• Tidak ada hasil yang ditemukan

T SEJ 1303157 Chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T SEJ 1303157 Chapter1"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, fenomena sosial masyarakat Indonesia mengalami sebuah perilaku negatif, seperti; kekerasan, intoleransi, meningkatnya korupsi, penggunaan bahasa buruk, penurunan etos kerja, lemahnya rasa tanggung jawab, ketidak jujuran, melemahnya kohesi sosial. Probematika kebangsaan tersebut diyakini karena terjadi degradasi moral dalam karakter individu dan masyarakat Indonesia. Lickona (2013, hlm. 18) menyatakan bahwa masyarakat kini banyak yang berpandangan individualisme, mementingkan egoisme, berperilaku menyimpang dari sistem yang telah berlaku. Sehingga ketika ada seseorang yang tidak mengikuti perilaku buruk, dirinya merasa rugi. Fromm (1995, hlm. xi) melihat kondisi ini merupakan lingkungan masyarakat yang tidak sehat (unsane society).

Ironisnya, berbagai macam permasalah dalam masyarakat ini merambah pada generasi muda, dalam hal ini peserta didik di tingkat SMA. Terdapatnya fakta di atas mengakibatkan munculnya perilaku non-edukatif seperti; kecurangan dalam Ujian Nasional, ijazah palsu, rendahnya hormat kepada guru, tidak menghormati sesama, tawuran antar pelajar, bahkan yang lebih ekstrem yaitu kriminalitas, seks bebas, dan penggunaan narkoba. Kondisi peserta didik itu menunjukkan sedang mengalami degradasi moral. Warsono (dalam Wati, 2012, hlm. 47-48) mengungkapkan degradasi moral generasi muda itu merupakan kegagapan dalam euforia modernisasi dan globalisasi yang muaranya karena terjadi krisis jati diri. Senada dengan hal tersebut, Fromm (2008, hlm. 284) memandang generasi muda dalam menghadapi arus modernisasi, cenderung mengadopsi pola mode of having,

(2)

Sementara itu, Tilaar (2012, hlm. 216) memandang identitas generasi muda dalam modernisme sebagai identitas yang selalu berubah (relativ). Tilaar mengilustrasikan, misalkan seorang murid SMA ketika di sekolah ia seorang peserta didik, namun ketika dijalan menjadi seorang pembalap liar, pengguna narkoba, akan tetapi bisa menjadi soleh jika berada di masjid. Krisis ini disinyalir karena generasi muda telah meninggalkan nilai-nilai Pancasila, dan terjebak pada nilai-nilai materialis, pragmatis, dan hedonis.

Mengindentifikasi problem ini, Pemerintah Indonesia menguraikan beberapa permasalahan bangsa ini ke dalam lima poin; (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi Bangsa, (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila, (3) bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, (5) ancaman disintegrasi bangsa, (6) melemahnya kemandirian bangsa (Pemerintah Republik Indonesia, 2010, hlm. 19).

Hal tersebut di atas membuat pemerintah merespons cepat dengan mengupayakan solusi penyelesaian. Salah satunya melalui pendidikan karakter. Visi itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025. Merujuk pasal tiga Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional berbunyi; “pendidikan nasional

berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang

(3)

karakter bangsa yang harus dilestarikan. Pada kerangka itu, Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.

Begitu strategisnya pendidikan karakter, menempatkannya sebagai tulang punggung dalam mendukung perwujudan cita-cita yang diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Ditargetkan, pendidikan karakter dapat menjadi sarana penyembuh bagi “degradasi moral” generasi muda, sekaligus menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat. Salah satu upaya menjalankan pendidikan karakter berada di institusi pendidikan atau sekolah.

Pendidikan karakter penting diterapkan dalam sekolah, sebab memiliki peran dan fungsi yang penting sebagai pusat pembudayaan dan pengembangan. Sekolah dapat menjadi sebuah ruang lingkup sasaran pembangunan karakter bangsa melalui; (a) pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran, (b) pengembangan budaya satuan pendidikan, (c) pelaksanaan kegiatan kokurikuler, dan ekstrakulikuler, serta (d) pembiasaan perilaku dalam kehidupan satuan pendidikan (Pemerintah Republik Indonesia, 2010, hlm. 5). Lebih jauh lagi, pendidikan karakter di tingkat sekolah merupakan langkah preventif, yang mempunyai daya tangkal kuat bagi masuknya nilai-nilai negatif pada perilaku generasi muda sejak dini. Sehingga memperkecil rusaknya nilai karakter bangsa. Dapat dipastikan pembangunan karakter bangsa tanpa dilakukan pada tingkat sekolah, tidak akan berjalan efektif.

(4)

bangga terhadap bangsa dan negara. Pokok bahasan mata pelajaran sejarah disajikan meliputi nilai-nilai kebangsaan yang wajib melekat pada diri peserta didik. Potensi berkembangnya pendidikan karakter dalam mata pelajaran sejarah sangatlah efektif.

Akan tetapi, sejauh ini proses belajar mengajar sejarah masih kurang mampu membangun watak peserta didik. Pembelajaran sejarah masih terkungkung dalam bentuk hafalan yang banyak menekankan pada “chalk and talk” yang sangat lemah mendorong keterlibatan murid secara aktif, sehingga

pelajaran sejarah menjadi membosankan dan sulit dimengerti. Menurut Partington (dalam Widja, 1991, hlm. 92) materi sejarah terlalu menampilkan tingkah laku orang dewasa yang notabene jauh dari jangkauan pengalaman siswa, yang artinya ialah berpusat pada guru (teacher centered). Padahal dalam pembelajaran mutakhir, proses belajar mengajar seharusnya berorientasi pada siswa sebagai subyek (student centered).

Dalam mengoptimalkan mata pelajaran sejarah ketika pembelajaran, dapat dimulai dari peristiwa yang paling dekat dengan lingkungan peserta didik. Seperti yang diungkapkan Hasan (2012, hlm. 89) bahwa mata pelajaran sejarah harus dilakukan sebuah pemilihan (seleksi), utamanya peristiwa dilakukan dari sini lingkungan terdekat untuk memberi kesadaran kepada peserta didik tentang bangsa, nilai-nilai yang diperjuangkan bangsa, semangat persatuan dengan berbagai tantangannya.

(5)

Seperti yang telah diungkap sebelumnya, dalam mengoptimalkan mata pelajaran sejarah ketika pembelajaran, dapat dimulai dari peristiwa yang paling dekat dengan lingkungan peserta didik, SMA Angkasa Sulaiman memiliki lingkungan terdekat dengan kawasan militer Landasan Udara Sulaiman. Hal tersebut merupakan modal dasar yang potensial untuk memberi kesadaran kepada peserta didik tentang bangsa, nilai-nilai yang diperjuangkan bangsa. Potensi ini ialah terdapat personil militer dan sipil dalam sebuah sekolah, yakni Kepala Sekolah dan Guru Sejarah sekaligus Wakasek Kesiswaan, dan staff Wakasek Kesiswaan. Para anggota militer ini masih mempertahankan identitas militernya seperti seragam, pangkat, termasuk cara penghormatan, dan lain-lain. Dari sini terdapat perpaduan antara pembelajaran sejarah dengan lingkungan militer.

Ciri khas ini merupakan keunikan SMA Angkasa Sulaiman. Keunikan ini pada gilirannya merepresentasikan sebuah budaya sekolah (school culture). Deal dan Peterson (dalam Wagiran, 2011, hlm. 4) mengatakan bahwa ”budaya sekolah” (school culture) adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Dalam tinjauan sosiologi-pendidikan, budaya sekolah tercipta dari proses interaksi siswa, guru, kepala sekolah, karyawan sekolah dan orang tua/masyarakat yang bekerjasama dalam menciptakan suasana sekolah sedemikian rupa. Senada dengan hal tersebut, Saripudin (2010, hlm. 136) mengemukakan peraturan-peraturan dan pola interaksi sekolah yang bersifat formal maupun tidak formal menimbulkan “iklim sekolah” (school climate)

yang memperlihatkan suasana umum yang membedakan antara satu sekolah dengan sekolah lain. Adanya anggota militer dan sipil dalam sekolah ini merupakan keniscayaan interaksi. Secara cermat Hinde (2002, hlm. 3) menjelaskan mengenai efek budaya sekolah ...”the culture of a school can be

a positive influence on learning or it can seriously inhibit the functioning of

(6)

kepentingan praktis, istilah yang digunakan dalam penelitian ini ialah budaya sekolah (school culture).

Secara formal, upaya menciptakan budaya sekolah pada SMA Angkasa Sulaiman dapat dilihat dari visinya, yakni; “Mewujudkan SMA Angkasa Lanud Sulaiman Menjadi Sekolah Standar Nasional Yang Unggul

Dalam Prestasi, Kedisiplinan Dengan Menjunjung Nilai Budaya Bangsa”. Dari visi tersebut terlihat bahwa SMA Angkasa Sulaiman berorientasi pada empat aspek; (1) kemajuan intstitusi, (2) kepatuhan terhadapaturan (kedisiplinan), dan (3) penghormatan terhadap masa lalu (menjunjung nilai budaya bangsa). Jika dikerucutkan dari tiga aspek ini, terdapat dua aspek yang cukup berkaitan erat dengan karakter, yakni kepatuhan terhadap aturan dan penghormatan terhadap masa lalu. Merujuk pada visinya, terbuka kemungkinkan nilai-nilai karakter dari delapan belas nilai karakter menurut Kemendiknas.

Selain itu, pendidikan karakter dikembangkan dari kurikulum pendidikan yang berbasis karakter, artinya kurikulum itu sendiri memiliki karakter. Saat ini pemerintah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tahun 2013 atau yang lazim disebut “Kurikulum 2013”. SMA Angkasa Sulaiman menjadi salah satu sekolah sasaran Kurikulum 2013 yang telah menerapkan selama tiga semester, artinya tetap melanjutkan Kurikulum 2013 di tengah adanya Surat Edaran untuk penghentian. Skema mata pelajaran sejarah berupa kelompok mata pelajaran wajib dan kelompok mata pelajaran peminatan. Di samping itu, pengembangan pendidikan karakter diupayakan melalui pembiasaan (habituasi) kegiatan keseharian sekolah, melalui ketrakulikuler dan kokurikuler.

(7)

Mengenai militeristik di lingkungan sipil, Setyanto dan Loisa (2012, hlm. 8) mengatakan bahwa sebuah atmosfer militer yang berada di domain sipil disebut kondisi militeristik. Proses intrakulikuler, kokurikuler, dan ekstrakulikuler pada SMA Angkasa Sulaiman memang acap kali terpengaruhi oleh kondisi militeristik. Terdapat sebuah ketaatan, dan cara mencapainya dengan cara doktrin dalam sekolah ini (Huntington, 2003, hlm. 81). Hal ini merupakan kondisi yang dilematis dalam rangka pengembangan pendidikan karakter, satu sisi merupakan suasana efektif karena penanaman nilai-nilai lebih mudah melalui pola doktrinasi. Di sisi lain, bertolak belakang dengan paradigma belajar mutakhir yang melarang adanya tekanan doktrinasi.

Atas dasar pemikiran di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian yang mengekplorasi antara pendidikan karakter, pembelajaran sejarah, dan sekolah di lingkungan militer. Oleh karena itu, peneliti memberi judul penelitian ini ialah: Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Sejarah Pada Sekolah Lingkungan Militer (Studi Kasus di SMA Angkasa Landasan

Udara Sulaiman Kabupaten Bandung).

1.2Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah “bagaimana pengembangan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah pada SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung ?. Untuk mempertajam penelitian, disusun pertanyaan penelitian secara rinci, yakni:

1. Bagaimana konsep pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung ?

2. Bagaimana proses pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung ?

3. Bagaimana hasil pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung ?

(8)

5. Bagaimana keunggulan dan kelemahan pendidikan karakter di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung ?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan umum penelitian ialah mengetahui deskripsi pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di sekolah lingkungan militer, yaitu SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung. Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah;

1. Mendeskripsikan tentang konsep pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung.

2. Mendeskripsikan tentang proses pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung.

3. Mendeskripsikan hasil-hasil pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung.

4. Mendeskripsikan tanggapan siswa mengenai pendidikan karakter di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung.

5. Menganalisis keunggulan dan kelemahan pendidikan karakter di SMA Angkasa Lanud Sulaiman Kabupaten Bandung

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menberikan manfaat bagi peneliti secara pribadi, juga bagi pihak lain, yakni:

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan penelitian mengenai pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah, khususnya di sekolah yang memiliki kekhasan dalam budaya sekolah. 2. Secara praktis, temuan-temuan dalam penelitian ini dapat digunakan

(9)

konteks Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2013, sehingga memberikan kontribusi terhadap tujuan sekolah

1.5Sistematika Penulisan

Bab I membahas pendahuluan. Bab ini menguraikan kerangka pemikiran yang menggambarkan keresahan peneliti tentang permasalahan yang muncul pada pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di sekolah lingkungan militer. Secara rinci akan dituangkan dalam latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan paradigma penelitian.

Bab II membahas tinjauan pustaka. Bab ini mencoba menguraikan tentang berbagai buku dan hasil penelitian terdahulu dalam memahami berbagai literatur tentang pendidikan karakter, pembelajaran sẹjarah, budaya sekolah, mulai dari konsep teori yang digunakan sampai pembelajaran yang digunakan.

Bab III membahas metode penelitian. Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini, yaitu pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Peneliti akan melakukan pengamatan secara langsung dalam proses penelitian di lapangan di SMA Lanud Sulaiman. Selain itu, peneliti akan melakukan analisis dokumentasi berupa hasil yang ditemukan di lapangan yang sesuai pada rumusan penelitian yang diharapkan.

Bab IV mengenai hasil dan pembahasan penelitian. Bab ini menyajikan hasil pengumpulan data-data di lapangan. Kemudian pembahasan terhadap hasil temuan data di lapangan. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus, maka pembahasan hasil temuan berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan penelitian atas landasan teori yang digunakan dalam Bab II.

(10)

Lanud Sulaiman, diantaranya dalam proses pembelajaran sẹjarah, hasil pendidikan karakter, tanggapan siswa, dan keunggulan serta kelemahannya. Bab ini juga memuat rekomendasi yang ditunjukkan kepada guru, sekolah, pembuat kebijakan, pengguna penelitian, dan penelitian dengan tema ini selanjutnya.

1.6Paradigma Penelitian

Gambar 1.1 Paradigma Penelitian

Peneliti

Masalah Karakter Bangsa

Pendidikan Karakter Dalam

Pembelajaran Sejarah Pada Sekolah

Lingkungan Militer

Nilai-nilai Karakter Bangsa:

Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah

Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli

Lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung Jawab

Pengumpulan Data

Indikator Karakter Bangsa

Kesimpulan

Gambar

Gambar 1.1 Paradigma Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

108 sejarah tidak hanya mengenai tanggal, tokoh sejarah, maupun peristiwa tetapi juga ada manfaat, dampak negatif, dampak positif, hingga solusi untuk peristiwa

“ mampu memahami sejarah, dalam arti: (a) memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang peristiwa; (b) memiliki kemampuan sejarah kritis yang dapat digunakan untuk

sebagai Upaya untuk Meningkatkan Kesadaran Sejarah……… 76 4.1.5 Wujud Kesadaran Sejarah Siswa melalui Pembelajaran Ekopedagogik pada Mata Pelajaran Sejarah untuk

Pembelajaran sejarah berbasis multikultural dalam mengembangkan nilai-nilai nasionalisme siswa etnik TionghoaA. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan kurangnya pemahaman siswa terhadap mata pelajaran sejarah ini dapat diketahui ketika siswa diminta kembali

Hubungan antara Latar Belakang Pendidikan Guru Sejarah dengan Hasil Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Sejarah se-Jawa Barat ... Hubungan antara Lama Mengajar Guru Sejarah dengan

ALAT PENILAIAN HASIL BELAJAR MODEL SOLO TAXONOMY UNTUK MENGUKUR KEMAMPUAN HIGH ORDER THINKING SISWA KELAS X SEKOLAH MENENGAH ATAS DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH.. Universitas

Pembelajaran Sejarah tidak hanya menonjolkan atau mengagungkan masa lalu, pembelajaran Sejarah harus dapat memasukkan semua kelompok masyarakat sebagai tokoh sejarah,