• Tidak ada hasil yang ditemukan

: MAULANA ISHAK C

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ": MAULANA ISHAK C"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

LAJU EKSPLOITASI DAN VARIASI KERAGAAN

REPRODUKSI IKAN TETET BETINA Johnius belangerii

(Bleeker, 1853) PADA MUSIM BARAT (OKTOBER-MARET)

YANG DIDARATKAN DI PPI GEBANG KABUPATEN

CIREBON, JAWA BARAT

Oleh :

MAULANA ISHAK C24060847

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa usulan penelitian yang berjudul :

Laju Eksploitasi dan Variasi Keragaan Reproduksi Ikan Tetet Betina Johnius belangerii (Bleeker, 1853) pada Musim Barat (OKTOBER-MARET) yang Didaratkan di PPI Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Oktober

Maulana Ishak C24060847

(3)

RINGKASAN

Maulana Ishak. C24060847. Laju Eksploitasi dan Variasi Keragaan Reproduksi Ikan Tetet Betina Johnius belangerii (Bleeker, 1853) Pada Musim Barat (Oktober - Maret) yang Didaratkan di PPI Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Baarat. Dibawah bimbingan M. Mukhlis Kamal dan Yunizar Ernawati.

Ikan tetet merupakan ikan tangkapan sampingan yang banyak diolah sebagai ikan asin dengan wilayah pemasaran di daerah cirebon dan indramayu, walaupun demikian ikan ini diindikasi mengalamai tangkap lebih (overfishing) dikarenakan terjadi penurunan ukuran ikan yang tertangkap dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui laju eksploitasi dan variasi keragaan reproduksi ikan tetet (Johnius belangerii) sebagai masukan pengambilan kebijakan pengelolaan selanjutnya. Pengambilan contoh ikan dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Maret 2010. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ikan contoh diambil setiap hari selama musim barat (Oktober-Maret), dimana pengambilan ikan contoh sebanyak 3-5 ekor tiap harinya. Total ikan contoh yang diambil selama penelitian adalah 681 ekor untuk analisis hubungan panjang-berat dan 60 ekor untuk analisis aspek reproduksi, yang meliputi tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, faktor kondisi, fekunditas, dan diameter telur yang dianalisis di laboratorium Biologi Makro I. Selain itu dilakukan pula pengukuran panjang berat di pelabuhan pendaratan ikan Gebang dan analisis struktur histologis gonad ikan di laboratorium kesehatan ikan (BDP).

Ikan tetet merupakan ikan pelagis kecil yang mendiami perairan pantai sampai dengan daerah estuari, dimana daerah penangkapannya dilakukan di 100 m ke arah laut dari bibir pantai dengan menggunakan jaring rampus yang memiliki ukuran mata jaring 1-1,75 inch. Dari 681 ikan contoh yang tertangkap, ukuran berkisar antara 100-180 mm dengan sebaran terbanyak pada selang kelas 145-141 mm sebanyak 183 ekor, diikuti dengan selang kelas 142-148 mm sebanyak 155 ekor dan 149-155 mm sebanyak 151 ekor. Dilihat dari nilai pertumbuhan dimana pola pertumbuhan bersifat allometrik negatif memiliki koefisien pertumbuhan sebesar 0,72 dan laju mortalitas total sebesar 3,361, ikan tetet mengalami tingkat eksploitasi sebesar 50,73 %. Selain mati karena penangkapan ikan mengalami kematian secara alami dengan koefisien kematian alami sebesar 1,6557, kematian alamai pada ikan disebabkan oleh tekanan lingkungan maupun dikarenakan ikan telah sampai pada pertumbuhan maksimal.

Faktor kondisi yang menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi, ukuran selang kelas panjang antara 107-113 mm memperlihatkan nilai faktor kondisi terbesar dimana ikan pada ukuran ini dominan berada pada fase TKG II dimana energi dari makanan dominan digunakan untuk pertumbuhan sel somatik ikan, ikan akan terus tumbuh mpai ukuran dimana energi makanan dominan dimanfaatkan untuk kematangan gonad (TKG IV). Secara kuantitatif kematangan gonad ikan dinilai dengan menggunakan indeks kematangan gonad, IKG ikan tetet berkisar antara 3,41-9,55% dimana IKG tertinggi ditunjukan pada bulan Februari dan Maret. Dari ikan

(4)

bulan Maret yang mengindikasikan ikan pertama kali matang ginad pada ukuran 135-141 mm dan berada pada bulan Maret. Ikan yang sudah matang gonad tentu akan mengalami proses pemijahan dengan jumlah telur yang dihasilkan bergantung pada kesehatan populasi. Fekunditas adalah jumlah telur yang dapat dihasilkan oleh ikan betina. Dari hasil jumlah telur yang dihasilkan oleh 262 ian betina contoh yang memijah sebagai variabel independen dan panjang ikan yang melakukan pemijahan sebagai variabel dependen didapat sebuah persamaan fekunditas F = -0,001L+0,647 dengan nilai koefisien relasi (r) adalah 0,0062 dan koefisien determinasi (R) adalah 0,00004, sedangkan hubungan antara bobot ikan betina contoh dengan jumlah telur yang dihasilkan menunjukan persamaan F=0,00000008W+0,636. Nilai koefisien relasi yang sangat rendah menunjukan bahwa tidak ada hubungan anatar panjang dan bobot dengan fekunditas, padahal seharusnya kedua parameter ini berhubungan. Hal ini menunjukan bahwa ikan mengalami growth overfishing, dimana ikan-ikan berukuran besar sudah jarang ditemukan sehingga maksimum ikan yang dapat tertangkap oleh nelayan hanya 180 mm.

Oleh karena itu, rencana pengelolaan yang disarankan adalah dengan mengatur waktu penangkapan dan ukuran mata jaring yang digunakan , sehingga dapat memberi kesempatan ukuran ikan matang gonad (135-141 mm) diberi kesempatan untuk memijah terlebih dahulu pada bulan Maret. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah melakukan kajian mengenai kualitas air di perairan Gebang untuk mengetahui seberapa besar tekanan lingkungan terhadap sumberdaya (termasuk ikan tetet)

(5)

LAJU EKSPLOITASI DAN VARIASI KERAGAAN

REPRODUKSI IKAN TETET BETINA Johnius belangerii

(Bleeker, 1853) PADA MUSIM BARAT (OKTOBER-MARET)

YANG DIDARATKAN DI PPI GEBANG KABUPATEN

CIREBON, JAWA BARAT

Oleh :

MAULANA ISHAK C24060847

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

(6)

Judul Penelitian : Laju Eksploitasi dan Variasi Keragaan Reproduksi Ikan Tetet Betina (Johniusbelagerii C.V) Pada Musim Barat (Oktober-Maret) yang Didaratkan di Perairan Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Maulana Ishak NIM : C24060847

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc Dr. Ir. Yunizar Ernawati, Ms NIP. 19680914 199402 1 000 NIP. 19490617 197911 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP 19660728 199103 1 002

(7)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Skripsi ini berjudul

Laju Eksploitasi dan Variasi Temporal Keragaan Reproduksi Ikan Tetet Betina Johnius belangerii (Bleeker, 1985) Pada Musim Barat (Oktober-Maret) di PPI Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Februari 2010, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. selaku pembimbing pertama dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, Ms. selaku dosen pembimbing kedua serta Ir. Agustunus M Samosir, M.Phil. selaku Komisi Pendidikan S1 yang telah banyak memantu dalam pemberian bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, Maret 2012

(8)

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati,MS selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi, serta pemberi pencerahan mengenai masa depan perikanan dan kelautan republik Indonesia.

2. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan atas saran serta arahannya.

3. Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik atas arahan, motivasi, dan nasehat selama perkuliahan.

4. Seluruh staf Tata Usaha MSP serta Bapak Ruslan selaku staf Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I) yang telah membantu memperlancar proses penelitian serta penulisan skripsi ini.

5. Keluarga tercinta; Papa (Bapak Mulyadi), Mama (Ibu Prihartini), adik-adikku (Dini Trijayati, Nanjaya Fatra, dan Agung Surya Jaya) dan Rahmah Diah Aryawati atas do’a, motivasi, dan kasih sayangnya, serta para pembina yang banyak menginspirasiku. Prof. Dr. Ir. H. Rokhmin Dahuri, MS; Buya Nazri Adlani; Ustadz Hasan Rifa’i; Ustad M. Sabil Ra’un; Bang Agus.

6. Pejuang-pejuang PK KAMMI IPB, PD KAMMI Bogor, PW KAMMI Megapolitan, dan PP KAMMI yang banyak membentuk sikap dan mental pejuang.

7. Sahabat-sahabatku MSP 43 atas perhatian, motivasi, dan nasehatnya.

8. Saudara-saudara penghuni Pondok Al Izzah atas do’a kebersamaannya selama di IPB.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 28 Juni 1988 dari pasangan Bapak Mulyadi dan Ibu Prihartini. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh yaitu SDS Kresna Jakarta Timur. Penulis juga melanjutkan pendidikan formal di SLTPN 49 Kramat Jati, Jakarta Timur dan SMAN 9 Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur. Pada tahun 2006, penulis lulus seleksi masuk ke perguruan tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya perairan.

Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mulai dari Komisariat IPB hingga Pengurus Pusat KAMMI, serta aktif mengikuti berbagai organisasi massa seperti Al Ittihadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI). Selain itu, Penulis berkesempatan menjadi asisten mata kuliah Iktiologi (2008/2009) dan asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam (2009/2010)

Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Laju Eksploitasi dan Variasi Temporal Keragaan Reproduksi Ikan Tetet Betina Johnius belangerii (Bleeker, 1985) Pada Musim barat (Oktober-Maret) yang Didaratkan di PPI Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat”.

(10)

i

 

Halaman

DAFTAR ISI... ... i

DAFTAR TABEL ... ... iii

DAFTAR GAMBAR ... ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... ... v 1. PENDAHULUAN ... ... 1 1.1. Latar Belakang ... ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... ... 2 1.3. Tujuan ... 4 1.4. Manfaat ... ... ... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ... ... 5 2.1. Ikan Tetet ... ... 5

2.1.1 Klasifikasi dan ciri morfologi ... ... 5

2.1.2.Habitat ... ... 7

2.2..Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Indonesia ... ... 7

2.3. Aspek Pertumbuhan ... ... 9

2.3.1. Hubungan panjang-berat ... ... 9

2.3.2. Frekuensi panjang ... ... 9

2.3.3. Faktor kondisi ... ... 10

2.4. Aspek Reproduksi ... ... 10

2.4.1. Tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad ... ... 11

2.4.2.Fekunditas ... ... 12

2.4.3. Diameter telur ... ... 14

3. METODE PENELITIAN ... ... 15

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... ... 15

3.2 Penentuan Stasiun Pengambilan Ikan Contoh ... ... 16

3.3. Alat dan Bahan ... ... 16

3.4. Metode Kerja ... ... 16

3.4.1. Prosedur kerja di lapangan ... ... 16

3.4.1.1. Pengukuran panjang berat ... ... 17

3.4.1.2 Validasi berat ... ... 17

3.4.2. Prosedur kerja di laboratorium ... ... 18

3.4.2.1. Identifikasi ikan contoh ... ... 18

3.4.2.2. Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) ... ... 18

3.4.2.3. Penghitungan fekunditas ... ... 20

3.4.2.4. Pengukuran diameter telur ... ... 20

3.4.2.5. Analisis histologi gonad ... ... 20

3.5. Analisis Data ... ... 20

(11)

ii

 

3.5.2. Laju eksploitasi ... ... 21

3.5.3. Hubungan panjang berat ... ... 22

3.5.4. Faktor kondisi ... ... 23

3.5.5. Indeks kematangan gonad ... ... 23

3.5.6. Fekunditas ... ... 24

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... ... 25

4.1. Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) ... ... 25

4.2 Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tetet (Johnius belangerii) ... ... 28

4.3. Laju Eksploitasi... 30

4.4. Aspek Pertumbuhan Dan Reproduksi ... ... 31

4.4.1. Hubungan panjang berat ... ... 31

4.4.2. Faktor kondisi ... ... 32

4.4.3. Tingkat kematangan gonad (TKG) ... ... 34

4.4.4. Indeks kematangan gonad ikan tetet (Johnius belangerii) ... ... 38

4.4.5. Fekunditas ikan tetet (Johnius belangerii) ... ... 40

4.4.6. Diameter telur ... ... 41

4.5. Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tetet ... ... 42

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 44

5.1. Kesimpulan ... ... 44

5.2. Saran ... ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... ... 45

(12)

iii

 

Halaman

1 Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil di Indonesia……….. 8

2. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan...…...………. 18

(13)

iv

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir penelitian pengaruh tingkat eksploitasi terhadap

keragaa reproduktif ikan tetet (Johnius belangerii)... .. 3

2. ikan tetet (Johnius belangerii)……… 5

3. Peta lokasi penelitian... 15

4. Frekuensi ikan contoh yang tertangkap setiap bulannya... 25

5. Panjang rata-rata ikan yang tertangkap... 26

6. Berat rata-rata ikan yang tertangkap... 27

7. Sebaran frekuensi panjang ikan tetet (Johnius belangerii)... 28

8. Frekuensi TKG pada selang kelas panjang... 29

9. Sebaran ukuran panjang ikan tetet (Johnius belangerii) setiap bulan pengamatan 30

10. Hubungan panjang-berat ikan tetet (Johnius belangerii)... 32

11. Faktor kondisi ikan tetet (Jonius belangerii) berdasarkan selang kelas panjang... 33

12. Faktor kondisi ikan tetet (Johnius belangerii) berdasarkan bulan pengamatan... 34

13. Tingkat kematangan gonad ikan tetet (Johnius belangerii) pada tiap waktu Pengambilan data ... ... 35

14. Tingkat kematangan gonad ikan tetet (Johnius belangerii) berdasarkan selang kelas panjang total... 36

15. Tingkat kematangan gonad ikan tetet betina... 37

16. Indeks kematangan gonad ikan tetet (Johnius belangerii) setiap pengambilan data 38

17. Indeks kematangan gonad ikan tetet (Johnius belangerii) berdasarkan selang panjang... 39

18. Sebaran fekunditas ikan tetet (Johnius belangerii) berdasarkan bulan Pengamatan... 41

19. Sebaran diameter telur ikan tetet (Johnius belangerii) berdasarkan selang kelas diameter telur... 41

20. Sebaran diameter telur ikan tetet (Johnius belangerii) setiap waktu pengambilan data... 42

(14)

v

 

Halaman

1. Alat dan bahan yang digunakan selama melakukan penelitian... 48

2. Metode pembuatan preparat histologi... 49

3. Frekuensi panjang hasil tangkapan ikan tetet (Johnius belangerii) selama 1 tahun... 51

4. Uji t untuk hubungan panjang-berat ikan tetet (Johnius belangerii)... 52

5. Contoh perhitungan faktor kondisi... 52

6. Contoh perhitungan indeks kematangan gonad... 52

7. Contoh perhitungan fekunditas... 52

(15)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan tetet (Johnius belangerii) tergolong ikan pelagis kecil. Menurut

Widodo et al. (1988) bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil adalah sumberdaya

neritik karena penyebarannya berada di dekat pantai, terutama daerah-daerah yang menjadi tempat terjadinya proses upwelling atau kenaikan massa air. Di daerah upwelling ikan pelagis kecil dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Kondisi ini dapat menjadikan salah satu sumberdaya perikanan yang melimpah di perairan Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari potensi lestari ikan pelagis kecil yang ada di Indonesia berjumlah 3.605.660 ton atau sekitar 56,26 persen. Sumberdaya ini tersebar di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang ada di Indonesia.

Pemangsa macrofauna ini hidup tersebar dengan persebaran yang sangat luas, yaitu pada 77°BT- 150°BT; 55°LS - 24°LU (www.fishbase.com). Ikan tetet yang memiliki tingkat komersial rendah ini ternyata memiliki lebih dari satu puncak sebaran frekuensi diameter telur pada TKG IV, sehingga dengan informasi ini diketahui bahwa ikan tetet memiliki pola pemijahan, yaitu partial spawner

(Juraida, 2004). Menurut Effendie (2002) Jaminan stok dari berbagai komoditas perikanan umumnya termasuk ikan yang memiliki panjang maksimal 30 cm ini sangat tergantung pada keberadaan jumlah individu yang memijah dan keberhasilan ikan-ikan pada fase larva tumbuh menjadi dewasa. Sehingga pemahaman mengenai biologi reproduksi dari ikan tetet menjadi sangat penting.

Pemahaman tentang biologi reproduksi sangatlah penting dimulai dari perkembangan awal daur hidup ikan, baik ekologi maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai keterkaitan dengan fluktuasi ikan yang merupakan fungsi dari laju reproduksi (penambahan stock) ikan dibandingkan tingkat eksploitasinya.

Nikolsky (1963) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan utama bagi ikan akan banyak ditemukan ditempat dengan sumber makanan yang banyak,

(16)

cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan. Sumberdaya makanan sangat bagi ikan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca yang dibawa oleh angin muson. Baik angin muson barat yang berhembus dari Benua Asia ke Benua Australia, maupun angin muson timur yang berhembus dari Benua Australia ke Benua Asia akan mempengaruhi tingkat kelimpahan makanan yang berbeda pada masing-masing musim. Sedangkan kelimpahan makanan akan mempengaruhi pertumbuhan termasuk proses pematangan gonad (Effendi, 2002).

Oleh karena itu, laju eksploitasi ikan dengan pemasaran dalam bentuk segar dan asin ini yang dihubungkan dengan keragaan reproduksi yang berkaitan erat dengan iklim menjadi menarik untuk dikaji sehingga dapat ditarik hubungan antar komponen tersebut. Sehingga informasi mengenai tingkat kesehatan populasi ikan tetet (Johnius belangerii) di perairan Cirebon yang dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan proses pengelolaan secara berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Penangkapan ikan di laut menggunakan alat tangkap dengan ukuran mata jaring yang disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap sehingga terjadi penyeleksian karena ikan yang tertangkap dikarenakan tidak dapat meloloskan diri. Menurut Jennings et al. (2001), penangkapan cenderung akan mengubah

ukuran dan struktur umur ikan dalam satu populasi, dalam artian ukuran tubuh ikan dan umur hidup akan menurun tetapi kematian yang disebabkan penangkapan akan meningkat. Perubahan ini akan mempengaruhi sisi lain dari kehidupan ikan. Sebagai contoh, produksi telur dalam suatu populasi akan menurun karena ukuran ikan induk dan kesuburan menurun. Hal ini sama seperti yang disampaikan oleh Hsieh et al. (2008) bahwa penangkapan yang berlebihan

pada suatu populasi ikan akan menurunkan ukuran dan umur hidup pada populasi tersebut.

Pengaruh lain dari penangkapan yang berlebihan adalah berubahnya ciri-ciri kehidupan ikan tersebut seperti pada umur, ukuran matang gonad, tingkat pertumbuhan, hasil dar reproduksi secara genetik. Selain itu, pemangsaan satu ikan oleh ikan yang lain merupakan penyebab terbesar dari perubahan evolusi

(17)

3 populasi ikan tersebut (Hixon 1991; Policansky 1993 in Jennings et al. 2001).

Pengetahuan tentang keragaan reproduksi ini dapat menjadi masukan untuk pengelolaan ikan tetet di alam sehingga populasinya dapat berkelanjutan. Perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir penelitian pengaruh tingkat eksploitasi terhadap keragaan reproduksi ikan tetet (Johnius belangerii)

Oleh karena itu, penelitian ini yang menggunakan contoh telur sangat penting dilakukan. Telur merupakan stadia awal dari organisme selanjutnya akan menjadi rekrutmen secara alami. Pengetahuan tentang keragaan reproduktif ini dapat menjadi acuan untuk pengelolaan ikan tetet di alam sehingga populasinya dapat berkelanjutan..

Laju eksploitasi Tingkat Eksploitasi rendah Tingkat ekploitasi tinggi

Reproduksi

Keragaan

- Kelimpahan populasi menurun - Ukuran ikan menurun

- Fekunditas menurun - Diameter telur menurun

Populasi didominasi oleh yang muda

Ancaman kepunahan Strategi pengelolaan Sumberdaya ikan

(18)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui laju eksplotasi dan variasi keragaan reproduksi yang meliputi faktor kondisi, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan pola pemijahannya.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pengelolaan sumberdaya ikan tetet ( Johnius belangerii ) yang terkait dengan laju eksploitasi

dan variabilitas temporal keragaan reproduksi pada musim barat di PPI Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sehingga laju penurunan populasi ikan tetet dapat ditekan dan diharapkan alternatif pengelolaan serta pengendalian penangkapan dapat terlaksana agar mampu memperbaiki jumlah populasi ikan tetet di alam.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Tetet (Johnius belangerii) 2.1.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologi

Klasifikasi ikan tetet menurut Bleeker (1853) in www.fishbase.org adalah

sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Teleostei Ordo : Perciformes Famili : Sciaenidae Genus : Johnius

Spesies : Johnius belangerii (Bleeker 1853)

Nama umum : Hammer croacker, Little jewfish

Nama sinonim : Sciaena sina (Day 1876), Sciaena siamensin (Hora 1924), Wak tingi (Tang 1937)

Gambar 2. ikan tetet (Johnius belangerii)

Ikan laut ini mendiami perairan pantai sampai dengan daerah estuari. Ikan ini memiliki warna hitam pada sirip punggung pertama dan bagian belang pada dasarnya yang menyebar sepanjang sirip punggung kedua (Allen, 1997). Kottelat

(20)

et al. 1993 mengatakan bahwa pada umumnya ikan ini memiliki dua sirip

punggung yang sedikit bersambung, dimana sirip kedua sangat panjang dan berjari-jari banyak. Sirip dubur berpangkal pendek dan berjari-jari dua.

Ikan ini mempunyai moncong yang bulat, mata besar, mulut besar dengan letak inferior, rahang atas yang memanjang sampai dengan tepi belakang pupil mata serta panjangnya hampir mencapai setengah dari panjang kepala, dan rahang bawah yang panjangnya sekitar setengah dari panjang kepala. Gigi ikan ini terdiri dari ukuran yang besar dan kecil, gigi yang besar berada pada rahang atas sedangkan gigi yang kecil berada pada rahang bawah serta tidak ada gigi taring. Tapis insang berjumlah 9 sampai 12 lembar dan bergigi kasar pada saat dewasa. Sirip punggung yang pertama mempunyai 10 jari-jari keras sedangkan yang kedua mempunyai satu jari-jari keras serta 27 sampai 30 jari-jari lemah. Sirip dada mempunyai panjang ¾ dari panjang kepala dan lunak. Sirip dubur mempunyai 2 jari-jari keras dan 7 jari-jari lemah. Sisik sikloid terdapat pada bagian atas kepala sedangkan yang lain ktenoid yang terdapat pada bagian bawah kedua sirip punggung serta sirip dubur sampai dengan ujung sirip ekor (Fischer & Whitehead 1974).

Linea lateralis berlanjut sampai dengan sirip ekor yang berbentuk jajaran

genjang. Gelembung renang berfungsi sebagai ruang resonansi untuk memperkeras suara yang dihasilkan oleh otot-otot di sekelilingnya. Suara ini keluar secara alami dan khususnya pada musim berkembang biak. Penggunaan suara diduga untuk mengetahui arus di perairan yang berarus deras. Ikan ini memijah dan berkembang biak di muara-muara sungai serta memelihara anaknya di tempat itu juga. Bentuk gelembung renang dan khususnya bentuk tambahan merupakan ciri diagnosa yang penting pada suku ini. Gelembung renang terletak antara rongga perut dan tulang punggung yang berbentuk lonjong atau seperti wortel, sering dengan gelembung renang tambahan. Gelembung renang ini dapat dikeluarkan setelah usus ikan dikeluarkan. Gelembung renang tambahan pada ikan ini merupakan salah satu ciri yang khas karena tidak dimiliki semua ikan (Kottelat et al. 1993).

(21)

7

2.1.2. Habitat

Secara ekologis ikan tetet hidup di daerah sekitar pantai pada kedalaman 0-40 meter di daerah tropis dan sub tropis. Daerah tangkapan ikan tetet di sekitar pantai pada kedalaman 0-20 meter. Ikan tetet terdapat di Indo Pasifik bagian barat yaitu Pakistan, India, Sri Lanka, terus ke India Timur sampai ke Cina. Spesies ini di pesisir pantai timur Afrika belum teridentifikasi (Burhanudin et al in Setyowati,

2004). Secara geografis, penyebaran ikan tetet meliputi Sumatera (Sungai Rokan, Deli, Pulo Weh, Simalur, Nias), Jawa (Jakarta), Kalimantan, Sulawesi, Papua Nugini (Sungai Lorentz, Sungai Mimika, dan Sungai Varen), Pantai India, Andaman, Malaysia, Laut Cina Selatan, Filipina, dan Australia (Weber & de Beaufort 1936 in Juraida 2004).

2.2. Eksploitasi Sumberdaya Ikan di Indonesia

Luas wilayah laut Indonesia adalah 5,8 juta km2 dengan maximum sustainable yield (MSY) sebesar 6,4 juta ton/tahun dan total tangkapan yang

diperbolehkan (total allowable catch/TAC) adalah 5,12 juta ton/tahun (80% dari

MSY). Pada tahun 2006 produksi perikanan Indonesia mencapai 4,51 juta ton (70,469% dari MSY) yang masih memungkinkan untuk dilakukan pemanfaatan hingga mencapai TAC.

Potensi penangkapan ikan menurun secara cepat mulai dari perairan pantai menuju laut lepas. Wilayah perairan lautnya (zona maritim), secara umum, merupakan suatu wilayah yang belum dieksploitasi secara optimal (dalam hal ini semua wilayah pengelolaan perikanan kecuali perairan Selat Malaka) sedangkan perairan pantainya merupakan perairan yang lebih tangkap. Tetapi, di bagian sebelah dalam dari kelompok perairan pantai, 30 mil laut, terkonsentrasi mayoritas unit penangkapan dan tercatat tanda-tanda yang paling jelas dari hasil lebih tangkap tersebut yaitu produksi hasil tangkapan yang stagnan dan menurun. Selain itu, juga terdapat kecenderungan semakin meningkatnya pengeksploitasian di wilayah-wilayah perairan yang lebih jauh lagi (ke Selat Makassar, Laut Natuna atau Laut Cina bagian selatan) yang hanya dapat diakses oleh kapal-kapal dengan ukuran tonase yang besar dimana jumlahnya meningkat secara luar biasa sejak 20 tahun yang lalu (Lubis et al. 2005).

(22)

Sumberdaya ikan pelagis kecil tersebar di 9 (sembilan) wilayah pengelolaan perikanan (WPP) seperti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil di Indonesia

No. Pengelolaan Wilayah Perikanan Luas Sebaran (103 km2) Densitas (ton/ km2) Potensi (103 ton/tahun) Produksi (103 ton/tahun) Pemanfaatan (%) 1. Selat Malaka 92,00 3,20 147,30 132,70 90,15

2. Laut Cina Selatan 550,00 2,26 621,50 205,53 33,07

3. Laut Jawa 400,00 1,70 340,00 507,53 149,27 4. Selat Makasar dan Laut Flores 473,00 2,56 605,44 333,35 55,06 5. Laut Banda 220,00 1,20 132,00 146,47 110,96

6. Laut Seram dan Teluk Tomini 306,00 2,48 379,44 119,43 31,48 7. Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 500,00 1,54 384,75 62,45 16,23 8. Laut Arafuru 438,00 2,14 468,66 12,31 2,63 9. Samudera Hindia 454,00 2,32 526,57 246,56 50,24 10. Jumlah 3.433,00 19,40 3.605,66 1.784,56 51,45

Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (2001)

Dari data pada tabel di atas dapat dikemukakan bahwa kondisi stok di berbagai wilayah perairan telah mengalami penangkapan berlebih (overfishing)

seperti perairan Selat Malaka, pantai utara Pulau Jawa, Selat Bali, dan Sulawesi Selatan (Dahuri 2003). Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa gejala yang menandakan suatu perairan telah mengalami tekanan tangkap yang berlebih yaitu; terjadinya penurunan produksi perikanan atau hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (catch per unit effort, CPUE), penurunan hasil tangkapan total yang

didaratkan, semakin jauhnya wilayah penangkapan, penurunan berat rata-rata ikan, semakin sedikitnya jumlah nelayan yang melaut, dan penurunan ukuran ikan yang tertangkap.

(23)

9

2.3. Aspek Pertumbuhan

Menurut Moyle dan Cech (1988) pertumbuhan terjadi karena adanya energi yang berlebih dari hasil metabolisme dalam tubuh. Proses metabolisme ini dikontrol oleh hormon pertumbuhan dan hormon steroid. Selain itu, pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur air, tingkat oksigen terlarut dan ammonia, salinitas, dan periode sinar yang saling berinteraksi dengan faktor lainnya seperti derajat kompetisi, jumlah dan kualitas makanan yang dicerna, umur, dan tahap kematangan ikan.

2.3.1. Hubungan panjang Berat

Hubungan panjang-berat ikan didasarkan hukum kubik (berat ikan merupakan pangkat tiga dari panjangnya) dan disertai anggapan bentuk dan berat ikan tetap sepanjang hidupnya. Ada dua pola pertumbuhan berdasarkan hubungan panjang dan berat yang dinyatakan dalam rumus W = aLb, pola tersebut adalah isometrik dan allometrik. Dimana Pertumbuhan isometrik adalah pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat dengan nilai b = 3, sedangkan pertumbuhan allometrik adalah pertambahan panjang tidak seimbang dengan pertambahan berat dengan nilai b ≠ 3. Pola pertumbuhan allometrik dapat diklasifikasikan menjadi positif diman b > 3 yang menggambarkan pertambahan berat lebih dominan dibandingkan dengan pertambahan panjang dan pola pertumbuhan allometrik negatif jika b < 3 yang menggambarkan pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan berat. Dalam persamaan ini, W adalah simbol untuk berat total ikan dan L adalah simbol panjang total ikan, sedangkan a dan b adalah hasil regresi dari W sebagai variabel dependen dan L sebagai variabel independen. Hubungan antara panjang dan berat ikan tersebut dianalisis menggunakan nilai koefisien korelasi jika mendekati 1 maka terdapat hubungan yang erat antara kedua variabel (Walpole 1993).

2.3.2. Frekuensi Panjang

Ikan yang cukup mendapatkan nutrisi akan mengalami pertumbuhan pada periode waktu tertentu. Ikan akan tumbuh hingga panjang maksimum yang

(24)

dapat dicapai. Menurut Ford (1983) dan Walfor (1946) in Spare & Venema et al.(1989) dinyatakan bahwa ikan akan tumbuh sampai panjang ukuran panjang

tertentu yang disebut panjang maksimal yang dapat dicapai (L∞). semakin cepat ikan mencapai ukuran tersebut maka umur ikan akan semakin pendek atau sebaliknya. Ikan tumbuh dengan kecepatan tumbuh tertentu (koefisen pertumbuhan) dipengaruhi oleh ketersedian makanan, kualitas lingkungan perairan dan kemampuan ikan usus ikan dalam menyerap nutrisi untuk tumbuh.

2.3.3. Faktor Kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan. Salah satu faktor yang menentukan adalah ketersediaan makanan di perairan (Lagler 1961). Faktor kondisi atau indeks ponderal merupakan salah satu derivat penting pertumbuhan yang menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan reproduksi. Penggunaan faktor kondisi secara komersil menunjukkan kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dimakan (Effendie 2002). Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat ikan hidup (Lagler 1972 in Juraida 2004).

Variasi faktor kondisi dipengaruhi oleh kepadatan populasi, tingkat kematangan gonad (TKG), makanan, jenis kelamin, dan umur. Selain sebagai indikator pertumbuhan, faktor kondisi juga dapat menentukan kecocokan lingkungan serta membandingkan berbagai tempat hidup. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang baik dengan mengisi sel kelamin (cell sex) untuk proses

reproduksinya dibandingkan dengan ikan jantan. Nilai faktor kondisi antara 1-3 menunjukkan bahwa tubuh ikan berbentuk kurang pipih (Effendie 2002).

2.4. Aspek Reproduksi

Tidak setiap individu mampu menghasilkan keturunan, tetapi setidaknya reproduksi akan berlangsung pada sebagian besar individu yang hidup di permukaan bumi ini. Kegiatan reproduksi pada setiap jenis hewan air

(25)

berbeda-11 beda, tergantung kondisi lingkungan. Ada yang berlangsung setiap musim atau kondisi tertentu setiap tahun. Menurut Fujaya (2004), reproduksi adalah kemampuan individu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Selain itu, kemampuan individu ikan untuk bereproduksi dalam kondisi lingkungan yang berubah-ubah adalah salah satu faktor yang menentukan kesuksesan hidup ikan. Kesuksesan ini ditentukan dari aspek-aspek anatomi, fisiologi, kebiasaan, dan adaptasi energi (Moyle & Cech 2004).

Waktu reproduksi pada ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, salinitas, kandungan ion dalam air, arus, lama penyinaran, tersedianya sarang untuk menaruh telur, kelimpahan makanan, dan kondisi-kondisi sosial lainnya. Ikan-ikan yang hidup di daerah beriklim sedang (temperate) bereproduksi

pada saat suhu dingin serta dalam hari yang pendek seperti ikan salmon dan ada juga yang bereproduksi pada suhu panas serta dalam waktu sepanjang hari seperti ikan mas (Norris & Jones 1987).

2.4.1. Tingkat Kematangan Gonad dan Indeks Kematangan Gonad

Perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah menggambarkan tingkat kematangan gonad. Perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari reproduksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu, sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak. Dari pengetahuan kematangan gonad akan didapatkan juga keterangan ketika akan memijah, mulai memijah, atau sudah selesai memijah.ukuran ikan saat pertama kali gonadnya masak perlu diketahui karena ada hubungannya dengan pertumbuhan ikan dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya (Effendie 2002).

Setiap spesies ikan pada saat pertama kali gonadnya masak tidak sama ukurannya. Demikian pula ikan-ikan yang sama spesiesnya. Jika ikan-ikan yang sama spesiesnnya tersebar pada lintang yang perbedaannya lebih dari lima derajat, maka akan terdapat perbedaan ukuran dan umur ketika mencapai kematangan gonad untuk pertama kalinya (Effendie 2002).

(26)

Marza (1938); Wallace & Selman (1981) in Murua (2003) membagi tiga

tipe perkembangan oosit, yaitu :

a). Synchronous, yaitu semua oosit yang ada berkembang dan mengalami

ovulasi pada saat yang bersamaan.

b). Group-synchronos, yaitu ovarium memiliki dua kelompok oosit dengan

tingkat kematangan yang berbeda. Kelompok yang pertama dikeluarkan pada saat musim pemijahan pertama kali. Sedangkan kelompok yang kedua akan dikeluarkan pada musim pemijahan yang selanjutnya.

c). Asynchronous, yaitu ovarium yang mengandung oosit yang memiliki

tingkat kematangan yang berbeda dan proses oogenesis berlangsung setiap saat.

Indeks kematangan gonad menyatakan perubahan yang terjadi dalam gonad. Indeks ini merupakan persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan. Perubahan IKG berkaitan erat dengan tahap perkembangan telur. Umumnya gonad akan semakin bertambah berat dengan bertambahnya ukuran gonad dan diameter telur. Pada ikan betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Berat gonad mencapai maksimum sesaat sebelum ikan akan memijah dan nilai IKG akan mencapai maksimum pada kondisi tersebut (Effendie 2002). Perkembangan gonad merupakan tanda yang dipakai untuk melihat pola musim dalam daur reproduksi ikan yang dapat terlihat jelas ketika ikan matang gonad, memijah, dan pulih kembali (Jennings et al. 2001).

2.4.2. Fekunditas

Energi yang terbatas untuk reproduksi dapat dialokasikan oleh ikan dalam beberapa cara. Ikan biasanya akan memproduksi telur yang sangat kecil, beberapa telur berukuran besar atau keturunan muda yang hidup. Pemijahan dapat terjadi sepanjang tahun atau setahun sekali. Banyak strategi yang dilakukan ikan untuk mengalokasikan energi untuk reproduksi yang sedikit, tetapi pada umumnya adalah ikan cenderung memproduksi telur dengan jumlah ribuan sampai jutaan (Jennings et. al. 2001). Fekunditas merupakan jumlah telur yang terdapat pada

ovari ikan betina dan merupakan salah satu faktor yang mudah diukur (Moyle & Cech 2004). Bagenal (1978) in Effendie (2002) membedakan antara fekunditas

(27)

13 dengan fertilitas. Fekunditas adalah jumlah telur matang yang akan dikeluarkan, sedangkan fertilitas adalah jumlah telur matang yang dikeluarkan oleh induk.

Menurut Nikolsky (1963) in Effendie (2002) mengatakan bahwa jumlah

telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total. Namun, Nikolsky (1969) in Efendie (2002)

mengatakan bahwa fekunditas individu adalah jumlah telur dari generasi tahun itu yang akan dikeluarkan tahun itu juga. Di dalam ovari terdapat dua macam ukuran telur, yang besar dan kecil. Telur yang besar akan dikeluarkan pada tahun itu dan telur yang kecil akan dikeluarkan pada tahun berikutnya.

Fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang. Fekunditas ini sebenarnya mewakili fekunditas individu jika tidak diperhatikan berat atau panjang ikan. Penggunaan fekunditas relatif dengan satuan berat menurut Bagenal (1967) in Effendie (2002) lebih mendekati kondisi ikan itu

sendiri daripada panjang. Bahkan menurut Nikolsky (1969) in Effendie (2002)

mengatakan bahwa fekunditas relatif lebih mencerminkan status ikan betina dan kualitas telur jika berat yang digunakan tanpa berat alat-alat pencernaan makanannya. Ikan-ikan yang tua dan besar ukurannya mempunyai fekunditas relatif lebih kecil. Umumnya, fekunditas relatif lebih tinggi dibanding fekunditas individu. Fekunditas relatif akan menjadi maksimum pada golongan ikan yang muda (Nikolsky 1969 in Effendie 2002).

Beberapa ikan laut dari sub-kelas teleostei memiliki fekunditas yang tinggi dari ribuan sampai jutaan telur yang dihasilkan ikan betina per tahun. Namun, ada juga sebagian kecil dari golongan Sebastes yang melahirkan anaknya atau vivipar

(Breder & Rosen 1966 in Jennings et al. 2001). Hasil dari reproduksi akan

meningkat sesuai dengan ukuran tubuh ikan. Selain itu, peningkatan fekunditas yang disebabkan oleh panjang tubuh ikan lebih cepat daripada kenaikan berat tubuh ikan karena panjangnya. Rasio antara berat tubuh dan hasil reproduksi biasanya digunakan untuk mengukur upaya reproduksi ikan karena lebih tepat daripada mengukur keseluruhan energi yang dipakai ikan untuk reproduksi (Hirshfield 1980 in Jennings et al. 2001).

Saat musim pemijahan untuk beberapa jenis ikan, terutama ikan-ikan pelagis seperti ikan tuna (sardines) dan ikan teri (anchovies) mengalami matang

(28)

gonad dan mengeluarkan telurnya berkali-kali dalam waktu harian, mingguan, atau bulanan. Walaupun beberapa jenis ikan mengeluarkan telurnya dalam waktu satu kali saja. Sabagai contoh ikan Gadus morhus di Norwegia memijah setiap

tiga hari sekali dalam masa pemijahannya selama 50 hari (Kjesbu 1989 in

Jennings et al. 2001).

2.4.3. Diameter Telur

Ukuran telur dapat dinyatakan dalam banyak cara. Diameter tunggal yang biasa digunakan, tetapi diameter terpanjang juga kadang-kadang digunakan. Selain itu panjang telur dan lebar telur juga digunakan. Ukuran-ukuran telur yang lain mencakup volume telur, bobot basah dan bobot kering. Dari segi energetika istilah terbaik untuk ukuran telur adalah kandungan energi per telur atau joule per telur. Kalori telur menunjukkan jumlah energi yang tersedia bagi embrio untuk berkembangan (Sucipto, 2008).

Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil. Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan

Clupea harengus (Kamler 1992 in Sucipto 2008). Keuntungan ukuran awal yang

dimiliki larva yang menetas dari telur besar dapat kurang berarti selama perkembangan selanjutnya, atau bahkan hilang. Pada Salmo salar keuntungan ini

hilang setelah 5 minggu pertama pertumbuhan; pada Oncorhynchus mykiss

keuntungan ini hilang setelah 16 minggu (Kamler 1992; Utiah 2006 in Sucipto

2008).

Kemampuan larva yang kecil untuk bertumbuh sehingga mempunyai kecepatan yang sama dengan larva yang lebih besar sangat penting untuk tujuan komersial. Potensi yang sangat penting adalah menemukan kelangsungan hidup telur dan larva tidak dipengaruhi oleh ukuran telur (Kjorsvik et al. 1990; Utiah

(29)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) tiga, yaitu Laut Jawa dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Desember 2009. Pengambilan contoh ikan dilakukan di pelabuhan pendaratan ikan (PPI) Gebang Cirebon. Pengambilan contoh ikan dilakukan setiap hari selama satu tahun penuh dengan bantuan seorang nelayan yang dipercaya (bapak Bandi). Ikan contoh yang diambil selanjutnya akan dianalisis di Laboratorium Biologi Makro, Bagian Ekobiologi dan Konservasi Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

(30)

3.2. Penentuan Stasiun Pengambilan Ikan Contoh

Stasiun pengambilan ikan contoh ditentukan berdasarkan lokasi penangkapan ikan oleh nelayan. Alat penangkapan ikan contoh berdasarkan pada alat tangkap yang digunakan oleh nelayan.

3.3. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas alat bedah, buku identifikasi, cawan petri, coolbox, gelas ukur, gelas objek, kertas label, tisu, botol

film (untuk sampel), kaca pembesar, pipet tetes, mistar dengan ketelitian 1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gram, kamera digital, spidol permanen,

hand tally counter untuk menghitung telur; mikroskop binokuler, mikrometer

okuler, mikrometer obyektif, dan gelas objek untuk mengukur diameter telur, mikrotom 5 μ dan mikroskop untuk pembuatan dan pemotretan preparat histologi.

Bahan-bahan yang digunakan adalah ikan tetet, formalin 4 % sebagai pengawet gonad (dalam hal ini hanya gonad betian yang diambil); akuades dan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan histologi gonad, yaitu alkohol 70-100 %, xylol, parafin, pewarna haematoxylin-eosin, larutan Buoin’s; dan perekat

entelan atau canada balsam.

3.4. Metode Kerja

3.4.1. Prosedur kerja di lapangan

Pengambilan ikan contoh dilakukan dua tahap, pertama adalah pengambilan setiap hari selama satu tahun penuh (Desember 2008-Desember 2009) dan pengambilan contoh ikan segar Mei 2010 untuk keperluan analisis histologis dan proximat serta validasi data panjang berat yang sebelumnya dilakukan dengan timbangan dengan ketelitian 0,1 cm. Ikan contoh diambil dari pelabuhan pendaratan ikan (PPI) gebang Cirebon. Ikan-ikan contoh ditangkap oleh seorang nelayan yang dipercayakan (Pak Bandi) untuk mengambil contoh harian dengan menggunakan alat tangkap rampus dengan mata jarring (mash size) sebesar 1,75

(31)

17 diidentifikasi dengan menggunakan buku identifikasi yang disesuaikan dengan ciri-cirinya kemudian diukur panjang dan beratnya. Pengukuran panjang dan berat di dilaksanakan langsung di pelabuhan pendaratan ikan (PPI) setelah ikan didaratkan.

Ikan yang telah diukur panjang dan beratnya, dibedah dan diambil gonadnya untuk diawetkan dengan formalin untuk keperluan analisis lanjutan di laboratorium, gonad ikan yang diawetkan dan dianalisis di laboratoriun adalah ikan-ikan betina saja. Pengambilan contoh ikan segar sebanyak 30 ekor pada pengambilan contoh tahap dua, ikan diawetkan dengan es lalu dibawa ke laboratorium untuk diukur panjang dan berat; dibedah, dan diambil gonadnya untuk keperluan analisis proximat dan kandungan protein dari telur ikan.

Setelah dibedah, tiga gonad ikan yang memiliki tingkat kematangan gonad (TKG) 4 dipisahkan yang sudah diawetkan dengan formalin langsung dianalisis diameter telur, fekunditas, dan bobot gonad, sedangkan yang segar (pada pengambilan sampel tahap kedua) disimpan ke dalam lemari pendingin (freezer)

agar tidak rusak dan dapat diketahui kandungan nutrisinya dengan analisis proximat. Selain itu, empat gonad yang memiliki tingkat kematanganan gonad (TKG) 1, 2, 3, dan 4 diawetkan dengan menggunakan laroutan Bouin`s untuk analisis histologis.

3.4.1.1.. Pengukuran panjang dan berat

Ikan contoh yang telah ditangkap diukur panjang total dan ditimbang berat tubuhnya di laboratorium. Pengukuran panjang menggunakan mistar dengan ketelitian 1 mm, sedangkan penimbangan berat menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 gr.

3.4.1.2. Validasi berat

Contoh yang diambil diukur bobotnya dengan menggunakan timbangan kue dengan ketelitian 1 gram sehingga untuk mendapatkan hasil pengukuran dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi dilakukan validasi berat dengan mengambil kembali contoh di lokasi penelitian diukur dengan timbangan digital dengan

(32)

ketelitian 0,01 gram, sehingga dapat dibuat persamaan regresi antara pengukuran berat dengan timbangan kue terhadap timbangan digital.

3.4.2. Prosedur kerja di laboratorium 3.4.2.1.Identifikasi ikan contoh

Ikan contoh yang telah diawetkan dan dibawa ke laboratorium diidentifikasi dengan mengacu kepada Kottelat et al. (1993) dan Fischer & Whitehead (1974).

Bagian utama dari tubuh ikan yang diamati dalam identifikasi ini meliputi bentuk tubuh, kepala, mulut, panjang total tubuh, diameter mata, lebar badan, sirip anal, sirip dorsal, sirip ekor, jari-jari sirip dorsal, dan jari-jari sirip anal.

3.4.2.2. Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG)

Gonad ikan contoh yang telah diukur panjang dan beratnya dan telah dibedah ditimbang beratnya dengan menggunakan timbangan digital yang mempunyai ketelitian 0,01 gr. Gonad dari ikan contoh disimpan ke dalam botol sampel dan diberi formalin 4%. Berat tubuh dan berat gonad ikan dapat digunakan untuk mengetahui indeks kematangan gonad (IKG). Indeks kematangan gonad dapat diketahui dengan menggunakan formula GSI = (berat gonad)/(berat tubuh) x 100% (Effendie 2002). hubungan antara indeks kematangan gonad dengan panjang ikan dapat menggambarkan ukuran ikan saat matang gonad dalam suatu populasi. Identifikasi tingkat kematangan gonad berdasarkan identifikasi terhadap spesies Puntius schwanefeldidapat yang diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan L. equulus berdasarkan keadaan

morfologi menurut Novitriana (2004) modifikasi Cassie in Effendi

(2002)

TKG BETINA JANTAN

I Awal pertumbuhan

Ovarium berwarna putih kekuningan dan permukaan licin. Ukuran ovarium relatif

Awal pertumbuhan

Testis terdiri dari dua lembar menyerupai kipas, satu lembar belum tumbuh sempurna

(33)

19 kecil dan berbentuk bulat oval dan

tunggal. Butir telur belum terlihat oleh mata biasa. Ovarium berada di ujung posterior di dekat anus

dengan ukuran yang relatif lebih kecil dari pada lembaran lainnya, berada di ujung rongga tubuh dekat anus, berwarna putih kecoklatan dengan permukaan licin.

II Berkembang

Ukuran ovarium lebih besar dan berwarna kekningan. Ovarium berbentuk bulat oval. Di bagian anterior ovarium berbentuk lekukan pendek. Telur belum terlihat jelas oleh mata biasa. Diameter telur berkisar antara 36-468 µm. di bagian tengah dari kedua sisi lateral terdapat titik merah bakal pembuluh darah.

Berkembang

Ukuran testis lebih besar, sepasang organ tumbuh sempurna dan berukuran sama besar. Testis berwarna putih dengan permukaan sedikit bergerigi.

III Dewasa

Ovarium berwarna kuning terang. Butir telur mulai terlihat oleh mata biasa dengan diameter berkisar antara 36-540 µm. pembuluh darah sudah tampak jelas di kedua sisi lateral ovarium. Ovarium menempati hampir seperempat rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus.

Dewasa

Warna testis makin putih dan permukaan testis yang bergerigi terlihat jelas. Testis menempati kurang dari seperlima rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus.

IV Matang

Ovarium bertambah besar ukurannya dan berwarna kuning kemerahan. Jumlah pembuluh darah lebih banyak dari pada ovarium pada TKG III. Butir telur terlihat jelas karena selaput gonad transparan, diameternya berkisar antara 36-816 µm. ovarium menutupi hampir sepertiga rongga perut dan mendesak usus ke bagian depan.

Matang

Ukuran testis lebih besar dan lebih pejal. Testis berwarna putih susu dan menempati hampir seperempat rongga tubuh di ujung posterior di dekat anus. Pada tingkat kematangan yang sama, umumnya ukuran testis lebih kecil dari pada ovarium.

V Salin

Ovarium mengempis di bagian posteriornya, terdapat pada ikan yang sudah selesai memijah.

Salin

(34)

3.4.2.3. Penghitungan Fekunditas

Penghitungan fekunditas dilakukan pada gonad ikan betina yang memiliki tingkat kematangan gonad (TKG) IV. Penghitungan fekunditas atau jumlah telur menggunakan metode gravimetrik (Effendie 2002) terhadap sepuluh sampel telur pada setiap bulannya yang diambil 10 gonad.

3.4.2.4. Penentuan diameter telur

Pengukuran diameter telur dilakukan pada ikan-ikan contoh yang memiliki tingkat kematangan gonad (TKG) IV. Diameter telur yang diukur merupakan bagian kecil yang diambil dari subgonad, yaitu bagian posterior, median, dan anterior telur. Masing-masing bagian gonad tersebut diambil butir telurnya sebanyak 150 telur. Telur-telur itu diletakkan di atas gelas objek secara rapi, kemudian diamati dengan mikroskop binokuler berskala mikrometer yang sudah ditera dengan metode sensus.

3.4.2.5. Analisis histologis gonad

Metode pembuatan preparat histologis gonad berdasarkan Banks (1986) in

Fatimah (2006) terlampir dalam Lampiran 1.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Sebaran frekuensi panjang

Langkah-langkah yang digunakan dalam membuat sebaran frekuensi adalah sebagai berikut (Walpole 1993) :

1. menentukan wilayah kelas (WK) = db-dk, db = data terbesar; dk = data terkecil.

2. menentukan jumlah kelas (JK) = 1 + 3.32 log N; N = jumlah data 3. menghitung lebar kelas ( L) = WK/JK

4. memilih ujung kelas interval pertama

5. menentukan frekuensi jumlah untuk masing-masing kelas, caranya adalah membagi frekuensi dengan jumlah total lalu dikalikan 100%.

(35)

21

3.5.2. Laju Eksploitasi

Konsep stok berkaitan erat dengan konsep parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan di mana kita dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Parameter mortalitas ini meliputi mortalitas alami dan mortalitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999).

Pendugaaan parameter pertumbuhan (Linf dan K) dan laju mortalitas

digunakan program FISAT (FAO-ICLARM Stock Assesment Tools) II versi 1.2.2.

Analisis parameter pertumbuhan digunakan metode ELEFAN I (Electronic Length-Frequency Analysis). Sementara parameter-parameter laju mortalitas

yang meliputi laju mortalitas total (Z) digunakan model Beverton dan Holt berbasis data panjang dengan model sebagai berikut :

) (L"-L' ) L" -(Linf K Z =

Keterangan : K = koefisien pertumbuhan (per tahun); Linf = Panjang asimtotik (mm); L”= Panjang rata-rata ikan yang tertangkap (mm); L’= batas bawah dari interval kelas panjang yang memiliki tangkapan terbanyak (mm); Z = Laju mortalitas total (pertahun)

Selajutnya laju mortalitas alami (M) digunakan rumus empiris Pauly yaitu : T) 0,4634log( K) 0,6543log( inf) 0,279log(L --0,0066 (M) log = + +

Keterangan : M = Laju mortalitas alami (per tahun); Linf = panjang asimtotik; K=koefisien pertumbuhan (per tahun); T = suhu rata-rata perairan (0C)

Setelah laju mortalitas total (Z) dan laju mortalitas alami (M) diketahui maka laju mortalitas penangkapan dapat ditentukan melalui rumus :

M Z

F = −

Selanjutnya Pauly (1984) menyatakan laju eksploitasi dapat ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z)

Z F E =

Keterangan : F = laju mortalitas penangkapan (per tahun), Z = laju mortalitas total (per tahun), M = laju mortalitas alami (per tahun), E = tingkat eksploitasi

(36)

3.5.3. Hubungan panjang-berat

Pola pertumbuhan ikan di alam dapat diketahui dengan metode analisis panjang berat. Hubungan panjang berat menggunakan persamaan eksponensial sebagai berikut (Lagler 1972; Jennings et al. 2001) :

W = aLb Keterangan :

W = berat total ikan (gram) L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta hasil regresi

persamaan dapat dialgoritmakan sehingga menjadi persamaan linear sebagai berikut (Jennings et al. 2001) :

loge W = loge a + b loge L

Konstanta b dapat menggambarkan mengenai hubungan panjang berat. dimana b = 3, maka hubungannya bersifat isometrik (pertambahan panjang sebanding dengan pertambahan berat), sedangkan n ≠ 3, maka hubungan yang terbentuk adalah allometrik (pertambahan panjang tidak sebanding dengan pertambahan berat), serta jika b > 3, maka hubungannya bersifat allometrik positif (pertambahan berat lebih dominan dari pertambahan panjangnya), adapun jika b < 3, maka hubungan yang terbentuk bersifat allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan dari pertambahan beratnya).

Uji t dapat digunakan untuk mengetahui konstanta b, dengan rumus (Walpole 1993) : Thit = Sb 3 − β hipotesa :

Ho : b = 3 pola pertumbuhan isometrik

H1 : b ≠ 3 pola pertumbuhan allometrik

Selanjutnya Thit yang didapat akan dibandingkan dengan Ttabel pada selang

kepercayaan 95%. Jika Thit> Ttabel, maka tolak Ho, dan sebaliknya jika Thit < Ttabel,

(37)

23

3.5.4. Faktor kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan ikan yang ditentukan dalam angka-angka berdasarkan panjang dan berat ikan contoh (Effendie, 2002). Rumus yang digunakan untuk mengetahui faktor kondisi dibedakan berdasarkan pola pertumbuhan. Jika ikan memiliki pola pertumbuhan allometrik (b≠ 3), maka rumus yang digunakan adalah :

K = b

aL W

Keterangan :

K = faktor kondisi

W = berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram) L = panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm) a dan b = konstanta hasil regresi

Jika pola pertumbuhan yang dimiliki ikan adalah isometrik (b = 3), maka rumus yang digunakan adalah :

K = W L3 5 10 Keterangan : K = faktor kondisi

W = berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram) L = panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm)

3.5.5. Indeks kematangan gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad (IKG) disebut juga gonadosomatic index (GSI)

yang ditentukan dengan menggunakan rumus (D 'Onghia et al. 1999 in Effendie

2002) :

IKG/GSI = x100

BT BG

Keterangan :

BG = berat gonad (gram) BT = berat tubuh (gram)

(38)

3.5.6. Fekunditas

Fekunditas ditentukan dengan metode gabungan dengan menggunakan rumus (Effendie 2002) :

F =

Q GxVxf

Keterangan :

F = fekunditas total (butir)

f = fekunditas dari subgonad (butir) G = berat gonad total (gram)

Q = berat subgonad (gram) V = volume pengenceran (5 ml)

Selanjutnya hubungan antara fekunditas dengan panjang dan berat ikan adalah:

F = a Lb atau log F = log a + b log L W = a Fb atau log W = log a + b log F b log F = b w a log log + − Keterangan : F = fekunditas (butir) L = Panjang total ikan (mm) W = bobot tubuh ikan (gram) a dan b = konstanta hasil regresi

(39)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii)

Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat

(Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel adalah ikan tetet betina, ikan ditangkap menggunakan jaring rampus dengan ukuran 1 inchi, 1.5 inchi, 1.75 inchi. Jumlah ikan contoh yang tertangkap tiap bulannya tidaklah sama, pada bulan November ikan contoh yang tertangkap hanya 90 ekor dan yang terbanyak pada bulan Maret sebanyak 150 ekor, sedangkan pada bulan Oktober 93 ekor, Desember 113 ekor, Januari 115 ekor dan Februari 120 ekor. Berikut adalah gambar 4 yang memperlihatkan frekuensi tangkapan ikan contoh setiap bulannya.

Gambar 4. Frekuensi ikan contoh yang tertangkap setiap bulannya

Dari Gambar diketahui bahwa jumlah ikan yang tertangkap setiap bulannya tidaklah sama. Menurut Pak Warid (Nelayan setempat) melalui hasil wawancara dinyatakan bahwa waktu terbanyak ikan tetet tertangkap adalah pada bulan Januari-Maret sedangkan jumlah tangkapan ikan tetet sedangkan yang terendah yang terendah pada bulan September-November. perbedaan hasil tangkapan diduga karena pengaruh kondisi perairan Cirebon yang berdampak pada intensitas upaya nelayan untuk menangkap ikan tetet. Bulan November

(40)

merupakan bagian dari musim penghujan yang menyebabkan ombak di perairan sangat besar sehingga jumlah ikan yang tertangkap lebih sedikit, sedang bulan Maret merupakan bulan yang termasuk bulan peralihan antara musim barat dengan musim timur dimana keadaan kondisi laut dengan ombak tenang sehingga intensitas penangkapan pun dapat berjalan dengan baik, sehingga jumlah ikan yang tertangkap menunjukan angka terbesar.

Ikan yang tertangkap tiap bulannya menunjukan ukuran rata-rata panjang yang relatif sama pada setiap bulannya. Gambar s menunjukan panjang rata-rata ikan yang dapat tertangkap setiap bulannya.

Gambar 5. Panjang rata-rata ikan yang tertangkap

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa ukuran panjang rata-rata pada bulan Maret dengan panjang 149.7 mm adalah yang terpanjang diantara bulan yang lainnya, sedang pada bulan Oktober 141.7 mm, November 137.2 mm, Januari 140.44 mm, Februari 144.3 mm, pada bulan Desember dengan ukuran 139.1 mm adalah ukuran terpendek diantara bulan lainnya.

(41)

27 Ikan contoh yang tertangkap jaring memiliki berat rata-rata yang berbeda pada setiap bulannya, gambar 7 memperlihatkan berat rata-rata ikan pada setiap bulannya yang berkisar antara antar 37,28-41.20 gram. Berat rata-rata ikan yang tertangkap setiap bulan penangkapan ditunjukan pada Gambar 6.

Gambar 6. Berat rata-rata ikan yang tertangkap

Berat rata-rata terbesar ditunjukan pada bulan Maret sebesar 41,20 gram dan berat rata-rata terkecil ditunjukan pada pada bulan Desember dengan ukuran 37,28 gram, sedang pada bulan oktober berat rata-rata sebesar 39.55 gram, bulan November sebesar 40.62 gram, bulan Januari sebesar 39.64 gram dan bulan Februari 37.59 gram. Perbedaan berat pada ikan contoh yang tertangkap setiap bulannya diduga akibat faktor lingkungan yang terbaik pada bulan Maret yang merupakan bulan yang masuk pada musim peralihan antara musim barat dengan musim timur. Menurut Moyle (1988), pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti temperatur air, tingkat oksigen terlarut dan ammonia, salinitas.

Bulan Oktober merupakan awal dari musim hujan, yang mana intensitas curah hujannya cukup tinggi dan terdapat banyak angin (Slamet dan Berliana, 2008). Hal ini mengakibatkan banyak limpasan nutrien dari daratan yang terbawa ke daerah pesisir laut, sehingga daerah pesisir tersebut banyak terdapat makanan untuk ikan tetet. Namun justru pada bulan Oktober, ikan tetet memiliki variasi panjang dan berat yang rendah. Hal ini dikarenakan energi yang dihasilkan dari

(42)

makanan terlebih dahulu digunakan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan sehingga pertumbuhan dari ikan tetet menjadi terhambat.

4.2. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tetet (Johnius belangerii)

Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk melihat bagaimana pola pertumbuhan ikan. Jumlah keseluruhan ikan tetet selama enam bulan pengambilan data adalah sebanyak 681 ekor dimana seluruhnya adalah ikan betina. Berikut adalah gambar grafik sebaran frekuensi panjang dari ikan tetet. Sebaran frekuensi panjang ikan tetet ditunjukan pada Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran frekuensi panjang ikan tetet (Johnius belangerii)

Dari gambar 7 terdapat dua belas selang kelas ukuran panjang dimana frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas 135-141 mm dengan jumlah 183 ekor dan frekuensi terendah pada selang kelas 177-183 mm sebanyak 1 ekor. Sedangkan pada selang kelas 100-106 mm sebanyak 2 ekor, 107-113 mm sebanyak 3 ekor, 114-120 mm sebanyak 14 ekor, 121-127 mm sebanyak 24 ekor, 128-134 mm sebanyak 76 ekor, 142-148 mm sebanyak 155 ekor, 149-155 mm sebanyak 151 ekor, 156-162 sebanyak 45 ekor, 163-169 sebanyak 14 ekor, 170-176 sebanyak 10 ekor. . Frekuensi TKG ikan pada selang kelas ditunjukkan pada Gambar 8.

(43)

29 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Ju ml ah T KG

Selang Kelas Panjang

TKG 4 TKG 3 TKG 2 TKG 1

Gambar 8. Frekuensi TKG pada selang kelas panjang

Dari Gambar 7 dan Gambar 8 yang terlihat bahwa data sebaran frekuensi mengikuti sebaran normal dimana selang kelas antara 135-141 mm merupakan kelompok selang kelas ikan tetet yang paling banyak tertangkap dan didominasi oleh ikan betina yang memiliki TKG IV sebanyak 77 ekor. Hal ini dapat diduga bahwa nelayan menangkap ikan pada daerah fishing ground sehingga ikan-ikan

tersebut memiliki kesempatan untuk bereproduksi lebih baik. Berikut adalah grafik yang menunjukan frekuensi TKG pada selang kelas panjang.

Effendi (2002) menyatakan bahwa pada suatu ukuran tertentu energi yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan sel somatik pada ikan akan digunakan sebagai pertumbuhan alat reproduksi. Berikut adalah grafik sebaran ukuran panjang ikan tetet untuk setiap pengambilan data.

Pada Gambar 9 di bawah ini dapat terlihat kelas panjang dari bulan Oktober 2008 hingga November 2008 mengalami pergeseran modus ke arah kanan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan tetet mengalami pertumbuhan. Faktor-faktor yang mempengarhi pertumbuhan adalah makanan, kualitas air, penyakit, umur, dan jenis kelamin (Effendie 2002). Sedangkan dari November 2008 hingga Februari 2009 mengalami pergeseran modus ke arah kiri yang diduga ikan tersebut mengalami rekruitmen. Lalu kembali modus bergeser ke arah kanan pada

(44)

Februari-Maret 2010 yang menunjukan bahwa sehabis rekruitmen ikan kembali tumbuh pada periode tersebut. Sebaran frekuensi panjang ikan setiap bulannya ditunjukkan pada Gambar 9.

0 0 1 1 11 37 26 13 2 0 2 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Sebaran Frekuensi Bulan Oktober

1 1 4 1 8 23 23 24 2 0 0 0 0 5 10 15 20 25 30

Sebaran Frekuensi Bulan November

1 1 3 7 17 38 27 15 4 0 0 0 0 5 10 15 20 25 30 35 40

Sebaran Frekuensi Bulan Desember

0 0 4 10 22 29 26 21 5 3 0 0 0 5 10 15 20 25 30 35

Sebaran Frekuensi Bulan Januari

0 0 2 5 13 30 24 20 14 5 2 0 0 5 10 15 20 25 30 35

Sebaran Frekuensi Bulan Februari

0 1 0 0 5 26 29 58 18 6 6 1 0 10 20 30 40 50 60 70

Sebaran Frekuensi Bulan Maret

Gambar 9. Sebaran ukuran panjang ikan tetet (Johnius belangerii) setiap bulan

pengamatan

4.3. Laju Eksploitasi

Ketersediaan stok sumberdaya ikan berkaitan erat dengan parameter pertumbuhan dan mortalitas. Parameter pertumbuhan merupakan nilai numerik dalam persamaan sehingga dapat memprediksi ukuran badan ikan setelah mencapai umur tertentu. Sedangkan parameter mortalitas adalah suatu laju kematian ikan per unit waktu. Parameter mortalitas terdiri atas mortalitas alami dan mortalitas penangkapan (Sparre dan Venema 1999). Pauly (1980) in Sparre

(45)

31 terhadap laju pertumbuhan (per tahun), Linf (cm) dan T (Celcius). Berikut adalah tabel 3 yang menunjukan hasil analisis parameter pertumbuhan dan mortalitas ikan tetet (Johnius belangerii). Analisis parameter pertumbuhan dan mortalitas

ikan tetet ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. analisis parameter pertumbuhan dan mortalitas ikan tetet (Johnius. belangerii)

Nilai Laju Eksploitasi

Parameter Pertumbuhan Parameter Mortalitas

L (mm) K M Z F E

192,15 0,72 1,65579 3,361 1,70521 0,507352

Keterangan : Linf = panjang yang tidak dapat dicapai ikan (mm); K = koefisien pertumbuhan (per tahun); M = koefisien mortalitas alami (per tahun); Z = koefisien mortalitas alami total (per tahun); F = koefisien mortalitas penangkapan; E = tingkat eksploitasi (%)

Dari Tabel 3 diatas diketahui bahwa nilai laju pertumbuhan lebih besar dibandingkan mortalitas penangkapan dan mortalitas alami dengan laju eksploitasi yang mencapai 0,507. Nilai mortalitas alami yang besar dan hamper menyamai mortalitas penangkapan menunjukan bahwa ikan mati disebabkan oleh predator, penyakit. Stress pemijahan, usia tua, dan kelaparan (Sparre dan Venema 1999).

4.4. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi

4.4.1. Hubungan panjang-berat

Pola pertumbuhan yang terjadi pada ikan tetet (Johnius belangerii) di

perairan Gebang Cirebon dapat diketahui melalui analisis hubungan panjang– berat. Berikut adalah grafik pola pertumbuhan ikan tetet. Hubungan panjang berat ikan ditunjukkan pada Gambar 10.

(46)

Gambar 10. Hubungan panjang-berat ikan tetet (Johnius belangerii)

Berdasarkan analisis hubungan panjang–berat model pertumbuhan ikan tetet yaitu W = 3,416 L 0,016, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0.707. Hal ini menunjukkan bahwa antara panjang dan berat ikan tetet memiliki hubungan yang sangat erat. Dari model pertumbuhan tersebut diperoleh nilai b sebesar 0.016. Dengan menggunakan uji-t, maka diketahui bahwa pola pertumbuhan ikan tetet adalah allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan berat tubuhnya (Effendie 1979). Selain itu pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif ini menunjukkan bahwa makanan yang tersedia di perairan Gebang Cirebon berada dalam jumlah yang sedikit atau dapat dikatakan bahwa perairan Gebang Cirebon kurang subur.

Model hubungan panjang berat ikan tetet pada setiap pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai R2 untuk semua waktu pengambilan data sebesar 50 %, hal ini menunjukkan bahwa pola pertumbuhan yang dihasilkan mewakili 50 % dari keadaan di alam.

4.4.2. Faktor kondisi

Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan ikan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan

(47)

33 berat ikan (Effendie 2002). Pada Gambar 11 ditunjukan grafik faktor kondisi dari

ikan tetet betina :

Gambar 11. Faktor kondisi ikan tetet (Jonius belangerii) berdasarkan selang kelas

panjang

Nilai rata-rata faktor kondisi ikan tetet berdasarkan selang kelas panjang adalah 1,18-1,53. Faktor kondisi terbesar pada ikan terletak pada selang kelas panjang 107-113 mm. Hal ini menunjukkan bahwa pada selang kelas tersebut ikan-ikan mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam mempertahankan hidupnya dan memanfaatkan makanan di sekitarnya.

Selain itu pada selang kelas 107-113, merupakan ukuran dimana ikan berada pada TKG II secara dominan sehingga tubuh dari ikan betina pada selang kelas tersebut lebih besar dibandingkan pada ukuran selang kelas panjang yang lain karena energi dari makanan digunakan sebagai pertumbuhan somatik. Sedangkan faktor kondisi yang terkecil pada ikan betina terdapat pada selang kelas 100-106 mm. Hal ini adalah ukuran ikan saat ikan-ikan tersebut telah selesai melakukan proses pemijahan sehingga faktor kondisi semakin kecil, dapat diduga ikan pada ukuran tersebut mengalami kekalahan dalam bersaing mendapatkan makanan dengan ikan yang lebih tua. Selanjutnya faktor kondisi ikan tetet berdasarkan waktu pengambilan data ditunjukkan pada gambar 12.

Faktor Kondisi 0.11 0.14 0.12 0.13 0.11 0.12 0.13 0.11 0.11 0.11 0.13 0.11 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 100-106 107-113 114-120 121-127 128-134 135-141 142-148 149-155 156-162 163-169 170-176 177-183 Selang Kelas (mm) F a k tor K ondi s i

(48)

Gambar 12. Faktor kondisi ikan tetet (Johnius belangerii) berdasarkan bulan

pengamatan

Nilai faktor kondisi ikan tetet relatif sama untuk setiap pengambilan data. faktor kondisi terbesar pada bulan Januari 2009 sebesar 1,37 dan terendah Desember sebesar 1,29.Nilai faktor kondisi mengalami fluktuasi. Peningkatan faktor kondisi disebabkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum memijah (Effendie 2002). Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan menggunakan cadangan lemaknya sebagai energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan akan menurun.

4.4.3. Tingkat kematangan gonad ikan tetet (johnius belangerii)

Tingkat kematangan gonad dapat diamati secara morfologi dan histologi. Baik atau tidaknya proses pemijahan ditentukan oleh kondisi lingungan. Jika kondisi lingkungan baik maka pemijahan pun akan berlangsung dengan baik dan larva yang dihasilkan juga memiliki kualitas yang baik. Berikut adalah grafik Tingkat Kematangan Gonad (TKG) pada tiap bulan pengamatan dari ikan tetet:

Gambar

Gambar 1. Diagram alir penelitian pengaruh tingkat eksploitasi terhadap keragaan        reproduksi ikan tetet (Johnius belangerii)
Gambar 2. ikan tetet (Johnius belangerii)
Tabel 1. Tingkat pemanfaatan ikan pelagis kecil di Indonesia
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Pemahaman Masyarakat Tentang Tradisi Penyerahan Perabot Rumah Tangga dalam Perkawinan di Desa Karduluk Pragaan Sumenep... Analisis

Adapun perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah mendesain sistem manajemen energi untuk pengisian optimal kendaraan listrik dengan mempertimbangkan estimasi aliran

Peuyeum Bandung memang berbeda dengan peuyeum yang ada di daerah lain karena dibuat dari ketela yang cocok ditanam di daerah Jawa Barat.. Kalimat kedua-paragraf di

Hasil pada Gambar 4 menunjukkan bahwa dari 12 primer Xa7 -SNP yang didisain berdasarkan sekuen region gen Xa7 , terdapat 2 region yang signifikan terhadap data fenotipe tingkat

Siinkirjutajal pole vaatamata rohkete kirjandusallikate läbilappamisele and- meid kosmilise müüdi võimalike kajastuste kohta Soome ja Skandinaavia kalju- taides, sest

in heterogeneous environments with different types of source systems, levels of data quality, and levels of detail now use ODS objects to create an enterprise data ware- house

Begitu juga dengan dimensi perkembangan orientasi intelek yang menunjukkan tidak terdapat perbezaan yang signifikan dari segi persekitaran keluarga antara