• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1.1. Latar Belakang Masalah"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Prolaps organ panggul (POP) merupakan salah satu jenis disfungsi dasar panggul yang sudah umum diketahui. POP sebenarnya dapat disamakan dengan suatu hernia, dimana terjadi penurunan dari organ panggul atau organ genetalia akibat kurang berfungsinya sistem penyokong organ tersebut. Turunnya organ panggul ini dikarenakan berbagai interaksi antara lain faktor tulang panggul, jaringan ikat penyokong organ panggul, serta otot-otot dasar panggul (Kim et al., 2007). Kondisi ini meningkat seiring dengan peningkatan usia. Studi yang dilakukan pada beberapa pusat kesehatan yang melibatkan 1006 perempuan usia 18-83 tahun, menunjukkan bahwa hanya 24 % perempuan yang tidak mengalami prolaps. Studi lain juga menemukan bahwa angka kejadian prolaps berkisar antara 43-76% pada pencatatan yang dilakukan di beberapa rumah sakit (Nguyen et al., 2000). Untuk di Indonesia sendiri belum ada studi prevalen untuk mengetahui prevalensi dari prolaps organ panggul.

POP ini tentu saja sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang seiring bertambahnya usia harapan hidup. Berbagai dampak dapat timbul antara lain dampak sosial dan dampak ekonomi. Dampak sosial yaitu kehilangan pekerjaan, bahkan ada yang diceraikan oleh suaminya. Sedangkan dampak ekonominya adalah pengeluaran biaya untuk mengurangi keluhan dan meningkatkan kualitas hidup. Hampir 73% dari pasien POP akan berlanjut ke inkontinensia urin dan 31% inkontinensia alvi. Dengan keluhan yang dialami tidak jarang perempuan memilih

(2)

tindakan pembedahan demi mengurangi keluhan tersebut. Ini merupakan tantangan mengingat manajemen pembedahan seringkali memberikan hasil yang kurang optimal di mana tingkat kegagalannya telah diperkirakan mencapai 30%. Hal ini menunjukkan bahwa tidaklah mudah memperbaiki POP.

Penelitian atau literatur mengenai hubungan POP dengan kerusakan dari otot dan jaringan ikat penyokong banyak tersedia. Studi mengenai faktor risiko yang dihubungkan dengan kerusakan otot dan jaringan ikat penyokong sehingga menimbulkan prolaps juga sudah dipelajari. Berbanding terbalik dengan hal tersebut, hubungan antara POP dengan tulang panggul rnasih sangal lerbatas (Nguyen et al., 2000). Tulang panggul dalam hal bentuk serta ukurannya diduga memegang peranan penting dalam hubungannya dengan kejadian POP. Sebagaimana diketahui bahwa panggul memiliki empat bentuk, yaitu ginekoid, android, anthropoid, dan platipeloid, yang mana bentuk ginekoid lah yang paling menguntungkan untuk persalinan melalui vagina. Sebuah studi yang dilakukan menyebutkan bahwa hampir 50% perempuan kulit putih dan 80% perempuan suku Cina memiliki panggul ginekoid. Setelah diteliti didapatkan pula kejadian POP yang berbeda pada kedua kelompok perempuan tersebut di mana perempuan suku Cina mengalami kejadian POP yang lebih kecil dibandingkan perempuan kulit putih lainnya. Para ahli akhirnya berfikir mungkin saja perbedaan dimensi panggul secara spesifik berpengaruh terhadap POP. Dari sinilah awal mula pemikiran bahwa bentuk dan ukuran panggul juga terlibat dalam kejadian POP. Namun hal ini masih menjadi perdebatan karena setelah diteliti lebih lanjut didapatkan hasil yang beraneka ragam (Sze et al., 1999).

(3)

Hubungan antara POP dengan ukuran panggul pada perempuan suku Bali belum pernah dipelajari sebelumnya. Bahkan belum ada studi mengenai bentuk panggul pada perempuan suku Bali. Penulis ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara POP dengan ukuran panggul perempuan suku Bali dengan harapan akan menambah pengetahuan kita serta dapat melakukan tindakan pencegahan dalam hal pemilihan cara persalinan sehingga kejadian POP dapat diturunkan. Studi ini menggunakan tehnik x-ray untuk mengukur ukuran panggul, dimana x-ray mudah dilakukan, biaya lebih murah dengan hasil yang akurat mendekati ct-scan. Dengan alat ini, dilakukan pengukuran pada panggul perempuan suku Bali khususnya pintu atas panggul (diameter antero-posterior (DAP), diameter transversal (DTR)), pintu tengah panggul (diameter interspinosum (DIS)), pintu bawah panggul (diameter intertuberum (DTB)) dalam hubungannya dengan kejadian POP.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapatlah dibuat rumusan rnasalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan antara ukuran diameter anteroposterior panggul perempuan suku Bali dengan POP?

2. Apakah terdapat hubungan antara ukuran diameter tranversal panggul perempuan suku Bali dengan POP?

3. Apakah terdapat hubungan antara ukuran diameter interspinosum panggul perempuan suku Bali dengan POP?

(4)

4. Apakah terdapat hubungan antara ukuran diameter intertuberum panggul perempuan suku Bali dengan POP?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara ukuran panggul perempuan suku Bali dengan prolaps organ panggul.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan antara ukuran diameter anteroposterior panggul perempuan suku Bali dengan POP.

2. Mengetahui hubungan antara ukuran diameter tranversal panggul perempuan suku Bali dengan POP.

3. Mengetahui hubungan antara ukuran diameter interspinosum panggul perempuan suku Bali dengan POP.

4. Mengetahui hubungan antara ukuran diameter intertuberum panggul perempuan suku Bali dengan POP.

1.3. Manfaat

Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan

1. Menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai peranan ukuran panggul perempuan suku Bali sebagai faktor predisposisi POP.

(5)

1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat

Dengan diketahuinya ukuran panggul memiliki peranan terhadap kejadian POP pada perempuan suku Bali maka dapat dilakukan pencegahan yang lebih tepat.

(6)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Prolaps Organ Panggul

POP atau yang biasa juga disebut dengan prolaps urogenital adalah suatu penurunan organ panggul perempuan ke dalam vagina bahkan mungkin ke luar dari vagina. Organ panggul di sini yang termasuk di dalamnya adalah uterus, kandung kemih, urethra dan rektum. Jadi dalam hal ini POP ini dapat disamakan dengan suatu hernia di mana akibat adanya kelemahan pada otot, fasia dan ligament penyokong organ panggul yang akan menyebabkan penurunan dari organ panggul tersebut (Junizaf. 2002). Kelemahan ini akan menyebabkan penonjolan ke arah vagina melalui dinding vagina anterior, posterior dan puncak vagina. Prolaps melalui dinding vagina anterior terdiri dari sistokel dengan atau tanpa pergerakan dari urethra. Prolaps dinding vagina posterior merupakan herniasi dari rektum yang biasa disebut dengan rektokel. Sedangkan pada puncak vagina terdiri dari prolaps uteri dan herniasi dari usus yang disebut enterokel. Tentu saja prolaps ini tidak terjadi secara mendadak, namun merupakan suatu proses yang berkelanjutan yang sering tidak disadari oleh periderila (Hendrix et al., 2002).

2.2. Epidemiologi prolaps organ panggul

Meskipun pada kenyataannya prolaps organ panggul merupakan alasan utama seseorang melakukan operasi ginekologi, namun studi epidemiologi mengenai prolaps ini sangat jarang dipelajari. Sebagian besar data didapat dari register rumah sakit yang isinya pasien-pasien yang melakukan pemeriksaan dan

(7)

operasi pada rumah sakit tersebut. Secara umum prolaps organ panggul yang tercatat pada beberapa rumah sakit berkisar antara 43-76%, dan prolaps yang hingga melewati hymen berkisar 3-6%. Tercatat pula 41% perempuan berusia 50-79 tahun menunjukkan adanya prolaps organ panggul, terdiri dari 34% sistokel, 19% rektokel dan 14% prolaps uteri. Pada studi beberapa senter kesehatan yang melibatkan 1006 perempuan usia 18-83 tahun didapatkan 24% perempuan memiliki otot dasar panggul yang normal, 38% termasuk prolaps grade I, 35% stage II, 2% stage III dan didapatkan bahwa semakin tua usia kejadian prolaps semakin rneningkat. Begitu pula data mengenai insiden prolaps dalam hubungannya dengan operasi ginekologi sangatlah terbatas. Angka insiden dari prolaps yang memerlukan operasi tercatat 1,5-4,9 kasus per 1000 perempuan per tahun. Usia tertinggi yang memerlukan tindakan operasi adalah usia 60-69 th dengan jumlah 42,1 kasus per 10.000 perempuan, sedangkan tindakan operasi yang paling sedikit didapatkan pada usia 80 tahun yaitu sekitar 7%. Dan hampir 13% pasien memerlukan operasi ulangan kembali dalam 5 tahun (Nguyen et al. 2000 ; Swift et al 2005).

2.1.1 Faktor risiko prolaps organ panggul

Banyak faktor risiko yang dipelajari dan telah terbukti di kemudian hari akan meningkatkan kejadian POP. Secara garis besarnya faktor risiko kita kelompokkan menjadi 2 yaitu faktor risiko yang sudah pasti meningkatkan kejadian POP dan faktor risiko yang berpotensi menyebabkan POP.

(8)

Tabel 2.1 : Faktor risiko prolaps organ panggul

Faktor Risiko Pasti Faktor Risiko Potensial

1. Persalinan Pervaginam 2. Peningkatan Usia 3. Obesitas

1. Faktor obstetri

 Kehamilan (terlepas dari cara persalinannya)

 Persalinan forsep

 Perpanjangan pada kala 2 persalinan

 Melahirkan pertama pada usia yang masih muda

 Melahirkan bayi dengan berat > 4500 gram

2. Bentuk dan kecenderungan tulang panggul

3. Riwayat POP dalam keluarga 4. Ras dan etnis

5. Pekerja berat 6. Konstipasi

7. Gangguan jaringan ikat

2.1.3 Gejala klinis prolaps organ panggul

Perempuan dengan POP akan mengalami lebih dari satu gejala seperti adanya sesuatu menonjol ke luar dari vagina, perasaan tertekan pada daerah panggul, serta keluhan lain termasuk keluhan pada kandung kemih dan perut. Beberapa kasus prolaps menunjukkan keluhan akibat prolaps dinding vaginanya sendiri dan beberapa lainnya menunjukkan gejala disfungsi kandung kemih, saluran pencernaan bagian bawah serta disfungsi dari otot dasar panggul.

(9)

Tabel 2.2 :Gejala klinis perempuan dengan POP Vagina

 Adanya perasaan penonjolan dan penurunan organ panggul

 Rasa berat dan tekanan di daerah vagina

Saluran kencing

 Inkontinensia urin

 Sering kencing

 Tidak bisa menahan kencing

 Kelemahan dan pemanjangan aliran kencing

 Rasa tidak tuntas saat kencing

 Retensio urin

 Pegerakan manual serta perubahan posisi dari prolaps dalam memulai serta mengosongkan kandung kencing

Saluran pencernaan

 Inkontinensia dari flatus dan feses yang lembek atau cair

 Rasa tidak tuntas saat BAB

 Peneranan selama BAB

 Evakuasi manual selama BAB

 Sensasi obstruksi selama defekasi

Seksual

 Dispareunia

Keluhan pada saluran kencing yang biasa dikemukakan adalah inkontinensia urin yang berarti suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat mengontrol kencing sendiri. Pada beberapa kasus kelemahan dinding vagina akan berpengaruh secara langsung terhadap saluran kencing, namun pada kasus lain hubungan POP dengan inkontinensia urin masih kurang jelas. Dinding vagina bagian anterior akan menopang kandung kemih dan urethra. Kelemahan pada dinding anterior ini akan menyebabkan sistokel yang mengakibatkan hipermobilitas dari urethra serta penurunan kandung kemih sehingga berakhir sebagai stres inkontinensia urin. Pada kenyataannya POP dengan stres inkontinensia urin kadang tidak saling berhubungan terutama pada POP derajat ringan. Berbeda dengan POP yang melewati hymen di mana akan ditemukan keluhan pada saluran kencing. Pada prolaps vagina anterior yang berat dapat

(10)

menimbulkan kesulitan berkemih. Pada kasus semacam itu prolaps muncul dibawah urethra dan menyebabkan kompresi dari bawah atau menekuk (kinking) urethra sehingga akan timbul apa yang disebut dengan retensio urin. Sebanyak 30-40% perempuan dengan POP grade III-IV memiliki residu urin > 100 ml. (Jelovsek et al. 2007 ; Schorge et al., 2008).

2.1.4 Diagnosis prolaps organ panggul

a. Anamnesis

Anamnesis yang terinci sangat penting dilakukan dalam menegakkan diagnosis. Anamnesis meliputi identifikasi faktor risiko serta keluhan yang dialami penderita.

b. Pemeriksaan ginekologi

Pemeriksaan dilakukan pada pasien dalam keadaan istirahat, dan meneran pada posisi litotomi dan berdiri.

1. Posisi litotomi

Labia dibuka lalu diamati apakah ada penonjolan dinding vagina pada keadaan istirahat (tanpa pengedanan). Pasien kemudian diminta untuk mengedan seolah-olah akan buang air besar, dan penderita diminta untuk batuk. Struktur tulang panggul, pintu vagina, dinding vagina anterior dan posterior serta badan perineum harus dievaluasi secara menyeluruh. Apa yang terlihat pertama kali pada introitus dapat menunjukkan lokasi kelainan utama yang dialami. Jika mengalami kesulitan karena kendornya dinding vagina maka spekulum sims dapat dipergunakan. Letakkan

(11)

speculum sims pada dinding posterior vagina untuk mengidentifikasi dinding anterior begitu pula sebaliknya. Pemeriksaan rektovaginal dapat mengidentifikasikan adanya enterokel yang menonjol ke dalam rongga antara rektum dan dinding vagina posterior.

2. Posisi berdiri

Informasi yang paling diandalkan juga dapat diperoleh dengan mengulang pemeriksaan ketika pasien sedang berdiri dan mengedan secara maksimal.

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan pada perempuan POP yang mengalami keluhan pada saluran kencingnya. Urinalisis serta pemeriksaan residu urin pasca berkemih dengan menggunakan kateter atau ultrasonografi sering dilakukan. Sama juga halnya dengan pemeriksaan endoskopi pada saluran anus juga perlu dilakukan pada pasien POP dengan keluhan inkontinensia feses.

Secara umum pemeriksaan radiografi untuk mendiagnosis pasien prolaps tidaklah perlu untuk dilakukan. Dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan ginekologi diagnosis sudah dapat ditegakkan. Disamping itu hasil dari pemeriksaan radiografi belum didefinisikan secara nasional. Selama ini pemeriksaan radiografi dengan menggunakan kontras dan MRI digunakan untuk mengetahui lokasi kelemahan dari otot-otot dasar panggul sebelum melakukan terapi bedah dan sering pula digunakan dalam hal penelitian (Jelovsek et al., 2007 ; Schorge, 2008).

(12)

d. Sistem grading POP-Q

Standarisasi terminologi POP-Q diadaptasi oleh International Continence Society (1995) oleh American Urogynecologic Society dan Society of Gynecologic

Surgeons pada tahun 1996. Bagaimana cara menggunakan POP-Q akan dijelaskan

secara terperinci, di mana klasifikasi prolaps ini mungkin akan meningkat pemakaiannya tidak hanya bagi penelitian tapi juga pada pemakaiannya di klinik.

(Sumber : Jelovsek, 2007)

Gambar 2.1. Standarisasi terminologi untuk prolaps organ pelvis perempuan (klasifikasi POP-Q).

Diagram ini menunjukkan posisi anatomi POP-Q termasuk enam tempat yang meliputi kompartemcn anterior (Aa, Ba), pertengahan (C, D), dan posterior (Ap, Bp) dengan hiatus genitalia (gh), perineal body (pb), dan panjang vagina secara keseluruhan (tvl).

Awalnya, POP-Q mungkin sulit diukur namun dengan pemakaian yang kontinyu POP-Q menjadi mudah dilakukan. POP-Q adalah hasil adaptasi dari sistem Baden dan Walker, mengukur 9 tempat untuk membentuk. sebuah profil vagina. Titik pandangnya adalah himen, dan pengukurannya dalam sentimeter ditentukan dengan ketegangan maksimal. Dipilihnya himen sebagai titik pandang adalah sejak himen ditentukan lebih tepat dipakai dibandingkan introitus.

(13)

Pengukuran dalam sentimeter ke dalam vagina digambarkan dengan nilai negatif, atau jika prolaps meluas ke luar cincin himen, digambarkan dengan bilangan positif.

Gambar 2.2 Tabel POP-Q (Sumber: Jelovsek, 2007)

Dua titik yang berbeda diukur di anterior dan aspek posterior vagina juga pada perineum. Titik pertama pada dinding anterior vagina (titik Aa) adalah 3 cm di sebelah proksimal meatus urethra eksterna dan titik kedua (titik Ba) adalah titik yang mewakili sebagian besar bagian dinding anterior vagina. Demikian pula, pada dinding posterior. Titik Ap adalah 3 cm di sebelah proksimal dari himen posterior dan titik kedua (titik Bp) mewakili sebagian besar dinding posterior vagina. Penurunan serviks (titik C) dan forniks posterior (titik D) diukur dari himen. Jika telah dilakukan histerektomi total, hanya penurunan vaginal cuff yang diukur, Pada perineum, diukur titik tengah jarak antara meatus urethra eksterna dengan himen posterior. ini diistilahkan dengan hiatus genital (gh), dan diukur

(14)

juga titik tengah jarak antara himen posterior dengan anus. Ini yang diistilahkan dengan perineal body (pb). Juga panjang vagina (tvl) yang diukur pada keadaan relaksasi.

Sepuluh tahun setelah perkenalannya, POP-Q hanya digunakan secara rutin oleh 40% uroginekologis, dan belum diadopsi ke dalam literatur standar. POP-Q digunakan sebagai sistem staging pada 13 % artikel pada tahun 1999 dan 28% pada tahun 2002, dengan 54% masih belum menggunakan sistem staging standar.

Kritik-kritik terhadap POP-Q menyebutkan bahwa sistem ini memakan banyak waktu dan sulit untuk dipelajari. Faktanya adalah dokter yang berpengalaman dapat melakukan pengukuran kesembilan poin tersebut dalam waktu kurang dari 3 menit dan sistem tersebut mudah untuk diajarkan dan dipelajari. Karena itu banyak dilakukan penelitian-penelitian untuk mencari sistem baru yang lebih sederhana. Suatu sistem yang dapat digunakan untuk mengukur bagian benjolan pada anterior, tengah dan posterior vagina dan panjang vagina saat ini telah divalidasi namun belum diterima sebagai sistem standar (Bump dan Mattiasson, 1996; Rock et al., 2008; Schorge 2008).

(15)

Tabel 2.3:Stage prolaps organ panggul

Derajat 0 Tidak terlihat adanya prolaps

Derajat I Kriteria untuk stadium 0 tidak ditemukan tapi bagian distal dari prolaps > 1cm di atas level himen

Derajat II Bagian yang paling distal dari prolaps < 1cm di bawah lingkaran hymen

Derajat III Bagian yang paling distal dari prolaps > 1cm di bawah himen, namun kurang dari (TVL– 2) cm

Derajat IV Eversi komplit total panjang traktus genetalia bawah. Bagian distal prolaps uteri menurun sampai (TVL-2) cm

2.2. Ukuran Panggul Perempuan 2.2.1 Pintu atas panggul

Pintu atas panggul merupakan suatu bidang yang dibentuk oleh promontorium korpus vertebra sakral 1, linea innominata (terminalis), dan pinggir atas simfisis. Terdapat 4 diameter pada pintu atas panggul, yaitu diameter anteroposterior, diameter transversa, dan 2 diameter oblik.

Panjang jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium lebih kurang 11 cm, disebut konjugata vera (diameter anteroposterior). Jarak terjauh garis melintang pada pintu atas panggul lebih kurang 12,5-13 cm disebut diameter transversa. Bila ditarik garis dari artikulasio sakro-iliaka ke titik persekutuan antara diameter transversa dan konjugata vera dan diteruskan ke linea innominata, ditemukan diameter yang disebut diameter oblik sepanjang lebih kurang 13 cm.

(16)

(Sumber: Cunningham, 2005)

Gambar 2.3 : Karaktristik panggul

Cara mengukur konjugata vera ialah dengan jari tengah dan telunjuk dimasukkan ke dalam vagina untuk meraba promontorium. Jarak bagian bawah simfisis sampai ke promontarium dikenal sebagai konjugata diagonalis. Secara statistik diketahui bahwa konjugata vera sama dengan konjugata diagonalis dikurangi 1,5 cm. Apabila promontorium dapat diraba, maka konjugata diagonalis dapat diukur, yaitu sepanjang jarak antara ujung jari kita yang meraba sampai ke batas pinggir bawah simfisis. Kalau promontorium tidak teraba, berarti ukuran konjugata diagnonalis lebih panjang dari jarak antara ujung jari kita sampai ke batas pinggir bawah simfisis. Kalau jarak ujung jari kita sampai ke batas pinggir bawah simfisis adalah 13 cm, maka berarti konjugata vera lebih dari 11,5 cm (13 cm - 1,5 cm). Selain kedua konjugata ini, dikenal pula konjugata obstetrika, yaitu jarak dari tengah simfisis bagian dalam ke promontorium. Sebenarnya

(17)

konjugata obstetrika ini yang paling penting, walaupun perbedaannya dengan konjugata vera sedikit sekali.

(Sumber: Cunningham, 2005)

Gambar 2.4 : Jenis konjugata pada panggul

Dalam obstetri dikenal 4 jenis panggul (pembagian (Caldwell Moloy, 1933), yang mempunyai ciri-ciri pintu atas panggul sebagai berikut.

1. Jenis ginekoid : panggul paling baik untuk perempuan. Bentuk pintu atas panggul hampir bulat. Panjang diameter antero-posterior kira-kira sama dengan diameter transversa. Jenis ini ditemukan pada 45% perempuan.

2. Jenis android : bentuk pintu atas panggul hampir segi tiga. Umumnya pria mempunyai jenis seperti ini. Panjang diameter anteriposterior hampir sama dengan diameter transversa, akan tetapi yang terakhir ini jauh lebih mendekati sakrum. Dengan demikian, bagian belakangnya pendek dan gepeng, sedangkan bagian depannya menyempit ke depan. Jenis ini ditemukan pada 15% perempuan.

(18)

3. Jenis antropoid : bentuk atas panggul agak lonjong, seperti telur. Panjang diameter antero-posterior lebih besar daripada diameter transversa. Jenis ini ditemukan pada 35% perempuan.

4. Jenis platipelloid : sebenarnya jenis ini adalah jenis ginekoid yang menyempit pada arah muka belakang. Ukuran melintang jauh lebih besar daripada muka belakang. Jenis ini ditemukan pada 5% perempuan.

(sumber : Cunningham, 2005)

Gambar 2.5 : Jenis-jenis Panggul

Tindak jarang dijumpai kombinasi keempat jenis klasik ini. Di sinilah letak kegunaan pelvimetri radiologik untuk mengetahui jenis, bentuk, dan ukuran-ukuran pelvis secara tepat. Untuk menyebutkan jenis pelvis kombinasi, disebutkan jenis pelvis bagian belakang dahulu kemudian bagian depan. Misalnya, jenis adroid-ginekoid; itu berarti jenis pelvis bagian belakang adalah jenis android dan bagian depan adalah ginekoid. Seperti telah dikemukakan, ruang panggul di bawah pintu atas panggul mcmpunyai ukuran yang paling luas. Di panggul tengah

(19)

terdapat penyempitan; dalam ukuran melintang setinggi kedua spina iskiada. Jarak antara kedua spina ini (distansia interspinarum) normal ± 10 cm atau lebih sedikit. Karena di pintu atas panggul ukuran yang lebar adalah ukuran melintang dan di ruang panggul memiliki ukuran melintang yang sempit (atau ukuran depan-belakang yang lebar), maka janin saat lewat di ruang panggul harus menyesuaikan diri dengan melakukan putaran paksi dalam. Yang penting dari spina iskiadika ini bukan tonjolannya, tetapi jarak antara kedua spina iskiadika (distansia interspinarum) dan apakah spina itu runcing atau tumpul. Walaupun spina iskiadika menonjol, kalau distansia interspimirum 10,5cm atau lebih berarti jarak antarspina iskiadika cukup lebar. Sebaliknya, apabila spina iskiadika tidak menonjol, tetapi distansia interspinarum kurang dari 9 cm berarti jarak interspina sempit. Spina iskiadika yang tumpul lebih baik daripada yang runcing, karena pada spina iskiadika yang tumpul bidang geser yang harus dilewati kepala janin lebih luas daripada spina iskiadika yang runcing. sehingga perlu tenaga yang lebih besar dan waktu yang lebih lama.

2.2.2 Pintu bawah panggul

Seperti telah dijelaskan pintu bawah panggul tidak merupakan suatu bidang datar, tetapi tersusun atas 2 bidang datar yang masing-masing berbentuk segitiga, yaitu bidang yang dibentuk oleh garis antara kedua buah tuber os iskii dengan ujung os sakrum dan segitiga lainnya yang atasnya juga garis antara kedua tuber os iskii dengan bagian bawah simfisis. Pinggir bawah simfisis berbentuk lengkung ke bawah dan merupakan sudut disebut arkus pubis. Dalam keadaan

(20)

normal besarnya sudut ini ± 90°, atau lebih besar sedikit. Bila kurang sekali (lebih kecil) dari 90 , maka kepala janin akan lebih sulit dilahirkan karena memerlukan tempat lebih banyak ke arah dorsal (ke arah anus). Dalam hal ini, perlu diperhatikan apakah ujung os sakrum/os koksigis tidak menonjol ke depan, sehingga kepala janin tidak dapat dilahirkan. Jarak antara kedua tuber os iskii (distansia intertuberum) juga merupakan ukuran pintu bawah panggul yang. penting. Distansia intertuberum diambil dari bagian dalamnya adalah ± 10,5 cm. Bila lebih kecil, jarak antara tengah-tengah distansia tuberum ke ujung sakrum (diameter sagitalis posterior) harus cukup panjang agar bayi normal dapat dilahirkan (Cunningham, 2005)

2.3. Hubungan Ukuran Panggul dengan Prolaps Organ Panggul

Bentuk serta ukuran tulang panggul diduga memiliki peranan sebagai faktor predisposisi dalam terjadinya prolaps organ panggul. Awalnya para ahli berfikir bahwa semakin besar ukuran panggul dan kecenderungan panggul ke arah ginekoid akan menurunkan kejadian POP. Ini didasarkan pada teori bahwa semakin besar dan semakin baik bentuk panggul (ginekoid) akan menyebabkan bayi akan lebih mudah melewati panggul tanpa harus menimbulkan kerusakan yang lebih berat pada otot dasar panggul. Namun pada kenyataannya Sze dkk. melakukan penelitian dan mendapatkan bahwa pada perempuan POP didapatkan ukuran panggul terutama ukuran diameter transversal yang lebih besar dibandingkan dengan perempuan yang lanpa POP (Sze et al., 1999). Hasil yang sama juga, didapatkan oleh Rizk, melalui penelitiannya pada perempuan kulit

(21)

putih di mana Rizk mendapatkan bahwa selain diameter transversal, kejadian POP meningkat pada perempuan yang memiliki diameter interspinosum dan pintu bawah panggul yang lebih (Rizk et al., 2003). Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan teori. Para ahli pun lain mempelajari ketidaksesuaian ini. Ada beberapa teori yang menghubungkan ukuran panggul dengan kejadian POP. Teori tersebut antara lain :

1. Pengaruh dari mekanisme kelahiran terhadap kerusakan otot dasar panggul 2. Teori jembatan gantung

3. Teori besar tekanan

2.3.1 Pengaruh dari mekanisme kelahiran terhadap kerusakan otot dasar panggul

Persalinan pervaginam memang sudah banyak dikenal sebagai faktor predisposisi yang kuat dalam mengakibatkan POP di kemudian hari. Hubungan mekanisme persalinan dengan bentuk dan ukuran panggul pun kini mulai dipelajari. Para ahli berpendapat bahwa bentuk dan ukuran panggul akan mempengaruhi kerusakan neuromuskular dari otot dasar panggul. Teori ini dikemukakan oleh Handa, di mana bentuk-bentuk panggul tertentu seperti bentuk platipeloid yang memiliki ukuran anteroposterior (diameter AP) yang lebih kecil, dimana akan mengakibatkan adanya perpanjangan pada kala 2 persalinan sehingga akan mengakibatkan otot dasar panggul mengalami trauma yang lebih lama. Lamanya kala 2 ini tentu saja menyebabkan kerusakan neuromuskular yang lebih besar. Selain itu Handa juga berpendapat bahwa panggul yang memiliki konjugata obstetrika yang lebih pendek, trauma saat persalinan akan lebih

(22)

difokuskan pada bagian anterior yang akan menyebabkan kerusakan dari otot levator ani, ligamentun sakrouterina dan nervus hipogastrika sepanjang sisi anterior dari tulang panggul (Handa et al., 2003)

Sze et al., mengemukakan dengan teori yang berbeda, di mana ukuran panggul yang lebih besar akan memungkinkan bayi 300 gram lebih besar melewati panggul tersebut. Tentu saja akan memungkinkan juga kerusakan yang lebih besar pada otot dasar panggul. Sze juga berpendapat bahwa panggul yang lebih kecil akan merupakan faktor protektif untuk terjadinya POP (Sze et al., 1999).

2.3.2 Teori jembatan gantung

Struktur antara tulang panggul dengan otot dasar panggul diibaratkan sebagai jembatan gantung di mana struktur-struktur tersebut saling berhubungan satu sama lain. Keseimbangan posisi jembatan sangat tergantung dari yang mengantungnya. Jika satu kawat saja mengalami kelemahan atau regangan yang berlebih maka akan dapat mengganggu keseimbangan, kekuatan, posisi serta fungsi dari jembatan tersebut.

(Sumber : Petros, 2007)

(23)

Senada dengan hal tersebut dimana vagina dan kandung kemih yang dianalogikan sebagai jembatan dipertahankan oleh ligament dan fascia yang dalam hal ini berfungsi seperti kawat penggantung. Jadi dalam hal ini ada 2 hal yang perlu diketahui bahwa segala sesuatu yang merusak ligamen dan fascia seperti persalinan akan mengganggu posisi dari vagina dan kandung kemih sehingga di kemudian hari akan berpotensi mengakibatkan POP. Kemudian yang kedua di mana beberapa ahli berpendapat bahwa ukuran panggul .memegang peranan terhadap POP dalam hal regangan dari fascia olot dasar panggul serta ligament. Semakin besar ukuran panggul maka akan semakin besar juga regangan dari otot dasar panggul, ligament dan fascia sehingga akan akan lebih mudah dan cepat mengalami kelemahan. Terlebih lagi pada rongga panggul yang memiliki bentuk kurang sempurna, dimana peregangan salah satu otot dasar panggul juga akan terganggu yang mengakibatkan vagina tidak pada posisi yang semestinya. Para ahli juga berpendapat bahwa kemungkinan ada ukuran panggul yang ideal sehingga otot dasar panggul akan mengalami peregangan yang sempurna (Petros, 2007).

2.3.3 Teori Besar Tekanan

Teori ini dikemukakan oleh Baragi. Sesuai dengan prisip fisika di mana besarnya tekanan yang dihasilkan dalam hal ini tekanan intra abdomen, merupakan hasil dari tekanan ini dikatikan dengan luasnya area melintang dari otot dasar panggul. Tentu saja ukuran panggul yang lebih besar akan menyebabkan area dasar panggul yang lebih luas pula sehingga tekanan total yang dihasilkan lebih besar. Tekanan total yang besar ini akan terus menekan otot dasar

(24)

panggul yang nantinya akan menyebabkan kelemahan pada otot ini (Baragi et al.,2002).

(25)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir

Prolaps organ panggul ditandai dengan adanya penurunan organ panggul perempuan ke dalam vagina bahkan keluar dari vagina. Penurunan organ panggul ini dikarenakan berbagai interaksi antara lain faktor tulang panggul, jaringan ikat penyokong serta otot-otot dasar panggul. Faktor yang dikatakan memiliki hubungan yang kuat terhadap terjadinya POP adalah kerusakan dari otot dasar panggul yang terjadi saat persalinan. Persalinan merupakan penyebab trauma yang langsung yang mengakibatkan kerusakan dari penyokong organ panggul. Ada juga faktor predisposisi lain seperti usia, faktor pekerjaan, indeks masa tubuh dan jumlah paritas. Keempat faktor ini merupakan faktor penting yang berhubungan dengan POP. Dari beberapa studi yang dilakukan, mendapatkan bahwa ukuran panggul memiliki peranan terhadap kejadian POP. Ini didasarkan karena adanya studi yang menyebutkan bahwa perempuan suku Cina mangalami kejadian POP yang lebih kecil dibandingkan perempuan kulit putih, dimana kedua perempuan tersebut memiliki panggul jenis panggul ginekoid. Mungkin ada perbedaan dimensi panggul secara spesifik berpengaruh terhadap POP. Beberapa ahli mengemukakan teori mengenai ukuran panggul ini antara lain teori pengaruh progresifitas dari kelahiran bayi, teori besarnya tekanan intra abdominal dan teori jembatan gantung.

(26)

3.2. Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep di atas maka dibuatlah hipotesis bahwa : 1. Terdapat hubungan antara ukuran diameter anteroposterior panggul

perempuan suku Bali dengan POP.

2. Terdapat hubungan antara ukuran diameter tranversal panggul perempuan suku Bali dengan POP.

3. Terdapat hubungan antara ukuran diameter interspinosum panggul perempuan suku Bali dengan POP.

4. Terdapat hubungan antara ukuran diameter intertuberum panggul perempuan suku Bali dengan POP.

Ukuran Panggul (x-ray) Diameter Anteroposterior Diameter Tranversal Diameter Interspinosum Diameter Intertuberum

ProlapsOrgan Panggul

Faktor yang mempengaruhi :

 Usia

 Pekerjaan

 BMI

(27)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian adalah studi observasional analitik (cross sectional).

Gambar 4.1 Rancangan penelitian (cross sectional)

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Poliklinik Obstetri dan Ginekologi dan Bagian Radiologi RSUP Sanglah/ Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian mulai bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011

4.3. Penentuan Sumber Data 4.3.1. Populasi target

Perempuan suku Bali mengalami POP dan tanpa POP.

Faktor Risiko a. a. efek (+) b. efek (-) c. efek (+) d. efek (-) 27

(28)

4.3.2 Populasi terjangkau

Perempuan suku Bali mengalami POP dan tanpa POP yang melakukan kontrol di poliklinik Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah Denpasar selama periode September 2010 sampai Juli 2011.

4.3.3 Sampel eligibel

Diambil dari populasi terjangkau di atas yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.4 Kriteria Eligibilitas

Untuk kriteria eligibilitas terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.4.1 Kriteria inklusi :

a. Perempuan suku Bali dengan dan tanpa POP. b. Bersedia ikut dalam penelitian

4.3.4.2 Kriteria eksklusi

a.Perempuan suku Bali yang mengalami riwayat penyakit jaringan ikat seperti sindrom Ehlers-Danlos dan sidrom marfan

b.Perempuan suku Bali yang pernah mengalami riwayat patah tulang panggul c.Perempuan suku Bali dengan defomitas pada tulang panggul

d.Perempuan suku Bali dengan riwayat batuk dan konstipasi kronis

e.Perempuan suku Bali yang memiliki riwayat atau pekerjaan yang berhubungan dengan pengejanan dan pengangkatan beban.

(29)

4.3.5 Perhitungan besar sampel

Untuk menentukan besar sampel minimal berdasarkan rumus Colton

(1974) n 1 = n 2 = 2 2 1 (        X X SD Z Z  Keterangan:

1. n : besar sampel penelitian

2. Z : 1,96 untuk tingkat kemaknaan 0,05 3. Z : 1,282 untuk power 90%

4. SD : 0,65 (Simpang baku dari kepustakaan) 5. X1-X2 : 0,5 (Selisih rerata kedua kelompok)

Berdasarkan rumus di atas, besar sampel penelitian adaiah 16 sampel, jadi keseluruhan diperlukan 32 sampel

4.3.6 Teknik pengambilan sampel

Dari populasi terjangkau diambil sampel penetitian secara consecutive sampling, sehingga diperoleh sampel terpilih, kemudian dilakukan pemeriksaan ukuran panggul.

4.4. Variabel Penelitian 4.4.1 Klasifikasi variabel

Variabel bebas : Ukuran Panggul

Varibel tergantung : Prolaps Organ Panggul. Variabel terkontrol : Usia, pekerjaan, BMI, paritas

(30)

4.4.2 Definisi Operasional variabel

1. Umur Ibu adalah umur yang dihitung dari tanggal lalu atau tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Umur ibu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu umur < 56 tahun, umur antara 57 sampai 64 tahun, dan umur > 65 tahun. 2. Perempuan suku Bali adalah perempuan yang secara garis keturunan berasal

dari Bali baik dari garis keturunan ayah maupun ibu dihitung tiga generasi ke atas.

3. Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan dengan berat > 500 g atau janin sudah viabel. Paritas pada kelompok kasus dan kontrol dianggap sama (matching) apabila jumlahnya sama atau terdapat perbedaan yang tidak lebih dari satu.

4. Pekerjaan adalah seseorang yang memiliki keahlian pada satu bidang tertentu dimana bidang ini tidak berhubungan dengan aktrvitas rutin dalarn hal pengejanan dan pengangkatan beban.

5. Profesional adalah seseorang yang memiliki pekerjaan atau profesi dimana dibutukan suatu keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan yang tidak berhubungan dengan aktivitas rutin dalam hal pengejanan dan pengangkatan beban.

6. Pekerja kantoran adalah perempuan suku Bali yang bekerja di suatu instansi atau kantor dimana pekerjaannya tidak berhubungan dengan aktivitas rutin dalam hal pengejanan dan pengangkatan beban.

7. Ibu rumah tangga adalah perempuan suku Bali yang tidak memiliki pekerjaan di luar rumah dan pekerjaan sehari-harinya hanya berhubungan dengan

(31)

kegiatan kerumah tanggaan, tidak berhubungan dengan aktivitas rutin dalam hal pengejanan dan pengangkatan beban.

8. Ukuran panggul adalah suatu jarak yang terdiri dari diameter anteroposterior, diameter tranversal, diameter interspinosum, diameter intertuberum dan dinyatakan dalam satuan sentimeter (cm).

9. Prolaps Organ Panggul adalah penurunan organ panggul ke dalam vagina bahkan keluar dari vagina yang dinyatakan dalam derajat 0-IV diukur dengan sistem POP-Q.

10. POP derajat 0 adalah tidak ditemukan prolaps organ panggul

11. POP derajat I adalah penurunan organ panggul dengan bagian yang paling distal dari prolaps > 1cm di atas lingkaran hymen.

12. POP derajat II : penurunan organ panggul dengan bagian terendah < 1 cm di bawah lingkaran himen.

13. POP derajat III : penurunan organ panggul dengan bagian terendah > 1 cm di bawah lingkaran himen tetapi kurang dari (TVL-2)cm.

14. POP derajat IV : penurunan organ panggul dengan seluruh dinding vagina terjadi eversi.

15. Diameter Anteroposterior adalah jarak antara promontorium dan tepi atas simphisis pubis yang diukur dcngan x-ray.

16. Diameter Transversal adalah jarak rentangan terjauh dari pintu atas panggul yang diukur dengan x-ray.

17. Diameter Interspinosum adalah jarak antara kedua spina isciadika yang diukur dengan x-ray.

(32)

18. Diameter Intertuberum : Jarak antara kedua tuber isciadika yang diukur dengan x-ray.

19. Body Mass Indes (BMI) merupakan ukuran massa tubuh yang dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan kuadrat (m2). Pada penelitian ini BMI dikelompokkan menjadi tiga,yaitu : < 23 kg/m2, 24 sampai 26 kg/m2, dan > 26 kg/m2

4.5. Instrumen Penelitian  Lembar persetujuan

 Meja ginekologi

 Spekulum vagina

 Lembar penilaian POP-Q

X-ray

 Jangka Sorong

 Alat-alat tulis

4.6. Prosedur Penelitian

Perempuan suku Bali yang memenuhi kriteria inklusi seperti yang disebutkan di atas dijadikan sampel penelitian dan diminta untuk menandatangani formulir Informed consent yang telah disediakan. Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini adalah:

1. Anamnesis yang meliputi usia, status menopause, kebiasaan merokok, pekerjaan, terapi pengganti hormon, BMI, riwayat keluarga, paritas, metode persalinan, jumlah persalinan pervaginam, berat badan lahir bayi yang dilahirkan serta riwayat penyakit.

(33)

2. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan ginekologi dengan menggunakan POP-Q yang akan mengklasifikasikan pasien tersebut mengalami POP atau tidak. 3. Baik pasien POP maupun yang tidak POP yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi selanjutnya dilakukan pemeriksaan x-ray di bagian Radrologi RSUP Sanglah meliputi diameter anteroposterior, diameter transversal, diameter interspinosum dan diameter intertuberum.

(34)

Perempuan suku Bali yang melakukan pemeriksaan di poliklinik

kebidanan RS Sanglah Denpasar

 Anamnesis

 Pemeriksaan fisik umum

 Pemeriksaan Ginekologi (POP-Q)

Kriteria Eksklusi Kriteria Inklusi POP (-) KONTROL POP (+) KASUS Matching :  Usia  Pekerjaan (IRT, Profesional, Pekerja Kantoran)  BMI  Paritas X-RAY Ukuran Panggul Diameter anteroposterior Diameter transversal Diameter interspinosum Diameter intertuberum

ANALISIS DATA

Gambar 4.2 :Alur Penelitian

(35)

4.7 Analisis Data

1. Dilakukan uji normalitas data menggunakan Shapiro Wilk Test. 2. Dilakukan uji homogenitas data menggunakan levene Test.

3. Dilakukan analisis mengenai perbedaan diameter tulang panggul (diameter anteroposterior, transversal, interspinosum, intertuberum) menggunakan uji independent t-test.

4. Dilakukan analisis risiko POP pada diameter panggul yang memiliki perbedaan bermakna menggunakan uji X2 dan rasio prevalen, yang sebelumnya dilakukan penentuan nilai potong (cut-off point) menggunakan kurva Receiver Operating Curve (ROC).

5. Dilakukan analisis korelasi antara diameter panggul yang ditemukan memiliki perbedaan bermakna terhadap kejadian POP menggunakan uji statistik korelasi lambda X2.

Tabel 4.1. Karakteristik Penderita POP dan Tanpa POP

FAKTOR RISIKO PASIEN DENGAN POP (KASUS) N = PASIEN TANPA POP (KONTROL) N = NILAI P Usia < 56 57-64 > 65 Pekerjaan -Profesional -Pekerjaan kantoran -Ibu rumah tangga BMI (kg/m2) < 23 24-26 > 26 Paritas 0 1 2

(36)

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Adapun karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 5.1 dan 5.2.

Tabel 5.1

Distribusi Umur, Paritas, BMI, Pekerjaan, Diameter Anteroposterior, Tranversal, Interspinosum, Intertuberum pada Kelompok Prolaps Organ

Panggul dengan Tanpa POP

Parameter Kelompok P POP (n=16) Rerata (SD) Tanpa-POP (n=16) Rerata (SD) Umur 51,19 (3,75) 52,75 (5,39) 0,35 Paritas 2,38 (0,72) 2,12 (0,72) 0,33 BMI 22,89 (0,67) 22,52 (1,16) 0,28 Pekerjaan Profesional 9 (52,9) 8 (47,1) 0,72 0,36 0,001 0,58 0,016 Ibu rumah tangga

DAP DTR DIS DTB 7 (46,7) 11.41 (0,26) 12,36 (0,26) 11,29 (0,37) 10,32 (0,46) 8 (53,3) 11,34 (0,1) 11,90 (0,18) 11,39 (0,6) 9,88 (0,53)

Pada penelitian cross sectional analitik ini dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene Test, didapatkan data terdistribusi secara homogen. Diperoleh hasil yang berbeda bermakna pada diameter transversal dan intertuberum (p<0,05)

Untuk menentukan risiko terjadinya POP pada diameter transversal dan intertuberum, sebelumnya dilakukan penentuan titik potong atau cut-off point dengan uji Receiving Operator Curve (ROC), dan didapatkan didapatkan nilai titik potong masing-masing sebesar 12,185 dan 10,140.

(37)

5.2 Analisis risiko POP menurut Diameter Tranversal dan Intertuberum

Setelah diperoleh titik potong berdasarkan uji ROC, selanjutnya dilakukan uji X2 untuk mengetahui besar risiko terjadi POP dengan menggunakan titik potong yang didapat.

Tabel 5.2

Risiko Terjadinya POP pada Diameter Transversal Parameter Kategori Kelompok

POP Kelompok Tanpa POP RP 95% CI p DTR ≥ 12,18 12 2 3,85 1,47 – 20,11 0,001 < 12,18 4 14 Tabel 5.3

Risiko Terjadinya POP pada Diameter Intertuberum Parameter Kategori Kelompok

POP Kelompok Tanpa POP RP 95% CI p DTB ≥ 10,14 12 5 2,49 1,12 – 5,53 0,013 < 10,14 4 11

5.3 Analisis Korelasi Diameter Transversal dan Intertuberum dengan Kejadian POP.

Pada analisis ini hendak diketahui apakah terdapat hubungan antara diameter transversal dan diameter intertuberum dengan kejadian POP. Kedua variabel bertipe nominal, sehingga digunakan metode korelasi lambda X2 untuk mengetahui korelasi diantara keduanya.

Tabel 5.4

Korelasi Diameter Transversal dan Intertuberum dengan Kejadian POP

Parameter Nilai Lambda P

Diameter transversal 0,7 0,001

(38)

BAB VI PEMBAHASAN

Prolaps Organ Panggul (POP) memiliki dampak sosial yang cukup luas, sehingga banyak penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisasi terjadinya kerusakan dasar panggul, mencegah morbiditas dan akhirnya meningkatkan kualitas hidup perempuan. Sampai saat ini penelitian yang menghubungkan antara kejadian POP dengan perbedaan ukuran panggul pada perempuan suku Bali belum pernah dilakukan sebelumnya, bahkan studi pendahuluan terhadap bentuk panggul pada perempuan suku Bali pun masih belum ada.

6.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional analitik yang melibatkan sebanyak 32 buah sampel penelitian yang dikelompokkan menjadi enam belas pasien dalam kelompok POP dan enam belas pasien lainnya dalam kelompok tanpa POP.

Distribusi umur dari kelompok POP sampel penelitian diperoleh umur termuda adalah 45 tahun dan umur tertua adalah 58 tahun, dengan rerata umur untuk kelompok POP adalah 51 tahun. Sedangkan pada kelompok tanpa POP diperoleh umur sampel termuda adalah 42 tahun dan tertua adalah 62 tahun, dengan rerata umur untuk kelompok tanpa POP adalah 52 tahun. Pada distribusi paritas untuk kelompok POP diperoleh paritas terkecil adalah satu orang dan terbesar adalah empat orang, dengan rerata paritas untuk kelompok POP adalah

(39)

dua orang. Sedangkan distribusi paritas untuk kelompok tanpa POP diperoleh paritas terkecil adalah satu orang dan terbesar adalah tiga orang, dengan rerata paritas untuk kelompok tanpa POP juga dua orang. Pada distribusi BMI untuk kelompok POP diperoleh BMI terendah adalah 21,6 kg/m2 dan tertinggi adalah 23,8 kg/m2, dengan rerata BMI untuk kelompok POP adalah 22,89 kg/m2. Distribusi BMI untuk kelompok tanpa POP diperoleh BMI terendah adalah 19,8 kg/m2 dan tertinggi adalah 23,8 kg/m2, dengan rerata BMI untuk kelompok tanpa POP adalah 22,52 kg/m2. Distribusi pekerjaan pada kelompok POP diperoleh sebanyak sembilan orang sampel dengan pekerjaan sebagai profesional dan tujuh orang sebagai ibu rumah tangga atau pensiun. Pada kelompok tanpa POP diperoleh sebanyak delapan orang sampel dengan pekerjaan sebagai profesional dan delapan orang lainnya sebagai ibu rumah tangga atau pensiun.

Diperoleh hasil yang berbeda bermakna pada diameter transversal dan intertuberum pada kelompok POP dengan tanpa POP. Penelitian ini memiliki hasil yang sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sze (1999) dimana memperoleh hasil bahwa pada perempuan dengan POP memiliki ukuran tulang panggul transversal yang lebih besar daripada perempuan tanpa POP (12,9 ± 0,7 cm; 12,5 ± 0,6 cm, p<0,006). Namun tiga diameter lainnya, seperti diameter anteroposterior (12,5 ± 1,3; 12,8 ± 1,0 cm), interspinosum (11,5 ± 0,8; 11,2 ± 0,9 cm), dan intertuberosum (10,0 ± 1,0; 9,8 ± 0,8 cm) pada penelitian tersebut memiliki perbedaan yang tidak bermakna. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Sri Wahyuni Maryuni (2011) memperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan diameter intertuberosum antara perempuan POP dengan yang tanpa POP, yaitu

(40)

(10,13 ± 0,83; 9,3 ± 1,01 cm). Namun tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna untuk diameter anteroposterior (11,61 ± 1,16; 11,68 ± 1,04 cm), diameter interspinosum (11,29 ± 1,19; 10,96 ± 0,89 cm), dan diameter transversal (12,30 ± 0,68; 12,16 ± 0,55 cm).

Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada diameter anteroposterior dan interspinosum. Penelitian yang dilakukan Sze dan Sri Wahyuni Maryuni juga tidak mendapatkan perbedaan bermakna pada diameter ini. Mereka berpendapat bahwa mungkin sampel yang digunakan terlalu sedikit, sehingga perlu dilakukan pada jumlah sampel yang lebih besar. Disamping itu pengukuran dengan ct-scan memiliki keakuratan yang lebih rendah dibandingkan MRI, terlebih lagi pada penelitian ini yang hanya menggunakan x-ray. Pengukuran yang hanya dilakukan secara dua dimensi (anterior dan lateral) pada penelitian ini dan sebelumnya diduga menjadi penyebab kurang akuratnya pengukuran yang dilakukan dibandingkan dengan MRI.

Penelitian ini menggunakan perempuan suku Bali sebagai subyek penelitian karena peneliti beranggapan bahwa perempuan Bali memiliki pekerjaan yang lebih berat dibandingkan perempuan suku lain. Aktivitas perempuan Bali seperti tukang angkut barang yang diletakkan di kepalanya, sebagaimana yang sering kita lihat di pasar, belum lagi wanita di pedesaan yang bekerja sebagai tukang angkut bebatuan yang aktivitas ini akan menyebabkan peningkatan dari tekanan intra abdominal yang berujung pada penurunan organ panggul. Terlebih lagi kebudayaan di Bali khususnya umat Hindu yang membuat mereka melakukan aktivitas dengan meletakkan sarana upacara di kepalanya dan aktivitas lainnya

(41)

yang berhubungan dengan upacara, yang mana aktivitas ini berhubungan dengan POP. Namun pada penelitian ini, variabel pekerjaan yang merupakan variabel perancu memiliki sebaran yang homogen sehingga tidak memberikan pengaruh terhadap hasil yang didapat. Peneliti dalam hal ini ingin mencari hubungan antara panggul perempuan suku Bali dengan kejadian POP berhubung belum pernah ada studi mengenai bentuk panggul dan penelitian mengenai hal ini pada perempuan suku Bali.

Beberapa ahli berpendapat bahwa ukuran panggul memegang peranan terhadap POP dalam hal regangan dari fascia otot dasar panggul serta ligament. Semakin besar ukuran panggul maka akan semakin besar juga regangan dari otot dasar panggul, ligament dan fasia sehingga akan akan lebih mudah dan cepat mengalami kelemahan. Terlebih lagi pada rongga panggul yang memiliki bentuk kurang sempurna, dimana peregangan salah satu otot dasar panggul juga akan terganggu yang mengakibatkan vagina tidak pada posisi yang semestinya. Keadaan tersebut diduga disebabkan oleh karena adanya ruang kosong yang lebih besar untuk transmisi tekanan dari intraabdominal (Petros, 2007). Sze et al., mengemukakan dengan teori yang berbeda, di mana ukuran panggul yang lebih besar akan memungkinkan bayi 300 gram lebih besar melewati panggul tersebut. Tentu saja akan memungkinkan juga kerusakan yang lebih besar pada otot dasar panggul. Sze juga berpendapat bahwa panggul yang lebih kecil akan merupakan faktor protektif untuk terjadinya POP (Sze et al., 1999). Teori besar tekanan yang dikemukakan oleh Baragi, teori yang sesuai dengan prisip fisika di mana besarnya tekanan yang dihasilkan dalam hal ini tekanan intra abdomen, merupakan hasil

(42)

dari tekanan ini dikatikan dengan luasnya area melintang dari otot dasar panggul. Tentu saja ukuran panggul yang lebih besar akan menyebabkan area dasar panggul yang lebih luas pula sehingga tekanan total yang dihasilkan lebih besar. Tekanan total yang besar ini akan terus menekan otot dasar panggul yang nantinya akan menyebabkan kelemahan pada otot ini (Baragi et al.,2002).

Senada dengan hal tersebut, menurut teori jembatan gantung yamg disampaikan oleh Petros, dimana vagina dan kandung kemih yang dianalogikan sebagai jembatan dipertahankan oleh ligament dan fascia yang dalam hal ini berfungsi seperti kawat penggantung. Jadi dalam hal ini ada 2 hal yang perlu diketahui bahwa segala sesuatu yang merusak ligamen dan fascia seperti persalinan akan mengganggu posisi dari vagina dan kandung kemih sehingga di kemudian hari akan berpotensi mengakibatkan POP. Kemudian yang kedua, ukuran panggul memegang peranan terhadap POP dalam hal regangan dari fascia olot dasar panggul serta ligament. Semakin besar ukuran panggul maka akan semakin besar juga regangan dari otot dasar panggul, ligament dan fascia sehingga akan akan lebih mudah dan cepat mengalami kelemahan. Terlebih lagi pada rongga panggul yang memiliki bentuk kurang sempurna, dimana peregangan salah satu otot dasar panggul juga akan terganggu yang mengakibatkan vagina tidak pada posisi yang semestinya. Para ahli juga berpendapat bahwa kemungkinan ada ukuran panggul yang ideal sehingga otot dasar panggul akan mengalami peregangan yang sempurna (Petros, 2007).

Secara umum dapat dilihat bahwa hampir sebagian besar diameter dari ukuran panggul pada penelitian ini lebih kecil dari penelitian yang dilakukan oleh

(43)

Sze. Namun memiliki ukuran panggul yang hampir mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh Sri Wahyuni Maryuni. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena adanya perbedaan ras pada sampel penelitian yang dilakukan oleh Sze, dimana Sze dan kawan-kawan melakukan penelitian di antara kulit putih sedangkan penelitian Sri Wahyuni Maryuni dilakukan pada orang Asia dan penelitian ini dilakukan secara khusus terhadap perempuan suku Bali (Maryuni, 2011).

6.2 Analisis risiko POP Menurut Diameter Transversal dan Intertuberum

Berdasarkan uji statistik diperoleh hasil pada subjek yang memiliki diameter transversal lebih dari 12,185 cm memiliki risiko 3,85 kali lebih besar untuk mengalami POP dan subjek yang memiliki diameter intertuberum lebih dari 10,140 cm memiliki risiko 2,49 kali lebih besar untuk mengalami POP.

Penelitian yang dilakukan oleh Sze (1999) dan Sri Wahyuni Maryuni (2011) hanya berusaha menilai ada tidaknya perbedaan ukuran diameter panggul terhadap risiko terjadinya POP, namun tidak dilakukan penelitian lanjutan yang berusaha untuk mencari berapa ukuran cut-off point untuk terjadinya POP dan berapa besar risiko terjadinya POP tersebut pada populasi sampel. Sampai saat ini belum ada penelitian lainnya juga yang berusaha menilai berapa risiko terjadinya POP terkait dengan diameter ukuran panggul, baik anteroposterior, transversal, intertuberum, dan interspinosum seperti halnya yang disampaikan dalam penelitian ini.

6.3 Analisis Korelasi Diameter Intertuberum dan Diameter Transversal dengan Kejadian POP.

Pada analisis sebelumnya, diameter intertuberum dan diameter transversal diketahui meningkatkan risiko kejadian POP pada perempuan suku Bali secara

(44)

bermakna. Pada analisis lebih lanjut, hendak diketahui apakah terdapat hubungan antara kedua jenis diameter panggul tersebut dengan kejadian POP. Hasil analisis menunjukkan bahwa diameter intertuberum memiliki hubungan parsial lemah dengan kejadian POP dan tidak bermakna secara statistik. Sedangkan diameter transversal memiliki hubungan parsial kuat dengan kejadian POP dan bermakna secara statistik.

Berdasarkan hasil uji statistik, hubungan antara diameter intertuberum dan kejadian POP memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan hubungan antara diameter transversal dan kejadian POP. Disamping itu, hubungan antara diameter intertuberum dan kejadian POP tidak bermakna secara statistik. Hal tersebut sejalan dengan analisis risiko POP berdasarkan kategori diameter transversal dan intertuberum yang telah dilakukan sebelumnya, yakni diameter transversal diketahui memiliki peningkatan risiko lebih tinggi dibandingkan dengan diameter intertuberum terhadap kejadian POP.

Walaupun dengan menggunakan uji statistik korelasi Lambda, arah hubungan antara kedua variabel tidak dapat diprediksi, namun hal tersebut tidak menjadi hambatan yang berarti. Hal ini disebabkan karena analisis sebelumnya telah menunjukkan linearitas antara diameter transversal dan intertuberum terhadap kejadian POP.

6.5 Kelemahan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional analitik yang melibatkan 32 buah sampel penelitian yang dikelompokkan menjadi enam belas pasien dalam kelompok POP dan enam belas pasien lainnya dalam kelompok

(45)

tanpa POP. Keterbatasan dalam jumlah sampel penelitian dimana hanya melibatkan enam belas sampel untuk masing-masing kelompok dan teknik sampling yang hanya menggunakan metode konsekutif saja, tentunya memiliki keterbatasan di dalam melakukan generalisasi sampel ke populasi perempuan Bali pada umumnya.

Kemudian dilakukan pemeriksaan x-ray di bagian Radiologi RSUP Sanglah untuk menilai diameter anteroposterior, diameter transversal, diameter interspinosum dan diameter intertuberum dengan menggunakan alat ukur manual berupa jangka sorong. Pengukuran dengan menggunakan alat ukur jangka sorong yang merupakan alat ukur manual, dengan akurasi dua angka dibelakang koma, tentunya memiliki keterbatasan dalam hal menentukan akurasi untuk masing-masing ukuran diameter. Sedangkan pada beberapa penelitian pendahuluan lainnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Sze (1999) dan Sri Wahyuni Suryani (2011) dimana melakukan pengukuran diameter tulang panggul secara digital dengan menggunakan alat Computed Tomography (CT) scan pelvimetri yang tentunya memiliki akurasi ukuran yang jauh lebih sahih. Keterbatasan ini disebabkan oleh karena penelitian ini merupakan suatu penelitian baru atau pendahuluan pada perempuan suku Bali yang menghubungkan antara ukuran diameter panggul terhadap risiko terjadinya POP, sehingga peneliti cenderung menggunakan metode pengukuran yang paling sederhana baik dalam hal pembiayaan dan teknik pengerjaannya.

(46)

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan latar belakang masalah, landasan teori, serta penelitian dan pembahasan mengenai permasalahan yang dikaji, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Diameter anteroposterior dan interspinosum tidak terbukti memiliki perbedaan yang bermakna dengan kejadian POP.

2. Diameter transversal dan intertuberum memiliki perbedaan yang bermakna dengan kejadian POP, dimana terdapat peningkatan risiko kejadian POP masing-masing sebesar 3,85 (95% CI 1,47 – 20,11; p 0,001) dan 2,49 (95% CI 1,12 – 5,53; p 0,013).

3. Diameter transversal memiliki hubungan parsial kuat dengan kejadian POP secara signifikan (nilai Lambda 0,7; nilai p 0,001).

4. Diameter intertuberum memiliki hubungan parsial lemah dengan kejadian POP (nilai Lambda 0,4; nilai p 0,075).

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, terdapat beberapa rekomendasi yang diajukan oleh penulis, yakni:

1. Diameter transversal dan intertuberum dapat dievaluasi secara rutin dalam praktik klinis sebagai faktor prediktor kejadian POP.

(47)

2. Diperlukan studi diagnostik yang mengkaji penggunaan berbagai diameter tulang panggul sebagai parameter diagnosis POP.

3. Diperlukan analisis data dan penelitian lain yang lebih mendalam mengenai efek sinergis antara diameter transversal dan intertuberum yang lebar dengan kejadian POP.

4. Para klinisi hendaknya lebih memperhatikan lebarnya diameter transversal dibandingkan diameter intertuberum dalam memprediksi dan mengendalikan faktor risiko POP, mengingat profil risiko diameter transversal yang lebih tinggi dibandingkan dengan diameter intertuberum terhadap kejadian POP.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Baragi, R, V. DeLancey, J. I, Caspars, R. Howard, I. Ashton-Miller, J. A. 2002, “Differences in Pelvic Floor Area Between African American and European Women”. Am J Obstet Gynecol, 187: 111-5.

Bump, R. C. Mattiason, A. 1996. Standaritation of Terminology Pelvic Organ Prolapse and Pelvic Floor Disfunction, Am J Obstet Gynecol, 175 : 13.

Carley, M, E. Schaffer. J. 2000. Urinary Incontinence and Pelvic Organ Prolapse in Women With Marfan or Ehlers-Danlos Syndrome. Am J Obstet Gynecol, 182 : 1021-3.

Chiaff arino, F. Chalenoud, L. Dindelli, M, et al 1999 Reproductive Factors, Family History, Occupation and Risk of Urogenital Prolapse. Ear J Obstet Gynecol Reprod Biol, 82 : 63-67.

Colton, T. 1974. Statistic In Medicine. Boston. Little Brown and Company.

Cunningham, F. G. 2005. Pelvic Anatomy. In : Cunningham, Leveno, K, J. Bloom, S. L. Hauth, J. C. Gilstrap, L. C. Wenstrom. K. D. Editors. Williams Obstetrics. 22nd Ed. McGraw-Hill Companies, p. 55-6.5.

Handa, V. L. Pannu, M. K. Siddique, S. Gutman, R. Ruoyen, J. Cundiff, G. 2003. Architectural Differences in the Bony Pelvis of Women With and Without Pelvic Floor Disorders. Am J Obstet Gynecol, 102 : 1283-90.

Hendrix, S. L, Glark, A. Nygard, I. Aragaki, A. 2002. Pelvic Organ Prolapse in the Women’s Health Initiative: Gravity and Gravidity. Am J Obstet Gynecol, 186 : 1160-66.

Jelovsek, J. E. Maher, C. Barber, M. D. 2007. Pelvic Organ Prolapse. Lancet, 369-027-38.

Junizaf. 2002. Anatomi Penyokong Alat Genital, in : Junizaf, editor. Uroginekologi. Jakarta : FKUI / RSCM, hal. 1-5.

Junizaf. 2002. Prolapsus Alat Genitalia. in: Junizaf. editor. Uroginekologi. Jakarta: FKUI / RSCM, hal. 70-76.

Kim, C. M. Jeon, M. J. Chung, D. J. Bai, S. W. 2007. Risk Factors for Pelvic Organ Prolapsed. International Journal of Gynecology and Obstetries, 98; 248-251.

Larsson, C. Kallen, K. Andolf, E. 2009. Cesarean Section and Risk of Pelvic Organ Prolapse: a Nested Case-Control Study. Am J Obstet Gynecol, 200 : 243 el-243e4.

(49)

Maryuni, S.W. 2011. Pencitraan CT Scan Pada Perempuan Prolaps dan Non Prolaps. Naskah Pertemuan Ilmiah Tahunan IV (PIT IV) HUGI. Riau 12-14 April Megaputra, G. 2010. Laporan Kegiatan Trainee Uroginekologi dan Rekontruksi. Moalli, P. A. Jones, I. S. Meyn, L. A. Zyezynski, I. M. 2003. Risk Factors Associated With Pelvic Floor Disorders In Women Undergoing Surgical Repair. Am J Obstet Gynecol, 101 : 869-74.

Nguyen, J. K. Lind, L. R. Choe, J. Y. McKindsey, F. Sinow, R. Bhatia, N.N. 2000. Lumbosacral Spine and Pelvic Inlet Changes Associated With Pelvic Organ Prolapsed. Am J Obstet Gynecol, 95 : 332- 36.

Petros, P. 2007. The Integral Theory- A New Perspective. In : Petros, P. editor. The Female Pelvis Floor. Second edition. Germany : Sturtz GmbH, Wurzburg. p. 1-8.

Rizk, D. E. E. Czechowski, J. Ekelund, L. 2003. Dynamic Assessment of Pelvic Floor and Bony Pelvis Morphologic Condition with the Use of Magnetic Resonance Imaging in a Multiethnic, Nulliparous, and Healthy Female Population. Am J Obstet Gynecol, 191 : 83-9.

Rock, J. A. Jones, H. W. 2008. Pelvic Organ Prolaps In : Operative Gynecology. 10th Ed. Lippincott Williams & Wilkins p. 854-871.

Schorge. 2008. Anatomi. In : Schorge. Schaffer. Halvorson. Hofman. Bradshaw. Cunningham, editors. Williams Gynecology 1st. Ed. McGraw-Hill Companies, p. 773-802.

Stein, T. A. Kaur, G. Summers, A. Larson. K. A. Delancey J. O. L. 2009. Comparison of Bony Dimensions at the Level of the Pelvic floor in Women with and without Pelvic Organ Prolapse. Am J Obstet Gynecol, 200 : 241.el-241e5. Swift, S. Woodman, P. O. Boyle, A. et al., 2005 “Pelvic Organ Support Study (POSST): The Distribution, Clinical Definition, and Epidemiologic Condition of Pelvic Organ Support Defects” Am J Obstet Gynecol, 192, pp.795-806.

Sze, E.H. Gordon, B. Sherard. Dolezal, J. M. 2002. Pregnancy, Labor, Delivery, and Pelvic Organ Prolapse. Am J Obstet Gynecol.

Sze, E. H. Kohli, N. John, R. Mikios. Roat, T. 1999. Computed Tomography Comparison of Bony Pelvis Dimensions Between Women With and Without Genital Prolapse. Am J Obstet Gynecol, 93 : 229-232.

(50)

Lampiran 1

Informed Consent Penelitian

HUBUNGAN ANTARA PROLAPS ORGAN PANGGUL DENGAN UKURAN PANGGUL PEREMPUAN SUKU BALI

Ibu - ibu yang terhormat,

Prolaps organ panggul (POP) merupakan penurunan dari organ panggul atau organ genetalia akibat kurang berfungsinya sistem penyokong organ tersebut, Banyak faktor yang diduga sebagai predisposisi terjadinya POP ini. Dari beberapa penelitian menunjukkan angka kejadian yang cukup tinggi berkisar antara 43-6%. POP ini meningkat seiring bertambahnya usia harapan hidup. Pembedahan pun tidak jarang menjadi pilihan. Penelitian atau literatur mengenai hubungan POP dengan kerusakan jaringan ikat penyokong telah banyak tersedia. Namum hubungan antara POP dengan tulang panggul masih sangat terbatas. Oleh karena itu kami mencoba melakukan penelitian ini di RS Sanglah Denpasar dengan maksud membuktikan teori yang ada mengenai peranan ukuran panggul terhadap terjadinya prolaps organ panggul.

Bila penderita / keluarga telah menyetujui untuk mengikuti penelitian ini, akan dilakukan pemeriksaan x-ray dilakukan oleh dokter peneliti bekerja sama dengan dokter spesialis Radiologi. Segala biaya pemeriksaan ini kami tanggung. Data tentang ukuran panggul ini akan kami analisa. Dengan ikut menjadi sampel penelitian ini berarti ibu ikut berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam rangka menurunkan angka kesakitan akibat prolaps organ panggul.

Demikian kami sampaikan penjelasan ini dan atas kesediaan ibu berpartisipasi dalam penelitian ini, saya tak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Seandainya ada yang belum jelas dan ada yang ingin ditanyakan silakan hubungi kami langsung atau lewat telp, (0361) 7977487 atau 08 1236297575.

Hormat kami,

Dr. Kadek Fajar Marta Peneliti

(51)

Lampiran 2

FORMULIR PERNYATAAN PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITFAN

Yang bertandatangan di bawah ini : 1. Nama Responden : Umur : Alamat : 2. Nama Suami/Wali : Umur : Alamat :

Setelah mendapatkan penjelasan tentang maksud, tujuan, dan manfaat dari penelitian dengan judul:

HUBUNGAN ANTARA PROLAPS ORGAN PANGGUL DENGAN UKURAN PANGGUL PEREMPUAN SUKU BALI

Menyatakan bersedia ikut serta sebagai sampel/korespondcn dalam penelitian dan mengikuti prosedur penelitian seperti yang telah disampaikan diatas.

Denpasar, Saksi, (____________) Responden, (____________) Suami, (____________) Peneliti,

(52)

Lampiran 3

FORMULIR PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA PROLAPS ORGAN PANGGUL DENGAN UKURAN PANGGUL PEREMPUAN SUKU BALI

IDENTITAS PASIEN 1. No. Register : ... 2. No. Sampel : ... 3. Nama : ... 4. Umur : ... 5. Pendidikan : ... 6. Alamat : ... 7. Pekerjaan : ... ANAMNESIS/PEMERIKSAAN FISIK Usia : ... BMI : ... Paritas : ... Pekerjaan : ... HASIL PEMERIKSAAN Diagnosis : ... Ukuran diameter anteroposterior : ... Ukuran diameter transversa : ... Ukuran diameter interpinosum : ... Ukuran diameter intertuberum : ...

(53)

Lampiran 4

ANGGARAN BIAYA PENELITIAN

No. Pengeluaran Biaya

1 X-ray panggul 32 x Rp. 100.000 Rp. 3.200.000 2 Biaya lain Rp. 1.000.000 Total Rp. 4.200.000

(54)

Lampiran 5

DATA PENELITIAN (KASUS)

No. Nama Umur Paritas BMI Ukuran

D_AP Ukuran D_TR Ukuran D_IS Ukuran D_TB 1 Wayan Armini 53 3 23.31 11.62 12.15 11.67 10.85 2 Nyoman Kalis 55 2 23.80 11.23 12.65 11.23 10.20 3 Made Rinah 52 2 23.21 11.05 12.47 10.72 10.76 4 Jero Md. Kantor 49 4 22.41 12.10 11.93 11.45 10.87 5 Made Kami 51 3 22.60 11.38 11.88 11.13 10.45 6 Wayan Sukarni 48 2 23.80 11.48 12.02 11.91 10.42 7 Nyoman Budiani 49 2 22.40 11.50 12.24 10.32 9.82 8 Ni Made Dahlia 50 3 22.71 11.63 12.57 11.38 10.73 9 A.A Rini Wedan 58 3 23.51 11.56 12.65 11.10 9.87 10 Suparnawati 57 2 23.51 11.58 12.32 11.28 10.98 11 IGA Putri Adnyani 55 1 21.60 11.40 12.22 11.30 10.30 12 Wayan Ngaskari 48 2 22.21 11.31 12.38 11.38 10.28 13 IGA Rinten 46 2 22.70 11.19 12.63 11.48 9.47 14 DA Darmawati 45 3 21.91 11.23 12.58 11.57 10.31 15 Nyoman Poni 51 2 23.41 11.20 12.63 11.32 9.57 16 Ketut Mujiani 52 2 23.20 11.11 12.48 11.41 10.31

Gambar

Tabel 2.1 : Faktor risiko prolaps organ panggul
Tabel 2.2 :Gejala klinis perempuan dengan POP  Vagina
Gambar 2.1. Standarisasi terminologi untuk prolaps organ pelvis perempuan  (klasifikasi POP-Q)
Gambar 2.2 Tabel POP-Q (Sumber: Jelovsek, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Cara RS ...melindungi pasien &amp; keluarganya dari kekerasan fisik terutama pada pasien yang tidak mampu melindungi dirinya seperti bayi, anak – anak, manula,

Dengan selesainya Tugas Akhir ini, penulis berharap semoga Tugas Akhir ini dapat menjadi bahan bacaan serta bahan tambahan pustaka, khususnya di Fakultas Teknik Universitas

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara persepsi karyawan terhadap kompensasi dengan motivasi

Nilai kalor yang terdapat dalam briket yang dihasilkan lebih baik (nilai kalornya lebih besar) apabila dibandingkan dengan briket sekam padi yang dihasilkan oleh

Dalam Pasal 479 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menentukan bahwa “Penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang cukup

4) Jemur balon/bola yang di bungkus koran di terik matahari Urutan langkah membuat miniatur planet yang tepat adalah ... Perhatikan pernyataan berikut !.. 1) Bola basket boleh

Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menerapkan sistem informasi akuntansi perhitungan bunga pinjaman pada Direktorat Polisi Perairan Belawan - Sumut, agar proses