• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Intensive Care Unit (ICU) menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri (instalasi di bawah direktur pelayanan), dengan staf khusus dan perlengkapan khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit dan cedera yang mengancam nyawa atau berpotensi mengancam nyawa dengan prognosis yang tidak tentu. Ruang ICU merupakan ruang perawatan bagi pasien sakit kritis yang memerlukan intervensi segera untuk pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi dan memerlukan pengawasan yang konstan secara kontinyu juga dengan tindakan segera (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

Kebutuhan utama pasien ICU adalah tindakan resusitasi meliputi dukungan hidup untuk fungsi-fungsi vital seperti Airway (fungsi jalan napas), Breathing (fungsi pernapasan), Circulation (fungsi sirkulasi), Brain (fungsi otak) dan fungsi organ lain. Selanjutnya dengan diagnosis dan terapi definitif (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Pelayanan di ruang ICU merupakan pelayanan yang bersifat multidisiplin dan komprehensif, tindakan suportif terhadap fungsi organ-organ tubuh menjadi utama. Salah satu tindakan suportif adalah pemberian ventilasi buatan dengan

(2)

2

menggunakan ventilator misalnya ventilasi mekanik (Sundana, 2008).

Pasien membutuhkan ventilasi mekanik karena pasien mengalami kegagalan pada sistem pernapasannya. Mekanisme pertukaran gas didalam paru-paru mengalami gangguan (Mackenzie, 2008). Dilaporkan bahwa separuh dari ruang ICU di Amerika Utara memiliki 40% pasien dewasa dengan ventilasi mekanik (Esteban et al., 2000 cit Im et al., 2004). Indonesia, khususnya RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, terdapat 511 pasien dengan ventilasi mekanik di IRI (Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito, 2013).

Ventilasi mekanik dapat mengakibatkan beberapa komplikasi seperti aspirasi, Ventilator-Acquired Pneumonia (VAP), cedera paru-paru, hiperventilasi, hipoventilasi, masalah gastrointestinal, imobilitas, ketidaknyamanan dan nyeri. Selang dari ventilasi mekanik yang dibiarkan terpasang di tenggorokan menyebabkan pasien tidak dapat berbicara juga menyebabkan cedera sehingga menyebabkan rasa nyeri dan rasa tidak nyaman. Tenaga medis seringnya memberikan obat apabila sudah mulai timbul komplikasi-komplikasi tersebut untuk mengatasinya (Morton dan Fontaine, 2009).

American Association of Critical-Care Nurses (2013) mengatakan bahwa banyak pasien dewasa yang sakit kritis mengalami rasa nyeri yang signifikan selama rawat inap. Di ICU, misalnya, lebih dari 30% pasien memiliki rasa sakit yang signifikan saat sedang beristirahat dan lebih dari 50% pasien mengalami nyeri yang signifikan selama proses perawatan rutin, seperti saat proses perubahan posisi, penyedotan endotrakeal, dan perawatan luka (Puntillo et al., 2001 cit Chanques et al., 2007).

(3)

3

Pasien yang tidak dapat berbicara adalah 68% sedangkan ada 56% pasien dengan ventilasi mekanik yang mengalami nyeri (Benzon et al., 2008). Temuan dari dua studi ICU terbaru lainnya dalam sebuah penelitian pengamatan di 44 ICU di Perancis, dari 1.381 pasien ventilasi mekanik, 51% pasien memiliki nyeri substansial non-prosedur (Payen et al., 2007 cit Puntillo et al., 2010). Terdapat 734 pasien di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang diberi analgetik untuk menurunkan tingkat nyeri pasien. Nyeri lebih banyak dialami pada tingkatan ringan (Rekam Medis RSUP Dr. Sardjito, 2013).

Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain adalah pengalaman sensori dan emosi tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan (International Association for the Study of Pain, 2007; Morton dan Fontainne, 2009). Pasien di ICU mengalami nyeri karena status hemodinamik yang tidak stabil, perubahan dalam fungsi sistem kekebalan tubuh, dan hiperglikemia (Corwin, 2008).

Respon metabolik pasien di ICU mencakup peningkatan pelepasan katekolamin dan kortisol. Hormon tersebut dapat berkombinasi untuk meningkatkan glukoneogenesis serta liposis, sehingga dapat memobilisasi simpanan tenaga. Perubahan fungsi hypophysis sebagian menyebabkan kenaikan sekresi faktor pelepas dari hypothalamus yang merangsang pelepasan hormon dari lobus anterior hypophysis, sedangkan aktivasi lobus posterior hypophysis mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon antidiuretik (ADH) (Corwin, 2008).

(4)

4

Menurut Morton dan Fontaine (2009), beberapa faktor yang berhubungan dengan nyeri pada individu yang sakit kritis adalah: 1) gejala penyakit seperti iskemia dan pasca operasi; 2) gangguan tidur dan kurang tidur; 3) imobilitas akibat alat perawatan seperti selang dan tabung 4) kecemasan dan depresi; 5) gangguan berkomunikasi dalam melaporkan nyeri; 6) takut terhadap rasa sakit, kecacatan fisik atau meninggal; 7) terpisah dari keluarga; 8) demam; 9) bosan karena tidak mendapatkan hal-hal yang menyenangkan; 10) selalu merasa bising karena peralatan dan staf; 11) gangguan untuk berubah posisi ditempat tidur; 12) prosedur pengobatan.

International Association for Study of Pain (2013) mengatakan bahwa nyeri lebih sering diatasi dengan menggunakan obat-obatan namun dapat mengakibatkan kasus baru yaitu kecanduan. Pemicu nyeri yang tidak terkontrol dapat berdampak buruk dari aspek respon stres fisik dan emosional dapat menghambat proses penyembuhan, meningkatkan risiko untuk komplikasi lainnya, dan meningkatkan lama tinggal di ICU (Morton dan Fontaine, 2009). Standar manajemen nyeri pada tanggal 1 Januari 2001 telah berlaku untuk akreditasi Joint Commission. Standar manajemen nyeri mencakup pengkajian serta manajemen nyeri (The Joint Commission, 2014). RSUP Dr. Sardjito (2012) menyatakan bahwa mencapai akreditasi JCI pada April 2013.

American Pain Society mengatakan nyeri sebagai tanda vital yang ke lima untuk meningkatkan kewaspadaan tenaga profesional dalam mengatasi nyeri (Campbell, 1996; Veterans Health Administration, 2000). Maka dari itu nyeri harus dikaji agar dapat diketahui intensitas nyeri tersebut dan juga dapat

(5)

5

digunakan sebagai batasan dalam menentukan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi nyeri (Willms et al., 1994).

Nyeri sulit diukur dan ditangani di ICU karena laporan langsung dari pasien merupakan hal penting dalam pengkajian sedangkan pasien dengan ventilasi mekanik tidak dapat berbicara (Morton dan Fontaine, 2009). Namun nyeri harus tetap dikaji dan ditangani dalam kerangka kerja hasil pembangunan dan multidimensi, mencakup dimensi berikut ini: fisiologis, sensoris, afektif, kognitif, perilaku, sosial budaya, dan lingkungan (Oman et al., 2000).

Skrining, menilai, dan mendokumentasikan nyeri secara rutin merupakan langkah pertama yang penting dalam menjamin bahwa tak henti-hentinya dilakukan pengkajian dan pemantauan terhadap pasien. Apabila skor nyeri positif, harus ada penilaian nyeri lebih lanjut, intervensi yang cepat, dan tindak lanjut evaluasi rasa sakit dan efektivitas pengobatan (Campbell, 1996; Veterans Health Administration, 2000).

Pengkajian nyeri adalah proses yang berkelanjutan. Indikator observasi nyeri di ICU diklasifikasikan dalam 6 sub-kategori: pergerakan tubuh, pelaksanaan dengan ventilator, kekuatan otot, komunikasi, ekspresi wajah, dan reaksi fisik (Gélinas et al., 2004). Jika nyeri dikaji dan dinilai dengan baik maka akan ada kesempatan lebih baik untuk merawat nyeri pada pasien dengan benar. Nyeri harus diukur dalam setiap pemeriksaan yang lengkap dan dalam banyak pertemuan singkat (Willms, 1994).

Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 15 Juli 2014 dengan mewawancarai salah satu perawat di IRI RSUP Dr. Sardjito, alat pengkajian nyeri

(6)

6

yang digunakan yaitu Visual Analog Scale untuk pasien sadar dan Comfort Scale untuk pasien tidak sadar. Di IRI RSUP Dr. Sardjito, pasien lebih banyak menerima intervensi farmakologi dengan intravena (IV) sebagai jalur pemberiannya. Pengkajian dilakukan setiap jamnya untuk memantau kondisi pasien.

Menurut hasil penelitian Gélinas et al. (2004), banyak indikator nyeri yang didokumentasikan dalam rekam medis pasien, namun dokumentasi tersebut sering tidak lengkap dan memadai. Agar dapat dikelola secara akurat nyeri harus dinilai dan diatasi pertama kali karena nyeri merupakan masalah nyata pada pasien kritis di ICU, termasuk pasien kritis dengan ventilasi mekanik di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Nyeri yang tidak terkontrol dapat menghambat proses penyembuhan, meningkatkan risiko untuk komplikasi lainnya, dan meningkatkan lama tinggal di Instalasi Rawat Intensif (ICU). Selang dari ventilasi mekanik yang dibiarkan terpasang ditenggorokan menyebabkan pasien tidak dapat berbicara dan cedera sehingga menyebabkan rasa nyeri dan rasa tidak nyaman yang membuat pasien mengalami kesulitan untuk melaporkan sendiri nyeri yang dirasakannya. Di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, terdapat 511 pasien dengan ventilasi mekanik dan 734 pasien yang diberi analgetik untuk menurunkan tingkat nyeri pasien. Maka perlu diteliti mengenai manajemen nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

(7)

7

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui manajemen nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

a) Mengetahui pelaksanaan pengkajian nyeri dilakukan kepada pasien dengan ventilasi mekanik di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

b) Mengetahui keadaan umum pasien dengan ventilasi mekanik yang dikaji nyerinya menggunakan Visual Analog Scale dan Comfort Scale di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

c) Mengetahui nilai rata-rata nyeri pada pasien dengan ventilasi mekanik di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

d) Mengetahui intervensi yang dilakukan setelah pengkajian nyeri untuk menurunkan tingkat nyeri terhadap pasien dengan ventilasi mekanik di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan dari penelitian ini didapatkan informasi yang dapat digunakan sebagai masukan bagi:

1. Rumah Sakit

Hasil penelitian ini untuk evaluasi bagi Rumah Sakit dalam upaya meningkatkan pelayanan perawatan di ICU.

(8)

8

Hasil penelitian ini sebagai bahan untuk perawat dalam meningkatkan pengetahuan dan kualitas asuhan keperawatan tentang nyeri di ICU.

3. Klien

Hasil penelitian dapat dijadikan informasi yang berguna untuk mengetahui pelayanan terhadap nyeri di ICU.

4. Peneliti Selanjutnya

Sebagai data yang dapat dijadikan pendukung bagi peneliti selanjutnya yang membahas tentang manajemen nyeri pada pasien di ICU.

E. Keaslian Penelitian

Peneliti menemukan beberapa jurnal yang mirip dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti, diantaranya yaitu:

1. Gélinas, C., Fortier, M., Viens, C., Fillion, L., Puntillo, K., (2004), dengan penelitian yang berjudul “Pain Assessment and Management in Critically Ill Intubated Patients: a Retrospective Study”. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan indikator nyeri yang digunakan oleh perawat dan dokter dalam penilaian nyeri, manajemen nyeri (intervensi farmakologis dan non farmakologis) yang dilakukan oleh perawat untuk mengurangi rasa sakit, dan indikator nyeri yang digunakan untuk mengkaji ulang nyeri oleh perawat untuk verifikasi manajemen nyeri pada pasien yang di intubasi. Metode yang digunakan adalah dengan meninjau dokumen medis dari 2 pusat kesehatan khusus di kota Quebec, Quebec.

(9)

9

183 episode nyeri pada 52 pasien yang menerima ventilasi mekanik di analisis. Laporan nyeri dari diri pasien langsung tercatat hanya 29%. Intervensi farmakologi lebih sering digunakan (89%) daripada intervensi non farmakologi (<25%) untuk menangani rasa nyeri. Hampir 40% rasa nyeri tidak dinilai ulang setelah pemberian intervensi.

Persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian Gélinas et al., tahun 2004 adalah pengkajian nyeri pada pasien yang menerima alat bantu pernapasan di ICU. Perbedaannya adalah penelitian yang akan dilakukan ingin mengetahui frekuensi dilakukannya pengkajian nyeri. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda, yaitu deskriptif dengan metode observasi. Variabel penelitian yang digunakan tentunya berbeda, dalam penelitian ini melakukan observasi terhadap pasien dengan ventilasi mekanik di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

2. Gélinas, C. 2010 membuat penelitian dengan judul “Nurses’ Evaluations of the Feasibility and the Clinical Utility of the Critical-Care Pain Observation Tool”. Bertujuan untuk menggambarkan evaluasi perawat dari kelayakan dan utilitas klinis. Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) digunakan untuk pasien dewasa dengan masalah ventilasi. Sebuah desain deskriptif digunakan dalam penelitian ini.

Dari 51 perawat yang menggunakan Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) dengan pasien yang terdaftar adalah 55, 33 pasiennya kembali untuk mengisi lembar evaluasi mereka. Kurang lebih 70% perawat menyebutkan bahwa Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) membantu untuk praktek

(10)

10

keperawatan karena bahasa dan cara menilai nyeri yang standar. Penggunaannya juga direkomendasikan secara rutin. Kesimpulannya, Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) adalah skala nyeri perilaku yang valid, yang telah disarankan oleh para ahli dalam tinjauan kritis baru-baru ini.

Persamaan dengan penelitian Gélinas tahun 2010 adalah populasinya yang sama yaitu pasien kritis. Metode penelitian juga sama yaitu deskriptif. Perbedaannya penelitian yang akan dilakukan ini tidak membandingkan skala nyeri tetapi ingin mengetahui manajemen nyeri pasien dengan ventilasi mekanik di IRI RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

1992 tentang kesehatan, dan UU .Nornor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (Sampurno, Kepalz. la menainbahkan bahwa pelanggaran semacam itu bisa dikenai

Menurut Sutherland 8 merumuskan: ”The Body of Knowledge regarding crime as social Phenomenon”; kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian

Willy Wirasasmita berpendapat bahwa untuk meningkatkan ekonomi perdesaan harus dilakukan dengan strategi pembangunan yang berkarakter, yaitu: (1) mempunyai kemampuan dalam

Dalam kinerja SMP K Satu Bakti Bogor, dibutuhkan sarana dan prasarana yang baik demi terlaksananya proses belajar mengajar dikelas, dan siswa yang hendak mendaftar

Pada kenyataannya kesenjangan gap komunikasi dan distorsi informasi serta pesan yang terjadi di stasiun radio Prambors Solo adalah kesenjangan komunikasi dan distorsi informasi

Dengan demikian, restitusi yang diajukan kepada pelaku ditolak oleh hakim karena penganiayaan yang terbukti bukanlah penganiayaan yang menyebabkan kematian korban

Berdasarkan permasalahan, data dan produktifitas alat berat pada  pekerjaan pematangan lahan sektor 1  Apron, terminal dan pelataran  parkir Proyek Pengembangan

Sumber lain yang digunakan adalah buku karya Sumarsono Mestoko yang berjudul Pendidikan di Indonesia dari Jaman Ke Jaman , diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan