BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hormon Glukokortikoid pada Sistem Endokrin 2.1.1 Sistem Endokrin
Sistem endokrin disusun oleh kelenjar-kelenjar endokrin. Kelanjar endokrin merupakan kelenjar tanpa saluran (ductless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk mempengaruhi organ-organ lain.
Hormon merupakan zat kimiawi yang secara spesifik disekresikan ke dalam darah oleh kelenjar endokrin sebagai respon terhadap sinyal. Hormon akan memberikan informasi dan instruksi dari sel satu ke sel lainnya. Banyak hormon yang berbeda- beda masuk ke aliran darah, tetapi masing-masing tipe hormon tersebut bekerja dan memberikan pengaruhnya hanya untuk sel tertentu [8].
Kelenjar endokrin dalam tubuh terdiri dari kelenjar hipofisis, kelenjar adrenal, kelenjar tiroid, kelenjar paratiroid, kelenjar pineal, dan pulau langerhans pada pankreas. Kelenjar tersebut memiliki struktur yang berbeda satu sama lain. Selain struktur, yang membedakan setiap kelenjar adalah sekresi yang dihasilkan dan fungsinya [8]. Adapun hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin dan masing-masing fungsinya dijelaskan pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Macam-Macam Hormon dan Fungsinya[8]
Nama Kelenjar
&Lokasi
Hormon yang
Dihasilkan Fungsi
Hipofisis/ Pituitari
Lokasi : Dibawah Hipotalamus
TSH Merangsang kelenjar tiroid untuk memproduksi tiroksin ACTH
Merangsang korteks adrenal untuk memproduksi
kortikosteroid
Tiroid/ Kelenjar Gondok Lokasi : Dibawah Laring
Paratiroid/ Kelenjar Anak Gondok Lokasi : Dibelakang Tiroid
LH
Mendorong sekresi hormon reproduksi di ovarium dan testis
Prolactin
Menstimulasi sekresi air susu
oleh kelenjar susu
GH Merangsang pertumbuhan tulang
MSH
Mengatur penyuburan pigmen pada sel-
selmelanofor kulit sehingga mempengaruhi
perubahan warna kulit Oksitosin Membantu merangsang
kontraksi otot padauterus ADH Menjaga kadar air dalam
tubuh
Tiroksin &
Triiodotironin
Proses metabolisme
Pertumbuhan fisik
Perkembangan mental
Kematangan seks
Kalsitonin Menjaga keseimbangan kalsium dalam darah Parathormone Mengendalikan kadar
kalsium dalam darah
Adrenal/ Suprarenalis Lokasi : Diatas Ginjal
Mineralokortikoid
Menyerap natrium darah dan
Mengatur reabsorbsi air pada
Glukokortikoid
Mengubah protein menjadi glikogen dalam hati dan mengubah glikogenmenjadi glukosa
Androgen Membentuk sifat kelamin sekunder pria
Pankreas/ Pulau Langerhans Lokasi : Dibawah Lambung
Gonad/ Kelenjar Reproduksi Lokasi: Wanita : Ovarium Pria : Testis
Adrenalin/Epinefrin
Mengubah glikogen dalam otot menjadi glukosa dalam darah dan meningkatkan kerja syaraf simpatik, salah satunya syaraf yang mempengaruhi kerja Jantung
Nor-adrenalin/Nor- epinefrin
Bekerja sama dengan hormon kortisol dan adrenalin dalam mengatur reaksi tubuh terhadap kondisi stres
Insulin
Mengubah glukosa dalam darah menjadi glikogen dihati sehingga kadar gula darah menurun
Glukogen
Mengubah glikogen menjadi glukosa, sehingga kadar gula darah meningkat
Estrogen Menentukan ciri pertumbuhan kelamin sekunder perempuan Progesterone
Penebalan dan perbaikan dinding
uterus (rahim) Testosterone
Menentukan ciri pertumbuhan kelamin sekunder pria dan memicu pembentukan sperma Timus
Lokasi : Dibagian Posterior Toraks Diatas Jantung
Timopoietin dan Timulin
Berperan dalam proses perubahan
sel T menjadi sel-sel spesifik Timosin
Menguatkan respon imun dengan menstimulasi pembentukan sel T
2.1.2 Hormon Glukokortikoid
Kelenjar Adrenal menghasilkan beberapa hormon salah satunya yaitu hormon glukokortikoid. Glukokortikoid merupakan golongan hormon steroid yang memberikan pengaruh terhadap metabolisme. Penamaan glukokortikoid (glukosa + korteks + steroid) menunjukkan keberadaan golongan ini sebagai regulator glukosa yang disintensis pada korteks adrenal dan mempunyai struktur steroid.
Glukokortikoid juga merupakan hormon steroid dari kelas kortikosteroid yang memiliki fungsi untuk menghambat fungsi limfosit dan menginduksi apoptosis,
sehingga sering digunakan untuk penanganan peradangan seperti artritis, collagen vascular diseases, radang paru dan asma, beberapa jenis radang hati, beberapa penyakit kulit dan granulomatous diseases, sub-akut tiroiditis dan amiodarone- associated thyroiditis [8].
Salah satu faktor terpenting pengaturan akses dari glukokortikoid endogenke reseptornya adalah melalui metabolisme lokal dari steroid didalam sel target oleh enzim 11ß-hidroksikortikosteroid dehidrogenase (11ß-HSD).
Kortisol/kortikosteron bertanggung jawab untuk memelihara homeostasis garam dan air, kontrol tekanan darah, dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak, dan tulang. Kortisol juga pengatur utama dari sistem pertahanan tubuh dan proses inflamasi yang memerlukan banyak proses yang berkaitan dengan pertahanan host. Disisi lain terapi glukokortikoid jangka panjang dan lama menimbulkan kerusakan besar bagi tubuh [8].
Kortisol bekerja pada metabolisme glukosa yang dapat menyebabkan hiperglikemia. Glukosa merupakan substrat yang menyediakan energi untuk organ-organ penting tubuh seperti otak dan otot. Hiperglikemia disebabkan oleh peningkatan sintesis enzim yang terlibat dalam glikogenolisis dan glukoneogenesis. Kortisol meningkatkan produksi enzim yang dibutuhkan untuk mengubah asam amino menjadi glukosa dalam sel-sel hati yang berperan dalam glukoneogenesis dan glikogenolisis. Kortisol meningkatkan glukoneogenesis dengan cara menginduksi ekspresi gen dari enzim-enzim, peristiwa ini terjadi di sitosol dengan cara mengubah fruktosa-1,6-bifosfat menjadi fruktosa-6- fosfat [52]. Selanjutnya, glukokortikoid juga mengaktifkan hormon- sensitif lipase (HSL) di jaringan adiposa yang mengakibatkan peningkatan ketersediaan asam lemak bebas untuk beta- oksidasi. Glukokortikoid mengakibatkan penurunan massa otot; kulit menjadi lebih tipis, rapuh, dan mudah memar. Glukokortikoid juga menyebabkan hiperglikemia dan lipodistrofi (redistribusi lemak di bagian belakang leher-punuk kerbau, face-moon dan penurunan jaringan adiposa pada ekstremitas) [52].
Selain itu, glukokortikoid juga memiliki peran dalam kepadatan massa tulang yang dapat terjadi akibat terdapat reseptor glukokortikoid pada osteoblast dan osteoklast dimana apabila terinduksi akan menyebabkan penurunan replikasi dan proliferasi osteoblast, meningkatkan resorpsi osteoklast, dan menurunkan sintesis IGF-1, prostaglandin E (PGE2), dan IGF-binding protein. Menyebabkan pengurangan absorbsi kalsium di saluran cerna dan meningkatan ekskresi kalsium melalui ginjal. Kadar kalsium darah yang rendah menyebabkan peningkatan hormon paratiroid dan efek hormon tersebut pada tulang sehingga resorpsi tulang meningkat. Mekanisme lain adalah kortikosteroid meningkatkan ekspresi RANK dan menurunkan ekspresi osteoprotegerin. Kortikosteroid juga meningkatkan ekspresi CSF-1 yang bila ada bersama RANK akan menginduksi osteoklastogenesis. Selain itu kortikosteroid mempengaruhi aktivitas proliferasi dan metabolik sel tulang dengan inhibisi ekspresi gen BMP-2 sehingga osteoblastogenesis menurun dan meningkatkan apotosis sehingga lama hidup osteoblas menutun. Jumlah penurunan kualitas tulang sehinggal lebih mudah mengalami fraktur [53].
2.1.3 Efek Hormon Glukokortikoid Endogen Terhadap Sistem Imun
Glukokortikoid melakukan umpan balik regulasi imunitas oleh beberapa mekanisme, seperti hambatan aktivasi leukosit, IL-1, IL-2, interferon, TNF, dan prostaglandin. Aspek pentinglainnya dari regulasi aksis HPA (neuroendokrin) adalah kontrol umpan balik negatif yang dilakukan oleh glukokortikoid yang menghambat ekspresi basal dari CRH dan sintesis dan sekresi AVP mRNA di hipotalamus dan juga menghambat transkripsi gen POMC di hipofisis anterior.
Efek glukokortikoid diperoleh dengan mengaktivasi reseptor sitosol yang termasuk kelompok reseptor nuklear kortikosteroid atau mineralokortikoid dan glukokortikoid. Beberapa mekanisme lainnya paling banyak melibatkan regulasi secara transkripsi ekspresi gen [8].
Glukokortikoid menyebabkan apoptosis pada prekursor sel T CD8+ yang disebut splenosit CD8+, tetapi tidak pada sel T CD8+ dewasa, yang disebut sel T pmel-1 CD8+, dan tidak menghambat aktivitas anti-tumor yang diemban sel T CD8+
tersebut [8]. Glukokortikoid menyebabkan peningkatan jumlah WBC.
Peningkatan jumlah WBC, merupakan kombinasi dari penurunan pergerakan neutrofil menuji ke jaringan, penghambatan apoptosis neutrofil, dan mempercepat pematangan WBC di sumsum tulang, dan pelepasan dalam sirkulasi. Sedangkan, pada eosinofil, glukokortikoid menginduksi apoptosis dan pergerakan eosinofil di perifer. Penghambatan sinyal IL-2, (penghambatan proliferasi sel T), gangguan pelepasan sel dari jaringan limfoid, apoptosis limfosit T, penghambatan NF-kB (penurunan ekspresi gen sitokin) dan penghambatan degranulasi sel mast adalah efek glukokortikoid pada jaringan limfatik.
Peningkatan kadar glukokortikoid dalam darah menyebabkan makrofag sistem retikulo endotelial gagal mengenali dan memfagositosis antigen (bahkan antigen yang telah dikenali sebelumnya) [52].
2.1.4 Glukokortikoid Sintetik (Kotikosteroid) a. Sejarah Glukokortikoid Sintetik (Kotikosteroid)
Awal penelitian tentang glukokortikoid sintetik (kortikosteroid) dimulai pada tahun 1849 ketika seorang ilmuwan bernama Berthold ingin mengetahui fungsi hormon tersebut dalam metabolisme tubuh dengan melakukan eksperimen memanfaatkan efek glukokortikoid sintetik (kortikosteroid). Pada tahun 1949 hingga tahun 1954, dua perusahaan farmasi Searle dan Ciba tertarik untuk melakukan eksperimen terhadap produk glukokortikoid sintetik. Hasil penelitian mereka selanjutnya diikuti dengan banyaknya penggunaan kortikosteroid pada atlet sebagai doping (meningkatkan performa atlet). Banyaknya penggunaan obat kortikosteroid secara bebas dikarenakan khasiatnya dalam penyembuhan berbagai macam penyakit menyebabkan obat ini menjadi primadona dalam dunia kedokteran sehingga obat ini sering disebut sebagai obat dewa. [50].
Kortikosteroid pertama kali digunakan untuk terapi IBD. Pasien IBD merasakan efek pengobatan gejala penyakit mereka sejak hari pertama menggunakan kortikosteroid [9]. Kortikosteroid banyak digunakan dalam
Kortikosteroid banyak digunakan untuk tatalaksana penyakit inflamasi seperti RA dan SLE. Kortikosteroid juga diresepkan dalam berbagai pengobatan seperti replacement therapy pada penderita insufisiensi adrenal, supresor sekresi androgen pada CAH, dan terapi kelainan-kelainan non endokrin seperti penyakit ginjal, infeksi, reaksi transplantasi, alergi, dan lain- lain. Kortikosteroid juga banyak diresepkan untuk penyakit kulit, baik itu penggunaan topikal maupun sistemik [9].
b. Pengertian Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolisme karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit [8].
Glukokortikoid sintetik (kortikosteroid) sudah banyak digunakan sebagai antiinflamasi dan gangguan autoimun. Selain itu kortikosteroid juga digunakan untuk terapi alergi dan gangguan pada pernafasan terutama untuk terapi asma atau PPOK, gangguan pada kulit, saluran pencernaan, sebagai anti proliveratif. Pemakaian yang digunakan secara luas ini, diikuti pula dengan efek samping yang banyak. Beberapa contoh efek samping yang dihubungkan karena pemakaian kortikosteroid misalnya dapat menyebabkan gangguan tulang seperti osteoporosis dan fraktur, supresi adrenal, hiperglikemia, penyakit kardiovaskular, dislipidemia, hipertensi, gangguan neuropsikiatri dan imunosupresi [9].
Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon steroid alami pada manusia yang disintesin dan disekresi oleh korteks adrenal. Berdasarkan cara penggunaannya, kortikosteroid dapat dibagi dua, yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal. Untuk keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid, beberapa faktor kunci yang harus
dipertimbangkan adalah diagnosis yang akurat, memilih obat yang benar, mengingat potensi, jenis sediaan, frekuensi penggunaan obat, durasi pengobatan, efek samping, dan profil pasien yang tepat. Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia kedokteran. Begitu luasnya penggunaan kortikosteroid ini bahkan banyak yang digunakan tidak sesuai dengan indikasi maupun dosis dan lama pemberian, seperti pada penggunaan kortikosteroid sebagai obat untuk menambah nafsu makan dalam waktu yang lama dan berulang sehingga bisa memberikan efek yang tidak diinginkan. Untuk menghindari hal tersebut diperlukan pemahaman yang mendalam dan benar tentang kortikosteroid baik farmakokinetik, fisiologi didalam tubuh maupun akibat- akibat yang bisa terjadibila menggunakan obat tersebut [10].
c. Farmakokinetik Kortikosteroid 1. Absorpsi
Semua kortikosteroid secara oral diserap dengan baik, efeknya baru tampak setelah 4-6 jam, maka untuk efek cepat hendaknya digunakan injeksi dan derivat yang mudah larut air. Masa paruhnya antara 1,5 dan 5 jam, tetapi bertahan jauh lebih lama. Misalnya hidrokortison dan kortison 12 jam, prednisolon dan triamsinolon 12-36 jam, serta deksametason dan betametason 36-72 jam. Secara intramuskular laju absorpsi tergantung zat yang digunakan, misalnya injeksi asetat memberikan efek anti radang dan analgetik yang dapat bertahan 2 hari sampai 2 bulan, rata-rata 10 hari [11].
Interaksi pada proses absorbsi dapat terjadi akibat perubahan nilai pH obat pertama. Pengaruh absorpsi suatu obat kedua mungkin terjadi akibat perpanjangan atau pengurangan waktu dalam saluran cerna atau akibat pembentukan kompleks. Absorpsi dapat diubah jika obat pengubah pH atau motilitas diberikan secara bersamaan, seperti yang tampak pada pengobatan anti tukak atau antidiare tertentu (tetrasiklin dan kation divalen, kolestiramin dan obat anion) [12].
2. Distribusi
Kortikosteroid didistribusikan menuju hati, otot, kulit, usus, dan ginjal melalui aliran darah setelah diabsorpsi. Di dalam aliran darah, 90% kortikosteroid berikatan pada 2 jenis protein plasma, yaitu CBG atau transcortin dan albumin. CBG memiliki afinitas yang tinggi terhadap kortikosteroid tetapi kapasitas ikatnya rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatnya relatif lebih tinggi [13]. Oleh sebab itu pada kadar rendah atau normal, sebagian besar kortikosteroid terikat pada CBG. Bila kadar kortikosteroid meningkat, jumlah yang terikat dengan albumin dalam keadaan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat dengan CBG sedikit mengalami perubahan. Karena kortikosteroid akan berkompetisi satu sama lain dalam berikatan dengan CBG. CBG mempunyai daya afinitas yang lebih tinggi dengan glukokortikoid dibanding dengan mineralokortikoid [14].
Dua obat yang berikatan tinggi dengan protein atau albumin bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada salah satu atau kedua obat itu, sehingga lebih banyak obat bebas yang bersirkulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat. Kompetisi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat misalnya antaradigoksin dan kuinidin, dengan akibat peningkatan kadar plasma digoksin [15].
3. Metabolisme
Metabolisme kortikosteroid dapat terjadi di dalam dan di luar hati menjadi senyawa inaktif [16]. Semua kortikosteroid yang aktif memiliki ikatan rangkap pada atom C4,5 dan gugus keton pada atom C3. Reduksi ikatan rangkap C4,5 terjadi di dalam hati dan jaringan ekstra hapatik serta menghasilkan senyawa inaktif, sedangkan perubahan gugus keton C3 menjadi gugus hidroksil hanya terjadi di hati [17]. Sebagian besar hasil reduksi gugus keton pada atom C3 melalui gugus hidroksilnya secara enzimatik bergabung dengan asam sulfat atau asam glukoronat membentuk ester yang mudah larut dalam air dan kemudian di ekskresi. Reaksi ini terutama terjadi di hepar dan
sebagian kecil terjadi di ginjal [18].
Suatu obat dapat meningkatkan metabolisme dari obat yang lain dengan merangsang (menginduksi) enzim-enzim hati [15]. Dengancara yang sama seperti pada albumin plasma, mungkin terjadi persaingan terhadap enzim yang berfungsi untuk biotransformasi obat, khususnya sitokrom P450 dan dengan demikian mungkin terjadi metabolisme yang diperlambat.
Biotransformasi suatu obat kedua selanjutnya dapat diperlambat atau dipercepat berdasarkan penghambatan enzim atau induksi enzim yang ditimbulkan oleh obat pertama [12].
4. Ekskresi
Sebanyak 90% glukokortikoid yang dikeluarkan diekskresikan melaluiurin namun dengan kadar yang relatif rendah, yaitu sekitar 100 μg/hari, terutama karena 80% hingga 90% glukokortikoid yang disaring diserap kembali yang sebagian besar berasal dari tubulus distal ginjal [19].
Interaksi pada eliminasi melalui ginjal dapat terjadi akibat perubahan hingga pH dalam urin atau karena persaingan tempat ikatan pada sistem transpor yang berfungsi untuk sekresi atau reabsorpsi aktif, kompetisi terjadi antara obat obat yang menggunakan mekanisme transpor aktif yang sama di tubulus proksimal.
d. Mekanisme Kerja Kortikosteroid
Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk meningkatkan aktivitas glukokortikoid, karena sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai anti-inflamasi, anti- proliferasi, anti-alergi, dan imunosupresif [20].
Gambar 2.1 Mekanisme Kerja Glukokortikoid [20]
Berdasarkan gambar 2.1, Kortikosteroid (S) di dalam darah terdapat dalam bentuk terikat dengan CBG. Kortikosteroid yang masuk ke dalam sel berupa molekul bebas. Sebelum berikatan dengan kortikosteroid, reseptor kortikosteroid intra sel terikat dengan protein-protein stabilisator seperti Heat-shock protein 90 (Hsp 90) dan beberapa protein lainnya (simbol x pada Gambar 2.1), dimana kompleks reseptor ini, tidak dapat mengaktifkan transkripsi gen. Setelah berikatan dengan kortikosteroid, kompleks akan terurai, protein-protein stabilisator terlepas. Kompleks reseptor steroid kemudian membentuk dimer yang aktif dan masuk ke nucleus kemudian mengikat Glucocorticoid Response Element (GRE) di sekuens regulatori beberapa gen salah satunya adalah gen penyandi enzim fosfolifase A2 sehingga meregulasi transkripsi gen tersebut. Pada gen penyandi enzim fosfolifase A2, ikatan kortikosteroid menyebabkan inhibisi terhadap proses transkripsi. Enzim fosfolifase A2 berperan melepaskan asam arakhidonat dari membran sel [21].
Asam arakidonat merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil yang sebagian besar berada dalam fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan maka enzim fosfolifase diaktivasi untuk mengubah fosfolipid tersebut menjadi asam arakhidonat. Asam arakidonat
merupakan prekursor dari sejumlah besar mediator inflamasi. Senyawa ini merupakan mediator inflamasi [21].
Asam arakhidonat sebagian diubah oleh COX dan seterusnya menjadi prostagladin, prostasiklin dan tromboksan. Terdapat 2 jenis siklooksigenase yaitu (COX 1) dan (COX 2). Isoenzim COX 1 terdapat di jaringan seperti ginjal, paru-paru, platelet dan saluran cerna sedangkan COX 2 tidak terdapat di jaringan, tetapi dibentuk selama proses inflamasi. Prostasiklin menyebabkan vasodilatasi dan inhibisi agregasi trombosit. Prostaglandin berperan dalam vasodilatasi dan meningkatkan pembentukan edema dengan cara meningkatkan permeabilitas vaskular, sehingga aliran darah akan meningkat dan pori- pori kapiler juga membesar. Pori-pori kapiler yang membesar akan menyebabkan protein plasma keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan yang meradang. Akumulasi protein yang bocor pada jaringan interstitial akan meningkatkan tekanan osmotik koloid dalamjaringan interstitial dan akan meningkatkan tekanan darah kapiler [21].
Peningkatan tekanan osmotik koloid dan tekanan kapiler cenderung akan memindahkan cairan keluar kapiler dan mengurangi reabsorbsi cairan di kapiler. Akhirnya terjadi penumpukan cairan di jaringan interstitial yang akan menyebabkan edema lokal. Prostaglandin juga berperan dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi, Prostaglandin membantu menigkatkan sensitivitas nyeri terhadap berbagai rangsangan dan berinteraksi dengan sitokin. Tromboksan memiliki efek vasokonstriksidan agregasi trombosit.
Bagian lain dari asam arakhidonat diubah oleh enzim lipooksigenase menjadi leukotrien. Leukotrien LTA bersifat tidak stabil sehingga akan diubah menjadi LTB4 atau LTC4 oleh hidrolisis enzimatik yang kemudianbisa diubah menjadi LTD4, leukotrien berperan pada proses inflamasi serta alergi pada asma. Selain itu juga pada jalur lipooksigenase ini menghasilkan LXA4 dan LXB4 yang menyebabkan vasodilatasi dan menghambat kemotaksis neutrofil (Gambar2.2).
Gambar 2.2 Proses Inflasi Dan Prostasiklin, Leukotriene, Tromboksan A2, Dan Prostaglandin [21]
Proses inflamasi merupakan suatu proses yang komplek melibatkan berbagai macam sel, misalnya dalam beberapa jam sel-sel leukosit yang berfungsi sebagai sel pertahanan tubuh menempel ke sel endotel pembuluh darah di daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang disebut extravasasi. Keluarnya berbagai faktor plasma seperti immunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi kontak-koagulasi-fibrinolitik, sel- sel leukosit seperti neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, monosit yang berinteraksi satu sama lain dalam proses inflamasi. Sel sistem imun nonspesifik seperti neutrofil, basofil, eosinofil, dan monosit ini diproduksi dan disimpan di sumsum tulang dan diedarkan di dalam darah. Pada keadaan normal, leukosit hanya sedikit melekat pada sel endotel, tetapi pada inflamasi, adhesi antara leukosit dan sel endotel ini sangat ditingkatkan sehingga meningkatnya sel mediator inflamasi di jaringan [23].
e. Golongan-golongan Kortikosteroid 1. Betamethasone
Gambar 2.3 Struktur Kimia Betamethasone[24].
Gambar 2.3 menunjukkan struktur kimia beclomethasone. Beclomethasone memiliki aktivitas antiinflamasi dan imunosupresan seperti kortikosteroid pada umumnya dengan menghambat pelepasan berbagai sitokin, dan banyak digunakan secara klinik. Supresi adrenal dapat terjadi pada pasien yang diterapi dengan beclomethasone dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang lama. Namun, hal ini tidak terjadi pada pasien yang diterapi dengan dosis harian kurang dari 1,5 mg [24]. Beclomethasone memiliki aktivitas antiradang karena adanya substituen Cl pada atom C nomor 9 dan gugus metil [CH3] pada atom C nomor 16. Pada umumnya adanya substitusi Cl pada posisi 9α dapat meningkatkan aktivitas mineralokortikoid [25].
a. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Secara umum, beclomethasone diabsorbsi di dalam traktus gastrointestinal.
Untuk penggunaan lokal seperti topikal maupun inhalasi, beclomethasone juga diabsorbsi dengan baik dan akan didistribusikan ke jaringan secara cepat. Metabolisme beclomethasone terjadi di liver dan juga di beberapa jaringan lain seperti gastrointestinal dan paru-paru. Jumlah yang diekskresikan lewat urin sangat sedikit, sedangkan yang paling utama diekskresikan melalui feces [24].
b. Dosis dan Bentuk Sediaan
umumnya, diketahui digunakan secara topikal dan dapat memberi pengaruh pada paru-paru tanpa memberi efek sistemik. Pada umumnya digunakan secara inhalasi, dalam bentuk aerosol sebagai profilaksis asma. Penggunaan dosis di United Kingdom untuk penggunaan secara aerosol konvensional yaitu 400 mcg perhari yang dalam dosis terbagi 2 sampai 4 dosis sebagai dosis penjagaan. Jika diperlukan, 600 sampai 800 mcg dosis dapat digunakan secara inhalasi perhari tergantung dari respon pasien [24].
c. Efek samping
Efek samping yang diketahui oleh karena penggunaan beclomethasone yaitu terjadinya supresi adrenal, candidiasis, penurunan densitas tulang hingga osteoporosis, pulmonary eosinophilia, hingga terjadinya hipersensitivitas.
Selain itu, beclomethasone yang merupakan glukokortikoid dapat memnimbulkan efek samping seperti penggunaan kortikosteroid lainnya yaitu Gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi.
Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid [24].
2. Budesonid
Gambar 2.4 Struktur Kimia Budesonid[24].
Budesonid memiliki aktivitas antiinflamasi dan imunosupresan seperti kortikosteroid pada umumnya dengan menghambat pelepasan berbagai sitokin, dan banyak digunakan secara klinik. Struktur kimia budesonid dapat
dilihat pada Gambar 2.4 di atas. Dosis tinggi budesonid secara inhalasi berkaitan dengan efek supresi adrenal. Absorbsi secara sistemik dapat diperoleh dengan penggunaan melalui nasal, terutama setelah penggunaan dosis tinggi dan dalam jangka panjang. Dosis oral budesonid harus dikurangi dalam pemakaiannya untuk pasien dengan gangguan hepar [24].
Budesonid memiliki aktivitas antiinflamasi dan imunosupresan seperti kortikosteroid pada umumnya dengan menghambat pelepasan berbagai sitokin, dan banyak digunakan secara klinik. Struktur kimia budesonid dapat dilihat pada Gambar 2.4 di atas. Dosis tinggi budesonid secara inhalasi berkaitan dengan efek supresi adrenal. Absorbsi secara sistemik dapat diperoleh dengan penggunaan melalui nasal, terutama setelah penggunaan dosis tinggi dan dalam jangka panjang. Dosis oral budesonid harus dikurangi dalam pemakaiannya untuk pasien dengan gangguan hepar [24].
a. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Farmakokinetik Budesonid memiliki aktivitas seperti glukokortikoid pada ummnya. Secara umum, budesonid diabsorbsi di dalam traktus gastrointestinal. Untuk penggunaan lokal seperti topikal maupun inhalasi, budesonid juga diabsorbsi dengan baik dan akan didistribusikan ke jaringan secara cepat. Budesonid diabsorbsi secara cepat dan hampir dalam jumlah yang utuh bila digunakan secara oral. Namun, availabilitasnya dalam sirkulasi sistemik sangat kecil yaitu hanya sekitar 10% dikarenakan adanya metabolism lintas pertama di liver. Kebanyakan kortikosteroid di dalam sirkulasi secara ekstensif berikatan dengan protein plasma, yaitu terutama dengan globulin dan sedikit dengan albumin. Ikatan budesonid-globulin merupakan ikatan yang memiliki afinitas yang tinggi namun berkapasitas rendah. Sedangkan ikatan dengan albumin merupakan ikatan yang rendah afinitasnya namun tinggi kapasitasnya. Budesonid diketahui memiliki waktu paruh selama 2 sampai 4 jam [24].
b. Dosis dan Bentuk Sediaan
Dosis budesonid yaitu 400 mcg perhari yang dibagi menjadi 2 dosis dalam bentuk aerosol MDI, untuk penyakit yang lebih parah dosis dapat ditingkatkan sampai 1,6 mg sampai 2 mg perhari. Dosis penjagaan disarankan sebesar kurang dari 400 mcg perhari tetapi tidak kurang dari 200 mcg perhari [24].
c. Efek Samping
Efek samping yang dilaporkan oleh karena penggunaan budesonid yaitu terjadinya penurunan densitas tulang hingga osteoporosis, efek psikotik, dan terjadinya hipersensitivitas. Selain itu, budesonid yang merupakan glukokortikoid dapat menimbulkan efek samping seperti penggunaan kortikosteroid lainnya yaitu gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi. Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid [24].
3. Metil Prednisolon
Gambar 2.5 Struktur Kimia Metil Prednisolon[24].
Gambar 2.5 menunjukkan struktur kimia metil prednisolon. Metil prednisolon banyak digunakan di bidang klinis karena aktivitasnya yaitu sebagai antiinfalamasi. Disamping efek antiinflamasinya, metil prednisolon juga memiliki efek penekan sistem imun, seperti halnya kortikosteroid lainnya.
Penggunaan metil prednisolon secara injeksi intravena dalamdosis besar dapat menyebabkan gagal kardiovaskular. Metil prednisolon lebih tidak disukai bila dibandingkan dengan prednisolon karena menyebabkan retensi sodium dan air. Interaksi metil prednisolon dengan obat-obatan lain menyerupai interaksi obat golongan kortikosteroid secaraumum yaitu terjadinya gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi. Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid [24].
a. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Secara normal, metil prednisolon didistribusikan ke jaringan tubuh dengan cepat setelah penggunaan peroral. Waktu paruh metil prednisolon yaitu 3,5 jam atau lebih. Sedangkan waktu paruh metil prednisolon di dalam jaringan lebih lama yaitu berkisar selama 18 sampai 36 jam [23].
b. Dosis dan Bentuk Sediaan
Metil prednisolon memiliki aktivitas yang secara general sama dengankortikosteroid lainnya. Dosis 4 mg metil prednisolon sebagai agen antiinflamasi setara dengan 5 mg dosis prednisolone. Apabila digunakan secara oral, metil prednisolon biasanya diberikan dalam rentang dosis inisial 4 sampai 48 mg perhari, tetapi untuk penyakit akut yang berat dosis metil prednisolon dapat ditingkatkan sampai 100 mg sehari. Sedangkan untuk penggunaan parenteral dalam kondisi intensif atau darurat, metil prednisolon sodium suksinat dapat diberikan dengan rute intramuscular atau intravena dengan rentang dosis yang setara dengan 10 sampai 500 mg dosis metil prednisolon (metil prednisolon sodium suksinat 53 mg setara dengan metil prednisolon 40 mg) [24].
4. Dexamethasone
Gambar 2.6 Struktur Kimia Metil Dexamethasone[24].
Dexamethasone adalah kortikosteroid yang paling umum digunakan untuk pengelolaan edema vasogenik dan peningkatan tekanan intrakranial pada pasien dengan tumor intrakranial. Deksametason memiliki potensi glukokortikoid yang kuat, dengan hampir tidak ada efek mineralokortikoid minimal, bagian panjang dan potensi tinggi dan dapat mengurangi risiko keseimbangan elektrolis. Deksametason juga sering digunakan setelah operasi (sebelum memulai radioterapi), khususnya pada pasien tumor dengan efek massa yang signifikan. Namun, meskipun deksametason umum digunakan, hanya sedikit uji klinis prospektif telah ditetapkan untuk menentukan dosis dan jadwal optimal pada pasien dengan tumor intrakranial primer.
Deksametason dan semua steroid terkait dengan berbagai efek samping, oleh karena itu risiko dan manfaatnya harus dipertimbangkan dengan cermat [26].
a. Farmakodinamik dan Farmakokinetik
Dexamethasone adalah glukokortikoid sintetis dengan aktivitas antiinflamasi yang kuat. Deksametason diasumsikan menghambat rute inflamasi yang menghambat reseptor glukokorterizer sehingga tumor mengurangi permeabilitas kapiler dan mengurangi ruang cair ekstraseluler [26].
Glukokortikoid juga berinteraksi dengan faktor transkripsi lain seperti Nuclear Factor kappa- lightchain-enhancer of activated B cells (NF-kβ) mengaktifkan protein 1, p53, cAMP response element-binding protein, Signal Transducer and Activator of Transcription (STAT) secara tidak langsung mempengaruhi aktivitas gen target. Penghambatan NF-kβ menghasilkan efek anti-inflamasi [28].
Deksametason dapat diberikan secara oral, intramuskular maupun intravena.
Waktu paruh dari deksametason adalah 36-54 jam. Pada pasien dengan gangguan kesadaran atau tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dosis 10 mg intravena direkomendasikan, diikuti oleh 4 mg diberikan 4 kali sehari secara oral [29]. Perbaikan defisit neurologis dalam 24-72 jam setelah pemberian terlihat pada 75% pasien. Pada pasien tumor otak metastasis, dosis awal pemberian deksametason yang optimal agar mencapai efek maksimal dengan efek samping minimal, belum diketahui. Dosis deksametason yang paling umum digunakan adalah 8- 16 mg/hari [30]. Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial.
Biotransformasi steroid terjadi di dalam dan di luar hati. Metabolitnya merupakan senyawa inaktif atau berpotensi rendah. Setelah penyuntikkan secara intravena sebagian besar akan dieksresikan melalui urin dalam waktu 72 jam sedangkan di feces dan di empedu hampir tidak ada [31].
b. Efek Samping
Efek samping yang dapat timbul akibat pemberian terus menerus dengan dosis besar atau karena penghentian pengobatan tiba-tiba. Efek ini menyerupai gejala dari suatu gangguan yang disebakan oleh produksi kortisol yang berlebihan, yakni sindrom cushing. Gejala awal sindrom ini adalah retensi cairan di jaringan-jaringan yang menyebabkan naiknya berat badan dengan pesat, muka menjadi bundar atau moon face, kaki dan tangan gemuk.
Selain itu terjadi penumpukanlemak di bahu dan tengkuk. Kulit menjadi tipis dan kulit mudah terluka [11].
5. Prednison
Prednisone merupakan kortikosteroid inert yang secara biologis diubah menjadi glukokortikoid kortikosteroid prednisolone di liver. Prednisone memiliki hubungan kimia yang sama dengan prednisolone. Konversi prednisone menjadi prednisolone telah dilaporkan terganggu prosesnya pada penyakit liver kronik [24].
a. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Prednisolone dan prednisone keduanya diabsorbsi di saluran cerna, namun pednisolone terdapat dalam bentuk yang telah termetabolisme sedangkan prednisone harus dikonversikan terlebih dahulu menjadi prednisolone.
Secara umum, proses konversi tersebut berlangsung cepat sehingga hampir tidak terdapat perbedaan farmakokinetik antarakeduanya [24].
Konsentrasi tertinggi prednisolone sekitar 1 sampai 2 jam setelah pemakain secara oral, dengan waktu paruh 2 sampai 4 jam. Proses absorbsi prednisolone dipengaruhi oleh adanya makanan di dalam saluran cerna.
Secara ekstensif prednisolone berikatan dengan protein plasma, meskipun leboh sedikit daripada hidrokortison. Volume distribusi dan klirens prednisolone dilaporkan meningkat dari dosis rendah sampai dosis sedang.
Pada dosis sangat tinggi, klirens berubah menjadi tersaturasi. Prednisolone diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit terkonjugasi, dengan bentuk prednisolone yang tidak berubah dalam proporsi cukup besar [24].
b. Dosis
Apabila digunakan secara oral, prednisoloe digunakan dalam dosis 2,5 sampai 60 mg perhari dalam dosis terbagi, dosis tunggal setelah sarapan atau makan pagi, atau digunakan sebagai dosis ganda sebagai pengganti. Dosis pengganti pada waktu dini hari akan mengakibatkan penekanan yang kurang pada hypothalamic-pituitary axis, tetapi dosis tersebut tidak kuat sebagai dosis control. Untuk penggunaan secara parenteral, bentuk yang digunakan biasanya adalah bentuk ester sodium fosfat. Rute pemberian yang digunakan
yaitu injeksi intravena atau infuse atau injeksi intramuscular [24].
c. Interaksi Obat
Interaksi prednisone dengan obat-obatan lain menyerupai interaksi obat golongan kortikosteroid secara umum yaitu terjadinya gangguan perbaikan jaringan dan gangguan fungsi imun dapat memicu terhambatnya pengobatan luka, dan meningkatkan resiko terserang infeksi. Peningkatan kemungkinan terjangkitnya infeksi, seperti septisemia, tuberculosis, infeksi jamur, infeksi virus telah dilaporkan terjadi pasien yang memperoleh terapi kortikosteroid [24].
2.2 Sistem Imun
Sistem imun adalah sistem pertahanan tubuh yang terdiri dari sel atau gabungan sel, molekul-molekul, dan atau jaringan yang berperan dalam pertahanan tubuh terhadap zat asing dan patogen penyebab infeksi seperti virus, bakteri, protozoa dan parasit [32]. Secara umum, respon imun
dikelompokkan menjadi respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik [33].
2.2.1 Respon Imun Spesifik (Dapatan)
Respon imun spesifik (dapatan) merupakan respon imun yang memerlukan pengenalan zat asing sebelum memiliki kemampuan untuk melindungi tubuh dari zat asing tersebut. Respon imun ini memiliki kemampuan mengingat zat asing dan mampu menyerang zat asing tersebut dengan lebih efektif dari pada respon imun nonspesifik. Respon imun spesifik dibagi menjadi respon imun seluler dan humoral [34].
2.2.2 Mekanisme Aktivasi Komponen Sitem Imun Spesifik
Untuk menjalankan fungsinya sebagai pelindung tubuh, maka respon imun harus teraktifkan terlebih dahulu. Proses aktivasi respon imun dapat dilakukan dengan cara pengenalan terhadap antigen. Mekanisme pengenalan
B (BCR, B Cell Receptor) yang ada di permukaan sel limfosit B. Molekul ini merupakan immunoglobulin yang belum disekresikan oleh sel B. Antigen dari patogen akan berikatan dengan molekul BCR, kemudian akan mengakibatkan jumlah sel limfosit B diperbanyak (clonal expansion) dan adanya stimulasi terhadap sel B itu sendiri untuk mensekresikan antibodi [45].
Mekanisme pengenalan antigen oleh sel limfosit T juga dilakukan melalui molekul reseptor yang terdapat pada permukaan sel yang disebut TCR (T Cell Receptor). Reseptor ini akan mengenali antigen yang telah berikatan dengan molekul MHC (Major Histocompatibility Complex). Proses pengenalan antigen ini akan mengakibatkan adanya proliferasi [perbanyakan] sel limfosit T, pembentukan sitokin dan diferensiasi sel limfosit T. Meskipun proses pengenalan antigen oleh sel limfosit T dilakukan melalui reseptor permukaan sel, yang disebut molekul TCR (T Cell Receptor), TCR ini tidak dapat secara langsung berikatan dengan antigen. Molekul TCR akan mengenali antigen yang telah berikatan dengan molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) yang terdapat pada sel-sel APC (Antigen Presenting Cell) seperti pada gambar dibawah ini [45].
Gambar 2.8. Proses pengenalan antigen oleh limfosit T[45].
Pada manusia molekul MHC disebut juga dengan HLA (Human Leukocyte Antigen). Molekul MHC ada 2 jenis, yaitu MHC kelas I dan MHC kelas II, masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Molekul MHC kelas I terdapat
pada sebagian besar sel tubuh, sedangkan MHC kelas II akan banyak terdapat pada sel-sel APC, yaitu makrofag, sel dendritik dan sel B. Selain dengan molekul TCR, MHC juga akan berikatan dengan protein CD4 dan CD8 pada sel limfosit T. Molekul MHC kelas I akan berikatan dengan CD8 pada sel T sitotoksik, sedangkan MHC kelas II akan berikatan dengan CD4 pada sel T helper [45]. Protein yang berikatan dengan MHC pun juga berasal dari sumber yang berbeda. Molekul MHC kelas I akan berikatan dengan peptida endogen yang merupakan hasil degradasi protein oleh proteosom.
Contohnya pada virus yang menginfeksi sel, virus akan mengalami degradasi oleh proteasome di sitoplasma menjadi peptida-peptida. Peptida ini kemudian akan berikatan dengan MHC kelas I dan disajikan ke sel T CD8+. Sedangkan MHC kelas II akan berikatan dengan antigen yang berasal dari hasil degradasi patogen oleh protease. Kemudian peptida yang dihasilkan dari hasil ini akan disajikan ke sel T sitotoksik. Setelah mengenal antigen, sel-sel limfosit T akan teraktivasi untuk mengeliminasi patogen [45].
Gambar 2.9 Molekul MHC akan berikatan dengan molekul CD4 atau CD8 [45].
2.2.3 Mekanisme Kerja Sistem Imun Humoral
Respon imun humoral berperan dalam menyerang patogen yang berada pada cairan ekstraseluler (humoral berasal dari kata “humour” yang artinya cairan). Limfosit yang berperan dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B. Imunitas humoral menghasilkan pembentukan antibodi yang disekresikan oleh sel limfosit B. Pembentukan antibodi ini dipicu oleh
Limfosit B yang dirangsang oleh antigen akan berproliferasi, berdiferensiasi, dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibody dan sel memori. Antigen yang menyerang tubuh akan menempel pada B Cell Receptor yang ada di permukaan sel limfosit B. Sedangkan MHC kelas II akan berikatan dengan antigen yang berasal dari hasil degradasi patogen oleh protease. Kemudian peptida yang dihasilkan dari hasil ini akan disajikan ke sel T sitotoksik. Setelah mengenal antigen, sel-sel limfosit T akan teraktivasi untuk mengeliminasi patogen. Kemudian antigen diproses, antigen akan disajikan dan selanjutnya akan mengaktifkan sel T helper. Kemudian sel T akan meningkatkan pembentukan sel B yang distimulasi antigen menjadi sel.
Gambar 2.10 Plasma penghasil antibodi dan sel memori [38]
2.2.4 Mekanisme Kerja Sistem Imun Seluler
Limfosit yang berperan dalam sistem imun seluler adalah limfosit T. Sistem imun seluler berperan menyerang patogen yang terdapat di dalam sel.
Terdapat dua subpopulasi utama sel T, yaitu sel CD8 atau sel T sitotoksik dan sel CD4 atau sel T-helper. Sel T sitotoksik berfungsi menghancurkan sel pejamu yang mengandung benda asing contohnya virus dan sel kanker yang memiliki protein mutan. Sedangkan sel T-helper akan meningkatkan pembentukan sel B yang distimulasi antigen menjadi sel plasma penghasil
antibodi, meningkatkan aktivitas sel sitotoksik yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel T-helper tidak secara langsung ikut serta dalam dekstruksi patogen yang masuk. Sebaliknya, sel-sel ini memodulasi aktivitas sel imun lain. Terdapat tiga fase terjadinya respon imun spesifik, yaitu fase pengenalan, fase aktivasi dan fase efektor [33].
Sel T naif yang yang terpajan dengan kompleks antigen MHC dan dipresentasikan APC, akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4+ dan CD8+ yang berfungsi untuk meningkatkan produksi antibody dan menghancurkan sel (Gambar 2.11).
Gambar 2.11 Mekanisme Kerja Sistem Imun Seluler [34].
2.4 Komponen Sistem Imun 2.4.1 Leukosit
Leukosit merupakan sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik untuk jenis bergranula (polimorfonuklear) dan jaringan limpatik untuk jenis tak bergranula (mononuklear), berfungsi dalam sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi [34]. Leukosit paling sedikit dalam tubuh jumlahnya sekitar 4.000- 11.000/mm3. Berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi.
Karena itu, jumlah leukosit tersebut berubah-ubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan jumlah benda asing yang dihadapi dalam batas-batas yang masih dapat ditoleransi tubuh tanpa menimbulkan gangguan fungsi [35].
Meskipun leukosit merupakan sel darah, tapi fungsi leukosit lebih banyak
aliran darah ke seluruh tubuh. Apabila terjadi peradangan pada jaringan tubuh leukosit akan pindah menuju jaringan yang mengalami radang dengan cara menembus dinding kapiler [36]. Dalam keadaan normal leukosit yang dapat dijumpai menurut ukuran yang telah dibakukan adalah basofil, eosinofil, neutrofil batang, neutrofil segmen, limfosit dan monosit. Keenam jenis sel tersebut berbeda dalam ukuran, bentuk, inti, warna sitoplasma serta granula didalamnya [38].
2.4.2 Neutrofil
Neutrofil berukuran sekitar 14 μm, granulanya berbentuk butiran halus tipis dengan sifat netral sehingga terjadi percampuran warna asam [eosin] dan warna basa [metilen biru], sedang pada granula menghasilkan warna ungu atau merah muda yang samar [34]. Neutrofil berfungsi sebagai garis pertahanan tubuh terhadap zat asing terutama terhadap bakteri. Bersifat fagosit dan dapat masuk ke dalam jaringan yang terinfeksi. Sirkulasi neutrofil dalam darah yaitu sekitar 10 jam dan dapat hidup selama 1-4 hari pada saat berada dalam jaringan ekstravaskuler [37]. Neutrofil adalah jenis sel leukosit yang paling banyak yaitu sekitar 50-70% diantara sel leukosit yang lain. Ada dua macam netrofil yaitu neutrofil batang (stab) dan neutrofil segmen (polimorfonuklear). Perbedaan dari keduanya yaitu neutrofil batang merupakan bentuk muda dari neutrofil segmen sering disebut sebagai neutrofil tapal kuda karena mempunyai inti berbentuk seperti tapal kuda.
Seiring dengan proses pematangan, bentuk intinya akan bersegmen dan akan menjadi neutrofil segmen. Sel neutrofil mempunyai sitoplasma luas berwarna pink pucat dan granula halus berwarna ungu [40].
2.4.3 Eosinofil
Eosinofil dalam tubuh yaitu sekitar 1-6%, berukuran 16 μm. Berfungsi sebagai fagositosis dan menghasilkan antibodi terhadap antigen yang dikeluarkan oleh parasit. Masa hidup eosinofil lebih lama dari neutrofil yaitu sekitar 8-12 jam [37]. Eosinofil hampir sama dengan neutrofil tapi pada eosinofil, granula sitoplasma lebih kasar dan berwarna merah orange. Warna kemerahan
disebabkan adanya senyawa protein kation yang bersifat basa mengikat zat warna golongan anilin asam seperti eosin, yang terdapat pada pewarnaan Giemsa. Granulanya sama besar dan teratur seperti gelembung dan jarang ditemukan lebih dari 3 lobus inti. Eosinofil lebih lama dalam darah dibandingkan neutrofil [41].
2.4.4 Monosit
Jumlah monosit kira-kira 3-8% dari total jumlah leukosit. Monosit memiliki dua fungsi yaitu sebagai fagosit mikroorganisme (khusunya jamur dan bakteri) serta berperan dalam reaksi imun [37]. Monosit merupakan selleukosit yang memiliki ukuran paling besar yaitu sekitar 18 μm, berinti padat dan melekuk seperti ginjal atau biji kacang, sitoplasma tidak mengandung granula dengan masa hidup 20-40 jam dalam sirkulasi. Inti biasanya eksentris, adanya lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak mitokondria. Aparatus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit terdapat dalam darah, jaringan ikat dan rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (sistem retikuloendotel) dan mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya [42].
2.4.5 Limfosit
Limfosit adalah jenis leukosit kedua paling banyak setelah neutrofil (20- 40%
dari total leukosit). Jumlah limfosit pada anak-anak relatif lebih banyak dibandingkan jumlah orang dewasa, dan jumlah limfosit ini akan meningkat bila terjadi infeksi virus. Berdasarkan fungsinya limfosit dibagi atas limfosit B dan limfosit T. Limfosit B matang pada sumsum tulang sedangkan limfosit T matang dalam timus. Keduanya tidak dapat dibedakan dalam pewarnaan Giemsa karena memiliki morfologi yang sama dengan bentuk bulat dengan ukuran 12 μm. Sitoplasma sedikit karena semua bagian sel hampir ditutupi
didalam sumsum tulang dan tumbuh menjadi sel plasma, yang menghasilkan antibodi. Limfosit T terbentuk jika sel stem dari sumsum tulang pindah ke kelenjar thymus yang akan mengalami pembelahan dan pematangan. Di dalam kelenjar thymus, limfosit T belajar membedakan mana benda asing dan mana bukan benda asing. Limfosit T dewasa meninggalkan kelenjar thymus dan masuk ke dalam pembuluh getah bening dan berfungsi sebagai bagian dari sistem pengawasan kekebalan [39]. Diferensiasi sel merupakan bentuk respons terhadap antigen. Sel T dan sel B akan berdiferensiasi bila terpajan dengan antigen. Sel B berkembang disumsum tulang dengan bantuan sel stroma dan mengalami pematangan di organ limfoid perifer. Adapun mekanisme diferensiasi sel B seperti pada (Gambar 2.12) di bawah ini :
Gambar 2.12 Mekanisme diferensiasi sel B [40].
Diferensiasi sel B dimulai pada saat sel limpoid diekspresikan oleh B220 menjadi pro-sel B kemudian terjadi penataan ulang gen rantai berat (rantai protein pada antibodi yang mengandung jumlah asam amino paling banyak sehingga memiliki berat molekul yang besar) dan pro-B sel menjadi pre-B sel. Selanjutnya, pada pre sel B terjadi penataan ulang gen rantai ringan menjadi sel B imatur (belum dewasa), lalu terjadi perubahan dalam pemerosesan RNA menyebabkan sel B menjadi matur (dewasa), proses ini
terjadi di sumsum tulang. Selanjutnya sel B matur akan distimulasi oleh antigen pada organ limfoid perifer menyebabkan sel B aktif kemudian dan berkembang menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi antibody dan sel B memori [40].
Pada diferensiasi sel T menjadi Th1 dan Th2 tergantung sitokin yang diproduksi pada saat merespon mikroba yang memacu reaksi imunitas.
miisalnya virus dan beberapa parasit memacu sel NK untuk memproduksi IFN-γ yang memacu makrofag mengeluarkan IL-12. IL-12 berikatan dengan Sel T sehingga memacu untuk menjadi sel Th1. IL-12 juga meningkatkan produksi IFN-γ dan aktivitas sitolitik yang dilakukan oleh sel T sitotoksik dan sel NK sehingga memacu imunitas seluler. Sel NK memproduksi IFN-γ dan IFN-α yang merupakan dua sitokin proinflamasi poten dan dapat merangsang pematangan sel dendritik yang merupakan sel coordinator imunitas non spesifik dan spesifik. Sel Th1 bekerja pada sistem pertahanan cytolitic, mengatur imunitas seluler untuk melawan antigen asing dari dalam (intraselluler) seperti virus. Sedangkan, sel Th2 berkerja mengatur imunitas humoral atau produksi antibodi untuk melawan antigen asing diluar (ekstraseluler) seperti bakteri, kemudian berfungsi untuk mengaktifkan sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel-sel plasma yang selanjutnya menghasilkan antibody [40].
2.4.6 Sitokin
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi sebagai respons terhadap mikroba dan antigen lain yang memperantarai dan mengatur aksi imunologik dan reaksi inflamasi [42]. Sitokin yang berperan pada imunitas non spesifik dan spesifik umumnya diproduksi oleh berbagai sel dan bekerja terhadap sel sasaran yang berbeda, meskipun tidak mutlak. Berbagai sitokin yang diproduksi dapat menunjukkan reaksi yang tumpang tindih. Sitokin diproduksi makrofag dan sel NK yang berperan pada inflamasi dini, merangsang proliferasi, diferensiasi, danaktivasi sel efektor khusus seperti makrofag.
mengaktifkan sel-sel imun spesifik. Sitokin pada imunitas non spesifik yaitu : TNF, IL-1, IL-6, IL-10, IL-12, IFN tipe I, IL-15, IL- 18, dan IL-33.
Sedangkan sitokin pada imunitas spesifik yaitu : IL-2, IL-4, IL-5, IFN-γ, TGF-β, Limfotoksin, IL-13, IL-16, IL-17, IL-23, IL-25, IL- 31, IL- 9 [44].
Tabel 2.2 Fungsi Sitokin pada imunitas non spesifik [44]
Nama Sel Fungsi
TNF Peran metabolisme seperti proliferasi sel, differensiasi, apoptosis, metabolisme lipid, dan koagulasi
IL-1 Mengendalikan sistem kekebalan dan respon peradangan.
IL-6 Menginduksi respon peradangan transkripsi melalui IL-6 RA, yang menginduksi maturasi sel B
IL-10 Menghambat aktivasi dan fungsi efektor dari sel T, monosit dan makrofag
IL-12 Berperan dalam diferensiasi sel T CD4 menjadi sel TH1. Sel T efektor yang memproduksi IL-12 disebut sel T CD30.
IFN Tipe I Subkelompok besar protein interferon yang membantu mengatur aktivitas sistem kekebalan tubuh.
IL-15 Berperan dalam aktivasi dan proliferasi sel NK dan sel T IL-18
Meningkatkan respon peradangan tubuh dengan menginduksi
sekresi interferon-gamma oleh sel T dan meningkatkan aktivitas sel NK di dalam limpa.
IL-33 Berpotensi mendorong produksi sitokin terkait T helper-2 (Th2) misalnya, IL-4.
Tabel 2.3 Fungsi Sitokin pada imunitas spesifik [44]
Nama sel Fungsi
IL-2 Mendorong penggandaan dan pematangan sel yang melawan infeksi IL-3
Berperan dalam aktivitas seluler, seperti perkembangan sel,
Diferensiasi sel dan apoptosis, serta memiliki potensi neurotropik
IL-4 Berperan dominan dalam sistem kekebalan dan merupakan Faktor yang penting dalam perkembangan hipersensitivitas
IL-5 Berperan dalam perkembangan dan diferensiasi sel B dan eosinofil IL-7 Faktor Pertumbuhan disekresikan oleh sel stroma dalam sumsum tulang
dan timus.
2.5 Imunomodulator
Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat mengendalikan sistem imun dengan tujuan menormalkan atau membantu mengoptimalkan sistem imun. Mekanisme pertahanan spesifik maupun non spesifik umumnya saling berpengaruh. Imunomodulator dapat dibagi menjadi 2, yaitu imunostimulator dan imunosupresor.
2.5.2 Imunostimulator
Imunostimulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan respon imun.
Imunostimulator dapat mereaktivasi sistem imun dengan berbagai cara seperti meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, NK- cells dan makrofag serta melepaskan interferon dan interleukin [44]. Bahan yang dapat merangsang sistem imun, seperti: levamisole, isoprenosin, hidroksiklorokin, dan arginine
IL-8
Hormon golongan kemokin berupa polipeptida dengan massa sekitar 8- 10 kda yang digunakan untuk proses dasar, pengikatan heparin, peradangan dan perbaikan jaringan
IL-9 Sebagai pengatur berbagai sel hematopoietik.
IFN-α IFN-α memiliki efek anti-proliferatif dan anti-fibrosis pada sel Mesenkimal
IFN-γ Menginduksi sintesis enzim yang berperan pada respiratory
Burst, sehingga makrofag dapat membunuh mikroba yang ditelannya.
TGF-β
Superfamili faktor pertumbuhan transformasi yang mencakup tiga isoform mamalia yang berbeda TGF-β 1 hingga 3, simbol HGNC TGFB1, TGFB2, TGFB3 dan banyak protein pensinyalan lainnya.
Limfotoksin
Berperan dalam mengembangkan dan melestarikan kerangka organ limfoid dan respons imun gastrointestinal, serta dalam pensinyalan aktivasi keduanya bawaan dan adaptif respons imun.
IL-13 Sebuah protein dengan fungsi sitokin yang disekresi berbagai sel tetapi terutama oleh sel TH2
IL-16 Berfungsi sebagai chemoattractant, modulator aktivasi sel T, dan penghambat replikasi HIV.
IL-17 Menginduksi dan memediasi respon proinflamasi.
IL-23 Pemeliharaan dan ekspansi Th17.
IL-25
Menginduksi aktivasi NF-kb, dan merangsang produksi IL-8 disebut juga CXCL8, yang merupakan zat kemotaktik utama
neutrofil.
IL-31 Memfasilitasi imunitas yang diperantarai sel terhadap patogen.
2.5.3 Imunosupresor
Imunosupresor adalah senyawa yang dapat menurunkan respon imun.
Imunosupresor mampu menghambat traskripsi dari sitokin dan memusnahkan sel T [44]. Kegunaannya di klinik terutama pada transplatasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau autoinflamasi. Obat- obat imunosupresi digunakan pada penderita yang akan menjalani transplatasi dan penyakit autoimun oleh karena kemampuannya yang dapat menekan respon imun seperti azatioprin, dan siklofosfamid [45].
2.6 Metode Uji Efek Imunomodulator
Berikut adalah beberapa metode uji yang dapat digunakan untuk menguji efek immunomodulator suatu zat.
2.6.2 Uji Bersihan Karbon
Uji bersihan karbon merupakan standart uji eliminasi partikel asing di dalam darah dan merupakan gambaran umum yang terjadi pada proses fagositosis terhadap partikel asing di dalam darah. Uji bersihan karbon dilakukan dengan cara menyuntikkan tinta karbon dalam aliran darah untuk mengukur mekanisme fagositosis sel-sel fagositik. Pada saat karbon tinta diinjeksikan secara intravena maka karbon akan difagositosis oleh makrofag [46].
2.6.3 Uji Hipersensitivitas Tipe Lambat
Uji respon hipersensitivitas merupakan pengujian efek imunomodulator terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel T yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi dan meningkatkan aktivitas makrofag yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan [47].
2.6.4 Titer Antibodi
Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun humoral yang melibatkan pembentukan antibodi. Peningkatan nilai titer antibodi
terjadi karena peningkatan aktivasi sel T helper yang menstimulasi sel B untuk membentuk antibodi dan peningkatan aktivasi sel B dalam pembentukan antibodi [47].
2.6.5 Uji Granulosit
Percobaan ini dilakukan secara in vitro dengan mengukur jumlah sel bakteri yang difagosit oleh makrofag yang diperoleh dari serum manusia, yang dapat dilihat dibawah mikroskop [47]. Uji Proliferasi Limfosit dilakukan dengan menggunakan organ limpa sebagai tempat berpoliferasi yang nantinya akan diberikan senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas imunostimulan.
Kemudian, akan terjadi peningkatan bobot limpa dan jumlah sel limfosit limpa dari mencit. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan aktivitas poliferasi dalam organ limpa mencit [48].
2.7 Metode Boolean Operator
Dalam pencarian dokumen menggunakan search engine metode yang umum digunakan dalam melakukan pencarian adalah Metode Boolean. Metode ini memiliki sistem pencarian langsung menggunakan aljabar boole yang merumuskan beberapa operator matematika antara lain AND, OR, NOT, atau kombinasi NOT dan AND, NOT dan OR, AND dan OR. Jika mesin pencari menemukan kesesuaian dokumen sesuai dengan kata kunci maka akan langsung ditampilkan sebagai hasil temuan. Penulisan aljabar Boolean harus secara uppercase (huruf kapital) sebagai fungsi dari pemograman search engine. Fungsi penggunaan metode ini yaitu membatasi hasil penelusuran [49].
Peletakan operator AND di antara kata kunci yang digunakan dalam penelusuran fungsinya adalah untuk mempersempit hasil pencarian. AND (irisan) berarti mencari dokumen yang mengandung gabungan 2 istilah atau kata kunci. Operator OR diletakkan di antara kata kunci dan bertujuan untuk memperluas hasil pencarian. OR (gabungan) berarti mencari dokumen
semua istilah tersebut. Operator NOT juga digunakan untuk mempersempit hasil pencarian. NOT (pengecualian) berarti mencari dokumen yang tidak mengandung istilah tersebut [49].