• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal HOTS Tipe PISA Ditinjau dari Prestasi Belajar Matematika Sekolah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal HOTS Tipe PISA Ditinjau dari Prestasi Belajar Matematika Sekolah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan

Soal-Soal HOTS Tipe PISA Ditinjau dari Prestasi

Belajar Matematika Sekolah

Mohammad Nurul Hajar1) dan Abdur Rahman2)

1) Pokjawas Kemenag Kab. Sumenep dan e-mail: h4j4r.mn@gmail.com

2) MAN 1 Sumenep dan e-mail: mamankman@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui derajat korelasi prestasi belajar matematika sekolah dengan kemampuan menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA dan untuk mengetahui juga perbedaan kemampuan siswa kelas X MIA MAN Sumenep dalam menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA ditinjau dari prestasi belajar matematika sekolah. Untuk maksud tersebut, dari 114 siswa kelas X MIA MAN Sumenep dikelompokkan berdasarkan prestasi belajar matematika sekolah menjadi tiga kelompok. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 36 siswa yang terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Data hasil prestasi belajar matematika sekolah diperoleh dari dokumen hasil Penilaian Akhir Semester (PAS) yang ada pada guru pengajar. Sedangkan data kemampuan 36 siswa kelas X MIA MAN Sumenep dalam menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA diperoleh melalui tes. Hasil penilitian menunjukkan bahwa antara prestasi belajar matematika sekolah dangan kemampuan menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA siswa kelas X MIA MAN Sumenep tidak berkolerasi secara signifikan dengan nilai r = 0,143 dan sig = 0,002. Hasil uji ANOVA (Analysis of Variance) diperoleh F(33,2) = 1.430 dengan sig = 0,254. Hal ini menunjukkan bahwa rata – rata kemampuan ketiga kelompok siswa kelas X MIA MAN Sumenep tidak ada perbedaan yang signifikan dalam menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA.

Kata Kunci: Kemampuan, HOTS, PISA, Prestasi, Matematika

ABSTRACT

This study aims to determine the degree of correlation of school mathematics learning achievement with the ability to solve HOTS questions of PISA type X MIA MAN Sumenep students and to find out also the difference in the ability of class X MIA MAN Sumenep in solving HOTS PISA questions in terms of mathematics learning achievement school. For this purpose, from 114 students of class X MIA MAN Sumenep were grouped based on school mathematics learning achievements into three groups. Sample of this study was 36 students. Data on the results of school mathematics learning achievements obtained from the document End of Semester Assessment (PAS) available to the teacher. While the data of the ability of 36 class X MIA MAN Sumenep students in completing HOTS questions on PISA type was obtained through tests. The results of this study indicate that between school mathematics learning achievement with the ability to solve HOTS questions of PISA type X MIA MAN Sumenep students did not correlate significantly with r = 0.143 and sig = 0.002. ANOVA (Analysis of Variance) test results obtained F (33.2) = 1,430 with sig = 0.254. This shows that on average the ability of the three groups of class X MIA MAN Sumenep students there were no significant differences in solving PISA HOTS questions.

(2)

1. PENDAHULUAN

Dalam kurun waktu tahun 2000 hingga tahun 2019, sudah tujuh kali

siswa Indonesia mengikuti tes

Program for International Student Assessment (PISA). Selama itu pula

hasilnya selalu kurang

menggembirakan. Posisi prestasi siswa Indonesia pada PISA tahun 2000, berada diperingkat 39 dari 41 negara (OECD, 2003). Tahun 2003 diperingkat 38 dari 40 negara (OECD, 2006). Tahun 2006 diperingkat 50 dari 57 negara (OECD, 2007). Tahun 2009 diperingkat 61 dari 65 negara (OECD, 2010). Tahun 2012 diperingkat 64 dari 65 negara (OECD, 2013). Dan pada tahun 2015, Indonesia berada diperingkat 69 dari 76 negara (OECD, 2016). Sedangkan pada PISA terbaru, PISA tahun 2018 Indonesia diperingkat 73 dari 79 negara (OECD, 2019). Jadi, selama 18 tahun terakhir ini prestasi siswa

Indonesia pada PISA tidak

mengalami kemajuan yang signifikan. Prestasi PISA di bidang matematika

menunjukkan sejauh mana

kemampuan literasi matematika

siswa. Berdasarkan data tersebut di atas, tentu kita prihatin karena sudah

18 tahun ini prestasi literasi matematika siwa Indonesia tidak mengalami perubahan yang membaik. Tidak hanya pada kemampuan literasi

matematika saja, pada literasi

membaca dan sains siswa Indonesia juga masih rendah dan tidak

mengalami perubahan yang

meningkat.

Padahal, ―literacy for all,‖ begitu slogan yang dikumandangkan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) — sebuah organisasi internasional yang bergerak di bidang pendidikan. Slogan ini menegaskan bahwa literasi itu penting. Baik literasi membaca maupun literasi sains, terutama literasi matematika. Selogan ini

memiliki makna bahwa setiap

manusia berhak untuk menjadi ―literate‖ sebagai modal untuk menyongsong kehidupan. Karena dengan literasi membuat individu, keluarga, dan masyarakat berdaya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Lebih jauh, literasi memiliki

multiplier effect, yakni memberantas

kemiskinan, mengurangi angka

kematian anak, mengekang

pertumbuhan penduduk, mencapai kesetaraan gender dan menjamin

(3)

pembangunan berkelanjutan, perdamaian, dan demokrasi (Fathani, 2016).

Mengingat pentingnya pemahaman tentang literasi, maka menanamkan pemahan tentang literasi secara umum dan khususnya literasi matematika

harus dilakukan mulai sejak

pendidikan dasar. Pemahaman yang baik tentang literasi matematika

tentunya harus diawali dari

bagaimana memahami pengertian literasi matematika dengan baik pula. Tidak mudah para ahli mendefinikan literasi matematika, karena kata matematika sendiri memiliki banyak

pengertian dan belum ada

kesepakatan tunggal mengenai

definisi matematika. Namun demikian garis umum visi literasi matematika diyakini diterima secara umum (Abdussakir, 2018).

Salah satu definisi literasi matematika dirumuskan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). OECD dalam

Knowledge and Skills for Life tahun

2001 mendefinisikan literasi

matematis sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami dan

terlibat dalam matematika, dan untuk membuat penilaian yang matang mengenai peran yang dimainkan oleh matematika di dalam kehidupan pribadi individu saat ini dan masa depan, kehidupan kerja, kehidupan sosial dengan teman sebaya dan saudara, dan kehidupan sebagai warga negara yang konstruktif, peduli dan reflektif.

Pada publikasi tahun 2016, OECD menyatakan bahwa definisi literasi matematis pada PISA 2015 tetap menggunakan definisi tahun 2012 yang mengalami sedikit perubahan dari definisi tahun 2011. OECD tahun 2016 memberikan definisi berikut.

―Literasi matematika merupakan

kapasitas individu untuk

memformulasikan, mengunakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Hal ini meliputi penalaran matematik dan pengunaan konsep, prosedur, fakta dan alat matematika untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena. Hal ini menuntun individu untuk mengenali peranan matematika dalam kehidupan dan membuat

penilaian yang baik dan

pengambilan keputusan yang dibutuhkan oleh penduduk yang konstruktif, dan efektif.‖

Berdasarkan definisi literasi

matematika di atas, kemampuan literasi matematika seseorang bukan

(4)

hanya sebatas mengerti fakta, konsep, operasi, dan prinsip matematika.

Bukan hanya sebatas terampil

melakukan algoritma yang sulit, seperti yang diajarkan selama ini di sekolah. Tetapi, harus memiliki

kemampuan membuat model

matematika dan menggunakannya untuk menyelesaikan masalah nyata. Dan lebih dari itu, harus bisa melakukan komunikasi matematis dan penalaran matematis untuk memprediksi fenomena dunia nyata.

Selain itu, literasi matematika

merupakan kapasitas individu untuk

merumuskan, menggunakan dan

menafsirkan matematika dalam

berbagai konteks dunia nyata.

Definisi ini memberi arah bahwa proses matematika menggambarkan apa yang dilakukan individu mulai dari aktifitas menghubungkan konteks masalah dengan matematika yang

akan menghasilkan model

matematika, kemudian digunakan untuk memecahkan masalah.

Kerangka penilaian kemampuan

literasi matematika bisa dipahami dari penjelasan OECD pada PISA tahun 2015. Ada tiga aspek yang saling berkaitan untuk maksud penilaian kemampuan literasi matematika yaitu

(1) proses matematika yang

menggambarkan apa yang individu

lakukan untuk menghubungkan

konteks masalah dengan matematika dan kemudian memecahkan masalah serta kemampuan yang mendasari proses tersebut, (2) isi matematika yang ditargetkan untuk digunakan dalam item penilaian, dan (3) konteks dalam item penilaian.

Menurut Abdussakir (2018) proses

perumusan situasi ini secara

matematis mencakup kegiatan seperti berikut ini:

a. Mengidentifikasi aspek matematis dari suatu masalah yang berada dalam konteks dunia nyata dan mengidentifikasi variabel-variabel yang signifikan

b. mengenali struktur matematis

(termasuk keteraturan, hubungan dan pola) dalam masalah atau situasi

c. menyederhanakan suatu situasi

atau masalah agar dapat

disesuaikan dengan analisis

matematis

d. Mengidentifikasi kendala dan

asumsi di balik pemodelan dan penyederhanaan matematis yang dikumpulkan dari konteksnya

(5)

e. mewakili situasi secara

matematis, menggunakan

variabel, simbol, diagram dan model standar yang sesuai

f. mewakili masalah dengan cara

yang berbeda, termasuk

mengaturnya sesuai konsep

matematis dan membuat asumsi yang sesuai

g. memahami dan menjelaskan

hubungan antara bahasa konteks-masalah tertentu dan bahasa

simbolis dan formal yang

dibutuhkan untuk

merepresentasikannya secara

matematis.

h. menerjemahkan masalah ke dalam

bahasa matematika atau

representasi

i. mengenali aspek masalah yang

sesuai dengan masalah atau konsep matematika, fakta atau prosedur yang diketahui

j. menggunakan teknologi (seperti

spreadsheet atau fasilitas daftar pada kalkulator grafik) untuk

menggambarkan hubungan

matematis yang melekat dalam masalah kontekstualisasi.

Lebih lanjut Abdussakir (2018) menjelaskan bahwa kata menggunakan dalam definisi literasi

matematika mengacu pada individu yang mampu menerapkan konsep,

fakta, prosedur dan penalaran

matematis untuk memecahkan

masalah yang diformulasikan secara

matematis untuk mendapatkan

kesimpulan matematis. Secara

khusus, proses penggunaan konsep matematika, fakta, prosedur dan penalaran mencakup kegiatan seperti:

a. merancang dan menerapkan

strategi untuk menemukan solusi matematis

b. menggunakan alat matematika,

termasuk teknologi, untuk

membantu menemukan solusi tepat atau perkiraan

c. menerapkan fakta, peraturan,

algoritma dan struktur saat menemukan solusi

d. memanipulasi angka, data dan

informasi grafis dan statistik, persamaan dan persamaan aljabar, dan representasi geometrik

e. membuat diagram matematis,

grafik dan konstruksi, dan

penggalian informasi matematis dari mereka

f. menggunakan dan beralih di

antara representasi yang berbeda dalam proses menemukan solusi

(6)

g. membuat generalisasi berdasarkan

hasil penerapan prosedur

matematis untuk menemukan solusi

h. merenungkan argumen matematis

dan menjelaskan dan

membenarkan hasil matematis Sedangkan kata menginterpretasikan dalam literasi matematis berfokus pada kemampuan individu untuk merenungkan solusi, hasil, atau

kesimpulan matematis dan

menafsirkannya dalam konteks

masalah kehidupan nyata. Solusi atau penalaran matematika ini kembali ke konteks masalah dan menentukan apakah hasilnya masuk akal dan

masuk akal dalam konteks

masalahnya. Abdussakir (2018)

secara khusus menjelaskan bahwa proses menafsirkan, menerapkan, dan

mengevaluasi hasil matematika

mencakup kegiatan seperti:

a. menafsirkan hasil matematika

kembali ke konteks dunia nyata

b. mengevaluasi kewajaran solusi

matematis dalam konteks masalah dunia nyata

c. memahami bagaimana dunia

nyata memengaruhi hasil dan perhitungan prosedur atau model

matematis untuk membuat

penilaian kontekstual tentang

bagaimana hasilnya harus

disesuaikan atau diterapkan d. menjelaskan mengapa hasil atau

kesimpulan matematis, atau tidak, masuk akal mengingat konteks masalah

e. Memahami luas dan batasan

konsep matematis dan solusi matematis

f. mengkritisi dan mengidentifikasi batasan model yang digunakan

untuk memecahkan suatu

masalah.

Merujuk kepada kerangka

matematika PISA 2015, literasi matematika mengukur kinerja siswa pada empat bidang matematika, yaitu: ruang dan bentuk, perubahan dan

hubungan, kuantitas, dan

ketidakpastian data. Hal- hal yang berkaitan dengan ruang dan bentuk bagaimana siswa mengenali dan memahami pola geometris dan mengidentifikasi hal tersebut dalam pola representasi abstrak dan dunia

nyata. Adapun perubahan dan

hubungan berkaitan bagaimana siswa mengenali hubungan antara variabel dan hubungan dalam berbagai bentuk simbolis, aljabar, grafis, tabular, dan geometrik. Yang termasuk sub

(7)

komponen kuantitas adalah bagaimana siswa memahami ukuran relatif, mengenali pola numerik dan menggunakan angka untuk mewakili jumlah dan atribut terukur dari benda

dunia nyata. Sedangkan yang

termasuk bagian matematika

ketidakpastian data adalah

memecahkan masalah yang berkaitan dengan data dan peluang

Sesuai kerangka kerja matematika PISA 2015, empat kategori konteks telah ditetapkan dan digunakan untuk mengklasifikasikan penilaian item yang dikembangkan untuk mengukur

literasi matematika, yaitu: (a)

personal, berkaitan dengan aktivitas diri seseorang, keluarga seseorang atau kelompok sebaya seseorang, (b)

pekerjaan, berkaitan dengan dunia kerja, (c) masyarakat, berkaitan dengan komunitas (lokal, nasional atau global), dan (d) saintifik,

berkaitan dengan penerapan

matematika ke dunia nyata dan isu-isu serta topik yang berkaitan dengan sains dan teknologi.

Soal-soal PISA memiliki tingkat kesulitan yang bervariasi. Mulai dari soal yang mudah hingga soal sulit. Mulai soal dengan tingkat kognitif

aspek pengetahuan hingga

mengkreasi. Soal PISA memiliki 6 level tingkat berpikir (Hajar, 2016: 17). Pada umumnya soal-soal PISA

mengukur keterampilan berpikir

tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/ HOTS). Soal-soal HOTS mengukur keterampilan berpikir tidak sekedar mengingat, memahami dan menerapkan suatu formula dan konsep. Tetapi soal-soal HOTS mengukur keterampilan mentrasfer suatu konsep ke konsep lain, memproses dan mengintegrasikan informasi, mencari kaitan berbagai

informasi yang berbeda-beda,

menggunakan informasi untuk

menyelesaikan masalah (Problem

solving), dan menelaah ide dan informasi secara kritis. Dengan demikian, soal-soal HOTS menguji keterampilan berpikir mengalisis, mengevaluasi dan mencipta (Widana dkk, 2019: 3).

Dalam dimensi proses berpikir yang dikembangkan oleh Banyamen Blom kemudian disempurnakan oleh Anderson atau yang disebut dengan taksonomi Blom Anderson ada 6 level deminsi proses berpikir. Enam dimensi tersebut adalah mengingat (C1), Memahami (C2), menggunakan (C3), menganalisi (C4), mengevaluasi (C5) dan mencipta (C6). Jadi soal HOTS adalah soal yang

(8)

mengukur dimensi proses berpikir pada level C4, C5, dan C6.

Jika ditinjau dari dimensi pengetahuan,

soal HOTS umumnya mengukur

pengetahuan metakognitif. Soal HOTS secara tidak langsung mengukur dimensi pengetahuan terkait dengan fakta, konsep dan procedural. Soal HOTS mengukur dimensi pengetahuan metakongnisi yang berkaitang dengan kemampuan siswa untuk menghubungkan konsep yang berbeda,mengintrepretasikan,

memecahkan masalah, memilih strategi pemecahan masalah, menemukan metode baru, berargumentasi dan mengambil keputusan yang tepat (Widana dkk, 2019: 4).

10 persen soal UN Tahun 2018 adalah soal HOTS. Soal yang mirip dengan soal PISA atau mengadopsi soal PISA dengan cara memodifikasi soal PISA. Terkait tipe soal -soal HOTS yang mirip atau yang dimodifikasi dari soal PISA dalam penelitian ini yang disebut dengan soal HOTS tipe PISA.

Ketika soal UN 10 persen adalah soal HOTS, banyak siswa yang tidak dapat menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA. Kritik dan protes terhadap soal UN datang dari berbagai pihak pemangku kepentigan pendidikan. Karena soal UN dirasa terlalu sulit bagi siswa (Kompas,13/04/ 2018).

Kemudian UN pada tahun 2019 soal HOTS tipe PISA pada soal UN ada rencan dinaikan menjadi 15 hingga 20 persen. Tentu hal ini menjadi beban tersediri bagi siswa maupun guru. Namun

karena beberapa pertimbangan,

pemerintah tidak jadi menaikkan

sehingga tetap soal UN 10% soal HOTS. Mengapa soal HOTS tipe PISA merupakan soal yang sulit bagi siswa untuk diselesaikan. Apakah bekal dasar pembelajaran matematika sekolah yang sudah mereka pelajari tidak cukup untuk menyelesaikan soal HOTS tipe PISA. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud

mempelajari bagaimana hubungan

prestasi belajar matematika sekolah dengan kemampuan siswa kelas X MIA MAN 1 Sumenep dalam menyelesaikan masalah atau soal HOTS tipe PISA. Selain itu, penelitian ini juga akan mempelajari apakah ada perbedaan kemampuan siswa kelas X MIA MAN 1 Sumenep ditinjau dari prestasi belajar matematika sekolah.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yang dilaksanakan di MAN 1 Sumenep pada siswa kelas X MIA. Teknik pengambilan sampel

menggunakan teknik stratifield

proportional random sampling. Dari 144 siswa yang tersebar dari kelas X MIA.1

(9)

sampai kelas X MIA.3 dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan hasil prestasi belajar matematika sekolah.

Sehingga diperoleh 24 siswa

berkemapuan tinggi, 47 siswa

berkempuan sedang dan 43 siswa berkemapuan rendah. Dari 24 siswa berkemampuan tinggi diambil secara acak 11 siswa untuk dijadikan sampel. Dari dua kelompok sisanya

diperoleh sampel, 13 siswa

berkemampuan sedang dan 12 siswa berkemampuan rendah. Jadi, total sampel penelitian ini sebanyak 36 siswa.

Dari 36 siswa yang menjadi sampel penelitian di beri soal HOTS tipe PISA yang dibuat oleh peneliti untuk diselesaikan. Hasil tes soal HOTS tipe PISA dan prestasi belajar matematika sekolah siswa dianalisis korelasi

untuk mengetahui bagaimana

hubungan antara prestasi belajar

matematika sekolah dengan

kemampuan siswa dalam

menyelesaikan soal HOTS tipe PISA. Kemudian, hasil tes soal HOTS tipe PISA berdasarkan kelompok tersebut dianalisis Anova untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antar kelompok tersebut dalam menyelesaikan soal HOTS tipe PISA.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitia ini setelah di lakukan analisis korelasi dan Anova hasilnya dirangkum dan di sejikan pada table berikut:

Tabel 1. Hasil Analisis Korelasi dan Anova

Anova Korelasi

Sum of Squares Df

Mean

Square F Sig. r Sig.

Between Groups 165,8 2 82,912 1,43 ,254 0,143 0,002 Within Groups 1912,9 33 57,967 Total 2078,7 35

Merujuk kepada table diatas, hasil analisis korelasi antara prestasi belajar

matematika sekolah dangan

kemampuan menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA siswa kelas X MIA

MAN sebesar 0,143 dengan

signifikansi 0,002. Sedangkan hasil Anova kemampuan ketiga kelompok siswa kelas X MIA MAN dalam menyelesaikan soal HOTS tipe PISA menunjukkan F = 1,34 dengan signifikasi 0,254.

Adapun Rerata, standar deviasi dan

selisih rata rata kemampuan

menyelesaikan soal HOTS tipe PISA

untuk masing-masing kelompok

(10)

Tabel 2. Perbandingan Rerata Kelompok Siswa

Rerata standar deviasi Perbandingan Rerata Selisih Rerata sig. Tinggi 17,73 9,11 Sedang 5,11 0,244

Rendah 3,89 0,447 Sedang 12,61 5,09 Rendah 1,22 0,916 Rendah 13,83 8,38 - - -

Berdasarkan tebel diatas menunjukkan bahwa secara sederhana, rata rata kemampuan menyelsaikan masalah soal HOTS tipe PISA siswa dengan

kemampuan tinggi lebih unggul

dibandingkan siswa dengan kemapuan sedang dan rendah. Namun selisih rata rata capainnya tidak banyak. Selain itu, jika kita cermati dengan baik, dari table diatas menunjukkan bahwa secara kasat mata siswa dengan kemampuan rendah memiliki kemampuan yang lebih baik

dibandingkan dengan siswa

berkemampuan sedang dalam

menyelesaikan soal HOTS tipe PISA. Hasil analisis korelasi antara prestasi belajar matematika sekolah dangan kemampuan menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA siswa kelas X MIA

MAN sebesar 0,143 dengan

signifikansi 0,002. Data ini

menunjukkan bahwa pembelajaran

matematika sekolah memiliki

hubungan yang lemah dengan

kemampuan siswa dalam

menyelesaikan masalah atau soal

HOTS tipe PISA. Antara kemampuan menyelesaikan soal soal matematika yang diberikan di sekolah atau

madrasah dengan kemampuan

menyelesaikan soal HOTS tipe PISA memiliki hubungan yang kecil dan tidak signifikan.

Kecendrungan ini memang

merupakan kecendrungan siswa

secara nasional. Hal ini dibuktikan bahwa sejak keikutsertaannya mulai tahun 2000 siswa Indonesia dalam PISA ternyata prestasinya tidak

mengalami perubahan dan

peningkatan yang mengembirakan. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran

matematika di sekolah atau

dimadrasah masih belum cukup membekali siswa untuk menyelesai soal – soal HOTS ataupu soal – soal HOTS tipe PISA.

Bukan hanya siswa yang perlu

dipersiapkan, guru pun harus

dipersiapkan. Oleh karena itu, pemerintah pada UN tahun 2019 masih mempertahankan 10 % soal HOTS. Pemerintan mengurungkan niatnya untuk menaikakn porsi soal HOTS pada UN dari 10% menjadi 15% hingga 20%. Hal ini tentu berdasarkan hasil pengalaman UN pada tahun sebelumnya, yaitu UN

(11)

tahun 2018. Hasil UN tahun 2018 dirasa sangat memberatkan siswa. Oleh karena itu, pihak pemerintah dalam hal ini Mendikbud Bapak Muhajir menyampaikan permohonan maaf kepada peserta ujian karena soal UN terlalu memberatkan mereka (Kompas, 13/04/2018).

Fakta lain dari penelitian ini dapat kita pelajari dari capaian siswa dari tiga kelompok siswa. Secara statistik, siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah berdasarkan prestasi belajar matematika sekolah atau madrasah tidak ada perbedaan yang signifikan dalam menyelesaikan soal HOTS tipe PISA. Ini artinya

walaupun dari pembelajaran

matematika di sekolah atau madrasah telah berhasil menjadikan siswa ada

memang berkemampuan tinggi,

sedang dan rendah namun ketika mereka diminta untuk menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA latar kemampuan itu tidak menghasilkan perbedaan secara signifikan. Dengan

kata lain, Antara siswa

berkemampuan tinggi, sedang dan

rendah prestasi mereka dalam

menyelesaikan soal HOTS tipe PISA tidak ada perbedaan.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan,

disimpulkan bahwa antara prestasi belajar matematika sekolah dangan kemampuan menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA siswa kelas X MIA MAN Sumenep tidak berkolerasi secara signifikan dengan nilai r = 0,143 dan sig = 0,002. Dan hasil uji ANOVA (Analysis of Variance) diperoleh F(33,2) = 1.430 dengan sig = 0,254. Hal ini menunjukkan bahwa rata – rata kemampuan ketiga kelompok siswa kelas X MIA MAN Sumenep tidak ada perbedaan yang signifikan dalam menyelesaikan soal-soal HOTS tipe PISA.

5. SARAN

Hasil penelitian ini memberikan

gambaran bahwa prestasi belajar

matematika sekolah tidak memiliki hubungan yang kuat dalam kemampuan siswa menyelesaikan soal HOTS tipe PISA. Oleh karena itu, guru perlu menyelaraskan materi pembelajaran dengan tujuan pengukuran keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTS). Selain itu, guru perlu menyisipkan atau mengenalkan soal HOTS tipe PISA saat pembelajaran matematika. Bagi peneliti, perlu melakukan penelitian pengembagan dengan cara mengembangkan bahan ajar dan asesmen yang berorientasi kepada pengembagan siswa dalam berpikir tingkat tinggi.

(12)

Abdussakir. (2018). Literasi

Matematis dan Upaya

Pengembangannya dalam

Pembelajaran di Kelas. Makalah

disampaikan pada Seminar

Pendidikan Matematika

―Menanamkan Pendidikan

Karakter (Akhlakul Karimah)

dan Kesadaran Literasi

Matematika Siswa Melalui

Pembelajaran Matematika‖ di

STKIP PGRI Sumenep.

Sumenep, 3 Maret 2018.

Fathani, AH. (2016). Pengembangan Literasi Matematika Sekolah dalam Perspektif Multiple Intelligensia. Jurnal: EduSain. Volume 4. Nomer 2.

OECD. (2010). Draft PISA 2012

Assessment Framework.

(Online). Diakses dari:

http://www.oecd.org/dataoecd/61 /15/46241909.pdf.

OECD. (2010). PISA 2009.

Matemathics Framework. Paris: PISA, OECD Publishing.

OECD. (2013). PISA 2012 Result: Ready to Learn Students’ Engagement and Self-Beliefs Volume III. Paris: PISA, OECD Publishing.

OECD. (2016). PISA 2015 Result in Focus. Paris: PISA, OECD Publishing.

OECD. (2018). PISA 2018 Result

(Volume I): What Students Know and Can Do. Paris: PISA, OECD Publishing.

Hajar, MN. (2016). Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Masalah PISA Ditinjau dari

Kemampuan Matematika.

Jakarta: Tesis, Program Studi Pendidikan Matematika Pasca Sarjana UT.

Kompas. (2018). Permintaan Maaf Mendikbud Setelah Para Siswa SMA Keluhkan Sulitnya Soal UNBK.

https://nasional.kompas.com/read /2018/04/13/17525781/permintaa n-maaf-mendikbud-setelah-para- siswa-sma-keluhkan-sulitnya-soal-unbk. Diakses 13 Januar 2020.

Kompas. (2018). Mendikbut Jelaskan Mengapa UNBK Tahun Ini Lebih Sulit.

https://nasional.kompas.com/read /2018/04/13/20350661/mendikbu d-jelaskan-mengapa-unbk-tahun-ini-lebih-sulit. Diakses 13 Januari 2020.

Widana, IW dkk. (2019). Modul

Penyusunan Soal Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi (Higher Order Thingking Skills) Matematika. Jakarta: Direktorat Pembina Sekolah Menenagah Atas.

Gambar

Tabel 2. Perbandingan Rerata  Kelompok Siswa

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 13 Distribusi Frekuensi Kemampuan Menghafal Siswa Kelas Eksperimen yang Diterapkan Metode Lauhun dan Kemampuan Menghafal Siswa Kelas Kontrol yang Tidak Diterapkan Metode

Orang tua dari anak jalanan tidak memiliki tingkat pendidikan yang pada akhirnya tidak memiliki pengetahuan dan keahlian untuk bersaing di busra kerja, mereka hanya bekerja

FLOW CHART MENJALANAKAN APLIKASI ANBK SEMI DARING - Lanjutan Jalankan Exambrowser Admin CBT Sync ID Proktor SN Password Offline Aktif Status Tes Kelompok Siswa Tes Status

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) kemampuan peserta didik kelas VIII B SMP Negeri 1 Yogyakarta dalam menyelesaikan soal matematika tipe HOTs pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan penalaran matematis siswa kelas VII dalam menyelesaikan soal tipe PISA pada materi bilangan dalam konteks COVID-19

Masyarakat atau pun pihak swasta yang dianggap telah melanggar perizinan mengenai pembangunan di kawasan hutan lindung di Bogor yang terdapat dalam Pasal 61 butir (a)

ciri khas dari kerajinan cukli. Kerajinan cukli ini sendiri mulai dibuat pada tahun 1986. Awal mulanya adalah pada saat budidaya mutiara sedang ramai di daerah

Oleh karena itu, pendekatan kualitatif dirasa cocok untuk meneliti permasalahan ini, karena dapat melihat konstruksi pemberitaan yang dilakukan Koran SINDO dalam kasus penistaan