• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pendidikan Politik 1. Pengertian Pendidikan Politik - PENGARUH PENDIDIKAN POLITIK TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI POLITIK MAHASISWA (Studi Deskriptif Analitis Terhadap Anggota BEM UMP) - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Pendidikan Politik 1. Pengertian Pendidikan Politik - PENGARUH PENDIDIKAN POLITIK TERHADAP TINGKAT PARTISIPASI POLITIK MAHASISWA (Studi Deskriptif Analitis Terhadap Anggota BEM UMP) - repository perpustakaan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Pendidikan Politik 1. Pengertian Pendidikan Politik

Istilah pendidikan politik adalah gabungan dari dua kata, yakni pendidikan dan politik. Menurut Susanto (1982:19) bahwa: “inti kegiatan

pendidikan sebenarnya, selain menyangkut proses proses belajar,juga menyangkut conditioning dan reinforcement terhadap masyarakat”. Sehingga

dengan demikian pendidikan ialah merupakan proses belajar seseorang tentang sesuatu serta mempersiapkan kondisi dan situasi lingkungan yang dapat menghasilkan rangsangan yang akan menghasilkan reaksi atau respon tertentu.

Apabila dihadapkan pada konsep pendidikan politik, maka belajar tentang sesuatu diatas diartikan belajar tentang politik Konsep pendidikan politik dan

sosialisasi politik, memiliki arti yang berdekatan atau hampir sama sehingga dapat digunakan secara bergantian. Merujuk pada pengertian pendidikan politik, Rush dan Althoff (1986:22) menganggap bahwa sosialisasi politik ialah sebagai

suatu proses, oleh pengaruh dimana seorang individu bisa mengenali sistem politik, yang kemudian menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik

serta reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Sosialisasi politik tergantung dari lingkungan tempat individu tinggal maupun kepribadian dari individu tersebut seperti yang diungkapkan oleh Rush dan Althoff (2002:27)

(2)

kebudayaan dimana individu-individu berada ; selain itu juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya.

Sosialisasi Politik sebagai suatu proses belajar tentang politik. Berkaitan dengan pendapat-pendapat tersebut, persoalan pokok sosialisasi politik adalah

bagaimana seseorang menjadi paham akan politik. Dalam proses belajar politik (political learning) terdapat sumber atau agen atau sarana-sarana sosialisasi politik. Almond (1974 :47-49) menyebutkan adanya beberapa agen sosialisai

politik, seperti keluarga, sekolah, kelompok, pergaulan, pekerjaan, media massa, dan kontrak politik langsung. Pentingnya agen-agen atau sarana-sarana

sosialisasi-sosialisasi politik, sangat beruntung pada intensitas interaksi individu dengan agen-agen atau sarana-sarana, proses komunikasi, penekunan, dan usia seseorang.

Menurut Supriadi (1999:70) karena kata pendidikan politik dan kata sosialisasi politik memiliki arti yang berdekatan atau hamper sama maka dapat

digunakan secara bersangkutan. Alfian (1981:235) juga menganggap bahwa adanya keeratan hubungan antara pendidikan politik dan sosialisasi politik sehingga ia mengatakan bahwa : “adapun sosialisasi politik ini dapat dianggap

sebagai pendidikan politik dalam arti yang longgar”.

Mengenai pengertian dari pendidikan politik (dalam arti kata yang lebih

(3)

Kartono (1996:64) bahwa : “pendidikan politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi

partisipan yang bertanggung jawab secara etis / moral dalam mencapai tujuan tujuan politik.

Kartaprawira (1988:54) memandang bahwa pendidikan politik yaitu sebagai upaya meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam system politiknya, sesuai dengan paham

kedaulatan rakyat atau demokrasi bahwa rakyat harus mampu menjalankan tugas partisipasi.

Dalam kaitan pendidikan politik ini, Djahiri (1995:18) menyatakan bahwa :

“Pendidikan politik adalah pendidikan atau bimbingan, pembinaan warga negara suatu negara untuk memahami mencintai dan memiliki rasa keterikatan diri (sense of belonging) yang tinggi terhadap bangsa dan Negara dan seluruh perangkat system maupun kelembagaan yang ada”.

Memahami dan memiliki rasa keterikatan diri yang tinggi terhadap

bangsa dan negara seluruh perangkat system maupun kelembagaan yang ada,

ialah merupakan ciri sudah mulai tertanammnya kesadaran politik. Dengan

demikian pendidikan politik berupaya merubah warga negara agar dapat

memiliki kesadaran politik.Memiliki kesadaran politik berarti memiliki

keterpaduan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dari individu dalam

berpolitik. Sehingga dalam Inpres No: 12 tahun 1982 tentang pendidikan politik

generasi muda (1982:2) dijelaskan bahwa :

“Pada prinsipnya pendidikan politik bagi generasi muda merupakan

(4)

dan kenegaran guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa.Pendidikan politik juga harus merupakan bagian proses pembaharuan kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu system politik yang benar-benar demokratis, stabil, dinamis, efektif dan

efisien”.

Perilaku politik sebagai hasil pendidikan politik diungkapkan oleh

Kenzie dan Silver (Rush dan Althoff, 2001:180) bahwa :

“Perilaku politik seseorang itu ditentukan oleh interaksi dari sikap social

dan sikap politik individu yang mendasar, dan oleh situasi khusus yang dihadapinya.Asosiasi antara berbagai karakteristik pribadi dan social dan tingkah laku politik mungkin adalah hasil dari motivasi sadar atau tidak

sadar, atau yang lebih mungkin lagi kontribusi keduannya”.

Dengan demikian perilaku politik yang lahir dari sebuah proses

pendidikan politik dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang dipengaruhi pula

oleh interaksi social setiap individu. Dalam proses tersebut mengandung

nilai-nilai tertentu yang secara normative diyakini dan dilaksanakan oleh setiap

individu.

Dalam hal ini politik dilihat sebagai inti dari proses pendidikan politik

yakni membenarkan nilai-nilai dan menerapkannya di masyarakat, sedangkan

pendidikan adalah media untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut. Sehingga inti

dari proses pendidika politik yakni membenarkan nilai-nilai dan menerapkannya

di masyarakat, sedangkan pendidikan adalah media untu menyampaikan

nilai-nilai tersebut. Sehingga inti dari proses pendidikan politik yakni internalisasi

nilai-nilai yang ada di masyarakat untuk mengembangkan pemahaman system

politik menuju pembentukan warga negara yang melek politik. Tujuan

pendidikan politik untuk menciptakan warga negara yang memiliki kesadaran

(5)

menciptakan suatu system politik yang demokratis, Sherman (Affandi 1996:26)

melihat sosialisasi politik dalam tiga hal persuasive, yakni perspektif consensus,

perspektif kontruksi social tentang realitas dan prespektif humanisme.

2. Fungsi Pendidikan Politik

Pendidikan politik mempunyai dua fungsi utama yaitu dalam merubah

atau membentuk tata laku pribadi individu dan yang kedua lebih luas lagi yaitu

membentuk suatu tatanan masyarakat yang diinginkan sesuai dengan tuntuan

politik. Menurut Kartono (1996:57) bahwa pendidikan politik dapat memberikan

sumbangan besar bagi :

1) Proses demokrasi yang semakin maju dari semua individu (rakyat) dan masyarakat / struktur kemasyarakatannya.

2) Dengan prinsip-prinsip realistic, lebih manusiawi, dan berlandaskan. 3) hokum formal dalam menggalang komunikasi politik yang modern.

Fungsi pendidikan diatas lebih menekankan fungsinya dalam merubah

tatanan masyarakat agar lebih baik dari sebelumnya yang ditandai dengan

adanya perubahan sikap dari individu-individu dalam masyarakat tersebut, yang

lebih mendukung proses demokrasi. Sedangkan fungsi pendidikan bagi individu

sendiri menurut Kartono (1996:59) ialah :

1) Peningkatan kemampuan individual supaya setiap orang mampu berpacu dalam lalu lintas kemasyarakatan yang menjadi semakin padat penuh sesak dan terpolusi oleh dampak bermacam-macam penyakit social kedurjanaan,

2) Di samping mengenai kekuasaan, memahami mekanismenya, ikut mengendalikan dan mengontrol pelaksanaan kekuasaan di tengah masyarakat.

Fungsi pendidikan politik bagi individu diatas intinya ialah bahwa

pendidikan politik berusaha merubah aspek kognitif, afektif dan psikomotor dari

(6)

satu fungsi struktur politik dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan

politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam

system politiknya. Dalam kaitan itu Affandi (1996:27) mengatakan bahwa

pendidikan politik melalui partisipasinya dalam menyalurkan tuntuan dan

dukungan.

3. Tujuan Pendidikan Politik

Secara formal, maksud diadakannya pendidikan politik menurut inpres

No : 12 tahun 1982 tentang pendidikan politik generasi muda (1982 :5) ialah:

“memberikan pedoman kepada generasi muda Indonesia guna

meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tujuan pendidikan politik ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang perwujudannya akan terlihat dalam perilaku hidup bermasyarakat sebagai berikut :

1) Sadar akan hak dan kewajibannya serta tanggung jawabnya sebagai warga Negara terhadap kepentingan bangsa dan Negara.

2) Sadar dan taat pada hukum dan semua peraturan perundangan yang berlaku.

3) Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan yang disesuaikan dengan kemampuan objektif bangsa saat ini.

4) Memiliki disiplin pribadi, social dan nasional.

5) Mendukung system kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila.

6) Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bangsa dan bernegara khususnya dalam usaha pembangunan nasional.

7) Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan keanekaragaman bangsa.

8) Sadar akan perlunya pemeliharaan lingkungan hidup dan alam sekitar secara selaras, serasi dan seimbang.

(7)

Dalam hal ini pendidikan politik di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kesadaran kehidupan berbangsa

danbernegara sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945. Peningkatanpemahaman akan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara

diharapkanmampu meningkatkan partispasi secara aktif untuk membangun bangsa sesuaidengan arah dan cita-cita bangsa. Pandangan di atas sejalan dengan Sumantri dan Affandi (1986:126) yang menyatakan bahwa:

“maksud diselenggarakannya pendidikan politik pada dasarnya adalahuntuk memberikan pedoman bagi generasi muda Indonesia gunameningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sejalandengan arah dan cita-cita bangsa Indonesia”.

Generasi muda sebagai pewaris cita-cita bangsa dituntut untuk

berpartipasi secara aktif membangun bangsa. Oleh sebab itu, generasi muda harus memiliki pengetahuan serta ketrampilan politik sehingga para generasi

muda menggunakan pengetahuannya untuk berpolitik secara bertanggung jawab.Adapun tujuan dari pendidikan politik (Amril, 2004 :104) yaitu :

1. Melatih orang muda dan orang dewasa menjadi warga Negara yang baik khususnya dalam fungsi social dan fungsi politik, sepertti bias kerja sama : bersikap toleran, loyal terhadap bangsa dan Negara, bersikap sportif dan seterusnya demi kesejahteraan hidup bersama.

2. Membangkitkan dan mengembangkan hati nurani politik, rasa etika politik dan tanggung jawab politik, agar orang menjadi insan politik terpuji (bukan memupuk egoism dan menjadi bintang politik).

3. Agar orang memiliki wawasan kritis mengenai relasi-relasi politik yang ada di sekitarnya. Memiliki kesadaran bahwa urusan-urusan manusia dan struktur sosial yang ada ditengah masyarakat itu tidak permanen, tidak massif atau immanen sifatnya, tetapi selalu bias berubah dan dapat diubah melalui perjuangan politik

(8)

5. Selanjutnya berpartisipasi politik dengan jalan memberikan pertimbangan yang konstruktif mengenai masyarakat dan kejadian politik itu merupakan hak-hak demokratis yang asasi. Hal yang perlu bukan hanya melancarkan proses proses politik dari warga Negara dan pertanggungjawabannya untuk mengatur masyarakat dan Negara mengarah pada kehidupan yang sejahtera.

Sedangkan Kartono (1996:68) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan

politik ialah :

1) Membuat rakyat (individu, kelompok, klien, anak didik, warga

masyarakat, rakyat dan seterusnya) :

Mampu memahami situasi politik penuh konflik

Berani bersikap tegas memberikan kritik membangun terhadap

kondisi masyarakat yang tidak mantap.

Aktivitasnya diarahkan pada proses demokratisasi individu atau

perorangan, dan demokratisasi semua lembaga kemasyarakatan serta

lembaga Negara.

Sanggup memperjuangkan kepentingan dan ideology tertentu,

khususnya yang berkolerasi dengan keamanan dan kesejahteraan

hidup bersama.

2) Memperhatikan dan mengupayakan :

Peranan insani dari setiap individu sebagai warga Negara

(melaksanakan realisasi diri / aktualisasi diri dari dimensi sosialnya)

Mengembangkan semua bakat dan kemampuannya (aspek kognitif,

wawasan, kritis, sikap positif, ketrampilan politik)

Agar orang bias aktif berpartisipasi dalam proses politik, demi

(9)

Antara fungsi pendidikan politik dan tujuan dari pendidikan politik

mempunyai kedekatan tersendiri yang tak dapat dipisahkan dan keberhasilan

pencapaian fungsi dan tujuan dari pendidikan politik merupakan keberhasilan

dari pelaksanaan pendidikan politik itu sendiri. Menurut Alfian (1990:236)

untuk menganalisis keberhasilan pendidikan politik dilihat dari dua dimensi,

dimensi pertama berupa gambaran jelas tentang sistem politik ideal yang di

inginkan, dimensi kedua adalah realitas atau keadaan dari masyarakat itu sendiri

yang langsung diperbandingkan dengan tuntutan-tuntutan system politik tadi.

Dihubungkan dengan dimensi yang kedua dalam melakukan analisis

keberhasilan pendidikan politik yang ada pada intinya melakukan kaji banding

antara tuntutan system politik ideal dengan realitas politik yang sesungguhnya

menurut Affandi (1996:28) mutlak diperlukan adanya struktur baku system

politik yang dicita-citakan, yakni system politik yang mencerminkan nilai dan

norma yang merupakan landasan dan motivasi masyarakat sekaligus dasar untuk

membina dan mengembangkan diri untuk melibatkan di dalamnya.

4. Bentuk Pendidikan Politik

Pendidikan politik tidak akan terlaksana tanpa adanya

penyelenggaraanyang dilakukan secara nyata di lapangan atau di tengah-tengah masyarakat.Sedangkan penyelenggaraan pendidikan politik tentunya akan

berkaitan erat dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan di tengah-tengahmasyarakat tersebut. Dengan demikian, bentuk pendidikan politik mana yang akanditerapkan dalam mendukung terlaksanannya pendidikan politik

(10)

umumnya pemerintah memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan didalam sebuah negara. Bentuk pendidikan politik

itu sendiri menurut Kuntomijoyo (1994:58) mengatakan sebagai berikut :

“Pendidikan politik formal, yaitu pendidikan politik yang diselenggarakanmelalui indoktrinasi.Berikutnya adalah pendidikan politik yangdiselenggarakan tidak melalui pendidikan formal, seperti pertukaranpemikiran melalui mimbar bebas.sedangkan pendidikan politik yang baikadalah pendidikan politik yang memobilisasi simbol-simbol nasional,seperti sejarah, seni sastra, dan bahasa”.

Apabila dihubungkan dengan macam bentuk pendidikan politik di atas,bentuk pendidikan politik yang diemban media massa dalam hal ini, yaitu

suratkabar dan partai politik ialah bukan merupakan bentuk pendidikan politik formal.Semua bentuk pendidikan politik sebenarnya tidak jadi persoalan,

artinyasemuanya baik asalkan mampu memobilisasi simbol-simbol nasional sehinggapendidikan politik tersebut dapat merubah individu yamg memiliki

kecintaanterhadap bangsanya atau memiliki rasa keterikatan diri (sense of belonging) yangtinggi terhadap bangsa negara.

Kartaprawira (1988:54) memandang pendidikan politik sebagai salah

satu fungsi srtuktur politik dengan tujuan meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam system

politiknya. Dalam hubungan itu, pola pendidikan politik rakyat yang akan kita selenggarakan di masa depan harus bias mengantarkan kita mewujudkan suatu masyarakat madani, yaitu masyarakat yang mampu berkreasi secara maksimal

dan menyerap nilai-nilai demokrasi Indonesia secara konstruktif sehingga dari waktu ke waktu dapat memiliki suatu system yang semakin demokratis. Bukan

(11)

Secara formalnya maksud diadakannya pendidikan politik menurut

Inpres No : 12 tahun 1982 tentang politik generasi muda (1982 :5) ialah :

Memberian pedoman kepada generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tujuan pendidikan politik ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya.

5. Pendidikan Politik di Badan Eksekutif Mahasiswa

Draf Amandemen Konstitusi hasil sidang umum 1, Bab IV Tujuan dan fungsi,bagian pertama Tujuan-Pasal 8 :”KM UMP bertujuan membentuk

mahasiswa yang berkualitas sesuai dengan Tri Darma Perguruan Tinggi”. Bagian kedua Fungsi-Pasal 9 :”

Fungsi KM UMP adalah:

1. Wahana pembentukan kepribadian kritis mahasiswa. 2. Wahana pengembangan penalaran dan keilmuan. 3. Wahana advokasi mahasiswa.

4. Wahana pengembangan potensi mahasiswa.

5. Wahana pengembangan visi dan misi gerakan mahasiswa. 6. Wahana pemberdayaan dan pemersatu mahasiswa.

7. Wahana pendidikan politik mahasiswa.

Hal diatas menunjukan bahwa organisasi KM UMP termasuk di dalamnya Badan Eksekutif Mahasiswa memang mempunyai fungsi sebagai

wahana pendidikan politik bagi para mahasiswa, baik anggota lembaga-lembaga maupun organisasi KM UMP secara keseluruhan.

6. Pendidikan politik dalam konteks Pendidikan kewarganegaraan

Pendidikan politik merupakan suatu proses yang berkenaan dengan psikologi politik. Dalam artian pendidikan politik adalah suatu bentuk

(12)

sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh negara atau dapat berpartisipasi dengan kebijaksanaan yang dtetapkan oleh negara. Pendidikan politik tidak

berarti menumbuhkan sikap menentang terhadap kebijaksanaan dan peraturan negara. Namun bagaimana caranya menumbuhkan sikap dan ketrampilan politik

untuk dapat memahami segala ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah sehingga setiap warga negara dapat turut serta dan bertanggung jawab dalam pelaksanaanya. Pendidikan politik merupakan syarat mutlak bagi timbulnya

kehidupan politik yang selaras, serasi, dan seimbang serta dapat memberikan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembangnya kehidupan rule of low.

Sering disandingkanya pendidikan kewarganegaraan dengan pendidikan politik adalah karena keduanya memiliki beberapa kesamaan. Al Muchtar (2000:145) mengatakan bahwa “pendidikan politik sebagai model yang dikembangkan di Indonesia yang bersumber pada ilmu politik”. Merujuk pada

pendapat tersebut dapat terlihat bahwa pendidikan kewarganegaraan mempunyai

potensi dan posisi yang strategis sebagai pendidikan politik. Salah satunya adalah karena pendidikan kewarganegaraan mendapat pengaruh yang sangat kental dari ilmu politik secara konstan (tetap) selalu memantau perkembangan

yang terjadi dalam sistem politik saat ini.

Keterkaitan antara pendidikan politik dengan pendidikan

kewarganegaraan sangat terlihat jelas karena salah satu misi yang diemban oleh pendidikan kewarganegaraan adalah untuk memberikan pendidikan tentang politik adalah untuk membina warga negara Indonesia yang baik dan melek

(13)

berbangsa dan bernegara, sadar akan hak dan kewajiban diri dan sesama pemerintah dan negara, memahami dan berkeinginan kuat dan mampun

membina serta menegakan berbagai norma / hukum yang berlaku dalam kehidupan dan juga bertekad mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara.

Menurut Wahab (2006:60-67) bahwa pendidikan kewarganegaraan sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan politik dan ketatanegaraan Indonesia. PKn berperan membentuk warga negara yang baik sesuai

tuntutan/versi para penyelenggara negara. B. Tinjauan Tentang Partisipasi Politik 1. Pengertian Partisipasi Politik

Dalam bukunya Budiardjo, (1977:367) :“ sebagai definisi umum dapat

dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok

orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan

jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung,

memengaruhi kebijakan pemerintah. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti

memberikan suara dalam peilihan umum, mengadakan hubungan atau lobbying

dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau

salah satu gerakan social dengan direct actionnya, dan sebagainya. Herbert

McClosky seorang tokoh masalah partisipasi berpendapat :

“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui nama mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam

proses pembentukan kebijakan umum”.

Surbakti (1999:118)mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan

(14)

kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan.

Kegiatan yang dimaksud, anatara lain, mengajukan tuntutan, membayar pajak,

melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu

kebijaksanaa umum, dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu,

mengajukan alternatf pemimpin, dan memilih wakil warga negara dalam

pemilihan umum. Lebih lanjut Herbert McClosky mengartikan partisipasi politik

adalah:

Kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum (the term “ political participation “ will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rulers aand, directly or indirectly, in the information of public policy) (Miriam Budiardjo, 1981 : 1).

Sedangkan menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson,

Partisipasi politik adalah :

Kegiatan warag Negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir, atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif arau tidak efektif.(By political participation we meanactivity by private citizens designed to influence government decisionmaking.Participation may be individual or collective, organized orspontaneous, sustained or sporadic, peacefull or violent, legal or illegal,effective or ineffective) (Miriam Budiardjo, 1981: 2).

Sastroatmodjo (1995:67) memberikan definisi partisipasi politik sebagai

berikut :

(15)

Sedangkan Rush dan Althop (2003:123) mendefinisikan partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di

dalam system politik. Selain Rush dan Althop, ada pula beberapa pakar politik lain yangmerumuskan definisi partisipasi politik, seperti yang dikutip Miriam

Budiardjo (1994:183) diantaranya adalah Norman H. Nie dan Sidney Verbadalam Handbook of Political Science bahwa:

“Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabatNegara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”.(Bypolitical participation we refer to those legal activities by private citizenswhich are more or less directly aimed at influencing the selection ofgovernmental personnel and/or the actions they take).

Norman dan Verba tidak lebih menekankan pada hal yang aturannya

legal.Jadi, apabila kegiatan warga Negara itu menyalahi aturan atau bersifat illegaltidak dapat dikatakan sebagai partisipasi politik.Samuel P. Huntington dan

Joan M. Nelson dalamNo Easy Choice:Political Participation in Developing Countries:

“Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak secara pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatankeputusan oleh pemerintah. Partisipasi bias bersifat individual dan kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadic, secara damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif”. (By politicalparticipation we mean activity by private citizens designed to influencegovernment decision-making. Participation may be individual orcollection, organized ar spontaneous, sustained or sporadic, peacefull orviolent, legal or illegal, effective or ineffective.

Huntington Dan Nelson, memberikan batas partisipasi politik yang

diantaranya meliputi:

(16)

Kedua, yang dimaksudkan dalam partisipasi politik itu adalah warga

Negara (preman) biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah.

Ketiga, kegiatan partitipai politik itu hanyalah kegiatan yang

dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

Keempat, partisipasi politik juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,

berhasil atau gagal.

Kelima, partisipasi politik berupa kegiatan mempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung.

2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Sebagai suatu kegiatan, partisipasi dibedakan menjadi partisipasi aktif

dan patisipasi pasif. Menurut Surbakti (1992:142), bentuk partisipasi politik antara lain sebagai berikut :

“Partisipasi aktif mencakup kegiatan warga Negara, mengajukan alternative kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan ssaran kebijaksanaan, membayar pajak dan ikut serta dalam kegiatan pemerintah daerah. Di pihak lain partisipasi pasif antara lain berupa kegiatan mentaati perintah / peraturan, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah”.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa orientasi partisipasi aktif terletak pada masukan dan keluaran politik, sementara partisipasi pasif hanya

(17)

Pertama, apatis adalah orang yang menarik diri dari proses politik. Kedua, spector adalah orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator adalah orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak, tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, serta aktivis partai, serta aktivis masyarakat. Keempat, pengkritik yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.

Dilain pihak, yaitu Michael Rush dan Pholip Althop (1995:126)

memberikan beberapa julukan yang diberikan kepada orang-orang yang tidak ikut serta dalam politik seperti apatis, sinis, aleneasi dan anomie.

Partisipasi politik selain berdasarkan kegiatan, juga didasarkan pada sifatnya yang dapat dibedakan menjadi partispasi politik yang bersifat sukarela (otonom) dan atas desakan orang lain (dimobilisasi). Nelson (Sastroatmodjo, 1995 :77) membedakan dengan dua sifat yaitu “autonomous participation” (partisipasi otonom)dan “mobilized participation” (partisipasi yang dimobilisasi).

Bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan jumlah pelakunya dapat

dikategorikan menjadi dua, yakni partisipasi individual dan partisipasi kolektif. Lebih lengkap Muller (Sastroatmodjo 1995:77) menjelaskan bentuk partipasi

politik berdasarkan jumlah pelakunya, yaitu sebagai berikut :

“Partisipasi individual berwujud kegiatan seperti menulis surat yang berisi tuntutan dan keluhan kepada pemerintah. Maksud partisipasi kolektif adalah bahwa kegiatan warga Negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam pemilihan umum.”

Pada dasarnya partisipasi kolektif dapat dibedakan menjadi dua yaitu

partisipasi kolektif dapat dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi kolektif yang konvensional seperti kegiatan dalam proses pemilihan umum dan partisipasi kolektif yang tidak konvensional (agresif) seperti pemogokan yang tidak sah,

(18)

kolektif secara agresif dibedakan menjadi dua, yaitu aksi yang kuat dan aksi yang lemah.Aksi yang kuat dan lemah tidak menunjukkan sifat yang baik atau

buruk. Dalam hal ini, kegiatan politik dapat dibedakan kuat apabila memnuhi tiga kondisi berikut : bersifat antirezim dalam arti melanggar peraturan

mengenai partipasi politik yang normal (melanggar hukum), mampu mengganggu fungsi pemerintah dan harus merupakan kegiatan kelompk yang dilakukan oleh non elit.

3. Fungsi Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan bentuk tingkah laku baik menyangkut

aspek social maupun politik. Tindakan-tindakan dan aktifias politik tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan saja, tetapi juga menyangkut hal-hal apa yang mendorong individu berpartisipasi. Artinya motif motif yang telah

mendorong individu untuk berpartisipasi, Hal itu penting, karena tindakan-tindakan politik itu memiliki kaitan dengan partisipasi politik itu sendiri.

Menurut Rudolf Herbele (Michael Rush dan Philip Althop, 1995:181) di akui bahwa terdapat hambatan dalam mengkaji motif-motif yang mendorong tingkah laku social dan politik itu. Hal itu di antara lain di sebabkan karena :

“pertama, motif yang sebenarnya di miliki individu telah disembunyikan dan pengamat tersesat terhadap informasi yang sesungguhnya. Kedua, motif yang seseungguhnya mungkin jelas bagi individu dan mungkin ia merasionalkan tindakannya sendiri sebelum, sesudah, atau selama berlangsungnya peristiwa tersebut. Ketiga, mungkin motif yang sebenarnya tidak jelas, bukan hanya bagi individu yang tindakannya tengah diselidiki, akan tetapi juga bagi orang lain yang telah dipengaruhi tindakannya”.

Partisipasi yang dilakukan oleh warga negara, terlebih lagi di negara

(19)

pihak tertentu.Karenannya dengan keadaan diatas warga sendiri terkadang tidak mengetahui maksud dan tujuan mengapa mereka lakukan kegiatan

tersebut.Meskipun terdapat kualitas dalam memiliki motivasi tersebut. Weber (Michael Althop 1995:181) berusaha mengemukakan motif yang berarti. Motif

itu dinyatakan Weber sebagai berikut : motif rasional-bernilai, motif yang afektual-emosional, motif yang tradisional, motif yang rasional-bertujuan.

Motif yang pertama, yaitu rasional-bernilai, merupakan motif yang

mendorong tingkah laku untuk beraktivitas atas dasar pertimbangan-pertimbangan logis dan rasional terhadap suatuu kelompok.Hal itu berarti

tindakan seseorang dalam aktivitas plitik telah didukung oleh penilaian-penilaian objektif terhadap suatu kelompok tertentu.Bukan berarti ini terlepas dari unsur-unsur subjektf, tetapi seorang individu telah dibekali cara-cara

yangrasional.Melalui pertimbangan-pertimbangan yang nalar dan menentukan pilihan sikapnya atau dalam menilai organisasi social tertentu.

4. Fakor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Politik

Partisipasi politik masyarakat memiliki perbedaan dalam intensitas dan bentuknya.Hal itu disamping berkaitan dengan system politik, juga berhubungan

dengan perubahan social yang terjadi dalam masyarakat.Meluasnya partisipasi politik dipengaruhi oleh beberapa hal.Weimar (Sastroadmodjo, 1995:89)

menyebutkan paling tidak ada 5 faktor yang mempengaruhi partisipasi politik : 1. Modernisasi. Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada

komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi,

(20)

media komunikasi. Kemajuan itu berakibat pada meningkatnya partisipasi warga negara, terutama di perkotaan, untuk turut serta dalam

kekuasaan politik. Mereka ini misalnya kaum buruh, para, pedagang dan pers profesional.

2. Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas esensial. Dalam hal ini adalah munculnya kelas menengah dan pekerja baru yang semakin meluas dalam era industrialisasi. Kemunculan mereka tentu saja

dibarengi tuntutan-tuntutan baru pada gilirannya akan mempengaruhi kebijakan- kebijakan pemerintah.

3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi Politik.Ide-ide nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan- tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi

yang meluas mempermudah.

4. Konflik di antara pemimpin-pemimpin politik.Pemimpin politik yang

sating memperebutkan kekuasaan, seringkali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cars mencari dukungan massa. Dalam konteks ini seringkali terjadi partisipasi yang dimobilisasikan.

5. Adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan.

Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi perbuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan

(21)

berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan kemampuan baca tulis, perbaikan pendidikan dan

pengembangan media massa / media komunikasi secara lebih luas. Kemampuan itu berakibat pada partisipasi warga kota baru seperti kaum buruh, pedagang,

dan professional untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan dan memuat keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai bentuk kesadarannya bahwa mereka pun dapat mempengaruhi nasibnya sendiri.

Partisipasi Politik merupakan ciri khas adanya modernisasi politik, hal tersebut ialah kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses

pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah. Huntington dan Nelson (1994:6) mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan warga negara. Secara umum

partisipasi politik diartikan oleh Budiardjo (1982:1) sebagai kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu

dengan jalan memilih pemimpin negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pemerintah (public policy).

Huntington dan Nelson memberikan batasan terhadap pengertian

partisipasi politik.Pertama, hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap.Dalam hal ini, mereka tidak memasukan komponen-komponen

subjektif seperti halnya pengetahuan tentang politik, minat terhadap politik, perasaan-perasaan mengenal politik, keefektifan politik.Akan tetapi yang lebih ditekankan ialah bagaiamana bersikap dan perasaan tersebut memiliki

(22)

partisipasi politik itu ialah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah.Hal itu didasarkan pada pejabat-pejabat pemerintah yang

mempunyai pekerjaan profesi di bidang itu, padahal justru kajian ini terhadap warga negara biasa. Ketiga, kegiatan partisipasi politik hanyalah kegiatan yang

dimaksudkan seperti halnya membujuk dan menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara berusaha mengubah aspek-aspek system politik atau mengubah

secara mendasar struktur politik system secara keseluruhan agar pemerintah lebih tanggap terhadap keinginan-keinginan mereka. Keempat, partisipasi poltik

mencakup seua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak, berhasil ataukah gagal. Kelima, partisipasi politik berbentuk kegiatan mempengaruhi pemerintah yang dilakukan atau tidak langsung,

maksud langsung disini pelaku dalam mempengaruhi tidak melibatkan orang lain, dan yang tidak langsung dimana proses dalam mempengaruhi melibatkan

orang yang dianggap mampu mempengaruhi pemerintah.

Partisipasi politik merupakan perilaku politik akan tetapi perilaku politik bukan berarti termasuk kedalam partisipasi politik. Karena aktivitas politik

adalah aktivitas warga negara biasa yang tidak memiliki jabatan dalam pemerintahan / kewenangan dalam pengambilan keputusan politik. Di lain

pihak, pejabat pemerintah memiliki kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan politik.

Menurut Surbakti (1992:142), partisipasi dibedakan menjadi partisipasi

(23)

mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternative kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik

dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pemimpin pemerintah. Partisipasi pasif, ialah,

berupa kegiatan mentaati peraturan / perintah, menerima, dan melaksanakan apa adanya dari setiap keputusan pemerintah.

Milbrath dan Goel dalam Surbakti (1992:43) beliau membedakan

partisipasi menjadi empat kategori. Pertama, apatis, yaitu orang yang menarik diri dari dari proses politik. Beberapa julukan terhadap orang-orang yang tidak

ikut serta dalam politik, seperti apatis ( masa bodoh), sinis, aliensi (terasing), dan anomie (terpisah). Kedua, spektor, ialah orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator, yaitu orang yang secara aktif

terlibat dalam proses politik, yakni berperan sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontrak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye,

serta aktivis masyarakat. Keempat, pengkritik, ialah orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional.

Berdasarkan sifatnya partisipasi politik dibedakan menjadi partisipasi

yang bersifat sukarela (autonomous participation), dan partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation). Nelson dalam Budiardjo (1982:3).

(24)

kolektif ialah kegiatan warga negara secara serentak yang memiliki maksud untuk mempengaruhi penguasa seperti kegiatan dalam pemillihan umum.

Partisipasi kolektif terbagi ke dalam dua bagian antara partisipasi kolektif konvensional dan nonkonvensional. Partisipasi politik konvensional

ialah kegiatan pemberian suara (voting), aktifitas diskusi politik, kegiatan kampanye, aktifitas membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan lain, serta komunikasi individu dengan pejabat politika administrative, Almond

(1975:44).Partisipasi politik konvensional seperti halnya pengajuan petisi, demontrasi, konfrontasi, pemogokan, dan serangkaian tindakan kekerasan,

seperti kekerasan politik terhadap benda-benda, yang berupa pengrusakan, pemboman, dan pembakaran.Selain itu gerilya revolusi dan kudeta dapat pula dimasukan dalam kategori partisipasi nonkonvensional.

Weber (Herbele dalam Rush, 1989:181) mengemukakan empat motif mengapa orang melakukan partisipasi dalam politik antara lain :

1) Motif rasional bernilai, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan secara rasional atas nilai-nilai suatu kelompok.

2) Motif yang afektual-emosional, yaitu motif yang didasarkan atas

kebenaran terhadap suatu ide, organisasi, atau individu.

3) Motif tradisional, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan

norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok social.

(25)

Partisipasi politik rakyat perlu dijamin dengan cara mereka diberikan kesempatan untuk : (1) merumuskan prefensi atau kepentingan sendiri, (2)

memberitahukan perihal prefensinya itu kepada sesama warga Negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif, dan (3)

mengusahakan agar kepentingan itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak diskriminatif berdasarkan isi dan asal-usulnya.

Hal tersebut hanya mungkin terlaksana (Amril, 2004:96), jika lembaga-lembaga dalam masyarakat dapat menjamin adanya beberapa kondisi sebagai

berikut :

1) Kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi. 2) Kebebasan mengemukakan pendapat.

3) Hal untuk memilih dalam pemilihan umum. 4) Hal untuk menduduki jabatan public.

5) Hal para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan dan suara. 6) Tersedianya sumber-sumber informasi alternative berikutnya.

7) Terselanggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur.

8) Adanya lembaga-lembaga yang menjamin kebijaksanaan public tergantung pada suara pada pemilihan umum dan pada cara-cara

penyampaian prefensi yang lain.

C. Kerangka Pemikiran

Pada prinsipnya pendidikan politik bagi generasi muda merupakan

(26)

kenegaraan guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga harus merupakan bagian proses

pembaharuan kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu system politik yang

benar-benar demokratis, stabil, dinamis, efektif dan efisien. Tujuan Pendidikan politik untuk menciptakan warga Negara yang memiliki kesadaran politik sehingga terjadi pembaharuan kehidupan politik dalam rangka menciptakan suatu system

politik yang demokratis,.

Pendidikan Politik merupakan upaya pendidikan yang disengaja dan

sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan yang bertanggung jawab secara etis/moral dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan politik. Maksud diadakannya pendidikan politik menurut Inpres

No:12tahun1982 tentang pendidikan politik generasi muda ialah: “memberikan pedoman kepada generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran

kehidupan berbangsa dan bernegara. Mahasiswa di dalam anggota Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai komponen universitas mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam pemikiran, pembicaraan dan penelitian tentang

masalah-masalah sosial dan politik. Kesempatan ini tidak dimiliki angkatan muda lainnya. Oleh karena itu, walaupun sering berubah-ubah namun mahasiswa

termasuk yang terdepan di dalam memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat secara nasional. Karakterisitik mahasiswa untuk meningkatkan peranan mereka di dalam kehidupan politik angkatan muda hal

(27)

pendidikan politik. Berbagai pengetahuan-pengetahuan dalam proses pendidikan politik tersebut nantinya akan menciptakan suatu kesadaran bagi setiap individu

mahasiswa agar ikut dalam partisipasi politik untuk meneruskan tujuan-tujuan pendidikan politik. Hal itu diwujudkan dalam perilaku-perilaku dalam

pendidikan politik sehingga secara langsung individu mahasiswa ikut berpartisipasi dalam politik.

Gambar.1

Pengaruh Pendidikan Politik Mahasiswa Terhadap Tingkat Partisipasi Politik Mahasiswa.

D. Hipotesis

Penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa pendidikan politik

sangatlah penting dalam menumbuhkan sikap sadar terhadap partisipasi politik

yang didalamnya juga dapat menumbuhkan sikap sadar dalam meneruskan

proses demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semakin tinggi

pengaruh pendidikan politik di Badan Eksekutif Mahasiswa, maka semakin

(28)

Peneliti merumuskan hipotesis bahwa tingkat partisipasi politik dipengaruhi

oleh pendidikan politik. Dengan pembatasan hipotesis sebagai berikut :

1) Terdapat pengaruh yang signifikan pengetahuan politik terhadap

partisipasi politik mahasiswa

2) Terdapat pengaruh yang signifikan kecakapan intelektual terhadap

partisipasi politik mahasiswa.

3) Terdapat pengaruh yang signifikan pemahaman politik terhadap

Referensi

Dokumen terkait

Jika HP menerima, dalam waktu garansi yang ditetapkan, pemberitahuan adanya kerusakan produk perangkat keras yang ditanggung dengan garansi HP, maka HP akan melakukan

Penelitian tentang deformasi plastis yang terjadi akibat interaksi permukaan kontak antara sphere dengan rough surface ( axysimmetric ) dengan variabel beban versus ketebalan

Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah bahwa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam proses belajar mengajar matematika, dapat

Anggota organisasi, dalam hal ini karyawan yang tidak pernah berinteraksi atau berkomunikasi dengan baik kepada rekan kerja lain dalam kelompok, maka akan dapat menimbulkan

Dari hasil penelitian dengan metode dan pendekatan penelitian yang digunakan penulis, penulis menemukan bahwasanya efektivitas pemberian bantuan hukum terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala toksik yang timbul setelah pemberian obat herbal dan hematologi serta gambaran histopatologi meliputi hati, ginjal,

Budidaya kedelai dengan sistem tadah hujan memberikan hasil yang lebih baik pada parameter pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah daun) serta parameter produksi

Beyond Center and Circles Time (BCCT) atau di Indonesia lebih dikenal sebagai pendekatan sentra dan lingkaran (SELING) adalah suatu metode atau pendekatan