• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN SUAMI DI DALAM PERKAWINAN NYENTANA MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT BALI (Studi di Kecamatan Tabanan) JURNAL ILMIAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN SUAMI DI DALAM PERKAWINAN NYENTANA MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT BALI (Studi di Kecamatan Tabanan) JURNAL ILMIAH"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN SUAMI DI DALAM PERKAWINAN NYENTANA MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT

BALI (Studi di Kecamatan Tabanan)

JURNAL ILMIAH

oleh :

NI LUH YUNITA PRATIWI D1A115210

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

MATARAM 2019

(2)

HALAMAN PENGESAHAN JURNAL ILMIAH JUDUL

KEDUDUKAN SUAMI DI DALAM PERKAWINAN NYENTANA MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT

BALI (Studi di Kecamatan Tabanan) JURNAL ILMIAH

oleh :

NI LUH YUNITA PRATIWI D1A115210

(3)

KEDUDUKAN SUAMI DI DALAM PERKAWINAN NYENTANA MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT

BALI (Studi di Kecamatan Tabanan) NI LUH YUNITA PRATIWI

D1A115210

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kedudukan suami dalam perkawinan nyentana menurut undang-undang perkawinan dan hukum adat bali ( studi di kecamatan tabanan). Metode penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian hukum empiris. Hasil penelitian bahwa kedudukan suami dalam Undang-undang Perkawinan memiliki arti bahwa seorang yang bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Sedangkan kedudukan suami pada perkawinan adat nyentan hak dan kewajiban suami dan istri yang melakukan perkawinan nyentana adalah suami mendapatkan hak mewaris dari orang tua angkatnya, namun berkewajiban mengurus orang tua pihak istri di masa tua, wajib melaksanakan upacara ngaben/penguburan kepada orang tua yang telah meninggal, wajib melaksanakan kewajiban kepada banjar/desa. Akibat hukum yang ditimbulkan bagi para pihak yang melakukan perkawinan nyentana menurut Undang-Undang Perkawinan akan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban suami istri yang melekat pada masing-masing pihak serta menyangkut harta bawaan dan kedudukan anak sehingga pihak suami wajib patuh kepada mertuanya.

Kata kunci: Kedudukan, Suami, Nyetana.

THE STATE OF HUSBANDS IN ARRIVAL MARRIAGE BY ACCORDING TO BALANCE AND LAW OF BALI (Study in Tabanan Subdistrict)

ABSTRACT

The purpose of this research is to find out the position of the husband in a marital marriage according to the marriage law and Balinese customary law (study in Tabanan sub-district). The research method in this paper is empirical legal research. The results of the study that the position of the husband in the Marriage Act means that a person is responsible for his wife and children. Whereas the husband's position in traditional marriages inclines the rights and obligations of husband and wife who do marital marriages are the husband obtains inheritance rights from his adoptive parents, but is obliged to take care of his wife's parents in old age, must carry out a cremation ceremony / burial for deceased parents , must carry out obligations to the banjar / village. The legal consequences incurred for parties who make marital marriages according to the Marriage Law will result in the arising of the rights and obligations of husband and wife attached to each party and concerning the property and position of children so that the husband must obey his parents-in-law.

(4)

I. PENDAHULUAN

Pada hakekatnya kehidupan manusia merupakan suatu kehidupan bersama dalam masyarakat. Menurut Aristoteles adalah Zoon Poloticon, yaitu makhluk

sosial yang suka hidup bergolongan atau setidaknya mencari teman untuk hidup bersama dari pada hidup sendiri.1Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat.

Manusia tidak akan dapat berkembang tanpa adanya perkawinan, karenan perkawinan dapat menyebabkan adanya keturunan menimbulkan keluarga yang berkembang menjadi kekerabatan dan masyarakat. Jadi perkawinan merupakan unsur tali temali yang merupakan kehidupan manusia dan masyarakat.2

Pada masyarakat Bali, menurut adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa) maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga seklen (dadia) atau setidak-tidaknya antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta (wangsa). Dengan demikian, adat perkawinan di Bali bersifat endogami keln, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh masyarakat Bali yang masih kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki.3

Perkawinan adat Bali menganut sistem patrilineal, nampak dimana istri yang memasuki keluarga suaminya. Maka dapat dikatakan bahwa kedudukan laki-laki dalam keluarga sangat penting. Dalam ajaran agama Hindu, anak sebagai

1

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung, Jakarta, 1982. hlm.9.

2

Hilman Hadikusuma, HukumPerkawinan Adat, Penerbit Alumni, Bandung, 1983,

hlm.22

3

(5)

pelanjut keturunan ditentukan menurut garis kebapakan yang dikenal dengan istilah purusa atau laki-laki. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka bagi

keluarga yang mempunya anak perempuan saja, tentu berkeinginan untuk mempunyai laki-laki sebagai pelanjut keturunan, tetapi apabila keluarga itu tidak mempunyai anak laki-laki, maka oleh adatnya diberikan jalan keluar dengan merubah status anak perempuan tersebut dari predana ke purusa yakni sebagai

sentana rajeg. Untuk dapat melanjutkan keturunan, sentana rajeg ini harus kawin.

Ia akan menarik suaminya dengan jalan melakukan perkwinan Nyentana, suatu

perkawinan dimana seorang laki-laki melepaskan diri dari keluarga asalnya dan hidup sepenuhya dikeluarga istrinya karena orang tua istrinya tidak mempunyai anak laki-laki. Oleh karenan pengantin wanita yang menarik suaminya keluar dari ikatan purusa bapak ibu dan saudara-saudaranya. Selain hukum adat, hukum yang mengatur tentang perkawinan ialah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Kedudukan seorang suami dalam perkawinan menurut hukum adat Bali yang dimaksud yaitu hak dan kewajiban suami didalam perkawinan Nyentana

tersebut serta pandangan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sehingga diketahui kedudukan seorang suami yang melakukan perkawinan Nyentana.

Sebagaimana yang telah diuraikan di dalam latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yaitu,1. Bagaimanakah kedudukan seorang suami di dalam perkawinan nyentana menurut UUP dan

(6)

Hukum Adat Bali ?. 2. Bagaimanakah akibat hukum bagi suami istri dalam perkawinan nyentana ?

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bahwa bagaimanakah kedudukan seorang suami di dalam perkawinan nyentana menurut UUP dan

Hukum Adat Bali dan bagaimanakah akibat hukum bagi suami istri dalam perkawinan nyentana.

Dalam hal ini untuk memecahkan masalah yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini, digunakan jenis penelitian empiris. Metode penelitian hukum empiris yaitu memandang hukum sebagai fenomena sosial. Fenomena sosial dapat diartikan sebagai gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang terjadi dan dapat diamati dalam kehidupan sosial. Salah satu fenomena sosial yang terdapat dalam kehidupan kita sehari-hari adalah adanya masalah-masalah sosial yang timbul baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat.4 Dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan komparatif dan pendekatan sosiologis.

4

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2012,hlm.163

(7)

II. PEMBAHASAN

Kedudukan Seorang Suami Didalam Perkawinan Nyentana Menurut Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Adat Bali

Kedudukan Seorang Suami Didalam Perkawinan Nyentana Menurut Undang-Undang Perkawinan

Pengaturan soal kedudukan dan peran suami istri tercantum pada Pasal 31 Ayat (1) dan (2) memuat kalimat-kalimat yang menyatakan bahwa: 5 Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama di masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.

Ketentuan pasal tersebut mengandung makna bahwa terhadap istri harus diberi penghargaan yang setara dengan suami dalam rumah tangga, serta istri diberi kesempatan yang sama pula untuk mensosialisakan diri dalam kehidupan masyarakat.

Akan tetapi ada suatu ketentuan biasa gender, yakni lebih mengarah pembagian peran keduanya berdasarkan jenis kelamin, seperti dalam pasal 31 yang sama ayat (3) ditegaskan bahwa:6 “ Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Pasal ini secara jelas dan tegas mendukung pembagian peran berdasarkan jenis kelamin yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini kemudian dipertegas dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

5

Indonesia, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 31 Ayat (1) Dan (2).

6

(8)

Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa: 7“ Suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”.

Ketentuan fungsi suami dalam undang-undang sebagai kepala keluarga menurut Ratna Batara Munti:8“ Penempatan suami lebih superior dari istrinya dalam segala hal, bahwa kebijakan structural pemerintah di bidang hukumdan perundang-undangan terkait pembagian peran antara suami istri, bersumber dari pandangan masyarakat luas yang menempatkan laki-laki sebagai pihak yang kuat dan bertindak sebagai pelindung perempuan yang lemah. Sedangkan realitas yang ada ditengah-tengah masyarakat, tidak sedikit perempuan yang bertindak sebagai pencari nafkah bagi kelaurga dan harus melindungi dirinya sendiri berserta keluarganya”.

Ketentuan Pasal 31 Ayat (3) Dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyangkut tentang kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga dan sebagai pemimpin rumah tangga. Sehingga kedudukan suami ini memiliki arti bahwa seorang yang bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.

Kedudukan suami pada suatu perkawinan nyentana menurut

undang-undang perkawinan yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memiliki sedikit perbedaan, hal ini dikarenakan dalam undang-undang perkawinan memberikan penjelasan dalam pasal 31 ayat (3) bahwa kedudukan suami sebagai kepala keluarga. Sedangkan pihak istri dalam perkawinan nyentana berkedudukan

sebagai kepada keluarga.

7

Ibid, Pasal 34.

8

Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, Lembaga Kajian

(9)

Kedudukan Seorang Suami Didalam Perkawinan Nyentana Menurut Hukum Adat Bali

Dalam ketentuan perkawinan menggunakan sistem nyentana pada

masyarakat adat bali Suatu perkawinan untuk dapat disebut perkawinan nyentana

haruslah mengikuti kaedah-kaedah menurut Hukum Adat Bali seperti yang dikutip dalam penelitian Pursika sebagai berikut:9 1. Pihak perempuan harus berstatus sentana rajeg, artinya perempuan yang akan menikah harus ditetapkan

sebagai penerus keturunan. 2. Perundingan untuk melakukan perkawinan nyentana harus dimulai dari pihak orang tua calon istri (yang dipurusakan)

dengan keluarga calon suami. Tentu saja pendekatan itu yang utama terhadap sang calon suami yang bersangkutan. 3. Bila telah ada kesepakatan barulah perkawinan nyentana/nyentana dilaksanakan. Upacara perkawinan yang paling pokok dan

merupakan syarat sahnya perkawinan, yaitu upacara mabyakaon, harus dilakukan

di rumah si istri; 4. Pihak suami harus masuk keluarga pihak istri dan diterima sebagai anggota keluarga pihak istri. Ini artinya pihak suami keluar dari rumpun keluarga asalnya, yang secara konkrit ditunjukkan si suami semula sudah tinggal di rumah istrinya. Suami tidak lagi memuja sanggah/merajan (tempat

sembahyang) bapak asalnya, melainkan ia harus memuliakan sanggah/merajan

pihak istri. 5. Suami berkedudukan sebagai sentana nyentana, yaitu mempunyai

hak sebagai pradana (wanita) dan ini ditunjukkan dengan adanya pihak istri

9

Pursika, I Nyoman dan Sukadi. Perempuan Berstatus Purusa (Analisis Proses, Peran,

Status, Pewarisan, Konflik dan Pemecahannya dalam Keluarga Nyentana di Desa Gubug

Kabupaten Tabanan dan Desa Keramas, Kabupaten Gianyar,Bali). Penelitian (tidak diterbitkan).

(10)

mengantar sajen-sajen pamelepahan (jauman) ke rumah keluarga si laki-laki. 6.

sebagai upacara melepaskan ikatan si suami dari keluarga asalnya sebagai purusa.

Menurut Jiwa Atmaja agaknya ada dua hal yang mendorong seorang ayah untuk menarik menantu pria sentana ke dalam keluarganya, yakni menghindari

hak camput yang dulu dilaksanakan kerajaan, kini mungkin masih diberlakukan

desa adat tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa hak camput berhubungan secara historis dengan status tanah yang sekarang digunakan sebagai “tegak” rumah keluarga, apakah tergolong tanah ayahan desa atau tanah ayahan Dalem. Kedua, lembaga sentana berhubungan pula dengan pandangan kepurusaan (patrilineal)

yang menganggap bahwa anak laki-laki sangat penting dalam keluarga Hindu Bali. 10

Dari ketentuan tersebut maka dapat diketahui bahwa dalam perkawinan nyentana seorang laki-laki harus melepaskan hubungan kekeluargannya dengan

orang tua aslinya dan menyambung hubungan kekeluargaannya dengan orang tua dari istrinya. Yang menyebabkan seorang suami harus ikut ke dalam kekeluargaan istrinya. Akan tetapi, dalam perkawinan nyentana ini tidak mengakibatkan

seorang istri yang menjadi kepala rumah tangga karena pada hakikatnya seorang suami dalam masyarakat adat bali tetap sebagai kepala keluarga.

Sehingga dapat diketahui status laki laki dalam perkawinan nyentana di bali

adalah berstatus sebagai predana, hak dan kewajiban yang melekat dalam laki laki tersebut tidak terlalu berat, layaknya istri dalam perkawinan biasa, sehingga laki laki tersebut kehilangan hak mewaris dari keluarga asal. Namun dalam

10

Atmaja Jiwa. Bias Gender Perkawinan Terlarang pada Masyarakat Bali.

(11)

perkembangan jaman status laki laki yang melangsungkan perkawinan nyentana

ini adalah tetap sebagai kepala keluarga.

Menurut hukum adat pada umumnya yang berlaku dalam masyarakat bangsa Indonesia, baik dalam masyarakat kekerabatan bilateral maupun multilateral

(patrilinial dan matrilinial) ataupun yang beralih-alih, kewajiban untuk

menegakkan keluarga atau rumah tangga (suami-istri) bukan semata-mata menjadi kewajiban dan tanggungjawab dari suami istri itu sendiri, hal tersebut dikarenakan masih terdapat tanggung jawab dan kewajiban moral orang tua dan kerabat, walaupun sifatnya immaterial dan tidak langsung berupa perhatian dan

pengawasan.

Akibat Hukum bagi suami istri dalam perkawinan Nyentana

Akibat Hukum Bagi Suami Istri Dalam Perkawinan Nyentana Menurut Undang-Undang Perkawinan

Dalam ketentuan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan : 1). Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30). 2). Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).

Dengan adanya perkawinan yang sah tentunya akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Adapun akibat-akibat hukum yang ditimbulkan akibat suatu

(12)

perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni:11

Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri

Adapun akibat hukum perkawinan terhadap suami istri seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni: 1) Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30). 2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)). 3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ayat 2).

Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan

Timbul harta bawaan dan harta bersama, Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).

Akibat Perkawinan Terhadap Anak

Dalam pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan mengenai Kedudukan anak, Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah.

11

Https://Kuliahade.Wordpress.Com/2010/04/02/Hukum-Perdata-Akibat-Hukum-Perkawinan/, Diakses Pada Tanggal 6 Oktober 2019 Pukul 05:30 WITA.

(13)

Akibat Hukum Bagi Suami Istri Dalam Perkawinan Nyentana Menurut Hukum Adat Bali

Perkawinan nyentana merupakan kebalikan dari perkawinan biasa dan

perkawinan nyentana ini merupakan jenis perkawinan yang upacaranya

diselenggarakan oleh pihak keluarga perempuan dan kelangsungan upacaranya pun di rumah si perempuan. Dalam perkawinan nyentana hubungan keluarga

pihak suami dilepaskan dan masuk ke keluarga pihak perempuan dan pelepasan ini dilakukan dengan membayar uang yang biasanya disebut uang jujur.

Perkawinan ini hanya bisa atau boleh dilaksanakan oleh orang tua yang hanya mempunyai anak perempuan saja. Di sini suamilah yang pindah dari keluarganya dan masuk dalam kelompok pihak istri dan si istri pula yang menjadi ahli waris kekayaan orangtuanya, sedangkan suami kedudukannya tidak mendapat warisan.

Dalam perkawinan tentunya akan menimbulkan suatu akibat hukum bagi suami maupun istri. Adapun Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan suami istri yakni: 1. Timbul harta bawaan dan harta bersama. 2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. 3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama.

Di dalam perkawinan nyentana tentunya memiliki akibat-akibat hukum

bagi suami dan istri yang memilih menggunakan pernikahan dengan cara ini. Adapun akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dalam perkawinan nyentana

(14)

dalam masyarakat adat bali yakni:12 a. Suami putus hubungan keluarga dengan orang tuanya. b.Hak waris jatuh pada wanita. c.Putusnya hak waris suami dengan keluarganya. d.Garis keturunan putus dengan suami. e.Garis keturunan diambil dari istri. f.Tidak berlaku bagi sistem patrilineal. g.Kedudukan suami sama halnya dengan istri pada perkawinan biasa yaitu sebagai kepala rumah tangga.

Hal tersebut hanya dapat dikecualikan karena adanya hubungan kemanusiaan, didalam aturan hukum adat Bali bagi laki-laki yang telah melakukan perkawinan nyentana, karena telah memutuskan hubungan dengan

keluarganya lalu memasuki keluarga istri dan apabila terjadi perceraian, maka tidak ada tempat untuk laki-laki tersebut untuk kembali, maka hanya hubungan kemanusiaanlah yang dapat membantunya.

12

(15)

III. PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya, maka penulis memberikan kesimpulan bahwa:

1. Kedudukan suami dalam ketentuan Pasal 31 Ayat (3) Dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyangkut tentang kedudukan suami sebagai kepala rumah tangga dan sebagai pemimpin rumah tangga. Sehingga kedudukan suami ini memiliki arti bahwa seorang yang bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Sedangkan pada perkawinan adat nyentana bahwa istri sebagai kepala rumah tangga dan

menjadikan segala tanggung jawab keluarga berada pada istri. Selain itu, bagi suami pada perkawinan adat nyentana, suami mendapatkan hak

mewaris dari orang tua angkatnya dan berkewajiban mengurus orang tua pihak istri di masa tua. 2. Akibat hukum yang ditimbulkan bagi para pihak yang melakukan perkawinan nyentana menurut Undang-Undang

Perkawinan akan mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban suami istri yang melekat pada masing-masing pihak serta menyangkut harta bawaan dan kedudukan anak. Sedangkan perkawinan nyetana pada hukum adat

bali menimbulkan akibat khusus pada pihak laki. Karena pihak laki-laki akan meninggalkan soroh dan kawitan asalnya dan ikut masuk ke

(16)

SARAN

Adapun saran yang diberikan penulis, yakni:

1. Dalam perkawinan nyentana kedudukan suami tetap sebagai kepala

keluarga, sehingga demi menjaga kehormatan istri kepada suami tentunya istri harus selalu memposisikan dirinya sebagai seorang istri yang memiliki kewajiban mengabdi kepada suaminya, walaupun dalam hal ini pihak suami mengikuti istri untuk hidup dalam kediaman istrinya. 2. Akibat hukum dari perkawinan nyentana ini tentunya memberikan

keharusan bagi seorang suami untuk berbakti kepada orang tau istrinya. Sehingga dalam melaksanakan kewajiban tersebut tentunya pihak suami harus memposisikan dirinya sebagai seorang anak bagi orang tua angkatnya atau mertuanya ini.

(17)

DAFTAR PUSTAKA BUKU,SKRIPSI

Atmaja Jiwa. 2008, Bias Gender Perkawinan Terlarang pada Masyarakat Bali. Denpasar:Udayana University Press.

Hilman Hadikusuma, 1983, Hukum Perkawinan Adat, Penerbit Alumni, Bandung.

Pursika, I Nyoman dan Sukadi. 2008, Perempuan Berstatus Purusa (Analisis Proses, Peran, Status, Pewarisan, Konflik dan Pemecahannya dalam Keluarga Nyentana di Desa Gubug Kabupaten Tabanan dan Desa

Keramas, Kabupaten Gianyar,Bali). Penelitian (tidak diterbitkan). Jurusan PPKn, Undiksha Singaraja.

Soerojo Wignjodipoero, 1982, Pengantar Ilmu Hukum, Gunung Agung, Jakarta.

Soerjono, 2012, Hukum Adat Indonesia, PT Rajawali Pers cet II, Jakarta..

Ratna Batara Munti, 2003, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, Lembaga Kajian Agama Dan Gender, Jakarta.

Zaenuddin Ali,2014, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan INTERNET

Https://Docplayer.Info/40340422-Status-Laki-Laki-Dan-Pewarisan-Dalam-Perkawinan-Nyentana-Oleh.Html, Diakses Pada Tanggal 3 Oktober 2019, Pukul 11:00 WITA.

Https://Kuliahade.Wordpress.Com/2010/04/02/Hukum-Perdata-Akibat-Hukum-Perkawinan/, Diakses Pada Tanggal 6 Oktober 2019 Pukul 05:30 WITA.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan mengucap puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas ridho dan segala nikmat kemudahan serta petunjukNya yang telah diberikan sehingga dapat

Model pengambilan keputusan untuk pemilihan presiden-wakil presiden merupakan model keputusan banyak kriteria dimana setiap kriteria yang digunakan kabur atau tidak

khamer serta hukuman bagi peminumnya; d) berdasarkan kaidah ushul fiqih, antara lain (1) menghilangkan kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil kemanfaatan,

Oleh karena itu penulis tertarik untuk merancang sistem informasi dengan judul “ Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Pada Puskesmas Gisting Berbasis Web ”

Untuk faktor pelanggan dilihat dari pemahamam pasien mengenai prosedur pelayanan dan keluhan-keluhan pasien, ada beberapa pasien yang kurang memahami alur dari

Hasil dari studi menunjukkan bahwa kolaborasi perancangan interior dan visual grafis pada Museum “Rumah Air” PDAM Surya Sembada Surabaya dapat menghadirkan “cerita” dalam 4 bagian,

Data tersebut, menunjukkan bahwa pendekatan individual juga ada dalam pengambilan keputusan yang dilalcsanakan atau ditempuh oleh pimpinan melalui pertimbangan-pertimbangan

Pertanyaan - pertanyaan yang diajukan memiliki indikator dalam mengukur masing - masing variabel, indikator tersebut juga mewakili dari masing - masing pertanyaan,