TELAAH HADIS TENTANG MELIHAT WANITA SEBELUM
MENGKHITBAH (STUDI TAKHRIJ HADIS RIWAYAT
ABU DAWUD TENTANG DIPERBOLEHKANNYA
SEORANG LAKI-LAKI MELIHAT WANITA
SEBELUM MENGKHITBAHNYA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Disusun oleh:
MUHAMAD HAFID
NIM: 21208007
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
▸ Baca selengkapnya: seorang laki-laki brachydactily ( bb ) menikah dengan wanita bracydactily ( bb ), kemungkinan mereka akan memiliki anak letal adalah bergenotipe…
(2)(3)TELAAH HADIS TENTANG MELIHAT WANITA SEBELUM
MENGKHITBAH (STUDI TAKHRIJ HADIS RIWAYAT
ABU DAWUD TENTANG DIPERBOLEHKANNYA
SEORANG LAKI-LAKI MELIHAT WANITA
SEBELUM MENGKHITBAHNYA)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Disusun oleh:
MUHAMAD HAFID
NIM: 21208007
JURUSAN
SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA
Jl. Nakula Sadewa VA No. 09 telp. ( 0298 ) 3419400,323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga
Website : www.stainsalatiga.ac.id e-mail : administrasi@stainsalatiga.ac.id PERSETUJUAN PEMBIMBING Hal : Pengajuan Skripsi
Lamp : 4 eksemplar
Kepada
Yth. Ketua STAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu‟alaikum wr.wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan koreksi serta perbaikan
seperlunya, maka bersama kami ini kirimkan naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Muhamad Hafid
NIM : 21208007
Jurusan / Program Studi : Syari‟ah / Ahwal Al-Syakhshiyyah
Judul : Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum
Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya)
untuk diajukan dalam sidang munaqasyah.
Demikian untuk menjadi periksa.
Wassalamu‟alaikum wr.wb.
MOTTO
للها ىلع لكوتف تمزع اذإف
Bila kamu telah bersungguh-sungguh
maka bertawakallah kepada Allah
dan ingatlah …
نيدلاولا ىضر في للها ىضر
PERSEMBAHAN
Untuk ayahandaku Nur Khamid dan Ibundaku tercinta Sofiyah, cintamu laksana embun, bening, sejuk, suci, murni,
tiada kata harap tetesan kembali.
Untuk para guru, masyayikh, dan segenap dosen STAIN Salatiga, secara khusus kepada Prof. Dr. Muh. Zuhri, dari beliau
saya mengenal Ulumul Hadis pertama kali. Untuk sepuluh bersaudara:
(1).mbak Isti’anah, (2) mbak Misrifah, (3) mbak Mudrikah, (4) mbak Marfu’ah, (5) mbak Siti Romlah, (6) Muhamad Hafid
(7) dik Khamidah, (8) dik Muhammad Mahbub, (9) dik Muhammad Sukron Hamid, (10) dik Nur Jannah
kalian adalah lautan inspirasiku. Untuk sahabat-sahabat seperjuanganku,
serta teman-teman yang turut membantu mengelupas kulit ketidaktahuanku. Semoga tidak lupa ilmu padi.
Dan untuk yang selalu ada di hatiku...
terima kasih selalu menemani, mendukung dan memotivasiku. Tiada kata yang lebih indah yang bisa aku sampaikan selain
TERIMA KASIH dan Do’a terbaik untuk semua...
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil „aalamiin. Ucapan dan ungkapan syukur tiada
terhenti penulis haturkan atas anugerah Allah SWT. Shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad SAW, rindu kami senantiasa mengiring setiap hembusan nafas
dan detak kehidupan.
Dengan Rahmat Allah SWT akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dan atas bantuan banyak pihak yang telah mendukung serta memberikan
sumbang sih saran dan kritik. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini
sebagai Skripsi pada Program Studi Al-ahwal Al-syakhshiyyah yang berjudul
Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya) dan penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu serta mendoakan
terselesaikannya skripsi ini, secara khusus kepada segenap civitas akademika
STAIN Salatiga:
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga yang kami hormati.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga atas kelonggaran hati beliau memperlancar proses pengajuan skripsi ini.
3. Bapak Ilyya Muhsin, SHI., M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal Al
Syakhshiyyah STAIN Salatiga atas kepercayaan beliau menyarankan penulis
untuk studi takhrij hadis.
4. Bapak Dr. Adang Kuswaya, M.Ag. terima kasih atas kesabaran membimbing
dan memberi dorongan semangat kepada penulis, meskipun penulis
berkemampuan pas-pasan dalam studi takhrij hadis.
5. Bapak. Prof. Dr. Muh. Zuhri atas tuntunan beliau mengajar Ulum Al-Hadis.
6. Bapak dan Ibu seluruh pegawai, staf perpustakaan, security dan segenap
Serta semua pihak yang tak dapat kami tuliskan satu per satu. Semoga
Allah senantiasa memudahkan urusannya dan keluarganya dalam kebaikan,
karena Allah senantiasa memberikan pertolongan pada orang yang senantiasa
menolong sesamanya. Semoga Allah SWT berkenan memberikan kesehatan dan
balasan yang terbaik. Aamiin.
Tiada gading yang tak retak, begitu pula dalam menyusun skripsi ini
penulis yakin belum sempurna, masih terdapat kekurangan dan kesalahan baik
dalam penulisan maupun isinya. Oleh sebab itu atas kritik dan saran dari seluruh
pembaca, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.
Salatiga, September 2013
Penulis
ABSTRAK
Hafid, Muhamad. 2013. Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum
Mengkhitbah (Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya). Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Ahwal Al-Sykahshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Pembimbing: Dr. Adang Kuswaya, M.Ag
Kata Kunci: hadis, sanad, matan, melihat, khitbah
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka untuk menganalisis sanad dan
matan hadis tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita dalam
proses khitbah. Hadis yang menjadi objek penelitian ini adalah hadis riwayat Abu
Dawud dari Jabir bin Abdillah tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya. Pertanyaan yang ingin dijawab melalui
penelitian ini adalah bagaimana keabsahan hadis tersebut ditinjau dari sanad
maupun matan-nya dan bagaimana implikasi hukum hadis tersebut.
Peneliti melakukan tiga tahap yaitu penelitian sanad dan penelitian matan hadis lalu meneliti implikasi hadis berdasarkan kitab-kitab Fiqh yang berhubungan. Pada penelitian sanad tahap-tahapnya sebagai berikut: Menelusuri letak hadis pada kitab-kitab mukharrij hadis, menyusun bagan sanad hadis,
memeriksa persambungan sanad dan reputasi periwayat hadis, mengambil natijah
atau kesimpulan sementara tentang nilai sanad hadis. Sedangkan pada penelitian matan hadis penulis melakukan tahap-tahap berikut: Membandingkan hadis dengan ayat Al-Quran yang sesuai, membandingkan dengan hadis lain yang lebih shahih, membandingkan hadis dengan fakta sejarah, membandingkan hadis dengan rasio, mengambil kesimpulan sementara tentang nilai matan hadis. Selanjutnya adalah penjabaran implikasi hukum hadis
Dari penelitian ini penulis menyimpulkan bahwa hadis riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita
yang hendak dilamarnya adalah termasuk hadis ahad dan memiliki sanad dengan
kualitas hasan. Analisis matan hadis tidak menunjukan redaksi lafadz yang jauh
berbeda secara makna, artinya hadis ini diriwayatkan dengan makna bukan
dengan lafadz. Hadis tersebut terhindar dari syadz dan „illal, dan dari segi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN ... iii
DEKLARASI ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Kegunaan Penelitian ... 7
E. Metode Penelitian ... 9
F. Penegasan Istilah ... 13
G. Telaah Pustaka ... 15
H. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II : TINJAUAN UMUM ... 17
A. Khitbah ... 17
2. Melihat Wanita yang Dikhitbah ... 19
3. Status Hukum Khitbah ... 21
B. Hadis dan Takhrij Hadis ... 22
1. Hadis ... 22
2. Pembagian Hadis ... 23
3. Takhrij Hadis ... 28
BAB III HASIL PENELITIAN SANAD HADIS... 33
A. Menelusuri Letak Hadis pada Kitab Mukharrij Hadis ... 33
B. Menyusun Bagan Sanad Hadis ... 41
C. Memeriksa Persambungan Sanad dan Reputasi Periwayat Hadis ... 45
D. Kesimpulan Penelitian Sanad Hadis ... 51
BAB IV ANALISIS MATAN HADIS ... 55
A. Pendekatan Nash Al-Quran ... 55
B. Penelitian Syadzdan „Illat ... 59
C. Asbaab al-Wurud Hadis ... 59
D. Analisis Bahasa dan Makna ... 60
E. Kandungan Hukum ... 62
BAB V PENUTUP ... 63
A. Kesimpulan ... 63
B. Saran ... 65
Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan peristiwa yang bersifat sakral antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk membina sebuah keluarga. Keluarga yang
harmonis, di dalam Islam dikenal dengan istilah keluarga sakinah, mawaddah,
warrahmah. Islam memberikan tuntunan agar setiap muslim tidak sembarang
dalam menentukan pasangan hidup. Sebagaimana disebutkan dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih dari Abu Hurairah:
يهُ نْ عَ يهُ لَّلا يعَ بِ عَ يعَ عَ نْيْ عَ هُ ي بِ عَ ينْ عَ
keturunannya, kecantikannya, atau karena agamanya. Pilihlah berdasarkan
agamanya agar selamat dirimu.” (HR. Bukhari : 4700 dan Muslim : 2661) Kemudian bagaimana seorang laki-laki dapat mengetahui keempat hal
di atas jika belum saling mengenal? Sebagaimana telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW melalui hadisnya, untuk mengetahui mengetahui seorang
perempuan yang akan dinikahi adalah seorang yang baik menurut tuntunan
Islam, diperlukan sebuah upaya agar saling mengenal.
Dalam Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Depertemen Agama, Q.S. Al-Hujurat [49]: 13)
Upaya untuk saling mengetahui antara calon mempelai dikenal dengan
istilah ta‟aruf. Yaitu saling berkenalan antara seorang laki-laki dan perempuan
beserta keluarganya masing-masing untuk tujuan yang baik yakni untuk tujuan
pernikahan. Setelah upaya ta‟aruf dilakukan dan ditemukan kecocokan satu
sama lain maka proses selanjutnya khitbah atau peminangan. Peminangan
merupakan langkah pendahuluan untuk menuju ke arah perjodohan antara
seorang pria dan wanita. Islam mensyariatkan khitbah atau peminangan agar
masing-masing calon suami dan calon istri dapat saling mengenal dan
memahami pribadi masing-masing (Rofiq, 1998: 62). Pada pasal 1 Bab I
Kompilasi Hukum Isalam huruf (a) juga telah memberi pengertian bahwa
“peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dan wanita” dengan cara yang baik (ma‟ruf). (Kompilasi
Hukum Islam dan Sabiq, tt: 51)
Dalam proses perkenalan antara seorang laki-laki dan perempuan
diperlukan adanya komunikasi baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Salah satu bentuk komunikasi langsungnya adalah saling bertemu face to face
yang memungkinkan seorang laki-laki melihat langsung perempuan bukan
mahram yang hendak dinikahinya. Berkaitan dengan melihat calon mempelai
yang akan dinikahi, penulis menemukan sebuah hadis riwayat Ahmad dan
ونع للها يضر رباج نع و
لاق
:
ملس و ويلع للها ىلص للها لوسر لاق
:
(
اذإ
اهحاكن لىإ هوعدي ام لىإ اهنم َرظني نأ عاطتسا نإف ، ةأرلما مكدحأ بطخ
لعفيلف
)
مكالحا وححصو ةقث ولاجرو دواد وبأ و دحمأ هاور
.
Artinya: Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa
Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik darinya
untuk menikahinya, hendaknya ia lakukan.” (Riwayat Ahmad dan Abu
Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadis shahih menurut Hakim) (al-Asqolani, 1378 Hijriyah: hlm.209)
Dengan adanya peminangan tidak lantas menimbulkan berubahnya
status hukum bagi hubungan laki-laki maupun perempuan, baik hubungan
secara fisik maupun hubungan non fisik, karena pinangan bukanlah sebuah
ikatan hak dan kewajiban. Sebagaimaan Kompilasi Hukum Islam menegaskan
pada pasal 13 ayat (1) bahwa “Pinangan belum menimbulkan akibat hukum
dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.” Dilanjutkan ayat
(2) yang berbunyi “Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan
dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan
setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.” Maka,
dapat dipahami bahwa meskipun sebuah peminangan telah disetujui dan saling
menerima, para calon mempelai tetap tidak diperbolehkan melakukan sesuatu
yang dilarang secara syar‟i, seperti ber-ikhtilath atau bersepi-sepi berdua
hingga dilangsungkannya aqad perkawinan yang sah.
Dalam pergaulan masyarakat ada sebuah kebiasaan yang dimaklumkan
namun tidak jelas apa yang menjadi landasan, bahwa seorang laki-laki dan
menjadi jaminan pasti akan melakukan pernikahan dan menjadi suami istri
(Rofiq, 1998:64). Bahkan oleh orang tua masing-masing calon mempelai
diijinkan melakukan segala aktifitas bersama-sama. Saling berpandangan
dengan disertai syahwat, saling bersentuhan baik sengaja ataupun tidak, dan
aktifitas lain yang belum layak bagi dua orang yang belum sah sebagai suami
istri pun kadang tidak dapat terhindarkan.
Perkembangan sosial kemasyarakatan yang diiringi perkembangan
cara bergaul manusia yang cenderung lebih terbuka kepada hal-hal yang
bersifat global, maka perhatian masyarakat kepada kaidah-kaidah agama
sebagaimana Al-Quran dan hadis menjadi semakin surut. Karena itulah
penulis sebagai akademisi syari‟ah merasa tergerak untuk meneliti lebih lanjut
sebenarnya bagaimana Islam mengatur tata cara pergaulan khususnya
pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Mengingat diri penulis adalah mahasiswa program studi Ahwal al
Syakhshiyyah, maka penulis tertarik untuk meneliti hadis yang berkenaan
dengan nadhar sebelum khitbah atau peminangan. Objek yang mejadi kajian
penelitian ini berupa teks hadis maka penelitian yang dilakukan adalah jenis
penelitian pustaka yakni kajian sanad dan matan hadis. Pada penelitian ini
penulis membatasi pada bab nadhar yang berarti melihat, yakni tentang
diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita yang akan menjadi calon
istri pada saat khitbah.
Pertanyaan yang ingin dijawab dengan penelitian hadis ini adalah
diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya.
Apakah sanad hadis tersebut bersambung kepada nabi SAW atau apakah ada
rantai sanad yang terputus. Kemudian tentang matan hadis tersebut apakah
tidak bertentangan dengan nash Al-Quran, terdapat syadz atau pertentangan
dengan hadis lain yang sahih atau tidak, dan apakah hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud tersebut tidak mengandung „íllal atau
terdapat cacat hadis.
Al-Quran adalah sumber hukum utama agama Islam, sedangkan hadis
adalah sumber kedua, maka semestinya hadis bersifat melengkapi kepada
ayat-ayat Al-Q‟uran. Di satu sisi Al Quran surat An-Nuur ayat 30-31 yang
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: „Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat‟. Dan katakanlah kepada wanita
yang beriman: „Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya . . . (Departemen Agama RI, QS. An-Nuur: ayat 30-31)
Ayat di atas jelas memerintahkan kepada laki-laki dan wanita muslim
untuk menahan pandangannya serta kemaluannya, menyiratkan makna bahwa
atau khitbah. Dengan pemahaman sederhana tanpa melalui telaah kritis, hadis
yang berbunyi:
اهحاكن لىإ هوعدي ام لىإ اهنم َرظني نأ عاطتسا نإف ، ةأرلما مكدحأ بطخ اذإ
لعفيلف
(al-Asqolani, 1378 Hijriyah: hlm.209)
Bunyi hadis tersebut tampak sangat bertentangan dengan Al-Quran
surat An-Nuur ayat 30 maupun ayat 31 dari segi perintah dan larangan.
Perbedaan ini akan sangat berpotensi menimbulkan permasalahan
ketidakpastian hukum dalam masyarakat, selain itu adanya perbedaan
penafsiran akan mengakibatkan ummat Islam tidak yakin dalam mengamalkan
Al-Quran dan hadis. Untuk itulah penelitian studi hadis ini menjadi penting
untuk mengetahui tingkat keabsahan sanad maupun matan-nya. Berdasarkan
latar belakang di atas maka penulis melakukan penelitian pustaka dengan
judul: Telaah Hadis Tentang Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya
(Studi Takhrij Hadis Riwayat Abu Dawud Tentang Diperbolehkannya Seorang Laki-Laki Melihat Wanita Sebelum Mengkhitbahnya)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keabsahan sanad hadis riwayat Abu Dawud tentang
diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum
2. Bagaimana keabsahan matan hadis riwayat Abu Dawud tentang
diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum
mengkhitbahnya?
3. Bagaimana implikasi hukum hadis tentang diperbolehkannya seorang
laki-laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya terhadap pergaulan antara
laki-laki dan perempuan yang belum shah sebagai suami istri?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitian pustaka ini adalah:
1. Mengetahui keabsahan sanad hadis hadis riwayat Abu Dawud tentang
diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum
mengkhitbahnya.
2. Mengetahui keabsahan matan hadis riwayat Abu Dawud tentang
diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum
mengkhitbahnya.
3. Bagaimana implikasi hukum hadis riwayat Abu Dawud tentang
diperbolehkannya seorang laki-laki melihat wanita sebelum
mengkhitbahnya terhadap pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis:
a. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan bahan kajian
pustaka khususnya para pengkaji hadis.
b. Sebagai sumbangan pemikiran untuk pembaca yang akan mengadakan
penelititan lebih lanjut di bidang telaah hadis.
c. Untuk mewujudkan hubungan pergaulan yang baik dalam masyarakat
yang sesuai dengan ajaran Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dan ilmu
pengetahuan bagi semua pihak, khususnya bagi:
a. Peneliti
Sebagai syarat untuk meperoleh gelar sarjana dalam bidang
ilmu syari‟ah program studi Ahwal Al-Syakhshiyyah dan sebagai wawasan ilmu pengetahuan yang berguna ketika peneliti sudah
berperan aktif dalam masyarakat.
b. Lembaga pemerintahan yang bergerak dalam bidang pembinaan
keluarga dan pernikahan
Sebagai tambahan referensi untuk memberikan informasi dan
memberikan tambahan pengetahuan terhadap masyarakat khususnya
bagi calon mempelai akan pentingnya menjaga kesucian hubungan
sebuah keluarga yang harmonis yang terjaga kesuciannya dimulai dari
menjaga pandangan mata dari hal-hal yang tidak baik.
c. Masyarakat
Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat sebagai ilmu
pengetahuan dalam membina masyarakat yang Islami khususnya
dalam pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan. Dengan
membaca hasil penelitian hadis ini, seorang muslim laki-laki
diharapkan mampu menjaga pandangan dengan sebaik-baiknya untuk
menghindari kemungkinan timbulnya syahwat yang tidak
diperbolehkan. Begitu juga seorang muslimah diharapkan mampu
menjaga dirinya untuk tidak menampakkan perhiasan yang telah
diberikan oleh Allah kecuali hanya kepada orang-orang yang
dibenarkan dan dihalalkan secara syar‟i.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian non-empirik yang
menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan). Oleh
karena itu sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari bahan-bahan tertulis baik berupa literatur berbahasa Arab
maupun Indonesia yang mempunyai relevansi dengan permasalahan
penelitian ini. Dalam Buku Pedoman Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir
takhrij hadis yakni penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sumber
suatu hadis dan menjelaskan tingkat keshahihannya (STAIN Salatiga,
2009: 57).
2. Pendekatan Penelitian
Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan metode deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara
mendalam segala aspek yang melekat pada sebuah hadis dan mempertegas
makna hadis. Dalam hal ini peneliti menguraikan dan mendiskripkan hadis
riwayat Abu Dawud tentang diperbolehkannya seorang laki-laki melihat
wanita yang dikhitbahnya melalui dua tahapan yaitu validitas sanad dan
matan hadis kemudian dilanjutkan dengan kandungan dan makna hadis
serta mejelaskan implikasi hukum dari hadis yang dikaji.
3. Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan pada sumber perolehan data, maka data dalam
penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
langsung dilapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang
bersangkutan yang memerlukannya. Data primer ini disebut juga data
asli atau data baru. (Hasan, 2002: 33) Adapun data primer yang
menjadi rujukan utama hadis yang diteliti adalah kitab-kitab hadis. Di
antara kitab-kitab itu adalah Syarh Sunan Abu Daud karya Syamsuddin
Ahmad bin Hanbal, Tadzhib al-Tadzhib karya al-Hafidz Abi al-Fadl
Ahmad bin 'Ali bin Hajar Syahabuddin al-Asqalani al-Syafi'i.
b. Data Sekunder
Dengan data sekunder yaitu data yang dikumpulkan, diolah dan
disajikan oleh pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subyek (Hasan, 2002: 33). Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, maupun hasil karya yang berwujud laporan maupun artikel yang
mendukung dalam penelitian ini.
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, digunakan metode dokumentasi. Metode
ini diterapkan terbatas pada dokumen tertulis seperti buku, jurnal ilmiah
atau dokumentasi tertulis lainnya. Dalam penelitian hadis, penerapan
metode dokumentasi ini dilakukan dengan dua teknik pengumpulan data,
yaitu; melalui sistem digital dan melalui sistem manual. Yang dimaksud
dengan sistem digital yaitu penelusuran hadis melalui sebuah aplikasi
program komputer yang berisi data-data koleksi kitab hadis yang telah
terdokumentasi dalam koleksi hadis virtual. Sedangkan sistem manual
yang dimaksud adalah cara takhrij al-hadis melalui Sembilan Kitab-kitab
Hadis atau terkenal dengan sebutan al Kutub al Tis‟ah. Pada penelitian ini
peneliti memprioritaskan metode takhrij dengan sumber pustaka fisik
berupa kitab-kitab atau buku-buku cetak, sedangkan sumber-sumber
Ada beberapa cara atau metode untuk men-takhrij hadis dengan
system manual, yakni:
1) Melalui pengenalan nama sahabat perawi hadis
2) Melalui pengenalan lafaz awal hadis
3) Melalui topik yang terkandung dalam matanhadis
4) Melalui pengamatan tertentu yang terdapat dalam suatu hadis
5) Melalui pengenalan kata-kata yang merupakan bagian dari matan
hadis (Sulaiman, 2008:158)
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengenalan
kata-kata yang merupakan bagian dari matan hadis karena cara ini
menurut penulis paling praktis dalam melakukan takhrij hadis ini. Adapun
tahapan langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
- Penelusuran hadis pada kitab-kitab hadis yang dirujuk oleh alMu‟jam
Mufahras li Alfadz al-Hadis al-Nabawy.
- Menyusun skema sanad periwayat hadis.
- Memeriksa persambungan sanad dan reputasi para periwayat yakni
meneliti ke-adilan dan ke-dhabitan perawi berdasarkan penilaian
al-jarh wa al-ta‟dil kemudian mengambil natijah atau kesimpulan
sementara tentang nilai sanad hadis apakah shahih, hasan atau dha‟if
(Zuhri, 2003:150-151).
5. Metode Analisis Data
Metode Analisis Data berarti menjelaskan data-data yang diperoleh
dasar terbagi dalam dua komponen, yakni sanad dan matan, maka analisis
data hadis akan meliputi dua komponen tersebut. Dalam penelitian sanad,
digunakan metode kritik sanad dengan pendekatan keilmuan dengan kitab
Tadzhibu-al-Tadzhib, serta mencermati silsilah guru-murid dan proses
penerimaan hadis tersebut (tahammul wal ada‟). Hal itu dilakukan untuk
mengetahui integritas dan tingkatan intelektualitas seorang rawi serta
validitas pertemuan antara mereka selaku guru-murid dalam periwayatan
hadis.
Dalam penelitian matan, analisis data dilakukan dengan
menggunakan analisis isi (content analysis). Pengevaluasian atas validitas
matan diuji pada tingkat kesesuaian isi berita hadis dengan penegasan
eksplisit Al-Qur'an, logika atau akal sehat, fakta sejarah, informasi
hadis-hadis lain yang bermutu shahih serta hal-hal yang oleh masyarakat umum
diakui sebagai bagian integral ajaran Islam. Sedangkan dalam menganalisa
implikasi hukum menggunakan pendekatan keilmuan fiqh atau hukum
Islam yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang di
dasarkan nash Al-Quran dan al-Sunnah (Nata, 1999:250).
F. Penegasan Istilah
Hadis menurut bahasa artinya yang baru, berita, pesan keagamaan,
pembicaraan. Dalam istilah al-hadits berarti pembicaraan yang diriwayatkan
dari nabi SAW, segala sesuatu yang berupa berita yang dikatakan berasal dari
Sanad menurut bahasa artinya bagian tanah yang tinggi, atau puncak bukit, sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran. Sedangkan arti
sanad yang berkembang dalam ilmu hadis yaitu jalan yang menyampaikan
kepada matan hadis. Kemudian istilah sanad yang mashur dalam ilmu hadis
yaitu orang-orang yang dilalui berita hadis dari sumber pertama sampai
dengan penerima hadis terakhir (Zuhri, 2003: hlm. 10).
Matan menurut bahasa artinya sesuatu yang tampak. Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, matan yaitu: materi atau redaksi hadis yang
diriwayatkan dari satu orang ke orang lain. Kata Imam Al-Suyuti yang dikutip
oleh Prof. Dr. Muh. Zuhri hadis “yaitu lafaz-lafaz hadis yang membentuk pengertian atau makna (Zuhri, 2003: hlm. 10).
Takhrij arti menurut bahasa yaitu mengeluarkan, melatih, meneliti,
menghadapkan (Zuhri, 2003: hlm.149-150). Pengertian takhrij menurut
istilah ada beberapa pengertian, penulis mengambil satu pengertian yang
peling mendekati dengan tujuan penelitian ini adalah “Menunjukkan letak asal
hadis pada sumber aslinya dan dikemukakan secara lengkap dengan sanad
-nya masing-masing. Pada kegiatan inilah dilakukan penelusuran hadis dalam
berbagai kitab sumber asli dari hadis yang bersangkutan dikemukakan lengkap
dengan matan beserta sanad-nya. (Sulaiman, 2008: hlm.155-156).
Khitbah berasal dari kata khotoba yang berarti berkhutbah, berpidato,
pembukaan, melamar atau meminang. Al-khitbu dengan dikasrah kho‟nya
berarti pembukaan atau pendahuluan, al-khitbatu berarti pinangan atau
Buku I tentang Hukum Perkawinan bab I Ketentuan Umum pasal 1 huruf (a)
menyebutkan “Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.”
G. Telaah Pustaka
Untuk menghindari pengulangan penelitian yang sama, peneliti
melakukan telaah pustaka terhadap karya-karya sebelumnya. Berdasarkan
penelusuran yang peneliti lakukan, peneliti belum menemukan karya yang
sama dalam bentuk skripsi maupun tesis yang membahas kajian yang sama
dengan yang peneliti lakukan yaitu kajian sanad dan matan hadis tentang
diperbolehkannya seorang laki melihat wanita sebelum mengkhitbahnya.
Peneliti hanya menemukan satu tulisan yang dipublikasikan melalui weblog
musolliazmi.blogspot.com yaitu tulisan yang berjudul “Hadis Tentang
Diperbolehkannya Melihat Wanita yang Akan Dilamar”. Karya ini berbentuk
makalah dan tidak diketahui secara jelas siapa penulisnya, hanya dapat
diketahui nama yang mengunggah tulisan tersebut yakni Musolli Azmi.
Perbedaan dengan penelitian skripsi penulis adalah pada kajian sanad dan
matannya. Makalah tersebut tidak memaparkan kajian sanad dan matan hadis
secara mendalam serta tidak menjelaskan reputasi sanad hadis satu per satu.
Dengan demikian penelitian skripsi penulis ini terhindar dari plagiarisme,
bahkan penelitian ini sangat mendukung dan perlu untuk dilakukan sebagai
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penjelasan dalam penelitian hadis ini perlu adanya
sistematika pembahasan yang jelas. Sistematika pembahasan peneliti uraikan
sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, menguraikan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian yang terdiri dari: jenis dan
pendekatan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan dan analisis data,
dan sistematika pembahasan.
Bab II Tinjauan umum dari judul yang peneliti lakukan. Kajian
pustaka yang digunakan yaitu tentang pengertian khitbah, melihat wanita dan
status hukum akibat adanya khitbah atau peminangan. Kemudian pembahasan
tentang telaah kritik hadis, pengertian dan sejarah kritik hadis, kritik sanad
dan matan, takhrij serta i‟tibar.
Bab III Analisis sanad Hadis. Pembahasan dalam penelitian bab ini
yaitu mencari validitas hadis dengan melakukan analisis sanad hadis meliputi
tahun wafat, relasi guru dan murid serta penilaian jarh dan ta‟dil oleh para
ulama kritikus hadis.
Bab IV Analisis matan hadis meliputi pendekatan al-Qur‟an, Hadis,
asbab wurud dan bahasa sekaligus kandungan makna dan implikasi hukumnya
terhadap hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
BAB II TINJAUAN UMUM
A. Khitbah
Al-Khitbah berasal dari kata khotoba yang memiliki beberapa arti,
diantaranya berkhutbah, berpidato, pembukaan, melamar atau meminang.
Al-khitbu dengan dikasrah kho‟-nya berarti pembukaan atau pendahuluan, orang
laki-laki yang melamar wanita dan al-khitbatu berarti pinangan atau lamaran
(Munawwir, 1984:376). Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam Buku I
tentang Hukum Perkawinan bab I Ketentuan Umum pasal 1 huruf (a)
menyebutkan “Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.” Maka khitbah dapat pula berarti permintaan seorang laki-laki pada seorang wanita untuk dinikahi
atau untuk melakukan perkawinan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 bahwa perkawinan menurut
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.” Anjuran melakukan perkawinan diantaranya untuk menjaga agar
manusia di atas dunia ini hidup aman tenteram penuh kebahagiaan dengan
keturunan yang teratur, jadi bukan keturunan yang tidak tentu mana bapak,
mana ibu, mana anak atau adik, cucu ipar dan lain sebagainya.
Kehidupan keluarga yang baik, tenteram, penuh cinta dan kasih sayang
itu adalah dengan adanya khitbah atau peminangan. Khitbah bukanlah suatu
hal yang menjadi syarat syah terjadinya sebuah pernikahan, namun khitbah
sangat diperlukan sebagai langkah pendahuluan sebelum terjadinya akad nikah
yang syah.
1. Hikmah Disyariatkannya Khitbah
Pernikahan tak ubahnya adalah merupakan sebuah akad transaksi
yang mempunyai pengaruh yang sakral karena menyangkut kehidupan
manusia dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan
merupakan sarana yang agung dan terpercaya dalam menjaga kelanjutan
keturunan, memberikan ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Sesuatu yang
memiliki makna yang sangat agung tidak akan maksimal jika tidak
dipersiapkan dengan baik. Bagaimanapun juga perencanaan yang matang
sangat diperlukan untuk menyongsong akad yang agung tersebut.
Khitbah sebagai sebuah pendahuluan menuju akad nikah
merupakan sebuah janji untuk menikah. Masing-masing pihak hendaknya
menggantungkan janji atas dasar pilihannya sendiri sehingga kesakralan
untuk mengikat janji sekali untuk selamanya pun dapat tercapai. Seorang
laki-laki maupun perempuan pasti berharap mendapatkan pasangan yang
diidam-idamkan, memiliki watak dan perilaku terpuji, menentramkan,
memberi ketenangan, dan kebagiaan batin. Melalui jalan khitbah seorang
laki-laki akan dikenalkan dengan karakter, perilaku, dan akhlaq calon
sebaik-baiknya, maka akan terbentuk kemantapan hati untuk
bersama-sama membina keluarga bahagia (Azzam, 2009: 9).
2. Melihat Wanita yang Dikhitbah
Hukum dasar melihat wanita bukan mahram bagi lelaki dan
sebaliknya adalah haram. Laki-laki dan perempuan diwajibkan menahan
pandangan dari yang haram bagi laki-laki maupun wanita, sebagaimana
firman Allah Ta‟ala dalam Q.S. An-Nuur 30-31 berikut:
Artinya: Katakanlah kepada laki-laki yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakan
perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat…
(Departemen Agama, 2002 : Q.S An-Nuur : Ayat 30-31)
Pada kitab-kitab Fiqh yang menjadi rujukan ummat Islam dalam
menjalankan tata kehidupan sehari-hari, sudah sering dijumpai
keterangan-keterangan maupun penjelasan bahwa seorang laki-laki dan perempuan
non mahram tidak diperbolehkan untuk saling berpandangan. Salah satu
dalilnya adalah ayat tersebut di atas. Dalam Tafsir Ibnu Katsir (3/345)
mengatakan bahwa kebanyakan ulama menjadikan ayat ini sebagai dasar
tentang diharamkannya laki-laki memandang wanita atau sebaliknya
Berkenaan dengan prosesi khitbah, ditemukan sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim dari Jabir bin
Abdullah Radhiyallahu „anhu sebagai berikut:
ونع للها يضر رباج نع و
لاق
:
ملس و ويلع للها ىلص للها لوسر لاق
:
(
اذإ
اهحاكن لىإ هوعدي ام لىإ اهنم َرظني نأ عاطتسا نإف ، ةأرلما مكدحأ بطخ
لعفيلف
)
مكالحا وححصو ةقث ولاجرو دواد وبأ و دحمأ هاور
.
Artinya: Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu melamar perempuan, jika ia bisa memandang bagian yang menarik untuk
dinikahi, hendaknya ia lakukan.” (Riwayat Ahmad dan Abu
Dawud dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadis shahih menurut Hakim) (al-Asqolani, 1378 Hijriyah:209)
Mayoritas fuqaha‟ berpendapat bahwa orang yang meminang
boleh memandang pinangannya. Ulama seperti Imam Malik, Imam
Syafi‟iah dan Ahmad memberikan batasan pada telapak tangan dan wajah
saja (Azzam, 2009: 11). Karena wajah cukup untuk bukti kecantikannya
dan dua tangan cukup untuk bukti keindahan dan kehalusan kulit
badannya. Adapun yang lebih jauh dari itu kalau dimungkinkan, maka
hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara
perempuannya untuk mengetahuinya, seperti bau mulutnya, bau ketiaknya
dan badannya, serta keindahan rambutnya. Sebagaimana Nabi SAW
pernah mengutus seseorang untuk mendatangi perempuan dengan
sabdanya:
اهطاعم لىإ يشمو ابهوقرع لىإ يرظنا
:
ةياور فيو
:
“Lihatlah urat kentirnya dan ciumlah kuduknya” dan dalam riwayat
lain: “dan ciumlah gigi depannya” (HR. Ahmad, Hakim, Tabrani dan
Baihaqi) (Sabiq, 1981: 37).
Dan yang lebih baik orang yang meminang melihat pada yang
dipinang sebelum dia meminang, sehingga jika dia tidak suka padanya,
maka dia bisa berpaling dari perempuan itu tanpa menyakitinya. Dan tidak
disyaratkan adanya keridhaan atau sepengetahuan si wanita itu, bahkan si
lelaki itu boleh melihat tanpa diketahui wanita pinangannya atau ketika dia
lalai (diintip) dan itu lebih utama. (Sholih, 1374 Hj:196)
3. Status Hukum Khitbah
Berbicara tentang hukum pelaksanaan khitbah maupun status
hukum setelah adanya khitbah tidak ditemukan dalil yang mewajibkan
ataupun melarang. Khitbah dapat dikatakan hanya sebagai bentuk
ungkapan keinginan melakukan akad pernikahan, maka apakah sesorang
akan mengungkapkan keinginan atau tidak, ia tidak dikenai beban hukum,
begitu pula status hukum setelah adanya diterimanya khitbah atau
pinangan. Selain itu perlu diingat bahwa peminangan (khitbah) belumlah
merupakan jaminan sepenuhnya bahwa akan terjadi akad pernikahan yang
sah, untuk itu kedua belah pihak tetap harus menjaga diri dan kehormatan
masing-masing serta tetap saling menjaga komitmen tujuan bersama untuk
Kompilasi Hukum Islam bab III pasal 13 ayat (1) menyebutkan
“Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas
memutuskan hubungan peminangan.” Dari bunyi pasal di atas dapat
dipahami bahwa dengan adanya peminangan meskipun telah disetujui
bersama antara pihak peminang (khoothoban) dan pihak yang dipinang
(makhthuuban), hal itu belumlah mengubah status hukum apapun.
Terutama bagi kedua calon mempelai, status mereka tidak lah berubah
tetap sebagai seorang yang harus saling menghormati dan menjaga
kehormatan masing-masing baik pribadi maupun keluarga besar.
B. Hadis dan Takhrij Hadis 1. Hadis
Hadis secara bahasa memiliki beberapa arti atau makna.
Diantaranya adalah al-jadiid berarti yang baru, al-qariib berarti yang dekat
dan al-khabar berarti kabar atau berita (Khumaidi, 2008:1). Sedangkan
dalam ilmu hadis, al-hadits berarti pembicaraan yang diriwayatkan atau
disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa berita baik dari ucapan,
tindakan, penetapan (taqrir), keadaan, kabiasaan dan lain sebagainya
(Zuhri, 2003:1).
Istilah lain dari hadis adalah sunnah atau al-sunnah. Pada
umumnya ummat Islam tidak begitu memandang penting perbedaan antara
al-hadits dengan al-sunnah memang tidak perlu diperdebatkan secara
ia disebut al-hadits dan mengapa disebut al-sunnah karena dalam islam
juga ada kata sunnah yang digunakan untuk menjelaskan tingkatan hukum
sesuatu perkara ibadah. Sunnah dapat pula bermakna teladan kehidupan
yang disandarkan pada Nabi SAW (Zuhri, 2003:6).
2. Pembagian Hadis
a. Pembagian Hadis Berdasarkan Jumlah Periwayat
Rasulullah ketika menyampaikan sesuatu ada kalanya
berhadapan dengan orang banyak, ada kalanya dengan beberap orang
dan ada kalanya pula hanya kepada seorang tertentu. Begitu pula
dengan sahabat saat menyampaikan kepada muridnya suatu ketika
bersamaan banyak murid, suatu ketika beberapa saja dan tidak
mustahil suatu ketika hanya kepada seorang murid saja (Zuhri, 2003:
83).
Jika saat Rasulullah menyampaikan suatu hadis didengarkan
banyak orang maka mustahil seorang dapat berbohong tentang apa
yang disampaikan Rasulullah, lain halnya jika hanya satu atau dua
orang yang mendengarkan maka kemungkinan berbohong akan lebih
besar. Kalaupun tidak berbohong mungkin seseorang akan lupa dan
tidak akan ada yang mengingatkannya. Untuk itulah para ulama hadis
membagi hadis nabi berdasarkan jumlah periwayatnya.
1) Hadis Mutawatir
Definisi hadis mutawatir adalah “suatu hadis hasil
rawy, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul
dan bersepakat dusta” (Rahman, 1974: 59). Hadis mutawatir menempati urutan tertinggi dalam tingkat kebenaran informasinya,
ia dapat disejajarkan dengan Al-Quran dalam hal sama
diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang (Zuhri, 2003: 84).
Hadis mutawatir oleh para ulama di bagi menjadi dua:
a) Mutawatir lafdzi: yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang sususan redaksi dan maknanya sama antara satu
dengan yang lain.
b) Mutawatir maknawi: yaitu hadis mutawatir yang berbeda
lafadz antara satu rawi dengan rawi lainnya, namun pada
prinsipnya memiliki makna atau maksud yang sama (Rahman,
1974: 63).
2) Hadis Ahad
Hadis Ahad yaitu hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua,
atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur. Untuk
dapat dijadikan hujjah atau dasar beramal, hadis ahad sangat
tergantung pada aspek kebersambungan sanad dan kualitas para
rawi-nya. Apabila sanad bersambung dan memiliki kualitas rawi
yang shahih maka hadis hadis ahad dapat dijadikan sebagai dasar
beramal. Adapun keterangan yang datang belakangan hadis ahad
dengan tingkatan hasan pun dapat diterima sebagai hujjah (Zuhri,
b. Pembagian Hadis Berdasarkan Penerimaan Sebagai Hujjah
1) Hadis Shahih
Menurut muhadditsiin pengertian hadis shahih yaitu:
ٍذاَش َلاَو ٍلَّلَعُم ُرْ يَغ ِدَنَّسلا ُلِصَّتُم ِتْبَّضلا ُماَت ٌلْدَع ُوَلَقَ ن اَم
“Hadis yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawy tang adil, sempurnaingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber‟illal dan tidak
janggal.” (Rahman, 1974: 94)
Bila ditelaah lebih lanjut, dari definisi hadis shahih di atas
maka dapat diketahui syarat atau kriteria hadis shahih adalah
sebagai berikut:
(a) Bersambung sanad-nya (muttashil al-sanad) dari mukharrij
hadis sampai Nabi saw.
(b) Diriwayatkan oleh para periwayat yang„adl.
(c) „Adl dalam pengertian ilmu hadis tidak sekedar ditinjau dari
aspek akhlak atau kepribadian yang baik, seperti: jujur, adil,
ahli ibadah, wara„ (berhati-hati) dan tidak fasiq, dia juga setia
menjalankan agamanya sesuai dengan pengetahuan yang ia
miliki.
(d) Periwayat tersebut dlabit yakni memiliki ingatan yang baik.
Dlabith yang sempurna berarti dia hafal hadisnya dengan baik
dalam arti bisa menyampaikan hadis yang diterimanya
menyampaikan hadis itu kepada periwayat yang lain, jadi
periwayat bukanlah pelupa.
(e) Tidak punya cacat („illal) yang menggugurkan, baik yang
mungkin terjadi pada sanad maupun matan hadis.
(f) Tidak syadz yakni informasi yang dibawanya tidak
bertentangan dengan informasi dari hadis yang lebih shahih
yang diriwayatkan oleh periwayat yang lebih berkualitas
(Zuhri, 2003: hlm. 89)
2) Hadis Hasan
Hadis hasan ialah hadis yang sanadnya bersambung,
oleh penukil yang „adil namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya) serta terhindar dari Syaz dan illat (Subhi
Shalih, 1988: 156). Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih
terletak pada dhabit yang sempurna untuk hadis shahih
dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi
syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau
sebagiannya, kurang ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi
hadis shahih.
Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah
dikemukakan diatas, para ulama hadis merumuskan kriteria hadis
hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang
atau lebih rendah dari perawi hadis shahih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan
mempunyai kriteria sebagai berikut:
a) Sanad hadis harus bersambung.
b) Perawinya adil
c) Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih
rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
d) Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
e) Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak
(Nawir Yuslem, 2001: 230)
3) Hadis Dla‟if
Dha‟if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha‟if ada
dua macam, yaitu lahiriyah dan maknawiyah. Sedangkan yang
dimaksud disini adalah dha‟if maknawiyah. Hadis dhaif menurut
istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”
Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam
mendefinisikan hadis dhaif ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan
maksudnya sama. An-Nawawi mendefinisikannya dengan: “hadis
yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan
syarat-syarat hadis hasan” As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif
syarat-syarat hadis maqbul, atau dengan kata lain hadis yang tidak
terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”
3. Takhrij Hadis
1. Pengertian Takhrij Hadis
Takhrij berasal dari kata kharraja, yukharriju yang berarti:
mengeluarkan (istinbath), melatih atau mebiasakan (tadrib),
memperhadapkan (tawjih). Menurut Dr. Mahmud Thahhan yang dikutip
Noor Sulaiman, 2008: 155 dikemukakan bahwa kata takhrij menurut
bahasa ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan dalam satu persoalan”. Menurut istilah sedikitnya ada lima pengertian takhrij:
a. Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para
periwayatnya dalam rangkaian sanad yang telah menyampaikan hadis
itu. Kegiatan ini telah dilakukan oleh para periwayat yang
menghimpun hadis ke dalam kitab yang mereka susun. Misalnya Imam
Abu Dawud dengan Sunan-nya.
b. Mengeluarkan hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis atau
berbagai kitab lainnya.
Kegiatan ini dilakukan oleh para ulama hadits misalnya Imam Baihaqi
yang telah banyak mengambil hadis dari Kitab Sunan yang disusun
Abu Hasan Al-Basri, kemudian Al-Baihaqi kemudian menuliskan
c. Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber
pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh
mukharrij-nya.
Pengertian ini yang seharusnya diikuti dalam pengutipan hadis pada
karya-karya ilmiah.
d. Mengemukakan hadis berdasarkan sumber pengambilannya yang di
dalamnya disertakan metode periwayatan dan sanad-nya
masing-masing dengan menjelaskan keadaan perawi dan kualitas sanad-nya.
Dalam pengambilannya dijelaskan kualitas masing-masing hadis.
e. Menunjukkan letak asal hadis pada sumber aslinya dan dikemukakan
secara lengkap dengan sanad-nya masing-masing.
Pada pengertian inilah penelusuran hadis dalam berbagai kitab sumber
asli dari hadis yang bersangkutan dikemukakan lengkap dengan matan
beserta sanad-nya.
2. Tujuan pelaksanaan takhrij hadis
Di antara tujuan takhrii adalah untuk mengetahui asal-usul riwayat
hadis yang diteliti, mengetahui seluruh riwayat hadis yang diteliti,
mengetahui ada tidaknya syahid atau muttabi‟ pada sanad yang diteliti,
mengetahui persambungan sanad hadis yang diriwayatkan dengan
menggunakan kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan periwayatan
hadis (tahammul wal ada‟), memastikan identitas dan reputasi para
Dalam melakukan takhrij tentunya ada tujuaan yang ingin dicapai.
Tujuan takhrij yang dingin dicapai seorang peneliti adalah:
a. Mengetahui eksitensi suatu hadis apakah benar suatu hadis yang ingin
diteliti terdapat dalam buku-buku hadis atau tidak.
b. Mengetahui sumber otentik suatu hadis dari buku hadis apa saja yang
didapatkan.
c. Mengetahui ada beberapa tempat hadis tersebut, dengan sanad yang
bebeda di dalam sebuah buku hadis atau dalam beberap buku induk
hadis.
d. Mengetahui kualitas hadis diterima atau ditolak.
3. Faedah dan Manfaat Takhrij Hadis
Mengetahui referensi beberapa buku hadis dengan cara takhrij
seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadis yang diteliti dan di
dalam kitab hadis apa saja hadis tersebut didapatkan.
a. Menghimpun sejumlah sanad hadis, mengetahui keadaan sanad yang
tersambung (muttashil), terputus (munqathi‟), dan mengetahui kadar
kemampuan rawi dalam mengingat hadis serta kejujuran dan
periwayatannya.
b. Mengetahui status hadis.
Terkadang ditemukan sanad suatu hadis dha‟if tetapi melalui sanad
1) Meningkatkan suatu hadis yang dhai‟f menjadi hasan li ghairihi
karena adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih
tinggi kualitasnya.
2) Mengetahui bagaimana para imam hadis menilai suatu kualitas
hadis dan bagaimana kritikan yang disampaikan.
3) Seorang yang melakukan takhrij suatu hadis dapat menghimpun
beberapa sanad dan matan hadis.
4. Metode Takhrij Hadis
Ada beberapa metode takhrij yang sesuai dengan tehnik buku hadis
yang ingin diteliti. Paling tidak ada lima metode takhrij dalam arti
penulusuran hadis dari sumber buku hadis yaitu:
a. Takhrij dengan Kata (bi al-lafdzi)
Takhrij dengan kata (bi al lafzhi), langkah yang pertama yaitu
penulusuran hadis melalui kata atau lafal matan hadis baik dari
permulaan, pertengahan dan atau akhiran. Kamus yang diperlukan
metode takhrij ini adalah salah satunya yang paling mudah adalah
kamus Al-Mu‟jam Al-Mufahras Li Alfadzh Al-Hadis An-Nabawi yang
disusun al-Mazzy. Takhrij dengan kata adalah takhrij dengan benda
(kalimah isim) bukan kata sambung (kalimah huruf, caranya yaitu
dalam bahasa arab yang mempunyai akar kata tiga huruf . Kata itu
diambil dari salah satu bagian dari teks hadis yang mana saja selain
kata sambung atau kalimat huruf, kemudian dicari akar kata asal dalam
b. Takhrij dengan Tema (bi al-maudhu)
Langkah dalam metode ini yaitu melalui penulusuran hadis dari
buku-buku hadis misalnya hadis maudhu‟ akan lebih mudah di-takhrij
melalui buku-buku himpunan hadis maudhu‟ seperti al-Maudhuat
karangan Ibnu al-Jauzi.
c. Takhrijdengan Permulaan Matan (bi awwal al-matan),
Yaitu menggunakan permulaan matan dari segi hurufnya,
misalnya awal suatu matan dimulai dengan huruf وmaka dicari pada
bab و dan jika diawali dengan huruf ب maka dicari pada huruf ب dan
seterusnya. Takhrij seperti ini di antaranya dengan menggunakan Kitab
al-Jami‟ Ash-Shaghir atau al-jami‟ al-Kabir karangan al-Suyuthi dan
Mu‟jam Jami‟al-Ushul fiAhadits al-Rasul, karya Ibnu Al-Atsir.
d. Takhrij Melalui Sanad Pertama (bi al- rawi al-a‟ala) PerawiTingkatan
Tinggi
Metode takhrij dengan sanad pertama dapat dilakukan dengan
menulusuri hadis melalui sanad yang pertama atau paling atas yakni
para sahabat (musttashilisnad) atau tabi‟in (dalam hadis mursal)
caranya yaitu peneliti harus mengetahui terlebih dahulu siapa
sanad-nya di kalangan sahabat atau tabi‟in, kemudian dicari dalam buku
hadis Musnad atau al-Athraf. Di antara kitab yang digunakan dalam
metode ini adalah al-Asyraf bi Ma‟rifat al-Athraf seperi Musnad
Ahmad bin Hanbal, Tuhfat al-Syraf bi Ma‟rifat al-Athraf karya
e. Takhrij dengan Sifat (bi al-sifah)
Memperhatikan hal ihwal hadis dan sifat-sifatnya yang terdapat
pada matan dan sanad-nya. Dengan mengetahui hal ihwal hadis itu akan
dapat ditentukan status hadisnya, apakah hadis ini tergolong hadis mursal,
BAB III
HASIL PENELITIAN SANAD HADIS
A. Menelusuri Letak Hadis pada Kitab-kitab Mukharrij Hadis
Penelusuran sanad hadis bertujuan menemukan teks-teks hadis yang
memiliki makna senada dari kitab-kitab hadis. Hadis nabi yang telah
terkodifikasi oleh mukharrij hadis berjumlah ratusan bahkan ribuan. Jika
ditelusuri satu persatu dari satu kitab ke kitab lain, maka akan sangat
kesulitan. Untuk itu agar lebih mudah memahaminya, penulis membagi
beberapa tahap dalam analisis kuantitas sanad hadis ini. Tahap-tahap itu
selanjutnya penulis uraikan sebagai berikut:
Hadis yang penulis teliti adalah hadis yang berisi tentang anjuran
atau diperbolehkannya melihat wanita yang dipinang atau di-khitbah.
Penulis menentukan kata
ةطخ
danشظَ
dalam meneliti hadis ini. Penulismemilih kata
ةطخ
karena hadis yang penulis teliti berkenaan dengankhitbah sebagai tema pokok dalam penelitian ini. Kata kedua sebagai
alternativ adalahkata
شظَ
yang berarti melihat, kata ini penulis ambil jugadimaksudkan untuk membatasi atau memfokuskan pencarian hadis-hadis
tentang khitbah namun hanya terbatas pada sub pokok nadhor atau
melihatnya seorang laki-laki pada seorang perempuan yang dikhitbahnya.
Langkah penulis berikutnya adalah mencari bagian penggalan atau
hadis an-Nabawiy karya A.J. Wensinck. Pada penelusuran ini penulis
menemukanpenggalan bunyi hadis:
ٍَ ٌأ عاطرعا ٌئف جأشًنا ىكذحأ ةطخ ارإ
ظ
س
Pada kitab Mu‟jam Mufahras li alfadz al- hadis an-Nabawiy
terdapat beberapa petunjuk sebagai berikut:
د (A.J. Wensinck, 1943: Jilid II, hlm: 44)
Dari petunjuk kitab Mu‟jam tersebut dapat diketahui bahwa:
a. Huruf د adalah kode untuk Abu Dawud, menunjukkan bahwa hadis
yang memuat penggalan matan hadis
عاطرعا ٌئف جأشًنا ىكذحأ ةطخ ارإ
ٍَ ٌأ
ظ
س
terdapat pada kitab Sunan Abu Dawud. Kata حاكَ menunjukkannama bab yakni nikah, nomor bab 18.
b. Pada petunjuk kedua huruf خ menunjukkan bahwa hadis tersebut
dimuat dalam kitab Sunan At-Turmudzi, kata 5 حاكَ menunjukkan
bahwa pada kitab Sunan At-Turmudzi hadis yang dimaksud dimuat
pada bab nikah dengan nomor bab 5.
c. Petunjuk ketiga yaitu huruf ىح menunjukkan pada kitab musnad
Ahmad bin Hanbal. Hadis tersebut dimuat pada bab ke-3 halaman 224
dan 260, pada bab 3 termuat pada halaman 262 dan 299, sedangkan
pada bab 5 terdapat pada halaman 424.
Setelah diperoleh petunjuk yang telah dari kitab kamus hadis
adalah menelusuri langsung pada sumber primer yaitu kitab-kitab hadis
yang telah dirujuk.
a. Kitab hadis Sunan Abu Daawud karya Al-Imam Al-Haafidz Abii
Daawuud Al-Ats‟ats Al-Sabhastani (wafat: 275 H), pada juz II bab ke
18 halaman 2082, penulis menemukan hadis yang redaksinya sebagai
berikut:
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Hushoin dari
Waqid bin Abdurrohman yakni ibnu Sa‟id bin Mu‟adz dari Jabir bin
Abdillah berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Apabila salah seorang
di antara kamu melamar perempuan, maka jika ia mampu melihat pada sesuatu yang mendorongnya untuk menikahi perempuan itu maka
hendaklah ia lakukan.” Berkata (Jabir), ”Saya pernah melamar seorang
wanita. Saya pernah mengintipnya sehingga saya melihat dari dia sesuatu yang mendorong saya untuk menikahinya, lalu saya
menikahinya.”* (terj. Muhammad, 1995 Jilid III : hlm. 409-410)
b. Kitab Al-Jaami‟ al-Shahih Sunan al-Turmudzi jilid III, bab ke 5
nomor 1075, ditemukan hadis senada dengan redaksi sebagai berikut:
ادَهبْ دَادِ
menceritakan kepadaku „Ashim bin Sulaiman dia adalah Al-Ahwal,
dari Bakr bin Abdillah Al-Muzani, dari Mughiroh bin Syu‟bah
(berkata, pen.) sesungguhnya ia (seorang laki-laki) telah meminang
seorang wanita maka bersabda Rasulullah SAW, “Melihatlah
kepadanya maka sesungguhnya itu lebih mengkin melanggengkan antara kalian.* Dan pada suatu riwayat dari Muhammad bin Maslamah, Jabir, Abu Humaid, Anas dan Abu Hurairah, berkata Abu
Isa: Hadis ini hasan, dan sebagian ulama telah membahas hadis ini dan
mereka mengatakan tidak ada halangan untuk melihat padanya
(wanita) sesuatu yang tidak boleh dilihat oleh mahram. Dan kata
Ahmad dan Ishaq, makna lebih mungkin melanggengkan antara kamu, dikatakan (maksudnya) adalah lebih mungkin melanggengkan cinta kasih antara kalian.*
c. Kitab Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal ditemukan hadis dengan
redaksi sebagaimana berikut ini:
1) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 334:
ادَندَثَّددَح
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad, menceritakan kepada kami Abdul Wahid bin Ziyad, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin
Hushoin dari Waqid bin Abdurrohman bin Sa‟d bin Muadz dari
Jabir berkata: Bersabda Rasulullah SAW, “Apabila salah seorang
di antara kamu melamar perempuan, maka jika ia mampu melihat darinya pada sesuatu yang mendorongnya untuk menikahi
perempuan itu maka hendaklah ia lakukan.” Berkata Jabir ”Saya
dapat melihat darinya sesuatu yang membuatku tertarik untuk menikahinya kemudian saya menikahinya.*
2) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid III halaman 360
ادَندَثَّددَح
Abdillah Al-Anshori berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah satu dari kalian meminang wanita maka (bila) dapat melihat darinya (wanita) bagian yang menarik kepadanya maka hendaklah ia lakukan.*
3) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 299
ادَندَثَّددَح
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Mu‟adz telah
menceritakan kepada kami Yazid bin Kaisan dari Abi Hazim dari Abi Hurairah: Seorang laki-laki telah melamar perempuan yaitu
dari kaum ‟Anshor maka berkata: “Lihatlah kepadanya yaitu
sesungguhnya di mata kaum „Anshor itu ada sesuatu.”*
4) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 2 halaman 282
ادَندَثَّددَح
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Sufyan telah menceritakan kepada kami Yazid bin Kaisan dari Abi Hazim dari Abi Hurairah: Seorang laki-laki melamar seorang wanita, maka
5) Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal jilid 5 halaman 424 menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Isa telah menceritakan kepadaku Musa bin Abdillah bin Yazid dari Abi Humaid atau Abi Humaidah berkata: Dan sungguh Rasulullah SAW melihat maka bersabda Rasulullah
SAW, “Apabila salah satu diantara kalian melamar seorang
perempuan maka tidak berdosa melihat padanya apabila ia melihat pada ia (perempuan) untuk meminangnya dan apabila perempuan
itu tidak mengetahui.”*
Peneliti hanya menyajikan hadis-hadis yang dirujuk kitab Mu‟jam
bukan bermaksud mengabaikan kemungkinan diriwayatkannya hadis pada
jalur periwayat lain. Namun, dalam hal ini penulis maksudkan untuk
memfokuskan studi sanad dan matan hadis ini pada jalur tententu..
Sebelum membuat skema atau bagan sanad hadis, sebagai langkah bantuan penulis mengutip kembali semua nama
perawi hadis pada beberapa sanad kemudian dipaparkan dalam satu tabel. Langkah ini sangat berguna untuk menghindari
kekeliruan penulisan nama perawi dan menyusun rangkaian alur rijal-nya. Tabel nama-nama perawi hadis dan tahammul wal
ada‟-nya dapat dilihat sebagaimana tabel berikut ini:
Tabel 2. Daftar Nama Perawi Hadis Beserta Tahammul wal Ada‟
Bagan ini dibuat berdasarkan tabel nama dan tahammul wal ada‟
(tabel 2) yang telah dipaparkan sebelumnya dengan cara mereduksi data.
Reduksi data ini dilakukan dengan menuliskan sekali saja nama periwayat
yang sama sehingga dapat dilihat dengan lebih cermat persebaran hadis
pada jalur tertentu. Dengan memperhatikan skema di atas dapat diketahui
bahwa, dari 3 (tiga) mukharrij yaitu Abu Dawud, Ahmad dan Turmudzi,
bersumber dari 4 (empat) rawi yang menerima hadis itu dari Rasulullah
SAW, mereka adalah Jabir bin Abdillah, Abu Hurairah, Mughiroh bin
Syu‟bah dan Abi Humaid.
Mengenai skema di atas apabila diurai satu persatu mukharrij dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Jalur mukharrij at-Turmudzi
للها لوسر
َةَبْعُش ِنْب ِةَيرِغُمْلا ْنَع ِِّنَِزُمْلا ِوَّللا ِدْبَع ِنْب ِرْكَب
ْنَع َناَمْيَلُس ُنْب ُمِصاَع
ِ َثَّدَح َةَدِئاَز ِبَِأ ُنْبا
اَنَ ثَّدَح ٍعيِنَم ُنْب ُدَْحمَأ
At-Turmudzi meriwayatkan dari Ahmad bin Mani‟, Ibnu Abi
Zaidah, „Asim bin Sulaiman, Bakr bin Abdillah bersumber dari al
-Mughiroh. Jalur ini merupakan jalur tunggal (ahad) karena tidak
ditemukan satu tingkatan rawi-pun yang menyampaikan kepada lebih dari
satu murid.
Jalur mukharrij Ahmad
Dari skema sanad Imam Ahmad meriwayatkan dari 5 (lima) rawi
di atasnya yang bersumber dari 3 (tiga) thabaqat sahabat. Jika diurai dapat
dilihat sebagai berikut:
Jalur mukharrij Ahmad dengan sanad Abu Kamil satu jalur ke atas
melalui Zuhair, dan sampai kepada Rasulullah SAW melalui Abi Humaid.
Kemudian jalur sanad Mu‟adz dan Sufyan bin Uyainah memiliki