.

Pendapat tersebut sejalan dengan Rachmi Diyah larasati yang menyatakan bahwa negara sangat berperan dalam pembentukan politik identitas. Menurut Henk (2007) terdapat empat kebijakan yang dijalankan Orde Baru untuk dapat melemahkan politik identitas ditanah air, yaitu Pertama, tidak ada daerah yang asli, semua daerah terbuka sebagai daerah migrasi ataupun transmigrasi sehingga semua komunitas tercabut dari sosio-kultural dan politiknya; Kedua, Pemerintah Orba menghindari terbentuknya kelas sehingga persoalan SARA diatur dengan ketat, hanya pemerintah yang berhak menggunakan SARA dalam menjustifikasi kelompok mana yang bersalah dan dikucilkan relasi sosial- politiknya; Ketiga , modernisasi dilakukan untuk pengaruh etnis dan agama merosot; Keempat, negara mengatur supaya tidak ada tumpang tindih antara agama dan suku.

Namun, sesudah runtuhnya orba politik identitas muncul kembali yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa dalam bangunan relasi dari segi vertikal tetapi rentan, penuh resiko dan sangat berbahaya dalam relasi horizontal. Sentimen-sentimen primodialisme yang sejak semula akan mengguncak tatanan politik yang diduga kokoh bangunannya. (Muhtar, 2012)

Bahaya dari politik identitas yang berlebihan adalah bisa berujungnya pada primodialisme, fasisme, bahkan lebih buruk lagi yaitu separatisme dan masyarakat yang sudah ter-asimilasi berdasarkan identitas tertentu, dapat dengan mudah dimobilisasi oleh kelompok yang ingin mencapai agenda hal itu jelas dapat menyebabkan perpecahan yang dapat menyebabkan stabilitas negara terganggu. Apabila stabilitas Negara terganggu maka mobilitas negara dapat dengan mudah dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Maka dari itu seharusnya terdapat instrumen politik yang mengikat dan mengolah politik identitas melalui Partai politik yang meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui pengelolahan institusi yang seolah-olah dijadikan branding untuk lebih subtansif dalam hal kampanye, sehingga stigma negatif terhadap partai politik dapat diredam secara berkala. (Santoso, 2019) Selain hal tersebut dampak dari Politik identitas yaitu memunculkan berbagai kasus kekerasan ataupun diskriminatif yang dilatar bekangi oleh disintegrarasi atau perpecahan di masyarakat. Bahkan pemilihan didasarkan identitas, relasi, ras, etnis, primodial, kesamaan keyakinan agama (Prasetia, 2019)

Dampak Politik identitas terhadap masyarakat Indonesia dalam lingkup wilayah yang luas. Bahkan dampak dari politik identitas dalam jangka waktu panjang melebihi waktu saat penyelenggaraan pemilu, padahal politik identitas digunakan sebagai strategi dalam pemilu untuk dapat menjatuhkan pihak lawan tetapi dampaknya bisa melebihi waktu pemilu. Politik identitas yang kuat menonjolkan perbedaan akan menghancurkan kesatuan dan keamanan bangsa, hal tersebut dapat terbukti dengan sulitnya memenuhi UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 mengenai toleransi. Sebab Politik identitas yang sangat menonjol akan menyebabkan intoleransi, yang akibatnya akan mengancam persatuan dan kesatuan karena tidak saling menghargai Hak asasi Manusia setiap orang. Semboyan Indonesia merupakan Bhineka Tunggal Ika, bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Hal tersebut didukung oleh pendapat Mahfud MD yang mengatakan bahwa politik identitas di Indonesia menjadi suatu masalah yang mengancam bangsa, sebab politik identitas memunculkan gejala permusuhan yang saling menyerang dengan mempersoalkan agama. Bahkan menurut J Kristiadi peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIC) Politik identitas sangat berbahaya di Indonesia karena masyarakat Indonesia belum dewasa dalam memahami identitas tersebut sebagai bangsa sehingga dapat mengancam persatuan bangsa. Dengan adanya politik identitas masyarakat seolah-olah dibuat lupa dengan latar belakang yang menjadi kesatuan bangsa. Pada saat ini politik identitas dianggap strategi yang wajar untuk menarik suara rakyat, padahal dampak politik identitas deskruktif membahayakan persatuan masyarakat Indonesia. Maka, sangat diperlukannya revisi UU pemilu sehingga dapat mengatur politik identitas deskruktif secara nyata dan jelas, sehingga dapat meminimalisir politik identitas deskruktif dikedepannya.

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN

• Manusia merupakan serigala bagi sesamanya maka diperlukan peraturan yang dapat mencegah manusia melakukan perbuatan yang melanggar.

(8)

Politik identitas deskruktif yang hadir pada Pemilu 2019 memberikan dampak terhadap persatuan masyarakat Indonesia. Politik identitas yang memberikan dampak gejolak politik, terdapatnya polarisasi, yang menimbulkan SARA sehingga sulit dalam menerapkan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 mengenai toleransi serta dalam menerapkan semboyan Indonesia Bhineka Tunggal Ika. UU Pemilu tahun 2017 belum dapat mengatasi permasalahan politik identitas pada pemilu 2019, sehingga dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Saat Pemilu 2019 antara pendukung Capres/ Cawapres dibuat kesan suatu pihak menjalankan nilai-nilai agama serta pihak lainnya tidak menjalankan nilai-nilai agama. UU pemilu hanya menghimbau supaya politik identitas tidak digunakan, karena identitas otentik Indonesia adalah kebhinekaan.

Padahal dalam UU No. 17 Tahun 2017 Tentang Pemilu BAB 1 ayat 35 kampanye pemilu menegaskan bahwa kampanye dilakukan dengan mengenalkan visi dan misinya seta citra Pemilu.

Namun, para calon Pemilu pada saat ini lebih condong melakukan kampanye dengan melakukan politik identitas. Meskipun dalam Pasal 280 UU No.7 Tahun 2017 Tentang pemilu Bagian ke 4 mengenai larangan kampanye ayat 1 point B melarang melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada UU tersebut belum mengatur politik identitas yang memiliki kepastian hukum, ataupun peraturan yang mengatur dengan tegas. Hal ini cukup dikhawatirkan karena politik identitas yang tidak diatur dengan nyata, jelas dan tegas, sehingga belum dapat mencegah terjadinya politik identitas deskruktif yang dilakukan oleh setiap calon, karena belum ada sanksi nyata yang menimbulkan efek jera. Pada akhirnya apabila politik identitas tidak diatur secara jelas dan nyata di UU pemilu yang akan datang dapat berdampak besar terhadap masyarakat Indonesia karena terpolarisasi yang memudahkan memecah belah NKRI.

• Pada Pemilu pilpres 2014 telah terdapat politik identitas yang dikaitkan dengan agama, ideologi, serta etnis yang digunakan elit politik untuk menyerang lawan politiknya. Pasca pemilu pilpres 2014, berlanjut pada Pilgub DKI 2017 yang kembali berlanjut pada Pemilu 2019. Di Indonesia yang merupakan negara yang masyarakatnya majemuk agama dan etnis merupakan alat yang sangat ampuh dalam menarik massa serta menimbulkan sentimen antara satu sama lain, sehingga menyebabkan polarisasi. Polarisasi dapat menumbuhkan suatu rasa eksklusif terhadap kelompok- kelompok tertentu yang didasarkan pada etnis atau ideologi tertentu yang bertujuan untuk menegaskan perbedaan- perbedaan yang berujung terhadap SARA. Politik identitas deskruktif merupakan indikasi budaya hukum dikalangan elit politik yang buruk. Dampak politik identitas ini yang akan berdampak terhadap ke stabilitasan negara

dimana didalam masyarakat terjadi perpecahan antara pendukung paslon 01 dan paslon 02.

Bahaya dari politik identitas yang berlebihan adalah bisa berujungnya pada primodialisme, fasisme, bahkan lebih buruk lagi yaitu separatisme dan masyarakat yang sudah ter- asimilasi berdasarkan identitas tertentu, dapat dengan mudah dimobilisasi oleh kelompok yang ingin mencapai agenda hal itu jelas dapat menyebabkan perpecahan yang dapat menyebabkan stabilitas negara terganggu.

Dampak Politik identitas terhadap masyarakat Indonesia dalam lingkup wilayah yang luas.

Bahkan dampak dari politik identitas dalam jangka waktu panjang melebihi waktu saat penyelenggaraan pemilu. Politik identitas yang kuat menonjolkan perbedaan akan menghancurkan kesatuan dan keamanan bangsa, hal tersebut dapat terbukti dengan sulitnya memenuhi UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 mengenai toleransi. Sebab Politik identitas yang sangat menonjol akan menyebabkan intoleransi, yang akibatnya akan mengancam persatuan dan kesatuan karena tidak saling menghargai Hak asasi Manusia setiap orang. Semboyan Indonesia merupakan Bhineka Tunggal Ika, hal tersebut mempertegas harus terdapat kesatuan di dalam masyarakat. Dengan adanya politik identitas masyarakat seolah-olah dibuat lupa dengan latar belakang yang menjadi kesatuan bangsa. Pada saat ini politik identitas dianggap strategi yang wajar untuk menarik suara rakyat, padahal dampak politik identitas membahayakan persatuan masyarakat Indonesia. Maka, sangat diperlukannya revisi UU pemilu sehingga dapat mengatur politik identitas deskruktif secara nyata dan jelas, sehingga dapat meminimalisir politik identitas dikedepannya.

SARAN

Harus membuat suartu revisi peraturan UU pemilu yang memberikan kemanfaatan, kepastian, serta keadilan yang dapat melindungi masyarakat khususnya dari dampak politik identitas deskruktif. Maka dari itu sebagai pembuat UU yaitu DPR perlu membuat UU untuk dapat mengatasi politik identitas destruktif yang selalu muncul saat Pemilu khususnya pemilu 2019. Dengan pengaturan politik identitas dapat membentuk lingkungan masyarakat yang toleransi, sehingga dapat memenuhi Pasal 29 ayat 2 mengenai toleransi yang mengatur mengenai kebebasan beribadah sesuai dengan agamanya. Serta Bhineka tunggal ika dapat terawat dengan baik. Dengan menciptakan kesadaran penegakan hukum melalui pengaturan kewajibannya untuk anti terhadap diskriminasi diharapkan dapat menjadi budaya hukum dikalangan elit politik dan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri politik identitas yang hadir saat ini belum dapat mengakomodasikan kepentingan kelompok secara adil, maka diperlukan suatu keputusan yang bijak sehingga kepentingan kelompok dilakukan secara adil. Serta masyarakat diberikan edukasi mengenai politik identitas, sehingga masyarakat tidak

(9)

menjadi obyek yang diperalat oleh elit politik hanya untuk mendapatkan kekuasaan.

REFERENSI Buku

Bakry, Umar Suryadi. 2020. Multikulturalisme & Politik Identitas dalam Teori dan Praktik. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Ihsan, A Bakir. 2020. Agama Negara & Masyarakat tokoh agama di tengah politik identitas warga kota. Jakarta: Haja Mandiri.

Jurnal

Abdullah Assyari. (2017). Membaca Komunikasi Politik Gerakan Aksi Bela Islam 212 antara politik identitas dan ijtihad politik alternative. Jurnal Pemikiran islam, 41(2), 202-212.

Alfaqi, Mifdal Zusron. (2018). Memahami Indonesia Melalui Presfektif Nasionalisme, Politik identitas, serta solidaritas. Jurnal Pendidikan pancasila dan Kewarganegaraan, (2), 111-116.

Ardipandanto, Aryojati. (2020). Dampak Politik Identitas Pada Pilpres 2019: Perspektif Populisme. Politica, 11(1), 43-63.

Kiftiyah, anifatul. (2019). Upaya Rekonsiliasi Politik Identitas Pasca pelaksanaan Pemilu 2019 di Indonesia.

Jurnal Analisis Kebijakan, 3 (1), 63-75.

Magfiroh, Eva. (2019). Demokratisasi Hukum dan Media Massa Melalui Hukum Progressif. Fenomena, 18 (1), 93- 105.

Muhaimin., & Abd Wahab. (2019). Futorologi Undang- Undang Pemilu di Indonesia Perspeftif Maqasid Al- Shariah. Islamica, 13 (2), 280- 302.

Nasrudin, Juhana. (2018). Politik Identitas dan Representasi Politik (Studi Kasus pada Pilkada DKI periode 2018-2022). Hanafiya: Jurnal Studi Agama- Agama, 1(1), 34-47 .

Prasetia, Arus reka. (2019). Pengaruh Politik Identitas melalui Media Sosial terhadap Generalisasi Milenial dan Pelaksanaan Pemilu. Prosiding Comnews, 21- 32.

Santoso, Eka Putra B. (2019). Pemilu dan Pilkada dalam Pusaran Politik Identitas. Resolusi, 2 (2), 150-155.

Artikel

Ferry Hidayat. (2021, Mei 24). ‘Politik identitas lebih berbahaya dari politik uang’. Warta ekonomi. co. Id.

https://www.wartaekonomi.co.id/read299376/politik- identitas-lebih-berbahaya-dari-politik-uang.

Peraturan Undang- Undang UUD 1945

UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu

Referensi

Dokumen terkait

Pada grafik tampak bahwa sistem yang menggunakan R-22 dengan penambahan pre-cooling menunjukkan nilai nilai koefisien yang lebih besar yaitu rata-rata 4,788 apabila

Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa ragam dari setiap shift di setiap ruang, baik yang dilakukan secara manual maupun Model 1 atau Model 2, memiliki ragam taknol

Untuk menyamakan jumlah responden antara kelompok kasus dan kontrol, 1 responden pada kelompok kehamilan normal juga dikeluarkan, sehingga jumlah sampel yang

Xilitol telah banyak dikonsumsi dan digunakan sebagai agen pemanis dalam makanan sejak 1960-an. Xilitol merupakan zat yang tidak berbau, berwarna kristal putih, berbentuk powder

Tidak dianjurkan untuk menceritakan bisnis kepada mitra kerja mengenai hal apa yang sedang berusaha Anda bangun di samping pekerjaan kantor yang Anda lakukan.. Akan ditemui lebih

Dalam melaksanakan KKN-P dan menyusun laporan, setiap mahasiswa akan dibimbing oleh satu atau beberapa orang pembimbing yang ditugaskan dari perusahaan

In experiment 1, 96 subjects were evaluated: 20 first episode schizo- phrenia patients, [SCZ1] 20 chronic schizophrenia patients in acute exacerbation [SCZ2], 19 bipolar patients,

Pada pengamatan siang hari, beberapa perilaku terlihat lebih dominan, yaitu berjalan, berdiam diri, berjemur, memanjat, mengeluarkan liur, dan menjulurkan