iv
1. Terima kasih kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang sudah membimbing saya dari sejak awal hingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih Tuhan.
2. Bapak, Ibu, Candra yang sudah memberikan saya dukungan walaupun saya sampai tidak mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi berkat doa kalian saya bisa menyelesaikan skripsi ini.
3. Kakung (Alm): Kung, terima kasih sekali. Walaupun saya belum menunjukkan hasil kuliah saya ini sebelum engkau pergi, tetapi saya selalu ingat pesanmu untuk terus rajin supaya saya dapat lulus dan membanggakan semua orang. Uti: Ti, terima kasih ya? Berkat kesabaran dan doamu, saya bisa menyelesaikan studi saya ini. Maaf, pada waktu sibuk-sibuknya yang seharusnya saya merawat kakung, tetapi saya harus pergi-pergi untuk urusan skripsiku ini, tetapi ini semua hanya untuk kalian.
4. Om Tono, Bulik Rindang, Om Agus, dan Mbak Sri yang selalu mengingatkan saya supaya cepat lulus dan mendapat pekerjaan yang baik.
5. Cosmas Risang Pusokoseto, terima kasih Kanda, walaupun saat saya berjuang dalam skripsiku ini kamu sudah jauh, tetapi dukungan, doa, dan bantuanmu selalu untuk saya. Kanda, saya sudah lulus juga sekarang. Mari, kita sekarang berjuang bersama lagi, kita akan bertemu kembali. Saya tunggu hadiahnya ya?
6. Spesial untuk teman-teman seperjuangan Melisa, Cecil, dan Mami, akhirnya kita lulus juga kawan, perjuangan manis pahitnya semua ini di samping banyaknya proyek kita. Inilah impian kita semua.
v
Dalam hidup, kita selalu dihadapkan pada pilihan sulit. Kita bisa saja lari dari pilihan tersebut. Namun, biasanya, kedewasaan datang dari kemauan untuk mengambil keputusan-keputusan
rumit dalam hidup. (Pandji Pragiwaksono)
Masa depan adalah kumpulan kemungkinan, arah, peristiwa, perubahan, dan kejutan. Seiring waktu, segalanya menemukan tempatnya masing-masing dan bersama-sama, semuanya
membentuk gambaran baru mengenai dunia. (John Naisbitt)
Pintu peluang seringkali terbuka dan tertutup secara tiba-tiba bagaikan pintu yang dihempas badai. Anda harus siap memanfaatkan peluang itu.
viii
Yuliastuti, Elizabeth Rita. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa antara guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa antara guru dan siswa (2) mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan antara guru dan siswa, dan (3) mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan oleh guru maupun siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.
Jenis penelitian ini ialah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa. Instrumen penelitian ini adalah panduan wawancara, pernyataan pancingan, dan pertanyaan kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan ialah metode simak dan metode cakap. Teknik pengumpulan data dari metode simak ialah teknik sadap sebagai teknik dasar, teknik lanjutan berupa teknik simak libat cakap, dan terakhir teknik catat. Teknik pengumpulan data dari metode cakap ialah teknik pancing sebagai teknik dasar, teknik lanjutan berupa teknik lanjutan cakap semuka dan teknik lanjutan cakap tansemuka. Kedua teknik ini dapat diwujudkan dengan teknik rekam dan teknik catat. Teknik catat dan teknik rekam diwujudkan peneliti dengan cara menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengklasifikasi. Dalam menganalisis data, peneliti mengutip data dan konteks tuturan. Langkah terakhir yaitu peneliti menginterpretasikan makna tuturan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode analisis kontekstual.
Simpulan dari hasil penelitian ini ialah: Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan melecehkan muka, memain-mainkan muka, kesembronoan, mengancam muka, dan menghilangkan muka, sedangkan wujud ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan uraian konteks berupa penutur, mitra tutur, tujuan tutur, situasi, suasana, tindak verbal, dan tindak perlokusi yang menyertai tuturan tersebut. Kedua, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan nada, tekanan, intonasi, dan diksi, serta penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang menyertai tuturan yakni penutur, mitra tutur, situasi, suasana, tujuan tutur, tindak verbal, dan tindak perlokusi. Ketiga, makna ketidaksantunan (1) melecehkan muka yakni hinaan dan ejekan dari penutur kepada mitra tutur hingga melukai hati mitra tutur, (2) memain-mainkan muka yakni tuturan yang membuat bingung mitra tutur sehingga mitra tutur menjadi jengkel karena sikap penutur yang tidak seperti biasanya, (3) kesembronoan yang disengaja yakni penutur bercanda kepada mitra tutur sehingga mitra tutur terhibur, tetapi candaan tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) mengancam muka yakni penutur memberikan ancaman kepada mitra tutur sehingga mitra tutur merasa terpojokkan, dan (5) menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.
ix
Yuliastuti, Elizabeth Rita. 2013. Linguistic and Pragmatic Language Impoliteness between Teachers and Students at Stella Duce 2 High School Yogyakarta Academic Year 2012/2013. THESIS. Yogyakarta: PBSID, JPBS, FKIP, USD.
This research aims to discuss about linguistic and pragmatic language impoliteness between teachers and students at Stella Duce 2 High School Yogyakarta academic year 2012/2013. The aims of this research are (1) to describe form of linguistic and pragmatic language impoliteness between teachers and students (2) to describe a sign of linguistic and pragmatic language impoliteness between teachers and students and (3) to describe the meaning of the language impoliteness used both by teachers and students at Stella Duce High School 2 Yogyakarta.
Type of this research is qualitative descriptive. The data is gained in form of impolite spoken language used among students and teachers. The instruments used in this research are interview, elicitation, and cases. The roundup data method used are grouping and interview. The collecting data method uses tapping method as a basic method, the continuation technique is direct interview and the last technique is written data recording. Interview technique is an elicitation technique as a basic technique. The follow up technique is direct interview and indirect interview. Both the techniques can be applied both in grouping and interview. The researcher can use those two techniques both in grouping and interview by inventoring, indentifying, and clarifying. In analyzing the data, the research cites the data and the spoken language. The final step done by the researcher is interpreting the meaning of the language. The data analysis used in this research is contextual analysis method.
The conclusions of this research are: First, the linguistics impoliteness form can be seen from the spoken language used both by students and teachers consisting of face-aggravate, gratuitous, face-threaten, and face-loss. Then pragmatic impoliteness form can be observed based on the contextual explanation (speaker, receiver, situation, condition, verbal act, perlocutionary act, purpose of speech) used in the language. Second, the sign of linguistic impoliteness can be seen from the tone, note, intonation and diction. The sign of pragmatic impoliteness can be observed based on the context consists of speaker, receiver, situation, condition, verbal act, perlocutionary act, and purpose of speech. Third, the meaning of impoliteness are (1) face-aggravate, taunt from the speaker to the receiver and hurts the person, (2) face-expression which confuses the speaker and receiver and it is annoying, (3) gratuitous which causes a conflict, (4) face-threaten which causes a threat to the person, and (5) face-loss is mortifies somebody in front of the people.
Suggestion from this research for future researcher is to deepen the research on impoliteness and how people do face-aggravate, gratuitous, face-threaten, and face-loss. Furthermore, the people researcher is expected to study about the sign of impoliteness in terms of non-verbal action.
x
Puji dan syukur dihaturkan kepada Yesus Kristus atas segala rahmat dan penyelenggaraan, serta karya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik Berbahasa antara Guru dan Siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013 dengan baik dan lancar. Skripsi ini disusun sebagai persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan studi dalam kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah (PBSID), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis akan mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP, USD, Yogyakarta yang telah mendukung proses perkembangan jati diri penulis selama menjalani proses studi di USD Yogyakarta.
2. Dr. Yuliana Setiyaningsih selaku Kaprodi PBSID sekaligus sebagai dosen pembimbing II yang juga selalu memberikan banyak masukan yang berharga bagi penulisan skripsi ini, memotivasi, dan membimbing dengan sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. sebagai Wakaprodi PBSID yang juga selalu mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I yang dengan sabar dan penuh perhatian selalu membimbing, memotivasi, dan memberikan masukan yang sangat berharga bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Sr. Fidelis Budiriastuti, CB, S.Pd., selaku Kepala Sekolah SMA Stella Duce 2 Yogyakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada peneliti untuk meneliti fenomena ketidaksantunan yang terjadi di sekolah.
6. Dra. R. Tuti Ratnaningsih, selaku Wakasek Kurikulum SMA Stella Duce 2 Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini.
xi
9. Semua pihak yang telah membantu sehingga tersusunlah skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna karena keterbatasan literatur dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan diterima penulis dengan senang hati. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat serta menambah ilmu pengetahuan khususnya di bidang pragmatik.
Yogyakarta, Juni 2013 Penulis
xii
Hal.
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
1.5. Batasan Istilah ... 8
xiii
BAB II KAJIAN TEORI ... 11
2.1 Penelitian yang Relevan ... 11
2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa ... 14
2.2.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher ... 15
2.2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield ... 18
2.2.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi ... 19
2.2.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts .. 21
2.2.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper ... 22
2.2.6 Rangkuman ... 23
2.3 Tindak Tutur ... 24
2.3.1 Tindak Lokusi ... 25
2.3.2 Tindak Ilokusi ... 26
2.3.3 Tindak Perlokusi ... 30
2.3.4 Rangkuman ... 31
2.4 Konteks Tuturan... 32
2.4.1 Penutur dan Lawan Tutur ... 36
2.4.1.1 ‘The Utterer’ dan ‘The Interpteter’ ... 38
2.4.1.2 Aspek-aspek Mental ‘Language Users’ ... 40
2.4.1.3 Aspek-aspek Sosial dan Budaya‘Language Users’ ... 41
xiv
2.4.3 Tujuan Sebuah Tuturan ... 47
2.4.4 Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan atau kegiatan: Tindakan Ujar ... 49
2.4.5 Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal ... 49
2.4.6 Rangkuman ... 51
2.5 Bunyi Suprasegmental ... 51
2.5.1 Tinggi-Rendah (Nada, Tona, Pitch) ... 52
2.5.2 Keras-Lemah (Tekanan, Aksen, Stress) ... 52
2.5.3 Intonasi ... 54
2.5.4 Rangkuman ... 54
2.6 Pilihan Kata ... 55
2.6.1 Bahasa Standar dan Nonstandar ... 56
2.6.2 Kata Ilmiah dan Kata-kata Populer ... 58
2.6.3 Jargon ... 59
2.6.4 Kata Percakapan ... 59
2.6.5 Kata Slang ... 60
2.6.6 Idiom ... 61
2.6.7 Bahasa Artifisial ... 62
2.6.8 Kata Seru ... 62
2.6.9 Kata Fatis ... 62
xv
BAB III METODE PENELITIAN ... 65
3.1 Jenis Penelitian... 65
3.2 Subjek Penelitian ... 65
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 66
3.4 Instrumen Penelitian ... 68
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 68
3.6 Sajian Analisis Data ... 70
3.7 Trianggulasi Hasil Analisis Data ... 71
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 72
4.1 Deskripsi Data ... 72
4.2 Hasil Analisis Data ... 77
4.2.1 Melecehkan Muka ... 78
4.2.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik ... 80
4.2.1.2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik ... 81
4.2.1.3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik ... 82
4.2.1.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 83
4.2.1.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Melecehkan Muka ... 86
4.2.2 Memain-mainkan Muka ... 87
4.2.2.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik ... 89
xvi
4.2.2.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 91
4.2.2.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Memain-mainkan Muka 94 4.2.3 Kesembronoan yang Disengaja ... 94
4.2.3.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik ... 97
4.2.3.2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik ... 97
4.2.3.3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik ... 98
4.2.3.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 99
4.2.3.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Berupa Kesembronoan 102 4.2.4 Mengancam Muka ... 103
4.2.4.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik ... 105
4.2.4.2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik ... 106
4.2.4.3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik ... 107
4.2.4.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 107
4.2.4.5 Makna Ketidaksantunan Berbahasa yang Mengancam Muka ... 110
4.2.5 Menghilangkan Muka ... 111
4.2.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik ... 113
4.2.1.2 Wujud Ketidaksantunan Pragmatik ... 114
4.2.1.3 Penanda Ketidaksantunan Linguistik ... 115
4.2.1.4 Penanda Ketidaksantunan Pragmatik ... 116
xvii
4.3.1 Melecehkan Muka ... 120
4.3.2 Memain-mainkan Muka ... 136
4.3.3 Kesembronoan yang Disengaja ... 150
4.3.4 Mengancam Muka ... 165
4.3.5 Menghilangkan Muka ... 178
BAB V PENUTUP... 192
5.1 Simpulan ... 192
5.2 Saran ... 196
DAFTAR PUSTAKA ... 198
xviii
Hal.
Tabel 1 Tuturan yang Melecehkan Muka ... 72
Tabel 2 Tuturan yang Memain-mainkan Muka ... 74
Tabel 3 Tuturan Kesembronoan yang Disengaja ... 75
Tabel 4 Tuturan yang Mengancam Muka ... 76
Tabel 5 Tuturan yang Menghilangkan Muka ... 77
LAMPIRAN ... …… 201
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat utama dalam komunikasi yang memiliki daya ekspresi dan informatif yang besar. Bahasa sangat dibutuhkan oleh manusia karena dengan bahasa manusia bisa menemukan kebutuhan mereka dengan cara berkomunikasi. Sebagai anggota masyarakat yang aktif dalam kehidupan sehari-hari, di dalam masyarakat orang sangat bergantung pada penggunaan bahasa (Sudaryanto dalam Abdurrahman, 2006:116-117).
semantik, (5) pragmatik. Berdasarkan urutan tersebut sudah sangat jelas bahwa ilmu bahasa pragmatik merupakan cabang dari ilmu bahasa atau linguistik (Rahardi, 2003:9).
Para peneliti bahasa biasanya mengkaji bahasa dari segi bentuknya saja dan memberikan batasan tentang bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi, serta mengidentifikasikan diri. Di sisi lain, setiap sistem dan lambang bahasa menyiratkan bahwa setiap lambang bahasa, baik bunyi (fonologi), kata (morfologi), frase, klausa, kalimat (sintaksis), dan wacana selalu memiliki makna tertentu, yang bisa saja berubah pada saat dan situasi tertentu bahkan tidak berubah sama sekali.
kalimat-kalimat yang diujarkan oleh pengguna bahasa dengan konteks tuturannya.
Di dalam ilmu pragmatik mengacu pada kajian penggunaan bahasa yang berdasarkan pada konteks. Bidang kajian yang berkenaan dengan kajian pragmatik ialah deiksis (dexis), praanggapan (presupposition), tindak tutur (speech act), implikatur percakapan (conversational implicature) (Abdurrahman, 2006:125), dan kesantunan berbahasa (politeness in language). Kesantunan berbahasa telah banyak dikaji oleh para pakar seperti Leech, Robin Lakoff, dan Brown and Levinson. Kesantunan biasanya identik dengan hal yang bersifat ketidaksantunan pula untuk membandingkan. Namun, pada kenyataannya terjadi ketimpangan studi terkhusus dalam ketidaksantunan berbahasa. Ketika berbahasa, seseorang tidak selalu menggunakan bahasa yang santun tetapi juga kadangkala menggunakan bahasa yang kurang santun. Dua hal mengenai kesantunan dan ketidaksantunan merupakan fenomena pragmatik yang harus dikaji lebih mendalam. Kajian mengenai ketidaksantunan berbahasa terlebih di Indonesia sangat kurang. Padahal, kajian mengenai ketidaksantunan harus diulas secara lengkap seperti halnya kesantunan.
selalu terjadi komunikasi baik antara siswa dan siswa, guru dan siswa, guru dan guru, maupun antarwarga sekolah. Di sekolah juga ditumbuhkan pendidikan karakter yang harus dilakukan oleh siswa. Salah satu aspek dalam pendidikan karakter itu adalah sopan santun. Aspek ini merupakan wujud kultur untuk memahami orang lain setiap berkomunikasi. Setiap komunikasi tidak jarang ditemukan adanya penyimpangan penggunaan bahasa. Penyimpangan ini pada dasarnya dilakukan untuk menimbulkan keakraban dan mengurangi jarak sosial. Namun, penggunaan bahasa yang tidak tepat dapat menimbulkan salah tafsir. Penggunaan bahasa yang kurang santun tersebut masih sangat jarang dikaji oleh para peneliti bahasa saat ini.
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan subjek berupa guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta karena SMA Stella Duce 2 Yogyakarta dirasa dapat mewakili tuturan siswa dari berbagai daerah. Siswa SMA Stella Duce 2 Yogyakarta terdiri dari berbagai daerah, mulai dari Pulau Sumatera hingga Pulau Papua. Keragaman siswa tersebut dapat menjadikan penelitian ini semakin baik karena dapat mengakomodasi bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang mewakili berbagai daerah di Indonesia. Selain itu, siswa-siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta dipandang sangat akrab dengan guru-gurunya sehingga kemungkinan besar tuturan antara guru dan siswa menggunakan ragam santai. Tuturan-tuturan yang dirasa akrab tersebut memungkinkan adanya ketidaksantunan berbahasa yang diucapkan baik antara guru kepada siswa maupun siswa kepada guru. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mendeskripsikan adanya penggunaan ketidaksantunan berbahasa yang dilakukan antara guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah-masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini meliputi:
b. Penanda ketidaksantunan berbahasa apa sajakah yang digunakan oleh siswa kepada guru dan guru kepada siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta?
c. Apa makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan oleh guru maupun siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta?
1.2 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah seperti di atas, maka tujuan penelitian ini secara terperinci adalah sebagai berikut:
a. Mendeskripsikan wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa antara guru dan siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.
b. Mendeskripsikan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik berbahasa yang digunakan oleh siswa kepada guru dan guru kepada siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.
c. Mendeskripsikan makna ketidaksantunan berbahasa yang digunakan oleh guru maupun siswa di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta.
1.3 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat mendalami pengembangan pragmatik khususnya yang berkaitan dengan ketidaksantunan berbahasa sebagai fenomena pragmatik. Penelitian ini dapat dikatakan memiliki kegunaan teoretis karena dengan memahami teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam berkomunikasi untuk menghindari penggunaan bahasa yang kurang santun.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ketidaksantunan berbahasa ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi sekolah terutama guru dan siswa dalam berkomunikasi untuk menghindari penggunaan bahasa yang kurang santun. Demikian pula, penelitian ini akan memberikan masukan kepada para praktisi dalam bidang pendidikan terutama bagi dosen, guru, mahasiswa, siswa, dan tenaga kependidikan untuk mempertimbangkan adanya ketidaksantunan berbahasa dalam berkomunikasi yang harus dihindari.
1.4 Batasan Istilah a. Ketidaksantunan
2008:3—4). Jadi, perilaku berbahasa akan dikatakan tidak santun bilamana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya.
b. Linguistik
Linguistik ialah “The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics” (Matthew, 1997). Linguistik sebagaimana telah dijelaskan Matthew (1997) ialah studi tentang ilmu bahasa dan mengkaji struktur gramatikal, sintaksis, dan fonetik. c. Pragmatik
Pragmatik merupakan studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca) (Yule, 2006:3). d. Konteks
1.5 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi (1) latar belakang masalah, (2) rumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) batasan istilah, dan (6) sistematika penyajian.
Bab II ialah bab mengenai landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis masalah-masalah yang diteliti. Bab II berisi (1) penelitian yang relevan, (2) teori ketidaksantunan berbahasa, (3) tindak tutur, (4) konteks tuturan, (5) bunyi suprasegmental, (6) pilihan kata, dan (7) kerangka berpikir.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat cara dan prosedur yang akan digunakan untuk menganalisis penelitian ini. Adapun bab III ini berisi, (1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian analisis data, dan (7) trianggulasi hasil analisis data.
Bab IV akan diuraikan mengenai tiga hal, yakni (1) deskripsi data, (2) sajian analisis data, dan (3) pembahasan.
Bab V berisi tentang (1) kesimpulan dan (2) saran untuk penelitian selanjutnya yang masih berhubungan dengan penelitian ini.
11
BAB II KAJIAN TEORI
2.1Penelitian yang Relevan
Peneliti pada saat melakukan penelitian ini belum menemukan penelitian yang relevan dengan penelitian ketidaksantunan karena penelitian mengenai ketidaksantunan berbahasa di Indonesia belum ditelaah, khususnya oleh para mahasiswa PBSID, FKIP, USD. Hal ini juga dilihat dari buku yang berjudul Impoliteness in Language oleh Bousfield (2008) yang merupakan salah satu wujud keprihatinan linguis yang berkecimpung dalam pragmatik khususnya mengenai ketidaksantunan berbahasa yang belum dikaji secara mendalam. Peneliti juga hingga waktu penulisan penelitian ini memang belum mendapatkan referensi mengenai ketidaksantunan secara lengkap.
Penyimpangan Maksim Kesantunan dalam Tuturan Imperatif Guru kepada Siswa
Kelas VIII SMP Negeri 1 Pringsurat Temanggung dalam Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia”. Penelitian ini berusaha menjawab jenis kesantunan yang terdapat
dalam tuturan imperatif guru kepada siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Pringsurat
Temanggung dan jenis penyimpangan maksim kesantunan yang terdapat dalam
tuturan imperatif yang diucapkan guru kepada siswa kelas VIII SMP Negeri 1
Pringsurat Temanggung. Hasil penelitian ini ialah (1) ada dua jenis kesantunan
dalam tuturan imperatif yaitu jenis kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan
deklaratif dan kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan interogatif. Kedua
jenis kesantunan tersebut diungkapkan dalam bentuk tuturan imperatif. Jenis
kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan deklaratif terdiri dari berbagai
macam tuturan yaitu (1) tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik
imperatif larangan, (2) tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik
imperatif permohonan, (3) tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik
imperatif ajakan, dan (4) tuturan deklaratif yang menyatakan makna pragmatik
imperatif suruhan. Jenis kesantunan pragmatik imperatif dalam tuturan
interogatif, terdapat tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik
imperatif larangan dan tuturan interogatif yang menyatakan makna pragmatik
imperatif ajakan. (2) Ada lima penyimpangan maksim yang terjadi dalam tuturan
imperatif yang dituturkan guru SMP Negeri 1 Pringsurat Temanggung yaitu (1)
maksim kemurahan hati, (2) maksim kebijaksanaan, (3) maksim cara, (4) maksim
Penelitian kedua dilakukan oleh Kusumastuti (2010) dengan judul
“Kesantunan Berbahasa Indonesia Pembawa Acara Stasiun Televisi Swasta
Nasional”. Penelitian ini bertujuan menemukan keteraturan pembawa acara
televisi dalam merealisasikan kesantunan tuturan. Hasil penelitian ini ditemukan
lima kelompok tuturan santun pembawa acara televisi, yakni (1) tuturan yang
menunjukkan sikap menghargai mitra tutur, (2) tuturan yang mengandung upaya
menarik minat pemirsa, (3) tuturan yang berisi nasihat, (4) tuturan yang
menunjukkan prioritas terhadap mitra tutur berjarak sosial paling jauh, dan (5)
tuturan yang menunjukkan sikap rendah hati. Adapun strategi yang digunakan
oleh pembawa acara televisi tersebut ialah (1) strategi bertutur dengan kesantunan
positif, (2) strategi bertutur lugas, (3) strategi bertutur samar-samar, dan (4)
strategi bertutur dengan kesantunan negatif. Penelitian ini juga menemukan
penanda bahasa verbal dan nonverbal yang menunjukkan kesantunan berbahasa
para pembawa acara televisi, yakni (1) nomina pengacu dan nomina penyapa, (2)
adverbia modalitas, (3) gaya bahasa, (4) interjeksi, jenis kalimat, serta (5) bahasa
nonverbal yang menyertai tuturan.
Penelitian ketiga dilakukan oleh Sukoco (2002) dengan judul “Penanda
Lingual Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Bentuk Tuturan Imperatif: Studi
Kasus Pemakaian Tuturan Imperatif di Lingkungan SMU Stella Duce Bantul”.
Hasil penelitian ini ialah tuturan imperatif terbagi atas tuturan imperatif larangan,
tuturan imperatif permintaan, dan tuturan imperatif ajakan. Adapun penanda
kata-kata tolong, ayo, (ayok), mari, silakan, dan pemakaian kata maaf sebagai bentuk eufimisme bahasa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa peneliti memang
menemui kesulitan terkait penelitian yang relevan dengan penelitian
ketidaksantunan. Kelangkaan tersebut seperti yang diutarakan Locher (2008:1)
yang menyatakan impoliteness and power in language seeks to address the
enormous imbalance that exists between academic interest in politeness phenomena as opposed to impoliteness phenomena. Jadi, ketimpangan antara kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa dikatakan sebagai ketimpangan yang
sangat besar. Berdasarkan penelitian tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa
penelitian kesantunan berbahasa relevan dengan penelitian ketidaksantunan
berbahasa yang akan dilakukan oleh peneliti karena penelitian kesantunan
berbahasa merupakan dasar dalam mengkaji ketidaksantunan berbahasa.
2.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa
Ketidaksantunan berbahasa merupakan bentuk pertentangan dengan
kesantunan berbahasa. Jika kesantunan berbahasa berkaitan dengan
penggunaan bahasa yang baik dan sesuai dengan tatakrama, ketidaksantunan
berbahasa berkaitan dengan penggunaan bahasa yang tidak baik dan tidak
sesuai dengan tatakrama. Ketidaksantunan berbahasa banyak ditemukan
dalam kehidupan sehari, baik secara lisan maupun tulisan. Ketidaksantunan
tetapi juga oleh masyarakat yang berpendidikan (kaum intelektual). Banyak
ditemui dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berpendidikan yang tidak
santun dalam berbahasa. Pemakaian bahasa yang tidak santun tersebut tentu
saja disebabkan oleh ketidakmampuan orang untuk mengendalikan amarahnya
dan keinginan orang tersebut untuk meluapkan rasa bencinya kepada orang
lain sehingga dirasakan adanya pembebasan dari segala bentuk dan situasi
yang tidak mengenakkan. Berikut ini ialah beberapa teori yang menguraikan
mengenai ketidaksantunan.
2.1.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam pandangan Locher
Menurut Miriam A. Locher (2008:3) ketidaksantunan dalam berbahasa
dapat dipahami sebagai berikut, ‘Impoliteness is behaviour that is
face-aggravating in a particular context.’ Inti dari pandangan Locher tersebut adalah bahwa ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk pada perilaku
‘melecehkan’ muka (face-aggravate). Dalam pandangannya, sebuah tuturan
akan dikatakan tidak santun kalau tuturan tersebut melecehkan muka mitra
tuturnya. Sebagai contohnya, berikut ini disampaikan tuturan yang
mengandung ketidaksantunan berbahasa yang disampaikan siswa kepada
mahasiswa PPL (calon guru) di kelas. Adapun latar belakang situasinya
adalah di dalam kelas dengan kondisi siswa-siswi dalam keadaan ribut ketika
mahasiswa PPL menjelaskan.
(2) Siswa : “Gak papalah buk, kan kami sudah capek karna udah …………jam ngantuk”
(3) Guru : “Kalian ini, sudah besar kok belum tahu cara …………menghargai orang yang sedang berbicara di depan.” (4) Siswa : “Halah buk, ibuk inikan baru PPL, gitu aja udah
…………sombong ngatur-ngatur kita segala.”
Tuturan dalam contoh di atas sudah merupakan bentuk kebahasaan
yang sangat jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian
karena tanpa harus ditambah dengan informasi yang lainnya, tuturan tersebut
sudah dapat dipahami dengan jelas oleh mitra tuturnya.
Di dalam tuturan (4) tampak sangat jelas bahwa apa yang dituturkan
oleh siswa sangat melecehkan gurunya di kelas. Berdasarkan tuturan tersebut
di atas, dapat kita lihat seorang siswa yang sedang belajar di kelas dan
diperingatkan oleh gurunya untuk memperhatikan penjelasan berbalik
memberikan kata-kata balasan untuk ‘melecehkan’ mahasiswa PPL yang
notabene calon guru melalui tuturan (4). Tuturan siswa kepada mahasiswa
PPL tersebut tidak santun karena ‘melecehkan’ muka mahasiswa PPL. Siswa
tersebut menganggap remeh mahasiswa PPL yang mengajar. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka memandang ‘sebelah mata’ mahasiswa PPL
tersebut.
Perilaku melecehkan muka seperti contoh tersebut di atas,
sesungguhnya lebih dari sekadar ‘mengancam’ muka (face-threaten), seperti
Brown and Levinson (1987), atau sebelumnya pada tahun 1978, yang
cenderung dipengaruhi konsep muka Erving Goffman (cf. Rahardi, 2009).
Interpretasi lain yang berkaitan dengan definisi Locher tentang
ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya
bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang
‘memain-mainkan muka’. Sebagai contohnya, berikut ini disampaikan tuturan yang mengandung ketidaksantunan berbahasa berupa ‘memain-mainkan
muka’ yang tampak pada cuplikan berikut.
(5) Guru : “Jadi, kalian sudah jelas belum?
(6) Siswa : “Ah nggak jelas buk, temen-temen aja nggak dong!”
Tuturan di atas disampaikan oleh seorang siswa kepada gurunya ketika
di kelas sedang dalam proses pembelajaran. Di dalam tuturan (6), siswa
tersebut ‘memain-mainkan muka’ gurunya di depan kelas. Hal tersebut terjadi
karena siswa belum jelas dengan penjelasan gurunya, cukup mengatakan
bahwa ia belum paham saja, tetapi ia justru menambahkan kalimat “…
temen-temen aja nggak dong”. Kalimat tambahan ini merupakan bentuk ketidaksantunan berbahasa karena siswa tersebut sama halnya mengajak
teman yang lain untuk mendukung pemikirannya yang notabene belum
memahami pelajaran yang disampaikan gurunya. Jadi, ketidaksantunan
tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana
yang dilambangkan dengan kata ‘aggravate’ itu.
2.1.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield
Dalam pandangan Derek Bousfield (2008:3), ketidaksantunan dalam
berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous),
dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun itu.
Sebagai contohnya, berikut ini disampaikan tuturan yang mengandung
ketidaksantunan berbahasa yang diucapkan oleh siswa kepada guru di kantin
pada saat jam istirahat. Adapun latar belakang situasinya adalah di kantin
terdapat guru-guru yang sedang berbincang-bincang kemudian datang
beberapa orang siswa menyela pembicaraan guru-guru tersebut.
(7) Siswa : “Siang buk. Lagi apa?” (8) Guru : “Siang.”
(9) Siswa : “Buk, kok tumben ibuk gak pake lagi cincinnya lagi?” (10)Guru : “Apa-apaan kamu ini.”
(11)Siswa : “Hayo ibuk, udah putus apa buk?” (12)Guru : “Sudah sana, kamu makan dulu.”
Berdasarkan tuturan (9) dan (11) tersebut di atas, dapat kita lihat
adanya tuturan siswa yang ‘sembrono’ terhadap gurunya. Siswa tersebut
‘sembrono’ melalui pertanyaan yang terlalu pribadi kepada gurunya. Sekilas
tuturan yang disampaikan siswa tersebut hanya semacam ‘bercandaan’
semata tetapi apabila tidak dapat diperantikan dengan tepat maka tuturan
tersebut dapat menjadi sebuah ironi. Tuturan siswa kepada gurunya ini dirasa
tidak santun karena siswa tersebut secara langsung menanyakan hal yang
bersifat personal kepada gurunya. Pertuturan tersebut di atas apabila tidak
terkontrol dapat menimbulkan konflik antara guru dan siswa karena dapat saja
guru merasa tersinggung oleh pertanyaan siswa yang terlalu bersifat personal
itu.
Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan
ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga
akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik,
atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan
kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.
2.1.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi
Marina Terkourafi (2008:3—4) memandang ketidaksantunan
berbahasa sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not
berbahasa dalam pandangannya akan dikatakan tidak santun bilamana mitra
tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka (face threaten), dan penutur (speaker) tidak mendapatkan maksud ancaman muka itu dari mitra tuturnya. Sebagai contohnya, berikut ini disampaikan tuturan
yang mengandung ketidaksantunan berbahasa yang diucapkan oleh siswa
kepada guru di kelas. Adapun latar belakang situasinya adalah guru sedang
menjelaskan di kelas.
(13)Guru : “Tugas minggu depan kalian membuat macromedia ………….flash untuk presentasinya.”
(14)Siswa : “Haduh pak, apa itu? Nggak ngerti.”
(15)Guru : “Kamu ini bagaimana, sudah sekolah di tengah kota …………kok macromedia flash saja tidak bisa.”
(16)Siswa : “Saya nggak pernah pak buat begituan.” (17)Guru : “Berusaha cari tahu dan kamu pelajari.”
Berdasarkan tuturan tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa guru
tersebut menggunakan tuturan yang tidak santun (15) kepada siswa. Dalam
hal ini, siswa merasa sangat malu karena ia benar-benar tidak mengerti
macromedia flash tetapi sang guru justru mengatakan tuturan (15) di depan kelas. Tuturan ini tentu ‘menghilangkan muka’ sekaligus ‘mengancam muka’
siswa tersebut di depan kelas. Siswa selain merasa malu juga sakit hati karena
guru justru memberikan kata-kata yang kurang santun (17). Guru tanpa
sebisanya, tetapi ia membahasakan melalui tuturannya terlalu keras sehingga
tuturannya tidak santun.
2.1.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts Miriam A. Locher dan Richard J. Watts (2008:4) berpandangan bahwa
perilaku tidak santun dalam berbahasa adalah perilaku yang secara normatif
dianggap negatif (negatively marked behavior), lantaran melanggar
norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Juga mereka menegaskan
bahwa ketidaksantunan berbahasa merupakan peranti untuk menegosiasikan
hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya
pandangan Locher dan Watts tentang ketidaksantunan berbahasa tampak
berikut ini, ‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more
generally is as much as this negation as polite versions of behavior.’ (cf. Locher and Watts, 2008:5). Sebagai contohnya disampaikan tuturan yang
mengandung ketidaksantunan berbahasa yang disampaikan oleh siswa kepad
guru di laboratorium bahasa. Guru dan siswa telah bersepakat untuk
pengambilan nilai drama dimulai pukul 07.00 WIB, tetapi ada siswa yang
sengaja datang terlambat pukul 08.00 WIB.
(18)Siswa : “Pagi buk, maaf telat.” (19)Guru : “Jam berapa ini?”
Berdasarkan tuturan (20) tersebut dapat dilihat bahwa siswa tersebut
telah melakukan perilaku normatif yang dianggap negatif karena telah
melanggar kesepakatan yang telah ditentukan bersama. Hal ini semakin
didukung dengan tuturan (20) yang dirasa bahwa siswa tersebut tidak sopan
karena datang sudah terlambat, ditambah pula dengan kalimat “kapan giliran
saya buk?”. Siswa ini seolah-olah tidak peka bahwa pasti guru kecewa karena ia datang terlambat tetapi masih menanyakan jam berapa ia mendapat giliran.
Kekecewaan itu diperlihatkan oleh guru melalui tuturan (21) yang bermakna
lebih baik siswa tersebut tidak usah mengambil nilai drama.
2.2.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper
Pemahaman Jonathan Culpeper (2008:3) tentang ketidaksantunan
berbahasa adalah sebagai berikut: ‘Impoliteness, as I would define it, involves
communicative behavior intending to cause the “face loss” of a target or perceived by the target to be so.’ Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’— kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘ilang raine’ (hilang mukanya). Sebagai contohnya,
disampaikan tuturan yang mengandung ketidaksantunan berbahasa oleh siswa
kepada calon guru (mahasiswa PPL) di mana seorang siswa mengetahui
mahasiswa PPL yang sedang berjalan berdua di luar lingkungan sekolah.
(24)Siswa : “Ah bapak ini, pura-pura lupa.”
(25)Guru : “Itu hanya ada urusan di luar sebentar berdua bersama Bu …………Heni (mahasiswa PPL juga).”
(26)Siswa : “Ciiee.. ciieee… bapaakkk..”
Berdasarkan tuturan tersebut dapat terlihat bahwa sang guru merasa
‘kehilangan muka’ ketika tidak sengaja ada siswanya yang mengetahui bahwa
guru tersebut sedang jalan berdua bersama rekan satu PPLnya. Jadi
ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang
benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut
‘merasa’ kehilangan muka.
2.2.6 Rangkuman
Sebagai rangkuman dari sejumlah teori ketidaksantunan yang
disampaikan di bagian depan, dapat ditegaskan bahwa ketidaksantunan
berbahasa itu menunjuk pada perilaku ‘melecehkan’ muka (face-aggravate)
dan memain-mainkan muka sebagai wujud dari interpretasi lain dari fakta
melecehkan muka yang telah disebutkan. Kedua, ketidaksantunan berbahasa
menunjuk pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous) dan konfliktif (conflictive). Ketiga, ketidaksantunan berbahasa menunjuk pada sesuatu hal di mana mitra tutur (addressee) merasakan ancaman terhadap kehilangan muka
muka itu dari mitra tuturnya. Keempat, ketidaksantunan berbahasa menunjuk
pada perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked
behavior), lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima, ketidaksantunan berbahasa menunjuk pada perilaku yang
membuat seseorang merasa ‘kehilangan muka’. Kelima teori ketidaksantunan
berbahasa itu, semuanya akan digunakan sebagai kacamata untuk melihat
praktik berbahasa yang tidak santun antara guru dan siswa di SMA Stella
Duce 2 Yogyakarta Tahun Ajaran 2012/2013.
2.2 Tindak Tutur
Yule (1996:81) menjelaskan bahwa dalam usaha untuk
mengungkapkan dirinya, penutur tidak hanya menghasilkan tuturan yang
mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, tetapi penutur
juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan-tuturan itu.
Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan itu biasanya disebut tindak tutur.
Tindak tutur menurut Richard, Platt, dan Platt (melalui Abrurrahman,
2006:127) ialah suatu tuturan atau ujaran yang merupakan satuan fungsional
dalam komunikasi. Searle melalui bukunya Speech Acts An Essay in The
Philosophy of Language (dalam Wijana, 2011:21) mengemukakan bahwa secara pragmatik setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat
diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act),
2.3.1. Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (Wijana,
2011:21). Tindak tutur ini dinamakan the act of saying something. Konsep
lokusi sendiri berkenaan dengan proposisi kalimat. Kalimat di sini dimengerti
sebagai suatu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subjek/topik dan
predikat/comment (Nababan, 1987:4 dalam Wijana:22). Sebagai satuan
kalimat, pengidentifikasian tindak lokusi cenderung dapat dilakukan tanpa
menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur. Jadi, tindak
tutur lokusioner adalah tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai
dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu sendiri
(Rahardi, 2009:17) atau menurut Yule (1996:83) tindak dasar tuturan atau
yang menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna.
Perhatikan contoh berikut.
(1) Ibu kota Provinsi DI Yogyakarta adalah Yogyakarta. (2) Saudaranya tiga orang.
Kalimat (1) dan (2) dituturkan oleh penuturnya semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi
untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Pada kalimat (1), informasi yang
dituturkan adalah nama ibu kota Provinsi DI Yogyakarta, dan kalimat (2)
berapa jumlah saudaranya. Kalimat (3) juga berfungsi untuk mengutarakan
informasi, yaitu bagaimana harga BBM, bagaimana beban subsidi pada
APBN, apa saja yang dikatakan Presiden SBY. Kemungkinan adanya daya
ilokusi dan perlokusi dalam kalimat (3) sangat terbuka, tetapi kadar daya
lokusinya jauh lebih dominan atau menonjol karena sifat informatifnya.
Berdasarkan contoh-contoh itu, dapatlah dilihat bahwa ihwal maksud
tuturan yang disampaikan oleh penutur tidak dipermasalahkan sama sekali.
Dengan demikian, tindak tutur lokusioner adalah tindak menyampaikan
informasi yang disampaikan oleh penutur.
2.3.2 Tindak Ilokusi
Sebuah tuturan berfungsi untuk mengatakan atau menyampaikan
sesuatu dan untuk melakukan sesuatu. Tuturan yang berfungsi untuk
menyampaikan sesuatu disebut tindak lokusi, sedangkan tuturan yang
berfungsi untuk melakukan sesuatu dinamakan tindak ilokusi (Wijana,
2011:23). Tindak tutur ini disebut the act of doing something. Tindak tutur
ilokusioner merupakan tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi
ilokusioner cenderung tidak hanya digunakan untuk menginformasikan
sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya
dipertimbangkan dengan seksama. Perhatikan contoh-contoh yang diberikan
Wijana (2011:23) berikut ini.
(4) Saya tidak dapat datang. (5) Ada anjing gila.
(6) Rambutmu sudah panjang.
Kalimat (4) s.d (6) ini tidak saja memberi informasi tertentu (sesuai isi
kalimat itu) tetapi juga untuk melakukan sesuatu jika dipertimbangkan situasi
tuturnya berikut ini. Kalimat (4) bila diutarakan oleh seseorang kepada
temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk
menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf.
Informasi ketidakhadiran petutur dalam hal ini kurang begitu penting karena
besar kemungkinan lawan tutur sudah mengetahui hal itu. Kalimat (5) yang
biasa ditemui di pintu pagar atau di bagian depan rumah pemilik anjing tidak
hanya berfungsi untuk membawa informasi, tetapi untuk memberi peringatan.
Akan tetapi, bila ditujukan kepada pencuri, tuturan itu mungkin pula
diutarakan untuk menakut-nakuti. Kalimat (6) bila diucapkan oleh seorang
lelaki kepada pacarnya, mungkin berfungsi untuk menyatakan kekaguman
atau kegembiraan. Akan tetapi, bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anak
lelakinya, atau seorang isteri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan
Gambaran contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa tindak ilokusi
sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan
siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana tindak tutur itu terjadi, dan
sebagainya. Selain itu, tindak ilokusi ditampilkan melalui penekanan
komunikatif suatu tuturan. Itulah sebabnya tindak ilokusi menjadi bagian yang
sentral untuk memahami tindak tutur.
Tindak tutur ilokusi sering menjadi kajian utama dalam bidang
pragmatik (Rahardi, 2009:17). Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid. dan
Rahardi: 2005:36-37) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam lima macam
bentuk tuturan, yakni
(1) Asertif (assertives) atau representatif, yaitu bentuk tutur yang mengikat
penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya
menyatakan (stating), menyarankan (suggeting), membual (boasting),
mengeluh (complaining), dan mengklaim (claiming).
(2) Direktif (direcitives) yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya
untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur melakukan tindakan,
misalnya memesan (ordering), memerintah (commanding), memohon
(requesting), menasihati (advising), dan merekomendasi
(recommending).
(3) Ekspresif (expressives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk
menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu
(congrangtulating), meminta maaf (pardoning), menyalahkan
(blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa (condoling).
(4) Komisif (cummissives) yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk
menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promosing),
bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).
(5) Deklarasi (declarations) yaitu bentuk tutur yang menghubungkan isi
tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning), memecat
(dismissing), membaptis (christening), memberi nama (naming),
mengangkat (appointing), mengucilkan (excommuningcating), dan
menghukum (sentencing).
Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya ini terangkum
dalam tabel berikut.
Tabel : Lima Fungsi umum tindak tutur (menurut Searle, dalam Yule, 1996:95)
Tipe tindak tutur Arah penyesuaian P = penutur; X = situasi Deklarasi Kata mengubah dunia P menyebabkan X Representatif Kata disesuaikan dengan
dunia
P meyakini X
Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia
P merasakan X
Direktif Dunia disesuaikan dengan kata
P menginginkan X
Komisif Dunia disesuaikan dengan kata
2.3.3 Tindak Perlokusi
Tuturan juga seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary
force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak
tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur
disebut dengan tindak perlokusi (Wijana, 2011: 24). Tindak tutur ini disebut
the act of affecting something. Wijana (2011:24-26) memberikan beberapa contoh berikut.
(7) Rumahnya jauh
(8) Kemarin saya sangat sibuk
(9) Televisinya 20 inci
Kalimat (7), (8), dan (9) mengandung lokusi dan ilokusi bila
dipertimbangkan konteks situasi tuturnya, serta perlokusi jika penutur
mengkreasikan daya pengaruh tertentu kepada lawan tuturnya. Bila kalimat
(7) diutarakan oleh seorang ketua perkumpulan, maka ilokusinya adalah
secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang dibicarakan tidak
dapat terlalu aktif di dalam organisasinya. Adapun efek perlokusi yang
mungkin diharapkan agar ketua tidak terlalu banyak memberikan tugas
kepadanya. Bila kalimat (8) diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat
menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini
merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusi (efeknya) yang
kalimat (9) diutarakan oleh seseorang kepada temannya pada saat akan
diselenggarakannya siaran langsung kejuaraan dunia tinju kelas berat, kalimat
ini tidak hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa ajakan
untuk menonton di tempat temannya, dengan perlokusi lawan tutur
menyetujui ajakannya.
Tindak tutur perlokusioner mengandung daya pengaruh bagi lawan
tutur. Contoh lain yang dikemukakan Wijana (2011:25) adalah
(10) Baru-baru ini Walikota telah membuka Kurnia Department Store yang terletak di pusat perbelanjaan dengan tempat parkir yang cukup luas.
Kalimat (10) selain memberikan informasi, juga secara tidak langsung
merupakan undangan atau ajakan untuk berbelanja ke department store
bersangkutan. Letak department store yang strategis dengan tempat parkirnya
yang luas diharapkan memiliki efek untuk membujuk para pembacanya.
Wacana seperti ini seringkali dijumpai pada bentuk wacana iklan. Secara
sepintas, wacana iklan seperti ini merupakan berita, tetapi daya ilokusi dan
perlokusinya sangat besar terlihat.
2.3.4 Rangkuman
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam usaha
untuk mengungkapkan dirinya, penutur tidak hanya menghasilkan tuturan
penutur juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan-tuturan itu
(Yule, 1996:81). Tindakan-tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang
penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act) atau tindak tutur untuk
menyatakan sesuatu (Wijana, 2011:21), tindak ilokusi (illocutionary act) atau
untuk melakukan sesuatu, dan tidak perlokusi (perlocutionary act) atau
tuturan mempunyai daya pengaruh. Tindak ilokusi sendiri menjadi kajian
utama dalam bidang pragmatik (Rahardi, 2009:17). Tindak ilokusi menurut
Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid. dan Rahardi: 2005:36-37) digolongkan
dalam lima macam bentuk tuturan, yakni asertif, direktif, ekspresif, komisif,
dan deklarasi.
2.4 Konteks Tuturan
Sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi langsung
elemen makna unsur-unsurnya. Makna sebuah tuturan dapat diketahui melalui
konteks yang menyertai tuturan tersebut. Leech (1983:13) memerikan konteks
sebagai ‘context has been understood in various ways, for example to include
‘relevant’ aspects of the physical or social setting of an utterance. I shall consider context to be any background knowledge assumed to be shared by s and h and which contributes to h’s interpretation of what s means by a given utterance. Jadi, konteks menurut Leech tersebut ialah aspek-aspek fisik maupun sosial penutur dan mitra tutur dalam tuturan. Pengetahuan dan benar
belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh pelibat pertuturan yang
akan membantu untuk menafsirkan kandungan pesan atau maksud yang
hendak disampaikan dalam setiap pertuturan.
Leech (1983) menyebut konteks sebagai ‘speech situation’. Hal ini
berbeda dengan Verschueren (1998) dan Malinowsky (1923) yang
menyebutnya sebagai ‘context of situation’. Jauh sebelum para pakar
linguistik dan pragmatik lain, Malinowsky pada tahun 1923, berbicara tentang
konteks itu sendiri, khususnya konteks yang berdimensi situasi atau ‘context
of situation’. Secara khusus Malinowsky mengatakan, seperti yang dikutip di dalam Vershueren (1998:75), ‘Exactly as in the reality of spoken or written
languages, a word without linguistics context is a more figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation.’ Jadi, di dalam pandangannya sesungguhnya dinyatakan bahwa kehadiran konteks situasi menjadi mutlak
untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna. Tanpa adanya
konteks yang menyertai pertuturan, tuturan yang terjadi tidak akan bermakna
apapun.
Hymes (1974) mengemukakan bahwa konteks terdiri dari latar fisik
dan psikologi (setting and scene), peserta (participants), tujuan komunikasi
(ends), pesan yang disampaikan (act sequence), nada tutur (key), norma tutur
pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh n dan t yang
membantu t menafsirkan makna tuturan (melalui Nugroho, 2009: 119).
Sejalan dengan itu, Mey (dalam Nugroho, 2009:121) mendefinisikan
konteks sebagai konsep dinamis dan bukan konsep statis, yang harus
dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah, dalam arti luas yang
memungkinkan partisipan berinteraksi dalam proses komunikasi dan ekspresi
linguistik dari interaksi mereka yang dapat dimengerti. Konteks tersebut
meliputi siapa penutur dan mitra tutur, tempat, waktu, tujuan tutur, dan latar
belakang pengetahuan.
Penjelasan agak panjang terkait konteks dikemukan Levinson.
Levinson (1983:5) mengemukakan konteks dari definisi Carnap, yaitu istilah
yang dipahami yang mencakup identitas partisipan, parameter, ruang dan
waktu dalam situasi tutur, dan kepercayaan, pengetahuan, serta maksud
partisipan di dalam situasi tutur. Selanjutnya Levinson (1983:22-23)
menjelaskan bahwa untuk mengetahui sebuah konteks, seseorang harus
membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua
keserberagaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan
tersebut secara budaya dan linguistik yang berhubungan dengan produksi dan
penafsiran tuturan. Untuk mengetahui konteks, Levinson mengambil pendapat
Lyons yang membuat daftar prinsip-prinsip universal logika dan pemakaian
(1) Pengetahuan ihwal aturan dan status (aturan meliputi aturan dalam
situasi tutur seperti penutur atau petutur, dan aturan sosial, sedangkan
status meliputi nosi kerelativan kedudukan sosial);
(2) Pengetahuan ihwal lokasi spasial dan temporal;
(3) Pengetahuan ihwal tingkat formalitas;
(4) Pengetahuan ihwal medium; kira-kira kode atau gaya pada sebuah
saluran seperti perbedaan antara variasi bahasa tulis dan lisan;
(5) Pengetahuan ihwal ketepatan sesuatu yang dibahas; dan
(6) Pengetahuan ihwal ketepatan bidang wewenang (atau penentuan domain
register sebuah bahasa). (melalui Nugroho, 2009:119-120).
Mey (dalam Kunjana 1994:39), ‘… context is more than a matter of
reference and of understanding what things are about, practically speaking. Context is also what gives our utterances their deeper meaning.’ Pada bagian lain Mey (1994:40) menegaskan ‘the context is also of paramaount
importance in assigning a proper value to such phenomena as propositions, implicature, and the whole sets of context-oriented features …’ Jadi, dengan kehadiran konteks itu, sebagaimana yang dimaksudkan Mey di atas, sangat
dimungkinkan dipahami entitas kebahasaan secara lebih komprehensif dan
mendalam, bukan sekadar menunjuk pada hal-hal yang sifatnya referensial.
Yule (melalui Nugroho, 2009: 120) membahas konteks dalam kaitannya
bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang
diacu. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Yule membedakan konteks dan
koteks. Konteks ia definisikan sebagai lingkungan fisik di mana sebuah kata
dipergunakan. Koteks menurut Yule adalah bahan linguistik yang membantu
memahami sebuah ekspresi atau ungkapan. Koteks adalah bagian linguistik
dalam lingkungan tempat sebuah ekspresi dipergunakan.
Konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam
kemungkinan latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki
bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek
non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi
hadirnya sebuah pertuturan tertentu (Rahardi, 2007:18).
Sehubungan dengan berbagai macam maksud yang mungkin
dikomunikasikan oleh penutur sebuah tuturan, Leech (1983:13)
mengemukakan aspek-aspek situasi ujar atau ‘speech situation’ itu dapat
dibedakan menjadi lima macam, yakni: (1) penutur dan lawan tutur, (2)
konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tuturan sebagai tindak verbal, dan (5)
tuturan sebagai produk tindak verbal.
2.4.1 Penutur dan Mitra Tutur
Aspek situasi ujar yang berupa penutur dan lawan tutur atau ‘speaker’
interpreter’, akan sangat berdekatan dengan dimensi usia, jenis kelamin, latar belakang pendikan, latar belakang kultur, latar belakang sosial, latar belakang
ekonomi, dan juga latar belakang fisik, psikis atau mentalnya, atau yang juga
diistilahkan dalam Verschueren (1998) sebagai ‘physical world’, ‘social
world’, dan ‘mental world’. Selain hadirnya ‘penutur’ dan ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’ dalam aspek konteks, sesungguhnya masih dimungkinkan hadirnya sebuah pertuturan itu bisa lebih dari semuanya itu.
Leech memberikan simbol bahwa orang yang menyapa atau ‘penutur’
dengan n dan orang yang disapa atau ‘petutur’ dengan t. Simbol-simbol ini merupakan singkatan untuk ‘penutur/penulis’ dan ‘petutur/pembaca’. Jadi,
penggunaan n dan t tidak membatasi pragmatik pada bahasa lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis. Wijana (melalui Rahardi,
2007:19) menekankan bahwa aspek-aspek yang mesti dicermati pada diri
penutur maupun mitra tutur diantaranya ialah jenis kelamin, umur, daerah
asal, dan latar belakang keluarga serta latar belakang sosial-budaya lainnya
yang dimungkinkan akan menjadi penentu hadirnya makna sebuah pertuturan.
Bertutur dengan memerhatikan aspek-aspek pelibat tutur yang demikian itu
akan menjamin keberhasilan proses bertutur daripada sama sekali tidak
memerhatikannya. Kesalahpahaman di dalam aktivitas bertutur biasanya juga
dapat diminimalisasikan dengan cara yang demikian itu. Pemahaman yang
baik tentang hal tersebut akan membuat orang mengerti pertimbangan konteks
siapa dan harus menggunakan bentuk yang bagaimana, serta dalam
pertimbangan konteks situasi yang bagaimana (Rahardi, 2007:19-20).
Lebih lanjut dijelaskan di dalam Verschueren (1998:76) bahwa bagi
sebuah pesan (message), untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’ (I) dari
seorang ‘utterer’ (U), selain akan ditentukan oleh keberadaan konteks linguistiknya (linguistic context), juga oleh konteks dalam pengertian yang
sangat luas, yang mencakup latar belakang fisik tuturan (physical world of the
utterance), latar belakang sosial dari tuturan (social world of the utterance), dan latar belakang mental penuturnya (mental world of the utterance). Jadi
setidaknya, Verschueren menyebut empat dimensi konteks yang sangat
mendasar dalam memahami makna sebuah tuturan.
2.4.1.1‘The utterer’ dan ‘The Interpteter’
Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau ‘the utterer’
and ‘the interpreter’ adalah dimensi paling signifikan dalam pragmatik. Pembicara atau penutur (utterer) itu memiliki banyak suara (many voices),
sedangkan mitra tutur atau mitra wicara atau interpreter, lazimnya dikatakan
memiliki banyak peran. Fakta kebahasaan demikian ini kian menegaskan
bahwa penutur atau pembicara, atau yang lazim disebut ‘the speaker’ dan ‘the
utterer’, memang memiliki banyak kemungkinan kata karena pembicara memproduksi kata-kata yang akan disampaikan kepada mitra tutur. Bahkan
‘interpreter’. Jadi, dia sebagai penutur atau pembicara dapat berkomunikasi
dan bertutur sapa dengan baik serta‘utterer’ harus dapat memfungsikan
dirinya sebagai ‘interpreter’.
Verschueren (1998:85) menggambarkan secara skematik sebagai
‘interpreter’, atau yang banyak dipahami sebagai ‘hearer’ atau ‘interlocutor’
atau ‘mitra tutur’ atau ‘lawan tutur’. Dalam pandangannya, ‘hearer’ atau ‘interlocutor’ masih dapat dibedakan menjadi ‘interpreter’ yang berperan sebagai ‘participant’ dan ‘non-participant’. Selanjutnya ‘participant’ dalam pandangan Verschueren dibedakan menjadi ‘adressee’ dan ‘side-participant’,
sedangkan untuk ‘non-participant’ masih dapat dibedakan menjadi
‘bystander’, yakni orang yang semata-mata hadir, dan tidak mengambil peran apapun, dan yang terakhir sebagai ‘overhearer’. Peran ‘overhearer’ masih
dapat dibedakan lagi menjadi ‘listener-in’ dan ‘eavesdropper’. Jadi, kalau
semuanya itu diperhitungkan sebagai salah satu dimensi dalam konteks
situasi, tentu saja dimensi ‘hearer’ itu akan menjadi kompleks karena jati diri
‘hearer’ sesungguhnya tidaklah sesederhana yang selama ini banyak dipahami oleh sejumlah kalangan (Rahardi, 2011:158).
Dimensi-dimensi lain yang berkaitan erat dan tidak mungkin lepas dari
penutur dan mitra tutur, seperti jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan
semacamnya, adalah perihal ‘the influence of numbers’ alias ‘pengaruh dari
pertutursapaan dihadiri orang dalam jumlah banyak, dan bilamana hanya
dihadiri dua pihak saja, yakni penutur (utterer) dan mitra tutur (interpreter).
2.4.1.2Aspek-aspek Mental ‘Language Users’
Dimensi-dimensi mental penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan
‘interpreter’ sangat penting dalam kerangka perbincangan konteks pragmatik itu. Dimensi mental ‘langugae users’ itu dekat dengan aspek-aspek
kepribadian penutur dan mitra tutur itu. Seseorang yang kepribadiannya tidak
cukup matang, sehingga terhadap segala sesuatu yang hadir baru cenderung
‘menentang’ dan ‘melawan’, sekalipun tidak selalu memiliki dasar alasan yang jelas dan tegas, akan sangat mewarnai bentuk kebahasaan yang
digunakan di dalam setiap pertutursapaan. Demikian pula seseorang yang
sudah sangat matang dan dewasa, akan dengan serta-merta berbicara sopan
dan halus kepada setiap orang yang ditemuinya, karena dia mengerti bahwa
setiap orang itu memang harus selalu dihargai dan dijunjung tinggi harkat dan
martabatnya. Selain itu, dimensi ‘personality’ yaitu aspek yang harus
diperhatikan dalam kaitan dengan komponen penutur dan mitra tutur ini
adalah aspek warna emosinya (emotions). Seseorang yang memiliki warna
emosi dan temperamen tinggi, cenderung akan berbicara dengan nada dan
nuansa makna yang tinggi pula. Akan tetapi, seseorang yang warna emosinya
tidak terlampau dominan, dia cenderung akan berbicara sabar. Selain dimensi
pula dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’, dimensi ‘motivations’ atau ‘intentions’,
serta dimensi kepercayaan atau ‘beliefs’ yang juga harus diperhatikan dalam
kerangka perbicangan konteks pragmatik ini.
Dimensi-dimensi mental pengguna bahasa berpengaruh besar terhadap
dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur dalam pertuturan
sebenarnya. Dengan demikian, dimensi mental mereka harus dilibatkan dalam
analisis pragmatik karena semuanya berpengaruh terhadap warna dan nuansa
interaksi dalam komunikasi. Sehubungan dengan hal itu, Verschueren
(1998:90) menjelaskan bahwa dimensi kognisi menjaji jembatan antara
dimensi mental dan sosial dalam bentuk konseptualisasi dalam hubungannya
terhadap interaksi sosial. Adapun dimensi emosional, menyediakan jembatan
dalam bentuk fenomena yang berpengaruh terkait sikap di dalam interaksi.
2.4.1.3 Aspek-aspek Sosialdan Budaya Pengguna Bahasa ‘Language Users’
Aspek-aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan sebagai ‘social
setting’ alias seting sosial, selain juga aspek-aspek mental harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam analisis pragmatik yang dalam istilah
Verschueren (1998) disebut ‘ingredient of the communicative context’.
Aspek kultur merupakan satu hal yang sangat penting sebagai penentu makna
dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek ‘norms and values
Kajian pragmatik pada dasarnya tidak dapat memalingkan diri dari
fakta-fakta sosio-kultural karena penutur dan mitra tutur merupakan bagian
dari sebuah masyarakat sehingga dimensi-dimensi yang berkaitan dengan
keberadaannya sebagai warga masyarakat dan budaya tertentu harus
dilibatkan di dalamnya. Pelibatan ini karena penutur dan mitra tutur
melibatkan orang lain yang tidak sedikit jenis dan jumlahnya.
Masing-masing tersebut memiliki dimensi yang berkaitan dengan solidaritas dan
kuasa dalam masyarakat dan budaya.
Aspek budaya merupakan salah satu penentu makna dalam pragmatik,
khususnya yang berkaitan dengan aspek norma dan nilai dari masyarakat
bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, Verschueren (1998:92) menyatakan
sebagai berikut, ‘Culture, with its invocation of norms and values has indeed
been a favourite social-world correlate to linguistic choices in the pragmatic literatures.’ Jadi, budaya, dengan invokasinya terkait norma dan nilai memang menjadi jagat sosial favorit yang berkorelasi dengan pilihan-pilihan
linguistik dalam literatur pragmatik. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa
dimensi-dimensi kultur yang harus diperhatikan dalam kerangka
perbincangan konteks pragmatik ini adalah, ‘…the contrast between oral and
literate societies, rural versus urban patterns of life, or a mainstream versus a subcultural environment.’ Atau berarti kontras antara masyarakat lisan dan tulis, bentuk kehidupan pedesaan dan kota, ataupun lingkungan utama dan