• Tidak ada hasil yang ditemukan

TELAAH HADIS TENTANG MELIHAT WANITA SEBELUM MENGKHITBAH (STUDI TAKHRIJ HADIS RIWAYAT ABU DAWUD TENTANG DIPERBOLEHKANNYA SEORANG LAKI-LAKI MELIHAT WANITA SEBELUM MENGKHITBAHNYA) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TELAAH HADIS TENTANG MELIHAT WANITA SEBELUM MENGKHITBAH (STUDI TAKHRIJ HADIS RIWAYAT ABU DAWUD TENTANG DIPERBOLEHKANNYA SEORANG LAKI-LAKI MELIHAT WANITA SEBELUM MENGKHITBAHNYA) - Test Repository"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

TELAAH HADIS TENTANG MELIHAT WANITA SEBELUM

MENGKHITBAH (STUDI TAKHRIJ HADIS RIWAYAT

ABU DAWUD TENTANG DIPERBOLEHKANNYA

SEORANG LAKI-LAKI MELIHAT WANITA

SEBELUM MENGKHITBAHNYA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Disusun oleh:

MUHAMAD HAFID

NIM: 21208007

JURUSAN

SYARI’AH

PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

▸ Baca selengkapnya: seorang laki-laki brachydactily ( bb ) menikah dengan wanita bracydactily ( bb ), kemungkinan mereka akan memiliki anak letal adalah bergenotipe…

(2)
(3)

TELAAH HADIS TENTANG MELIHAT WANITA SEBELUM

MENGKHITBAH (STUDI TAKHRIJ HADIS RIWAYAT

ABU DAWUD TENTANG DIPERBOLEHKANNYA

SEORANG LAKI-LAKI MELIHAT WANITA

SEBELUM MENGKHITBAHNYA)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam

Disusun oleh:

MUHAMAD HAFID

NIM: 21208007

JURUSAN

SYARI’AH

PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

(4)

KEMENTERIAN AGAMA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA

Jl. Nakula Sadewa VA No. 09 telp. ( 0298 ) 3419400,323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga

Website : www.stainsalatiga.ac.id e-mail : administrasi@stainsalatiga.ac.id PERSETUJUAN PEMBIMBING Hal : Pengajuan Skripsi

Lamp : 4 eksemplar

Kepada

Yth. Ketua STAIN Salatiga

di Salatiga

Assalamu‟alaikum wr.wb.

Setelah kami meneliti dan mengadakan koreksi serta perbaikan

seperlunya, maka bersama kami ini kirimkan naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Muhamad Hafid

NIM : 21208007

Jurusan / Program Studi : Syari‟ah / Ahwal Al-Syakhshiyyah

Judul : Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum

Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya)

untuk diajukan dalam sidang munaqasyah.

Demikian untuk menjadi periksa.

Wassalamu‟alaikum wr.wb.

(5)
(6)
(7)

MOTTO

للها ىلع لكوتف تمزع اذإف

Bila kamu telah bersungguh-sungguh

maka bertawakallah kepada Allah

dan ingatlah …

نيدلاولا ىضر في للها ىضر

(8)

PERSEMBAHAN

Untuk ayahandaku Nur Khamid dan Ibundaku tercinta Sofiyah, cintamu laksana embun, bening, sejuk, suci, murni,

tiada kata harap tetesan kembali.

Untuk para guru, masyayikh, dan segenap dosen STAIN Salatiga, secara khusus kepada Prof. Dr. Muh. Zuhri, dari beliau

saya mengenal Ulumul Hadis pertama kali. Untuk sepuluh bersaudara:

(1).mbak Isti’anah, (2) mbak Misrifah, (3) mbak Mudrikah, (4) mbak Marfu’ah, (5) mbak Siti Romlah, (6) Muhamad Hafid

(7) dik Khamidah, (8) dik Muhammad Mahbub, (9) dik Muhammad Sukron Hamid, (10) dik Nur Jannah

kalian adalah lautan inspirasiku. Untuk sahabat-sahabat seperjuanganku,

serta teman-teman yang turut membantu mengelupas kulit ketidaktahuanku. Semoga tidak lupa ilmu padi.

Dan untuk yang selalu ada di hatiku...

terima kasih selalu menemani, mendukung dan memotivasiku. Tiada kata yang lebih indah yang bisa aku sampaikan selain

TERIMA KASIH dan Do’a terbaik untuk semua...

(9)

KATA PENGANTAR









Alhamdulillahi Rabbil „aalamiin. Ucapan dan ungkapan syukur tiada

terhenti penulis haturkan atas anugerah Allah SWT. Shalawat dan salam kepada

Nabi Muhammad SAW, rindu kami senantiasa mengiring setiap hembusan nafas

dan detak kehidupan.

Dengan Rahmat Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dan atas bantuan banyak pihak yang telah mendukung serta memberikan

sumbang sih saran dan kritik. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini

sebagai Skripsi pada Program Studi Al-ahwal Al-syakhshiyyah yang berjudul

Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya) dan penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu serta mendoakan

terselesaikannya skripsi ini, secara khusus kepada segenap civitas akademika

STAIN Salatiga:

1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri (STAIN) Salatiga yang kami hormati.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga atas kelonggaran hati beliau memperlancar proses pengajuan skripsi ini.

3. Bapak Ilyya Muhsin, SHI., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal Al

Syakhshiyyah STAIN Salatiga atas kepercayaan beliau menyarankan penulis

untuk studi takhrij hadis.

4. Bapak Dr. Adang Kuswaya, M.Ag. terima kasih atas kesabaran membimbing

dan memberi dorongan semangat kepada penulis, meskipun penulis

berkemampuan pas-pasan dalam studi takhrij hadis.

5. Bapak. Prof. Dr. Muh. Zuhri atas tuntunan beliau mengajar Ulum Al-Hadis.

6. Bapak dan Ibu seluruh pegawai, staf perpustakaan, security dan segenap

(10)

Serta semua pihak yang tak dapat kami tuliskan satu per satu. Semoga

Allah senantiasa memudahkan urusannya dan keluarganya dalam kebaikan,

karena Allah senantiasa memberikan pertolongan pada orang yang senantiasa

menolong sesamanya. Semoga Allah SWT berkenan memberikan kesehatan dan

balasan yang terbaik. Aamiin.

Tiada gading yang tak retak, begitu pula dalam menyusun skripsi ini

penulis yakin belum sempurna, masih terdapat kekurangan dan kesalahan baik

dalam penulisan maupun isinya. Oleh sebab itu atas kritik dan saran dari seluruh

pembaca, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Salatiga, September 2013

Penulis

(11)

ABSTRAK

Hafid, Muhamad. 2013. Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum

Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya). Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Sykahshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Adang Kuswaya, M.Ag

Kata Kunci: hadis, sanad, matan, melihat, khitbah

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka untuk menganalisis sanad dan

matan hadis tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita dalam

proses khitbah. Hadis yang menjadi objek penelitian ini adalah hadis riwayat Abu

Dawud dari Jabir bin Abdillah tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui

penelitian ini adalah bagaimana keabsahan hadis tersebut ditinjau dari sanad

maupun matan-nya dan bagaimana implikasi hukum hadis tersebut.

Peneliti melakukan tiga tahap yaitu penelitian sanad dan penelitian matan hadis lalu meneliti implikasi hadis berdasarkan kitab-kitab Fiqh yang berhubungan. Pada penelitian sanad tahap-tahapnya sebagai berikut: Menelusuri letak hadis pada kitab-kitab mukharrij hadis, menyusun bagan sanad hadis,

memeriksa persambungan sanad dan reputasi periwayat hadis, mengambil natijah

atau kesimpulan sementara tentang nilai sanad hadis. Sedangkan pada penelitian matan hadis penulis melakukan tahap-tahap berikut: Membandingkan hadis dengan ayat Al-Quran yang sesuai, membandingkan dengan hadis lain yang lebih shahih, membandingkan hadis dengan fakta sejarah, membandingkan hadis dengan rasio, mengambil kesimpulan sementara tentang nilai matan hadis. Selanjutnya adalah penjabaran implikasi hukum hadis

Dari penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa hadis riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita

yang hendak dilamarnya adalah termasuk hadis ahad dan memiliki sanad dengan

kualitas hasan. Analisis matan hadis tidak menunjukan redaksi lafadz yang jauh

berbeda secara makna, artinya hadis ini diriwayatkan dengan makna bukan

dengan lafadz. Hadis tersebut terhindar dari syadz dan „illal, dan dari segi

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

DEKLARASI ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Metode Penelitian ... 9

F. Penegasan Istilah ... 13

G. Telaah Pustaka ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM ... 17

A. Khitbah ... 17

(13)

2. Melihat Wanita yang Dikhitbah ... 19

3. Status Hukum Khitbah ... 21

B. Hadis dan Takhrij Hadis ... 22

1. Hadis ... 22

2. Pembagian Hadis ... 23

3. Takhrij Hadis ... 28

BAB III HASIL PENELITIAN SANAD HADIS... 33

A. Menelusuri Letak Hadis pada Kitab Mukharrij Hadis ... 33

B. Menyusun Bagan Sanad Hadis ... 41

C. Memeriksa Persambungan Sanad dan Reputasi Periwayat Hadis ... 45

D. Kesimpulan Penelitian Sanad Hadis ... 51

BAB IV ANALISIS MATAN HADIS ... 55

A. Pendekatan Nash Al-Quran ... 55

B. Penelitian Syadzdan „Illat ... 59

C. Asbaab al-Wurud Hadis ... 59

D. Analisis Bahasa dan Makna ... 60

E. Kandungan Hukum ... 62

BAB V PENUTUP ... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 65

Daftar Pustaka

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan peristiwa yang bersifat sakral antara seorang

laki-laki dan perempuan untuk membina sebuah keluarga. Keluarga yang

harmonis, di dalam Islam dikenal dengan istilah keluarga sakinah, mawaddah,

warrahmah. Islam memberikan tuntunan agar setiap muslim tidak sembarang

dalam menentukan pasangan hidup. Sebagaimana disebutkan dalam hadis

yang diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah:

يهُ نْ عَ يهُ لَّلا يعَ بِ عَ يعَ عَ نْيْ عَ هُ ي بِ عَ ينْ عَ

keturunannya, kecantikannya, atau karena agamanya. Pilihlah berdasarkan

agamanya agar selamat dirimu.” (HR. Bukhari : 4700 dan Muslim : 2661) Kemudian bagaimana seorang laki-laki dapat mengetahui keempat hal

di atas jika belum saling mengenal? Sebagaimana telah diajarkan oleh

Rasulullah SAW melalui hadisnya, untuk mengetahui mengetahui seorang

perempuan yang akan dinikahi adalah seorang yang baik menurut tuntunan

Islam, diperlukan sebuah upaya agar saling mengenal.

Dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

(15)

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Depertemen Agama, Q.S. Al-Hujurat [49]: 13)

Upaya untuk saling mengetahui antara calon mempelai dikenal dengan

istilah ta‟aruf. Yaitu saling berkenalan antara seorang laki-laki dan perempuan

beserta keluarganya masing-masing untuk tujuan yang baik yakni untuk tujuan

pernikahan. Setelah upaya ta‟aruf dilakukan dan ditemukan kecocokan satu

sama lain maka proses selanjutnya khitbah atau peminangan. Peminangan

merupakan langkah pendahuluan untuk menuju ke arah perjodohan antara

seorang pria dan wanita. Islam mensyariatkan khitbah atau peminangan agar

masing-masing calon suami dan calon istri dapat saling mengenal dan

memahami pribadi masing-masing (Rofiq, 1998: 62). Pada pasal 1 Bab I

Kompilasi Hukum Isalam huruf (a) juga telah memberi pengertian bahwa

“peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan

antara seorang pria dan wanita” dengan cara yang baik (ma‟ruf). (Kompilasi

Hukum Islam dan Sabiq, tt: 51)

Dalam proses perkenalan antara seorang laki-laki dan perempuan

diperlukan adanya komunikasi baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Salah satu bentuk komunikasi langsungnya adalah saling bertemu face to face

yang memungkinkan seorang laki-laki melihat langsung perempuan bukan

mahram yang hendak dinikahinya. Berkaitan dengan melihat calon mempelai

yang akan dinikahi, penulis menemukan sebuah hadis riwayat Ahmad dan

(16)

ونع للها يضر رباج نع و

لاق

:

ملس و ويلع للها ىلص للها لوسر لاق

:

(

اذإ

اهحاكن لىإ هوعدي ام لىإ اهنم َرظني نأ عاطتسا نإف ، ةأرلما مكدحأ بطخ

لعفيلف

)

مكالحا وححصو ةقث ولاجرو دواد وبأ و دحمأ هاور

.

Artinya: Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa

Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik darinya

untuk menikahinya, hendaknya ia lakukan.” (Riwayat Ahmad dan Abu

Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadis shahih menurut Hakim) (al-Asqolani, 1378 Hijriyah: hlm.209)

Dengan adanya peminangan tidak lantas menimbulkan berubahnya

status hukum bagi hubungan laki-laki maupun perempuan, baik hubungan

secara fisik maupun hubungan non fisik, karena pinangan bukanlah sebuah

ikatan hak dan kewajiban. Sebagaimaan Kompilasi Hukum Islam menegaskan

pada pasal 13 ayat (1) bahwa “Pinangan belum menimbulkan akibat hukum

dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.” Dilanjutkan ayat

(2) yang berbunyi “Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan

dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan

setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.” Maka,

dapat dipahami bahwa meskipun sebuah peminangan telah disetujui dan saling

menerima, para calon mempelai tetap tidak diperbolehkan melakukan sesuatu

yang dilarang secara syar‟i, seperti ber-ikhtilath atau bersepi-sepi berdua

hingga dilangsungkannya aqad perkawinan yang sah.

Dalam pergaulan masyarakat ada sebuah kebiasaan yang dimaklumkan

namun tidak jelas apa yang menjadi landasan, bahwa seorang laki-laki dan

(17)

menjadi jaminan pasti akan melakukan pernikahan dan menjadi suami istri

(Rofiq, 1998:64). Bahkan oleh orang tua masing-masing calon mempelai

diijinkan melakukan segala aktifitas bersama-sama. Saling berpandangan

dengan disertai syahwat, saling bersentuhan baik sengaja ataupun tidak, dan

aktifitas lain yang belum layak bagi dua orang yang belum sah sebagai suami

istri pun kadang tidak dapat terhindarkan.

Perkembangan sosial kemasyarakatan yang diiringi perkembangan

cara bergaul manusia yang cenderung lebih terbuka kepada hal-hal yang

bersifat global, maka perhatian masyarakat kepada kaidah-kaidah agama

sebagaimana Al-Quran dan hadis menjadi semakin surut. Karena itulah

penulis sebagai akademisi syari‟ah merasa tergerak untuk meneliti lebih lanjut

sebenarnya bagaimana Islam mengatur tata cara pergaulan khususnya

pergaulan antara laki-laki dan perempuan.

Mengingat diri penulis adalah mahasiswa program studi Ahwal al

Syakhshiyyah, maka penulis tertarik untuk meneliti hadis yang berkenaan

dengan nadhar sebelum khitbah atau peminangan. Objek yang mejadi kajian

penelitian ini berupa teks hadis maka penelitian yang dilakukan adalah jenis

penelitian pustaka yakni kajian sanad dan matan hadis. Pada penelitian ini

penulis membatasi pada bab nadhar yang berarti melihat, yakni tentang

diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita yang akan menjadi calon

istri pada saat khitbah.

Pertanyaan yang ingin dijawab dengan penelitian hadis ini adalah

(18)

diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya.

Apakah sanad hadis tersebut bersambung kepada nabi SAW atau apakah ada

rantai sanad yang terputus. Kemudian tentang matan hadis tersebut apakah

tidak bertentangan dengan nash Al-Quran, terdapat syadz atau pertentangan

dengan hadis lain yang sahih atau tidak, dan apakah hadis yang diriwayatkan

oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud tersebut tidak mengandung „íllal atau

terdapat cacat hadis.

Al-Quran adalah sumber hukum utama agama Islam, sedangkan hadis

adalah sumber kedua, maka semestinya hadis bersifat melengkapi kepada

ayat-ayat Al-Q‟uran. Di satu sisi Al Quran surat An-Nuur ayat 30-31 yang

Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: „Hendaklah

mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui apa yang mereka perbuat‟. Dan katakanlah kepada wanita

yang beriman: „Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan

kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya . . . (Departemen Agama RI, QS. An-Nuur: ayat 30-31)

Ayat di atas jelas memerintahkan kepada laki-laki dan wanita muslim

untuk menahan pandangannya serta kemaluannya, menyiratkan makna bahwa

(19)

atau khitbah. Dengan pemahaman sederhana tanpa melalui telaah kritis, hadis

yang berbunyi:

اهحاكن لىإ هوعدي ام لىإ اهنم َرظني نأ عاطتسا نإف ، ةأرلما مكدحأ بطخ اذإ

لعفيلف

(al-Asqolani, 1378 Hijriyah: hlm.209)

Bunyi hadis tersebut tampak sangat bertentangan dengan Al-Quran

surat An-Nuur ayat 30 maupun ayat 31 dari segi perintah dan larangan.

Perbedaan ini akan sangat berpotensi menimbulkan permasalahan

ketidakpastian hukum dalam masyarakat, selain itu adanya perbedaan

penafsiran akan mengakibatkan ummat Islam tidak yakin dalam mengamalkan

Al-Quran dan hadis. Untuk itulah penelitian studi hadis ini menjadi penting

untuk mengetahui tingkat keabsahan sanad maupun matan-nya. Berdasarkan

latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian pustaka dengan

judul: Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya

(Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keabsahan sanad hadis riwayat Abu Dawud tentang

diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum

(20)

2. Bagaimana keabsahan matan hadis riwayat Abu Dawud tentang

diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum

mengkhitbahnya?

3. Bagaimana implikasi hukum hadis tentang diperbolehkannya seorang

laki-laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya terhadap pergaulan antara

laki-laki dan perempuan yang belum shah sebagai suami istri?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan

penelitian pustaka ini adalah:

1. Mengetahui keabsahan sanad hadis hadis riwayat Abu Dawud tentang

diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum

mengkhitbahnya.

2. Mengetahui keabsahan matan hadis riwayat Abu Dawud tentang

diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum

mengkhitbahnya.

3. Bagaimana implikasi hukum hadis riwayat Abu Dawud tentang

diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum

mengkhitbahnya terhadap pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang

(21)

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis:

a. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan kajian

pustaka khususnya para pengkaji hadis.

b. Sebagai sumbangan pemikiran untuk pembaca yang akan mengadakan

penelititan lebih lanjut di bidang telaah hadis.

c. Untuk mewujudkan hubungan pergaulan yang baik dalam masyarakat

yang sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu

pengetahuan bagi semua pihak, khususnya bagi:

a. Peneliti

Sebagai syarat untuk meperoleh gelar sarjana dalam bidang

ilmu syari‟ah program studi Ahwal Al-Syakhshiyyah dan sebagai wawasan ilmu pengetahuan yang berguna ketika peneliti sudah

berperan aktif dalam masyarakat.

b. Lembaga pemerintahan yang bergerak dalam bidang pembinaan

keluarga dan pernikahan

Sebagai tambahan referensi untuk memberikan informasi dan

memberikan tambahan pengetahuan terhadap masyarakat khususnya

bagi calon mempelai akan pentingnya menjaga kesucian hubungan

(22)

sebuah keluarga yang harmonis yang terjaga kesuciannya dimulai dari

menjaga pandangan mata dari hal-hal yang tidak baik.

c. Masyarakat

Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai ilmu

pengetahuan dalam membina masyarakat yang Islami khususnya

dalam pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan. Dengan

membaca hasil penelitian hadis ini, seorang muslim laki-laki

diharapkan mampu menjaga pandangan dengan sebaik-baiknya untuk

menghindari kemungkinan timbulnya syahwat yang tidak

diperbolehkan. Begitu juga seorang muslimah diharapkan mampu

menjaga dirinya untuk tidak menampakkan perhiasan yang telah

diberikan oleh Allah kecuali hanya kepada orang-orang yang

dibenarkan dan dihalalkan secara syar‟i.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang

menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan). Oleh

karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab

maupun Indonesia yang mempunyai relevansi dengan permasalahan

penelitian ini. Dalam Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir

(23)

takhrij hadis yakni penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sumber

suatu hadis dan menjelaskan tingkat keshahihannya (STAIN Salatiga,

2009: 57).

2. Pendekatan Penelitian

Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan metode deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara

mendalam segala aspek yang melekat pada sebuah hadis dan mempertegas

makna hadis. Dalam hal ini peneliti menguraikan dan mendiskripkan hadis

riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat

wanita yang dikhitbahnya melalui dua tahapan yaitu validitas sanad dan

matan hadis kemudian dilanjutkan dengan kandungan dan makna hadis

serta mejelaskan implikasi hukum dari hadis yang dikaji.

3. Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan pada sumber perolehan data, maka data dalam

penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan

langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang

bersangkutan yang memerlukannya. Data primer ini disebut juga data

asli atau data baru. (Hasan, 2002: 33) Adapun data primer yang

menjadi rujukan utama hadis yang diteliti adalah kitab-kitab hadis. Di

antara kitab-kitab itu adalah Syarh Sunan Abu Daud karya Syamsuddin

(24)

Ahmad bin Hanbal, Tadzhib al-Tadzhib karya al-Hafidz Abi al-Fadl

Ahmad bin 'Ali bin Hajar Syahabuddin al-Asqalani al-Syafi'i.

b. Data Sekunder

Dengan data sekunder yaitu data yang dikumpulkan, diolah dan

disajikan oleh pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari

subyek (Hasan, 2002: 33). Data sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, maupun hasil karya yang berwujud laporan maupun artikel yang

mendukung dalam penelitian ini.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode

ini diterapkan terbatas pada dokumen tertulis seperti buku, jurnal ilmiah

atau dokumentasi tertulis lainnya. Dalam penelitian hadis, penerapan

metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua teknik pengumpulan data,

yaitu; melalui sistem digital dan melalui sistem manual. Yang dimaksud

dengan sistem digital yaitu penelusuran hadis melalui sebuah aplikasi

program komputer yang berisi data-data koleksi kitab hadis yang telah

terdokumentasi dalam koleksi hadis virtual. Sedangkan sistem manual

yang dimaksud adalah cara takhrij al-hadis melalui Sembilan Kitab-kitab

Hadis atau terkenal dengan sebutan al Kutub al Tis‟ah. Pada penelitian ini

peneliti memprioritaskan metode takhrij dengan sumber pustaka fisik

berupa kitab-kitab atau buku-buku cetak, sedangkan sumber-sumber

(25)

Ada beberapa cara atau metode untuk men-takhrij hadis dengan

system manual, yakni:

1) Melalui pengenalan nama sahabat perawi hadis

2) Melalui pengenalan lafaz awal hadis

3) Melalui topik yang terkandung dalam matanhadis

4) Melalui pengamatan tertentu yang terdapat dalam suatu hadis

5) Melalui pengenalan kata-kata yang merupakan bagian dari matan

hadis (Sulaiman, 2008:158)

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengenalan

kata-kata yang merupakan bagian dari matan hadis karena cara ini

menurut penulis paling praktis dalam melakukan takhrij hadis ini. Adapun

tahapan langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

- Penelusuran hadis pada kitab-kitab hadis yang dirujuk oleh alMu‟jam

Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawy.

- Menyusun skema sanad periwayat hadis.

- Memeriksa persambungan sanad dan reputasi para periwayat yakni

meneliti ke-adilan dan ke-dhabitan perawi berdasarkan penilaian

al-jarh wa al-ta‟dil kemudian mengambil natijah atau kesimpulan

sementara tentang nilai sanad hadis apakah shahih, hasan atau dha‟if

(Zuhri, 2003:150-151).

5. Metode Analisis Data

Metode Analisis Data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh

(26)

dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis

data hadis akan meliputi dua komponen tersebut. Dalam penelitian sanad,

digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan dengan kitab

Tadzhibu-al-Tadzhib, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses

penerimaan hadis tersebut (tahammul wal ada‟). Hal itu dilakukan untuk

mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang rawi serta

validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan

hadis.

Dalam penelitian matan, analisis data dilakukan dengan

menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas

matan diuji pada tingkat kesesuaian isi berita hadis dengan penegasan

eksplisit Al-Qur'an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi

hadis-hadis lain yang bermutu shahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum

diakui sebagai bagian integral ajaran Islam. Sedangkan dalam menganalisa

implikasi hukum menggunakan pendekatan keilmuan fiqh atau hukum

Islam yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di

dasarkan nash Al-Quran dan al-Sunnah (Nata, 1999:250).

F. Penegasan Istilah

Hadis menurut bahasa artinya yang baru, berita, pesan keagamaan,

pembicaraan. Dalam istilah al-hadits berarti pembicaraan yang diriwayatkan

dari nabi SAW, segala sesuatu yang berupa berita yang dikatakan berasal dari

(27)

Sanad menurut bahasa artinya bagian tanah yang tinggi, atau puncak bukit, sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran. Sedangkan arti

sanad yang berkembang dalam ilmu hadis yaitu jalan yang menyampaikan

kepada matan hadis. Kemudian istilah sanad yang mashur dalam ilmu hadis

yaitu orang-orang yang dilalui berita hadis dari sumber pertama sampai

dengan penerima hadis terakhir (Zuhri, 2003: hlm. 10).

Matan menurut bahasa artinya sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, matan yaitu: materi atau redaksi hadis yang

diriwayatkan dari satu orang ke orang lain. Kata Imam Al-Suyuti yang dikutip

oleh Prof. Dr. Muh. Zuhri hadis “yaitu lafaz-lafaz hadis yang membentuk pengertian atau makna (Zuhri, 2003: hlm. 10).

Takhrij arti menurut bahasa yaitu mengeluarkan, melatih, meneliti,

menghadapkan (Zuhri, 2003: hlm.149-150). Pengertian takhrij menurut

istilah ada beberapa pengertian, penulis mengambil satu pengertian yang

peling mendekati dengan tujuan penelitian ini adalah “Menunjukkan letak asal

hadis pada sumber aslinya dan dikemukakan secara lengkap dengan sanad

-nya masing-masing. Pada kegiatan inilah dilakukan penelusuran hadis dalam

berbagai kitab sumber asli dari hadis yang bersangkutan dikemukakan lengkap

dengan matan beserta sanad-nya. (Sulaiman, 2008: hlm.155-156).

Khitbah berasal dari kata khotoba yang berarti berkhutbah, berpidato,

pembukaan, melamar atau meminang. Al-khitbu dengan dikasrah kho‟nya

berarti pembukaan atau pendahuluan, al-khitbatu berarti pinangan atau

(28)

Buku I tentang Hukum Perkawinan bab I Ketentuan Umum pasal 1 huruf (a)

menyebutkan “Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan

perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.”

G. Telaah Pustaka

Untuk menghindari pengulangan penelitian yang sama, peneliti

melakukan telaah pustaka terhadap karya-karya sebelumnya. Berdasarkan

penelusuran yang peneliti lakukan, peneliti belum menemukan karya yang

sama dalam bentuk skripsi maupun tesis yang membahas kajian yang sama

dengan yang peneliti lakukan yaitu kajian sanad dan matan hadis tentang

diperbolehkannya seorang laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya.

Peneliti hanya menemukan satu tulisan yang dipublikasikan melalui weblog

musolliazmi.blogspot.com yaitu tulisan yang berjudul “Hadis Tentang

Diperbolehkannya Melihat Wanita yang Akan Dilamar”. Karya ini berbentuk

makalah dan tidak diketahui secara jelas siapa penulisnya, hanya dapat

diketahui nama yang mengunggah tulisan tersebut yakni Musolli Azmi.

Perbedaan dengan penelitian skripsi penulis adalah pada kajian sanad dan

matannya. Makalah tersebut tidak memaparkan kajian sanad dan matan hadis

secara mendalam serta tidak menjelaskan reputasi sanad hadis satu per satu.

Dengan demikian penelitian skripsi penulis ini terhindar dari plagiarisme,

bahkan penelitian ini sangat mendukung dan perlu untuk dilakukan sebagai

(29)

H. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penjelasan dalam penelitian hadis ini perlu adanya

sistematika pembahasan yang jelas. Sistematika pembahasan peneliti uraikan

sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, menguraikan latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian yang terdiri dari: jenis dan

pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan dan analisis data,

dan sistematika pembahasan.

Bab II Tinjauan umum dari judul yang peneliti lakukan. Kajian

pustaka yang digunakan yaitu tentang pengertian khitbah, melihat wanita dan

status hukum akibat adanya khitbah atau peminangan. Kemudian pembahasan

tentang telaah kritik hadis, pengertian dan sejarah kritik hadis, kritik sanad

dan matan, takhrij serta i‟tibar.

Bab III Analisis sanad Hadis. Pembahasan dalam penelitian bab ini

yaitu mencari validitas hadis dengan melakukan analisis sanad hadis meliputi

tahun wafat, relasi guru dan murid serta penilaian jarh dan ta‟dil oleh para

ulama kritikus hadis.

Bab IV Analisis matan hadis meliputi pendekatan al-Qur‟an, Hadis,

asbab wurud dan bahasa sekaligus kandungan makna dan implikasi hukumnya

terhadap hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

(30)

BAB II TINJAUAN UMUM

A. Khitbah

Al-Khitbah berasal dari kata khotoba yang memiliki beberapa arti,

diantaranya berkhutbah, berpidato, pembukaan, melamar atau meminang.

Al-khitbu dengan dikasrah kho‟-nya berarti pembukaan atau pendahuluan, orang

laki-laki yang melamar wanita dan al-khitbatu berarti pinangan atau lamaran

(Munawwir, 1984:376). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam Buku I

tentang Hukum Perkawinan bab I Ketentuan Umum pasal 1 huruf (a)

menyebutkan “Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.” Maka khitbah dapat pula berarti permintaan seorang laki-laki pada seorang wanita untuk dinikahi

atau untuk melakukan perkawinan.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 bahwa perkawinan menurut

hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.” Anjuran melakukan perkawinan diantaranya untuk menjaga agar

manusia di atas dunia ini hidup aman tenteram penuh kebahagiaan dengan

keturunan yang teratur, jadi bukan keturunan yang tidak tentu mana bapak,

mana ibu, mana anak atau adik, cucu ipar dan lain sebagainya.

Kehidupan keluarga yang baik, tenteram, penuh cinta dan kasih sayang

(31)

itu adalah dengan adanya khitbah atau peminangan. Khitbah bukanlah suatu

hal yang menjadi syarat syah terjadinya sebuah pernikahan, namun khitbah

sangat diperlukan sebagai langkah pendahuluan sebelum terjadinya akad nikah

yang syah.

1. Hikmah Disyariatkannya Khitbah

Pernikahan tak ubahnya adalah merupakan sebuah akad transaksi

yang mempunyai pengaruh yang sakral karena menyangkut kehidupan

manusia dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan

merupakan sarana yang agung dan terpercaya dalam menjaga kelanjutan

keturunan, memberikan ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Sesuatu yang

memiliki makna yang sangat agung tidak akan maksimal jika tidak

dipersiapkan dengan baik. Bagaimanapun juga perencanaan yang matang

sangat diperlukan untuk menyongsong akad yang agung tersebut.

Khitbah sebagai sebuah pendahuluan menuju akad nikah

merupakan sebuah janji untuk menikah. Masing-masing pihak hendaknya

menggantungkan janji atas dasar pilihannya sendiri sehingga kesakralan

untuk mengikat janji sekali untuk selamanya pun dapat tercapai. Seorang

laki-laki maupun perempuan pasti berharap mendapatkan pasangan yang

diidam-idamkan, memiliki watak dan perilaku terpuji, menentramkan,

memberi ketenangan, dan kebagiaan batin. Melalui jalan khitbah seorang

laki-laki akan dikenalkan dengan karakter, perilaku, dan akhlaq calon

(32)

sebaik-baiknya, maka akan terbentuk kemantapan hati untuk

bersama-sama membina keluarga bahagia (Azzam, 2009: 9).

2. Melihat Wanita yang Dikhitbah

Hukum dasar melihat wanita bukan mahram bagi lelaki dan

sebaliknya adalah haram. Laki-laki dan perempuan diwajibkan menahan

pandangan dari yang haram bagi laki-laki maupun wanita, sebagaimana

firman Allah Ta‟ala dalam Q.S. An-Nuur 30-31 berikut:



Artinya: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan

perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat…

(Departemen Agama, 2002 : Q.S An-Nuur : Ayat 30-31)

Pada kitab-kitab Fiqh yang menjadi rujukan ummat Islam dalam

menjalankan tata kehidupan sehari-hari, sudah sering dijumpai

keterangan-keterangan maupun penjelasan bahwa seorang laki-laki dan perempuan

non mahram tidak diperbolehkan untuk saling berpandangan. Salah satu

dalilnya adalah ayat tersebut di atas. Dalam Tafsir Ibnu Katsir (3/345)

mengatakan bahwa kebanyakan ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar

tentang diharamkannya laki-laki memandang wanita atau sebaliknya

(33)

Berkenaan dengan prosesi khitbah, ditemukan sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin

Abdullah Radhiyallahu „anhu sebagai berikut:

ونع للها يضر رباج نع و

لاق

:

ملس و ويلع للها ىلص للها لوسر لاق

:

(

اذإ

اهحاكن لىإ هوعدي ام لىإ اهنم َرظني نأ عاطتسا نإف ، ةأرلما مكدحأ بطخ

لعفيلف

)

مكالحا وححصو ةقث ولاجرو دواد وبأ و دحمأ هاور

.

Artinya: Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik untuk

dinikahi, hendaknya ia lakukan.” (Riwayat Ahmad dan Abu

Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadis shahih menurut Hakim) (al-Asqolani, 1378 Hijriyah:209)

Mayoritas fuqaha‟ berpendapat bahwa orang yang meminang

boleh memandang pinangannya. Ulama seperti Imam Malik, Imam

Syafi‟iah dan Ahmad memberikan batasan pada telapak tangan dan wajah

saja (Azzam, 2009: 11). Karena wajah cukup untuk bukti kecantikannya

dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan dan kehalusan kulit

badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka

hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara

perempuannya untuk mengetahuinya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya

dan badannya, serta keindahan rambutnya. Sebagaimana Nabi SAW

pernah mengutus seseorang untuk mendatangi perempuan dengan

sabdanya:

اهطاعم لىإ يشمو ابهوقرع لىإ يرظنا

:

ةياور فيو

:

(34)

“Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya” dan dalam riwayat

lain: “dan ciumlah gigi depannya” (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan

Baihaqi) (Sabiq, 1981: 37).

Dan yang lebih baik orang yang meminang melihat pada yang

dipinang sebelum dia meminang, sehingga jika dia tidak suka padanya,

maka dia bisa berpaling dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan tidak

disyaratkan adanya keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu, bahkan si

lelaki itu boleh melihat tanpa diketahui wanita pinangannya atau ketika dia

lalai (diintip) dan itu lebih utama. (Sholih, 1374 Hj:196)

3. Status Hukum Khitbah

Berbicara tentang hukum pelaksanaan khitbah maupun status

hukum setelah adanya khitbah tidak ditemukan dalil yang mewajibkan

ataupun melarang. Khitbah dapat dikatakan hanya sebagai bentuk

ungkapan keinginan melakukan akad pernikahan, maka apakah sesorang

akan mengungkapkan keinginan atau tidak, ia tidak dikenai beban hukum,

begitu pula status hukum setelah adanya diterimanya khitbah atau

pinangan. Selain itu perlu diingat bahwa peminangan (khitbah) belumlah

merupakan jaminan sepenuhnya bahwa akan terjadi akad pernikahan yang

sah, untuk itu kedua belah pihak tetap harus menjaga diri dan kehormatan

masing-masing serta tetap saling menjaga komitmen tujuan bersama untuk

(35)

Kompilasi Hukum Islam bab III pasal 13 ayat (1) menyebutkan

“Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas

memutuskan hubungan peminangan.” Dari bunyi pasal di atas dapat

dipahami bahwa dengan adanya peminangan meskipun telah disetujui

bersama antara pihak peminang (khoothoban) dan pihak yang dipinang

(makhthuuban), hal itu belumlah mengubah status hukum apapun.

Terutama bagi kedua calon mempelai, status mereka tidak lah berubah

tetap sebagai seorang yang harus saling menghormati dan menjaga

kehormatan masing-masing baik pribadi maupun keluarga besar.

B. Hadis dan Takhrij Hadis 1. Hadis

Hadis secara bahasa memiliki beberapa arti atau makna.

Diantaranya adalah al-jadiid berarti yang baru, al-qariib berarti yang dekat

dan al-khabar berarti kabar atau berita (Khumaidi, 2008:1). Sedangkan

dalam ilmu hadis, al-hadits berarti pembicaraan yang diriwayatkan atau

disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa berita baik dari ucapan,

tindakan, penetapan (taqrir), keadaan, kabiasaan dan lain sebagainya

(Zuhri, 2003:1).

Istilah lain dari hadis adalah sunnah atau al-sunnah. Pada

umumnya ummat Islam tidak begitu memandang penting perbedaan antara

al-hadits dengan al-sunnah memang tidak perlu diperdebatkan secara

(36)

ia disebut al-hadits dan mengapa disebut al-sunnah karena dalam islam

juga ada kata sunnah yang digunakan untuk menjelaskan tingkatan hukum

sesuatu perkara ibadah. Sunnah dapat pula bermakna teladan kehidupan

yang disandarkan pada Nabi SAW (Zuhri, 2003:6).

2. Pembagian Hadis

a. Pembagian Hadis Berdasarkan Jumlah Periwayat

Rasulullah ketika menyampaikan sesuatu ada kalanya

berhadapan dengan orang banyak, ada kalanya dengan beberap orang

dan ada kalanya pula hanya kepada seorang tertentu. Begitu pula

dengan sahabat saat menyampaikan kepada muridnya suatu ketika

bersamaan banyak murid, suatu ketika beberapa saja dan tidak

mustahil suatu ketika hanya kepada seorang murid saja (Zuhri, 2003:

83).

Jika saat Rasulullah menyampaikan suatu hadis didengarkan

banyak orang maka mustahil seorang dapat berbohong tentang apa

yang disampaikan Rasulullah, lain halnya jika hanya satu atau dua

orang yang mendengarkan maka kemungkinan berbohong akan lebih

besar. Kalaupun tidak berbohong mungkin seseorang akan lupa dan

tidak akan ada yang mengingatkannya. Untuk itulah para ulama hadis

membagi hadis nabi berdasarkan jumlah periwayatnya.

1) Hadis Mutawatir

Definisi hadis mutawatir adalah “suatu hadis hasil

(37)

rawy, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul

dan bersepakat dusta” (Rahman, 1974: 59). Hadis mutawatir menempati urutan tertinggi dalam tingkat kebenaran informasinya,

ia dapat disejajarkan dengan Al-Quran dalam hal sama

diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang (Zuhri, 2003: 84).

Hadis mutawatir oleh para ulama di bagi menjadi dua:

a) Mutawatir lafdzi: yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang

banyak yang sususan redaksi dan maknanya sama antara satu

dengan yang lain.

b) Mutawatir maknawi: yaitu hadis mutawatir yang berbeda

lafadz antara satu rawi dengan rawi lainnya, namun pada

prinsipnya memiliki makna atau maksud yang sama (Rahman,

1974: 63).

2) Hadis Ahad

Hadis Ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua,

atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur. Untuk

dapat dijadikan hujjah atau dasar beramal, hadis ahad sangat

tergantung pada aspek kebersambungan sanad dan kualitas para

rawi-nya. Apabila sanad bersambung dan memiliki kualitas rawi

yang shahih maka hadis hadis ahad dapat dijadikan sebagai dasar

beramal. Adapun keterangan yang datang belakangan hadis ahad

dengan tingkatan hasan pun dapat diterima sebagai hujjah (Zuhri,

(38)

b. Pembagian Hadis Berdasarkan Penerimaan Sebagai Hujjah

1) Hadis Shahih

Menurut muhadditsiin pengertian hadis shahih yaitu:

ٍذاَش َلاَو ٍلَّلَعُم ُرْ يَغ ِدَنَّسلا ُلِصَّتُم ِتْبَّضلا ُماَت ٌلْدَع ُوَلَقَ ن اَم

“Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawy tang adil, sempurna

ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber‟illal dan tidak

janggal.” (Rahman, 1974: 94)

Bila ditelaah lebih lanjut, dari definisi hadis shahih di atas

maka dapat diketahui syarat atau kriteria hadis shahih adalah

sebagai berikut:

(a) Bersambung sanad-nya (muttashil al-sanad) dari mukharrij

hadis sampai Nabi saw.

(b) Diriwayatkan oleh para periwayat yang„adl.

(c) „Adl dalam pengertian ilmu hadis tidak sekedar ditinjau dari

aspek akhlak atau kepribadian yang baik, seperti: jujur, adil,

ahli ibadah, wara„ (berhati-hati) dan tidak fasiq, dia juga setia

menjalankan agamanya sesuai dengan pengetahuan yang ia

miliki.

(d) Periwayat tersebut dlabit yakni memiliki ingatan yang baik.

Dlabith yang sempurna berarti dia hafal hadisnya dengan baik

dalam arti bisa menyampaikan hadis yang diterimanya

(39)

menyampaikan hadis itu kepada periwayat yang lain, jadi

periwayat bukanlah pelupa.

(e) Tidak punya cacat („illal) yang menggugurkan, baik yang

mungkin terjadi pada sanad maupun matan hadis.

(f) Tidak syadz yakni informasi yang dibawanya tidak

bertentangan dengan informasi dari hadis yang lebih shahih

yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih berkualitas

(Zuhri, 2003: hlm. 89)

2) Hadis Hasan

Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung,

oleh penukil yang „adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat (Subhi

Shalih, 1988: 156). Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih

terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih

dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan. Dengan demikian dapat

dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi

syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau

sebagiannya, kurang ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi

hadis shahih.

Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah

dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis

(40)

hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang

atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan

mempunyai kriteria sebagai berikut:

a) Sanad hadis harus bersambung.

b) Perawinya adil

c) Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih

rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih

d) Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz

e) Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak

(Nawir Yuslem, 2001: 230)

3) Hadis Dla‟if

Dha‟if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha‟if ada

dua macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang

dimaksud disini adalah dha‟if maknawiyah. Hadis dhaif menurut

istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”

Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam

mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan

maksudnya sama. An-Nawawi mendefinisikannya dengan: “hadis

yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan

syarat-syarat hadis hasan” As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif

(41)

syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak

terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul

3. Takhrij Hadis

1. Pengertian Takhrij Hadis

Takhrij berasal dari kata kharraja, yukharriju yang berarti:

mengeluarkan (istinbath), melatih atau mebiasakan (tadrib),

memperhadapkan (tawjih). Menurut Dr. Mahmud Thahhan yang dikutip

Noor Sulaiman, 2008: 155 dikemukakan bahwa kata takhrij menurut

bahasa ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan dalam satu persoalan”. Menurut istilah sedikitnya ada lima pengertian takhrij:

a. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para

periwayatnya dalam rangkaian sanad yang telah menyampaikan hadis

itu. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para periwayat yang

menghimpun hadis ke dalam kitab yang mereka susun. Misalnya Imam

Abu Dawud dengan Sunan-nya.

b. Mengeluarkan hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis atau

berbagai kitab lainnya.

Kegiatan ini dilakukan oleh para ulama hadits misalnya Imam Baihaqi

yang telah banyak mengambil hadis dari Kitab Sunan yang disusun

Abu Hasan Al-Basri, kemudian Al-Baihaqi kemudian menuliskan

(42)

c. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber

pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh

mukharrij-nya.

Pengertian ini yang seharusnya diikuti dalam pengutipan hadis pada

karya-karya ilmiah.

d. Mengemukakan hadis berdasarkan sumber pengambilannya yang di

dalamnya disertakan metode periwayatan dan sanad-nya

masing-masing dengan menjelaskan keadaan perawi dan kualitas sanad-nya.

Dalam pengambilannya dijelaskan kualitas masing-masing hadis.

e. Menunjukkan letak asal hadis pada sumber aslinya dan dikemukakan

secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing.

Pada pengertian inilah penelusuran hadis dalam berbagai kitab sumber

asli dari hadis yang bersangkutan dikemukakan lengkap dengan matan

beserta sanad-nya.

2. Tujuan pelaksanaan takhrij hadis

Di antara tujuan takhrii adalah untuk mengetahui asal-usul riwayat

hadis yang diteliti, mengetahui seluruh riwayat hadis yang diteliti,

mengetahui ada tidaknya syahid atau muttabi‟ pada sanad yang diteliti,

mengetahui persambungan sanad hadis yang diriwayatkan dengan

menggunakan kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan periwayatan

hadis (tahammul wal ada‟), memastikan identitas dan reputasi para

(43)

Dalam melakukan takhrij tentunya ada tujuaan yang ingin dicapai.

Tujuan takhrij yang dingin dicapai seorang peneliti adalah:

a. Mengetahui eksitensi suatu hadis apakah benar suatu hadis yang ingin

diteliti terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak.

b. Mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang

didapatkan.

c. Mengetahui ada beberapa tempat hadis tersebut, dengan sanad yang

bebeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberap buku induk

hadis.

d. Mengetahui kualitas hadis diterima atau ditolak.

3. Faedah dan Manfaat Takhrij Hadis

Mengetahui referensi beberapa buku hadis dengan cara takhrij

seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadis yang diteliti dan di

dalam kitab hadis apa saja hadis tersebut didapatkan.

a. Menghimpun sejumlah sanad hadis, mengetahui keadaan sanad yang

tersambung (muttashil), terputus (munqathi‟), dan mengetahui kadar

kemampuan rawi dalam mengingat hadis serta kejujuran dan

periwayatannya.

b. Mengetahui status hadis.

Terkadang ditemukan sanad suatu hadis dha‟if tetapi melalui sanad

(44)

1) Meningkatkan suatu hadis yang dhai‟f menjadi hasan li ghairihi

karena adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih

tinggi kualitasnya.

2) Mengetahui bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas

hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan.

3) Seorang yang melakukan takhrij suatu hadis dapat menghimpun

beberapa sanad dan matan hadis.

4. Metode Takhrij Hadis

Ada beberapa metode takhrij yang sesuai dengan tehnik buku hadis

yang ingin diteliti. Paling tidak ada lima metode takhrij dalam arti

penulusuran hadis dari sumber buku hadis yaitu:

a. Takhrij dengan Kata (bi al-lafdzi)

Takhrij dengan kata (bi al lafzhi), langkah yang pertama yaitu

penulusuran hadis melalui kata atau lafal matan hadis baik dari

permulaan, pertengahan dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan

metode takhrij ini adalah salah satunya yang paling mudah adalah

kamus Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Alfadzh Al-Hadis An-Nabawi yang

disusun al-Mazzy. Takhrij dengan kata adalah takhrij dengan benda

(kalimah isim) bukan kata sambung (kalimah huruf, caranya yaitu

dalam bahasa arab yang mempunyai akar kata tiga huruf . Kata itu

diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja selain

kata sambung atau kalimat huruf, kemudian dicari akar kata asal dalam

(45)

b. Takhrij dengan Tema (bi al-maudhu)

Langkah dalam metode ini yaitu melalui penulusuran hadis dari

buku-buku hadis misalnya hadis maudhu‟ akan lebih mudah di-takhrij

melalui buku-buku himpunan hadis maudhu‟ seperti al-Maudhuat

karangan Ibnu al-Jauzi.

c. Takhrijdengan Permulaan Matan (bi awwal al-matan),

Yaitu menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya,

misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf وmaka dicari pada

bab و dan jika diawali dengan huruf ب maka dicari pada huruf ب dan

seterusnya. Takhrij seperti ini di antaranya dengan menggunakan Kitab

al-Jami‟ Ash-Shaghir atau al-jami‟ al-Kabir karangan al-Suyuthi dan

Mu‟jam Jami‟al-Ushul fiAhadits al-Rasul, karya Ibnu Al-Atsir.

d. Takhrij Melalui Sanad Pertama (bi al- rawi al-a‟ala) PerawiTingkatan

Tinggi

Metode takhrij dengan sanad pertama dapat dilakukan dengan

menulusuri hadis melalui sanad yang pertama atau paling atas yakni

para sahabat (musttashilisnad) atau tabi‟in (dalam hadis mursal)

caranya yaitu peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa

sanad-nya di kalangan sahabat atau tabi‟in, kemudian dicari dalam buku

hadis Musnad atau al-Athraf. Di antara kitab yang digunakan dalam

metode ini adalah al-Asyraf bi Ma‟rifat al-Athraf seperi Musnad

Ahmad bin Hanbal, Tuhfat al-Syraf bi Ma‟rifat al-Athraf karya

(46)

e. Takhrij dengan Sifat (bi al-sifah)

Memperhatikan hal ihwal hadis dan sifat-sifatnya yang terdapat

pada matan dan sanad-nya. Dengan mengetahui hal ihwal hadis itu akan

dapat ditentukan status hadisnya, apakah hadis ini tergolong hadis mursal,

(47)

BAB III

HASIL PENELITIAN SANAD HADIS

A. Menelusuri Letak Hadis pada Kitab-kitab Mukharrij Hadis

Penelusuran sanad hadis bertujuan menemukan teks-teks hadis yang

memiliki makna senada dari kitab-kitab hadis. Hadis nabi yang telah

terkodifikasi oleh mukharrij hadis berjumlah ratusan bahkan ribuan. Jika

ditelusuri satu persatu dari satu kitab ke kitab lain, maka akan sangat

kesulitan. Untuk itu agar lebih mudah memahaminya, penulis membagi

beberapa tahap dalam analisis kuantitas sanad hadis ini. Tahap-tahap itu

selanjutnya penulis uraikan sebagai berikut:

Hadis yang penulis teliti adalah hadis yang berisi tentang anjuran

atau diperbolehkannya melihat wanita yang dipinang atau di-khitbah.

Penulis menentukan kata

ةطخ

dan

شظَ

dalam meneliti hadis ini. Penulis

memilih kata

ةطخ

karena hadis yang penulis teliti berkenaan dengan

khitbah sebagai tema pokok dalam penelitian ini. Kata kedua sebagai

alternativ adalahkata

شظَ

yang berarti melihat, kata ini penulis ambil juga

dimaksudkan untuk membatasi atau memfokuskan pencarian hadis-hadis

tentang khitbah namun hanya terbatas pada sub pokok nadhor atau

melihatnya seorang laki-laki pada seorang perempuan yang dikhitbahnya.

Langkah penulis berikutnya adalah mencari bagian penggalan atau

(48)

hadis an-Nabawiy karya A.J. Wensinck. Pada penelusuran ini penulis

menemukanpenggalan bunyi hadis:

ٍَ ٌأ عاطرعا ٌئف جأشًنا ىكذحأ ةطخ ارإ

ظ

س

Pada kitab Mu‟jam Mufahras li alfadz al- hadis an-Nabawiy

terdapat beberapa petunjuk sebagai berikut:

د (A.J. Wensinck, 1943: Jilid II, hlm: 44)

Dari petunjuk kitab Mu‟jam tersebut dapat diketahui bahwa:

a. Huruf د adalah kode untuk Abu Dawud, menunjukkan bahwa hadis

yang memuat penggalan matan hadis

عاطرعا ٌئف جأشًنا ىكذحأ ةطخ ارإ

ٍَ ٌأ

ظ

س

terdapat pada kitab Sunan Abu Dawud. Kata حاكَ menunjukkan

nama bab yakni nikah, nomor bab 18.

b. Pada petunjuk kedua huruf خ menunjukkan bahwa hadis tersebut

dimuat dalam kitab Sunan At-Turmudzi, kata 5 حاكَ menunjukkan

bahwa pada kitab Sunan At-Turmudzi hadis yang dimaksud dimuat

pada bab nikah dengan nomor bab 5.

c. Petunjuk ketiga yaitu huruf ىح menunjukkan pada kitab musnad

Ahmad bin Hanbal. Hadis tersebut dimuat pada bab ke-3 halaman 224

dan 260, pada bab 3 termuat pada halaman 262 dan 299, sedangkan

pada bab 5 terdapat pada halaman 424.

Setelah diperoleh petunjuk yang telah dari kitab kamus hadis

(49)

adalah menelusuri langsung pada sumber primer yaitu kitab-kitab hadis

yang telah dirujuk.

a. Kitab hadis Sunan Abu Daawud karya Al-Imam Al-Haafidz Abii

Daawuud Al-Ats‟ats Al-Sabhastani (wafat: 275 H), pada juz II bab ke

18 halaman 2082, penulis menemukan hadis yang redaksinya sebagai

berikut:

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Hushoin dari

Waqid bin Abdurrohman yakni ibnu Sa‟id bin Mu‟adz dari Jabir bin

Abdillah berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Apabila salah seorang

di antara kamu melamar perempuan, maka jika ia mampu melihat pada sesuatu yang mendorongnya untuk menikahi perempuan itu maka

hendaklah ia lakukan.” Berkata (Jabir), ”Saya pernah melamar seorang

wanita. Saya pernah mengintipnya sehingga saya melihat dari dia sesuatu yang mendorong saya untuk menikahinya, lalu saya

menikahinya.”* (terj. Muhammad, 1995 Jilid III : hlm. 409-410)

b. Kitab Al-Jaami‟ al-Shahih Sunan al-Turmudzi jilid III, bab ke 5

nomor 1075, ditemukan hadis senada dengan redaksi sebagai berikut:

(50)

ادَهبْ دَادِ

menceritakan kepadaku „Ashim bin Sulaiman dia adalah Al-Ahwal,

dari Bakr bin Abdillah Al-Muzani, dari Mughiroh bin Syu‟bah

(berkata, pen.) sesungguhnya ia (seorang laki-laki) telah meminang

seorang wanita maka bersabda Rasulullah SAW, “Melihatlah

kepadanya maka sesungguhnya itu lebih mengkin melanggengkan antara kalian.* Dan pada suatu riwayat dari Muhammad bin Maslamah, Jabir, Abu Humaid, Anas dan Abu Hurairah, berkata Abu

Isa: Hadis ini hasan, dan sebagian ulama telah membahas hadis ini dan

mereka mengatakan tidak ada halangan untuk melihat padanya

(wanita) sesuatu yang tidak boleh dilihat oleh mahram. Dan kata

Ahmad dan Ishaq, makna lebih mungkin melanggengkan antara kamu, dikatakan (maksudnya) adalah lebih mungkin melanggengkan cinta kasih antara kalian.*

c. Kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal ditemukan hadis dengan

redaksi sebagaimana berikut ini:

1) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 334:

ادَندَثَّددَح

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad, menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin

Hushoin dari Waqid bin Abdurrohman bin Sa‟d bin Muadz dari

Jabir berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Apabila salah seorang

di antara kamu melamar perempuan, maka jika ia mampu melihat darinya pada sesuatu yang mendorongnya untuk menikahi

perempuan itu maka hendaklah ia lakukan.” Berkata Jabir ”Saya

(51)

dapat melihat darinya sesuatu yang membuatku tertarik untuk menikahinya kemudian saya menikahinya.*

2) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 360

ادَندَثَّددَح

Abdillah Al-Anshori berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah satu dari kalian meminang wanita maka (bila) dapat melihat darinya (wanita) bagian yang menarik kepadanya maka hendaklah ia lakukan.*

3) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 299

ادَندَثَّددَح

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Mu‟adz telah

menceritakan kepada kami Yazid bin Kaisan dari Abi Hazim dari Abi Hurairah: Seorang laki-laki telah melamar perempuan yaitu

dari kaum ‟Anshor maka berkata: “Lihatlah kepadanya yaitu

sesungguhnya di mata kaum „Anshor itu ada sesuatu.”*

4) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 282

ادَندَثَّددَح

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami Yazid bin Kaisan dari Abi Hazim dari Abi Hurairah: Seorang laki-laki melamar seorang wanita, maka

(52)

5) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 424 menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Isa telah menceritakan kepadaku Musa bin Abdillah bin Yazid dari Abi Humaid atau Abi Humaidah berkata: Dan sungguh Rasulullah SAW melihat maka bersabda Rasulullah

SAW, “Apabila salah satu diantara kalian melamar seorang

perempuan maka tidak berdosa melihat padanya apabila ia melihat pada ia (perempuan) untuk meminangnya dan apabila perempuan

itu tidak mengetahui.”*

Peneliti hanya menyajikan hadis-hadis yang dirujuk kitab Mu‟jam

bukan bermaksud mengabaikan kemungkinan diriwayatkannya hadis pada

jalur periwayat lain. Namun, dalam hal ini penulis maksudkan untuk

memfokuskan studi sanad dan matan hadis ini pada jalur tententu..

(53)
(54)

Sebelum membuat skema atau bagan sanad hadis, sebagai langkah bantuan penulis mengutip kembali semua nama

perawi hadis pada beberapa sanad kemudian dipaparkan dalam satu tabel. Langkah ini sangat berguna untuk menghindari

kekeliruan penulisan nama perawi dan menyusun rangkaian alur rijal-nya. Tabel nama-nama perawi hadis dan tahammul wal

ada‟-nya dapat dilihat sebagaimana tabel berikut ini:

Tabel 2. Daftar Nama Perawi Hadis Beserta Tahammul wal Ada‟

(55)
(56)

Bagan ini dibuat berdasarkan tabel nama dan tahammul wal ada‟

(tabel 2) yang telah dipaparkan sebelumnya dengan cara mereduksi data.

Reduksi data ini dilakukan dengan menuliskan sekali saja nama periwayat

yang sama sehingga dapat dilihat dengan lebih cermat persebaran hadis

pada jalur tertentu. Dengan memperhatikan skema di atas dapat diketahui

bahwa, dari 3 (tiga) mukharrij yaitu Abu Dawud, Ahmad dan Turmudzi,

bersumber dari 4 (empat) rawi yang menerima hadis itu dari Rasulullah

SAW, mereka adalah Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah, Mughiroh bin

Syu‟bah dan Abi Humaid.

Mengenai skema di atas apabila diurai satu persatu mukharrij dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Jalur mukharrij at-Turmudzi

للها لوسر

َةَبْعُش ِنْب ِةَيرِغُمْلا ْنَع ِِّنَِزُمْلا ِوَّللا ِدْبَع ِنْب ِرْكَب

ْنَع َناَمْيَلُس ُنْب ُمِصاَع

ِ َثَّدَح َةَدِئاَز ِبَِأ ُنْبا

اَنَ ثَّدَح ٍعيِنَم ُنْب ُدَْحمَأ

(57)

At-Turmudzi meriwayatkan dari Ahmad bin Mani‟, Ibnu Abi

Zaidah, „Asim bin Sulaiman, Bakr bin Abdillah bersumber dari al

-Mughiroh. Jalur ini merupakan jalur tunggal (ahad) karena tidak

ditemukan satu tingkatan rawi-pun yang menyampaikan kepada lebih dari

satu murid.

Jalur mukharrij Ahmad

Dari skema sanad Imam Ahmad meriwayatkan dari 5 (lima) rawi

di atasnya yang bersumber dari 3 (tiga) thabaqat sahabat. Jika diurai dapat

dilihat sebagai berikut:

Jalur mukharrij Ahmad dengan sanad Abu Kamil satu jalur ke atas

melalui Zuhair, dan sampai kepada Rasulullah SAW melalui Abi Humaid.

Kemudian jalur sanad Mu‟adz dan Sufyan bin Uyainah memiliki

Gambar

Tabel 1: Nama Periwayat, Sanad dan Matan Hadis
Tabel 2. Daftar Nama Perawi Hadis Beserta Tahammul wal Ada‟

Referensi

Dokumen terkait