• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Media Massa

a. Pengertian Media Massa

Media massa (mass media) terdiri dari dua kata yaitu media dan massa, kata media dekat dengan pengertian “medium” “moderat” yang berarti tengah, sedang, penengah atau penghubung. Secara sosial politis media kemudian bergeser menjadi suatu “tempat”, “wahana”, ‘forum”

atau lebih tepat sebagai “lembaga penengah” atau “lembaga penghubung”, lembaga yang berada dalam posisi di tengah massa dan elit, rakyat dan negara, rakyat dan pemerintah, dan sekelompok orang ditempat lain. Kata massa sering kali diartikan dalam dua sisi yang berbeda dan dapat berkonotasi negatif dan positif. Akan tetapi kata

“massa” dalam media massa, sebenarnya tidak berkonotasi negatif atau positif. Massa dalam pengertian di sini adalah sesuatu yang tidak pribadi sesuatu yang tidak personal, melainkan sesuatu yang berhubungan dengan “orang banyak”. Dengan demikian media massa adalah suatu lembaga netral yang berhubungan dengan orang banyak atau lembaga yang netral bagi semua kalangan atau masyarakat banyak. Seringkali media massa juga diartikan sebagai penengah antara massa dan elit.

Forum yang menjadi perantara antara masyarakat, dan pemerintah, dan sebagainya (Hari Wiryawan, 2007:55-56).

Wujud dari media massa yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 “ perusahaan pers adalah badan hukum indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, elektronik dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.” Perusahaan pers yang dimaksud adalah perusahaan penerbitan yang bergerak di bidang media cetak, meliputi

13

(2)

commit to user

perusahaan penerbitan surat kabar, majalah, tabloid dan buku. Sedang media elektronika terdiri dari media radio dan televisi, yang pemilikannya bisa dilakukan oleh negara (pemerintah) dan swasta (Mursito BM, 2006:11).

b. Karakteristik Institusi Media

Komunikasi massa sebagai institusi yang dimaksud di sini bukan semata-mata komunikasi dengan bantuan teknologi radio, televisi, atau teknik-teknik modern lainnya. Meskipun teknologi modern ini selalu digunakan dalam proses komunikasi massa, tetapi penggunaan alat-alat teknis ini tidak selalu menunjukan komunikasi yang disebut komunikasi massa. Institusi media memiliki beberapa karakteristik khusus, yang dikenal karakteristik “klasik” media yang sifatnya umum.

a) Penyampaian pesan (melalui media massa) ditunjukan ke khalayak luas, heterogen, anonim, tersebar serta tidak mengenal batas geografis-kultural;

b) Bentuk kegiatan komunikasi melalui media massa bersifat umum, bukan perseorangan atau pribadi. Pesan-pesan bukan ditujukan kepada satu orang saja, atau orang per orang; isinya pun terbuka bagi setiap pihak, dan khalayak menyadari bahwa setiap orang menerima pesan yang sama;

c) Pola penyampaian pesan cenderung berjalan satu arah, yang mana sifat media “searah” membuat media meimiliki kekuatan pengaruh besar;

d) Kegiatan komunikasi massa dilakukan secara terencana, terjadwal, dan terorganisir, dengan perkataan lain kegiatan komunikasi massa dilakukan dengan organisasi dan manajemen modern;

e) Penyampaian pesan dilakukan secara berkala, tidak bersifat temporer, atau istilah yang sering digunakan adalah periodisasi; dan f) Isi pesan yang disampaikan mencakup berbagai aspek kehidupan

(sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain-lain) (Mursito BM, 2006:13-15).

(3)

commit to user c. Fungsi Media Massa

Media massa memiliki ideologi yang berorientasi kepada massa, media massa telah memengaruhi hampir semua sisi kehidupan manusia modern. Media massa juga mempengaruhi cara berpikir kita tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Media massa telah memborong sejumlah fungsi yang dulu dilakukan oleh lembaga sosial lainnya. Beberapa fungsi media tersebut antara lain: (Hari Wiryawan, 2007: 60-61)

a) Fungsi Informasi;

b) Fungsi Agenda;

c) Fungsi Penghubung Orang;

d) Pendidikan;

e) Fungsi Membujuk; dan f) Fungsi Menghibur;

Selain fungsi diatas, ada tiga hal uang menandai kekuatan media di tengah masyarakat, yakni: (Parwito, 2009 : 104)

1) Mengkonstruksi dan mendekonstruksi realitas hingga tercipta citra dan persepsi-persepsi tertentu pada khalayak;

2) Mengagresikan dan mengartikulasikan kepentingan atau tuntutan- tuntutan; dan

3) Memproduksi dan mereproduksi identitas budaya.

2. Tinjauan Umum tentang Pers a. Pengertian Pers

Pengertian Pers (Press) sebagaimana disebut dalam Black Law Dictionary adalah “The Aggregate of publications issuing from the press, or giving publicity to one’s sentiments and opinion through the medium of printing; as in the phrase “liberty of the press” freedom of the pressis guaranted by the first amandemen.” yang mana

Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pada Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa :

(4)

commit to user

“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, pers memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. disamping itu pers juga memiliki fungsi sebagai lembaga ekonomi. Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggung jawaban kepada rakyat terjamin dengan adanya perananan dari pers, yang mana sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran diharapkan mampu terwujud.

Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi:

“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".

Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.

(5)

commit to user b. Teori Pers

1) Teori Otoritarian atau Otoriter

Teori Otoritarian berkembang di Inggris pada abad ke-16 dan 17, banyak diadopsi dan masih diterapkan di banyak tempat. Teori ini muncul dari filsafat kekuasaan absolut raja, kekuasaan pemerintah absolut atau kedua-duanya. Dasar dari teori ini adalah pers yang mendukung dan menjadi kepanjangan tangan kebijakan pemerintah yang sedang berkuasa dan melayani negara. Terdapat penerapan khususus dari kerajaan atau pemerintah agar bisa digunakan dalam penerbitan sehingga serikat pemilik mesin cetak, individu dijauhkan dari kemungkinan mengkritik pemerintah yang berkuasa (Werner J.

Severin – James W. Tankard Jr, 2009: 374-378). Media dikontrol melalui paten-paten dari pemerintah, izin dan sensor. Media massa dilarang untuk melakukan kritik terhadap mekanisme politik, dan para pejabat yang berkuasa. Pemerintah atau seseorang yang mempunyai kekuasaan dalam kerajaan adalah orang yang berhak mengatur dan menggunakan media untuk kepentingannya.

(http://www.fikom.unpad.ac.id/?page=detailartikel&id=120, diakses pada tanggal 16 September 2013, pada pukul 23.03 WIB)

2) Teori Libertarian atau Liberal

Teori ini diadopsi di Inggris setelah tahun 1688, dan kemudian di Amerika Serikat. Teori ini muncul dari tulisan-tulisan karya Milton, Locke, dan Mill, dan filsafat umum tentang rasionalisasi dan hak-hak alamiah. Dari tulisan tulisan dari Milton, Locke dan Mill dapat dimunculkan pemahaman bahwa pers harus mendukung fungsi membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah sekaligus sebagai media yang memberikan informasi, menghibur dan mencari keuntungan. (Werner J. Severin – James W. Tankard Jr, 2009: 373-378). Dalam teori ini disebutkan, media massa diatur oleh siapa saja yang mempunyai kemampuan ekonomi untuk menggunakannya. Media dikontrol dengan ‘proses pelurusan sendiri

(6)

commit to user

untuk mendapatkan kebenaran dalam pasar ide yang bebas, serta melalui pengadilan. Media massa dilarang melakukan penghinaan, kecabulan, kerendahan moral dan pengkhianatan pada masa perang.

Media massa dianggap sebagai alat untuk mengawasi pemerintah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mayarakat lainnya.

(http://www.fikom.unpad.ac.id/?page=detailartikel&id=120, diakses pada tanggal 16 September 2013, pada pukul 23.03 WIB)

3) Teori Tanggungjawab sosial

Teori ini berkembang di Amerika Serikat pada abad ke-20 yang mana terbentuk dari evolusi gagasan serta tulisan W.E Hocking, Komisi Kebebasan Pers, para praktisi media, undang-undang media berpendapat bahwa selain bertujuan untuk memberi informasi, menghibur, mencari untung,juga bertujuan untuk membawa konflik ke dalam arena diskusi. Teori ini mengatakan bahwa semua orang berhak menggunakannya, dan berhak mengeluarkan pendapatnya. Media massa dikontrol melalui pendapat masyarakat, tindakan-tindakan konsumen, dan etika-etika kaum profesional (Werner J. Severin – James W. Tankard Jr, 2009: 378-379). Media massa dilarang melakukan invasi serius terhadap hak-hak perorangan yang dilindungi dan terhadap kepentingan vital masyarakat. Kepemilikan media massa dikuasai oleh perorangan, kecuali jika pemerintah harus mengambil demi kelangsungan pelayanan terhadap masyarakat. Media massa harus menerima tanggungjawabnya terhadap masyarakat; dan kalau tidak, harus ada pihak yang mengusahakan agar media mau menerimanya

(http://www.fikom.unpad.ac.id/?page=detailartikel&id=120, diakses pada tanggal 16 September 2013, pada pukul 23.03 WIB).

4) Teori Pers Soviet Komunis / Otoriter Soviet

Teori ini berkembang di Uni Soviet,meskipun sebagian idenya juga dilakukan oleh penguasa Nazi dan Italia. Terbentuk dari pemikiran Marxist, Leninist, dan Stalinist dengan campuran pikiran

(7)

commit to user

Hegel, dan Rusia pada abad ke-19. Menurut teori ini tujuan utama dari media adalah membantu keberhasilan dan kelangsungan dari sistem sosialis Soviet, dan terutama bagi kediktatoran Partai. Media dikontrol oleh tindakan ekonomi dan politik dari pemerintah dan badan pengawas dan hanya anggota partai yang loyal dan hanya anggota partai ortodoks saja yang bisa menggunakan media secara reguler.

Media dalam sistem ini dimiliki dan dikontrol oleh negara dan ada hanya sebagai kepanjangan tangan dari negara (Werner J. Severin – James W. Tankard Jr, 2009: 380). Media Masssa dikontrol melalui pengawasan dan tindakan politik atau ekonomi oleh pemerintah.

Media massa dilarang melakukan kritik-kritik terhadap tujuan partai

yang dibedakan dari taktik-taktik partai. Media dimiliki oleh umum.

(http://www.fikom.unpad.ac.id/?page=detailartikel&id=120, diakses pada tanggal 16 September 2013, pada pukul 23.03 WIB).

Selain keempat teori pers diatas, ahli komunikasi massa Denis McQuail menambahkan dua teori pers yaitu teori pers pembangunan dan teori pers demokratis-Partisipan. (Hari Wiryawan, 2007:71).

Sementara Anwar Arifin merumuskan sistem pers pancasila, sistem pers pancasila dibangun berdasarkan sistem politik demokrasi Pancasila. Sistem ini mucul di atas reruntuhan demokrasi terpimpin.

(Hari Wiryawan, 2007:71).

5) Teori Media Pembangunan

Negara berkembang membutuhkan teori yang lebih bisa diterima guna kepentingan ideologi pembangunan. Sumber gagasan teori mdeia pembangunan adalah laporan komisi internasional UNESCO tentang Studi Masalah Komunikasi. Teori ini mengajarkan bahwa media massa seharusnya ikut memikirkan tujuan pembangunan bangsa. Media juga semestinya sejalan dengan kebijakan pembangunan nasional. Kebebasan media juga disesuaikan dengan tujuan utama pembangunan bangsa. Media nasional harus memberi

(8)

commit to user

prioritas bagi kebudayaan dan bahasa nasional (Hari Wiryawan, 2007:74-75).

6) Teori Media Demokratis-Partisipan

Teori ini menggabungkan beberapa unsur dalam teori pers liberal dan unsur teori pers pembangunan, khususnya penekanan kepada masyarakat, pada komunikasi horizontal, bukan komunikasi vertikal. Perumusan teori ini didorong oleh reaksi atas komersialisasi dan pemonopolian media yang dimiliki secara pribadi dan terhadap sentralisme dan birokratisasi lembaga siaran publik. Inti teori menganjurkan untuk memenuhi hak atas informasi dari masyarakat, hak untuk menjawab kembali dan hak untuk menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi dengan kelompok berskala kecil, kelompok kepentingan sub-budaya. (Hari Wiryawan,2007:75).

3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, sedangkan istilah dalam bahsa asing yaitu delict. “Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenankan hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana” (Wirjono Prodjodikoro, 2002:55).

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai istilah strafbaar feit.

Istilah strafbaar feit diterjemahkan oleh para pakar hukum pidana di Indonesia dengan istilah yang berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana. Perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2142486-pengertian-tindak- pidana/ diakses pada tanggal 24 April 2013 pukul 13.10 WIB).

(9)

commit to user

Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai istilah tindak pidana, yaitu:

1) Moeljatno menyatakan bahwa “tindak pidana adalah perbuatan yang dilanggar dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita- citakan oleh masyarakat” (Erdianto Effendi, 2011 : 97-98).

2) Menurut Adami Chazawi “Tindak Pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan negara kita. Dalam hampir seluruh perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu” (Adami Chazawi, 2002:67).

3) Menurut Simons mengenai tindak pidana, beliau mengemukakan bahwa “strafbaarfeit adalah suatu tindakan melawan hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum” (Adami Chazawi, 2002:67).

4) Arti delict itu sendiri dalam Kamus Hukum diartikan sebagai “delik, tindak pidana, perbuatan yang diancam dengan hukuman”

(R.Subekti dan Tjitrosoedibio, 2005:35).

5) Vos merumuskan bahwa “suatu strafbaarfeit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”

(Martiman Prodomidjojo, 1995:16).

b. Unsur –Unsur Tindak Pidana

Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

1. Adanya perbuatan;

2. Perbuatan tersebut harus memenuhi rumusan undang-undang, yaitu bahwa perbuatan tersebut harus masuk dalam ruangan Pasal atau perbuatan tersebut harus mempunyai sifat dan ciri-ciri sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang;

(10)

commit to user

3. Adanya sifat melawan hukum, dalam arti formil atau dalam arti materiil;

4. Kemampuan bertanggung jawab;

5. Adanya kesalahan, yaitu ada atau tidaknya kesengajaan dari seseorang melakukan tindak pidana atau ada/ tidaknya kealpaan dari seseorang untuk melakukan tindak pidana; dan

6. Alasan penghapusan pidana atau dasar-dasar untuk membenarakan suatu tindakan. Ada suatu keadaan dimana suatu perbuatan yang sebetulnya bertentangan dengan hukum tidak dapat dikenakan hukuman. (Winarno Budyatmojo, 2008: 9-10)

4. Tinjauan Umum tentang Narkotika a. Pengertian Narkotika

Secara etimologi narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris yaitu narcose atau narcosis yang berarti menidurkan dan pembiusan.

Narkotika adalah zat atau obat bius yang berasal dari tanaman atau bahan tanaman baik yang sintetis maupun semi sintetisnya dapat menyebabkan penurunan atau penambahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia narkoba atau narkotika adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau merangsang (Mardani, 2008:78).

Menurut istilah kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan terutama rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong yang lama dalam keadaan masih sadar serta menimbulkan adiksi atau kecanduan (Abdul Mun’im idris,1985:56). Sedangkan yang dimaksud Narkotika di dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009,

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,

(11)

commit to user

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan- golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.”

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana dalam hubungannya dengan Narkotika, perbuatan tersebut dikenal dengan Tindak Pidana Narkotika telah menentukan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana dalam hubungannya dengan Narkotika. Undang-undang Narkotika tersebut telah menjelaskan penyalahgunaan narkotika termasuk kualifikasi perbuatan pidana (delict) yang pelakunya diancam dengan sanksi pidana karena pemakaian Narkotika dilakukan oleh seseorang yang tanpa hak dan melawan hukum.

Seperti yang ditegaskan dalam Jurnal Internasional yang berjudul Is Proverty To Be Blamed For Narcotic Abuse? A Case Study Of Pakistan, bahwa:

“Narcotic abuse is defined by Impaired function and interference in the daily life of the users. Users often develop serious physical, social, and mental health problems that compromise wellbeing and affect family and friends” (Mohammad Raza Ullah Khan Niazi, 2009:147-148).

Pada dasarnya Penyalahgunaan Narkotika ini dedefinisikan oleh fungsi gangguan dan gangguan dalam kehidupan sehari-hari pengguna.

Pengguna sering mengembangkan serius gejala fisik, sosial dan masalah kesehatan psikis yang berkompromi dengan kesejahteraan serta dapat mempengaruhi keluarga dan teman.

(12)

commit to user b. Penggolongan Narkotika

Berdasarkan tingkat potensi narkotika yang mengakibatkan ketegantungan, narkotika digolongkan menjadi 3, yaitu

(Anang Iskandar, 2009:53-54) :

1) Narkotika Golongan I, yaitu Narkoba yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan;

2) Narkotika Golongan II, yaitu narkotika yang hanya digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan;

3) Narkotika Golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

Tinggi rendahnya potensi narkotika dalam mengakibatkan ketergantungan tersebut menentukan tujuan dari pengadaan/produksi dan penggunaan Narkotika di Indonesia. Narkotika Golongan I mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan sehingga hanya boleh diproduksi dan digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan sangat dilarang dalam terapi. Potensi Narkotika Golongan II dan Narkotika Golongan III dalam mengakibatkan ketergantungan lebih rendah daripada Narkotika Golongan I sehingga diproduksi dan penggunanaanya selain untuk pengembangan ilmu pengetahuan juga dapat digunakan untuk terapi.

c. Jenis-Jenis Narkotika Yang Sering Disalahgunakan

Narkoba dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu narkotika, untuk menurunkan kesadaran atau rasa. Psikotropika mempengaruhi, mempengaruhi psikis dan pengaruh selektif susunan syaraf pusat otak.

(13)

commit to user

Dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada para pemakai narkoba dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :

1) Upper adalah jenis narkoba yang membuat si pemakai menjadi aktif, seperti shabu-shabu, ekstasi, dan amfetamin;

2) Downer adalah golongan Narkotika yang dapat membuat orang yang memakai jenis narkoba ini menjadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatifm seperti obat tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas; dan

3) Halusinogen adalah Napza yang beracun karena lebih menonjol sifat

racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.

(Sinar, 2012:78).

Dari ketiga golongan narkotika tersebut diatas diturunkan menjadi beberapa jenis, yang mana secara umum jenis-jenis narkoba yang disalahgunakan sering memiliki nama atau istilah sesuai dengan bahasa setempat, seperti :

1) Ganja

Istilah lain: Cimeng, Kanabis, Marijuana, Pot, Thai Stick, Grass, Gelek, Rasta, Dope, Weed, Hash, Mayijane, Sinsemilla.

Ganja berasal dari daun dan pucuk bunga dari tanaman dengan bahasa latin Cannabis Sativa. Daun ganja berwarna hijau saat masih segar dan akan berubah menjadi kecoklatan bila sudah dikeringkan.

(BNNP DIY, 2012:20).

Semua bentuk cannabis biasanya dihisap sedangkan damar dan minyak cannabis juga dapat ditelan, direbus dalam teh. Cannabis dapat membuat para pemakai merasa santai dengan tenang dan terkadang sangat gembira. Para pemakai mungkin juga mengalami sebuah perasaan pandangan, penciuman, dan pendengaran yang lebih hidup. Dalam jangka waktu pendek, para pemakai mengalami peningkatan nafsu makan dan denyut nadi, para pemakai juga mempunyai masalah-masalah untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik dan berpikir secara logis. Dengan dosis yang tinggi, kesadaran

(14)

commit to user

para pemakai terhadap suara dan warna mungkin dipertajam, sementara itu cara berpikir mereka menjadi lambat dan bingung.

Apabila dosisnya sangat besar pengaruhnya serupa dengan pengaruh halusinogen (zat penyebab halusinasi) dan dapat menyebabkan kegelisahan, kepanikan dan bahkan gangguan jiwa. Studi baru-baru ini di Inggris memperlihatkan sebuah hungunan antara penggunaan cannabis dan peningkatan dalam schizofrenia (penyakit jiwa berupa suka mengasingkan diri). Resiko lainnya yaitu meningkatkan resiko kanker paru-paru dan penyakit-penyakit pernafasan yang lain.

(BNNP DIY, 2012:18) 2) Ekstasi

Istilah lain: XTC, Inex, ADAM, Clarity, E, Fantasy Pills, Cece, Ceiin, Kancing, Rolls, Beans, Filipper, Hammer. Ekstasi adalah bahan psikoaktif yang bersifat stimulan (memacu kerja otak).

Biasanya dibuat oleh pabrik gelap, sehingga sebutan ekstasi tidak lagi mengacu pada satu bahan tertentu, melainkan terdiri dari beberapa bahan yang mempunyai pengaruh yang sama pada pemakainya. Ekstasi umumnya berupa tablet, bubuk atau kapsul dengan aneka bentuk dan ukuran. (BNNP DIY, 2012:22).

Biasanya ekstasi ditelan tapi dapat juga didengus atau disuntukkan. Ekstasi dapat mempertinggi tingkat perasaan kedekatan pada orang-orang di sekitar mereka. Ekstasi juga dapat membuat pemakai merasa lebih mudah bergaul dan penuh semangat. (BNNP DIY, 2012:21-22).

Segera setelah memakai ekstasi, maka aktivitas mental- emosional meningkat karena terjadi perubahan fungsi fatal tubuh.

Terjadi dehidrasi atau tubuh kepanasan, dan kekurangan cairan, pusing, dan lelah. Sistem organik dalam tubuh tidak dapat mengendalikan suhu tubuh. Ekstasi juga merusak organ-organ tubuh seperti hati dan ginjal. Dapat mengakibatkan kejang dan gagal jantung. Dosis besar ekstasi akan menyebabkan gelisah, tidak dapat

(15)

commit to user

diam, cemas, dan halusinasi. Pemakaian ekstasi jangka panjang dapat menimbulkan depresi gangguan daya ingat dan psikosis atau gangguan jiwa. (BNNP DIY,2012:23)

3) Shabu

Istilah lain: Ice, Crystal, Yaba, Ubas, SS, Mecin. Shabu termasuk dalam golongan ATS (Amphetamine Type Stimulants) yang dapat memacu sistem kerja pada otak. Shabu adalah istilah gaul dari methamphetamine yang dibuat oleh pabrik gelap dari berbagai bahan sintetis atau bahan kimia murni. Shabu umumnya terdapat jenis bubuk, tablet, atau kristal bening. Shabu menimbulkan rasa nyaman pada pemakainya sebagai peningkatan kinerja. Rasa lapar dan lelah tertunda. (BNNP DIY, 2012: 24)

Shabu dapat ditelan, dihirup atau didengus, dihisap atau disuntikkan (BNNP DIY, 2012:27).Segera setelah pemakaian shabu maka akan mengalami hilangnya selera makan dan pernapasan menjadi cepat, denyut jantung, tekanan darah serta suhu tubuh meningkat. dengan dosis yang besar pemakainya akan merasa gelisah, tidak dapat diam. Jika dosisnya berlebihan dapat menyebabkan kejang-kejang, stroke, gagal jantung dan bahkan kematian karena terhentinye pernapasan. Pemakaian shabu jangka panjang dapat menyebabkan kurang berat badan turun, dan ketergantungan psikologis. Sedangkan jika pemakaiannya dihentikan akan diikuti tidur dalam waktu lama, kemudian depresi (rasa murung). Pemakaian shabu kadang-kadang juga memicu agresivitas, kekerasan dan perilaku aneh ( BNNP DIY, 2012: 24-25).

4) Heroin

Istilah lain: Diacetil Morfin, Smack, Dope, Hoerse, Putaw (PT). (BNNP DIY, 2012:25). Heroin adalah obat adiktif dengan sifat penghilang rasa sakit yang diproses dari morfen, sebuah zat yang terjadi secara alami dari tanaman opium poppy. heroin murni berbentuk serbu berwarna putih, sedangkan yang biasa beredar

(16)

commit to user

berberntuk serbuk dengan warna putih kecoklat-coklatan. Narkotika jenis ini biasanya digunakan dengan cara disuntikan tetapi juga dapat didengus, dihisap atau dihirup. Heroin sangat adiktif, dan para pemakai dapat dengan cepat mengembangkan ketergantungan secara fisik dan psikologi. Mereka juga beresiko menjadi tahan terhadap obat bius, yang berarti mereka membutuhkan dosis yang lebih untuk mecapai pengaruh yang mereka inginkan.(BNNP DIY, 2012:23-24).

Pemakaian heroin menyebabkan kantuk, menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan rasa gembira (euforia). Pada orang yang baru pertama kali memakai, heroin menyebabkan perasaan tidak nyaman (disforia). Segera setelah memakai heroin maka pupil mata menyempit, timbul rasa mual, muntah, tenggorokan kering, tidak mampu berkonsentrasi dan apatis (acuh tak acuh). Pemakaian heroin jangka panjang menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, antara lain: berat badan turun drastis, kurang gizi, dan sembelit. Juga dapat menyebabkan haid tidak teratur, impotensi, mengantuk dan acuh tak acuh. Jika pemakaian heroin tiba-tiba dihentikan atau dosisnya dikurangi, maka terjadi putus zat (sakaw) seperti kejang otot, mencret, tremor (anggota tubuh bergetar tanpa kendali), panik, hidung dan mata berair, menggigil, berkeringat, gelisah, tidak bisa tidur, dan rasa nyeri seluruh tubuh. Memungkinkan terjadi overdosis, sehingga dapat tidak sadarkan diri dan meninggal karena terhentinya pernapasan.

d. Peredaran Gelap Narkotika di Indonesia

Peredaran Narkotika diatur dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang mana menyebutkan

“Peredaran Narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

(17)

commit to user

Narkotika pada dasarnya adalah obat-obatan yang dapat berguna bagi pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi apabila digunakan selain tujuan diatas, itu lah yang disebut penyalahgunaan dan merupakan perbuatan yang ilegal.

Peredaran gelap Narkotika di Indonesia dapat terjadi pada siapa saja dan bagi sebagaian masyarakat tertentu penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika memiliki nilai bisnis yang tinggi. Kini Indonesia bukan lagi menjadi Transit dan Konsumen namun sudah menjadi Produsen untuk Ekstasi dan Shabu. (BNNP DIY,2012:67-68)

Kondisi tersebut dinilai tercipta sebagai dampak dari era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, liberalisasi perdagangan dan kemajuan industri pariwisata. Sementara peredaran gelap narkotika ini tidak hanya berasal dari dalam negeri saja, namun juga datang dari luar negeri baik melalui jalur darat ataupun jalur udara.

Peredaran gelap narkotika melalui darat umumnya terjadi disekitar wilayah perbatasan,hal ini karena masih lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di wilayah perbatasan. Peredaran gelap narkotika melalui jalur laut juga diterapkan. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki lautan yang dapat berfungsi sebagai pintu masuk, tidak semua wilayah laut di Indonesia mendapatkan perhatian dan pengawasan optimal dari pemerintah. Begitu juga peredaran melalui jalur udara, sama mengkhawatirkan. Banyaknya kasus penangkapan oleh Dinas Bea dan Cukai Bandara yang menggagalkan penyelundupan, membuktikan jalur

bandara sangatlah sering dilakukan (Sinar,2012:79).

Banyaknya entry point yang masih kurang terawasi misalnya 22 bandara yang melayani penerbangan dari dan ke mancanegara antara lain: Soeta, Polonia, Ngurahrai, Samratulangi, Seppingan, Adi Sucipto, dll. Terdapat pula 124 titik pelabuhan laut. Hampir semua pelabuhan laut besar (termasuk pelabuhan Container) yang rawan akan peredaran gelap Narkotika (BNNP DIY, 2012:68).

(18)

commit to user

Berikut ini adalah beberapa rute peredaran gelap narkotika : 1) Rute Penyelundupan Heroin

Gambar 2 : Rute Penyelundupan Heroin ( Sumber : Presentasi ancaman Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Brigjend Polisi. DR.

Benny J. Mamoto, SH, M.Si Deputi Pemberantasan BNN) 2) Rute Peredaran Gelap Ganja

Gambar 3 : Rute Penyelundupan Ganja (Sumber: Presentasi ancaman Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Brigjend Polisi. DR.

Benny J. Mamoto, SH, M.Si Deputi Pemberantasan BNN)

(19)

commit to user e. Sanksi-sanksi Tindak Pidana Narkotika

Mengenai Tindak Pidana yang berhubungan dengan Narkotika dikualifikasikan menjadi beberapa bentuk tindak pidana, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah berhubungan dengan pemakai dan pengedar Narkotika. Jika berbicara tentang pengedar Narkotika, sudah jelas kiranya telah terjadi interaksi antara pengedar dan pembeli narkotika, keduanya merupakan pelaku tindak pidana Narkotika. Akan tetapi, jika kita berbicara tentang pemakai Narkotika, sejauh ini masih terdapat perbedaan sudut pandang mengenai pemakai narkotika. Hukum positif menyatakan, pemakai narkotika adalah pelaku tindak pidana karena telah memenuhi kualifikasi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, antara lain :

1. Penyalahguna atau pemakai Narkotika adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum; dan 2. Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan

kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, bahwa setiap penyalahguna :

1) Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

2) Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

3) Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur mengenai sanksi pidana yang dijelaskan di beberapa Pasal, diantaranya;

1) Pasal 111 ayat (1) dan (2)

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau

(20)

commit to user

menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

2) Pasal 112

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

3) Pasal 113

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

(21)

commit to user

Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

4) Pasal 114

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

(22)

commit to user

dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

5) Pasal 115

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

6) Pasal 116

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)

(23)

commit to user

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

7) Pasal 117

Ayat (1), Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidan dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tyahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);

Ayat (2), Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga)

8) Pasal 118

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5(lima) gram,pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

(24)

commit to user 9) Pasal 119

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

10) Pasal 120

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

(25)

commit to user 11) Pasal 121

Ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Ayat (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

12) Pasal 122

Ayat (1), setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah);

Ayat (2), dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).

(26)

commit to user 13) Pasal 137

Ayat (1), setiap orang yang menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentransfer uang, harta, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 ( sepuluh miliar rupiah);

Ayat (2), setiap orang yang menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahui berasal dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(27)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Gambar 3 : Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu mengenai tindak pidana penipuan atas Peran Media Massa dalam penanggulangan peredaran gelap narkotika. Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana yang marak sekali terjadi di masyarakat. Dan sebagian besar pelakunya adalah individu yang masih muda.

Efek dari penyalahgunaan Narkotika akan dapat mengganggu stabilitas negara dikarenakan tidak hanya anak muda saja yang terlibat, akan tetapi orang yang

UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

(Pasal 3) Media

Hiburan

Kontrol Sosial Peran Pers

Pencegahan Peredaran Gelap Narkotika

Masyarakat

Lembaga Ekonomi

Media Informasi

Media Pendidikan

(28)

commit to user

sudah tua dan bahkan pemerintah serta para aparat penegak hukum pun terlibat di dalamnya

Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers dijelaskan mengenai peran dan fungsi pers, antara lain sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pengaruh media massa sangat besar terhadap mengkonstruksi pemikiran, pandangan, kepribadian serta budaya sehingga dapat mempengaruhi perilaku dan sikap seseorang. Di sini penulis akan mengkaji sebuah peran dari media massa yang sangat besar yang mana seharusnya mampu membantu pemerintah dalam hal pencerdasan dan wadah edukasi bagi seluruh warga negara tidak terkecuali agar tidak terlibat dalam peredaran gelap dan penyalahgunaan Narkotika.

Referensi

Dokumen terkait

Kondisi lingkungan kerja di bagian peleburan logam berada pada garis biru yang berarti waktu kerja yang diijinkan adalah 50% bekerja dan 50% istirahat dilakukan setiap jam

5) Para agen pembangunan di Tana Toa Kajang Kabupaten Bulukumba, berdasarkan ketidakberhasilannya mencapai efek konatif melalui proses komunikasi penunjang

Spesifikasi ini menetapkan ketentuan aspal keras berdasarkan kekentalan terhadap aspal original yang terdiri dari AC-2,5, AC-5, AC-10, AC-20, AC-40 dan persyaratan aspal

Sebagai bahan masukan guna menambah wawasan dalam penelitian, khususnya yang berkaitan dengan penelitian ini serta untuk membantu penulis untuk lebih mengetahui

Oleh karena itu dapat diduga Trichodina sp.yang ditemukan pada benih ikan gurami di kolam budidaya Desa Beji Kecamatan Kedungbanteng terdapat dua jenis Trichodina

Pencatatan penjualan dilakukan pada saat transaksi penjualan kedalam buku jurnal penjualan. Pencatatan ini dilakukan oleh bagian akuntansi pada saat kasir menerima pesanan atau

sebagai kutub pertumbuhan ekonomi sebuah negara dapat berkembang dengan pesat karena dipengaruhi oleh beberapa hal seperti daya tariknya sebagai tujuan investasi,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan bauran pemasaran dan keputusan pembelian jamu Tolak Angin di Surakarta, mengetahui besarnya pengaruh