• Tidak ada hasil yang ditemukan

ABSTRAK. Kata Kunci : Ibu Tiri, Anak Tunarungu, Penerimaan Diri. *Dosen Universitas Sumatera Utara 18

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ABSTRAK. Kata Kunci : Ibu Tiri, Anak Tunarungu, Penerimaan Diri. *Dosen Universitas Sumatera Utara 18"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 18 Gambaran Penerimaan Diri Ibu Tiri yang Memiliki Anak Tunarungu

(The Overview of Stepmother’s Self-Acceptance who has a Deaf Child) Debby Anggraini Daulay & Rizqi Chairiyah*

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Status ibu tiri yang memiliki penilaian negatif di masyarakat membuat ibu tiri membutuhkan adaptasi untuk menerima statusnya dan kondisi keluarganya termasuk kondisi anak tirinya yang tunarungu. Kekurangan bahasa dan lisan membuat anak tunarungu membutuhkan pelayanan khusus dari orang tua ataupun pengasuhnya. Berkaitan dengan kompleksitas mengenai status ibu tiri dan kondisi anak tunarungu tersebut, maka akan mempengaruhi proses penerimaan diri ibu tiri. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penerimaan diri dari Jersild (1963) dimana penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya,ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus intrinsik. Melibatkan 2 orang partisipan dengan menggunakan teknik pengambilan partisipan berdasarkan theory-based operational construct sampling. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua partisipan memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri. Partisipan 1 menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu dan menjalani kesepuluh aspek penerimaaan diri dengan baik. Partisipan 1 juga sudah menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Partisipan 2 telah memiliki penerimaan diri yang baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri dan dapat menjalani kesembilan aspek penerimaan diri dengan baik dalam hidupnya. Aspek yang tidak terpenuhi pada partisipan 2 yaitu tidak memiliki penerimaan orang lain dengan baik. Namun, partisipan 2 belum bisa menerima dan menganggap anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan perilaku kasar anak tirinya dan penolakan dari ibu mertuanya terhadap dirinya. Pemikiran positif juga berpengaruh terhadap proses penerimaan diri partisipan 1 dan partisipan 2, sehingga kedua partisipan mampu menjalani proses penerimaan dirinya.

(2)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 19 ABSTRACT

The aim of this research was to describe stepmother’s self-acceptance who has a deaf child. Status of stepmother have a negative assessment in the public make stepmother requires adaptation to accept her status and condition of her family including her deaf children. Deficiency of oral and language makes deaf child need special care from their parents or caregiver. Associated with the complexity the status of stepmother and deaf condition of the child, it will affect the process of stepmother’s self-acceptance. The research used self-acceptance theory from Jersild (1963) in which the self-acceptance is the degree to which individuals have the awareness of their characteristics, it is able and willing to live with these characteristics. This study used a qualitative research method with intrinsic case study approach. Involves 2 participants using a technique theory-based operational construct sampling. Data collection techniques used were interview and observation. The result of the research showed that two participants have a good self-acceptance to her status as a stepmother. The first participants accept herself as stepmother who have a deaf children and undergo of the tenth aspect of self-acceptance herself well. The first participant also has received and considered step child who are deaf as her own. The second participant has a good acceptance of the status as a stepmother and can undergo ninth self-acceptance aspect well in her life. Aspects that are not fulfilled at the second participant that do not have other people with good reception. Until now, the second participant cannot accept and assume stepchildren who are deaf as her own. That is because the rude behavior from stepchild and rejection from mother in law against her. Positive thinking also affect the process of self-acceptance in first participant and second participant, so the both participants are able to undergo the process self acceptance of herself.

(3)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 20 PENDAHULUAN

Berakhirnya suatu pernikahan, tidak jarang membuat seorang duda memutuskan untuk menikah lagi untuk mencari peran pengganti istri ataupun ibu untuk mengurus kehidupannya dan kehidupan anak-anaknya (Agnes, 2010). Adanya ikatan pernikahan yang baru ini, maka akan memunculkan peran ibu pengganti yaitu ibu tiri (Arnee, 2013). Ibu tiri adalah seorang wanita yang dinikahi oleh ayah kandung setelah ayah kandung tidak memiliki ikatan pernikahan dengan ibu kandung, baik karena perpisahan maupun kematian (Beer dalam Zanden, 1997).

Fenomena tentang karakteristik ibu tiri yang kejam, jahat, serta tidak perhatian terhadap anak bawaan dari suaminya, memang sudah sejak jaman dahulu berkembang dalam kehidupan bermasyarakat. Pandangan negatif pada ibu tiri tersebut, muncul dari legenda serta pandangan masyarakat yang mengembangkan cerita-cerita negatif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hal ini seringkali membuat status ibu tiri menjadi bahan pembicaraan yang kurang baik di dalam masyarakat (Swari, 2012). Pada awalnya, kedatangan orang tua tiri seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, namun sebenarnya orang tua tiri dapat menyediakan dukungan dan keamanan bagi keluarga orang tua tunggal. Oleh karena status ibu tiri yang sering dipandang sebagai hal yang negatif, membuat para wanita yang menyandang peran ini berupaya menyesuaikan diri agar bisa menerima dirinya dengan status tersebut (Agnes, 2010).

Salah satu kondisi yang dirasakan berbeda dan tentunya membutuhkan penyesuaian khusus antara lain adalah ketika menghadapi kondisi anak tiri yang berkebutuhan khusus. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya mengalami suatu kondisi kecacatan

tertentu, tentu ia akan menunjukkan berbagai reaksi emosi seperti cemas, sedih khawatir, takut, serta marah (Safaria, 2005). Begitu juga yang dialami oleh ibu tiri ketika ia menghadapi dan menerima kondisi anak tiri yang berkebutuhan khusus, maka ibu tiri akan merespon serta memiliki persepsi yang berbeda-beda pula. Salah satu yang termasuk anak berkebutuhan khusus dengan masalah fungsi indera adalah tunarungu.

Anak tunarungu merupakan anak yang memiliki gangguan pada pendengarannya, sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali (Hallahan dan Kauffman, 1988). Adanya keterbatasan dalam bahasa dan komunikasi pada anak tunarungu, membuat anak tunarungu mengalami kesulitan untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya (Mangunsong, 2009). Jika dibandingkan dengan anak berkebutuhan khusus lainnya seperti anak tunanetra, yang masih mampu berkomunikasi untuk menyampaikan keinginan, perasaan ataupun ide-ide yang dimilikinya karena masih mampu untuk mendengar dan berbicara seperti anak normal pada umumnya. Selain itu, anak tunarungu tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima dengan alat bantu mendengar (Soemantri, 2006). Umumnya, hambatan yang paling sering ditemui pada orang tua yang mengasuh anak tunarungu adalah kurangnya pemahaman atau pengetahuan orang tua tentang anak tunarungu, sehingga dengan segala keterbatasan yang ditunjukkan anak dapat memicu timbulnya sikap yang kurang sabar dalam mengasuh anak tunarungu tersebut (Heward, 1996). Adanya berbagai tantangan dan hambatan yang

(4)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 21 harus dijalani dan dihadapi untuk

menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, maka ibu tiri harus berusaha menerima dirinya untuk menjalani kehidupan dengan status tersebut serta mengasuh anak tirinya dengan segala keterbatasan yang dimilikinya.

Penerimaan diri adalah derajat dimana individu memiliki kesadaran terhadap karakteristiknya, sehingga ia mampu dan bersedia untuk hidup dengan karakteristik tersebut (Jersild, dalam Hurlock 1978). Individu yang menerima dirinya sendiri adalah individu yang memiliki keyakinan akan standar-standar dan pengakuan terhadap dirinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain dan memiliki perhitungan akan keterbatasan dirinya (Jersild, 1963). Jadi ibu tiri dapat dikatakan memiliki penerimaan diri yang baik, ketika ia memiliki keyakinan bahwa status ibu tiri bukanlah hal yang negatif, serta ia tidak terpaku pada pandangan ataupun pendapat orang lain mengenai status ibu tiri tersebut. Pada dasarnya, penerimaan diri adalah sebuah proses (Jersild, 1963). Hal ini dijelaskan oleh Jersild (1963), melalui beberapa aspek penerimaan diri yaitu, persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan; sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain; mampu mengatasi perasaan inferioritas; respon yang baik atas penolakan dan kritikan; keseimbangan antara real self dan ideal self; memiliki penerimaan diri dan penerimaan orang lain; menerima diri, menuruti kehendak dan menonjolkan diri; menerima diri, spontanitas, menikmati hidup; kejujuran dalam penerimaan diri, serta sikap yang baik terhadap penerimaan diri.

Berdasarkan uraian di atas, proses penerimaan diri akan dapat berjalan lebih baik, ketika individu memiliki harapan dan pandangan yang realistis terhadap keadaannya. Individu juga memiliki keyakinan akan

standar-standar yang dimilikinya tanpa terpaku pada pendapat orang lain, serta dapat menerima kekurangan dan kelebihan di dalam dirinya (Jersild, 1963). Setiap individu akan memiliki cara-cara tersendiri dalam menerima dirinya. Hal ini juga terjadi pada ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Melalui penelitian ini, peneliti juga ingin mengetahui lebih dalam tentang bagaimana proses penerimaan diri ibu tiri yang dihadapkan dengan kondisi anak tunarungu.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus. Tipe penelitian studi kasus digunakan sesuai dengan fokus penelitian yang ingin mengetahui gambaran penerimaan diri ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

Partisipan penelitian

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 2 orang ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Ibu tiri yang terlibat di dalam penelitian ini harus merawat dan mengasuh anak tirinya yang tunarungu, agar dapat mengetahui hambatan dan tantangan yang dihadapi ibu tiri ketika mengasuh anak tunarungu tersebut. Partisipan dipilih menggunakan teknik pengambilan partisipan berdasarkan teori atau berdasarkan konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling).

Metode pengumpulan data

Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam sebagai metode utama dan observasi sebagai metode pendukung. Alat bantu pengumpulan data pada penelitian ini adalah pedoman wawancara, pedoman observasi dan tape recorder. Pedoman wawancara

(5)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 22 disusun berdasarkan teori penerimaan

diri.

Prosedur

Penelitian dilakukan melalui 3 tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan penelitian dan tahap pencatatan data. Pada tahap persiapan penelitian, peneliti mengumpulkan data dan teori yang berkaitan dengan fenomena yang ingin diteliti yaitu ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Kemudian, peneliti mencari literatur variabel yang ingin diteliti pada ibu tiri yang memiliki anak tunarungu yaitu penerimaan diri. Peneliti juga membuat susunan pedoman wawancara yang disesuaikan dengan kerangka teori penerimaan diri dan sebelumnya telah melakukan wawancara awal mengenai fenomena yang ingin diteliti dan memperoleh data awal mengenai ibu tiri dan anak tunarungu.

Hasil

Penelitian ini melibatkan 2 orang partisipan yang memiliki status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Partisipan 1 adalah seorang ibu tiri berusia 24 tahun yang telah menjalani hidupnya selama 2 tahun terakhir sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Partisipan 2 adalah seorang ibu tiri berusia 32 tahun yang telah menjalani hidupnya selama 6 tahun terakhir sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

Partisipan 1

Partisipan 1 menyatakan bahwa dirinya sudah menerima statusnya sebagai ibu tiri dan menerima kondisi anak tirinya yang tunarungu. Selama proses menerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, partisipan mengaku menjalani proses yang membutuhkan waktu. Partisipan dapat melalui kesepuluh aspek

penerimaan diri (Jersild, 1963) dengan baik. Adanya persepsi positif yang ada pada dirinya, membuat partisipan tidak sulit untuk menerima keadaan dan penampilan dirinya saat ini. Meskipun partisipan mengaku masih ingin memperbaiki penampilan dirinya saat ini, namun partisipan sudah merasa percaya diri dengan penampilannya. Partisipan juga telah mampu menyeimbangkan kelemahan dan kelebihannya dengan baik ketika menghadapi suami dan kondisi anak tirinya yang tunarungu. Rasa sabar yang dimilikinya, membuatnya mampu mengatasi emosi sesaat pada dirinya. Partisipan juga telah mampu mengatasi rasa inferior yang muncul pada dirinya terkait dengan kondisi anak tirinya yang tunarungu. Saat ini, partisipan akan menganggap penilaian negatif yang muncul mengenai kondisi anak tirinya yang tunarungu sebagai dukungan bagi dirinya. Apabila ada penilaian negatif yang muncul mengenai kondisi anak tirinya, maka partisipan akan menanggapi penilaian tersebut dengan santai dan biasa saja.

Partisipan juga akan mengambil nilai positif dari penilaian negatif yang muncul mengenai statusnya sebagai ibu tiri dan kondisi anak tirinya yang tunarungu. Partisipan akan menjadikan penilaian tersebut sebagai hikmah dan evaluasi bagi dirinya agar dapat menjadi lebih baik lagi kedepannya. Partisipan sudah memiliki sikap yang baik dalam merespon kritikan ataupun pendapat mengenai statusnya. Partisipan juga telah mampu menyeimbangkan real self-nya sebagai ibu tiri dengan ideal self-nya sebagai ibu kandung yang belum tercapai. Saat ini, dengan segala harapan yang ia miliki terhadap dirinya dan keluarganya, partisipan telah mampu menerima segala keadaan dirinya dalam menjalani kehidupan sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu (real self). Keinginan

(6)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 23 partisipan untuk menjadi ibu kandung

(ideal self), saat ini belum dapat tercapai karena partisipan belum dikaruniai seorang anak dari pernikahannya. Partisipan juga merasa bangga bisa menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Munculnya rasa bangga tersebut, dikarenakan partisipn percaya bahwa Tuhan sudah memberikan kepercayaan kepadanya untuk merawat anak dari suaminya. Selain itu ketika mengasuh anak tirinya yang tunarungu, Sartika juga bisa sekaligus belajar mengasuh anak. Agar nantinya jika telah memiliki anak kandung, dirinya mampu mengasuh dan merawat anak kandungnya sendiri. Partisipan juga tidak merasa kecewa dan bersalah karena menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

Adanya hubungan timbal balik antara penerimaan diri dan penerimaan orang lain dapat memunculkan perasaan percaya diri dalam interaksinya dengan lingkungan sosial (Jersild, 1963). Selama dua tahun terakhir menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, partisipan telah mampu menerima dan menyayangi keadaan dirinya dengan apa adanya (internal). Partisipan juga telah menerima kehadiran anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Terlebih dengan kondisinya yang tunarungu. Meskipun anak tirinya mengalami hambatan pendengaran dan komunikasi, hal tersebut tidak membuat partisipan merasa kesulitan untuk menerima dan mengasuh anak tirinya seperti anak kandungnya sendiri. Mudahnya partisipan menerima kehadiran anak tirinya, dikarenakan pada masa pacaran suaminya sudah menceritakan kondisi anaknya. Selain itu, anak tirinya juga sering diajak dalam kegiatan partisipan dan suaminya. Oleh karena itu, partisipan dan anak tirinya menjadi dekat satu sama lain.

Setelah dapat menerima dirinya dan menerima kehadiran anak tirinya dengan baik, partisipan juga dapat melakukan hal-hal yang disukainya secara bebas. Meskipun partisipan memiliki keterbatasan waktu untuk berinteraksi dengan tetangganya karena bekerja, tidak membuatnya membatasi diri di lingkungan sekitarnya. Partisipan tetap berusaha berkumpul dengan tetangga sekitarnya ketika dirinya memiliki waktu senggang. Dengan status yang dimilikinya, partisipan tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan tetangganya dan berusaha untuk dikenal di lingkungan tempat tinggalnya. Menurutnya, bukanlah hal yang baik apabila harus mengurung diri di rumah serta membatasi interaksi dengan tetangga sekitarnya hanya karena memiliki status sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Partisipan juga terlihat lebih percaya diri dan menonjolkan dirinya ketika di tempat kerja. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai service advisor yang dituntut untuk bersikap ramah, ceria dan berwawasan terbuka terhadap klien. Meskipun partisipan berstatus sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, tidak membuat partisipan merasa rendah diri di lingkungan kantornya. Istilah ibu tiri, menurutnya tidak terlalu berpengaruh terhadap interaksinya di tempat kerja. Menurutnya, status ibu tiri yang dimilikinya bukanlah hambatan untuk dapat bekerja semaksimal mungkin.

Selama 2 tahun terakhir, partisipan menikmati perannya sebagai ibu tiri dalam mengasuh dan merawat anak tirinya yang tunarungu. Pandangan positif mengenai ibu tiri dan anak tunarungu yang dimilikinya, tidak menghalangi dirinya untuk menikmati dan menjalani hidupnya dengan baik. Partisipan merasa leluasa menikmati hal-hal dalam hidupnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

(7)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 24 Partisipan juga merasa bahwa statusnya

bukanlah sebagai hambatan untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungannya dan menikmati segala aspek di dalam hidupnya. Meskipun awalnya partisipan pernah merasa cemas terhadap penilaian umum masyarakat terkait statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, saat ini partisipan sudah mampu mengatasi rasa cemas yang ada pada dirinya. Untuk mengatasi rasa cemas yang muncul pada dirinya, partisipan berusaha untuk berperilaku baik kepada anak tirinya. Sehingga, penilaian lingkungan pada umumnya terhadap karakteristik ibu tiri yang kejam, dapat diabaikan oleh partisipan. Dengan perilaku baiknya serta pikiran positif yang muncul pada dirinya, membuat partisipan mampu secara perlahan menghilangkan perasaan cemas yang ada pada dirinya. Saat ini, partisipan mengaku sudah mampu menghilangkan rasa cemas tersebut karena sudah terbiasa menjalani perannya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Selain itu, partisipan juga sudah merasa ikhlas dari awal dengan posisi dan keadaannya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Partisipan juga memiliki sikap yang baik terhadap penerimaan dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarugu. Ia menganggap bahwa dirinya adalah seorang ibu kandung yang mengasuh anak tunarungu layaknya kelurga normal pada umumnya.

Berdasarkan pengalaman partisipan 1 dalam menerima dirinya menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, pemikiran yang realistik serta pemikiran positif adalah unsur yang berperan dalam proses penerimaan dirinya. Partisipan tidak penah memandang negatif terhadap status ibu tiri dan kondisi anak tunarungu. Partisipan juga dapat menyadari keadaannya saat ini dengan apa adanya dan tidak terpaku pada penilaian orang lain. Dampak dari

penerimaan dirinya, yaitu partisipan merasa ikhlas dan dapat menikmati hidupnya saat ini tanpa harus terpaku pada statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Partisipan menerima dan tidak malu dengan statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Ia juga tidak kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya meskipun dirinya adalah seorang ibu tiri yang memiliki anak tunarungu.

Partisipan 2

Partisipan 2 menyatakan bahwa dirinya juga membutuhkan waktu dalam menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Selain itu, partisipan juga pernah terpengaruh dengan penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. Kisah partisipan 2 dimulai ketika ia memutuskan untuk menikah dengan suaminya saat ini. Setelah partisipan 2 menikah, ia merasakan perubahan dalam hidupnya. Selain harus menerima dirinya sebagai ibu tiri dan kondisi anak tirinya yang tunarungu, ia juga dihadapkan dengan perilaku kasar dari anak tirinya. Sampai saat ini, partisipan masih merasa sakit hati dengan perlakuan anak tirinya yang meludahi partisipan. Proses penerimaan diri partisipan 2 menjadi semakin sulit ketika dihadapkan dengan perlakuan dari ibu mertua dan adik-adik iparnya yang tidak menyetujui pernikahannya ketika usia pernikahannya sudah berjalan 5 tahun. Partisipan merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan dukungan sosial dari ibu mertua dan adik-adik iparnya. Dari sepuluh aspek penerimaan diri (Jersild, 1963), partisipan hanya mampu melalui kesembilan aspek penerimaan diri tersebut. Dikarenakan tidak adanya dukungan sosial dari ibu mertua dan perlakuan kasar anak tirinya, membuat partisipan tidak melalui proses

(8)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 25 peneriman diri yang belum baik.

Adapun aspek yang belum dimiliki oleh partisipan 2 yaitu, belum memiliki penerimaan orang lain yang baik. Hal tersebut ditunjukkan dengan sulitnya partisipan dalam menerima anak tirinya sebagai anaknya sendiri.

Sebagai ibu tiri, partisipan juga harus bisa bersikap sabar dalam menghadapi kondisi anak tirinya yang tunarungu serta menghadapi perlakuan ibu mertuanya. Jika dirinya tidak sabar ketika menjalani peran sebagai ibu tiri, dirinya pasti sudah berpisah dengan suaminya. Selain memiliki kelebihan rasa sabar, dirinya juga masih memikirkan keadaan suaminya jika ia harus menyerah dengan kondisi keluarganya saat ini. Meskipun dirinya mendapat perlakuan kasar dari anak tiri dan ibu mertuanya, partisipan tetap merasa harus sabar dan berusaha berbuat baik dalam menghadapinya. Partisipan juga mengaku bahwa statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah suatu kekurangan pada dirinya. Menanggapi kelebihan dan kekurangannya, partisipan mengaku bahwa saat ini dirinya telah mampu menyeimbangkan rasa emosi dengan rasa sabar dalam mengahadapi anak tiri yang tunarungu dan ibu mertuanya. Hal tersebut sejalan dengan aspek penerimaan diri Jersild (1963) yang mengemukakan mengenai sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik, mempunyai pandangan yang positif mengenai kelemahan dan kekuatan yang ada pada dirinya. Partisipan lebih memilih unuk menyembunyikan rasa marahnya demi kebaikan dirinya dan keluarganya. Ia tidak ingin kemarahan dan kekesalannya akan menambah masalah pada keluarga dan ibu mertuanya.

Partisipan awalnya merasa belum bisa dan merasa malu (inferior) ketika

menyandang status sebagai ibu tiri. Penilaian masyarakat mengenai karakteristik umum ibu tiri yang kejam, membuat partisipan merasa malu ketika berinteraksi dengan tetangga sekitarnya. Partisipan merasa bahwa dirinya berbeda dengan ibu-ibu di lingkungannya karena statusnya sebagai ibu tiri. Namun akhirnya partisipan dapat mengatasi perasaan berbeda tersebut, karena adanya dukungan dari suami dan pemikiran positif yang dimilikinya. Selain itu, ketika partisipan mulai menyadari posisi dan kondisinya sebagai ibu tiri, partisipan perlahan mulai bisa menerimanya. Partisipan mulai bisa menerima statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, ketika usia pernikahan setengah tahun.

Partisipan awalnya juga sempat merasa malu (inferior) ketika mengajak dan mengenalkan anak tirinya. Meskipun partisipan merasa malu dengan keadaan anak tirinya yang tunarungu, tidak membuat partisipan merasa rendah diri dan tidak berharga dihadapan orang lain. Partisipan tetap bisa mengatasi rasa malunya tersebut karena ia berusaha untuk percaya diri ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Saat ini partisipan sudah merasa percaya diri ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Apabila partisipan mendapatkan kritikan terkait statusnya sebagai ibu tiri, maka partisipan akan menjadikan kritikan tersebut sebagai masukan bagi dirinya. Menurutnya apapun kritikan yang diberikan orang lain mengenai statusnya, adalah kritikan yang berdasarkan keadaannya saat ini. Jika kritikan yang diberikan bersifat positif, maka partisipan akan menerima kritikan tersebut. Apabila kritikan tersebut bersifat negatif, maka partisipan akan berusaha menjelaskannya sehingga dapat bernilai positif. Sampai saat ini, partisipan mengaku bahwa dirinya belum pernah mendapatkan penilaian

(9)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 26 negatif terkait status ibu tiri yang

dimilikinya. Munculnya kritikan ataupun penilaian dari orang lain mengenai statusnya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu, bukanlah sebagai penolakan atas dirinya. Justru kritikan dari ibu mertuanyalah yang membuat partisipan merasa mendapatkan penolakan atas dirinya.

Adanya harapan-harapan untuk keluarganya, membuat partisipan mampu menyeimbangkan keinginan (ideal self) dan keadaan dirinya (real self) serta menghadapi perilaku kasar anak tirinya yang tunarungu dan perlakuan ibu mertuanya. Partisipan menyadari bahwa dengan usianya yang saat ini 36 tahun, membuat partisipan tidak bisa lagi untuk melahirkan seorang anak. Oleh karena itu, partisipan berusaha untuk mengasuh dan merawat anak tirinya yang tunarungu dengan sebaik mungkin. Meskipun partisipan berusaha merawat dan mengasuh anak tirinya dengan baik, sampai saat ini partisipan masih merasa sulit untuk bisa menerima anak tirinya tersebut sebagai anaknya sendiri. Hal tersebut dikarenakan rasa sakit hati partisipan kepada anak tirinya dan perlakuan ibu mertuanya yang tidak memberikan dukungan kepada partisipan sebagai menantu dan ibu tiri dari cucunya. Hal tersebut juga berdampak pada proses penerimaan diri partisipan. Dimana pada aspek penerimaan diri (Jersild, 1963) yang keenam, partisipan belum bisa memiliki penerimaan orang lain dengan baik (menerima anak tirinya).

Pada kasus partisipan 2, semenjak menjadi ibu tiri yang memiliki anak tunarungu partisipan sudah merasa ikhlas dalam menjalani kehidupannya dengan peran dan statusnya tersebut. Selain itu status pekerjaan partisipan sebagai ibu kepala lingkungan menuntutnya untuk bisa bergabung

dengan warga di lingkungannya. Dengan status ibu tiri yang dimilikinya, partisipan tidak merasa malu ketika berkumpul dengan warga di lingkungannya. Partisipan tetap merasa percaya diri ketika berinteraksi maupun berkumpul dengan tetangga dan warga di lingkungannya.

Partisipan juga berusaha untuk tetap menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan statusnya maupun penolakan dirinya oleh ibu mertuanya. Selain itu, partisipan tetap menikmati hidupnya tanpa harus memikirkan penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. Dampak dari penerimaan diri partisipan selama 6 tahun ini, yaitu partisipan sudah merasa ikhlas lahir batin meskipun partisipan belum sepenuhnya bisa menerima anak tirinya tersebut sebagai anaknya sendiri. Partisipan mengatakan bahwa Tuhan sudah memberikan jalan terbaik bagi dirinya untuk menjalani hidup sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Oleh karena itu, partisipan sudah menerima dan mengikhlaskan takdir yang diberikan Tuhan kepadanya.

DISKUSI

Kedua partisipan dapat disimpulkan mampu menjalani proses penerimaan diri dengan baik terhadap statusnya sebagai ibu tiri. Namun ada perbedaan antara partisipan 1 dan partisipan 2 dalam menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Partisipan 1 merasa lebih mudah untuk menerima dirinya sebagai ibu tiri dan merasa mudah dalam menerima kondisi anak tirinya yang tunarungu. Adanya dukungan dari keluraga dan orang-orang terdekat, membuat partisipan 1 tidak mengalami hambatan yang berarti dalam menerima statusnya tersebut. Partisipan 1 mampu menjalani kesepuluh aspek penerimaan diri (Jersild, 1963) dengan baik. Pada

(10)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 27 partisipan 2, ia hanya bisa menerima

dirinya sebagai ibu tiri dan sampai saat ini belum bisa menerima anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya sendiri. Partisipan 2 hanya mampu menjalani kesembilan aspek penerimaan diri (Jersild, 1963) dan belum memiliki penerimaan orang lain dengan baik.

Pemikiran positif dan pemikiran realistik adalah unsur yang berperan dalam proses penerimaan diri pada partisipan 1. Bagi partisipan 1, hal terpenting saat ini adalah menjalankan perannya sebagai ibu tiri yang merawat dan mengasuh anak tirinya seperti ibu kandung yang mengasuh anak tunarungu seperti keluarga normal pada umumnya. Partisipan 1 sudah merasa cukup ikhlas dan juga tidak merasa malu dengan statusnya tersebut. Rasa sabar yang dimiliki oleh partisipan 1 juga turut berperan dalam proses penerimaan dirinya. Pada partisipan 2, pemikiran positif dan dukungan sosial sangat berpengaruh terhadap proses penerimaan dirinya. Partisipan 2 telah mampu menerima statusnya sebagai ibu tiri, namun dirinya merasa belum bisa menerima anak tirinya yang tunarungu sebagai anaknya. Saat ini yang menjadi perhatian partisipan 2 adalah bagaimana ia mampu merubah perilaku kasar anak tirinya dan bagaimana agar ibu mertuanya dapat menerimanya sebagai menantunya. Sampai saat ini, partisipan 2 merasa belum mendapatkan dukungan dari ibu mertuanya mengenai pernikahan dan statusnya. Dukungan sosial yang tidak didapatkannya dari ibu mertuanya, tidak membuat partisipan 2 berhenti mengasuh dan merawat anak tirinya. Adanya dukungan dari suaminya, membuat partisipan 2 mampu bertahan dalam menjalani rumah tangganya. Saat ini, partisipan 2 sudah merasa ikhlas lahir batin dalam menjalani hidupnya dan menghadapi perlakuan dari ibu mertuanya. Rasa sabar yang ada pada partisipan 2 juga

turut berperan dalam proses penerimaan dirinya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa kedua partisipan pernah terpengaruh dengan penilaian umum masyarakat mengenai karakteristik ibu tiri yang kejam. Meskipun kedua partisipan memiliki penerimaan diri yang baik sebagai ibu tiri, namun kedua partisipan memiliki caranya tersendiri dalam menerima dirinya sebagai ibu tiri yang memiliki anak tunarungu. Implikasi dari penelitian ini kepada partisipan 1 yaitu partisipan harus mampu membagi waktunya untuk mengasuh dan memperhatikan kondisi anak tirinya yang tunarungu. Dikarenakan kondisi tunarungunya, tentu anak tirinya membutuhkan pelayanan dan perhatian khusus dari partisipan, bukan dari orang lain. Partisipan juga diharapkan memperhatikan pendidikan dan sekolah khusus bagi anak tirinya yang mengalami tunarungu. Implikasi untuk partisipan 2 yaitu, Partisipan diharapkan dapat lebih sabar dan mampu untuk mengontrol rasa emosi sesaat dalam menghadapi perlakuan negatif dari anak tiri dan mertuanya. Hal ini bertujuan agar tidak berpengaruh terhadap pengasuhannya pada anak dan mampu memperbaiki hubungannya dengan mertua. Partisipan juga diharapkan untuk memperhatikan cara pengasuhan yang baik, agar anak tirinya secara perlahan dapat merubah perilaku kasarnya. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja sama dengan suami dalam mengasuhnya.

Penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperhatikan faktor kepribadian dalam proses penerimaan diri. Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat mengukur aspek lain yang dapat lebih mengungkapkan kehidupan ibu tiri dalam konteks psikologi, seperti

(11)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 28 social support, emotional bounding,

(12)

*Dosen Universitas Sumatera Utara 29 REFERENSI

Agnes, Yurika. (2010). Pencapaian Identitas Diri Remaja yang Memiliki Ibu tiri. Skripsi. Depok: Psikologi Universitas Gunadarma.

Arnee, Noni. 2013. Ada “Pendatang Baru” di Rumah. [Online] http://bersamakata.blogspot.co m/. Diakses tanggal 11 November 2013

Heward, W. L. (1996). Exceptional Children : An introduction to special education (5th Ed). New Jersey: Prentice – Hall Inc.

Hurlock, E.B. 1978. Developmental Psychology. Edisi 4. New Delhi: Tata McGraw Hill. Hurlock, E.B. (1980). Psikologi

Perkembangan : Suatu

Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga

Jersild, A.T. (1963). The Psychology of Adolescence. New York : MC Millan Company.

Mangunsong, F. 2009. Psikologi dan

Pendidikan Anak

Berkebutuhan Khusus, Jilid

Kesatu. Jakarta: Lembaga

Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2001). Human

development (8th eds.).

Boston: McGraw-Hill.

Safaria, Tiantoro. Autisme Pemahaman Baru untuk Hidup Bermakna

bagi Orangtua. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. 2005. Soemantri, Sutjihati.2006. Psikologi

Anak Luar Biasa. Jakarta: Refika Aditama

Swari, Intan. 2012. Ibu Tiri. [Online] http://intand14kiiroi.blogspot.c om/2012/07/ibu-tiri.html. Diakses tanggal 11 Oktober 2013

Zanden, J. W. V. (1997). Human Development. (7th ed.). New York: McGraw Hill, Inc.

Referensi

Dokumen terkait

Rubrik ini digunakan fasilitator untuk menilai hasil kerja menganalisis keterkaitan KI dan KD dengan indikator pencapaian kompetensi dan materi pembelajaran sesuai lembar

Sejalan dengan apa yang dikatakan Wulansari, Pangaribuan (2017, hlm. 23) berpendapat bahwa keluarga tidak hanya memandang anak sebagai wadah dari semua harapannya, tetapi

kota Pontianak. Peran pembinaan ini sangat diperlukan dan dijalin secara berkesinambungan dalam membangun dan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Tujuan pembinaan ini antara

Dari beberapa kendala telah terjadi maka Proyek Pembangunan Underpass di simpang Dewa Ruci Kuta Bali merupakan proyek yang memiliki risiko cukup tinggi.. Proyek

00008 1.mempertahankan suhu ruangan diatas 22,2 o C 2.mempertahankan pakaian bayi tetap kering, ganti pakaian yang basah segera mungkin. 3.memantau suhu bayi

Dengan demikian, dibutuhkan konstruksi pelindung pilar jembatan yang dapat menahan benturan material pada saat terjadi banjir bandang. Ada beberapa pertimbangan pemilihan

tidak terasa pada jarak yang jauh. Gerakan kerak burni menyebabkan adanya gelombang gempa bumi dengan. intensitas dari yang sangat lemah sampai sangat kuat. Gerakan kulit burni

Pengaruh Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional, dan Kompetensi Sosial terhadap Kinerja Guru SMAN 1 Muntok4. SMAN 1 Muntok adalah sekolah yang