• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 65.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 65."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Undang-Undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terbentuk sebagai jawaban atas meningkatnya kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa Perbankan Syariah. Produk-produk yang ada dibank syariah diklasifikasikan berdasarkan empat macam kategori perjanjian yang dikenal dalam Islam. Dalam perbankan syariah, setiap produk yang dikeluarkan didasarkan pada prinsip titipan, jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, dan akad yang sifatnya sosial (tabarru).1

Ketentuan Pasal 1 Ayat (25) yaitu Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: transaksi bagi hasil, transaksi sewa menyewa, transaksi pinjam meminjam, transaksi dalam sewa menyewa jasa dalam bentuk Ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan

ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Pada Pasal 36, yaitu dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan Nasabah yang mempercayakan dananya.

Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan disebutkan beberapa teknik finansial tersebut, yaitu mudharabah, musyarakah, murabahah, ijarah, dan

ijarah wa iqtina. Kemudian setelah melalui tahap pemurnian, yang ditandai dengan keluarnya Undang-Undang nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dasar hukum perjanjian pembiayaan bagi hasil musyarakah pada perbankan syariah menjadi semakin kuat. Pasal 19 (1) huruf c bahwa

1 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 65.

(2)

2

Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Landasan hukum positif tentang

Musyarakah ini diatur dalam Undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syari‟ah, dengan aturan pelaksana Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, Pasal 28 butir b.2.b. Sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6, terdapat dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000.

Secara etimologi as-syarikah atau al-Musyarakah mengandung makna

al-ikhtilat wa al-imtizaj yaitu percampuran. Dalam Lisan al-„Arab disebutkan

as-syirkah dan as-syarikah mengandung makna yang sama yaitu mukhalathatu as-syarikaini (bercampur atau bergabungnya dua orang) untuk melakukan kerja sama. Di dalam literatur fiqh, Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kegiatan usaha tertentu. Masing-masing memberikan kontribusi dana atau pekerjaan atau dana dan pekerjaan sekaligus dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Jadi, Musyarakah adalah perjanjian kesepakatan bersama antara beberapa pemilik modal untuk menyertakan modal sahamnya pada suatu proyek, yang biasanya berjangka waktu panjang.2

Menurut ulama Malikiyah, Syirkah (Musyarakah) adalah suatu izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang bekerjasama terhadap harta mereka. Dalam mazhab Syafi‟i dan Hambali diuraikan bahwa syirkah adalah hak bertindak hukum bagi dua orang atau lebih pada sesuatu yang mereka sepakati. Sedangkan mazhab Hanafi mendefinisikan syirkah yang berupa akad yang dilakukan oleh orang-orang yang bekerjasama dengan modal dan keuntungan.3 Dikemukakan pula dengan adanya akad syirkah yang disepakati kedua belah pihak, maka semua pihak yang mengikat diri berhak bertindak

2

Asmuni Mth, Aplikasi Musyarakah dalam Perbankkan Islam, Yogyakarta Jurnal Al-Mawarid Edisi XI Tahun 2004. hlm. 22.

3Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 1711.

(3)

3

hukum terhadap harta syarikat itu dan berhak mendapatkan keuntungan sesuai yang disepakati.4

Akad merupakan “dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian kita.” Perjanjian/Akad adalah suatu perbuatan kesepakatan antara seseorang / beberapa orang lainnya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.5 Melalui akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha dapat dijalankan. Akad memfasilitasi setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat dipenuhinya sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. Karenanya dapat dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial yang ditemukan oleh peradaban umat manusia untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial. Kenyataan ini menunjukkan bahwa betapa kehidupan kita tidak lepas dari apa yang namanya perjanjian (akad), yang memfasilitasi kita dalam memenuhi berbagai kepentingan kita, mengingat betapa pentingnya akad (perjanjian).

Dalam pembuatan kontrak/akad, tentunya akan dimulai dengan hal-hal yang bersifat fundamental, para pihak biasanya akan melakukan pembicaraan satu sama lain. Sebab jika suatu kontrak tidak didefinisikan secara jelas mengenai sesuatu yang dimaksud bisa akan menimbulkan persoalan-persoalan yang baru.6 Asas kebebasan berkontrak apabila dikaitan dengan permasalahan modern terutama tentang lembaga perbankan syariah, akan mempunyai implikasi yang sangat besar dikarenakan adanya kebebasan di dalamnya, yaitu setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian-perjanjian baru dengan mengabaikan perjanjian-perjanjian yang telah ada di dalam teks-teks hukum islam atau di dalam Undang-Undang, karena hukum tersebut pada prinsipnya hanya berfungsi sebagai optional law.7 Sutan Remy Sjahdeni berpendapat bahwa asas kebebasan berkontrak yang tidak terbatas dapat

4Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2007, hlm 166

5 Chairuman Pasaribu & Suhrawadi K Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 1996, hlm. 1.

6

Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hlm. 33.

7 Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 30.

(4)

4

menimbulkan ketidakadilan apabila para pihak mempunyai kekuatan kedudukan yang tidak seimbang, karena perjanjian-perjanjian yang dihasilkan adalah perjanjian yang berat sebelah dan sering mengandung klausul-klausul yang secara tidak wajar memberatkan bagi salah satu pihak.8

Akan tetapi pada prakteknya Perbankkan di Indonesia, sering menggunakan standart contract dalam pemberian fasilitas kredit pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kepraktisan bagi para pihak yang bertransaksi, karena tidak mungkin bagi para pihak yang bertransaksi, dan tidak mungkin bila bank harus melakukan negosiasi tentang substansi perjanjian dengan setiap orang yang akan menjadi debitur. Selain banyak menguras tenaga dan pikiran juga akan memakan waktu yang cukup lama, bahkan akan menjadi kesulitan tersendiri dalam administrasi maupun dalam pelaksanaan perjanjiannya. Dalam

standart contract telah diuraikan secara jelas tentang hak maupun kewajiban dan masing-masing pihak.

Permasalahan menjadi timbul ketika dalam prakteknya pihak bank justru memanfaatkan hal tersebut untuk menekan debitur dengan membuat klausula-klausula yang memberatkan, atau yang disebut sebagai klausula eksenoras, sehingga yang terjadi adalah ketidak seimbangan posisi tawar di antara mereka. Di satu sisi, bank berada dalam posisi kuat karena berkedudukan sebagai pihak yang memiliki dana. Di sisi lain, debitur begitu lemah karena berkedudukan sebagai pihak yang "terpaksa" menandatangani perjanjian kredit dikarenakan kebutuhan akan kredit amat besar. Padahal dalam hukum perjanjian, kedudukan yang seimbang bagi para pihak merupakan sesuatu yang prinsip dan merupakan wujud dan adanya asas kebebasan berkontrak. Dan gambaran tersebut, debitur menjadi perlu untuk dilindungi oleh hukum positif Indonesia.

Karena, pada hakikat dari asas kebebasan berkontrak dan asas kesepakatan tersebut, ada apabila posisi tawar menawar para pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang dikehendaki masing-masing.

8 Sutan Remy Sjahdeni, Kebebbasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta,1993, hlm. 296.

(5)

5

Menurut jenisnya, standart contract dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu:9

1) Standart contract sepihak, yaitu perjanjian baku yang ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian. Pihak yang kuat ini lazimnya adalah kreditur.

2) Standart contract timbal balik, adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua belah pihak, misalnya perjanjian baku yang dibuat oleh majikan dan buruh dalam perjanjian buruk kolektif.

3) Standart contract yang ditetapkan oleh pemerintah, adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai obyek hak atas tanah. 4) Standart contract yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat,

adalah perjanjian baku yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat.

Asas kebebasan berkontrak pada hukum Islam memberikan kebebasan kepada orang untuk membuat akad sesuai dengan apa yang diinginkan oleh para pihak, tetapi untuk menentukan akibat hukumnya dalam ajaran agama. Hal ini untuk menjaga agar jangan sampai terjadi penganiayaan antara sesama manusia melalui akad dan syarat-syarat yang dibuatnya. Dalam hukum perjanjian Islam asas kebebasan berkontrak dimaksudkan kebebasan seseorang untuk membuat perjanjian macam apapun dan berisi apa saja sesuai dengan kepentingannya dalam batas-batas kesusilaan dan ketertiban umum, sekalipun perjanjian itu bertentangan dengan Pasal-Pasal hukum perjanjian.10

Karena prinsip Syariah Dasar atau Fiqhal - Muamalat dari Kontrak Bisnis Islam yang berbasis luas untuk kesejahteraan ekonomi, sosial dan keadilan ekonomi, dan pemerataan pendapatan dan kekayaan tujuan utama dari ekonomi Islam. Komitmen intens Islam untuk persaudaraan dan keadilan serta

9Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, “ Naskah Akademis Tentang Kontrak di Bidang Perdagangan”, hlm. 14.

(6)

6

kesejahteraan atau 'falah'. Untuk mencapai falah, ekonomi Islam dan perbankan telah mengembangkan produk investasi syariah yang berbeda.11

Dalam hal praktek-praktek bidang kegiatan perbankan secara normal dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, Bank Syariah dapat mengadopsi sistem dan prosedur perbankan yang ada. Dalam hal ini terjadi pertentangan dengan syariat, maka Bank Islam merencanakan dan menerapkan praktek dan prosedur mereka sendiri guna menyesuaikan aktivitas perbankan mereka dengan prinsip-prinsip syariah Islam.

Prinsip-prinsip syariah Islam di gunakan untuk menghindari riba, bahwa

riba dalam prakteknya mengandung banyak mudharat (keburukan), sistem Ekonomi Islam melarangan pembayaran bunga dalam hubungan pemberi pinjaman dan penggantian dengan laba rugi berbagi instrumen keuangan. Umumnya, telah ada asumsi implisit oleh penulis Islam yang pelarangan bunga untuk literatur Islam. Dalam literatur ekonomi kontemporer yang fundamental menentang pembayaran bunga. Pertimbangan agama, moral, teoritis dan praktis, secara historis, bunga telah menentang dengan alasan dari perpecahan sosial itu menciptakan dan kesulitan untuk peminjam.12

Riba adalah seperti melancarkan perang melawan Allah SWT dan Nabi-Nya. Jika Muslim berada pada kerugian lengkap, tidak ada pembenaran untuk

riba. Oleh karena itu jelas, bahwa apa pun keadaan, umat Islam tidak harus memanjakan diri dalam riba. Al-Quran mengatakan bahwa laba diperbolehkan hanya pada perdagangan, yang jelas berarti perdagangan barang dan jasa. Satu dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan, tetapi tidak dalam transaksi pinjaman. Sehingga bunga yang diperoleh dalam transaksi pinjaman tidak dapat disebut halal dengan alasan bahwa itu adalah keuntungan, seperti

11Md. Abdul Awwal Sarker, Islamic Business Contracts, Agency Problem And The Theory Of The Islamic Firm.Tulisan pada International Journal Of Islamic Financial Services Vol. 1 No.2. 2001. hlm. 1.

12Humayon A. Dar and John R. Presley, Islamic Finance: A Western Perspective.Tulisan pada International Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No.1. 2001. hlm. 2.

(7)

7

keuntungan pada perdagangan karena riba hanya mengambil dari orang lain dan memaksa dia untuk menjalani penderitaan.13

Perbankan syariah dalam melaksanakan kegiatan pembiayaan, masih belum jelas mengenai mekanisme kebebasan berkontrak dalam pembuatan suatu akad. Biasanya kebebasan berkontrak cenderung untuk nasabah yang mempunyai daya tawar tinggi saja, sementara nasabah yang mempunyai daya tawar rendah pihak bank cenderung menggunakan akad standar yang telah dibuat terlebih dahulu oleh pihak bank.

Syirkah atau Musyarakah adalah salah satu produk pembiayaan yang ada di perbankan syari‟ah dengan prinsip bagi hasil. Musyarakah adalah kerjasama antara kedua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.14

Pada Perbankan Syari‟ah terdapat salah satu Fatwa MUI, yaitu Fatwa DSN 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Musyarakah, yang mengatur tentang Prosedur dan Tata Cara dalam mengadakan suatu akad di Perbankan Syari‟ah, antara lain harus Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad), penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak, dan akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan, setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil, setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset

musyarakah dalam proses bisnis normal, setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap

13

Saima Akbar Ahmed,Global Need For A New Economic Concept Islamic Economics. Tulisan pada International Journal Of Islamic Financial Services Vol. 1 No.4. 2001. hlm. 2-3.

14 Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta, 2003, hlm. 52.

(8)

8

telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja dan Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian), antara lain : 1) Modal

a. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.

b. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.

c. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

2) Kerja

a. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan

musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.

b. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

3) Keuntungan

a. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.

(9)

9

b. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.

c. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya. d. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad. 4) Kerugian

a. Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 32/34/Kep/Dir tanggal 12 Mei 1999, Pasal 28 butir b.2.b. sebagaimana dijabarkan dalam lampiran 6 bahwa penyaluran dana masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk musyarakah

yaitu akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati.15

Prinsip yang ada di Bank Syari‟ah pada sistem ekonomi syariah adalah sistem return bagi nasabahnya. Bank syariah sistem return-nya adalah sistem bagi hasil (profit loss sharing) yaitu nisbah (persentase bagi hasil) yang besarnya ditetapkan di awal transaksi yang bersifat tetap, tetapi nilai nominal rupiahnya belum dapat diketahui dengan pasti melainkan melihat laba rugi yang akan terjadi nanti. Penentuan nisbah bagi hasil sangatlah penting untuk mendapatkan tingkat bagi hasil yang diterima oleh nasabah. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan nisbah bagi hasil ialah tingkat suku bunga bank konvensional, suku bunga acuan Bank Indonesia, tingkat inflasi dan nilai tukar mata uang. Salah satu faktor acuan dalam penetapan bagi hasil nisbah musyarakah di bank syariah masih mempertimbangkan banyak faktor-faktor, antara lain yang mempengaruhi, yaitu:16 Mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment rate, jumlah

15

Luqman, Sistem Pembiayaan Musyarakah dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Usaha, Tesis Magister Studi Islam Program Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2006, hlm. 44.

(10)

10

dana yang tersedia dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio), penjelasannya adalah sebagai berikut:

1) Investment rate merupakan prosentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika Bank menentukan investmentrate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas;

2) Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana

dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode yaitu rata-rata saldo minimum bulanan dan rata-rata total saldo harian.

Invesment rate dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan, akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan; 3) Nisbah (profit sharing ratio)

Nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian. Nisbah

antara satu Bank Syari‟ah dan Bank Syari‟ah lainnya dapat berbeda.

Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu Bank Syari‟ah, misalnya pembiayaan musyarakah 5 bulan, 6 bulan, 10 bulan dan 12 bulan. Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dan account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya.

Secara terminologi, profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan“Distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.17

Dapat pula dikatakan lebih lanjut bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Dalam ajaran Islam, konsep profit sharing sering disebut bagi hasil. Konsep ini dengan mudah dijumpai dalam praktek masyarakat Islam pada masa Rasulullah dan sahabat hingga masyarakat muslim saat ini.18 Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan bagi

17Muhamad, Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 22.

(11)

11

hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu.19

Dalam dunia perbankan, Muhammad lebih lanjut menjelaskan bahwa bagi hasil (profit sharing) adalah merupakan suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana (shahibul maal) dengan pengelola dana (mudharib).20 Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara bank (mudharib) dengan penyimpan dana (shahibul maal), maupun antara bank dengan nasabah bank penerima dana (pengusaha).

Hasil usaha bank yang dibagikan kepada nasabah penyimpan dana adalah laba usaha bank yang dihitung selama periode tertentu. Sedangkan hasil usaha nasabah penerima dana yang dibagi dengan bank adalah laba usaha yang dihasilkan nasabah penerima dana dari salah satu usahanya yang secara utuh dibiayai bank.21

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam sistem bagi hasil di Indonesia, yakni profit sharing, Profit sharing adalah sistem bagi hasil yang basis perhitungannya adalah dari profit yang diterima bank (laba bersih). Dengan demikian profit sharing merupakan konsep yang paling lazim dan tidak ada keraguan didalamnya, bahkan seluruh ulama sepakat dengan transaksi bagi hasil ini. Hadirnya sistem bagi hasil dalam perbankan Islam tentunya tidak akan memberikan ruang gerak bagi sistem bunga, karena keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahibul maal dengan mudharib.

Pelaksanaannya prinsip bagi hasil yang ada, di hubungkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan nisbah menjadi kendala, apakah benar Bank Syari‟ah menerapkan konsep musyarakah secara (holistik) sesuai konsep dasar musyarakah adalah dalam bagi hasil. Secara konseptual bagi hasil dilakukan berdasarkan nisbah yang diperoleh dari

19Drs. H. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, S.H, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 61.

20

Muhamad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 52.

21Prof. H. A. Djazuli dan Drs. Yadi Janwari, M. Ag, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat Sebuah Pengenalan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 63.

(12)

12

keuntungan suatu usaha. Karena karakteristik musyarakah yang dapat digolongkan sebagai salah satu kontrak investasi. Dalam kontrak ini, return

dan timing cash flow tergantung kepada kinerja sektor riil. Apabila laba bisnisnya besar, maka kedua belah pihak akan mendapatkan bagian yang besar pula. jika keuntungan dari bisnisnya kecil, maka kedua belah pihak yang melakukan kontrak akan mendapatkan bagian yang kecil pula. Dalam pelaksanaannya hal demikian sulit diterapkan, karena jika pihak pengelolan dana mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari keuntungan rata-rata, jarang ada nasabah mitra pembiayaan tersebut yang melaporkannya, sehingga menurut Penulis belum ada perhitungan nisbah yang benar-benar baku dan dapat dilaksanakan dengan baik oleh salah satu pihak walaupun perhitungan tersebut masuk kedalam kontrak atau akad pembiayaan

musyarakah.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka perlu adanya suatu penyelesaian yang tidak hanya dilakukan dengan pemikiran-pemikiran praktis melainkan memerlukan suatu analisa secara Empiris yang dapat dituangkan dalam karya tulis ilmiah berupa tesis, sudah tentu berbeda dengan judul-judul tesis yang lain, sesuai dengan pandangan dan analisis penulis, yaitu yang bejudul : “ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DI DALAM PENENTUAN NISBAH BAGI HASIL PADA PEMBIAYAAN MUSYARAKAH (STUDI DI BANK SYARI‟AH MANDIRI CABANG CIREBON) “.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan nisbah bagi hasil dalam perjanjian musyarakahdi Bank Syari'ah Mandiri Cabang Cirebon ? 2. Bagaimana kedudukan calon nasabah dalam keikutsertaanya menentukan

(13)

13

C. Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah yang diuraikan diatas diperoleh gambaran dimensi permasalahan yang luas, namun menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan maka penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas dan terfokus, selanjutnya masalah yang menjadi objek penelitian dibatasi hanya pada penentuan nisbah pada perjanjian musyarakah, yang dimaksud dengan penentuan nisbah pada perjanjian musyarakah dalam penelitian ini adalah perjanjian bagi hasil yang mana maksud dan tujuan dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian musyarakah secara syari‟at Islam dan tidak mengandung riba.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan Objektif :

a. Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi penentuan nisbah bagi hasil dalam perjanjian musyarakah di Bank Syariah Mandiri Cabang Cirebon.

b. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan calon nasabah dalam keikutsertaanya menentukan nisbah bagi hasil di Bank Syari'ah Mandiri Cabang Cirebon

2. Tujuan Subjektif

a. Menjelaskan dan menguraikan faktor-faktor dalam penentuan nisbah bagi hasil dalam perjanjian musyarakah

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum khususnya di hukum perjanjian Islam.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis

(14)

14

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, khususnya hukum perjanjian Islam. b. Untuk lebih mendalami teori yang telah diperoleh penulis selama

kuliah di Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Manfaat praktis

a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pelaku perjanjian terutama dalam hal perjanjian syariah agar dapat melaksanakan perjanjian yang sesuai dengan ketentuan syariah.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai hukum perjanjian Islam.

c. Memberikan pendalaman, pengetahuan, dan pengalaman baru kepada penulis mengenai permasalahan hukum yang dikaji, yang dapat berguna bagi penulis dikemudian hari.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya dan dengan penuh kesadaran bahwa dalam menulis tesis dengan judul “Pengaruh Sistem Penilaian Kinerja dan Pelatihan

Kelarutan dalam air merupakan parameter yang EHUKXEXQJDQ GHQJDQ SHOHSDVDQ EDKDQ DNWLI SDGD SHQJDSOLNDVLDQ PLNURNDSVXO 0LNURNDSVXO VHEDLNQ\D memiliki kelarutan yang tinggi

Hasil penelitian ini adalah faktor penyebab kesulitan belajar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Magelang pada mata pelajaran bahasa Jawa yang disebabkan oleh faktor

Pada jabatan struktural eselon III Kepala Panti dan Eselon IV (Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial dan Kepala Seksi Program dan Advokasi

Sel mukus terdiri atas dua macam sel yaitu sel mukus permukaan dan sel leher mukus. Sel mukus permukaan memiliki bentuk kubus sampai silindris dengan inti bulat sampai oval

Morphological, meristic characteristics and mtDNA analysis of Hampala Fish (Hampala macrolepidota Kuhl & Van Hasselt 1823) from Ranau Lake, Indonesia..

dengan praperti, agar manfaatkan PMP, Pada APSD Perubahan usahakan agar alakasikan Rp 20 Triliun untuk SUMO.. Oireksi yang tidak dapat mengikuti aturan Pemprav OKI

Indonesia yang baik dan benar. Siswa tidak mendapatkan “model” yang pas dalam berbahasa Indonesia yang indah. Maka, siswa merasa lebih memiliki “gengsi” apabila