– –
LIMBAH DETERJEN
SKRIPSI
PUJI LESTARI
PROGRAM STUDI S-1 KIMIA DEPARTEMEN KIMIA
PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI MEMBRAN KOMPOSIT KITOSAN – SELULOSA DIASETAT – TiO2 UNTUK PENGOLAHAN
LIMBAH DETERJEN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Bidang Kimia Pada Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga Surabaya
Oleh:
PUJI LESTARI NIM 080810106
Tanggal Lulus:
18 Juli 2012
Disetujui oleh :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Siti Wafiroh, S.Si, M.Si. Harsasi Setyawati, S.Si, M.Si.
– –
LIMBAH DETERJEN
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Bidang Kimia Pada Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga Surabaya
Oleh:
PUJI LESTARI NIM 080810106
Tanggal Lulus:
18 Juli 2012
Disetujui oleh :
Pembimbing I, Pembimbing II,
Siti Wafiroh, S.Si, M.Si. Harsasi Setyawati, S.Si, M.Si.
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI
Skripsi ini tidak dipublikasikan, namun tersedia di perpustakaan dalam
lingkungan Universitas Airlangga. Diperkenankan untuk dipakai sebagai referensi
perpustakaan, tetapi pengutipan seijin penulis dan harus menyebutkan sumbernya
sesuai kebiasaan ilmiah.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pembuatan dan
Karakterisasi Membran Komposit Kitosan – Selulosa Diasetat - TiO2 untuk
Pengolahan Limbah Deterjen dengan tepat waktu. Sholawat serta salam semoga
tercurahkan kepada Rasulallah Muhammad SAW yang memberi tauladan bagi
manusia.
Penyusun menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak, untuk itu penyusun menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ibu Siti Wafiroh, S.Si, M.Si. selaku pembimbing I dan Ibu Harsasi
Setyawati, S.Si, M.Si. selaku pembimbing II yang telah memberikan
semangat, saran, motivasi, doa dan bimbingan sampai terselesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Drs. Handoko Darmokoesoemo, DEA selaku Dosen Wali yang
membimbing serta memberikan banyak saran.
3. Ibu Dr. Alfinda Novi Kristanti, DEA selaku Ketua Departemen Kimia
yang senantiasa memberikan dukungan.
4. Ibu Dra. Usreg Sri Handajani, M.Si dan Dr. Sri Sumarsih, M.Si selaku
dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan dukungan.
5. Seluruh keluarga besar Departemen Kimia, Fakultas Sains dan
6. Ibu Hj. Saemah dan bapak selaku orang tua, Mas Siswanto dan Mas
Agus Salim tercinta yang memberikan kasih sayang, motivasi, do’a,
kepercayaan, dan dukungan baik secara moril maupun materi serta
Mbak Titin yang telah melahirkan jagoan saya Enrico.
7. Teman – teman laboratorium Kimia Fisik: Laras, Della dan teman-
teman KB: sari, ryan, anggi, ayu, nadya, aci, yan polan, jemmy, mbak
ita S, Farm yang telah memberi dukungan dan semangat
8. Mas Kasanul Karim yang telah meluangkan banyak waktu, perhatian
dan tenaga lemburnya.
9. Teman – teman angkatan 2008 yang senantiasa menemani dalam
menuntut ilmu dan adik – adik angkatan 2009, 2010, dan 2011 yang
telah memberikan banyak dukungan.
10.Serta pihak – pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
banyak memberikan saran, masukan dan pengalamannya.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan skripsi ini selanjutnya. Penyusun berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengolahan
limbah deterjen.
Surabaya, Juli 2012
Ku persembahkan kemenangan ini untuk:
Ibunda tercinta, Ibu Hj. Saemah yang telah menjadi orangtua yang sangat sempurna, bekerja dan mengajarkan perjuangan seorang perempuan, yang tiada kenal lelah tiap malam bersujud memohonkan yang terbaik untuk
anak paling bungsunya ini.
Mas Siswanto, sebagai anak pria sulung yang menggantikan posisi Bapak dalam mendidik pribadi dan membiayai pendidikan saya walaupun jauh
dimata
Mas Agus Salim, sebagai anak ke-2 yang selalu menjaga, melindungi dan membantu membiayai pendidikan adeknya sekuat tenaga walaupun
sekarang jauh diseberang pulau.
Sahabat ku Arif Nurul Hidayanti yang telah mengajarkan arti perjuangan walaupun telah terlebih dulu dipanggil Allah SWT.
Lestari, Puji., 2012. Pembuatan dan Karakterisasi Membran Komposit Kitosan – Selulosa Diasetat – TiO2 untuk Pengolahan Limbah Deterjen,
Skripsi di bawah bimbingan Siti Wafiroh, S.Si, M.Si. dan Harsasi Setyawati S.Si, M.Si., Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga.
ABSTRAK
Teknologi membran telah berkembang dengan pesat dan memiliki berbagai keunggulan baik secara tehnik maupun ekonomi sehingga sering kali digunakan dalam proses pemisahan maupun pemurnian. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui pembuatan, karakterisasi dan pengaruh penambahan TiO2 pada
membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2. Sintesis kitosan dari
cangkang rajungan dilakukan melalui tahap deproteinasi, demineralisasi, depigmentasi dan deasetilasi. Sintesis selulosa diasetat dari batang pisang kepok
dilakukan melalui tahap pembuatan pulp, bleaching dan asetilasi. Pencetakan
membran dilakukan dengan metode inversi fasa dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat 2%; 4%; 6%; 8%; 10%. Membran dengan sifat mekanik optimal pada variasi selulosa diasetat 4% dibuat membran komposit dengan variasi
konsentrasi TiO2 0,1; 0,15%; 0,20; 0,25%; 0,30%. Membran komposit kitosan –
selulosa diasetat – TiO2 yang dihasilkan dikarakterisasi dengan pengukuran
ketebalan, kinerja, sifat mekanik, morfologi dan diaplikasikan untuk pengolahan limbah deterjen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi selulosa diasetat, semakin banyak pori membran sehingga fluks meningkat dan
semakin besar konsentrasi TiO2 yang digunakan maka semakin besar sifat
mekanik dan rejeksi membran. Membran variasi TiO2 yang optimal dengan
konsentrasi kitosan 3%, selulosa diasetat 4%, dan TiO2 0,3% mempunyai
karakteristik ketebalan 0,01 mm, fluks 1099,95 L/m2.hari, rejeksi 97,70%, s
tress
0,0225 kN/mm2, strain 0,0576 dan Modulus Young 0,3906 kN/mm2 dan dapat
diaplikasikan untuk pengolahan limbah deterjen dengan fluks 832,93 L/m2.hari
dan rejeksi 95,39%.
Membrane of Chitosan-Cellulose Diacetate-TiO2 for Waste Detergent
Treatment, This script under guidance Siti Wafiroh, S.Si., M.Si, and Harsasi Setyawati, S.Si., M.Si., Department of Chemistry, Faculty of Science and technology, Universitas Airlangga.
ABSTRACT
Membrane technology has grown rapidly and has many advantages both technically and economically so often used in separation and purification process. The purpose of this research was to determine the production, characterization and
the effect variation of TiO2 on composite membranes of chitosan - cellulose
diacetate - TiO2. Synthesis chitosan from small crab shell use deproteination,
demineralization, depigmentation and deacetylation stage. Synthesis cellulose diacetate from banana kepok use phase pulping, bleaching and acetylation. Printing membrane use phase inversion method by varying the concentration of cellulose diacetate 2%, 4%, 6%, 8%, 10%. Membranes with optimal mechanical properties of cellulose diacetate in the variation of 4% is made to composite
membranes with concentration variation of TiO2, 0.1% 0.15%, 0.20%, 0.25%,
0.30%. Composite membrane of chitosan - cellulose diacetate - TiO2 produced
was characterized by thickness, performance, mechanical, morphology and applied to waste detergent treatment. The results showed that the increasing of concentration of cellulose diacetate make more the porous membrane so the flux
increases and the greater the concentration of TiO2 is used the more mechanical
and properties of the membrane. Variation of the optimal TiO2 membrane with
concentration of chitosan 3%, cellulose diacetate 4% and TiO2 0.3% have
characteristic of a thickness of 0.01 mm, flux 1099.95 L/m2.day, rejection
97.70%, stress 0.0225 kN/mm2, strain 0.3906 and Modulus Young 0.0576
kN/mm2 and can be applied to waste detergent treatment process with flux 832.93
L/m2.day and rejection 95.39%.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERNYATAAN... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
1.1 Latar Belakang Permasalahan ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Rajungan ... 7
2.2 Kitin ... 7
2.3. Kitosan ... 9
2.4 Pembuatan Kitosan. ... 11
2.5 Karakterisasi Kitin dan Kitosan ... 13
2.6 Pisang Kepok... 15
2.7 Selulosa ... 17
2.8 Selulosa Diasetat ... 19
2.9 Membran ... 20
2.10Karakterisasi Membran ... 21
2.11 TiO2... 23
2.12Deterjen ... 26
2.13Natrium Lauryl Sulfat (NaLS) ... 28
3.3 Diagram Alir Penelitian ... 30
3.4 Prosedur Penelitian. ... 31
3.4.1 Pembuatan larutan pereaksi ... 31
3.4.2 Isolasi kitin dan pembuatan kitosan... 34
3.4.3 Karakterisasi kitin dan kitosan ... 35
3.4.4 Pembuatan selulosa diasetat ... 36
3.4.5 Karakterisasi selulosa diasetat ... 38
3.4.6 Pembuatan membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2 ... 39
3.4.7 Karakterisasi membran kitosan dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat ... 40
3.4.7.1 Pengukuran ketebalan membran kitosan dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat ... 40
3.4.7.2 Penentuan sifat mekanik membran kitosan dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat ... 40
3.4.8 Karakterisasi membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2 ... 41
3.4.8.1 Pengukuran ketebalan membran komposit kitosan - selulosa diasetat – TiO2... 41
3.4.8.2 Penentuan kinerja (permeabilitas dan perselektivitas) membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2 ... 41
3.4.8.3 Penentuan sifat mekanik membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2 ... 42
3.4.8.4 Uji Fourier transform Infra Red (FT-IR) pada membran... 42
3.4.8.5 Uji morfologi membran dengan SEM... 42
3.4.9 Penentuan panjang gelombang maksimum NaLS dengan metode MBAS (Metylen Blue Active Substances) ... 43
3.4.10Pembuatan kurva standar NaLS ... 43
3.4.11Pengolahan limbah deterjen dengan membran komposit kitosan – selulosa diasetat- TiO2 ... 44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45
4.1Hasil Isolasi Kitin dan Pembuatan Kitosan ... 45
4.2Hasil Karakterisasi Kitin dan Kitosan ... 47
4.5Hasil Pembuatan Membran Komposit Kitosan – Selulosa
Diasetat – TiO2 ... 56
4.6Hasil karakterisasi Membran Kitosan – Selulosa Diasetat dengan
variasi Konsentrasi Selulosa Diasetat ... 58
4.6.1 Hasil pengukuran ketebalan membran kitosan dengan
variasikonsentrasi selulosa diasetat ... 58
4.6.2 Hasil penentuan sifat mekanik membran kitosan – selulosa
diasetat dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat... 59
4.7 Hasil Karakterisasi Membran Komposit Kitosan – Selulosa
Diasetat – TiO2 ... 60
4.7.1 Hasil pengukuran ketebalan membran komposit kitosan -
selulosa diasetat – TiO2 ... 60
4.7.2 Hasil kinerja (permeabilitas dan perselektivitas) membran
komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2 ... 61
4.7.3 Hasil penentuan sifat mekanik membran komposit kitosan –
selulosa diasetat – TiO2 ... 64
4.7.4 Hasil uji Fourier transform Infra Red (FT-IR) pada
membran ... 66
4.7.5 Hasil morfologi membran dengan SEM ... 68
4.8 Hasil Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Larutan NaLS
dengan Metode MBAS ... 69
4.9 Hasil Penentuan Kurva Standar NaLS ... 71
4.10 Hasil Pengolahan Limbah Deterjen ... 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan... 74
5.2 Saran ... 75
Tabel Judul Halaman
2.1 Sumber kitin dari berbagai jenis hewan....………. 8
2.2 Berbagai kandungan selulosa dalam tanaman... 18
2.3 Perbandingan sifat TiO2 jenis rutile dan anatase ………….. 25
4.1 Analisis gugus fungsi kitin ……... 48
4.2 Analisis gugus fungsi kitosan ………... 49
4.3 Analisis gugus fungsi selulosa ...…...……… 54
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1 Struktur kitin……….………. 8
2.2 Struktur kitosan……….…... 9
2.3 Reaksi pembentukan kitosan…………...……....…... 13
2.4 Susunan serat, fibril dan selulosa ………... 17
2.5 Struktur selulosa………..……….……….. 18
2.6 Struktur selulosa diasetat... 19
2.7 Struktur kristal TiO2………...………... 24
2.8 Sistem kristal titanium dioksida (TiO2).………... 25
2.9 Struktur deterjen secara skematik………..………... 26
2.10 Struktur NaLS…….……….. 28
3.1 Reaktor fotokatalitik ………... 44
4.1 Serbuk rajungan (a), kitin (b) dan kitosan (c)... 47
4.2 Kelarutan kitin (a) dan kitosan (b) dalam asam asetat 2% 48 4.3 Spektrum FT-IR kitin... 48
4.4 Spektrum FT-IR kitosan... 49
4.5 Serat sebelum di refluks (a) dan serat ketika direfluks (b) 51 4.6 Pulp sebelum diputihkan (a) dan pulp setelah diputihkan (b)... 52
4.7 Selulosa diasetat hasil sintesis... 53
4.8 Spektrum FT-IR selulosa dan selulosa diasetat... 54
4.9 Membran komposit tanpa TiO2 (a) dan membran komposit dengan penambahan TiO2 (b)... 58
4.10 Grafik hubungan ketebalan rata-rata membran dengan variasi konsentrasi selulosa diasetat... 59
Grafik hubungan konsentrasi TiO2 dengan strain...
Grafik hubungan konsentrasi TiO2 dengan Modulus
Young...
Spektrum membran kitosan – selulosa diasetat – TiO2...
Hasil SEM permukaan membran komposit kitosan –
selulosa diaseta –TiO2...
Hasil SEM penampang melintang membran komposit
kitosan selulosa diasetat –TiO2 ...
Mekanisme reaksi NaLS dengan metilen biru... Kurva standar NaLS...
4.13 Grafik fluks membran komposit dengan variasi
konsentrasi TiO2 ... 62
4.14 Grafik rejeksi membran komposit dengan variasi
konsentrasi TiO2 hasil filtrasi ... 62
DAFTAR LAMPIRAN
Tabel Judul
1 Data hasil perubahan massa cangkang rajungan pada proses isolasi
kitin dan pembuatan kitosan
2 Data penentuan berat molekul rata-rata kitosan
3 Data hasil penentuan derajat deasetilasi kitin
4 Data hasil penentuan derajat deasetilasi kitosan
5 Data hasil perubahan massa batang pisang kepok pada proses isolasi
selulosa dan pembuatan selulosa diasetat
6 Data penentuan berat molekul rata – rata selulosa diasetat
7 Data ketebalan membran komposit
8 Data hasil pengukuran sifat mekanik membran kitosan – selulosa
diasetat
9 Data hasil pengukuran kinerja membran
10 Data hasil penentuan kurva standar NaLS
11 Data hasil penentuan panjang gelombang maksimum NaLS
12 Data hasil FT-IR kitin
13 Data hasil FT-IR kitosan
14 Data hasil FT-IR selulosa
15 Data hasil FT-IR selulosa diasetat
16 Data hasil FT-IR membran kitosan-selulosa diasetat
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan. Air yang
dibutuhkan oleh makhluk hidup adalah air yang bersih dan sehat yaitu air yang
tidak mengandung bibit penyakit, bahan kimia yang beracun serta partikel-partikel
pengotor. Dalam kehidupan sehari-hari manusia menggunakan air untuk berbagai
keperluan seperti minuman, industri, pertanian dan lain sebagainya (Darmono,
2001).
Data dari Dinas Pekerjaan Umum Jakarta bersama tim JICA menunjukkan
bahwa pada tahun 2010, 75% pencemaran air disebabkan oleh buangan limbah
domestik dengan jumlah buangan 1.038.205 m3/hari. Berbagai sumber limbah
domestik salah satunya akibat adanya deterjen. Deterjen yang beredar di pasaran
pada umumnya merupakan deterjen dengan bahan aktif surfaktan LAS (Linear
Alkilbenzene Sulfonat (III) yang berasal dari petroleum (minyak bumi). Surfaktan
LAS merupakan salah satu surfaktan anionik yang banyak digunakan sebagai
bahan pembuat deterjen (Watkins, 2001). Setelah digunakan, LAS terbuang ke
ekosistem menjadi air limbah dan jika terakumulasi ke lingkungan dalam jumlah
yang banyak sehingga dapat menyebabkan rusaknya biota dalam perairan (Leon et
al., 2001). Keberadaan deterjen di perairan sangat berbahaya karena menimbulkan
Beberapa proses pengolahan limbah deterjen yang telah dilakukan antara
lain melalui degradasi anaerobik dengan persentase degradasi sebesar 79% namun
membutuhkan waktu yang sangat lama yaitu 165 hari (Lara-martin et al., 2007).
Pengolahan deterjen dengan metode fotokatalitik dengan material TiO2
mendegradasi NaLS sebesar 60% namun memiliki kelemahan dalam hal
pemisahan katalis setelah proses degradasi dan daya adsorpsi katalis terhadap
limbah (Doan dan Saidi, 2008). Sementara melalui degradasi anaerobik mampu
mendegradasi deterjen sebesar 53% namun membutuhkan waktu 270 hari (Duarte
et al., 2010). Proses degradasi aerobik melalui bakteri Camomonas testoteroni
menunjukkan pertumbuhan bakteri pada waktu inkubasi 40 jam dan hasil
degradasi deterjen 87,5%, namun kelemahan dari degradasi ini adalah
memerlukan waktu degradasi yang sangat lama (Schleheck et al, 2010). Proses
degradasi deterjen menggunakan karbon aktif mampu mendegradasi deterjen
sebesar 80%, tetapi memerlukan waktu lama, kontrol pH yang sulit dan kontrol
temperatur yang sesuai (Duman et al., 2010).
Dari uraian di atas diperlukan suatu teknik pengolahan limbah deterjen
yang dapat mengatasi kelemahan metode sebelumnya. Teknologi membran
memberikan keuntungan bagi masyarakat luas. Keunggulan penggunaan membran
adalah energi yang dibutuhkan sedikit karena tidak memerlukan energi untuk
perpindahan fasa, tidak membutuhkan banyak biaya dan modal. Proses operasinya
sederhana dan menggunakan alat – alat yang relatif mudah ditemukan (Baker et
pemisahan, baik untuk menguji kualitas air industri dan rumah tangga (Majewska,
2005 dan 2006), mikropartikel dan makropartikel, koloid, senyawa organik
terlarut (DOM) dll. (Zularisam et al., 2007 dan Mohammadi et al., 2008),
makanan dan industri farmasi untuk mendapatkan produk dengan kualitas yang
tinggi serta berbagai industri lainnya (Arthanareeswaran et al., 2004). Selain itu
pengembangan pengolahan deterjen menggunakan membran telah dikembangkan
antara lain dengan membran kitosan yang mampu mendegradasi deterjen sebesar
86,43% (Santoso, 2006), hasil penelitian menunjukkan bahwa pada peningkatan
konsentrasi kitosan, sifat mekanik membran meningkat namun fluks menurun dan
menggunakan membran selulosa asetat yang mampu mendegradasi NaLS 93,09%
(Prasetyo, 2002), hasil penelitian menunjukkan pada peningkatan konsentrasi
selulosa asetat, fluks membran meningkat namun sifat mekaniknya rendah.
Beberapa parameter penting dalam menentukan kualitas suatu membran
yang baik diantaranya mempunyai permeabilitas yang tinggi, permeselektifitas
yang tinggi, stabil pada temperatur yang tinggi, kestabilan mekanik dan tahan
terhadap zat kimia yang akan dipisahkan (Baker, 2004).
Salah satu membran polimer yang dikembangkan saat ini adalah membran
selulosa asetat (CA). Kelebihan dari selulosa asetat sebagai material membran
adalah sifatnya rejeksi tinggi, mudah untuk di produksi, dan bahan mentahnya
merupakan sumber yang dapat diperbaharui (renewable). Kekurangan membran
yang terdapat di alam (Drioli, 2009) dan memiliki fluks yang tinggi namun sifat
mekaniknya rendah.
Untuk proses pemisahan yang optimal diperlukan membran yang
dikompositkan dengan senyawa lain agar didapatkan membran yang memiliki
fluks tinggi dan sifat mekanik yang tinggi (Drioli, 2009). Untuk itu, diperlukan
modifikasi untuk meningkatkan gugus reaktif dalam material membran seperti
penambahan kitosan (Liu et al., 2006 and Boricha et al., 2010). Kitosan adalah
poli 2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa, merupakan turunan dari kitin, poli-β-N-
asetil-D-glukosamin, yang merupakan suatu amino polisakarida alami paling
berlimpah di alam. Kitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dari kitin, dimana
gugus asetil pada kitin, oleh hidrogen diubah menjadi gugus amina dengan
penambahan larutan basa kuat berkonsentrasi tinggi (Planas, 2002). Sebagai
membran, kitosan memiliki kelebihan seperti sifat permeabilitas yang tinggi,
memiliki kemampuan membentuk film yang bagus, memiliki sifat mekanik yang
kuat, murah dan tidak beracun serta mudah didapatkan (Khor, 2002). Di samping
itu kelemahan kitosan adalah larut dalam medium cair yang bersifat asam lemah
serta memiliki fluks dan stabilitas yang rendah dalam proses pemisahan (Boricha
and Murthy, 2010).
Membran merupakan lapisan tipis memiliki sifat rapuh dan tidak bertahan
lama sehingga perlu dikompositkan dengan senyawa lain agar diperoleh membran
yang kuat (Jayakumar et al., 2011). Selama beberapa waktu, bahan anorganik
dan biomaterial. TiO2 memiliki kemampuan bereaksi secara sempurna
(biokompatibilitas) yang baik, mempercepat reaksi dan sifat antikorosif yang
sangat kuat sebagai bahan tambahan pada lapisan tipis di permukaan dan akhir –
akhir ini digunakan sebagai bahan pengisi untuk matriks polimer (Jayakumar et
al., 2011 and Liu et al., 2011).
Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan mengkompositkan kitosan -
selulosa diasetat – TiO2 dengan tujuan untuk membentuk membran dengan sifat
mekanik yang kuat dan fluks yang tinggi serta dapat mengolah limbah deterjen
secara optimal. Kitosan diperoleh dari deasetilasi kitin cangkang rajungan.
Kitosan dikarakterisasi dengan uji kelarutan, derajat deasetilasi dan berat molekul.
Sedangkan selulosa diasetat dibuat dari selulosa serat batang pisang kepok dan
dikarakterisasi melalui analisis gugus fungsi dan penentuan berat molekul.
Membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2 dibuat dengan variasi
konsentrasi selulosa diasetat 2,0%; 4,0%; 6,0%; 8,0%; dan 10,0% (b/v) dan
variasi konsentrasi TiO2 0,10%; 0,15%; 0,2%; 0,25%; dan 0,3 % (b/v). Membran
komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2 dikarakterisasi dengan pengukuran
tebal membran, uji kinerja membran, uji sifat mekanik, morfologi dan
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara membuat membran komposit kitosan – selulosa diasetat -
TiO2?
2. Bagaimana karakteristik membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2?
3. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi TiO2 terhadap kinerja membran dan
sifat mekanik membran pada pengolahan limbah deterjen?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui cara membuat membran komposit kitosan – selulosa diasetat-TiO2.
2. Mengetahui karakteristik membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2.
3. Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi TiO2 terhadap kinerja membran dan
sifat mekanik membran pada pengolahan limbah deterjen.
1.4 Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pengolahan
limbah deterjen yaitu dengan membran komposit kitosan – selulosa diasetat -
TiO2 dari cangkang rajungan dan batang pisang kepok. Diharapkan dalam
penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan
ilmu dibidang lingkungan dan teknologi, khususnya dalam penanganan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rajungan (Portunus pelagicus)
Rajungan (Portunus pelagicus) merupakan salah satu komoditas ekspor sektor
perikanan Indonesia yang dijual dalam bentuk rajungan beku atau kemasan dalam
kaleng. Dari aktivitas pengambilan dagingnya oleh industri pengolahan rajungan
dihasilkan limbah kulit keras (cangkang) cukup banyak yang jumlahnya dapat
mencapai sekitar 40-60 % dari total berat rajungan. Cangkang rajungan ini dapat
dimanfaatkan sebagai campuran pakan ternak, tetapi pemanfaatan ini belum dapat
mengatasi limbah cangkang rajungan secara maksimal (Srijanto, 2003). Padahal
limbah cangkang rajungan masih mengandung senyawa kimia cukup banyak,
diantaranya ialah protein 20 – 40 %, mineral (CaCO3) 20 – 30 % dan kitin 20 – 40 %
(Khor, 2001).
2.2 Kitin
Kitin berasal dari bahasa yunani chitin, yang berarti kulit kuku. Kitin
merupakan komponen utama dari eksoskeleton invertebrate, crustacean, insekta dan
juga dinding sel fungi dan yeast dimana komponen ini berfungsi sebagai komponen
penyokong dan pelindung. Senyawa kitin adalah suatu polimer golongan polisakarida
yang tersusun atas satuan-satuan β-(1,4)-2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa. Nama lain
Gambar 2.1 Struktur kitin
Kitin merupakan salah satu dari polisakarida yang paling banyak ditemukan
selain selulosa dan starch (zat tepung). Kitin menduduki peringkat kedua setelah
selulosa sebagai komponen organik paling banyak di alam. Selulosa dan starch
merupakan zat penting bagi tumbuhan untuk membentuk makanannya (zat
karbohidrat) dan pembentukan dinding sel. Kitin banyak ditemukan secara alamiah
pada kulit jenis crustacea, antara lain kepiting, udang, dan lobster (Twu et al., 2003).
Kitin merupakan polimer alamiah yang dapat di temukan di alam berbeda–beda
besarnya tergantung pada sumbernya. Sumber kitin dari beberapa jenis hewan
ditunjukkan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Sumber kitin dari berbagai jenis hewan
Kitin adalah senyawa yang stabil terhadap reaksi kimia, tidak beracun (non
toxic) dan bersifat biodegradable. Kitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik),
alkohol serta tidak larut dalam asam maupun alkali encer. Kitin dapat larut dengan
proses degradasi menggunakan asam-asam mineral pekat, seperti asam formiat
anhidrat (Mourya et al., 2008).
2.3 Kitosan
Kitosan dihasilkan dari deasetilasi kitin, terdiri dari rantai molekul glukosa
yang panjang dan berat molekul yang tinggi. Perbedaan antara kitin dan kitosan
adalah pada setiap cincin molekul kitin terdapat gugus asetil (-CH3-CO) pada atom
karbon kedua, sedangkan pada kitosan terdapat gugus amina (-NH2). Kitosan dapat
dihasilkan melalui proses deasetilasi yaitu dengan cara direaksikan dengan
menggunakan alkali dengan konsentrasi tinggi dengan waktu yang relatif lama dan
suhu tinggi. Kitosan adalah biopolimer yang larut dalam larutan asam. Sedangkan
dalam larutan alkali, kitosan akan mengendap (Kumar et al., 2000) Struktur kitosan
ditunjukkan pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Struktur kitosan
mempunyai nama kimia Poly d-glucosamine (β (1,4) 2-amino-2-deoxy-D-glucose)
(Djaeni et al., 2003).
Kitosan diperoleh dengan berbagai macam bentuk morfologi diantaranya
struktur yang tidak teratur, bentuknya kristalin atau semikristalin. Selain itu dapat
juga berbentuk padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari
bentuk awal kitin murni. Kitin memiliki sifat biologi dan mekanik yang tinggi
diantaranya adalah biorenewable, biodegradable, dan biofungsional. Kelarutan
kitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari derajat
deasetilasi dan derajat degradasi polimer (Gupta, 2011).
Suatu molekul dikatakan kitin bila mempunyai derajat deasetilasi (DD)
sampai 10% dan kandungan nirogennya kurang dari 3-5%, dikatakan kitosan bila
nitrogen yang terkandung pada molekulnya lebih besar dari 5% berat dan derajat
deasetilasi lebih dari 70% (Khor, 2001).
Kitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Penyimpanan kitosan dalam
jangka waktu yang relatif lama menyebabkan sifat keseluruhan dan viskositasnya
akan berubah. Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka maka akan terjadi
dekomposisi warna menjadi kekuningan dan viskositasnya berkurang (Khor, 2002).
Kitosan tidak larut dalam air namun larut dalam asam, memilki viskositas
cukup tinggi ketika dilarutkan, sebagian besar reaksi karakteristik kitosan merupakan
reaksi karakteristik kitin. Adapun berbagai solvent yang digunakan umumnya tidak
melarutkan kitosan adalah asam lemah seperti asam formiat, asam asetat, asam
laktat dan asam glutamat (Mourya et al., 2008).
Kitosan banyak digunakan di berbagai industri kimia, antara lain dipakai
sebagai koagulan dalam pengolahan limbah air, bahan pelembab, pelapis benih yang
akan ditanam, adsorben ion logam, anti kanker /anti tumor, anti kolesterol, komponen
tambahan pakan ternak, sebagai lensa kontak, pelarut lemak, dan pengawet (Mourya
et al., 2008).
2.4 Pembuatan Kitosan
Kandungan eksoskeleton crustacea meliputi kitin, protein, material anorganik
terutama kalsium karbonat, pigmen dan sebagian kecil lemak. Secara umum
pemurnian kitin secara kimiawi terdiri dari dua tahap yaitu tahap deproteinisasi dan
tahap demineralisasi. Untuk hasil yang lebih baik biasanya dilanjutkan dengan proses
depigmentasi (Gupta, 2011).
Protein dalam kulit rajungan mencapai sekitar 20 - 40% dari bahan
keringnya. Protein tersebut berikatan kovalen dengan kitin. Proses deproteinasi dapat
dilakukan dengan beberapa reagen seperti NaOH, Na2CO3, NaHCO3, KOH, K2CO3,
Ca(OH)2, NaHSO3, CaHSO3, Na3PO4 dan Na2S. Namun reagen yang umum
digunakan adalah NaOH. Serbuk rajungan direaksikan dengan larutan natrium
hidroksida panas dalam waktu 120 menit. Adapun tujuan dari proses ini untuk
memisahkan atau melepas ikatan-ikatan antara protein dan kitin (Khor, 2001).
demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan garam-garam anorganik atau
kandungan mineral yang ada pada kitin terutama kalsium karbonat. Reaksi yang
terjadi adalah sebagai berikut :
CaCO3 (s) + 2HCl (aq) CaCl2 (aq) + H2O (l) + CO2 (g)
Ca3(PO4)2(s) + 4HCl (aq) 2CaCl2(aq) + Ca(H2PO4)2(l)
Proses depigmentasi bertujuan untuk menghilankan zat-zat warna proses
deproteinasi dan proses demineralisasi. Pada proses depigmentasi hasil dari proses
demineralisasi direaksikan lebih lanjut dengan menggunakan pemutih berupa natrium
hipoklorit (NaOCl) atau peroksida. Proses depigmentasi bertujuan untuk
menghasilkan warna cerah pada kitin (Khor, 2001).
Proses deasetilasi dilakukan dengan merebus kitin dalam larutan NaOH 50%
untuk menghilangkan gugus asetil. Produk yang diperoleh dari proses ini dinamakan
kitosan (Khor, 2001 and Mourya et al., 2008).
Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisis suatu
amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya.
Mula-mula terjadi reaksi adisi, dimana gugus (–OH) masuk ke dalam gugus
(NHCOCH3) kemudian terjadi eliminasi gugus (CH3COO-) sehingga dihasilkan suatu
amina yaitu kitosan. Secara sederhana reaksi pembentukan kitosan dari kitin pada
deasetilasi NaOH
Gambar 2.3 Reaksi pembentukan kitosan
2.5 Karakterisasi Kitin dan Kitosan
Karakterisasi kitin dan kitosan dilakukan dengan menghitung rendemen, uji
kelarutan dan derajat deasetilasi. Karakterisasi kitosan dilanjutkan dengan penentuan
berat molekul.
Rendemen kitin dihitung berdasarkan perbandingan antara berat kitin dengan
berat limbah rajungan menggunakan persamaan (1)
Rendemen = (Berat kitin/Berat Limbah Rajungan) x 100% (1)
Kitin maupun kitosan dilarutkan dalam asam asetat 2% dengan perbandingan
1: 100 (b/v). Kitosan larut dalam asam asetat sedangkan kitin tidak larut dalam asam
asetat (Kyoon No et al., 2000). Penentuan derajat deasetilasi kitin dan kitosan
sekitar 1655 cm-1 dan gugus hidroksil 3450 cm-1 (Khor, 2001). Persentase derajat
deasetilasi dihitung dengan persamaan (2)
DD = 100 − [(Æ1655) x 115] (2)
Æ3450
Dengan
Nilai A (absorbansi) = log (Po/P)
A1655 = Absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1 untuk serapan
gugus amida (CH CONH-) 3
A 3450
-1
= Absorbansi pada bilangan gelombang 3450 cm untuk serapan
gugus hidroksi (-OH)
Penentuan berat molekul kitosan dilakukan dengan viskometer Oswald
dilarutkan dalam asam asetat 2% dan diukur waktu alirnya (t0) berdasarkan viskositas
a
Viskositas intrinsik adalah titik pada grafik ketika C = 0.
Viskositas intrinsik dapat ditentukan dari viskositas spesifik yang diperoleh
dari persamaan Huggins (Baker, 2004).
ŋsp
Nilai Mv ditentukan dengan persamaan Mark Houwik-Sakurada:
(4)
Pisang kepok (Musa paradisiaca) merupakan tanaman yang berasal dari Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Pisang kepok merupakan tanaman semak berbatang
semu (Pesudostem). Batangnya memiliki bonggol (umbi) yang besar dan banyak
Klasifikasi pisang kepok antara lain:
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Zingiberales
Famili : Musaceae
Genus : Musa
Spesies : Musa paradisiacal fa typca
Pisang memiliki kandungan serat yang cukup tinggi pada batang semunya
(Pseudostem). Serat yang terkandung dalam batang pisang kepok basah adalah 65% –
70%. Sebuah serat dalam sebuah sel memilki panjang 1-50 mm dengan diameter 10-
50 mm. Serat tanaman berbentuk tabung yang terdiri dari sel dinding yang
mengelilingi lumen pusat yang mempengaruhi penyerapan air ke dalam serat
tanaman. Dinding sel ini terbentuk dari selulosa kristalin yang berada dalam berbagai
komposisi lignin dan hemiselulosa. Memiliki serat mikrofibril dengan diameter 10 –
30 nm yang terdiri dari 30 – 100 molekul selulosa yang mempengaruhi kekuatan
mekanik (Kalia et al., 2011). Gambar susunan serat, fibril dan selulosa pada dinding
dengan n derajat polimerisasi antara 500-10.000 dan berat molekulnya bervariasi
antara 50.000 sampai 2,5 juta. Selulosa merupakan bahan dengan struktur kristalin
dan salah satu menyusun utama dinding sel kayu. Struktur selulosa ditunjukkan pada
Gambar 2.5 Dinding
sel Lamella
tengah
Molekul selulosa
Serat (mm/mikrometer)
1mikrometer = 1/106m Fibril (mikrometer/nm) 1nm=1/109m 1 Å =0,11nanometer struktur kristal Å
Gambar 2.4 Susunan serat, fibril dan selulosa
2.7 Selulosa
Selulosa merupakan bahan dasar dari semua serat tanaman. Selulosa
merupakan polimer kondensasi linear yang terdiri D-anhydroglucopyranose dengan
n-Gambar 2.5 Struktur selulosa
Selulosa memiliki struktur yang stabil dan memiliki titik leleh yang lebih
besar dari suhu dekomposisinya sehingga memiliki sifat fisik yang kuat. Selulosa
tidak larut dalam air dan tidak mudah leleh, selulosa hanya larut dengan pelarut yang
dapat membentuk ikatan hidrogen dengan selulosa (Zugenmaier, 2008). Beberapa
kandungan selulosa dalam tanaman ditunjukkan pada Tabel 2.2
Tabel. 2.2 Berbagai kandungan selulosa dalam tanaman
Sumber Komposisi (%)
Selulosa Hemiselulosa Lignin
Kayu keras 43 - 47 25-35 16-24
Kayu lunak 40 - 44 25-29 25-31
Ampas tebu 40 30 20
Sabut 32 - 43 10-20 43-49
Tongkol jagung 45 35 15
Batang jagung 35 25 35
Kapas 95 2 1
Batang padi 36 21 2
Rami 76 17 3
Jerami gandum 30 50 6
2.8 Selulosa Diasetat
Selulosa diasetat merupakan selulosa dengan molekul glukosa mengikat dua
gugus asetil. Proses reaksi pembentukan selulosa diasetat dari selulosa adalah melalui
3 tahap yaitu penggembungan yang menghasilkan pulp, asetilasi dengan anhidrida
asetat sehingga terjadi reaksi asetilasi dan hidrolisis. Selulosa diasetat memiliki sifat
yang lebih amorf daripada selulosa sehingga dapat dilarutkan untuk membentuk
membran. Selulosa diasetat larut dalam aseton dan kloroform (Zugenmaier, 2008).
Selulosa diasetat diperoleh dari reaksi asetilasi, H2SO4 sebagai katalis yaitu H+
yang terikat pada oksigen yang merupakan elektrofil dari gugus karboksilat, atom C
menjadi lebih positif (C+) dan diserang gugus (–OH) dari selulosa membentuk
selulosa asetat. Kemudian ditambahkan anhidrida asetat untuk menambahkan gugus
asetil melalui reaksi asetilasi membentuk selulosa triasetat dan penambahan asam
asetat 67% melalui reaksi hidrolisis membentuk selulosa diasetat (Johnson, 2010).
Struktur selulosa diasetat ditunjukkan pada Gambar 2.6
2.9 Membran
Teknologi membran telah berkembang dengan pesat. Membran memiliki
berbagai keunggulan baik secara tehnik maupun ekonomi sehingga sering kali
digunakan dalam proses pemisahan maupun pemurnian (Majewska et al., 2006).
Membran merupakan suatu fasa yang bertindak sebagai penghalang yang
selektif terhadap aliran molekul ion yang terdapat dalam cairan atau uap yang
berhubungan dengan kedua sisinya. Proses membran dapat digunakan dalam aplikasi
yang sangat luas dan dapat dipastikan kegunaannya semakin meningkat (Kislik,
2010).
Cara pemisahan dengan membran dapat didasarkan pada bahan dan struktur
yang sama namun menggunakan metode yang berbeda dalam mengembangkan
inovasi baru pada proses pemisahan. Inovasi tehnik pemisahan ini dapat
dikembangkan melalui kombinasi dengan membran baru seperti reaktor membran
fotokatalitik. Saat ini, banyak industri yang menggabungkan berbagai operasi
membran yang cocok untuk proses pemisahan. Berdasarkan eksistensinya, membran
terdiri dari membran alami dan sintetis. Membran alami merupakan membran pada
sistem dan proses makhluk hidup dengan komponen utama adalah lemak dan protein.
Sedangkan membran sintetis merupakan membran buatan yang dapat dibuat dari
bahan alami (biomembran) dan bahan non alami. Membran sintestis untuk proses
pemisahan dapat diklasifikasikan berdasarkan selektivitas penghalang, struktur dan
diatur hambatan selektivitasnya, berpori, tidak keropos dan memiliki afinitas kimia
(Baker, 2004).
Ada beberapa teknik pembuatan membran yaitu sintering, stretching, track-
ecthing, template leaching, coating dan phase inversion (inversi fasa). Tehnik inversi
fasa merupakan proses transformasi polimer dari fasa cair ke fasa padat dengan
kondisi terkendali. Proses pengendapan di inisiasi dari satu campuran menjadi dua
cairan yang saling campur dimana salah satu fasa cair yang mengandung polimer
konsentrasi tinggi akan memadat dan membentuk matriks sehingga morfologi
membran dapat diatur (Nunes and Peinemann, 2001).
Perkembangan membran sangat pesat dibuktikan dengan meluasnya aplikasi
membran yang sangat luas. Dalam industri kimia dan farmasi, perbaharuan sumber
daya alam, bioteknologi, industri makanan, transfer energi, pengolahan limbah dan
lingkungan (Pabby et al., 2009) seperti sterilisasi air minum, desalinasi air laut,
klarifikasi air nira, industri pengolahan limbah tekstil, ion exchange pada proses
elektrodialisis, hemodialisis, biosensor dan adsorben (Meyyapan, 2005).
2.10 Karakterisasi Membran
Karakterisasi membran dilakukan dengan penentuan kinerja membran yaitu
rejeksi (perselektivitas), fluks (permeabilitas), ketebalan membran dan uji tarik.
Pengukuran ketebalan membran merupakan salah satu indikator kontrol
kualitas membran. Membran diukur dengan alat mikrometer sekrup pada bagian
Kemampuan membran dalam menahan zat terlarut (spesi tertentu) dalam
umpan dan meloloskan pelarut (spesi yang lain) di atas permukaan membran disebut
selektivitas (Baker, 2004). Penentuan koefisien rejeksi didasarkan pada persamaan (6)
R = 1 − Cp x 100 % Cƒ
(6)
Keterangan R = koefisien rejeksi (%)
Cp = konsentrasi zat terlarut dalam permeat
Cp = konsentrasi zat terlarut dalam umpan
Fluks merupakan volume permeat yang melewati membran persatuan per
satuan luas per satuan waktu (Mulder, 1996). Penentuan fluks (permeabilitas)
menggunakan persamaan (7).
o =
FÆ (8)
Regangan merupakan perbandingan perubahan panjang (∆l) akibat suatu gaya
dengan arah sejajar dengan panjang mula–mula (lo) sampel. Penentuan tegangan
menggunakan persamaan (9).
s = l − lo lo = Al lo (9)
Modulus Young merupakan kemiringan kurva tegangan– regangan. Penentuan
Modulus Young dengan persamaan (10).
E =
os (10)
2.11 TiO2
Sebelum dikenal sebagai semikonduktor yang memiliki celah energi relatif
lebar dengan sifat super hidrofilik ketika terkena cahaya. Titanium adalah logam
transisi berwarna perak dengan nomor atom 22, massa atom relatif 47,9 dan massa
jenis 4,5079 g/cm3. Dalam bentuk mikroskopis, TiO
2 diketahui memiliki dua bentuk
utama yaitu kristal dan amorf (Gunlazuardi, 2001).
Konfigurasi elektron atom titanium (22Ti) ialah 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s2 3d2
sementara atom oksigen (8O) yaitu 1s2 2s2 2p4. Secara sederhana orbital molekul TiO2
terbentuk antara ikatan kulit 3d pada Ti dengan kulit 2p pada O. Tingkat energi kulit
3d menjadi daerah konduktif molekul sedangkan kulit 2p menjadi area valensi
TiO2 amorf dikenal memiliki kemampuan untuk mendegradasi polutan dalam
waktu yang tidak singkat. Sedangkan dalam bentuk kristal, TiO2 diketahui memiliki
tiga fase kristal yang berbeda yaitu rutile, anatase dan brookite. Bentuk kristal
anatase dapat diamati pada pemanasan TiO2 bubuk mulai dari suhu 120oC dan
mencapai sempurna pada suhu 500oC, sedangkan bentuk kristal rutil mulai terbentuk
pada suhu 700oC. Rutil cenderung lebih stabil pada suhu tinggi, sedangkan anatase
cenderung lebih stabil pada suhu rendah. Keduanya mempunyai sistem kristal
tetragonal. Brukit biasanya terdapat hanya dalam mineral dan mempunyai struktur
kristal ortorombik. Bentuk kristal yang paling akif di antara ketiganya adalah anatase.
Karena struktur kristal anatase lebih stabil secara kimia, tahan dalam kondisi asam
maupun basa kuat, tidak beracun, dan memiliki tingkat aktivitas fotokatalitik yang
tinggi. Struktur kristal rutil dan anatase digambarkan dalam rantai oktahedron TiO2
(Gunzaluardi, 2001).
(a) (b) (c)
Gambar 2.7 Struktur kristal titanium dioksida rutil (a), anatase (b), dan brukit (c)
Rutile merupakan bentuk kristal yang paling stabil dibandingkan dua fase
2
eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai
cahaya dengan energi yang lebih besar dari pada celah energinya. Kristal ini juga dapat
terbentuk akibat pemanasan TiO2 amorf pada suhu 400oC hingga 600oC sedangkan
pemanasan hingga 700oC akan menyebabkan kristal anatase bertranformasi menjadi
rutile. Sedangkan brookite merupakan jenis kristal yang paling sulit diamati karena
sifatnya yang tidak mudah dimurnikan (Diebold, 2003).
TiO2 merupakan material standar pada reaksi fotokatalitik. Ukuran rata-rata
partikel anatase dan rutile berturut-turut adalah 85 dan 25 nm Molekul TiO2 dalam
fase anatase atau rutile tersusun dari konfigurasi satu ion Ti+4 dan enam ion O-2 yang
membentuk konfigurasi bangun oktahedron dengan sistem kristal tetragonal (Mason,
2004).
Gambar 2.8 Sistem kristal Titanium dioksida (TiO )
TiO2 paling banyak digunakan sebagai material fotokatalitik karena paling
stabil, tahan terhadap korosi, aman dan memiliki sifat ampifilik. Sifat ampifilik
ditunjukkan dengan perubahan sifat permukaan TiO2 yang super hidrofobik sebelum
disinari UV menjadi super hidrofilik setelah disinari UV. Karakteristik ini
2.12 Deterjen
Deterjen berasal dari bahasa latin yaitu detergee yang artinya pembersih.
Definisi ini terlalu luas karena sabun juga termasuk di dalamnya. Detergen adalah
surfaktan yang terkonsentrasi pada antarfasa dan memiliki sifat sebagai bahan aktif
permukaan sehingga dapat digunakan sebagai emulgator. Bahan dasar dari deterjen
adalah minyak nabati, selain itu bisa digunakan minyak bumi. Fraksi minyak bumi
yang dipakai adalah senyawa hidrokarbon parafin dan olefin (Myers, 2006).
Pada umumnya deterjen mengandung surfaktan, builder, filler dan additives.
Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai
ujung berbeda yaitu hidrofilik (suka air) dan hidrofobik (suka lemak). Bahan aktif ini
berfungsi menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran
yang menempel pada permukaan bahan.
Builder (pembentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan
dengan cara menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Contoh : Phosphates
(Sodium Tri Poly Phosphat/STPP), Asetat (Nitril Tri Asetat/NTA, Ethylene Diamine
Tetra Acetate/EDTA), Silikat (Zeolit), dan Sitrat (asam sitrat) (Myers, 2006).
Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai
kemampuan meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat
memadatkan dan memantapkan sehingga dapat menurunkan harga. Contoh : Sodium
sulfate (Pramono, 2002).
Natrium benzene sulfat
berhubungan langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk
maksud komersialisasi produk. Contoh : Enzyme, Borax, Sodium chloride, Carboxy
Methyl Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh deterjen ke
dalam larutan tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti redeposisi)
(Myers, 2006).
Surfaktan merupakan garam natrium dan alkil benzen sulfonat berantai
panjang dan mempunyai keunggulan dalam hal tidak mengendap bersama ion logam
dalam air sadah.
b. gugus non polar a. gugus polar
Gambar 2.9 Struktur surfaktan, gugus polar (a), dan gugus non polar (b)
Gugus polar (kepala) yang bersifat hidrofilik dan gugus non polar (ekor) yang
bersifat hidrofobik menimbulkan perbedaan afinitas terhadap pelarut. Gugus yang
satu mempunyai afinitas yang besar terhadap pelarut sehingga dapat menarik seluruh
molekul ke dalam larutan. Gugus yang lain ditolak oleh pelarut karena afinitas
terhadap molekul pelarut lebih kecil dibandingkan afinitas antar molekul pelarut.
Salah satu sifat dari deterjen adalah kemampuannya untuk menghilangkan
akan menahan partikel-partikel tersebut dan bagian kepala yang larut dalam air akan
berorientasi sedemikian rupa menuju ke air. Pada proses ini akan terjadi pelepasan
noda dari bahan pakaian dan memecahnya menjadi bagian-bagian yang lebih kecil
dimana tiap-tiap noda dikelilingi oleh selimut yang bermuatan negatif dari bagian
kepala yang menonjol keluar. Gaya tolak menolak antara muatan sejenis ini
melindungi untuk terbentuknya kembali partikel-partikel noda yang tersuspensi
dalam air akan keluar ketika dibilas dengan air (Myers, 2006).
2.13 Natrium Lauryl Sulfat ( NaLS)
NaLS diperoleh dari sulfat lauril alkohol dan Na2CO3. Sulfat lauril alkohol
diperoleh dengan mereaksikan asam sulfat dengan lauril alkohol. NaLS termasuk
jenis surfaktan anionik dengan struktur pada Gambar 2.9. Rumus molekul NaLS
adalah CH3(CH2)10CH2OSO3Na dengan berat molekul 288,38 gr/mol. Penggunaan
NaLS antara lain sebagai bahan utama dalam deterjen dan pasta gigi (O’Neil, 2001). O
CH3 (CH2)11 O S O- Na+ O
METODE PENELITIAN
3.1Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia Fisik, Departemen Kimia,
Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. Penelitian dilaksanakan
pada bulan Februari 2012 sampai dengan Juni 2012.
3.2Bahan dan Alat Penelitian
3.2.1Bahan-bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkang rajungan
(Portunus pelagicus), batang pisang kepok (Musa paradisiaca fa typica) dan
limbah deterjen. Bahan-bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini memiliki
kadar kemurnian pro analisis kecuali disebutkan lain yaitu bahan H2SO4 pekat,
TiO2, NaLS, asam asetat glasial 98%, anhidrida asetat, metanol, indikator
fenolftalein, kloroform, NaH2PO4.2H2O, aseton, NaOCl 12%, Ca(OH)2 teknis,
HCl 32,5%, NaOH teknis, metilen biru, KBr, kertas lakmus, dan akuades.
3.2.2Alat-alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat gelas,
termometer, pengaduk magnetik, timbangan analitik, erlenmeyer bertutup,
pemanas (hot plate), corong Buchner, oven, cawan petri, shaker, desikator,
Autograph AG-10 TE Shimadzu, viskometer Oswald, peralatan SEM,
1. Deproteinasi
Membran kitosan - selulosa diasetat dengan sifat mekanik optimal
Variasi TiO2 0,1%; 0,15%; 0,2%; 0,25%; 0,3% (b/v)
Membran komposit kitosan - selulosa diasetat – TiO2
Ketebalan
membran Sifat mekanik membran
Kinerja membran Serbuk rajungan
Kitin
Karakterisasi membran
stress fluks rejeksi
Uji FTIR
1. Uji FTIR
2. kelarutan Selulosa diasetat
strain Modulus
young
3.3 Diagram Alir Penelitian
1. Dicuci dan dikeringkan 2. Dipotong dan digiling
3. Disaring dengan saringan mesh
kitosan
Membran kitosan - selulosa diasetat
variasi selulosa diasetat 2,0%; 4,0%; 6,0%; 8,0% dan 10 % (b/v)
Cangkang rajungan
Membran komposit kitosan – selulosa diasetat – TiO2 optimum
3.4.1 Pembuatan larutan pereaksi
a. Pembuatan larutan NaOH 3,5%
Ditimbang 4 gram NaOH teknis dan dimasukkan kedalam gelas beker
kemudian dilarutkan akuades sampai 100 mL. NaOH merupakan senyawa kimia
yang bersifat higroskopis dan reaksinya eksoterm sehingga melarutkan dalam
akuades sedikit demi sedikit.
b. Pembuatan larutan HCl 2N
Sebanyak 19 mL HCl 32,5% dimasukkan dalam gelas beker 100 mL
kemudian ditambahkan akuades sampai 100 mL.
c. Pembuatan larutan NaOH 50%
Ditimbang 62,5 gram NaOH teknis dan dimasukkan kedalam gelas beker
kemudian dilarutkan dengan akuades. Setelah larut dipindah ke dalam labu ukur
100 mL dan ditambahkan dengan akuades sampai tanda batas dan dihomogenkan.
NaOH merupakan senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan reaksinya
eksoterm sehingga melarutkan dalam akuades sedikit demi sedikit dan gelas beker
dimasukkan dalam penangas es.
d. Pembuatan larutan Ca(OH)2 2,5 %
Ditimbang 3 gram Ca(OH)2 teknis dan dilarutkan dengan akuades dalam
gelas beker ditambahkan akuades sampai 100 mL.
e. Pembuatan larutan NaOH 17,5 % (b/v)
dengan penambahan akuades sedikit demi sedikit dan gelas beker dimasukkan
dalam penangas es.
f. Pembuatan larutan asam asetat 67 %
Sebanyak 68,4 mL asam asetat glasial 98% (b/b) dimasukkan kedalam
gelas beker 100 mL, ditambahkan dengan akuades sampai volume 100 mL.
g. Pembuatan larutan asam asetat 2%
Sebanyak 2 mL asam asetat glasial 98 % (b/b) dimasukkan dalam gelas
beker 100 mL dan ditambahkan akuades sampai 100 mL.
h. Pembuatan larutan NaOCl 5 %
Sebanyak 42 mL NaOCl 12 % dimasukkan dalam gelas beker 100 mL dan
ditambahkan akuades sampai 100 mL.
i. Pembuatan larutan NaOH 2% (b/v)
Ditimbang 2,5 gram NaOH teknis dimasukkan ke dalam gelas beker 100
mL dilarutkan dengan akuades. Setelah larut, ditambahkan akuades sampai
volume 100 mL.
j. Pembuatan larutan NaOH 4%
Ditimbang 5 gram NaOH teknis dimasukkan dalam gelas beker 100 mL
dan dilarutkan dengan akuades. Setelah larut, ditambahkan akuades sampai 100
mL.
k. Pembuatan larutan NaOH 1N
Sebanyak 5 gram NaOH teknis dimasukkan dalam gelas beker 100 mL
Sebanyak 33,5 mL H2SO4 pekat dimasukkan ke dalam gelas beker 100 mL
yang telah berisi akuades 40 mL melalui dinding gelas dan ditambahkan akuades
sampai 100 mL.
m. Pembuatan larutan H2SO4 1N
Sebanyak 5,5 mL H2SO4 pekat dimasukkan ke dalam gelas beker 100 mL
yang telah berisi akuades 40 mL melalui dinding gelas dan ditambahkan akuades
sampai 100 mL.
n. Pembuatan larutan pencuci
Sebanyak 50 gram NaH2PO4.2H2O dilarutkan dengan akuades 200 mL
dalam gelas beker 1000 mL, ditambahkan 41 mL H2SO4 6N dan ditambahkan
akuades sampai volume 1000 mL.
o. Pembuatan larutan metilen biru
Sebanyak 50 gram NaH2PO4.2H2O dilarutkan dengan akuades 400 mL
dalam gelas beker 1000 mL. Setelah larut, dimasukkan ke dalam labu ukur 1000
mL. Ditimbang dengan teliti 100 mg serbuk metilen biru dan dilarutkan dalam
100 mL akuades dan diambil 30 mL, lalu dimasukkan dalam labu ukur 1000 mL
yang berisi larutan NaH2PO4.2H2O, ditambahkan 40 mL H2SO4 1N dan akuades
sampai tanda batas.
p. Pembuatan larutan TiO2 dalam metanol
Masing – masing ditimbang TiO2 0,1 g; 0,15 g; 0,2 g; 0,25 g; dan 0,3 g
dihomogenkan sehingga diperoleh larutan TiO2 0,1 %; 0,15%; 0,20%; 0,25% dan
0,3% (b/v).
q. Pembuatan larutan NaLS 100 ppm
Ditimbang dengan tepat 0,1000 g NaLS padat yang dilarutkan dengan
akuades dalam gelas beker. Kemudian dipindah kedalam labu ukur 1000 mL,
ditambahkan akuades hingga tanda batas dan dihomogenkan.
r. Pembuatan larutan standar NaLS
Larutan induk NaLS 100 ppm diambil 1,00 mL ; 2,00 mL ; 3,00 mL ; 4,00
mL dan 5,00 mL dengan menggunakan mikroburet, kemudian dimasukkan labu
ukur 100 mL. Larutan dikocok sampai sehingga diperoleh konsentrasi larutan
standar 1,0 ppm ; 2,0 ppm ; 3,0 ppm ; 4,0 ppm dan 5,0 ppm.
3.4.2 Isolasi kitin dan pembuatan kitosan
Limbah cangkang rajungan (Portunus pelagicus) dibersihkan, dicuci dan
dikeringkan dengan sinar matahari. Setelah kering, dipotong kecil – kecil ± 5 mm
kemudian digiling sampai menjadi serbuk.
Langkah awal pembuatan kitin yaitu melalui deproteinasi, demineralisasi,
depigmentasi dan sintesis kitosan melalui tahap deasetilasi. Deproteinasi dimulai
dengan 100 gram serbuk cangkang rajungan ditambah dengan NaOH 3,5% (b/v)
dengan perbandingan 1:10 (b/v). Campuran diaduk dengan magnetic stiter dengan
pemanasan 65oC selama 120 menit. Hasilnya dicuci dengan akuades sampai
netral, disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhu 65oC (Ernasuryaningtyas,
magnetic stirer pada temperatur ruangan selama 30 menit. Kemudian kitin dicuci
dengan akuades hingga netral (Ernasuryaningtyas, 2011). Pada proses
depigmentasi kitin dilakukan dengan tujuan menghilangkan warna kitin sehingga
diperoleh kitin dengan warna cerah. Serbuk kitin ditambahkan aseton dengan
perbandingan 1:10 (b/v) diaduk dengan magnetic stirer selama 30 menit
kemudian dicuci dengan akuades sampai netral (diuji dengan kertas lakmus biru)
dan di keringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam (Ernasuryaningtyas,
2011).
Proses deasetilasi dilakukan untuk membuat kitosan dengan
menambahkan NaOH 50% pada kitin dengan perbandingan 1:10 (b/v) dan
dipanaskan selama 120 menit pada suhu 95oC di atas hot plate. Kemudian dicuci
dengan akuades hingga netral, disaring dan dikeringkan pada 120oC selama 24
jam. Randemen kitin dan kitosan ditentukan dengan persamaan (1).
3.4.3 Karakterisasi kitin dan kitosan
Karakterisasi kitin dilakukan dengan uji kelarutan dan derajat deasetilasi.
Karakterisasi kitosan dilakukan dengan uji kelarutan, derajat deasetilasi dan
penentuan berat molekul. Uji kelarutan dilakukan dengan kitin maupun kitosan
dilarutkan dalam asam asetat 2%, dengan perbandingan 1:100 (Kyoon et al.,
2000). Jika tidak larut, maka serbuk merupakan kitin dan jika larut maka serbuk
3450 cm-1. Perbandingan dua gugus tersebut ditentukan dengan cara membuat
garis lurus dari 1800 cm-1 sampai 1600 cm-1 sebagai garis dasar bagi pita gugus
amida dan membuat garis lurus dari 4000 cm-1 hingga 2500 cm-1 sebagai garis
dasar pita gugus hidroksil, (Khan et al., 2002). Kemudian DD dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (2).
Penentuan berat molekul dilakukan dengan viskometer Oswald yaitu 0,15
gram kitosan hasil sintesis dilarutkan dalam asam asetat 2% dan dimasukkan
dalam labu ukur 100 mL dan ditambahkan akuades sampai tanda batas (larutan A
0,15% (b/v). Kemudian dibuat variasi konsentrasi larutan A yaitu 0,1 A; 0,2 A;
0,3 A; dan 0,4A g/dL (b/v). Masing–masing dimasukkan dalam viskometer
Oswald sebanyak 5,0 mL dan diukur waktu alirnya (t1). Asam asetat juga diukur
waktu alirnya (t0) dan nilai Mv ditentukan dengan persamaan Mark Houwik-
Sakurada (persamaan 5).
3.4.4 Pembuatan selulosa diasetat
Preparasi sampel serat batang pisang kepok (Musa paradisiaca farma
typica) dilakukan dengan mencuci batang pisang kepok kemudian dipotong
dengan ukuran ± 2 cm dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Pembuatan
selulosa diasetat melalui beberapa tahap yaitu: pembuatan pulp, bleaching pulp
dan sintesis selulosa diasetat.
Pembuatan pulp dari serat batang pisang kepok dimulai dengan
labu alas bulat yang telah diisi dengan 150 mL larutan NaOH 17,5 % (b/v) dan
dipanaskan dengan refluks selama 4 jam. Langkah selanjutnya diblender agar
serat lebih halus dan didinginkan pada suhu kamar kemudian di cuci dengan
akuades sampai pH netral (bebas basa) dan dicetak dalam loyang dan dikeringkan
dalam oven pada temperatur ≤ 60oC dihasilkan pulp (Suryani, 2011).
Bleaching (pemutihan) pulp dilakukan dengan menimbang 10 gram pulp
kering dan ditambahkan 88 mL akuades dalam gelas beker. Selanjutnya pulp
diaduk magnetic stirer dan dipanaskan pada temperatur 60oC sampai berbentuk
bubur. Bubur yang terbentuk didinginkan pada suhu kamar dan ditambahkan
sekitar 100 mL NaOCl 5% (v/v) dan terus diaduk dengan magnetic strrer selama
30 menit. Selanjutnya dibilas dengan akuades dan direndam dalam NaOH 2%
(v/v) didiamkan selama 30 menit dan campuran tersebut dibilas dengan akuades
sampai netral (diuji dengan kertas lakmus merah) dan dikeringkan di udara
terbuka (Suryani, 2011). Pada langkah ini diperoleh pulp dengan warna putih.
Pembuatan selulosa diasetat dari pulp serat batang pisang kepok dilakukan
dengan menimbang 10 gram pulp dan ditambahkan 24 mL asam asetat glasial
dalam tabung erlenmeyer tertutup dan diaduk dengan shaker selama 1 jam pada
temperatur 40oC. Campuran ditambahkan 60 mL asam asetat glasial dan 0,5 mL
H2SO4 pekat diaduk selama 45 menit pada temperatur 40ºC dan didinginkan
mencapai suhu 18oC. Langkah selanjutnya ditambahkan lagi 27 mL anhidirida
67% (v/v) sebanyak 30 mL tetes demi tetes selama 3 jam pada temperatur 40ºC
dan diaduk dengan magnetic stirrer selama waktu hidrolisis 15 jam. Selanjutnya
larutan diendapkan dengan menambahkan aquades tetes demi tetes dan diaduk
sehingga diperoleh endapan berbentuk serbuk. Endapan disaring dan dicuci
sampai netral (di uji dengan kertas lakmus biru) kemudian dikeringkan pada oven
dengan suhu 60-70ºC. Endapan yang telah kering dihancurkan dengan mortar dan
disimpan dalam desikator (Suryani, 2011).
3.4.5 Karakterisasi selulosa diasetat
Karakterisasi selulosa disetat dilakukan dengan analisis gugus fungsi
dengan FTIR dan penentuan berat molekul. Analisis gugus fungsi selulosa
diasetat hasil sintesis menggunakan FTIR dengan cara 0,025 gram selulosa
diasetat ditambahkan 0,5 gram KBr dan digerus dalam mortar. Campuran tesebut
dimasukkan dalam pelet dan ditekan hingga membentuk lapisan tipis transparan.
Kemudian pelet direkam spektrumnya dalam tempat sampel pada bilangan
gelombang 4000 – 667 cm-1.
Penentuan berat molekul selulosa diasetat dilakukan dengan viskometer
Oswald yaitu 0,15 gram selulosa diasetat hasil sintesis dilarutkan dalam aseton
dan dimasukkan dalam labu ukur 100 mL (larutan B). Kemudian dibuat variasi
konsentrasi larutan B yaitu 0,2 B; 0,4 B; 0,6 B; dan 0,8 B. Masing–masing
dimasukkan dalam viskometer Oswald sebanyak 5,0 mL dan diukur waktu alirnya
(t1). Aseton juga diukur waktu alirnya (t0) dan nilai Mv dengan ditentukan dengan
Membran kitosan dibuat dengan variasi selulosa diasetat untuk
memperoleh membran dengan sifat mekanik yang tinggi yaitu dengan variasi
selulosa diasetat 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10%. Membran dibuat dengan kitosan
dilarutkan dalam asam asetat 2% dan selulosa diasetat dilarutkan dalam aseton.
Masing – masing dilarutkan dalam erlenmeyer tertutup dan diaduk dengan
magnetik stirer hingga larut sempurna. Membran komposit dibuat dengan kitosan
dan variasi selulosa diasetat digabungkan dan ditambahkan formamida 8%,
diaduk kembali dengan magnetic stirer ± 6 jam sampai terbentuk larutan yang
homogen dan didiamkan 1 malam untuk menghilangkan gelembung udara.
Larutan yang telah bebas dari gelembung udara dibuat membran dengan
metode inversi fasa. Langkah awal ialah dengan menuangkan larutan dope di atas
cawan petri kemudian untuk membentuk dan meratakan permukaan membran,
digoyang – goyangkan dan diputar membentuk lapisan tipis membran. Membran
yang telah dicetak kemudian di keringkan dalam oven sampai suhu penguapan
80oC dan dibiarkan selama 3 jam. Setelah itu pelat kaca dimasukkan ke dalam
bak koagulasi NaOH 4% untuk membantu melepaskan membran yang telah
dicetak. Membran yang diperoleh kemudian dicuci dengan akuades mengalir
untuk menghilangkan sisa-sisa pelarut dan dikeringkan.
Membran kitosan – selulosa disetat dikarakterisasi dengan penentuan sifat
mekanik membran dengan uji tarik. Dari karakterisasi membran kitosan – selulosa