• Tidak ada hasil yang ditemukan

KASUS KAWIN BERULANG DAN FAKTOR PENYEBABNYA PADA SAPI POTONG DI WILAYAH KERJA PETUGAS TEKNIS KESEHATAN HEWAN KECAMATAN KEDAMEAN KABUPATEN GRESIK PERIODE 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KASUS KAWIN BERULANG DAN FAKTOR PENYEBABNYA PADA SAPI POTONG DI WILAYAH KERJA PETUGAS TEKNIS KESEHATAN HEWAN KECAMATAN KEDAMEAN KABUPATEN GRESIK PERIODE 2014"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

KASUS KAWIN BERULANG DAN FAKTOR

PENYEBABNYA PADA SAPI POTONG DI

WILAYAH KERJA PETUGAS TEKNIS

KESEHATAN HEWAN KECAMATAN

KEDAMEAN KABUPATEN GRESIK

PERIODE 2014

Oleh

ITA MARLITA IKA PUTRI NURJAYANTI NIM 061111212

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)

KASUS KAWIN BERULANG DAN FAKTOR PENYEBABNYA PADA SAPI POTONG DI WILAYAH KERJA PETUGAS TEKNIS KESEHATAN HEWAN KECAMATAN KEDAMEAN KABUPATEN GRESIK PERIODE

2014

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga

Oleh:

ITA MARLITA IKA PUTRI NURJAYANTI NIM 061111212

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Dr. Tjuk Imam Restiadi, drh., M.Si) (Dr. Bambang Poernomo S., drh., MS)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi berjudul:

Kasus Kawin Berulang dan Faktor Penyebabnya pada Sapi Potong di Wilayah Kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean

Kabupaten Gresik Periode 2014

tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di

suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara

tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surabaya, 21 Agustus 2015

(4)

Telah dinilai pada Seminar Hasil Penelitian

Tanggal : 19 Agustus 2015

KOMISI PENILAI SEMINAR HASIL PENELITIAN

Ketua : Prof. Mas’ud Hariadi, drh., M.Phil., Ph.D. Sekretaris : Dr. Abdul Samik, drh., M.Si.

Anggota : Dr. Suzanita, drh., M.Phil., Ph.D. Pembimbing Utama : Dr. Tjuk Imam Hariadi, drh., M.Si. Pembimbing Serta : Dr. Bambang Poernomo S., drh, M.S.

(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 26 Agustus 2015

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Prof. Mas’ud Hariadi, drh., M.Phil., Ph.D. Anggota : Dr. Abdul Samik, drh., M.Si.

: Dr. Suzanita, drh., M.Phil., Ph.D. : Dr. Tjuk Imam Hariadi, drh., M.Si. : Dr. Bambang Poernomo S., drh, M.S.

Surabaya, 26 Agustus 2015

Fakultas Kedoktran Hewan Universitas Airlangga

Dekan,

(6)

Repeat breeder cases and Cause Factor in Beef Cattle at Animal Health Technical Officer Working Area on Kedamean Districts of

Gresik Regency Period of 2014

Ita Marlita Ika Putri Nurjayanti

ABSTRACT

This aim of this study is to determine the amount and the factors that cause beef cattle repeat breeder cases in the working area of the Animal Health Technical Officer on Kedamean Districts of Gresik Regency Period of 2014. Research is conducted in the working area of the Animal Health Technical Officer on Kedamean Districts of Gresik Regency in East Java Province on July 2015. This study uses survey method in which the data of repeat breeding cases retrieve from the inseminator’s recording. Observations are conducted on the management of maintenance, and also interviews on farmers. Data are presented descriptively and analyzed using tree classification with SPSS program version 21. The result factors that cause the incidence of repeat breeder are the effect of estrus that is observed once a day, not observed, observed twice a day and three times a day; the cage environmental hygiene; the knowledge of estrus cycle; farming experience; estrus cycle is not observed and observed twice a day; and is observed once a day and three times a day.

(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

skripsi dengan judul Kasus Kawin Berulang dan Faktor Penyebabnya pada

Sapi Potong di Wilayah Kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan

Kedamean Kabupaten Gresik Periode 2014.

Kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Prof. Hj.

Romziah Sidik., drh., Ph.D atas kesempatan mengikuti pendidikan di Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

Dr. Tjuk Imam Restiadi, drh., M.Si selaku dosen pembimbing utama

dan Dr. Bambang Poernomo S., drh., MS selaku dosen pembimbing serta, atas

saran dan bimbingannya sampai selesainya skripsi ini.

Prof. Mas’ud Hariadi, drh., Ph.D., M.Phil selaku dosen ketua penguji,

atas saran dan bimbingannya sampai terselesaikannya penelitian. Suzanita

Utama drh., Ph.D., M.Phil dan Dr. Abdul Samik drh., M.Si selaku penguji

skripsi atas wawasan keilmuan selama mengikuti pendidikan di Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan masukan yang sangat berharga

demi perbaikan skripsi ini.

Dr. Ira Sari Yudaniayanti drh., M.P selaku dosen wali atas bimbingan

dan nasehat – nasehat yang membangun selama ini. Seluruh staf pengajar Fakultas

(8)

selama ini mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas

Airlangga Surabaya.

Kedua orangtua, bapak H. Sumarno S.P. dan ibu Hj. Lilik Arlena yang

selalu memberikan dukungan finansial, tenaga, do’a, semangat dan nasehat –

nasehat yang membangun sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan

sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Seluruh keluarga

besar yang telah membantu doa dan memberikan semangat kepada penulis

sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan sarjana dan menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

Terima kasih juga buat rekan-rekan mahasiswa angkatan 2011 atas

bantuan dan kerjasamanya, serta semangat dan motivasi dalam penelitian dan

penulisan skripsi ini. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu tetapi

sudah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk

itu penulis mengharap kritik dan saran dari pembaca sebagai upaya

penyempurnaan skripsi ini. Semoga hasil yang dituangkan dalam skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Surabaya, 14 Agustus 2015

(9)

DAFTAR ISI

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 23

4.1Jumlah Kasus Kawin Berulang ………...……….. 23

4.2Faktor yang Berpengaruh terhadap Kawin Berulang……….... 23

BAB 5. PEMBAHASAN... 27

5.1Jumlah Kasus Kawin Berulang ………...……….. 27

(10)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 33

6.1Kesimpulan………. 33

6.2Saran ……….. 33

RINGKASAN... 34

DAFTAR PUSTAKA………. 36

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Data deskripsi faktor resiko kejadian kawin berulang pada sapi

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar2.1 Pedoman waktu inseminasi pada sapi……….. 17

Gambar4.1 Proporsi sapi potong akseptor IB yang mengalami kawin berulang di wilayah kerja Petugas Teknis

Kesehatan Hewan Kedamean Gresik tahun 2014…… 23

Gambar4.3 Diagram pohon untuk faktor yang berpengaruh pada Kejadian kawin berulang di wilayah kerja Petugas

Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik………... 25

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Kuisioner untuk peternak sapi potong di Kecamatan

Kedamean……….. … 41

Lampiran 2 Data Kawin Berulang Kecamatan Kedamean Tahun 2014 dan hasil wawancara peternak di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan

(14)

SINGKATAN DAN LAMBANG

CL = Corpus Luteum

FSH = Follicle Stimulating Hormone

IB = Inseminasi Buatan

JLK = Jenis Lantai Kandang

KB = Kawin Berulang

KLK = Kebersihan Lingkungan Kandang

Km = Kilometer

Km2 = Kilometer Persegi

LH = Luteinizing Hormone

PBM = Pemberian Minum

PLB = Pengalaman Beternak PLE = Pelaporan Estrus PME = Pengamatan Estrus PTE = Pengetahuan Estrus PTSE = Pengetahuan Siklus Estrus

SP = Saluran Pembuangan

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Hasil Sensus Pertanian 2013 (ST2013) tercatat bahwa populasi sapi dan

kerbau pada 1 Mei 2013 mencapai 14,2 juta ekor (BPS, 2013). Hal ini mengalami

penurunan yang cukup tajam bila dibandingkan dengan hasil pendataan Sapi

Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (sensus ternak) yang dilaksanakan BPS (Badan

Pusat Statistik) pada Juni 2011. Diketahui, populasi sapi dan kerbau hasil sensus

ternak mencapai 16,7 juta ekor. Itu artinya, penurunan populasi pada tahun ini

mencapai 2,5 juta ekor atau sekitar 15 persen bila dibandingkan dengan kondisi

pada 2011. Penyebab penurunan ini yaitu menyusutnya populasi sapi potong.

Sapi potong merupakan salah satu komoditas ternak yang penting di

Indonesia sebagai penghasil daging. Terkait dengan adanya program swasembada

daging 2014 yang berarti 90% pemenuhan kebutuhan daging nasional berasal dari

dalam negeri (Kementerian Pertanian, 2010). Pemerintah dituntut untuk segera

menerapkan strategi pengembangan peternakan sapi potong nasional untuk

mengurangi ketergantungan pada impor daging. Kebutuhan daging sapi tiap tahun

terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, di sisi lain

penyediaan daging masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan

permintaannya. Untuk mengurangi kesenjangan ini diperlukan berbagai upaya

yang mampu meningkatkan produktivitas, terlebih pada peternak sapi potong

(16)

Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak

kendala, salah satunya adalah masih banyak kasus gangguan reproduksi menuju

kemajiran ternak betina, yang mengakibatkan produktifitas ternak masih rendah.

Gangguan reproduksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain

gangguan keseimbangan hormon reproduksi, pengelolaan kurang baik, penyakit

pada alat kelamin khususnya penyakit kelamin menular, kelainan anatomi pada

alat kelamin yang bersifat menurun (genetik), kelainan atau patologi pada alat

kelamin dan lingkungan yang kurang serasi. (Hariadi dkk., 2011). Rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi mengindikasikan terjadinya gangguan reproduksi yaitu kawin berulang (repeat breeding) (Prihatno dkk., 2013).

Sapi yang mengalami kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina

yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan

dua kali atau lebih dengan di inseminasi buatan (IB) tetapi tetap belum bunting

(Toelihere, 1981). Sapi yang mengalami kawin berulang pada umumnya ditandai

dengan panjangnya calving interval (18-24 bulan), rendahnya angka konsepsi (< 40%), dan tingginya service per conception (>3) (Rustamaji dkk., 2007). Hal

ini menyebabkan pengulangan IB yang tidak efisien, lamanya proses

mendapatkan keturunan, kerusakan organ reproduksi sapi betina serta

menghambat manajemen dan pengelolaan peternakan.

Faktor-faktor yang menyebabkan kawin berulang dapat berasal dari

inseminator, peternak, dan ternak. Faktor inseminator yaitu berupa inseminator

yang kurang terampil, inseminasi yang tidak tepat, atau semen yang digunakan

(17)

pemeliharaan seperti manajemen pakan, manajemen perkandangan, kebersihan

lingkungan, yang dapat mengakibatkan kegagalan fertilitas dan kematian embrio

dini (Robert, 1986; Copelin et al.,1988). Selain itu, kesalahan pengelolaan

reproduksi karena rendahnya pemahaman mengenai estrus, tidak akuratnya

deteksi estrus sehingga dapat mengakibatkan keterlambatan pelaporan gejala

birahi. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan yang ditandai dengan

adanya gejala kawin berulang.

Saat ini, belum diketahui tingkat kejadian kawin berulang dan

faktor-faktor yang memengaruhi kawin berulang pada sapi potong di wilayah kerja

Petugas Teknis Kesehatan Kedamean Gresik. Oleh karena itu penulis melakukan

penelitian untuk mengetahui tingkat kejadian dan faktor-faktor yang memengaruhi

kawin berulang pada sapi potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan

Kedamean Gresik.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan untuk penelitian sebagai berikut :

1. Berapakah jumlah kasus kawin berulang pada Sapi Potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik

Periode 2014 ?

2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kasus kawin berulang pada Sapi Potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan

(18)

1.3Landasan Teori

Kawin berulang (repeat breeding) merupakan suatu keadaan sapi betina

yang mengalami kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan tiga kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen pejantan fertil tanpa

adanya abnormalitas yang teramati (Amiridis et al., 2009). Hasil penelitian Astuti

(2008), bahwa tingkat kejadian kawin berulang pada sapi potong di daerah Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah sebesar 9,22% dengan

kriteria kategori kawin berulang yaitu sapi potong yang telah dilakukan inseminasi empat kali atau lebih. Hasil penelitian di Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) pada tingkat peternak menunjukkan tingkat kejadian kawin berulang sebesar 29,4% (Prihatno dkk., 2013). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini ternyata lebih rendah dibandingkan dengan kajian yang dilaporkan oleh Yusuf et

al., (2012), bahwa kejadian kawin berulang di daerah tropis bisa mencapai 62%.

Tingginya tingkat kejadian kawin berulang merupakan permasalahan dunia

peternakan yang harus segera diatasi karena sangat merugikan peternak.

(19)

et al., 2005) dapat menyebabkan kegagalan kebuntingan yang ditandai dengan adanya gejala kawin berulang. Kegagalan dalam mendeteksi estrus merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan problem reproduksi dan rendahnya angka kebuntingan pada kelompok ternak sapi perah (Thatcher et al., 2006).

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui jumlah kasus kawin berulang pada Sapi Potong di wilayah

kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten

Gresik Periode 2014.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kasus kawin berulang

pada Sapi Potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan

Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Periode 2014.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus

pedoman untuk para peternak dan inseminator di wilayah kerja Petugas Teknis

Kesehatan Kedamean Gresik. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor yang

menyebabkan kawin berulangpada sapi potong maka dapat diupayakan langkah

utama untuk memperkecil kejadian kawin berulang, sehingga efisiensi reproduksi

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Gresik terletak di sebelah barat laut Kota Surabaya yang

merupakan Ibu kota Provinsi Jawa Timur, Ibu kota Kabupaten Gresik berada 20

km sebelah utara Kota Surabaya, dengan luas wilayah 1.191,25 km2 yang terbagi

dalam 18 Kecamatan dan terdiri dari 330 Desa dan 26 Kelurahan. Dengan batas

wilayah :

Utara : Laut Jawa

Selatan : Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Surabaya

Barat : Kabupaten Lamongan

Timur : Selat Madura

Secara geografis, wilayah Kabupaten Gresik terletak antara 112° sampai

113° Bujur Timur dan 7° sampai 8° Lintang Selatan dan merupakan dataran

rendah dengan ketinggian 2 sampai 12 meter diatas permukaan air laut, kecuali

Kecamatan Panceng yang mempunyai ketinggian 25 meter di atas permukaan air

laut. (PDTI PEMDA Gresik, 2014).

Kecamatan Kedamean merupakan kawasan selatan dari Kabupaten Gresik

Provinsi Jawa Timur dalam naungan negara kesatuan Republik Indonesia.

Kecamatan Kedamean terdiri dari 15 desa, diantaranya yaitu Kedamean,

Ngepung, Banyu Urip, Menunggal, Tanjung, Belahanrejo, Slempit, Sidoraharjo,

(21)

yang dikenal dengan Gresik Selatan ini batas utara Kecamatan Manyar dan

Kecamatan Kebomas Kabupaten Gresik, batas timur Kota Surabaya, batas barat

Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Mojokerto, dan batas selatan Kabupaten

Sidoarjo dan Kabupaten Mojokerto (Suwandi, 2010).

2.2Sapi Potong di Kecamatan Kedamean

Sapi potong di wilayah Kecamatan Kedamean merupakan suatu komoditas

ternak yang masih dikembangkan sampai saat ini. Mayoritas sapi potong yang

diternakkan di Kecamatan Kedamean adalah jenis sapi Simental dan Limousin

serta persilangannya.

Menurut Sarwesti (2009), bahwa sapi Limousin mempunyai presentase

daging dan tulang yang besar, kemampuan bereproduksi yang tinggi, mudah

menghasilkan keturunan, pedet mempunyai hidup lebih besar, serta efisiensi

pakan dan pertumbuhan daging yang optimal. Sapi Limousin memiliki tingkat

kesuburan yang baik, daya hidup pedet bagus dan memiliki pertambahan bobot

badan yang bagus serta sifat keindukan yang bagus pula (Andreana, 2013).

Ciri khas sapi Simmental adalah warna bulunya yang coklat kemerahan

(merah bata), sedangkan pada bagian muka, lutut ke bawah dan ujung ekornya

berwarna putih (Wijaya, 2012). Sapi Simental memiliki persentase karkas yang

tinggi dan mengandung sedikit lemak, serta dual purpose yaitu selain sebagai sapi

potong, produksi susunya hampir menyamai sapi perah. Selain sebagai sapi

potong, induk sapi Simental dapat menghasilkan susu yang berkualitas baik untuk

(22)

Peternak di wilayah Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik telah

menggunakan teknologi reproduksi Inseminasi Buatan (IB). Inseminasi Buatan

(IB) atau kawin suntik adalah upaya memasukkan semen ke dalam saluran

reproduksi hewan betina yang sedang birahi dengan bantuan inseminator agar

hewan menjadi bunting (Herawati dkk., 2012). Sapi Potong yang dilakukan IB di

Kecamatan Kedamean pada tahun 2014 yang tercatat di laporan pelaksanana IB

berjumlah 1004 ekor.

2.3Kawin Berulang (Repeat Breeding)

Sapi yang mengalami kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina

yang mempunyai siklus dan periode birahi yang normal yang sudah dikawinkan

dua kali atau lebih dengan pejantan fertil atau diinseminasi dengan semen

pejantan fertil tetapi tetap belum bunting (Toelihere, 1981).

Kawin berulang bisa menjadi faktor utama ketidaksuburan. Dalam

kelompok hewan fertil yang normal, dimana kecepatan pembuahan biasanya

50-55%, kira-kira 9-12% adalah sapi betina yang mengalami kawin berulang

Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya

embrio sampai umur 40 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh

lingkungan yang tidak baik atau kekurangan nutrisi (Hardjopranjoto, 1995).

Menurut Zemjanis (1980) secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor

(23)

2.3.1 Kegagalan Pembuahan (fertilisasi)

Kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin

berulang, yang termasuk dalam faktor ini adalah kelainan anatomi saluran

reproduksi. Menurut Hardjopranjoto (1995), kelainan anatomi dapat bersifat

genetik dan non genetik. Kelainan anatomi ini ada yang mudah diketahui secara

klinis dan ada yang sulit diketahui, yaitu seperti tersumbatnya tuba falopii,

adanya adhesi antara ovarium dengan bursa ovarium, kondisi dalam uterus yang

kurang baik dan fungsi yang menurun dari saluran reproduksi.

Kelainan ovulasi termasuk faktor yang dapat menyebabkan kegagalan

pembuahan sehingga akan menghasilkan sel telur yang belum cukup dewasa

sehingga tidak mampu dibuahi oleh sperma dan menghasilkan embrio yang tidak

sempurna (Hardjopranjoto, 1995). Kelainan ovulasi dapat disebabkan oleh

kegagalan ovulasi karena adanya gangguan hormon dimana karena kekurangan

atau kegagalan pelepasan LH (Luteinizing Hormone) (Toelihere, 1981) dan dapat

disebabkan oleh endokrin yang tidak berfungsi sehingga mengakibatkan

perkembangan kista folikuler (Zemjanis, 1980). Ovulasi yang tertunda (delayed

ovulation) atau tidak sempurna biasanya berhubungan dengan musim dan nutrisi

yang jelek (Arthur, 1975). Penyebab lainnya adalah ovulasi ganda (ovulasi dengan

dua atau lebih sel telur) yang biasa terjadi pada hewan monopara seperti sapi,

kerbau, kasusnya mencapai 13,19% . (Hardjopranjoto, 1995).

Beberapa tipe morfologi dan abnormalitas fungsi telah teramati dalam sel

telur yang tidak subur seperti; sel telur raksasa, sel telur berbentuk lonjong (oval),

(24)

Kesuburan yang menurun pada induk-induk sapi tua mungkin berhubungan

dengan kelainan ovum, ovum yang sudah lama diovulasikan menyebabkan

kegagalan fertilisasi (Toelihere, 1981).

Spermatozoa yang mempunyai bentuk abnormal menyebabkan kehilangan

kemampuan untuk membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan

proses pembuahan karena sperma yang bentuknya abnormal mencapai 24-39%

pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan 12-13% pada sapi dara yang

menderita kawin berulang (Hardjopranjoto, 1995).

Kesalahan pengelolaan reproduksi diantaranya dapat berupa kurang

telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk pelaksanaan

inseminasi buatan, manajemen pakan dan sanitasi kandang yang tidak baik,

kesalahan dalam memperlakukan sperma, khususnya perlakuan pada semen beku

yang kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan sperma,

penyimpanan dan thawing yang kurang baik, serta faktor manajemen lain seperti

pemelihara atau pemilik ternak hendaknya ahli dalam bidang kesehatan

reproduksi (Toelihere, 1981).

2.3.2 Kematian Embrio Dini

Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang

fertil sampai akhir dari implantasi (Hafez, 2000). Faktor yang mendorong

kematian embrio dini menurut Hardjopranjoto (1995) diantaranya adalah faktor

genetik sering terjadi karena perkawinan inbreeding atau perkawinan sebapak

(25)

terjadi pada hewan yang telah berumur tua, hal ini disebabkan karena pada hewan

tua sudah mengalami banyak kemunduran dalam fungsi endokrinnya. Selanjutnya

yaitu faktor infeksi, terjadi apabila kebuntingan pada induk yang menderita

penyakit kelamin dapat diikuti dengan kematian embrio dini atau abortus yang

menyebabkan infertilitas.

Hafez (1993) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor dari kematian

embrio dini diantaranya yaitu faktor laktasi yang terjadinya dapat dihubungkan

dengan kurang efektifnya mekanisme pertahanan dari uterus, stres selama laktasi

dan regenerasi endometrium yang belum sempurna. Selanjutnya adalah faktor

kekebalan yang terjadi jika mekanisme imunosupresi tidak berjalan dengan baik,

maka antibodi yang terbentuk akan mengganggu perkembangan embrio di dalam

uterus. Faktor lingkungan juga dapat mengakibatkan kematian embrio dini pada

induk ketika suhu tubuhnya meningkat. Faktor yang lain yaitu jumlah embrio atau

fetus dalam uterus karena placenta berkembang dimana berisi beberapa embrio di

dalam ruang uterus maka suplai darah vaskuler akan menurun sehingga dapat

menyebabkan kematian embrio. Faktor ketidakseimbangan hormon estrogen dan

progesteron juga dapat menyebabkan terjadinya kematian embrio dini. Menurut

pendapat Toelihere (1981) yang menyebabkan terjadinya kematian embrio dini

salah satunya adalah faktor pakan, kekurangan pakan mempunyai pengaruh

terhadap proses ovulasi, pembuahan dan perkembangan embrio dalam uterus.

(26)

waktu yang tepat. Kebersihan kandang dan sapi merupakan syarat yang harus dipenuhi agar terhindar dari gangguan reproduksi terutama infeksi reproduksi. Salah satu gangguan reproduksi yang ditandai dengan gejala kawin berulang adalah endometritis (Gilbert et al., 2005; Noakes et al., 2009).

2.4Siklus Estrus pada Sapi

Estrus yang dikenal dengan istilah birahi yaitu suatu periode secara

psikologis maupun fisiologis pada hewan betina yang bersedia menerima pejantan

untuk kopulasi. Siklus birahi pada setiap hewan berbeda antara satu sama lain

tergantung dari bangsa, umur, dan spesies (Partodiharjo, 1992).

Peternak harus mengetahui bagaimana mengamati dan mengenal

tanda-tanda berahi pada ternak betina serta segera melaporkannya kepada inseminator.

Deteksi berahi harus dilakukan paling sedikit dua kali sehari, di pagi dan petang

dengan teliti 20 sampai 60 menit (Toelihere, 1985a). Untuk kepentingan IB,

sapi-sapi yang nampak birahi pada pagi hari, sebaiknya diinseminasi siang itu juga dan

sapi yang nampak birahi sore, hendaknya dikawinkan besok pagi hari. Perdarahan

pada vulva sering terjadi pada sapi dewasa 1-3 hari setelah berakhirnya estrus.

Fenomena tersebut disebut perdarahan metestrus dan apabila perkawinan

dilakukan pada saat tersebut konsepsi jarang terjadi.

Interval antara timbulnya satu periode birahi ke permulaan periode

berikutnya disebut sebagai suatu siklus birahi. Siklus birahi pada dasarnya dibagi

menjadi 4 fase atau periode yaitu ; proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus

(27)

2.4.1 Proestrus

Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de

graaf tumbuh di bawah pengaruh FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan

menghasilkan sejumlah estradiol yang semakin bertambah (Marawali, dkk, 2001).

Estradiol meningkatkan jumlah suplai darah ke saluran alat kelamin dan

meningkatkan perkembangan estrus, vagina, tuba fallopi, folikel ovarium

(Toelihere, 1985).

Fase yang pertama kali dari siklus estrus ini dianggap sebagai fase

penumpukan atau pemantapan dimana folikel ovarium yang berisi ovum

membesar terutama karena meningkatnya cairan folikel yang berisi cairan

estrogenik. Estrogen yang diserap dari folikel ke dalam aliran darah merangsang

peningkatam vaskularisasi dan pertumbuhan sel genital dalam persiapan untuk

birahi dan kebuntingan yang terjadi (Frandson, 1992).

2.4.2 Estrus

Estrus adalah periode yang ditandai dengan penerimaan pejantan oleh

hewan betina untuk berkopulasi. Pada umumnya memperlihatkan tanda-tanda

gelisah, nafsu makan turun atau hilang sama sekali, menghampiri pejantan dan

tidak lari bila pejantan menungganginya. Menurut Frandson (1992), fase estrus

ditandai dengan sapi yang berusaha dinaiki oleh sapi pejantan, keluarnya cairan

bening dari vulva dan peningkatan sirkulasi sehingga tampak merah. Pada saat itu,

keseimbangan hormon hipofisa bergeser dari FSH ke LH yang mengakibatkan

peningkatan LH, hormon ini akan membantu terjadinya ovulasi dan pembentukan

(28)

2.4.3 Metestrus

Metestrus ditandai dengan berhentinya puncak estrus dan bekas folikel

setelah ovulasi mengecil dan berhentinya pengeluaran lendir (Salisbury dan

Vandenmark, 1978). Selama metestrus, rongga yang ditinggalkan oleh pemecahan

folikel mulai terisi dengan darah. Darah membentuk struktur yang disebut korpus

hemoragikum. Setelah sekitar 5 hari, korpus hemoragikum mulai berubah menjadi

jaringan luteal, menghasilkan korpus luteum (CL). Fase ini sebagian besar berada

dibawah pengaruh progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum (Frandson,

1992). Progesteron menghambat sekeresi FSH oleh pituitari anterior sehingga

menghambat pertumbuhan folikel ovarium dan mencegah terjadinya estrus. Pada

masa ini terjadi ovulasi, kurang lebih 10-12 jam sesudah estrus, kira-kira 24

sampai 48 jam sesudah birahi.

2.4.4 Diestrus

Diestrus adalah periode terakhir dan terlama pada siklus berahi, korpus

luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi

menjadi nyata (Marawali, dkk, 2001). Diestrus adalah periode dimana folikel de

Graaf bertumbuh dibawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol

bertambah.

2.5Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi

Inseminasi Buatan atau kawin suntik dapat dikenal dengan sebutan

artificial insemination (Bahasa Inggris). Artificial berarti tiruan atau buatan,

(29)

penyampaian atau deposisi dan semen adalah cairan yang mengandung benih

jantan yang diejakulasikan pada saat kopulasi atau penmpungan. Jadi kata

inseminasi buatan dapat didefinisikan menjadi cara pemasukan atau deposisi

semen ke dalam saluran kelamin betina menggunakan alat buatan manusia dan

bukan secara alamiah (Hardijanto, dkk, 2010).

Keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan (IB) yaitu harus tepat dalam

menumpahkan bibit pejantan ke dalam alat kelamin betina, sehingga tidak

mengurangi kesuburan spermatozoa dan dapat menjamin waktu terjadinya

pembuahan yang optimal. Karena saat subur, sel telur sapi sangat terbatas, maka

pelaksanaan IB yang tepat selama periode berahi merupakan faktor penentu

keberhasilan.

2.5.1 Manfaat dan Kerugian Inseminasi Buatan

a. Manfaat Inseminasi Buatan

Manfaat inseminasi buatan sangat banyak dengan kerugian yang sedikit,

jika tidak demikian tentu perkembangan inseminasi buatan sudah lama terhenti.

1. Produktivitas ternak dapat ditingkatkan melalui perbaikan kualitas genetik

yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat (cepat).

2. Dapat meningkatkan kemampuan seekor pejantan unggul untuk melayani

betina

3. Mengurangi biaya dan resiko pemeliharaan sapi pejantan.

4. Mengurangi risiko penularan penyakit veneris (kelamin menular).

5. Merangsang peternak untuk rajin melakukan pencatatan (recording) tentang

(30)

6. Terjalin hubungan yang akrab antara peternak dengan petugas IB yang

bermanfaat dalam informasi kejadian dan upaya pemberantasan penyakit

7. Radius pelayanan IB tidak terbatas terutama bila menggunakan semen beku.

8. Dengan teknik pembekua, semen dari seekor sapi pejantan unggul dapat

disimpan dalam waktu yang lama (15-25 tahun).

9. Sangat memungkinkan untuk dilakuakan perkawinan antara beberapa jenis

ternak dalam satu spesies.

b. Kerugian Inseminasi Buatan

Adanya kerugian yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaan inseminasi

buatan harus disadari dan diperhatikan. Batasan yang perlu diperhatikan akibat

penerapan teknik inseminasi buatan dalam pengembangan peternakan

((Hardijanto, dkk, 2010)).

1. Memerlukan petugas (tenaga) lapangan terampil, terlatih, dan tangguh agar

dapat menjamin keyakinan peternak dan keberhasilan program IB.

2. Bila penanganan pejantan dan pemrosesan semen bekunya kurang rapi dan

cermat (lageartis) maka sangat dimungkinkan terjadi penyebaran penyakit

dengan mudah dan cepat meluas.

3. Bila seleksi dan pencatatan (recording) yang kurang rapi dan cermat, maka

penyebaran sifat ternak yang tidak diinginkan mudah meluas.

4. Bila bekal pengetahuan dan keterampilan petugas IB kurang makapenandaan

betina yang sedang bunting mudah terabaikan dan akibatnya terjadi keguguran

(31)

2.5.2 Waktu untuk Inseminasi Buatan

Waktu optimum untuk melakukan inseminasi harus diperhitungkan

dengan waktu kapasitasi, yaitu suatu proses fisiologik yang dialami oleh

spermatozoa di dalam saluran kelamin betina untuk memperoleh kapasitasi atau

kesanggupan membuahi ovum. Waktu inseminasi pada sapi dianjurkan tidak

boleh kurang dari 4 jam sebelum ovulasi atau tidak boleh melebihi 6 jam sesudah

estrus (Toelihere, 1985).

Gambar 2.1 Pedoman waktu inseminasi pada sapi (Sumber : Perry, 1960)

Menurut Trimberger dan Davis (1943), inseminasi pada sapi antara 8

sampai 24 jam, khususnya 7 sampai 18 jam, sebelum ovulasi akan memberikan

angka konsepsi yang paling tinggi. Pelaksanaan IB pada awal, pertengahan, dan

akhir masa birahi sapi memberikan angka konsepsi 44%, 82%, 75%. Sedang IB

(32)

sesudah akhir birahi angka konsepsinya 32,0%; 18 jam sesudah akhir birahi angka

konsepsinya 28,0%; 24 jam sesudah akhir birahi angka konsepsinya 12,0%; 36

jam sesudah akhir birahi angka konsepsinya 8,0%; 48 jam sesudah akhir birahi

angka konsepsinya 0,0%, Berdasarkan data tersebut, waktu terbaik untuk

inseminasi adalah mulai dari pertengahan birahi sampai 6 jam sesudah akhir

(33)

BAB 3

MATERI DAN METODE

3.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan

Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Juli - Agustus 2015.

3.2Materi Penelitian

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sapi betina yang

mengalami kasus kawin berulang dari catatan petugas kesehatan

hewan/inseminator. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar

kuisioner untuk peternak sapi potong yang mengalami kawin beulang di

Kecamatan Kedamean (Lampiran 2).

3.3Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan teknik

pengambilan data sensus, sehingga semua sapi betina yang mempunyai kasus

kawin berulang digunakan sebagai sampel. Data yang digunakan adalah data

primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan secara langsung

mengenai manajemen pemeliharaan, kemudian dilakukan wawancara pada

peternak di Kecamatan Kedamean. Data sekunder merupakan data yang diperoleh

(34)

Kuisioner diisi dengan wawancara kepada peternak, pengamatan langsung

pada ternak dan kandang peternak di Kecamatan Kedamean. Data dari kuisioner

dan pengamatan langsung dihitung hasil persentase-nya dan kemudian diuraikan

dalam pembahasan hasil.

3.4Variabel Penelitian

Data peternak yang diambil meliputi data jumlah sapi betina yang mengalami kawin berulang sebagai variabel dependen, sedangkan variabel independen adalah pengalaman beternak, pengetahuan siklus estrus, pengetahuan estrus, pengamatan estrus, pelaporan estrus, pemberian minum, jenis lantai

kandang, kebersihan lingkungan kandang dan saluran pembuangan. Pengumpulan variabel independen dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara melalui kuisioner terhadap peternak.

2.5 Definisi Operasional

1. Kawin berulang : sapi betina yang mempunyai siklus dan periode birahi yang

normal yang menunjukkan terjadinya pengulangan inseminasi tiga kali atau

lebih pada catatan laporan IB milik inseminator, umur sapi 3-8 tahun,

gangguan reproduksi normal dan kondisi sapi sehat.

2. Faktor penyebab : faktor yang akan diteliti dan dibahas adalah pengalaman beternak, pengetahuan siklus estrus, pengetahuan estrus, pengamatan estrus, pelaporan estrus, pemberian minum, jenis lantai kandang, kebersihan

(35)

a. Baik : kondisi kandang dengan kotoran (feses) ternak selalu segera

dibersihkan dan ada pemisahan antara kandang dan pembuangan feses.

b. Buruk : kondisi kandang dengan feses ternak tidak segera dibersihkan dan

tidak ada pemisahan antara kandang dan pembuangan feses atau dibiarkan.

3. Saluran pembuangan

a. Baik : terdapatnya saluran pembuangan kotoran yang mudah dialirkan

b. Buruk : tidak adanya saluran pembuangan kotoran, hanya dibiarkan di

belakang kandang.

4. Jenis lantai kandang

a. Tanah : lantai kandang yang berupa tanah

b. Semen : lantai kandang yang sudah di semen

c. Karpet (karet) : lantai kandang yang dilapisi karpet (karet)

2.6Kerangka Kerja Penelitian

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan

data sekunder berupa buku laporan kegiatan IB dari inseminator, selanjutnya

melakukan wawancara kepada seluruh peternak sapi betina yang mengalami kawin berulang di Kecamatan Kedamean untuk pengisian kuisioner. Selain itu, dilakukan pengamatan mengenai manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh

peternak antara lain jenis lantai kandang, kebersihan lingkungan kandang, saluran

(36)

2.7Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari recording milik inseminator untuk jumlah

kawin berulang dan wawancara melalui kuisioner terhadap peternak yang terdapat di di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean

Kabupaten Gresik, selanjutnya data sapi betina yang mengalami kawin berulang

dikelompokkan berdasarkan variabel independen. Data tersebut dievaluasi untuk

mendapatkan jumlah kasus dan melihat faktor yang berpengaruh terhadap

kejadian kawin berulang menggunakan analisis klasifikasi pohon dan deskriptif,

analisis data tersebut dilakukan dengan program SPSS versi 21. Hasil output yang

diperoleh berupa hasil frekuensi distribusi dan disajikan dalam bentuk tree

(37)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1Jumlah Kasus Kawin Berulang

Jumlah ternak yang di kawinkan menggunakan teknologi IB yaitu 1004

ekor yang diperoleh dari data laporan pelaksanana IB selama tahun 2014 di

wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik. Hasil penelitian pada tingkat peternak menunjukkan jumlah kejadian kawin berulang di Kecamatan Kedamean sebanyak 204 kasus dengan nilai persentase sebesar 20,3%

yaitu milik 170 peternak (Lampiran 2). Jumlah hasil IB yang normal berjumlah

800 ekor dengan nilai persentase sebesar 79,7% (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Proporsi sapi potong akseptor IB yang mengalami kawin berulang di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik tahun 2014

4.2 Faktor yang Berpengaruh terhadap Kawin Berulang

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kasus kawin berulang

pada sapi potong. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kasus kawin berulang

di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Kedamean Gresik dapat dilihat pada

(Tabel 4.1).

79,7%

20,3% Normal

(38)

Tabel 4.1 Data deskripsi faktor resiko kejadian kawin berulang pada sapi potong pada tingkat peternak di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik

No Variabel Hasil Persentase Rataan

1 Pengalaman berternak (PLB) 1-5 tahun (1)

2 Pengetahuan siklus estrus (PTSE) Tahu (1)

Tidak tahu (2) 145/170 25/170 85,3% 14,7% Tahu 3 Pengetahuan estrus (PTE)

Tahu (1)

Tidak tahu (2) 164/170 6/170 96,5% 3,5% Tahu 4 Pengamatan estrus (PME)

1x sehari (1)

5 Pelaporan estrus (PLE) 1-2 jam (1)

6 Pemberian minum (PBM) 20 liter/hari (1)

7 Jenis lantai kandang (JLK) Tanah (1)

8 Kebersihan lingkungan kandang (KLK) Baik (1)

Buruk (2) 118/170 52/170 30.6% 69,4% Buruk 9 Saluran pembuangan (SP)

Baik (1)

(39)

Gambar 4.2 Diagram pohon untuk faktor yang berpengaruh pada kejadian kawin berulang di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik

(40)

Dalam penelitian ini data hasil faktor yang berpengaruh pada kejadian

kawin berulang yang dianalisis menggunakan program statistik SPSS versi 21

menghasilkan sebuah diagram pohon klasifikasi yang menggambarkan

pembentukan kelompok variabel independen yang mempengaruhi variabel

dependen. Dalam penelitian ini ada sembilan variabel independen yang

digunakan, dari analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa hanya ada lima

variabel independen yang signifikan terhadap variabel dependennya.

Diagram pohon pada hasil analisis (Gambar 4.2) menjelaskan bahwa

faktor yang menyebabkan kejadian kawin berulang adalah pengaruh dari

pengamatan estrus (PME) sekali sehari, tidak diamati, dua kali sehari dan tiga kali

sehari; kebersihan lingkungan kandang (KLK); pengetahuan siklus estrus (PTSE);

pengalaman beternak (PLB); dan pengamatan estrus (PME) yang tidak diamati

(41)

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1Jumlah Kasus Kawin Berulang

Rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi mengindikasikan terjadinya gangguan reproduksi yaitu kawin berulang (Prihatno dkk., 2013). Kawin berulang merupakan suatu keadaan sapi betina yang mengalami kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan tiga kali atau lebih dengan inseminasi buatan tanpa adanya abnormalitas yang teramati (Amiridis et al., 2009).

Hasil penelitian pada tingkat peternak menunjukkan jumlah kejadian kawin berulang di Kecamatan Kedamean sebanyak 204 kasus milik 170 peternak

dengan nilai persentase sebesar 20,3% (Gambar 4.1). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan kajian yang dilaporkan Yusuf et

al., (2012), bahwa kejadian kawin berulang di daerah tropis bisa mencapai 62%. Kejadian kawin berulang di Jepang sekitar 5-24%, bervariasi tergantung faktor wilayah, lingkungan dan manajemen (Yusuf et al., 2010).

(42)

5.2Faktor yang Berpengaruh terhadap Kawin Berulang

Hasil penelitian menunjukkan peternak yang mempunyai pengalaman beternak 1-5 tahun sebanyak 18,2%, 6-10 tahun sebanyak 7,1%, 11-15 tahun berjumlah 12,9%, 16-20 tahun sebanyak 25,3% dan di atas 20 tahun terdapat

36,5%. Hasil penelitian menunjukkan rataan pengalaman beternak selama 16 tahun.

(43)

tepat, sehingga kemungkinan kegagalan kebuntingan menjadi lebih tinggi. Perry

et al., (2004), menyatakan bahwa pengetahuan siklus estrus dan estrus itu penting agar manajemen reproduksi dan kontrol siklus estrus menjadi lebih baik

Jumlah peternak yang melakukan pengamatan estrus dalam sehari sebanyak empat kali 10,6%, tiga kali sehari 24,1%, dua kali sehari 42,3%, dan satu kali sehari 20%, sedangkan jumlah peternak yang tidak pernah melakukan deteksi estrus sebanyak 2,9%. Rataan pengamatan estrus yang dilakukan peternak adalah 2,2 kali sehari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rataan deteksi estrus masih minim untuk keberhasilan deteksi estrus, Idealnya peternak mengamati estrus sebanyak empat kali sehari yaitu pagi, siang, sore, dan malam hari, dengan lama pengamatan sekitar 5-10 menit (Prihatno dkk., 2013). Pengamatan estrus yang dilakukan 3-4 kali sehari, seluruh sapi yang sedang estrus dapat identifikasi dengan baik sehingga IB dapat dilakukan tepat pada waktunya. Kesalahan dan rendahnya kemampuan mendeteksi estrus merupakan salah satu penyebab utama rendahnya angka kebuntingan (Heuwieser et al., 1997: Pursley et

(44)

Waktu yang diperlukan untuk melaporkan sapi yang estrus kepada inseminator adalah 1-2 jam sebanyak 54,1%, 3-4 jam 15,9%, 5-6 jam 30% dan rataan waktu pelaporan sapi yang estrus kepada inseminator sekitar 2,5 jam setelah timbulnya estrus. Peternak yang melaporkan sapi estrus 1-2 jam dengan alasan waktu untuk mengawinkan sapi diserahkan kepada inseminator. Pelaporan sapi estrus 5-6 jam sebagian peternak sudah ada yang mengerti dengan waktu pertengahan untuk dikawinkan. Para peneliti sepakat bahwa perkawinan yang dilakukan di atas 12 jam setelah timbulnya estrus mempunyai tingkat fertilitas lebih besar dengan kualitas embrio yang rendah dibandingkan dengan yang dikawinkan lebih awal (Saacke, 2008). Perkawinan yang dilakukan terlalu cepat atau terlambat dapat menurunkan angka kebuntingan. Perkawinan yang terlalu cepat dapat menyebabkan terlalu lamanya spermatozoa menunggu sehingga spermatozoa menjadi tua dan kemampuannya rendah untuk membuahi (Noakes et

al., 2009).

(45)

Jenis lantai kandang berupa tanah 40,6%, berupa lantai semen 48,2% dan jenis lantai kandang yang dilapisi karpet (karet) 11,2%. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian peternak masih menggunakan jenis kandang lantai tanah selain sulit dibersihkan juga sulit menghilangkan sisa feses dan urin yang sudah meresap dan tercampur dengan tanah. Keadaan ini memungkinkan kontaminan (mikroba) masuk ke dalam uterus lewat vulva yang kotor, terutama pada sapi saat atau sesudah inseminasi menyebabkan timbulnya kejadian endometritis. Banyak peternak yang menggunakan jenis kandang lantai semen dikarenakan mudah dibersihkan dan cepat kering. Sisi negatif dari kandang lantai semen adalah mudah terjadi kepincangan (lamenes) akibat lantai kandang yang keras dan kasar, sehingga dapat mengurangi akurasi deteksi estrus, menyebabkan waktu perkawinan yang kurang tepat dan diakhiri dengan kegagalan kebuntingan yang ditandai dengan kejadian kawin berulang. Hal ini sesuai dengan pendapat Salem et al., (2006) menyatakan bahwa kondisi kandang lantai yang keras, tanpa alas jerami dapat menyebabkan menurunnya deteksi estrus dan fertilitas.

(46)

Kebersihan lingkungan kandang yang menunjukkan hasil baik 30,6% dan jelek 69,4%. Saluran pembuangan yang baik 40% dan jelek 60%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebersihan lingkungan kandang dan saluran pembuangan adalah buruk, yang menandakan buruknya manajemen pemeliharaan sapi. Buruknya lingkungan kandang dan saluran pembuangan merupakan tempat yang subur bagi berkembangnya mikroba, dikarenakan peternak kurang menyadari akan pentingnya kebersihan kandang serta saluran pembuangan dan dampak yang ditimbulkannya terutama pada sistem reproduksi. Hal ini sesuai dengan pendapat Noakes et al., (2009) bahwa, lingkungan kandang yang kotor, terutama pada saat melakukan inseminasi merupakan predisposisi terjadi penyakit pada organ reproduksi (endometritis).

Dilihat dari keterkaitan seluruh variabel terhadap kasus kawin berulang

pada sapi potong bahwa faktor yang menyebabkan kejadian kawin berulang

adalah pengaruh dari pengamatan estrus (PME) sekali sehari, tidak diamati, dua

kali sehari dan tiga kali sehari; kebersihan lingkungan kandang (KLK);

pengetahuan siklus estrus (PTSE); pengalaman beternak (PLB); dan pengamatan

estrus (PME) yang tidak diamati dan dua kali sehari serta sekali sehari dan tiga

(47)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1Kesimpulan

1. Hasil penelitian kejadian kawin berulang pada sapi potong di wilayah kerja

Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik

sebesar 20,3%.

2. Faktor yang menyebabkan kejadian kawin berulang adalah pengaruh dari

pengamatan estrus (PME) sekali sehari, tidak diamati, dua kali sehari dan tiga

kali sehari; kebersihan lingkungan kandang (KLK); pengetahuan siklus estrus

(PTSE); pengalaman beternak (PLB); dan pengamatan estrus (PME) yang

tidak diamati dan dua kali sehari serta sekali sehari dan tiga kali sehari.

6.2Saran

1. Untuk memperkecil nilai kejadian kawin berulang diperlukan adanya

pembelajaran khusus kepada peternak mengenai manajemen pemeliharaan

seperti manajemen pakan, manajemen perkandangan dan kebersihan

lingkungan, serta manajemen pengelolaan reproduksi seperti pemahaman

mengenai estrus dan deteksi estrus.

2. Penampilan produktifitas sapi dapat terlihat lebih baik bagi para peternak sapi

potong Kecamatan Kedamean, namun perlu adanya ketelitian khususnya dari

segi pengamatan estrus, kebersihan lingkungan kandang dan pengetahuan

(48)

RINGKASAN

Usaha peternakan di Indonesia sampai saat ini masih menghadapi banyak

kendala, yaitu masih banyak kasus gangguan reproduksi menuju kemajiran ternak

betina yang mengakibatkan produktifitas ternak rendah.. Rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi mengindikasikan terjadinya gangguan reproduksi yaitu kawin berulang (Prihatno dkk., 2013). Kawin berulang merupakan suatu keadaan sapi betina yang mengalami kegagalan untuk bunting setelah dikawinkan tiga kali atau lebih dengan inseminasi buatan tanpa adanya abnormalitas yang teramati (Amiridis et al., 2009)..

Menurut Zemjanis (1980) secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2

faktor utama yaitu kegagalan pembuahan/fertilisasi dan kematian embrio dini.

Faktor-faktor tersebut dapat disebabkan dari kesalahan peternak dalam

manajemen pemeliharaan seperti manajemen pakan, manajemen perkandangan,

kebersihan lingkungan, yang dapat mengakibatkan kegagalan fertilisasi dan

kematian embrio dini (Robert, 1986; Copelin et al.,1988). Selain itu, kesalahan

pengelolaan reproduksi karena rendahnya pemahaman mengenai estrus, tidak

akuratnya deteksi estrus sehingga dapat mengakibatkan keterlambatan pelaporan

gejala birahi.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui jumlah kasus kawin berulang dan faktor-faktor yang menyebabkan kasus kawin berulang pada Sapi Potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean

(49)

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan teknik

pengambilan data sensus yang diperoleh dari recording milik inseminator.,

sehingga semua sapi betina yang mempunyai kasus kawin berulang digunakan

sebagai sampel. Dengan melakukan pengamatan secara langsung mengenai

manajemen pemeliharaan, kemudian melakukan wawancara pada peternak di

Kecamatan Kedamean. Data tersebut dievaluasi untuk mendapatkan jumlah kasus

dan melihat faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kawin berulang

menggunakan analisis klasifikasi pohon dan deskriptif, analisa data tersebut

dilakukan dengan program SPSS versi 21.

Hasil penelitian menunjukkan jumlah kejadian kawin berulang di Kecamatan Kedamean sebanyak 204 kasus milik 170 peternak dengan nilai

persentase sebesar 20,3%. Faktor yang menyebabkan kejadian kawin berulang

adalah pengaruh dari pengamatan estrus (PME) sekali sehari, tidak diamati, dua

kali sehari dan tiga kali sehari; kebersihan lingkungan kandang (KLK);

pengetahuan siklus estrus (PTSE); pengalaman beternak (PLB); dan pengamatan

estrus (PME) yang tidak diamati dan dua kali sehari serta sekali sehari dan tiga

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin P. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. Hal : 354-362.

Amiridis G.S., T.H. Tsiligianni, E. Dovolou, C. Rekkas, D. Vouzaras, and I. Menegatos. 2009. Combined administration of gonadotropinreleasing hormone, progesterone, and meloxicam is an effective treatment for the repeat-breeder cow. Theriogenology 72:542–548.

Andreana, N.O. 2013. Efisiensi Reproduksi Sapi Peranakan Limousin dan Simmental Hasil Inseminasi Buatan (IB) Periode 2012 di Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang. (Skripsi). Fakultas Kedoteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Arthur, G.H, 1975, Veterinary Reproduction And Obstetrics, Fourth Edition, The

English Language Book Society And Baillere Tindall, pp: 397.

Astuti, H.Y. 2008. Faktor-faktor yang Memengaruhi Repeat Breeder Pada Sapi Potong di Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

BPS (Badan Pusat Statistik), 2013. Laporan Hasil Sensus Pertanian 2013 (Pencacahan Lengkap). Katalog BPS : 5106005. Hal : 9

Britt JH, R.G. Schott, J.D. Armstrong, and M.D. Whitacre. 1986. Determinants of estrous behaviour in lactating Holstein cows. J Dairy Science 69: 2195-2202.

Copelin, J.P., M.F. Smith, H.A.Garveric, R.S. Youngguist, M. Vey, and E. K. Inskeep. 1988. Rensponsivenes of bobine corpus luteum to PGF 2á: Composition of corpora lutea anticipated to have short or normal lifesspans. Journal Animal Science 26(5): 1236–1246.

Darmasasmita, D.E.W. 2015. Pengaruh Lama Thawing Terhadap Motilitas dan Nekrosis Spermatozoa Semen Beku Sapi Simmental. (Skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

(51)

Fahey, J., K. O’Sullivan, J. Crilly, and J.F. Mee. 2002. The effect of feeding and management practices on calving rate in dairy herds. Anim. Reprod. Sci. 74:133-150.

Frandson, R.D., 1992, Anatomi dan Fisiologi Ternak, Edisi ke-4, diterjemahkan oleh Srigandono, B dan Praseno, K, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gilbert R.O., S.T. Shin, C.L. Guard, H.N. Erb, and M. Frajblat. 2005. Prevalence of endometritis and its effect on reproductive performance of dairy cows. Theriogenology 64: 1879– 1888.

Gustafsson H. 1985. Characteristics of embryos from repeat breeder and virgin heifers. Theriogenology 23: 487- 498.

Gustafsson H, and U. Emanuelsson. 2002. Characterisation of the repeat breeding syndrome in Swedish dairy cattle. J Acta Vet Scand 43:115-125.

Hafez, E.S.E, 1993, Reproduction Failure in Females, 6 th Edition, LEA And

Febiger, Philadelphia, pp: 267, 271.

Hardijanto, S. Susilowati, T. Suherni, T. Sardjito dan T.W. Suprayogi. 2010. Buku Ajar Inseminasi Buatan. Surabaya : Airlangga University Press.

Hardjopranjoto, H.S, 1995, Ilmu Kemajiran Pada Ternak, Airlangga University

Press, Hal: 103-114, 139-146.

Hariadi, M., S. Hardjopranjoto, Wurlina, H. A. Hermadi, B. Utomo, Rimayanti, I. N. Triana, H. Ratnani. 2011. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya: Airlangga University Press. 145.

Herawati T., A. Anggraeni, L. Praharani, D. Utami dan A. Argiris. 2012. Peran Inseminator dalam Keberhasilan Inseminasi Buatan pada Sapi Perah.

Informatika Pertanian, 21(2) : 81-88.

Heuwieser W., P.A. Oltenacu, A.J. Lednor, and R.H. Foote. 1997. Evaluation of different protocols for prostaglandin synchronization to improve reproductive performance in dairy herds with low estrus detection efficiency. J Dairy Sci 80: 2766–2774.

(52)

Komarudin, and D.B. Wijono, 1990. Penggunaan karet karpet sebagai alas lantai kandang sapi. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Sapi Grati. Vol 1, No 1 Hal: 21-23.

Linares T, W.A. King, K. Larsson, I. Gustavsson, and A. Bane. 1980. Successful, repeated nonsurgical collection of blastocysts from virgin and repeat breeder heifers. Vet Res Comm 4:113-118.

Looper M.L., and D.N. Waldner. 2002. Water for Dairy Cattle. The College of Agriculture and Home Economics, at www.cahe.nmsu.edu. Tanggal akses 19 Juli 2015.

López-Gatius F. 2011. Factors of a non-infectious nature affecting fertility after artificial insemination in lactating dairy cows. A review. Theriogenology 77: 1029-1041.

Marawali, A., M.T. Hine, Burhanuddin, H.L.L. Belli. 2001. Dasar-dasar ilmu reproduksi ternak. Departemen pendidikan nasional direktorat pendidikan tinggi badan kerjasama perguruan tinggi negeri Indonesia timur. Jakarta.

Noakes D.E., T.J. Parkinson, and G.C.W. England. 2009. Veterinary Reproduction and Obstetrics, ninth ed. Edinburgh London Elsevier Sci : 399–408.

Nuryadi dan S. Wahyuningsih. 2011. Penampilan produksi Sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin di Kabupaten Malang. Jurnal Ternak Tropika 12(1): 76–81.

Partodiaharjo, S. 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya. Jakarta Lopez, H., L. D. Satter, and M. C. Wiltbank. 2004. Relationship between level of milk production and estrous behavior of lactating dairy cows. Anim. Reprod. Sci. 89:209–223.

PDTI PEMDA Gresik. 2014. Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Gresik. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Gresik . Akses 24 Juli 2015.

Perry, E.J. 1960. The Artificial Insemination of Farm Animals. Rutgers Univ. Press, New Brunswick, N.Y.

Perry G.A., M.F. Smith, A.J. Roberts, M.D. MacNeil, and T.W. Geary. 2004. Effect of ovulatory follicle size on pregnancy rates and fetal mortality in beef heifers. J Anim Sci 82(Suppl. 2):101 Abstr. 99.

Prihatno S.A., A. Kusumawati, N.W.K. Karja, B. Sumiarto. 2013. Prevalensi dan Faktor Resiko Kawin Berulang pada Sapi Perah pada Tingkat Peternak.

(53)

Pursley J.R., R.W. Silcox, and M.C. Wiltbank. 1998. Effect of time of artificial insemination on pregnancy rates, calving rates, pregnancy loss, and gender ratio after synchronization of ovulation in lactating dairy cows. J Dairy Sci 81: 39–44

Robert S.J. 1986. Infertility in the cows. In Veterinary Obstetric and Genital Disease (Theriogenology). 3rd edition Published by the author, Woodstock, VT 05091 Ithaca. New York. 434 – 475.

Rustamadji B., Ahmadi, Kustono, dan T. Sutarno. 2007. Kinerja usaha peternakan sapi perah rakyat sebagai tulang punggung pembangunan persusuan nasional. Paper.Disampaikan pada Lokakarya Persusuan Nasional. Yogyakarta. Dies 38 Fapet UGM.

Saacke R.G. 2008. Insemination factors related to timed AI in cattle. Theriogenology 70: 479–484.

Salem, M.B., M. Djemali, C. Kayouli, and A. Majdoub. 2006. A review of environmental and management factors affecting the reproductive performance of Holstein-Friesian dairy herds in Tunisia. Livestock Research for Rural Developm.18(4):123-129.

Salisbury, R.E. dan W.L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi Dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Edisi terjemahan oleh R. Djanuar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sarwesti, D. 2009. Efektifitas Pemisahan Spermatozoa Kromosom X dan Y dengan Metode Sephadex G-75 dan Swim Up Berdasarkan Besar Ukuran Kepala Spermatozoa pada Sapi Limousin. (Skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Sonjaya, H. 2005. Materi Mata Kuliah Ilmu Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.

Suwandi. 2010. http://gresikselatan-suwandi.blogspot.com/2010/07/gresik-selatan.html . Akses 24 Juli 2015

Thatcher W.W., T.R. Bilby, J.A. Bartolome, F. Silvestre, C.R. Staples, and J.E.P. Santos. 2006. Strategies for improving fertility in themodern dairy cow. Theriogenology 65: 30–44.

Toelihere, M.R, 1981, Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama, Institut

Pertanian Bogor, Hal: 52-57, 76-85.

(54)

Toelihere, M.R. 1985a. Inseminasi Buatan pada Ternak. Angkasa. Bandung. Hal : 126-132

Trimberger, G.W. and G.K. Davis, 1943. The relationship between time of insemination and breeding efficiency in dairy cattle, Nebr. Agr. Expt. Sta. Res. Bull., 129

Van Eerdenburg F.J.C.M., M.A.D. Karthaus, M. Taverne, I. Merics, and O. Szenci. 2002. The relationship between estrous behavioural score and time of ovulation in dairy cattle. J Dairy Sci 85:1150–1156.

Wettemann, R.P., C.A. Lents, N.H. Ciccioli, F.J. White, and I. Rubio. 2003. Nutritional and suckling-mediated anovulation in beef cows. J. Anim. Sci. 81 (E. Suppl. 2): E48-E59.

Wijaya, T. 2012. Gambaran Fertilitas Induk Sapi Potong Hasil Inseminasi Buatan Pada Paritas 3 Dan 4 Di Kabupaten Situbondo (Skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.

Windig J.J., M.P. Calus, and R.F. Veerkamp. 2005. Influence of herd environment on health and fertility and their relationship with milk production. J Dairy Sci 88:335–47.

Yusuf M, T. Nakao, B.M.K. Ranasinghe, G. Gautam, S.T. Long, C1. Yoshida, K. Koike dan A. Hayashi. 2010. Reproductive performance of repeat breeders in dairy herds. Theriogenology. 73: 1220-1229.

Yusuf M., L. Rahim, M.A. Asja, and A. Wahyudi. 2012. The incidence of repeat breeding in dairy cows under tropical condition. J Media Peternakan April :28-31.

Zemjanis, R, 1980, Repeat Breeding or Conception Failure in cattle; Current Theraphy in Theorigenology.,Morrow, D.A, W.B Saunders Company

(55)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuisioner untuk peternak sapi potong di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik

KUISIONER PENELITIAN

“Kasus Kawin Berulang dan Faktor Penyebabnya Pada Sapi Potong di Wilayah Kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik Periode 2014”

6. Pemberian minum ………...…. lt/hari

(56)

Lampiran 2. Data Kawin Berulang Kecamatan Kedamean Tahun 2014 dan hasil wawancara peternak di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kecamatan Kedamean Kabupaten Gresik.

(57)
(58)
(59)
(60)
(61)

>20 TAHUN TAHU TAHU 3X SEHARI 3-4 JAM SEMEN BAIK BAIK 30

LITER/HARI 4X

16-20 TAHUN TAHU TAHU TIDAK

DIAMATI

1-2 JAM KARET BURUK BURUK 20

LITER/HARI 4X

11-15 TAHUN TAHU TAHU 3X SEHARI 5-6 JAM TANAH BURUK BAIK 20

LITER/HARI 3X

100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Gambar

Gambar 2.1 Pedoman waktu inseminasi pada sapi (Sumber : Perry, 1960)
Gambar 4.1 Proporsi sapi potong akseptor IB yang mengalami kawin berulang di  wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik tahun 2014
Tabel 4.1  Data deskripsi faktor resiko kejadian kawin berulang pada sapi potong  pada tingkat peternak  di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik
Gambar 4.2 Diagram pohon untuk faktor yang berpengaruh pada kejadian kawin         berulang di wilayah kerja Petugas Teknis Kesehatan Hewan Kedamean Gresik

Referensi

Dokumen terkait

Dimensi-dimensi tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat, karena pendidikan kewarganegaraan dipandang sebagai mata pelajaran

Disampaikan dalam kegiatan penyuluhan “Upaya Penyelamatan Generasi Muda Melalui Penyuluhan Pengetahuan Bahaya dan Cara Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba” tanggal

Asli keputusan kenaikan jenjang jabatan dalam Jabatan Fungsional disampaikan kepada pejabat fungsional yang bersangkutan dan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan

Wisata Alam Aik Nyet merupakan wisata utama dan menjadi salah satu wisata andalan yang ada di Desa Buwun Sejati Kecamatan Narmada. Wisata Alam Aik Nyet mengandalkan hutan alamnya

• Pastikan kabel daya tidak terjepit di antara tembok dan rak atau meja tempat proyektor berada, dan jangan pernah menutupi kabel daya dengan bantalan atau benda lain.. •

Terdapat rumusan masalah dalam penelitian ini: (1) Bagaimana penerapan kegiatan Meronce untuk meningkatkan kemampuan kognitif anak pada TK Sejahtera Jatisari kelompok

Terdapat dua dimensi penting dalam skenario sasaran ini, yaitu berpusat pada usaha pemasaran pada seluruh segmen atau sebagian dari segmen dan persamaan pelanggan dengan