• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

158 BAB VIII PENUTUP

A. Kesimpulan

Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah Kabupaten Nagekeo dalam pembangunan saluran irigasi Mbay kiri dipicu oleh masalah ketidakadilan dalam proses dan mekanisme distribusi, penguasaan dan pemanfaatan lahan irigasi. Bentuk-bentuk ketidakadilan tersebut antara lain: Pertama ketidakadilan tentang kebijakan distribusi dan penguasaan lahan irigasi di Mbay kanan yang timpang antara masyarakat lokal dan masyarakat dari luar yang didatangkan oleh pemerintah daerah. Kedua ketidakadilan dalam mengakses program transmigrasi lokal. Perbandingan quota jumlah penduduk lokal dan jumlah penduduk dari luar sangat diskriminatif dan ditetapkan pemerintah daerah secara tidak transparan. Ketiga, ketidakadilan dalam penetapan program-program non irigasi di lahan irigasi Mbay Kiri. Pemerintah secara sepihak mengalihfungsikan lahan untuk irigasi dengan sejumlah program non irigasi seperti pemukiman transmigran, sawah garam, industri garam dan HGU kepada pihak ketiga. Kehadiran program-program non irigasi terkesan ada upaya meminggirkan dan mengabaikan eksistensi masyarakat lokal yang mendambakan kehadiran program irigasi. Fakta ketidakadilan yang menimpa masyarakat lokal selama puluhan tahun sebagaimana diuraikan di atas melahirkan kesadaran kolektif dalam memperjuangkan hak-haknya atas lahan irigasi dengan melakukan aksi protes dan perlawaan. Pembangunan irigasi Mbay Kiri merupakan pintu masuk yang digunakan masyarakat sebagai alat perjuangan untuk mencapai keadilan. Hal ini karena pembangunan tersebut dilakukan di atas lahan yang secara defacto dikuasai oleh masyarakat suku Towak sebagai korban ketidakadilan tetapi secara dejure eksistensinya tidak diakui oleh pemerintah.

(2)

159

Protes dan perlawanan dalam kasus ini dilakukan secara fluktuatif, ada yang berjuang secara sistematis strategis, tetapi ada juga yang berjuang secara spontan kerena desakan kebutuhan hidup. Ada tiga kategori aktor yang memiliki kepentingan dan dinamika ativitas yang berbeda dalam memperjuangkan keadilan. Aktor pertama adalah komunitas Makitonggung sebagai representasi masyarakat lokal. Komunitas ini berasal dari masyarakat suku Towak yang secara defacto selama puluhan tahun menempati wilayah irigasi Mbay Kiri dan merupakan masyarakat terkena dampak langsung baik dalam pembangunan irigasi Mbay Kiri maupun keidakadilan pada masa lalu. Kekuatan protes dan perlawanan komunitas ini terletak pada kolektifitas isu dan kepentingan komunitasnya sebagai korban ketidakadilan dalam penguasaan, pemanfaatan dan distribusi lahan.

Aktor berikutnya adalah pemangku ulayat Suku Towak yang memperjuangkan pengakuan eksistensi ulayat. Aktor ini adalah salah satu bagian dari komunitas Makitonggung. Selain memperjuangkan keadilan dalam kepemilikan lahan bagi komunitasnya, tetapi juga memperjuangkan eksistensi ulayat suku Towak yang secara dejure belum diakui sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Aktor ini beraviliasi secara tidak langsung dengan kepentingan politik praktis. Selain berkepentingan terhadap pengakuan eksistensi ulayat, tetapi memperjuangkan pengakuan eksistensi politik. Momen pemilu legislatif dan pemilukada cenderung digunakan dalam memainkan isu tersebut sebagai komoditas ke tingkat elit maupun ke tingkat masyarakat lokal.

Aktor ketiga adalah aktor elit yang bertarung di atas lahan irigasi. Rivalitas elit baik pada tingkat masyarakat lokal maupun pada tingkat pemerintah daerah dalam pertarungan Pilkada langsung pada tahun 2008 dan pemilu legislatif 2009 dan 2014, ikut masuk ke lahan irigasi. Rivalitas kepentingan yang bertarung di lahan tersebut adalah kepentingan ekonomi politik versus kepentingan sosial ekonomi. Elit lokal

(3)

160

mempertahankan kepentingan sosial ekonomi dengan target politik, sedangkan elit rezim mempertahankan kepentingan ekonomi politik yang dikemas dengan dalil kepentingan sosial.

Fenomena protes dan perlawanan beberapa aktor sebagaimana diuraikan di atas menunjukan bahwa dibalik aksi protes dan perlawanan tersebut terdapat deretan dinamika konflik yang dinamis. Menurut Dahrendrorf, dinamika konflik yang terjadi dalam penelitian ini adalah konflik kepentingan antara pihak yang memiliki otoritas dan kekuasaan yakni pemerintah daerah dan pihak yang dikuasai yakni masyarakat lokal. Konflik kepentingan cenderung terjadi dalam dua pihak yang berbeda otoritas dan kekuasaannya terutama menyangkut akses dan kontrol terhadap lahan irigasi. Dinamika konflik tersebut adalah konflik kepentingan yang bersifat vertikal dan berpotensi pada konflik horisontal. Konflik yang awalnya bersifat laten karena kemasan kepentingan laten, belakangan berkembang menjadi konflik manifest karena kepentingan masing-masing pihak semakin terbuka. Konflik yang terjadi dalam kasus ini adalah konflik kepentingan vertikal antara masyarakat lokal dan pemerintah daerah yang dikuasai oleh rezim dari kawasan masyarakat di wilayah lain. Konflik vertikal terjadi karena penguasaan dan distribusi lahan yang diatur oleh pemerintah pada masa lalu sarat dengan nuansa nepotisme, kolusi dan kepentingan politik. Konflik ini disebabkan oleh ketidakadilan dalam mengakses sumber daya ekonomi. Eskalasi konflik vertikal tersebut berpotensi pada konflik horizontal antara masyarakat yang memiliki lahan yang luas dengan masyarakat yang tidak memiliki lahan. Jika tidak ditangani secara bijak maka konflik horisontal akan segera meletus.

Konflik yang bersifat laten pada masa lalu, berkembang menjadi konflik manifes. Konflik terbuka tidak saja terjadi antara masyarakat dengan pemerintah daerah, tetapi akan berkembang di antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang lainnya.

(4)

161

Kepentingan masing-masing pihak akan dinyatakan semakin terbuka. Selain karena alasan demokratisasi, tetapi juga arena tekanan dan himpitan ekonomi sehingga masyarakat lokal akan berhadapan secara langsung dan terbuka dengan pihak yang dianggap telah bertindak tidak adil terhadap kelompoknya.

Dinamika konflik berikutnya adalah adanya aroma konflik kepentingan dari kepentingan sosial ekonomi ke kepentingan ekonomi politik. Konflik ini dipicu oleh cara pandang dan kepentingan yang berbeda terhadap lahan irigasi. Masyarakat melihat lahan irigasi sebagai basis sumber daya sosial dan ekonomi yang memiliki nilai-nilai sosial dan ekonomi yang menghidupkan masyarakat, sehingga harus dipertahankan dan diperjuangkan jika mengalami ketidakadilan dalam hal kepemilikan dan penguasaan. Dalam perkembangan selanjutnya, lahan irigasi bergeser menjadi sumber daya ekonomi sekaligus basis sumber daya politik. Pertarungan antara elit pada tingkat masyarakat dan elit pada tingkat pemerintah memanfaatkan lahan irigasi untuk menunjukkan eksistensi pihaknya masng-masing. Pengembangan program non irigasi, diskriminatif dan meminggirkan masyarakat lokal di lahan irigasi mau menunjukkan bahwa pemerintah memiliki otorotas yang patut diakui oleh masyarakat lokal. Sebaliknya upaya menghadang mega proyek milyaran rupiah menunjukkan eksistensi politik dan ekonomi elit lokal yang patut diperhitungkan. Dinamika ini berbuntut panjang, karena masing-masing pihak tidak saling mengakui dan menghargai satu dengan yang lainnya. Korbannya adalah masyarakat kecil baik dari tingkat masyarakat lokal maupun masyarakat yang didatangkan pemerintah dalam program transmigrasi lokal, tidak dapat menikmati manfaat dari pembangunan irigasi dan mendapat keadilan secara pasti.

(5)

162 B. Saran

Dinamika konflik yang terjadi dibalik aksi protes dan perlawanan masyarakat lokal dalam pembangunan saluran irigasi Mbay Kiri telah berdampak pada rusaknya tatanan sosial ekonomi bahkan tananan politik baik pada tingkat masyarakat lokal maupun pada tingkat pemerintah daerah. Distrust atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menguat. Disharmony dan disintegrasi di antara masyarakat semakin menggejala. Pemekaran Kabupaten Nagekeo yang diharapkan mampu membawa kesejahteraan, good governance dan menguatnya integrasi sosial bagi masyarakat ternyata semakin jauh dari harapan. Pembangunan menuju cita-cita kesejahteraan tersebut semakin dicemari oleh kepentingan-kepentingan terselubung para pihak dan dihadang oleh sejumlah persoalan.

Konflik yang berkepanjangan berimplikasi buruk pada roda pemerintahan dan rusaknya pranata-pranata sosial ekonomi politik yang ada di dalamnya. Untuk itu perlu segera ditempuh langkah-langkah rekonsoliasi dan konsolidasi sejumlah potensi sosial, ekonomi maupun politik yang ada di tengah masyarakat. Pemerintah daerah harus berani menggunakan pendekatan sosial budaya sebagai kekuatan pembangunan. Pendekatan formalistik dan birokratis hanya akan menafikan peran dan manfaat dari potensi sosial budaya yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat. Pendekatan sosial budaya menempatkan institusi dan mekanisme sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagai instrumen alternatif penyelesaiaan konflik lahan/tanah atau agraria.

Rekonsiliasi merupakan proses rujuk dan pemulihan hubungan para pihak yang berkonfik. Melalui rekonsiliasi akan dilakukan berbagai upaya untuk menangani peristiwa masa lalu dengan menata dan merancang masa depan (Limbong, 2012: 337-343). Dengan demikian maka rekonsiliasi tentu akan menggunakan potensi sosial budaya yang ada pada

(6)

163

masyarakat lokal. Terbukti bahwa pendekatan sosial budaya yang coba ditawarkan kepemimpinan pemerintah periode 2013 – 2018 menuai respon yang sangat positif. Masyarakat lokal di Kelurahan Mbay II sangat antusias menerima kehadiran Bupati dan bersedia untuk berdiskusi menyelesaikan persoalan konflik lahan irigasi yang diwariskan pemerintah periode sebelumnya.

Menangani peristiwa masa lalu yang dimaksudkan dalam agenda rekonsiliasi adalah pemerintah daerah diharapkan mau duduk bersama masyarakat untuk melihat kembali program-program dan kebijakan masa lalu terutama berkaitan dengan distribusi, penguasaan dan pemanafatan lahan irigasi baik di Mbay Kanan Maupun Mbay Kiri. Masyarakat lokal juga diharapkan dapat melihat kembali sejumlah tuntutan yang dialamatkan kepada pemerintah dan terlampau tinggi sehingga sulit untuk dicapai. Selanjutnya keduanya duduk bersama membenahi, menata dan merancang kebijakan dan program ideal yang dianggap tidak merugikan para pihak.

Dalam penanganan kasus ini, pemerintah sama sekali belum memaksimalkan peran tokoh agama sebagai institusi sosial yang berpengaruh dan mempersatukan masyarakat lokal. Para imam dan ulama dalam agama Katolik maupun Islam masih sangat berperan dan sangat didengar oleh para umatnya. Pemerintah seharusnya dapat menggandeng para imam dan ulama untuk melakukan konsolidasi potensi yang ada dengan membentuk forum multi pihak untuk optimalisasi penyelesaian konflik di lahan irigasi. Forum multipihak ini beranggotakan semua komponen masyarakat dari berbagai unsur terutama masyarakat lokal. Melalui forum ini dirumuskan komitmen sikap para pihak terhadap agenda penyelesaian konflik. Semua kepentingan ditanggalkan, kecuali kepentingan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan dan kebaikan bersama.

(7)

164

Melalui forum multipihak tersirat pengakuan terhadap eksistensi para pihak, terutama pihak yang secara dejure maupun secara defaco telah ada dan menempati wilayah tersebut. Pengakuan tersebut harus diikuti dengan pengakuan hak dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam mendukung dan menciptakan pembangunan Kabupaten Nagekeo yang berkeadilan, bermartabat dan berkelanjutan.

Referensi

Dokumen terkait

Penyelidik mengharapkan agar hasil daripada kajian yang dijalankan ini akan dapat memberikan manfaat serta menjadi suatu bahan ilmiah untuk

Dalam rangka mengisi episode pada Produksi Acara Televisi “Pelangi Jogja” yang tayang di RBTV Yogyakarta setiap hari Jum’at Pukul 15.00 WIB , kami tim “Pelangi Jogja”

Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu.Riba sering juga diterjemahkan

“ANALISIS HUKUM ATAS PERBUATAN OKNUM NOTARIS YANG MENERIMA PENITIPAN PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas yaitu elemen modal kerja yang terdiri dari Perputaran Kas, Perputaran

Dede Zakiyah, 2017, Perilaku Lentur Pelat Beton Bertulang Dua Arah Yang Ditambal Dengan Upr-Based Patch Repair Mortar Dengan Variasi Letak Penambalan, Tugas Akhir Program

(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai

Bagaimana proses penegakan hukum Indonesia dalam perspektif filsafat hukum yang ditinjau dari tujuan hukum dengan studi kasus Lanjar Suryanto..