• Tidak ada hasil yang ditemukan

t mat 0808065 chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "t mat 0808065 chapter1"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan proses globalisasi, terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan sekolah dan perguruan tinggi untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat (Lie, 2004). Keterampilan-keterampilan tersebut tidak dapat ditularkan begitu saja tanpa adanya proses pembelajaran di sekolah.

Proses pembelajaran merupakan suatu bentuk interaksi edukatif, yakni interaksi yang bernilai pendidikan yang dengan sadar meletakkan tujuan untuk mengubah tingkah laku dan perbuatan seseorang. Interaksi edukatif harus menggambarkan hubungan aktif dua arah antara guru dan anak didik dengan sejumlah pengetahuan sebagai mediumnya. Dalam interaksi edukatif unsur guru dan anak didik harus aktif, tidak mungkin terjadi proses interaksi edukatif bila hanya satu unsur yang aktif. Aktif dalam arti sikap, mental, dan perbuatan (Djamarah, 2000).

(2)

menyatakan bahwa siswa belajar dengan cara mendengar dan menonton guru melakukan matematik, guru sering mencotohkan kepada siswa bagaimana menyelesaikan soal dan memberikan soal latihan. Sejalan dengan hal tersebut, Ruseffendi (Ansari, 2003) menyatakan bahwa bagian terbesar dari matematika yang dipelajari siswa di sekolah tidak diperoleh melalui eksplorasi matematika, tetapi melalui pemberitahuan. Pembelajaran yang demikian membuat siswa kurang aktif karena kurang memberi peluang kepada siswa untuk lebih banyak berinteraksi dengan sesama dan dapat membuat siswa memandang matematika sebagai suatu kumpulan aturan dan latihan yang dapat berujung pada rasa bosan dan bingung saat diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan.

Hutagaol (2007) menyatakan bahwa terdapatnya permasalahan dalam

penyampaian materi pembelajaran matematika, yaitu kurang berkembangnya

kemampuan representasi siswa, khususnya pada siswa SMP, siswa tidak pernah

diberi kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri. Lebih jauh

Hudiono (2005) menyatakan bahwa siswa yang mengerjakan soal matematika

yang berkaitan dengan kemampuan representasi, hanya sebagian kecil siswa dapat

menjawab benar, dan sebagian besar lainnya lemah dalam memanfaatkan

kemampuan representasi yang dimilikinya khususnya representasi visual.

Sullivan (1992) menyatakan bahwa peran dan tugas guru sekarang adalah

memberi kesempatan belajar maksimal pada siswa antara lain dengan jalan

melibatkan siswa secara aktif dalam eksplorasi matematika serta memberi

kebebasan berkomunikasi untuk menjelaskan idenya dan mendengar ide

(3)

bahwa tugas guru adalah: (1) melibatkan siswa dalam setiap tugas matematika; (2)

mengatur aktivitas intelektual siswa dalam kelas seperti diskusi dan komunikasi;

serta (3) membantu siswa memahami ide matematika dan memonitor pemahaman

mereka.

Untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika dan berpikir secara

matematis seseorang perlu merepresentasikan ide-ide tersebut dalam cara tertentu.

Hal tersebut didukung oleh Hiebert (Dewanto, 2007) yang menyatakan bahwa

setiap kali mengkomunikasikan gagasan-gagasan matematika, gagasan tersebut

perlu disajikan dengan suatu cara tertentu. Hal ini sangat penting agar komunikasi

tersebut dapat berlangsung efektif. Komunikasi dalam matematika memerlukan

representasi eksternal yang dapat berupa simbol tertulis, gambar, ataupun objek

fisik. Ide-ide dalam matematika umumnya dapat direpresentasikan dengan satu

atau beberapa jenis representasi.

(4)

permasalahan menjadi sulit dipecahkan jika penggunaan representasinya keliru. Penggunaan model matematika yang sesuai sebagai suatu bentuk representasi akan membantu pemahaman konsep untuk mengemukakan ide/gagasan matematika siswa.

Selain kemampuan respresentasi, terdapat aspek psikologis yang turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Aspek psikologis tersebut adalah self-efficacy. Wilson & Janes (2008) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan prestasi matematika seseorang. Banyak peneliti melaporkan bahwa self-efficacy siswa berkorelasi dengan konstruksi motivasi, kinerja dan prestasi siswa. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Lane & Lane (2001) yang menunjukkan bahwa prediksi self-efficacy mengatasi tuntutan intelektual dari program akademik sebesar 11,5%. Penelitian ini menyarankan bahwa self-efficacy memiliki beberapa manfaat dalam program akademik. Namun, berdasarkan pengetahuan penulis, di Indonesia belum banyak peneliti yang memperhatikan self-efficacy tentang kemampuan matematis tertentu dalam bidang akademik. Padahal, ketika bermatematika seseorang melakukan aktivitas berpikir dan pada waktu berpikir, aku atau pribadi seseorang memegang peranan penting dimana aku bukanlah faktor yang pasif melainkan faktor yang mengemudikan perbuatan sadar (Aswald Kulpe dalam Hendriana, 2009).

Self-efficacy terkait dengan penilaian seseorang akan kemampuan dirinya

dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penilaian kemampuan diri yang

(5)

menyatakan bahwa perasaan positif yang tepat tentang self-efficacy dapat

mempertinggi prestasi, meyakini kemampuan, mengembangkan motivasi internal,

dan memungkinkan siswa untuk meraih tujuan yang menantang. Perasaan negatif

tentang self-efficacy dapat menyebabkan siswa menghindari tantangan, melakukan

sesuatu dengan lemah, fokus pada defisiensi dan hambatan, dan mempersiapkan

diri untuk outcomes yang kurang baik. Seseorang yang salah menilai

kemampuannya akan bertindak dalam suatu cara tertentu yang akan merugikan

dirinya. Seseorang yang terlalu tinggi menilai kemampuannya akan melakukan

kegiatan yang tidak dapat diraih yang dapat berdampak pada kesulitan dan

kegagalan, sebaliknya seseorang yang menilai rendah kemampuannya akan

membatasi diri dari pengalaman yang menguntungkan.

Self-efficacy memiliki pengaruh dalam pemilihan perilaku, besar usaha dan

ketekunan, serta pola berpikir dan reaksi emosional. Penilaian self-efficacy mendorong individu menghindari situasi yang diyakini melampaui kemampuannya atau melakukan kegiatan yang diperkirakan dapat diatasinya. Dalam memecahkan masalah yang sulit, individu yang mempunyai keraguan tentang kemampuannya akan mengurangi usahanya, bahkan cenderung akan menyerah. Individu yang mempunyai efficacy tinggi menganggap kegagalan sebagai kurangnya usaha, sedangkan individu yang memiliki efficacy rendah menganggap kegagalan berasal dari kurangnya kemampuan.

(6)

efficacy seseorang. Adanya model efficacy, informasi penilaian serta

pembuktian efficacy, menjadikan teman sebaya menjadi agen utama dalam pengembangan dan validasi self-efficacy. Peranan teman sebaya dalam memperbaiki diri seseorang dapat dilihat dari dua hal yakni pengalaman pribadi (life experiencing) dan duplicating (mencontoh dan mempelajari orang lain).

Model efficacy teman sebaya dapat dihadirkan dalam pembelajaran dengan suasana belajar dan bekerja dalam kelompok kecil. Salah satu pembelajaran yang menuntut adanya interaksi siswa dalam kelompok adalah pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs). Pembelajaran MEAs merupakan pembelajaran yang

didasarkan pada situasi kehidupan nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model matematika sebagai solusi.

(7)

Sabandar (Hasanah, 2004) menyatakan bahwa munculnya suatu representasi tidaklah terjadi dengan sendirinya dalam situasi yang terisolasi dari situasi atau masalah. Oleh karena itu, pemunculan suatu representasi sesungguhnya dapat dipicu atau dirangsang dengan adanya situasi kontekstual, lebih disukai jika siswa akrab dengan situasi tersebut, dan memungkinkan siswa menggunakan pengetahuan yang diperolehnya secara informal maupun secara formal. Hal ini sejalan dengan prinsip realitas pembelajaran MEAs yang menyatakan bahwa skenario yang disajikan dalam MEAs sebaiknya realistis dan dapat terjadi dalam kehidupan siswa. Kenyataan merupakan komponen penting dalam MEAs. Menciptakan skenario realistis (berhubungan erat dengan siswa) dapat mencakup konsep abstrak matematika dan meningkatkan rasa tertarik siswa akan masalah. Masalah yang berbentuk word-problem, membutuhkan adanya interpretasi dan representasi dalam bentuk matematika. Proses interpretasi dan representasi ini penting karena memberikan kesempatan untuk melakukan koneksi antar ide-ide matematika terkait.

(8)

matematika baik (siswa pandai) terkorbankan. Ruseffendi (1991) juga menegaskan bahwa, matematika modern lebih baik untuk siswa pandai tetapi lebih jelek untuk siswa dengan kemampuan matematika lemah, sedangkan back to basic lebih baik untuk siswa dengan kemampuan matematika lemah.

Dengan memperhatikan uraian di atas, penulis berupaya mengungkapkan apakah pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) memberikan kontribusi terhadap kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa. Penelitian ini dirancang untuk melihat Pengaruh Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) terhadap Kemampuan Representasi Matematis dan Self-Efficacy Siswa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimanakah pengaruh pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs) terhadap kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa? Masalah ini disajikan lebih rinci menjadi:

1. Apakah kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis yang signifikan antara siswa kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok bawah pada siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs?

(9)

representasi matematis siswa?

4. Bagaimanakah self-efficacy siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 5. Bagaimanakah self-efficacy ditinjau dari setiap dimensi pada siswa yang

memperoleh pembelajaran MEAs dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?

6. Bagaimanakah gambaran self-efficacy siswa ditinjau dari tingkatan kemampuan siswa (kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mendeskripsikan:

1. Kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis antara siswa kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok bawah pada siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs.

3. Interaksi antara faktor pembelajaran yang diberikan dengan faktor kategori kemampuan siswa terkait dengan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa.

(10)

5. Self-efficacy ditinjau dari setiap dimensi pada siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

6. Gambaran self-efficacy siswa ditinjau dari tingkatan kemampuan siswa (kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah).

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan masukan yang berarti bagi peneliti, guru, dan siswa. Manfaat dan masukan tersebut antara lain:

1. Untuk Peneliti

Memberi informasi tentang kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs.

2. Untuk Guru

Memberi alternatif pembelajaran matematika yang dapat dikembangkan menjadi lebih baik sehingga dapat dijadikan salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan memberikan informasi tentang pentingnya kemampuan representasi matematis dan self-efficacy siswa. 3. Untuk Siswa

(11)

1.5 Definisi Operasional

1. Kemampuan representasi matematis

Kemampuan representasi matematis yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan cara yang digunakan seseorang untuk menyajikan gagasan matematika dalam melakukan komunikasi matematis yang meliputi penerjemahan masalah atau ide-ide matematis ke dalam interpretasi berupa gambar; ekspresi atau persamaan matematis; dan kata-kata.

2. Self-efficacy

Self-efficacy yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keyakinan

seseorang terhadap kemampuannya melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan soal yang melibatkan kemampuan representasi matematis dengan berhasil. Self-efficacy dalam penelitian ini diukur berdasarkan dimensi yang dinyatakan oleh Bandura yaitu dimensi magnitude/level, dimensi strength, dan dimensi generality.

3. Pembelajaran Model-Eliciting Activities (MEAs)

Pembelajaran MEAs merupakan pembelajaran yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata siswa, bekerja dalam kelompok kecil, dan menyajikan sebuah model matematis sebagai solusi.

(12)

5. Kemampuan siswa dalam penelitian ini dikategorikan menjadi kelompok atas, kelompok tengah dan kelompok bawah. Pengelompokan siswa didasarkan pada kemampuan matematika sebelumnya dengan ketentuan 27% siswa yang memiliki skor rerata kemampuan awal tertinggi termasuk siswa kelompok atas, 27% siswa yang memiliki skor rerata kemampuan awal terendah termasuk siswa kelompok bawah, dan sisanya termasuk siswa kelompok tengah.

6. Peningkatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang ditinjau berdasarkan gain ternormalisasi dari perolehan skor pretes dan postes siswa.

Gain ternormalisasi (g) =

Kategori gain ternormalisasi (g) menurut Hake (1999) adalah: g < 0,3 (rendah); 0,3 ≤ g < 0,7 (sedang); dan g 0,7 (tinggi).

1.6 Hipotesis Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian di atas, hipotesis penelitian ini adalah: 1. Kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

MEAs lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa kelompok atas, kelompok tengah, dan kelompok bawah pada siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs.

(13)

4. Self-efficacy siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs lebih baik daripada self-efficacy siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 5. Self-efficacy setiap dimensi siswa yang memperoleh pembelajaran MEAs

Referensi

Dokumen terkait

Agar media yang digunakan dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran dan berdampak positif pada hasil belajar, maka seorang guru harus melakukan pemilihan media

PENGADILAN AGAMA KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHAP II KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHAP II KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHAP II KOTA PADANGSIDIMPUAN TAHAP

6 Pre test dan post test Test Tertulis Memahami algoritma sequence, selection, repeatition, pemecahan, penggunaan variabel, operator logika dengan tepat dan

Dalam Penulisan ilmiah ini akan dibahas mengenai sistem penjualan kue pada Toko Tenda Kue bertujuan untuk membantu perusahaan dalam melaksanakan kegiatan penjualan, serta

BAB IV PERANAN KOLONEL SUKANDA BRATAMANGGALA DAN RADEN MAS SEWAKA DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI BANDUNG UTARA TAHUN 1945-1948 ……… 46. 4.1 Deskripsi Lokasi dan Masy

Perancangan sistem untuk proses aplikasi soal- jawab adalah pembuatan diagram kelas, diagram statechart, diagram aktivitas, diagram sequence, dan diagram kolaborasi

motivasi yang tinggi, baik dalam pelajaran matematika maupun.

dilakukan oleh penulis menyebutkan salah satu penyebab kenapa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat kebugaran jasmani dan angka kesakitan, karena guru yang sakit