• Tidak ada hasil yang ditemukan

LITURGI ALLAH TRITUNGGAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LITURGI ALLAH TRITUNGGAL"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

LITURGI ALLAH TRITUNGGAL

Dr. Ignatius Eddy Putranto, OSC

Kristianitas berpusat pada suatu peristiwa yang merupakan peristiwa keselamatan yang memuncak pada peristiwa Paskah. Peristiwa kehidupan Yesus yang memuncak pada peristiwa salib dan kebangkitan telah menjadi peristiwa keselamatan yang dialami oleh para murid. Peristiwa itu telah mengukirkan pengalaman akan Yesus yang adalah Tuhan, menyisakan luapan kenangan yang senantiasa hidup dalam sanubari iman para murid. Semua kenangan dan pengalaman iman itu mendorong para murid untuk mewartakan dan menyebarkan peristiwa keselamatan itu. “Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan pada hari ketiga, sesuai dengan Kitab Suci.”(1 Kor 15:3-4). Itulah kerygma awal, yang merupakan pernyataan iman Kristiani yang paling awal dalam Gereja Perdana. Kerygma inilah yang kemudian berkembang menjadi pewartaan, baik melalui khotbah maupun ibadah, lewat homili maupun liturgi.

Doa dan ibadah menjadi jalan pewartaan iman. “Setiap kali kamu makan roti atau minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” (1 Kor 11:26). Dengan merayakan Misteri Paskah, Gereja mewartakan imannya dan dengan lantang berseru “Tuhan, Engkau sudah wafat. Tuhan, sekarang Engkau hidup. Engkau Penyelamat kami, datanglah Yesus, Tuhan.” Doa itu sendiri adalah sebuah khotbah. Liturgi dalam dirinya adalah sebuah homili. Hal ini terjadi karena melalui doa terpancarlah apa yang diimani. Atau sebaliknya, apa yang kita imani akan terlihat pada apa yang kita doakan. Ungkapan Lex orandi, Lex Credendi (Hukum doa [merupakan] hukum iman) di abad awal Kristianitas merupakan ajaran yang hendak menunjukkan hakikat doa (liturgi) sebagai dasar iman Gereja. Gereja beriman seperti yang ia rayakan.1

Apa yang menjadi iman Gereja yang dirayakan dalam liturgi? Paper ini hendak membahas mengenai Allah Tritunggal yang menyelenggarakan liturgi. Iman akan Allah Tritunggal menjadi pokok dalam setiap perayaan liturgi. Gereja beriman pada Allah Tritunggal dan akhirnya bergabung dengan-Nya untuk bisa merayakan liturgi.

Doxology Allah Tritunggal

Liturgi adalah sebuah doxology, yaitu pujian kemuliaan yang ditujukan untuk Allah atas karya keselamatan-Nya. Dalam sejarah liturgi, terjadi perkembangan doxology, bukan hanya formulasi, tetapi juga isi. Pada abad awal kristianitas, doxology sangat bersifat kristosentris dengan lebih menekankan Kristus sebagai imam dan pengantara. Doa dan ibadat Kristen dibuat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pengalaman mereka akan Kristus sebagai pengantara.2

1 Louis-Marie Chauvet, The Sacraments: The Word of God at the Mercy of the Body (Collegeville, MN: The Liturgical Press, 2001), 3. 2 Catherine M. LaCugna, God for Us: the Trinity and Christian Life (Chicago, IL: Claretian Publication, 1973), 112.

(2)

2 Pola berdoa dan salam yang bersifat kristosentris terutama banyak ditemukan pada tulisan-tulisan Paulus (lih. Ef. 5:20; 1 Kor. 1:4, 15:57, Kol 3:17, Rom. 16:27, 7:25). Misalnya, 1 Kor 15:57: “Syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” Pada masa kristianitas paling awal pula berkembang teologi Kristus sebagai Imam Agung seperti yang dinyatakan dalam Ibrani 7:24-25. Kebiasaan memberikan salam telah menemukan pola kristosentrisnya: “Rahmat bagimu dan damai dari Allah, Bapa Kita dan Tuhan Yesus Kristus.” 3

Dalam konteks peribadatan, Jemaat Kristen bergabung mengucapkan syukur “senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita.” (Ef 5:20; lih. Kol 3:17, 1 Kor 1:4, Rom 1:8). Pola syukur dalam ibadat ini terdapat pada praktek ibadat yang termasuk paling awal, seperti tampak pada 2 Kor 1:20: “Sebab Kristus adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah.” Roh Kudus jarang disebut dalam ibadat ataupun pengajaran.4 Namun demikian, Gereja sadar bahwa dirinya hidup karena Roh

Kudus. “[K]amu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “ya Abba, ya Bapa.” (Rom 8:15).

Secara umum, teks liturgi pada masa sebelum Konsili Nicea (325) ditandai dengan pola mediator Kristus. Doa Syukur Agung dalam praktek Gereja pada abad 1, sesuai kesaksian Didache, selalu ditujukan kepada Allah, memuji Allah yang telah melaksanakan karya keselamatan melalui Kristus dan ditutup dengan doxologi: “Bagi-Mu kemuliaan dan kekuasaan dengan perantaraan Kristus untuk selama-lamanya.” 5 Walaupun demikian, rumusan trinitaris dalam doxology mulai pula disusun

dan dipraktekkan dalam liturgi. Yustinus Martir dalam masa yang sama, memberi kesaksian bahwa di penghujung Doa Syukur Agung, imam mengakhirinya dengan “menghaturkan pujian dan kemuliaan kepada Bapa dengan perantaraan Kristus dan Roh Kudus.” Di abad ke- 3, dalam Tradisi Apostolik, Hippolitus menyusun doxology trinitaris : “Kami memuji dan memuliakan-Mu dengan perantaraan Putra-Mu, Yesus Kristus, yang melalui Dia kemuliaan dan hormat bagi-Mu, Allah Bapa dan Putra, bersama dengan Roh Kudus dalam Gereja Kudus-Mu, sekarang dan selama-lamanya.” 6

Iman akan Allah Tritunggal merupakan pokok iman Gereja dan menjadi jiwa liturgi Gereja.7

Iman itu tampak dalam struktur trinitarian doa yang kita panjatkan kepada Bapa dengan perantaraan Kristus dan dalam persekutuan Roh Kudus. Namun lebih dari itu, liturgi itu sendiri merupakan tindakan dan karya Allah Tritunggal. Berkat kekuatan Roh Kudus, sabda dan kurban Kristus menghantarkan jemaat liturgi bersatu dengan Allah. Semuanya yang terjadi dalam liturgi bermuara pada Misteri Paskah di mana Kristus mempersembahkan diri kepada Allah dalam kuasa Roh Kudus demi pengudusan manusia.

Berangkat dari Misteri Paskah, Sacrosanctum Concilium pertama-tama mengartikan liturgi sebagai tindakan penebusan Kristus yang menyelamatkan dan menguduskan.8 Hal itu berarti bahwa

penebusan Kristus yang telah terjadi dalam peristiwa keselamatan Paskah hadir kembali secara baru dalam setiap perayaan liturgi. Liturgi menjadi tempat “kelahiran baru” karena penebusan Kristus terjadi kembali, bukan dalam arti pengulangan, tetapi pembaharuan demi kehidupan Gereja.9 Dengan

demikian, liturgi merupakan saat di mana penebusan Kristus dialami secara baru oleh jemaat liturgi.

3 LaCugna, 113.

4 Namun, ada satu kekecualian dalam liturgi baptis yang menggunakan rumusan trinitarian (Mat 28:19b). Teks Matius ini dipercaya oleh

para ahli exegesis sebagai sisipan yang berisikan refleksi praktek pembaptisan awal yang dilakukan oleh Gereja sekitara abad 1-2) Dalam pembaptisan ini, kandidat tiga pertanyaan trinitarian yang harus dijawab disertai dengan penenggelaman tiga kali.

5 LaCugna, 114. 6 Ibid., 115.

7 Gordon W. Lathrop, Holy Ground: Liturgical Cosmology (Minneapolis, MN: Fortress Press, 2003), 218. 8 Bdk. SC, art. 2, 5, 7, 10.

(3)

3 Dalam karya penebusan ini, Kristus bertindak sebagai imam yang menjadi perantara antara Allah dan jemaat liturgi untuk mempersembahkan kurban–yaitu diri-Nya sendiri–kepada Allah Bapa demi pengudusan manusia. Iman akan Kristus sebagai imam dan perantara tampak dalam doa yang kita panjatkan “dengan perantaraan Kristus, Tuhan kita.” Pada taraf ini, liturgi merupakan tindakan Kristus. Ia bertindak dan hadir di dalam liturgi,

baik dalam pribadi pelayan, ‘karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengurbankan diri di kayu salib maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya, Ia hadir dalam Sakramen-sakramen sedemikian rupa sehingga bila ada orang yang membaptis, Kristus sendirilah yang membaptis. Ia hadir dalam sabda-Nya, sebab ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan di dalam Gereja. Akhirnya, Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur karena Ia sendiri berjanji: bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:28) (SC 7).

Namun demikian, hanya dalam kekuatan Roh Kudus kehadiran Kristus terjadi. Hanya dalam persekutuan Roh Kudus kurban penebusan Kristus itu terwujud. “[B]etapa lebihnya darah Kristus, yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat, akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia supaya kita dapat beribadat kepada Allah yang hidup.” (Ibr 9:14) Secara pneumatologis, liturgi juga merupakan tindakan Roh Kudus yang menghadirkan kembali karya penebusan Allah. Roh Kudus adalah kekuatan yang membuat segalanya terjadi. (Dalam Pentakosta, misalnya, segala sesuatu menjadi baru karena Roh Kudus. Pembaptisan Kristus terjadi dalam kekuatan Roh Kudus). Dalam liturgi, Roh Kudus membuat “segalanya menjadi baru.” Ia menguduskan dan membuat karya penebusan terjadi kembali. Untuk itu, dalam liturgi kita juga berdoa memohon agar Roh Kudus turun, berkarya, dan menguduskan (epiklesis). Selain itu, Roh Kudus telah dicurahkan dalam hati kita (Rm 5:5) sehingga kita dipersatukan dengan Allah dan dibuat mampu ikut serta dalam kurban keselamatan Kristus. Dengan kata lain, Roh Kudus telah mempersatukan kita dengan Allah dan memampukan kita untuk berdoa dan berliturgi. Karena Roh Kudus, kita bisa berdoa dan menyebut Allah sebagai “ya Abba, ya Bapa” (Rm. 8:15; Gal 4:6) dan Roh itu juga mendoakan kita (Rm 8:26).

Oleh karena itu, karya penebusan sesungguhnya merupakan karya Allah Tritunggal. Atas karya keselamatan dan penebusan itu, Gereja bersama Kristus, Sang Imam Agung, dan dengan dorongan Roh Kudus, melambungkan pujian dan kemuliaan bagi Allah Tritunggal (doxology). (Bdk. SC 6) “Dengan pengantaraan Kristus, bersama dia dan di dalam dia; dalam persatuan dengan Roh Kudus; bagi-Mu Allah Bapa yang Maha Kuasa, segala hormat dan pujian, kini dan sepanjang masa.” Liturgi adalah sebuah doxology, di mana jemaat liturgi memuliakan Allah atas karya keselamatan. Dengan demikian, doxology itu juga menjadi cerminan iman Gereja akan Allah. Dengan memuji Gereja menyatakan imannya. Dengan berdoa Gereja mewartakan Allah Tritunggal.

Gereja Terbentuk oleh Misteri Allah Tritunggal

Dalam sejarah Umat Allah baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Gereja (ecclesia, qahal) hidup dan bertumbuh dalam konteks peribadatan. Gereja merupakan terjemahan dari ecclesia (Yunani) dan qahal (Ibrani). Menilik makna awalnya, qahal (= memanggil atau mengumpulkan) berarti sebuah pertemuan yang terjadi karena adanya undangan resmi.10Qahal adalah sebuah forum

di mana instruksi atau informasi disampaikan oleh yang berwenang untuk kepentingan bersama, baik yang bersifat politik ataupun kultik. Dengan demikian, Qahal merupakan peristiwa komunitas yang

10 Nathan Mitchell dan John F. Baldovin (eds.), Rule of Prayer, Rule of Faith: Essays in Honor of Aidan Kavangh, OSB (Colllegeville, MN:

(4)

4 bertujuan semakin mempererat dan menumbuhkan rasa “kebangsaan” atau rasa menjadi bagian dari komunitas.

Dalam konteks Umat Allah, qahal itu terjadi karena Allah yang sendiri yang memanggil. Sabda dan instruksi diberikan Allah agar umat Israel semakin menyadari hakikatnya sebagai Umat Allah. Pada peristiwa di Gunung Sinai, misalnya, Yahwe mengundang Israel berkumpul untuk mendengarkan Sabda Yahwe setelah mereka keluarga dari perbudakan Mesir. Umat menanggapi undangan itu, mendengarkan Sabda Allah yang menawarkan sebuah perjanjian. “Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus.” (Kel 19:5-6). Umat Israel menerima Sabda Allah itu yang membuat mereka menjadi umat perjanjian. “Segala yang difirmankan Tuhan akan kami lakukan.” (Kel 19:7) Namun, perjanjian Allah-Israel ini baru sungguh-sungguh sah saat perjanjian itu digenapi dengan kurban sebagai jalan kekudusan.11 Oleh karena itu, setelah Isreal

berkumpul menanggapi panggilan Allah dan mendengarkan hukum Allah, mereka juga diperintahkan Tuhan untuk menguduskan diri dengan kurban persembahan. Di dalam kurban ini, perjanjian itu mendapatkan meterainya saat Musa menyiramkan darah sambil berkata: “Inilah darah perjanjian yang diadakan Tuhan dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.” (lih. Kel 24:3-11)

Pola perjanjian Sinai, yang ditandai dengan tindakan berkumpul, mendengarkan Sabda Allah, dan mempersembah kurban, menjadi pola yang terus berulang bila Israel hendak kembali menghayati dirinya sebagai Umat Allah.12 2Raja 23 mengisahkan Raja Yosia hendak mengadakan pembaharuan

dan pertobatan dengan kembali mengenangkan perjanjian Sinai. Umat Allah berkumpul untuk mendengarkan firman Allah dari Kitab Perjanjian yang ditemukan dalam rumah Tuhan (ay. 2). Mereka mendengarkan Kitab itu, seperti halnya pendahulu mereka mendengarkan sepuluh perintah Allah di gunung Sinai. Setelah itu, umat membuat perjanjian dengan menerima dan berjanji untuk hidup sesuai perintah dan peraturan Allah (ay. 3). Akhirnya qahal itu diakhiri dengan kurban persembahan paskah sebagai tanda pembaharuan janji (ay. 21).

Dengan demikian, qahal bukan merupakan pertemuan biasa, tetapi perjumpaan umat Allah yang hendak membangun diri (kembali) menjadi Umat Allah dengan tetap berpegang pada perjanjian. Dalam arti ini, qahal pada hakikatnya adalah sebuah peristiwa ibadat, di mana Sabda Allah mempersatukan mereka dengan Allah dan kurban persembahan memberi meterai yang meresmikan persatuan itu. Qahal itu juga menjadi momen kelahiran baru. Israel lahir menjadi Umat Allah pada saat ikatan perjanjian di Gunung Sinai. Mereka dibaptis menjadi Umat Perjanjian, imam dan bangsa yang kudus, lewat Sabda dan kurban.

Konsep qahal inilah yang juga dihidupi oleh Jemaat Perdana pada saat mereka berkumpul untuk beribadat. Mereka memilih menggunakan kata ecclesia13 yang mempunyai arti yang sama,

yaitu memanggil atau mengumpulkan. Qahal baru yang hidup dalam Jemaat Perdana tampak misalnya di dalam Kis 2: 42: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” Dalam kisah ini, kita memahami bahwa para murid berkumpul, mendengarkan pengajaran, dan memecahkan roti sebagai kurban persembahan. Qahal baru telah terbentuk dalam Jemaat Perdana dengan isi dan semangat yang baru.14 Allah yang telah menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus memanggil dan mengumpulkan

jemaat untuk mendengarkan ajaran dan sabda-Nya melalui ajaran para rasul. Allah mengundang dan berbicara tidak dengan cara yang lama, dengan perantaraan para nabi, tetapi “berbicara kepada kita

11 Louis Bouyer, Liturgical Piety (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1955), 25. 12 Ibid., 26.

13 Nathan Mitchell dan John F. Baldovin (eds.), 306. 14 Bouyer, 27.

(5)

5 dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (Ibr 1:2). Qahal baru inilah Jemaat Perjanjian Baru yang dikumpulkan dan dipersatukan oleh Sabda Allah dalam diri Yesus Kristus dan dimeterei dengan “darah perjanjian baru,” yaitu kurban Kristus.15

Sejalan dengan peristiwa Sinai, Jemaat Kristen awal juga diangkat menjadi Jemaat Perjanjian Baru, “imamat rajawi, bangsa yang kudus” (1 Pet 2:9) lewat sabda dan kurban. Ketaatan kepada sabda kebenaran dan amal persaudaraan telah menjadi jalan kelahiran kembali (bdk. 1 Pet 1:22-2:2). “Jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu tumbuh dan beroleh keselamatan, jika kamu benar-benar telah mengecap kebaikan Tuhan.” (1 Pet 2:2). Kelahiran baru yang terjadi berkat sentuhan sabda kebenaran itu membawa jemaat menjadi “batu hidup” dan “imamat kudus.” Semuanya terjadi karena kurban persembahan Kristus yang telah berkenan kepada Allah. Dengan menjadi Jemaat Perjanjian, mereka menjadi serupa dengan Yesus Kristus yang selaku imam mempersembahkan persembahan rohani (1 Pet 2:5). Mereka juga menjadi batu hidup, serupa dengan Kristus yang juga telah menjadi batu penjuru yang telah “dibuang oleh tukang-tukang bangunan” (1Pet 2:7) namun dapat menjadi bangunan rohani. Dengan demikian, Jemaat Perjanjian Baru diangkat menjadi imam rajawi, bukan karena hukum dan kurban di Sinai, tetapi karena sabda dan darah perjanjian Kristus.

Pola terbentuknya perjanjian di Gunung Sinai dapat pula dipakai untuk melihat pola perjanjian dalam Sakramen Inisiasi yang ditandai dengan sabda dan kurban. Proses dalam Sakramen Baptis menjadi saat dimana sabda Allah yang berpusat pada Misteri paskah diwartakan dan tanggapan “amin” atas sabda itu diungkapkan. Pembaptisan menjadi saat di mana orang masuk ke dalam Misteri Allah Tritunggal. Ia terlahir baru berkat penerimaan (iman) atas Misteri Paskah, yaitu Misteri Allah Tritunggal sendiri: Yesus mengurbankan diri kepada Bapa dalam kuasa Roh Kudus demi pengudusan manusia. Selain itu, imamat rajawi dianugerahkan kepada mereka yang dibaptis sehingga mereka menjadi bagian dari Jemaat Perjanjian Baru. (Sakramen Penguatan sesungguhnya merupakan tambahan terhadap kedua Sakramen Baptis dan Ekaristi dan hakikatnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Sakramen Baptis.16 Penguatan memberikan dimensi sosial-publik atas imamat

Sakramen Baptis.) Namun, perjanjian baru yang telah diterima dalam pembaptisan baru sungguh “termeteraikan” dalam puncak Inisiasi Kristen, yaitu Sakramen Ekaristi yang merupakan kurban keselamatan Kristus.

Dengan demikian, Sakramen Inisiasi telah memasukkan kita ke dalam Misteri Allah Tritunggal yang telah mengikat kita sebagai jemaat perjanjian. Perjanjian baru itu telah dimeteraikan oleh darah Kristus (lih 1 Kor 11: 25). Ikatan perjanjian itu telah mengangkat kita menjadi serupa dengan Kristus dalam imamat-Nya. Sebagai Imam, Kristus mempersembahkan diri dalam wafat dan kebangkitan-Nya. Dalam pembaptisan itu, kita bukan hanya mendapatkan karunia penebusan, namun juga mendapatkan anugerah imamat kaum beriman yang membuat kita dipanggil ikut serta dalam imamat Kristus. “Mereka yang dibaptis karena kelahiran kembali dan pengurapan Roh Kudus disucikan menjadi kediaman rohani dan imamat suci.” (LG 10) Berkat pembaptisan, kita yang telah dibaptis menjadi “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Pet 2:9). Lewat Sakramen Inisiasi, Allah Tritunggal telah membentuk Gereja yang dipanggil untuk berpartisipasi dalam karya dan kehidupan Allah Tritunggal.

15 Gordon W. Lathrop, Holy People: A Liturgical Ecclesiology (Minneapolis, MN: Fortress Press, 1999), 35. 16 Chauvet, 30.

(6)

6

Partisipasi Imamat dalam Liturgi

Salah satu penekanan sangat penting mengenai liturgi dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, ialah bahwa liturgi merupakan “pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus” (SC 7). Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus adalah Imam Agung, yang merupakan satu-satunya pengantara. Oleh karena itu, dalam ibadat Kristiani Kristus adalah leitourgos, yaitu imam yang melayani kurban persembahan, yang tidak lain adalah diri-Nya sendiri. Sejalan dengan itu, Surat kepada Umat Ibrani memberikan kesaksian bahwa liturgi merupakan pelayanan (leitourgia) Imam Agung Perjanjian Baru, yaitu Yesus Kristus, bagi semua orang, “bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri.”17

Selain itu, Sacrosanctum Concilium, juga menekankan soal partisipasi umat beriman secara “penuh, sadar, dan aktif dalam perayaan-perayaan Liturgi.” Dasar dari panggilan umat beriman untuk berpartisipasi secara sadar dan aktif dalam liturgi terletak pada hakikat imamat kaum beriman yang telah dianugerahkan melalui Sakramen Baptis. “Berdasarkan Baptis [partisipasi liturgi] merupakan hak serta kewajiban Umat Kristiani sebagai ‘bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri’ (1 Ptr 2:9; lih. 2:4-5) (SC 14).

Untuk itu, partisipasi jemaat liturgi bukanlah pilihan, tetapi merupakan tugas imamat. Terlebih lagi, berkat anugerah imamat rajawi itu, jemaat beriman mempunyai kuasa untuk ikut serta dalam imamat Kristus dalam liturgi. Partisipasi sadar dan aktif, dengan demikian, bukan semata aktif secara lahiriah dengan terlibat dalam nyanyian dan doa liturgi, tetapi terlebih aktif dalam ikut serta mempersembah kurban sebagai imam. “Dengan Baptis kaum beriman dimasukkan ke dalam tubuh Gereja; dengan menerima meterai mereka ditugaskan untuk menyelenggarakan ibadat agama kristiani. . . . Dengan ikut serta dalam kurban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup Kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah” (LG 11, lih. art 10). Keterlibatan jemaat liturgi di berbagai macam tugas pelayanan liturgi hendaklah ditempatkan sebagai keterlibatan aktif dalam mempersembahkan kurban bersama Kristus, Sang Imam Agung.

Dengan demikian, bukan hanya imam tertahbis yang merayakan liturgi; bukan pula hanya imam tertahbis yang mempersembahkan kurban. Anugerah imamat kaum beriman memanggil jemaat liturgi untuk merayakan liturgi, bukan “sebagai orang luar atau penonton bisu,” tetapi mereka sendiri “mempersembahkan hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam, melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari–berkat perantaraan Kristus” (SC 48).

Kehadiran imam tertahbis dalam liturgi hendaknya dipahami, pertama-tama bahwa ia adalah bagian kaum beriman. Hal ini yang juga dihayati oleh Santo Agustinus pada waktu dia mengajarkan betapa pentingnya untuk meletakkan diri pertama-tama sebagai orang Kristen, dan bukan sebagai uskup. “Saat saya khawatir tentang siapa saya bagimu, saya terhibur oleh siapa saya bersamamu. Bagimu saya adalah seorang uskup, bersamamu saya adalah seorang Kristen. Yang pertama adalah sebuah jabatan, yang kedua adalah rahmat. Yang pertama itu membahayakan, yang kedua itu menyelamatkan”18 Partisipasi dalam imamat Kristus, pertama-tama dilakukan oleh kaum beriman

(jemaat liturgi), dimana imam tertahbis ada bersama jemaat itu. Namun perayaan liturgi itu selalu dipimpin oleh Kristus, Sang Imam Agung. Imam tertahbis, dengan demikian, memanifestasikan

17 Ibr. 9:12; bdk. Ibr. 8:2; 10:10.

(7)

7 secara sakramental bahwa Kristuslah yang memimpin perayaan liturgi.19 Imam tertahbis menjadi

personifikasi Kristus yang hadir di tengah jemaat dan mempersembahkan kurban bersama mereka. Terdapat perbedaan antara imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan atau hirarkis (tertahbis). Namun, keduanya terarah pada kesatuan dengan imamat Kristus. Lumen Gentium menyatakan bahwa kedua imamat itu memang berbeda, bukan dalam “tingkatan” tetapi pada “hakikat”nya. Dengan caranya yang khas, keduanya “mengambil bagian dalam satu imamat Kristus” (LG 10). Dengan pembedaan ini, perbedaan kedua imamat itu bukan terletak pada status, yang satu lebih tinggi dan yang lain lebih rendah, melainkan pada hakikat atau esensi masing-masing yang membawa pada keunikan dalam melaksanakan panggilan tugas imamat.20

Untuk itu, kita perlu memahami kembali apa artinya “imamat jabatan dan hirarkis.” Imamat jabatan membawa konsekuensi pada pelayanan. Jabatan yang ada pada imamat tahbisan mempunyai fungsi pelayanan, yaitu pelayanan Kristus sendiri yang mengumpulkan jemaat dan mempersembahkan kurban. Dengan demikian, esensi imamat jabatan memberikan fungsi pelayanan dan kepemimpinan kepada jemaat. Selain itu, perlu kiranya memahami makna hirarki dengan kembali pada akar katanya, yaitu hieros (kudus) dan arche (prinsip)21 Dengan makna kata ini, hirarki

mempunya makna utama yaitu “orang yang bertanggungjawab untuk menjadi saluran kekudusan Allah bagi kehidupan umat Allah.” 22 Tugas utama seorang imam hirarkis ialah mewartakan Sabda

Allah dan menjadi perantara antara Allah dan umat-Nya demi kekudusan umat. Itulah esensi khusus imamat hirarkis yang membedakan dengan imamat umum kaum beriman. Ia menjadi serupa dalam imamat Kristus sebagai pelayan (leitourgos) dan perantara. “Melalui pelayanan para imam, kurban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan kurban Kristus, Pengantara tunggal, yang melalui tangan imam, atas nama seluruh Gereja, dipersembahkan secara tak berdarah dan sakramental dalam Ekaristi, sampai kedatangan Tuhan sendiri” (PO 21)

Partisipasi imamat, baik umum maupun hirarkis, sesungguhnya merupakan gerak aktif jemaat liturgi untuk bersatu bersama Allah Tritunggal merayakan liturgi. Jemaat berkumpul di hadapan Allah, dengan kehadiran Kristus yang bangkit, berkat kekuatan Roh Kudus.23 Bersama Kristus dan di

dalam Roh Kudus, jemaat mempersembahkan kurban kepada Allah. Karena kurban itu, jemaat dikuduskan dan dipersatukan, baik dengan mereka sendiri maupun dengan Allah, sebagai satu Tubuh dengan Kristus sebagai Kepala.

Panggilan Allah Tritunggal: Menjadi Tubuh Kristus

Allah Tritunggal adalah Allah yang adalah kasih (1 Yoh 4:8) Kasih itulah yang menjadi gerak utama perayaan liturgi. Sabda Allah membawa kita kepada kasih dan pengampunan. Roh Allah mendorong kita kepada sukacita dan damai. Hanya dengan mengalami kasih, kita tinggal bersama Allah Tritunggal. Hanya dengan jalan damai dan pengampunan, kita mengalami Allah Tritunggal. Dengan demikian, partisipasi kita dalam liturgi berbuah pada kasih dan persekutuan, damai dan persaudaraan. Tujuan dari liturgi ialah terbangunnya Umat Allah yang bersatu dengan Allah, yang adalah Kasih. Dengan kata lain, liturgi membawa kita menjadi persekutuan dengan Allah dan sesama. “Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia.”

19 Chauvet, 33.

20 Bdk. Mitchell, Meeting Mystery, 244. 21 Mitchell dan Baldovin (eds.), 316. 22 Ibid., 317.

(8)

8 Semangat persekutuan terletak pada kerelaan untuk menciptakan ruang bagi saudara/i kita, saling menanggung beban (Gal 6:2). Persekutuan itu ditandai dengan hospitalitas, terutama kepada orang asing. Kisah Emmaus dalam Luk 24 menceritakan dua murid Emmaus bersekutu dengan orang asing, mengundangnya singgah di rumah sebelum terjadi pemecahan roti. Semangat Ekaristi terletak pada semangat persekutuan. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa tiada persekutuan tanpa hospitalitas terhadap orang asing. Tiada Ekaristi di mana jemaat hidup dalam keterpecahan.

Allah Tritunggal sendiri adalah persekutuan, yaitu persekutuan kasih–Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Persekutuan kasih Allah Tritunggal menjadi model panggilan liturgi, yaitu menjadi persekutuan dalam Kristus sebagai kepala. Dengan kata lain, kita dipanggil menjadi Tubuh Kristus. Hidup dalam kesatuan dengan Allah Tritunggal ialah mewujudkan diri menjadi Tubuh Kristus. Itu pula yang kita doakan : “semoga karena kekuatan Roh Kudus, semua yang ambil bagian dari roti dan piala yang satu ini dihimpun menjadi satu tubuh dalam Kristus dan dijauhkan dari setiap perpecahan” (DSA V).

Santo Agustinus memberikan pengajaran mengenai panggilan menjadi Tubuh Kristus dalam Ekaristi.

Jika kamu ingin mengetahui apa artinya Tubuh Kristus, dengarkanlah kata-kata St. Paulus: kamu adalah Tubuh Kristus, anggota untuk anggota. Jika kamu adalah anggota Tubuh Kristus sesungguhnya apa yang ada di altar itu merupakan misterimu sendiri, itu adalah misterimu sendiri apa yang kamu terima. Kamu mengucapkan “amin” untuk apa sesungguhnya kamu itu. Tanggapanmu merupakan persetujuan pribadimu atas imanmu. Saat kamu mendengar Tubuh Kristus, kamu menjawab “amin.” Jadilah anggota Tubuh Kristus sehingga amin-mu sungguh-sungguh berarti. Jadilah apa yang kamu lihat, terimalah apa sesungguh-sungguhnya kamu itu” (St. Agustinus)

Selanjutnya, Santo Agustinus juga mengajarkan bahwa “kita menjadi apa yang kita terima.” Kita menjadi Tubuh Kristus pada saat kita menerima Tubuh Kristus yang telah dipersembahkan di altar. Persatuan kita dengan Kristus dalam perayaan liturgi membuat kita menjadi Tubuh Kristus.

“Roti yang kamu lihat di altar, yang dikuduskan oleh sabda Allah, adalah Tubuh Kristus. Piala, atau lebih tepat, apa yang ada dalam piala itu, yang dikuduskan oleh sabda Allah, adalah Darah Kristus. Dalam tanda-tanda ini, Kristus Tuhan ingin mempercayakan kepada kita tubuh dan darah-Nya yang ditumpahkan-Nya demi pengampunan dosa-dosa kita. Kalau kamu telah menerimanya dengan pantas, kamu sendiri menjadi apa yang telah kamu terima.” (St.Agustinus, Kotbah 227)

Penutup

Liturgi Allah Tritungggal adalah liturgi yang ditandai dengan kurban Kristus kepada Bapa dalam Roh Kudus demi pengudusan manusia. Anugerah imamat yang kita terima memampukan kita untuk ikut serta secara aktif mempersembahkan kurban bersama Kristus, Sang Kepala. Keikutsertaan kita dalam kurban persembahan itu membuat kita semakin bersatu dengan Allah Tritunggal. Berkat persatuan itu, kita menjadi bagian dari persekutuan Allah Tritunggal. Dan sebagai Tubuh Kristus, kita mempersembahkan diri dalam perutusan bersama dengan Kristus Sang Kepala.

(9)

9 Liturgi, dalam dirinya, bukan hanya merupakan upacara ibadat, tetapi juga pewartaan Injil, dan amal kasih.24 Ketiga pelaksanaan liturgi ini pada hakikatnya merupakan perwujudan dari Misteri

Paskah yang diimani dan dirayakan. Baik ibadat, pewartaan, dan amal kasih merupakan pengenangan dan penghadiran kembali misteri penebusan Kristus. Itulah tugas imamat yang dipercayakan kepada kita untuk bertindak sebagai imam, nabi, dan raja. Dengan jalan ini, iman akan Allah Tritunggal, yang adalah Kasih, diwartakan dan dirayakan.

KEPUSTAKAAN

Bouyer, Louis, Liturgical Piety. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1955.

Chauvet, Louis-Marie, The Sacraments: The Word of God at the Mercy of the Body. Collegeville, MN: The

Liturgical Press, 2001.

Irwin, Kevin W., Context and Text: Method in Liturgical Theology. Collegevile, MN: The Liturgical Press,

1994.

LaCugna, Catherine M., God for Us: the Trinity and Christian Life. Chicago, IL: Claretian Publication, 1973.

Lathrop, Gordon W., Holy People: A Liturgical Ecclesiology. Minneapolis, MN: Fortress Press, 1999.

Libreria Editrice Vaticana. Katekismus Gereja Katolik. Ende: Percetakan Arnoldus,1995.

Mitchell, Nathan dan Baldovin, John F. (eds.), Rule of Prayer, Rule of Faith: Essays in Honor of Aidan Kavangh,

OSB . Colllegeville, MN: The Liturgical Press, 1996.

Mitchell, Nathan, Meeting Mystery. Maryknoll, NY: Orbis Book, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Pengkajian awal (assessment awal) dilaksanakan dalam waktu 24 jam sejak pasien MRS (untuk pasien yang MRS

Natrium nitrat merupakan bahan kimia intermediet maka pemilihan lokasi di Cilegon adalah tepat, karena merupakan kawasan industri yang berarti memperpendek jarak antara pabrik

Jika dua atau tiga jenis mesin yang berbeda melakukan operasi pada satu produk dalam departemen yang sama, adalah mungkin untuk meningkatkan akurasi dari biaya

Peserta didik dengan kecerdasan logis-matematis tinggi cenderung senang terhadap kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Peserta didik juga

Metode granulasi basah merupakan metode yang banyak digunakan dalam industri farmasi untuk memproduksi tablet kompresi (Parrott, 1971). Meningkatkan kohesifitas dan

Situasi dunia dewasa ini tentu berbeda sekali dengan situasi dunia di zaman Paulus. Konteks karya pastoral di zaman Romo Janssen pun tentu tidak sama persis dengan konsteks

Pada pengujian ini menggunakan alat uji kekerasan Vickers (HV) dengan model DHV-50D. Alat ini digunakan untuk menguji kekerasan yang terdapat pada material baja AISI

- Untuk indikator ini belum dapat direalisasikan sehingga capaian kinerjanya 0%, karena proses rekomendasi untuk menjadi kebijakan harus menjalani beberapa tahapan yakni :