• Tidak ada hasil yang ditemukan

MINYAK SAWIT MENDORONG KESEJAHTERAAN SUMATERA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MINYAK SAWIT MENDORONG KESEJAHTERAAN SUMATERA SELATAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Pembangunan kelapa sawit di Sumatera Selatan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sentra produksi sawit lainnya di Indonesia. Pembangunan sawit di Sumatera Selatan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam pengembangan komoditas unggulan lainnya, yakni karet, kopi dan komoditas tebu/gula (Perkebunan Negara).

Salah satu faktor pendorong perkembangan sawit di Sumatera Selatan adalah pola PIR, khususnya oleh perkebunan swasta di Provinsi Sumatera Selatan. Pembangunan perkebunan sawit berdampak positif terhadap penurunan kemiskinan, meningkatkan pendapatan petani ke level berpendapatan menengah, dan mendorong pertumbuhan PDRB serta meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Strategi pembangunan sawit merupakan penggerak pembangunan perekonomian Sumatera Selatan berkelanjutan.

Keyword : ruralisasi, strategi pembangunan, ekonomi kerakyatan

MINYAK SAWIT MENDORONG KESEJAHTERAAN SUMATERA SELATAN

Oleh

Tim Riset PASPI

m nitor

Analisis Isu Strategis Sawit Vol. I, No. 27/2015

PASPI

Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute

www.paspi.web.id

“Dapat dikutip untuk pemberitaan”

(2)

PENDAHULUAN

Provinsi Sumatera Selatan, merupakan salah satu provinsi yang terus bertumbuh dan berpotensi menuju Provinsi yang maju dan metroplis di masa mendatang. Jumlah penduduk Sumatera Selatan tahun 2012 mencapai 7.72 juta jiwa (tidak berbeda jauh dengan Provinsi Lampung dengan jumlah penduduk 7,77 juta jiwa).

Laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan pada tahun 2012 adalah 6,01%, sementara pertumbuhan ekonomi Jambi (7,44%), Bengkulu (6,61%) dan Lampung (6,48%).

Data di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan relatif lebih lambat lambat dibandingkan dengan provinsi lainnya di Wilayah Sumbagsel, dan sekaligus menekankan bahwa Sumatera Selatan memerlukan sumber penggerak pertumbuhan ekonomi yang berkelajutan.

Belajar dari pengalaman provinsi lain, terlihat bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah terbukti berhasil membangun ekonomi wilayah tersebut untuk mensejahterakan rakyatnya. (PASPI Monitor No 26 dan 18, 2015).

Pemilihan komoditas kelapa sawit merupakan sebuah pilihan strategis yang tepat dan juga pada kondisi (timing) yang tepat, yakni transformasi pembangunan ekonomi dari ekonomi un-sustainable (minyak, tambang dan hutan) kepada sumber pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable) yakni perkebunan kelapa sawit.

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI SUMATERA SELATAN

Sumatera Selatan merupakan Provinsi Sentra sawit terbesar ke empat di Indonesia, setelah Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah, yang pada tahun 2013 masing- masing memiliki luas areal kebun sebesar 1,08 juta ha (12%), 1,94 juta ha (21.5%) dan 1,03 juta ha (11.4% dari total luas perkebunan sawit nasional). Luas perkebunan sawit di Provinsi Sumatera

Pembangunan Kelapa Sawit di Provinsi Sumatera Selatan tumbuh secara alami, seiring dengan terbatasnya lahan di Sumatera Utara, kemudian berkembang ke Provinsi Riau, yang juga digerakkan oleh independent farmer secara revoluisoner. Selanjutnya pengembangan areal perkebunan sawit berkembang ke Sumatera Selatan, dengan Pola PIR. Sering dengan berkembangnya komoditas sawit, area pengembangan sawit mulai melirik Pulau Kalimantan (dengan dukungan infrastruktur yang relatif sangat terbatas dibandingkan dengan investasi di Pulau Sumatera). Selanjutnya menunjukkan bahwa Provinsi Riau dibandingkan dengan Provinsi sentra sawit lainnya disajikan pada gambar berikut.

Gambar 1. Perkembangan Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di 4 Sentra Produksi Sawit Nasional Pada tahun 1990, luas perkebunan sawit Indonesia baru mencapai 1,1 juta ha, dan 40

% terkonsentrasi di Sumatera Utara. Tahun 2000, luas kebun sawit Indonesia meningkat 3 kali lipat mencapai 3,7 juta ha, dan sentra sawit telah bergeser ke Riau dan Sumatera Selatan. Selama dekade 1990-2000, luas perkebunan sawit di Sumatera Utara meningkat 27%, Riau dan Sumatera Selatan meningkat hampir 3 kali lipat, dari 0,35 juta menjadi 1,1 juta ha. Pada tahun 2013, perkebunan sawit berkembang pesat serempak di Riau, Sumatera Selatan dan Pulau Kalimantan. Selanjutnya perkebunan sawit di Kalimantan berkembang pesat dan mengalahkan Sumatera Selatan.

Pola pengusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Selatan terdiri atas 44%

Perkebunan Rakyat, 6% Perkebunan Negara dan 50% Perkebunan Swasta. Salah satu keberhasilan pembangunan perkebunan

0 0.5 1 1.5 2

1990 2000 2013

Juta Ha

SUMUT RIAU SUMSEL KALTENG

(3)

baik PIR BUN/SUS, PIT-Trans, KKPA/KUK dan PIR Swasta Murni.

Mengapa perkembangan sawit di Sumatera Selatan tidak secepat provinsi sentra sawit lainnya? Pembangunan kelapa sawit di Sumatera Selatan tidak terlepas dari kebijakan pembangunan komoditas perkebunan lainnya seperti karet dan kopi yang telah lama tumbuh dan berkembang dan dianggap sebagai komoditas unggulan. Secara alami, investasi sawit berhasil dan selanjutnya digolongkan menjadi komoditas unggulan, ditambah tebu (Perkebunan Negara).

Perkebunan sawit rakyat di Sumatera Selatan secara empiris berdampak pada pembangunan wilayah pedesaan dan menjadikan Pedesaan sebagai Pusat Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan. Daerah yang sebe-lumnya terbelakang (hinter land) yang tertinggal/

degraded land telah berkembangkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Evolusi perkembangan pembangunan perkebunan kelapa sawit tersebut mengikuti dua fase, yakni fase Gestation Stage, dimana daerah pedesaan yang umumnya masih kosong, terisolasi atau degraded land/ghost town yang ditetapkan pemerintah untuk kawasan pembangunan perkebunan kelapa sawit, dikembangkan oleh perusahaan swasta yang bertindak sebagai inti. Sementara masyarakat lokal bertindak sebagai plasma.

Mengingat daerah yang bersangkutan masih terisolasi, maka PS harus membuka jalan/jembatan masuk (acces road) dengan investasi besar. Selain itu, investasi yang dikeluarkan inti (4-5 tahun) mencakup pembangunan jalan usaha tani (farm road), pembangunan kebun inti dan plasma, pembangunan perumahan karyawan, fasilitas sosial/umum dan pemeliharaan tanaman belum menghasilkan. Fase kedua adalah Growth Stages. Umumnya setelah 5 tahun, keberhasilan inti plasma menarik investasi petani lokal untuk menanam kelapa sawit (perkebunan rakyat mandiri). Perkebunan rakyat ini bertumbuh dengan cepat dan dapat disebut sebagai pertumbuhan yang sifatnya revolusioner, khususnya oleh peran independent farmer, yang mengembangkan usahanya secara mandiri.

Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan kelapa sawit khususnya setelah menghasilkan minyak sawit (CPO) di kawasan tersebut berkembang pusat-pusat pemukiman, per- kantoran, pasar, dan lain-lain sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan menjadi suatu agropolitan (kota-kota baru pertanian).

Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja (2014), sampai tahun 2013 telah berkembang daerah perkebunan kelapa sawit telah berkembang menjadi menjadi kawasan pertumbuhan sentra produksi CPO.

Keberadaan perkebunan kelapa sawit di kawasan pedesaan di Sumatera Selatan bermakna ekonomi yakni: (1) Sebagai bagian dari dunia usaha (firms) perkebunan kelapa sawit merupakan organisasi produksi yang menciptakan pendapatan (income- generating) di pedesaan; (2) Berbasis pada sumberdaya pedesaan (rural-based- resources) baik sumber daya alam, sumber daya manusia dan lain-lain; dan (3) Perkebunan kelapa sawit dengan investasi yang relatif besar untuk ukuran perekonomian pedesaan akan cukup efektif menarik pekembangan sektor-sektor eko- nomi lainnya di kawasan pedesaan.

MEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI SENTRA SAWIT

Pertumbuhan produksi perkebunan kelapa sawit termasuk dampaknya terhadap sektor rural non-farm akan terlihat dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) non migas dan tambang. Produksi CPO berpe- ngaruh positif dan signifikan terhadap PDRB non migas sentra perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sumatera Selatan.

Elastisitas produksi CPO terhadap PDRB non migas sentra sawit Sumatera Selatan bernilai 1,31. Peningkatan 10 persen produk CPO akan meningkatkan 13,1 persen PDRB non migas sentra sawit Sumatera Selatan, baik melalui kontribusi nilai tambah CPO maupun melalui dampak multiplier nilai tambah perkebunan kelapa sawit, yang tercipta pada sektor-sektor ekonomi lainnya.

(4)

Sumber: Sumatera Selatan dalam Angka, 2000-2013 (diolah)

Gambar 2. Pengaruh Produksi CPO terhadap PDRB Sentra Sawit di Provinsi Sumatera Selatan Kontribusi positif dan sifat elastis dari

produksi CPO terhadap PDRB non migas sentra sawit di Sumatera Selatan secara lintas waktu (overtime) menyebabkan pertum- buhan PDRB non migas sentra-sentra sawit lebih cepat daripada pertumbuhan PDRB non sentra sawit. Akibatnya, dengan mening- katnya produksi CPO, PDRB non migas sentra sawit makin meninggalkan PDRB non migas non sentra sawit. Sampai tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit dengan non sentra sawit masih relatif sama. Namun setelah tahun 2006, PDRB non migas sentra sawit lebih cepat bertumbuh dibandingkan PDRB non migas senta sawit makin besar dengan non sentra sawit. Hal ini terjadi karena sebelum tahun 2006 sebagian besar perkebunan kelapa sawit Sumatera Selatan masih TBM dan TM muda. Namun setelah tahun 2006 produksi CPO Sumatera Selatan bertumbuh cepat.

Bukti-bukti emperis tersebut menun- jukan bahwa perkebunan kelapa sawit memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan bagian penting dari upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil studi ini juga mengukuhkan hasil studi World Growth (2011) yang menyimpulkan bahwa perke- bunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dari pembangunan daerah pedesaan (rural development).

PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM MENGURANGI

KEMISKINAN

Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi masyarakat internasional termasuk Indonesia. Jumlah penduduk miskin memang telah cenderung turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (BPS, 2013) telah turun dari 42,3 juta orang (28,6 persen dari jumlah penduduk tahun 1980) menjadi 28,6 juta orang (11,7 persen dari jumlah penduduk tahun 2012). Dari jumlah tersebut, penduduk miskin di pedesaan juga telah turun dari 32,8 juta orang tahun 1980 menjadi 18 juta orang tahun 2012.

Karakteristik penduduk miskin dikawa- san pedesaan Asia (Dixon, 1990) antara lain lahan sempit, kurang gizi, kurang pendidikan, pendapatan rendah, terisolasi, dan usia harapan hidup yang rendah. Sedangkan untuk penduduk miskin pedesaan di Indonesia umumnya akses pendidikan dan kesehatan rendah, infrastruktur (air minum, trans- portasi, listrik) rendah serta sanitasi buruk (World Bank, 2001), pendidikan keterampilan rendah, miskin sumberdaya, tergantung pada pertanian subsisten, dan berpendapatan rendah (ADB, 2004).

Untuk mengatasi kemiskinan penduduk secara berkelanjutan diperlukan pertum- buhan sektor-sektor ekonomi pedesaan dimana penduduk miskin berada. Pertum- buhan ekonomi (pendapatan) yang menyasar pada kemiskinan merupakan keharusan

PDRB = - 7.106 + 0.0379 CPO R² = 0.9172, elastisitas 1.31

- 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 45.00 50.00

0 500 1,000 1,500

Rp Milyar

000 Ton

(5)

akses penduduk miskin pada pendidikan, kesehatan maupun aspek kesejahteraan yang lebih luas dan lebih berkualitas.

MERUBAH PETANI MISKIN MENJADI PENGUSAHA

Secara umum, keberhasilan pengem- bangan sawit di Indonesia telah merubah 3,7 juta keluarga miskin (petani) menjadi pengusaha sawit. Untuk konteks Indonesia, tidak banyak (jika bukan satu-satunya) sektor ekonomi yang yang mampu merubah petani kecil/miskin menjadi pengusaha sawit sebanyak dan secepat itu. Dengan menjadi pengusaha sawit yang demikian, kehidupan ekonomi keluarga petani sawit tersebut akan lebih terjamin hingga setidak-tidaknya dalam 25 tahun (replanting kelapa sawit umur 25 tahun). Dengan replanting berikutnya akan menyambung kehidupan ekonomi bagi keturunannya secara berkelanjutan.

Selain menjadi pengusaha kelapa sawit, cara untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan adalah menciptakan kesempatan kerja baru yang sesuai dengan karakteristik tenaga kerja pedesaan. Salah satu karak- teristik penduduk miskin di pedesaan adalah bekerja secara musiman di pertanian (ADB, 2004).

Secara keseluruhan tingkat pendidikan penduduk dipedesaan juga umumnya rendah.

Oleh karena itu, untuk mengurangi kemiskinan di pedesaan hendaklah mengem- bangkan sektor-sektor ekonomi yang lebih banyak menyerap tenaga kerja yang sesuai dengan karakteristik/latar belakang tenaga kerja pedesaan. Perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi dengan teknologi padat kerja (labor intensive). Tidak hanya

padat kerja tetapi juga akomodatif terhadap keragaman mutu/skill tenaga kerja pedesaan.

Penyerapan tenaga kerja pada perke- bunan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ketahun seiring dengan perluasan kebun, peningkatan produksi dan perkembangan industri hulu dan hilir. Pada tahun 2000, jumlah tenaga kerja yang bekerja pada perkebunan kelapa sawit baru sekitar 2 juta orang, tahun 2000 meningkat menjadi 5,5 juta orang tahun 2013. Dengan fakta tersebut perkebunan kelapa sawit merupakan sektor ekonomi pedesaan yang bersifat pro-job. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit menciptakan kesempatan kerja baru di pedesaan.

PENDAPATAN PETANI SAWIT MENINGKAT CEPAT

Untuk mengeluarkan petani dari kemis- kinan dan untuk meningkatkan kesejah- teraannya, peningkatan pendapatan secara berkelanjutan mutlak diperlukan. Hanya melalui peningkatan pendapatan yang memadai dan sustainable para petani dan keluarganya mampu mencapai kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik dan mutu kehidupan yang lebih baik.

Pendapatan petani sawit baik plasma maupun petani sawit mandiri pada wilayah Provinsi Sumatera Selatan bertumbuh cepat.

Pendapatan petani dari perkebunan kelapa sawit tergantung berbagai faktor seperti tingkat produktivitas, biaya, skala usaha dan harga jual. Pendapatan petani sawit di Provinsi Sumatera Selatan disajikan pada Gambar dan Tabel di bawah ini.

(6)

Sumber: PASPI, 2014 (Data Primer) Gambar 3. Perbandingan Pendapatan

Tabel 1. Perbandingan Pendapatan per Rumah Tangga Petani Sawit dengan Petani Non Sawit di Provinsi Sumatera Selatan (Rp Juta/KK/bulan)

Uraian 2009 2010 2011 2012 2013

Petani Sawit Plasma 7.97 11.25 15.99 24.80 24.49

Petani Sawit Mandiri 6.68 7.66 11.77 12.43 10.78

Petani Non Sawit 1.22 1.24 1.22 1.15 1.20

MENGATASI KEMISKINAN DAN MENCIPTAKAN KELAS EKONOMI

MENENGAH DI PEDESAAN

Perbandingan pendapatan petani sawit dengan garis kemiskinan serta pendapatan per kapita nasional (Tabel 2) menunjukan bahwa jika dibandingkan pendapatan per kapita petani sawit plasma, petani sawit mandiri telah jauh diatas garis kemiskinan nasional. Bahkan pendapatan petani non sawit disekitar perkebunan kelapa sawit (petani karet, padi, sayuran) juga telah diatas garis kemiskinan meskipun jauh dibawah pendapatan petani sawit plasma maupun petani sawit mandiri.

Namun, bila dibandingkan, pendapatan per kapita petani sawit plasma dan mandiri telah mendekati pendapatan per kapita non migas nasional. Bahkan pada beberapa tahun telah melampaui pendapatan per kapita non

migas nasional. Berbeda dengan petani sawit, pendapatan per-kapita petani non sawit masih jauh dibawah pendapatan per kapita non migas nasional.

Jika pendapatan per kapita non migas nasional dijadikan ukuran tingkat penda- patan menengah (middle income class), maka petani sawit baik plasma maupun mandiri telah tergolong pada penduduk Indonesia yang berpendapatan menengah.

Dengan fakta empiris ini, perkebunan kelapa sawit Sumatera Selatan bukan hanya berhasil menarik para petani keluar dari kemiskinan tetapi juga berhasil menempatkan mereka menjadi penduduk middle income class nasional. Hasil studi ini mengukuhkan studi Goenadi (2008) dan World Growth (2011) yang mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan sektor yang berhasil mengurangi kemiskinan (pro-poor).

2009 2010 2011 2012 2013

PLASMA 95,597,333 135,004,000 191,865,000 297,550,000 293,853,000 SWADAYA 80,172,097 91,898,557 141,182,221 149,175,440 129,405,942 Non Sawit 14,626,056 14,865,733 14,676,139 13,780,167 14,458,944

- 50,000,000 100,000,000 150,000,000 200,000,000 250,000,000 300,000,000 350,000,000

(7)

Tabel 2. Perbandingan Pendapatan per Kapita Petani Sawit, Garis Kemiskinan dan Pendapatan per Kapita Nasional (Rp Juta/Kapita/Tahun)

Tahun

Poverty Line Rataan Pendapatan

Petani Sawit Rataan Pendapatan Petani Non Sawit

Pendapatan per Kapita Non Migas Nasional Kota Desa Plasma Mandiri

2009 3.18 2.71 28.68 18.04 3.66 33.37

2010 3.24 2.85 39.19 20.17 3.72 38.74

2011 3.85 3.06 63.96 30.99 3.67 44.15

2012 3.97 3.08 78.76 32.75 3.45 51.63

2013 4.33 3.26 77.78 28.41 3.61 57.37

Sumber: PASPI, 2014 (Data Primer)

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT MENURUNKAN KEMISKINAN DI

PEDESAAN

Dampak pertumbuhan produksi CPO (akibat peningkatan permintaan CPO) terha- dap peningkatan pendapatan (multiplier income) tidak hanya dinikmati pelaku perke- bunan kelapa sawit saja melainkan juga dinikmati masyarakat yang bekerja disektor- sektor ekonomi lain. Dari pendapatan yang tercipta dalam perekonomian akibat pertum- buhan CPO, sekitar 64 persen dinikmati pelaku perkebunan kelapa sawit dan sisanya yakni 36 persen dinikmati sektor-sektor lain

baik yang ada dipedesaan maupun di perkotaan (Amzul, 2011). Manfaat pertumbuhan produksi CPO (misalnya akibat ekspor) bukan hanya dinikmati pemilik kebun sawit tetapi juga tenaga kerja baik yang bekerja di perkebunan kelapa sawit maupun tenag kerja diluar perkebunan/

pertanian (termasuk diperkotaan). Dengan dampak perubahan perkebunan produksi kelapa sawit yang demikian maka pening- katan produksi CPO berkaitan dengan penurunan kemiskinan. Meningkatnya pro- duksi CPO, meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan di daerah pedesaan sehingga menurunkan angka kemiskinan.

Sumber: PASPI, 2014, (Diolah dari Data BPS, 2000-2013)

Gambar 4. Pengaruh Produksi CPO terhadap Penurunan Kemiskinan di Sentra Sawit Provinsi Sumatera Selatan

Kemiskinan = 39.266 - 0.0185 CPO

10 15 20 25 30 35 40

0 500 1,000 1,500

% Miskin

Ribu Ton CPO

R2= 0.65, elastisitas -0.58

(8)

Di sentra-sentra sawit Provinsi Sumatera Selatan, peningkatan produksi CPO berpengaruh secara signifikan. Pada penurunan persentasi penduduk miskin, dengan nilai elastisitas -0,58. Setiap peningkatan 10 persen produksi CPO, dapat menurunkan persentase penduduk miskin sebesar 5,8 persen.

Goenadi (2008) mengemukakan bahwa lebih dari 6 juta orang yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit Indonesia keluar dari kemiskinan. World Growth (2009) mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dan signifikan dalam mengurangi kemiskinan.

KESIMPULAN

Pembangunan kelapa sawit di Sumatera Selatan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sentra produksi sawit lainnya di Indonesia. Pembangunan sawit di Sumatera Selatan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam pengembangan komoditas unggulan lainnya, yakni karet, kopi dan kelapa sawit dan komoditas tebu/gula (Perkebunan negara).

Salah satu faktor pendorong perkembangan sawit di Sumatera Selatan adalah pola PIR, khususnya oleh perkebunan swasta di Provinsi Sumatera Selatan.

Hasil pengkajian PASPI di atas merupakan sebuah bukti empiris dampak pembangunan perkebunan sawit terhadap penurunan kemiskinan, mengangkat masyarakat petani ke level berpendapatan menengah, dan mendorong pertumbuhan PDRB yang selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Strategi pembangunan sawit merupakan penggerak

pembangunan perekonomian Sumatera Selatan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

World Growth, 2011 World Bank’s Revised Palm Oil Strategy Undermines Economic Development and Restricts Global Markets. World Growth.

Badan Pusat Statistik. 1990-2013. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sumatera Selatan Menurut Sektor dan Kabupaten. BPS. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 1990-2013. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta.

ADB, 2004: Agriculture and Rural Development Strategy Study. Asian Development Bank and Ministry Agriculture of Indonesia.

World Bank, 2001: Indonesia: Environmental and Natural Resources Management in Time of Transition, World Bank.

Washington DC.

ADB, 2001: The Quality of Life in Rural Asia.

David E. Bloom, Patricia Craig Pia Malaney.

Amzul, R. 2011: The Role Palm Oil Industry In Indonesia Economy and Its Export Competitiveness. PhD Dissertation.

University Of Tokyo.

Goenadi, 2008: Prospective on Indonesian Palm Oil Production. Paper Presented on The International Food and Agriculture Policy Council. Spring 2008 Meeting.

Bogor

World Growth, 2009: Palm Oil: The Sustainable Oils.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa guna optimalisasi pendapatan daerah di bidang retribusi jasa usaha khususnya retribusi tempat khusus parkir melalui pemungutan jasa parkir dengan sistim parkir

Dinamika konflik yang terjadi dibalik aksi protes dan perlawanan masyarakat lokal dalam pembangunan saluran irigasi Mbay Kiri telah berdampak pada rusaknya tatanan

Jadi pada dasarnya, yang dimaksud dengan Perencanaan atau Planning ini dalam Manajemen adalah menentukan tujuan organisasi dan memutuskan cara yang terbaik untuk

yang mana rataan total biaya produksi tertinggi pada perlakuan P0 (Penggunaan ransum kontrol dengan tepung limbah ikan gabus pasir sebanyak 0% dan tepung ikan komersil

Metode Forward Selection berbasis Naive Bayes terbukti akurat dalam klasifikasi status kelulusan mahasiswa dari dataset yang bersifat class imbalance dengan dimensi data

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat kepadatan kultur Daphnia carinata King dan fotoperiode yang berbeda terhadap produksi efipium.. Hasil

Reproduksi merupakan hal yang sangat penting dari suatu siklus hidup organisme, dengan mengetahui biologi reproduksi ikan dapat memberikan keterangan yang berarti mengenai

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang