• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PEMBINAAN KELEMBAGAAN PETANI PADA PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DI KECAMATAN SERANG KOTA SERANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EVALUASI PEMBINAAN KELEMBAGAAN PETANI PADA PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS PERDESAAN (PUAP) DI KECAMATAN SERANG KOTA SERANG"

Copied!
379
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh: Ayu Wahyuni NIM.6661091294

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)

ABSTRAK

Ayu Wahyuni. NIM: 6661091294. 2015. Skripsi. Evaluasi Pembinaan Kelembagaan Petani pada Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) di Kecamatan Serang Kota Serang. Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I, Yeni Widyastuti, S.Sos, M.Si., Pembimbing II, Riny Handayani, S.Si., M.Si.

Kata Kunci : Evaluasi, Pembinaan Kelembagaan Petani, Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP)

(3)

Institutional Management to Rural Agribusiness Development Program (PUAP) in the District of Serang, Serang. The Department of Public Administration, Faculty of Social and Political Sciences. University of Sultan Ageng Tirtayasa. 1st Advisor, Yeni Widyastuti, S.Sos, M.Si., 2nd Advisor, Riny Handayani, S.Si., M.Si.

Keyword : Evaluation, Farmer’s Institutional Management, Rural Agribusiness Development Program (PUAP)

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan memanjatkan Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan berkat, rahmat, hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Evaluasi Pembinaan Kelembagaan Petani Pada Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) di Kecamatan Serang Kota Serang. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Terimakasih yang tak terhingga Penulis ucapkan kepada kedua orangtua (Ibunda dan Ayahanda) penulis, tanpanya skripsi ini tentu tidak mungkin terselesaikan. Penulispun menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari segenap pihak yang telah bersedia memberikan bantuanya baik secara moril dan materil demi mendukung proses peyelesaian penelitian. Untuk itu, tidak lupa pula penulis sampaikan rasa terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

2. Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

(9)

ii

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

6. Rahmawati, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa; 7. Ipah Ema Jumiati, S.SIp., M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi

Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;

8. Ima Maesaroh, S.Ag., M.Si., Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberikan motivasi, bimbingan, dan saran selama perkuliahan;

9. Yeni Widyastuti, S.Sos., M.Si., Dosen Pembimbig I Skripsi. Atas bimbingan dan motivasi yang tiada terkira selama proses penyusunan skripsi;

10. Riny Handayani, S.Si., M.Si., Dosen Pembimbing II Skripsi. Atas bimbingan dan motivasi yang tiada terkira selama proses penyusunan skripsi;

11. Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama perkuliahan;

12. Semua Staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Atas bantuan pelayanan yang telah diberikan selama perkuliahan; 13. Dinas Pertanian dan Peternakan (DISTANAK) Provinsi Banten dan seluruh

(10)

iii

14. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Banten dan seluruh staf terkait. Atas ijin serta bantuan pelayanan data dan informasi selama proses penelitian;

15. Dinas Pertanian Kota Serang dan seluruh staf terkait. Atas ijin serta bantuan pelayanan data dan informasi selama proses penelitian;

16. Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP) Kota Serang dan seluruh staf terkait. Atas ijin serta bantuan pelayanan data dan informasi selama proses penelitian;

17. Unit Pengelola Teknis (UPT) Pertanian Kecamatan Serang beserta seluruh Tim Penyuluh Pendamping PUAP dan staf terkait. Atas ijin serta bantuan pelayanan data dan informasi selama proses penelitian;

18. Penyelia Mitra Tani Program PUAP Kota Serang. Atas kesediaannya dalam pemberian data dan informasi selama proses penelitian;

19. Semua Gabungan Kelompok Tani Kecamatan Serang. Atas kesediaannya dalam pemberian data dan informasi selama proses penelitian;

20. Seluruh keluarga besar tercinta yang selalu memberikan bimbingan, motivasi dukungannya yang tak terkira kepada penulis;

(11)

iv

baik selama proses perkuliahan maupun dalam proses penelitian.

23. Teman-temanku seperjuangan pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara Tahun Angkatan 2009. Atas dukungan dan kebersamaan dan segala kenangan yang telah kita ukir bersama selama perkuliahan.

24. Serta segenap pihak yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung, penulis ucapkan terimakasih sedalam-dalamnya.

Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penyusunan Skripsi ini. Oleh karenanya dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka penulis bersedia menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk dijadikan bahan perbaikan di masa mendatang.

Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Serang, Januari 2015

Penulis,

(12)

v

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

ABSTRAK

ABSTRACT

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

LEMBAR PERSETUJUAN

LEMBAR PENGESAHAN

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 20

1.3 Batasan Masalah ... 21

1.4 Rumusan Masalah ... 21

1.5 Tujuan Penelitian ... 22

(13)

vi

2.1.2. Tahapan Kebijakan Publik ... 27

2.1.3. Implementasi Kebijakan Publik ... 28

2.1.4. Evaluasi Kebijakan Publik ... 30

2.2 Pembinaan Kelembagaan ... 42

2.2.1 Konsep Pembinaan ... 42

2.2.2 Konsep Kelembagaan ... 43

2.3 Pembinaan Kelembagaan Petani ... 46

2.4 Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) ... 49

2.3.1 Pengertian PUAP ... 49

2.3.2 Tujuan PUAP ... 49

2.3.3 Sasaran Kegiatan PUAP ... 49

2.3.4 Indikator Keberhasilan PUAP ... 50

2.3.5 Organisasi Pelaksana PUAP ... 51

2.5 Penelitian Terdahulu ... 58

2.6 Kerangka Berfikir ... 63

2.7 Asumsi Dasar ... 65

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 66

3.2 Instrumen Penelitian ... 67

(14)

vii

3.4 Informan Penelitian ... 69

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 71

3.6 Teknik Analisis Data ... 73

3.7 Uji Keabsahan Data ... 75

3.8 Lokasi dan Jadwal Penelitian ... 76

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Obyek Penelitian ... 77

4.1.1. Keadaan Umum Kota Serang ... 77

4.1.2. Kecamatan Serang ... 80

4.1.3. Dinas Pertanian Kota Serang ... 88

4.2 Gambaran Umum Program PUAP ... 91

4.3 Daftar Informan Penelitian ... 95

4.4 Deskripsi Data Penelitian ... 97

4.5 Deskripsi Hasil Penelitian ... 100

4.6 Pembahasan Hasil Penelitian ... 199

BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan ... 258

5.2. Saran ... 259

DAFTAR PUSTAKA ... xiii

LAMPIRAN

(15)

viii

Tabel 1.1 Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin Menurut

Kabupaen/Kota di Provinsi Banten Tahun 2012 ... 4

Tabel 1.2 Jumlah Keluarga Pra Sejahtera Kota Serang Tahun 2011-2012 ... 6

Tabel 1.3 Tingkat Pengangguran di Kota Serang Tahun 2011-2012 ... 6

Tabel 1.4 Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010 – 2012 dalai Persen ... 9

Tabel 1.5 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Provinsi Banten Tahun 2012… 10 Tabel 1.6 Tingkat Pendidikan Petani di Kecamatan Serang Tahun 2011. 15 Tabel 1.7 Status Kepemilikan Lahan Gapoktan di Kecamatan Serang Tahun 2014 ... 16

Tabel 1.8 Angsuran Gapoktan di Kecamatan Serang Per September 2014 ... 18

Tabel 2.1 Tipe Kriteria Evaluasi Menurut William N. Dunn ... 36

Tabel 2.2 Tiga Pendekatan Evaluasi ... 38

Tabel 2.3 Metode Evaluasi Menurut Finterbusch dan Motz ... 40

Tabel 3.1 Informan Penelitian ... 70

Tabel 3.2 Jadwal Penelitian ... 76

Tabel 4.1 Pembagian Administratif Kota Serang ... 79

Tabel 4.2 Banyaknya Rumah Tangga dan Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kota Serang Tahun 2012 ... 80

(16)

ix

Tabel 4.4 Pembagian Wilayah Administratif Desa/Kelurahan

di Kecamatan Serang Tahun 2012 ... 82

Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Serang Tahun 2012 ... 84

Tabel 4.6 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Kecamatan Serang Tahun 2012 ... 85

Tabel 4.7 Keadaan Penduduk Kecamatan Serang Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2012 ... 86

Tabel 4.8 Luas Lahan Sawah dan Bukan Sawah di Kecamatan Serang Tahun 2012 ... 87

Tabel 4.9 Data Pegawai Dinas Pertanian Kota Serang Tahun Anggaran 2012 Berdasarkan Golongan... 90

Tabel 4.10 Data Pegawai Dinas Pertanian Kota Serang Tahun Anggaran 2012 Berdasarkan Jabatan ... 91

Tabel 4.11 Perkembangan Aset Gapoktan di Kecamatan Serang Per September 2014 ... 94

Tabel 4.12 Kodefikasi Key Informan Penelitian ... 96

Tabel 4.13 Kodefikasi Secondary Informan Penelitian ... 97

Tabel 4.14 Daftar Gapoktan Penerima PUAP di Kecamatan Serang ... 103

Tabel 4.15 Bidang Usaha yang Dibiayai BLM-PUAP di Kecamatan Serang ... 109

Tabel 4.16 Gambaran Pengurus Gapoktan di Kecamatan Serang ... 112

Tabel 4.17 Keadaan Kelompok Tani di Kecamatan Serang Tahun 2012.. 121

Tabel 4.18 Daftar Gapoktan Aktif di Kecamatan Serang Tahun 2013 ... 124

Tabel 4.19 Perkembangan Aset Gapoktan pada Oktober 2013 ... 129

(17)

x

Tabel 4.23 Hasil Penilaian Atas Dimensi Efisiensi ... 234

Tabel 4.24 Hasil Penilaian Atas Dimensi Kecukupan ... 243

Tabel 4.25 Hasil Penilaian Atas Dimensi Perataan ... 247

Tabel 4.26 Hasil Penilaian Atas Dimensi Responsivitas ... 250

(18)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Siklus Skematik Kebijakan Publik Hoogwood dan Gun ... 27

Gambar 2.2 Rangkaian Implementasi Kebijakan ... 29

Gambar 2.3 Model sederhana Evaluasi Implementasi Nugroho ... 41

Gambar 2.4 Kerangka Berfikir ... 64

Gambar 3.1 Proses Analisis Data ... 73

(19)

xii

Lampiran 2 PedomanWawancara Lampiran 3 Surat Pernyataan Informan Lampiran 4 Membercheck

Lampiran 5 Transkip Data Dan Koding Lampiran 6 Kategorisasi Data

Lampiran 7 Catatan Lapangan

Lampiran 8 Data-data Pendukung Hasil Penelitian Lampiran 9 Lembar Bimbingan

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejak berlakunya otonomi daerah, paradigma pembangunan lebih menitikberatkan kepada peran aktif masyarakat dan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan disempurnakan kembali dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

(21)

Adanya pelimpahan kewenangan Pemerintahan kepada daerah di era otonomi dan desentralisasi seperti sekarang ini, menimbulkan konsekuensi logis dimana Pemerintah Daerah dituntut harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai, untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan Pemerintahan dalam menjamin kemandirian dan kesejahteraan daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut diarahkan pada upaya pemberdayaan masyarakat (civil development) agar mampu mengelola sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kepentingan, prioritas, dan potensi lokal. Sehingga daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif dalam pelaksanaan Pemerintahan maupun pembangunan daerahnya.

Akan tetapi esensi pemberian hak otonomi melalui asas desentralisasi kewenangan tidak selamanya selalu berjalan baik, otonomi daerah yang seharusnya menjadi momentum yang tepat dalam memberdayakan masyarakat lokal dengan orientasi percepatan pembangunan yang lebih menekankan pada pertumbuhan (growth), justru secara nyata telah membuat jurang kesenjangan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Pembangunan dan perkembangan kota saat ini sering berbanding terbalik dengan perkembangan wilayah perdesaan.

(22)

3

yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa pemasaran dari arus komoditas primer perdesaan, sehingga sering terjadi kebocoran wilayah yang merugikan pertumbuhan ekonomi daerah itu sendiri (Tarigan, 2005). Pembangunan spasial yang diharapkan mampu memberikan trickle down effect berupa pertumbuhan dan pemerataan ekonomi pada daerah belakangnya (hinterland) ternyata menimbulkan aglomerasi atau pemusatan sumber daya ekonomi dan kegiatan pembangunan di kota-kota besar.

Percepatan pembangunan di perkotaan yang cenderung memusatkan dirinya pada sektor industri ternyata tidak diikuti dengan sektor itu dalam menyediakan kesempatan kerja bagi penduduk yang sektornya (pertanian) digantikan oleh industri (Baswir, 1999:9). Pola konsentrasi spasial di kota cenderung meningkat, karena pertambahan infrastruktur, lapangan kerja, dan industri menumpuk di kota sehingga migrasi menjadi sulit dihindari (Kompas, 17/11/07). Pada sisi lain, keterpurukan bidang ekonomi desa menjadi penyebab utama migrasi penduduk dari desa ke kota (Gilbert & Gugler, 1996:60). MenurutYudhoyono (2004) bahwa pembangunan yang telah berkembang selama ini telah melahirkan kemiskinan dan pengangguran di pertanian dan perdesaan.

(23)

yang memaksa kelompok marginal di perdesaan melakukan migrasi ke perkotaan (Baswir, eds, 1999:12, Wie, 2004:30). Kepadatan penduduk di perkotaan akibat migrasi dari desa ke kota juga akan menimbulkan ekses sosial tersendiri. Seiring pesatnya pertumbuhan kota, kemiskinan secara globalpun berpindah ke kota.

Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dialami Banten. Sudah 14 tahun Banten berdiri sebagai Provinsi, sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten, secara otomatis memberikan hak otonomi kepada Banten dalam meyelenggarakan Pemerintahan Daerah secara mandiri. Namun, pemberian hak otonomi yang diharapkan mampu menjadi stimulan dalam kemajuan pembangunan daerah, ternyata masih belum terwujud. Berikut adalah angka kemiskinan di Banten dapat dilihat pada tabel 1.1:

Tabel 1.1

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin

Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2012

Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Miskin

(24)

5

Berdasarkan data empirik tersebut, diketahui jumlah penduduk miskin di Banten Tahun 2012 mencapai 690.874 orang (6,26%) dari total penduduk Banten, dimana angka kemiskinan tertinggi ada di Kabupaten Pandeglang dengan jumlah penduduk miskin 117.644 orang (9,80%), sedangkan Kabupaten/Kota dengan persentase kemiskinan terendah yaitu Kota Tanggerang Selatan dengan jumlah penduduk miskin 20.144 orang (1,50%).

Kota Serang sendiri sebagai Ibu Kota Provinsi angka kemiskinannya menempati urutan ke 4 dari seluruh Kabupaten/Kota di Banten dengan jumlah penduduk miskin 37.436 orang (6,25%). Tidak hanya itu, Banten juga masuk dalam kategori Provinsi dimana 2 daerahnya yakni Lebak dan Pandeglang masuk dalam kategori daerah tertinggal ke-49 dan ke-50 dari 34 Kabupaten/Kota di Indonesia(http://kawasan.bappenas.go.id, diakses 18 Januari 2013). Bahkan pada Februari 2012, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Banten paling tinggi di Indonesia yakni 579.677 orang atau 10,74 % dari total penduduk Banten sebanyak 7.591.280 orang (Statistik Indonesia, 2012).

(25)

Tabel 1.2

Jumlah Keluarga Pra Sejahtera Kota Serang Tahun 2011-2012

No Kecamatan Keluarga Pra Sejahtera Total Penduduk Persentase (%) 1.

Selain jumlah keluarga Pra Sejahtera di atas, angka pengangguran di Kota Serang juga dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.3

Tingkat Pengangguran Di Kota Serang Tahun 2011-2012

No Tahun Jumlah Pengangguran Total Penduduk Persentase (%)

1. 2011 81.963 592.222 13,84

2. 2012 66.329 611.897 10,80

(Sumber: BPS Kota Serang, 2013)

(26)

7

Kecamatan Serang letaknya yang berdekatan dengan pusat kota ternyata tidak menjamin perekonomian masyarakatnya. Dimana pada tabel 1.2 menunjukkan ditahun 2012 kemiskinan Kecamatan Serang masih tergolong tinggi yakni sebanyak 5.338 orang (2,46%), menempati urutan ketiga persentase Kecamatan dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Kota Serang setelah Kecamatan Curug dengan total penduduk miskinnya 1.484 (3,02%) dan Kecamatan Kasemen dengan total penduduk miskin tertinggi 5.602 orang (6,12%).

Meskipun memang jumlah penduduk miskin di Kecamatan Serang tergolong tinggi karena jumlah penduduk Kecamatan Serang yang juga tinggi akan tetapi, sebagai Kecamatan yang letaknya berdekatan hanya 1,5 KM dengan Ibu Kota Provinsi, sekaligus sebagai pusat wilayah pembangunan pusat kota, tentu seharusnya angka kemiskinan di Kecamatan Serang dapat ditekan serendah mungkin. Adapun tingkat kemiskinan tertinggi untuk Kecamatan Kasemen masih dinilai lazim terjadi, karena jarak antara wilayah Kecamatan dengan Ibu Kota Provinsi sebagai pusat pembangunan relatif jauh dimana jarak Kecamatan Kasemen dengan Ibu Kota Provinsi sekitar 7 KM (BPS Kota Serang, 2013). Hal ini sangat kontras menunjukkan adanya kesenjangan antara pusat kota dan wilayah disekitarnya.

(27)

pengangguran di daerah. Masalah kemiskinan dan pengangguran akan terus menjadi masalah pokok nasional yang masuk dalam program prioritas untuk tercapainya kesejahteraan sosial bagi masyarakat Masalah kemiskinan merupakan bagian dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan juga telah menjadi kesepakatan global untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGS).

Penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui langkah sistematik, terpadu dan menyeluruh dengan berbasis pemberdayaan masyarakat dalam mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan secara langsung. Berangkat dari pemahaman tersebut, seyogyanya Pemerintah Daerah perlu untuk meninjau kembali orientasi kebijakan pembangunan yang selama ini telah dilakukan. Pembangunan daerah hendaknya tidak hanya terfokus pada sektor makro saja, tetapi juga turut memperhatikan struktur perekonomian secara mikro dengan memperhatikan karakteristik daerah yang potensial dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, hingga menyentuh sampai pada masyarakat level bawah yang umumnya berkerja sebagai petani.

(28)

9

berlaku memperlihatkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap pendapatan regional Banten pada tahun 2012 hanya sebesar 7,88% (BPS Provinsi Banten, 2013). Angka ini masih jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan sektor industri, yang selama kurun waktu tiga tahun terakhir masih menjadi leading sector (sektor unggulan) dalam perekonomian Banten. Selengkapnya dapat dilihat dalam tabel 1.4 berikut :

Tabel 1.4

Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2010-2012 dalam Persen

Lapangan Usaha Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan 8,27 7,95 7,88

Pertambangan & Penggalian 0,11 0,10 0,10

Industri Pengolahan 48,40 47,69 45,95

Listrik, Gas &Air Bersih 3,55 3,55 3,68

Konstruksi 3,48 3,56 3,69

Perdagangan, Hotel & Restoran 18,23 18,50 19,24

Pengangkutan& Komunikasi 8,83 9,18 9,47

Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan 3,82 3,83 3,90

Jasa – jasa 5,31 5,64 6,10

(Sumber: BPS Provinsi Banten, 2013)

(29)

Tabel 1.5

Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja

Menurut Lapangan Pekerjaan Utamadi Provinsi Banten Tahun 2012

Sektor Usaha Jumlah yang Bekerja (orang) Pertanian

Industri Pengolahan

Perdagangan, Rumah Makan dan Hotel Jasa-Jasa

Lainnya

602.859 1.190.185 1.122.201 869.471 821.131

Total 4.605.847

(Sumber: BPS Provinsi Banten, 2013)

Dalam Konteks Pembangunan ekonomi lokal berbasis kerakyatanan di era otonomi daerah, Kota Serang sebagai Ibu Kota Provinsi memiliki 20,185.921 Ha lahan pertanian (76,30%) dari seluruh luas lahan di Kota Serang yakni 26,456.014 Ha (BPS Kota Serang, 2013). Dimana luas lahan pertanian tersebut masih mungkin untuk dikembangkan dalam rangka mengurangi kemiskinan dan pengangguran, sekaligus sebagai upaya pemerataan ekonomi masyarakat sekitar khususnya di wilayah pinggiran Kota.

(30)

11

perkembangannya. Untuk itu didalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Periode 2008-2013 Pemerintah Kota Serang mencanangkan program revitalisasi pertanian dengan sasaran kebijakan diantaranya : Tersedianya sarana dan prasarana penunjang produksi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, berfungsinya lembaga/organisasi tingkat petani, Terciptanya aksesibilitas yang mudah bagi Sumber Daya Manusia (SDM) petani terhadap informasi dan permodalan, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) petani di bidangnya.

Sasaran kebijakan tersebut juga didukung dengan adanya Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dari Pemerintah Pusat pada tahun 2008 yang memusatkan perhatiannya pada pengembangan usaha produktif hasil pertanian dan penguatan kelembagaan pertanian di perdesaan. PUAP merupakan program terobosan dari Kementerian Pertanian yang sebelumnya ditahun 2000 dikenal dengan nama Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Kelompok Tani dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dan ditahun 2008 berganti nama menjadi PUAP. Adanya PUAP tidak lain dimaksudkan menanggulangi kemiskinan di Perdesaan, sekaligus mengurangi kesenjangan pembangunan antar pusat dan daerah serta antar subsektor (www.deptan.go.id, di akses 5 November 2012).

(31)

mengenai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 04/Permentan/OT.140/2/2012 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan bentuk operasionalisasi paradigma pembangunan ekonomi perdesaan berlandaskan agribisnis perdesaan dalam membangun desa mandiri pangan. Dalam rangka mendukung pelaksanaan PUAP, Menteri Pertanian membentuk Tim PUAP melalui Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007.

Program PUAP dapat membuka akses bagi petani untuk membentuk organisasi petani lokal yang memungkinkan untuk memperoleh bantuan modal usaha yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dalam hal ini adalah Bantuan Langung Mandiri (BLM) PUAP yang diperuntukkan bagi pengembangan hasil produktif pertanian. Selanjutnya organisasi tani ini terdiri dari Kelompok Tani (Poktan) yang kemudian tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).

(32)

13

Namun, mengingat program PUAP merupakan program nasional pengentasan kemiskinan dan pengangguran dari Kementerian Pertanian dengan target 10.000 desa pertahun, maka program inipun diperuntukkan untuk wilayah perkotaan dengan tetap mempertimbangkan karakteristik mata pencaharian sebagian masyarakat setempat yang masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian (agraris), selain juga masih dapat dioptimalkan untuk usaha non budidaya, sangat cocok bagi pengembangan usaha agribisnis di wilayah perkotaan.

Sehubungan dengan itu, Menteri Pertanian dalam hal ini telah membuat kebijakan operasional terkait dengan upaya penumbuhan dan pengembangan kelompok tani, yang kemudian dapat dijadikan sebagai acuan bagi petugas pembina PUAP. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani. Permentan tersebut mengatur mengenai bagaimana strategi pengembangan kelembagaan petani yang dapat dijadikan acuan penyuluh dalam menumbuh kembangkan Poktan dan Gapoktan.

(33)

PUAP ditingkat Provinsi dilaksanakan oleh Tim Pembina PUAP Provinsi. Dan evaluasi pelaksanaan PUAP ditingkat Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Tim Teknis PUAP Kabupaten/Kota. Evaluasi yang disampaikan ke Pusat dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian hanya sebatas laporan keuangan Gapoktan dan data LKM-A yang telah dibentuk, sesuai dengan format yang telah ditetapkan dari Kementerian Pertanian yang dilaporkan dari Tim Pembina PUAP Provinsi Banten

Adapun evaluasi yang masuk baik ke Tim Pembina PUAP Provinsi Banten maupun Ke Tim Teknis PUAP kota Serang yaitu Dinas Pertanian Kota Serang melalui Balai Informasi Penyuluhan Pertanian (BIPP) Kota Serang merupakan laporan yang dibuat oleh Penyelia Mitra Tani (PMT). Penunjukan Penyelia Mitra Tani (PMT) ditahun 2013 sebagai tahun dimulainya penelitian ini dengan Surat Keputusan (SK) Kementerian Pertanian Nomor 75.1/kpts/OT.140/B/05/2013 terhitung sejak 1 Mei 2013 sampai Mei 2014 dengan Penyelia Mitra Tani (PMT) untuk wilayah binaan Kecamatan Serang adalah Ibu Laelatul Badriah.

(34)

15

Tabel 1.6

Tingkat Pendidikan Petani di Kecamatan Serang Tahun 2011

(35)

Kedua, umumnya petani di Kecamatan Serang berstatus sebagai penggarap dengan penerapan sistem bagi hasil dengan pemilik lahan menjadikan nilai manfaat yang diterima petani dari hasil produksi menjadi lebih kecil.1 Selanjutnya

mengenai status kepemilikan lahan Gapoktan di Kecamatan Serang tahun 2012 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1.7

Status Kepemilikan Lahan Gapoktan di Kecamatan Serang Tahun 2014

No Gapoktan Jumlah

Poktan Jumlah Anggota Luas Lahan Status Kepemilikan lahan

1 Tunas Abadi 4 158 119,4 Penggarap

2 Pelita Tani 2 62 56 Penggarap

3 Kadaka 1 48 0,15 Sewa

4 Jaya Tani Mandiri 3 122 121 Penggarap

5 Barokah 1 3 0,025 Pemilik

6 Setia Tani 3 125 10,5 Pemilik

7 Cipari 3 129 48 Penggarap

8 Karya Bahagia Tani 1 53 8 Penggarap

9 Karya Bersama 4 156 146 Penggarap

Total 22 856 509,075

(Sumber : UPT Pertanian Kecamatan Serang, 2014)

Dari tabel 1.7 tersebut, diketahui bahwa kepemilikan lahan dari Gapoktan di Kecamatan Serang diantaranya 6 berstatus sebagai penggarap, 1 sewa, dan 2 pemilik.

1

(36)

17

Ketiga, keterbatasan bantuan modal BLM-PUAP dan teknologi juga menjadi salah satu faktor penyebab belum optimalnya produktifitas petani. Dimana Gapoktan menerima bantuan Rp. 100.000.000, namun nominal tersebut apabila dialokasikan sampai pada Poktan rata-rata Rp.2.000.000/Ha di nilai belum mencukupi yang biasanya memakan sampai Rp. 5.000.000/Ha. Biaya tersebut masih bisa lebih rendah apabila dibagi lagi untuk masing-masing petani dalam Poktan yang bisa terdiri sampai 30 orang. Jadi alokasi anggaran BLM-PUAP bervariasi tergantung dengan jumlah Poktan yang ada dalam Gapoktan di setiap desa yang disesuaikan dengan jenis dan prioritas usahanya.

Keempat, masih banyak Gapoktan yang terkendala pengembalian BLM- PUAP, baik akibat gagal panen karena faktor alam, maupun karena faktor petani itu sendiri yang memakai BLM-PUAP untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini terlihat dari laporan keuangan Gapoktan dengan sisa angsuran yang sebagian besar masih ada di anggota menyebabkan perguliran BLM-PUAP terhenti dan tidak dapat dipergulirkan kembali kepada anggota lainnya yang belum menerima.

(37)

Tabel 1.8

Angsuran Gapoktan di Kecamatan Serang Per September 2014

8 Karya Bahagia Tani 100.000 1.602,85 0

4.000 400 97.500 502,8

5

98.002,85

9 Karya Bersama 281.962 28.196,2 193.620 26.980, 7

87.357,5 1.580 88.937,5 Total 1.279.653,1 512.402,7 746.571,1

(Sumber : Laporan PMT Kecamatan Serang, 2013)

Kelima, belum memadainya fasilitasi penunjang seperti insentif, biaya operasional, perlengkapan/sarana, bagi Penyuluh Pendamping maupun Penyelia Mitra Tani (PMT) dengan wilayah kerja lebih dari satu desa, menyebabkan kesulitan dalam melakukan pendampingan dan bimbingan teknis di lapangan.2

Keenam, saat ini peran PMT lebih pada pembinaan administratif keuangan Gapoktan dan laporan perkembangan PUAP secara periodik termasuk dalam Penyusunan Rencana Usaha Bersama (RUB), Rencana Usaha Kelompok (RUK), Rencana Usaha Anggota (RUA) sesuai dengan usaha unggulan desa, sedangkan peran sebagai konsultan dan fasilitator pengembangan usaha agribisnis dalam

2

(38)

19

penguatan kelembagaan kelompok bagi Gapoktan belum optimal. Ketujuh, sistem pendampingan, monitoring dan evaluasi program yang masih kurang memadai karena keterbatasan sumberdaya manusia, khususnya jumlah tenaga Penyuluh untuk program PUAP di Kecamatan Serang.

Terakhir, yakni kurangnya koordinasi antara Tim Teknis PUAP seperti koordinasi antara Dinas Pertanian Kota Serang dengan tenaga penyuluh di desa, yang mana pelaksana teknis dari instansi kurang memantau perkembangan PUAP secara langsung di Kecamatan Serang. Sehingga Pendampingan dan Pembinaan Kelembagaan petani terkesan tidak berjalan beriringan, bersamaan dengan dukungan Instansi terkait. Jadi secara umum dapat diidentifikasi bahwa masalah pada program PUAP di Kecamatan Serang Kota Serang adalah masih lemahnya kelembagaan petani yang tergabung dalam Gapoktan, menjadikan pengelolaan dana bantuan usaha program PUAP kurang optimal, baik dari segi pengembangan usaha produktif agribisnis maupun dalam kemampuan penggunaan teknologi tepat guna bagi peningkatan nilai tambah produk petani.

(39)

oleh kerjasama dan komitmen seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam PUAP di perdesaan, antara lain pengurus Gapoktan, Penyuluh pendamping, Penyelia Mitra Tani dan Komite Pengarah (Juknis Penyuluh, 2010).

Dengan demikian, berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, dalam hal ini peneliti tertarik untuk memfokuskan kajian penelitian ini pada “Evaluasi Pembinaan Kelembagaan Petani Pada Program Pengembangan Usaha

Agribisnis Perdesaan (PUAP) di Kecamatan Serang Kota Serang”.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan sebelumnya, maka peneliti mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Masih rendahnya sumberdaya manusia petani di Kecamatan Serang, dimana sebagian besar merupakan petani dengan tingkat pendidikan yang rendah. 2. Petani di Kecamatan Serang umumnya berstatus sebagai petani penggarap. 3. Keterbatasan bantuan modal Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan

Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM-PUAP) dan teknologi menjadikan produktifitas petani belum optimal.

4. Masih banyak Gapoktan yang terkendala pengembalian Bantuan Langsung Masyarakat Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (BLM-PUAP). 5. Belum memadainya fasilitasi penunjang seperti insentif, biaya operasional,

perlengkapan/sarana, yang mendukung keberhasilan program.

(40)

21

7. Pendampingan, pembinaan petani, monitoring dan evaluasi program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) masih belum optimal. 8. Kurangnya koordinasi antara Tim Teknis program Pengembangan Usaha

Agribisnis Perdesaan (PUAP), Penyelia Mitra Tani (PMT) dengan tenaga penyuluh di desa.

1.3. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, peneliti membatasi ruang lingkup penelitian pada Evaluasi Pembinaan Kelembagaan Petani Pada Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) di Kecamatan Serang Kota Serang dengan melihat pada aspek output dan outcome dari pelaksanaan program tersebut.

1.4. Rumusan Masalah

(41)

1.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Rumusan Masalah diatas, tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk mengevaluasi Pembinaan Kelembagaan Petani Pada Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) di Kecamatan Serang Kota Serang.

1.6. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis, antara lain:

a. Untuk menambah wawasan peneliti mengenai pembinaan kelembagaan petani pada program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) , khususnya di Kecamatan Serang Kota Serang.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih akademik terkait terkait dengan teori-teori evaluasi kebijakan khususnya mengenai kebijakan pembinaaan kelembagaan petani pada program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) di Kecamatan Serang Kota Serang. 2. Manfaat Praktis, antara lain:

a. Bagi Peneliti

(42)

23

aplikasikan dalam bentuk Penyelesaian tugas akhir Jenjang pendidikan Strata Satu (S1) atau Skripsi sebagai salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP-UNTIRTA. b. Bagi Instansi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih nyata bagi pelaksanaan kegiatan program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), sehingga penilaian dari hasil evaluasi dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi instansi terkait dalam perbaikan kebijakan pembinaan kelembagaan petani pada program tersebut di masa mendatang.

c. Bagi Pihak lain

(43)

Berikut adalah landasan teori maupun landasan/dasar hukum yang relevan dengan konteks penelitian terkait dengan Evaluasi Pembinaan Kelembagaan Petani pada Program PUAP di Kecamatan Serang, Kota Serang.

2.1. Konsep Kebijakan Publik

2.1.1. Pengertian Kebijakan dan Kebijakan Publik

Dalam beberapa buku terdapat istilah kebijakan disebut juga dengan kebijaksanaan. Meski sedikit terdengar berbeda namun kebijakan atau kebijaksanaan sesungguhnya memiliki arti yang sama. Kebijakan (Policy) didefinisikan bermacam-macam oleh para ahli. Budiarjo (2008:20), mendefinisikan kebijakan (policy) adalah:

“Suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya.”

Pengertian kebijakan dijelaskan oleh Anderson (dalam Islamy, 2007:17) menurutnya kebijakan Sebagai: “a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern”

(44)

25

Pengertian kebijakan lainnya dijelaskan oleh Laswell dan Kaplan (dalam Islamy 2007:15-17) memberi arti kebijakan sebagai: “a projected a program of goals, values and practices”.

Sedangkan Raksasataya mengemukakan kebijaksanaan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu kebijakan memuat tiga elemen yaitu (Tjokroamidjojo, 1976):

1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai

2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan

3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan berbagai pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi

Sama halnya dengan berbagai macam definisi kebijakan, maka definisi kebijakan publik tidak hanya satu. Berikut adalah definisi kebijakan publik dari beberapa ahli. Eyestone (dalam Agustino, 2006:40) mendefinisikan kebijakan publik sebagai: “hubungan antar unit pemerintah dengan lingkungannya”.

Definisi lain mengenai kebijakanpun ditawarkan oleh Frederick (dalam Agustino, 2006:40) mengatakan bahwa kebijakan adalah:

“Serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dimana kebijakan tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.”

(45)

Edwards III dan Sharkansky (dalam Islamy, 2007:18) mengatakan bahwa :“PublicPolicy is what government say and do, or not to do. It is the goals or purposes of government programs”. Edwards dan Sharkansky juga menambahkan “kebijakan publik ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintahan ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah”.

Akhirnya dalam suatu glossary dibidang Administrasi Negara arti kebijakan publik sebagai berikut: (1) susunan rancangan tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan program-program pemerintah yang berhubungan dengan masalah-masalah tertentu yang dihadapi masyarakat; (2) apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan; (3) masalah-masalah yang kompleks yang dinyatakan dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Dari beberapa definisi atau pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik atau “public policy” itu adalah: “serangkaian tindakan yang ditetapkan atau dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”. Pengertian kebijakan publik tersebut mempunyai implikasi sebagai berikut (Islamy, 2007:20-21):

1. Kebijakan publik itu dalam bentuk perdananya berupa penetapan tindakan-tindakan pemerintah.

2. Kebijakan publik tidak cukup hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan dalam bentuk yang nyata.

3. Kebijakan publik baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai tujuan dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.

(46)

27

2.1.2. Tahapan Kebijakan Publik

Kebijakan publik pada dasarnya terbagi dalam tiga prinsip yaitu: pertama,

dalam konteks bagaimana merumuskan kebijakan publik (Formulasi kebijakan); kedua, bagaimana kebijakan publik tersebut diimplementasikan dan ketiga,

bagaimana kebijakan publik tersebut dievaluasi (Nugroho, 2004:100-105). Hal ini dapat dilihat dari siklus skematik dari kebijakan publik Hoogwood dan Gun:

Gambar 2.1 l

Siklus Skematik Kebijakan Publik Hoogwood dan Gun (Sumber: Nugroho, 2004:77)

Dari gambar 2.1 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Terdapat isu atau masalah publik. Disebut isu apabila masalahnya bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan.

2. Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut.

Perumusan Kebijakan Publik

Isu atau Masalah Publik

Implementasi Kebijakan Publik

Output

Outcomes

(47)

Rumusan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya termasuk pimpinan negara.

3. Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.

4. Namun didalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru sebagai penilaian apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar diimplementasikan dengan baik dan benar pula.

5. Implementasi kebijakan bermuara kepada output yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh pemanfaat.

6. Di dalam jangka panjang kebijakan tersebut menghasilkan outcome dalam bentuk impact kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut.

2.1.3. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya (Nugroho, 2004:54). Berikut adalah pengertian implementasi kebijakan menurut Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier (Agustino, 2006:153):

“Pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan-keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tugas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.”

Adapun pengertian implementasi kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn (Agustino, 2006: 153):

(48)

29

diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.

Pengertian implementasi kebijakan lainnya diungkapkan Grindle (Agustino, 2006: 153) :

“Pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya ditentukan dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual proyek dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan sasaran dan kebijakan itu sendiri. Untuk memahami bagaimana implementasi kebijakan dijalankan dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 2.2 Rangkaian Implementasi Kebijakan (Sumber : Nugroho, 2004:153)

Kebijakan Publik

Program Intervensi Kebijakan Publik Penjelas

Proyek Intervensi

Kegiatan Intervensi

(49)

Dari gambar 2.2 tersebut dijelaskan bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalu formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Dalam Proses Implementasi kebijakan pelaksana kebijakan atau birokrasi pemerintah menginterpretasikan kebijakan menjadi program. Selanjutnya agar program lebih operasional lagi, program dirumuskan sebagai proyek, yang dengannya para pelaksana di tingkat lapangan telah dapat bertindak (Wibawa, 1994: 2-4).

2.1.4. Evaluasi Kebijakan Publik

Kegiatan evaluasi dalam beberapa hal mirip dengan pengawasan, pengendalian, penyeliaan, supervisi, kontrol dan pemonitoran (Wibawa, 1994:8). Evaluasi merupakan bagian dari pengendalian kebijakan. Evaluasi merupakan penilaian pencapaian kinerja dan implementasi. (Nugroho, 2011). Evaluasi dilaksanakan setelah kegiatan “selesai dilaksanakan” dengan dua pengertian “selesai” yaitu (1) pengertian waktu (mencapai/melewati “tenggat waktu”) dan (2) pengertian kerja (“pekerjaan tuntas”).

Ciri dari kegiatan evaluasi antara lain (Nugroho, 2011:669-670):

1. Tujuannnya adalah menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan.

2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target kebijakan.

(50)

31

5. Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan dan kinerja kebijakan. Salah seorang scholar terkenal Dye mendefinisikan mengenai evaluasi kebijakan sebagai: “pemeriksaan yang objektif, sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai” (Parson, 2006:547). Secara ringkas definisi Dye tersebut dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah: “pembelajaran tentang konsekuensi dari kebijakan publik”. Sedangkan menurut Nugroho (20011) memaparkan bahwa: “evaluasi biasanya ditujukkan untuk menilai sejuahmana keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Sejauhmana tujuan dicapai, evaluasi diperlakukan untuk melihat kesenjangan antara “harapan” dan “kenyataan”.

Anderson (dalam Soenarko, 2003:212) mendefinisikan evaluasi kebijakan sebagai berikut:

“Evaluasi kebijakan, sebagai suatu kegiatan fungsional adalah suatu kebijakan itu sendiri. Pengambil-pengambil kebijakan dan administrator-administrator senantiasa membuat penilaian terhadap keberhasilan atau terhadap dampak dari kebijakan-kebijakan khusus, program-program dan proyek-proyek yang dilaksanakan itu.”

Seorang ahli kebijakan Lester dan Stewart (dalam Agustino, 2006:175) menjelaskan bahwa:

“Evaluasi ditujukkan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan menghasilkan dampak yang diinginkan.”

(51)

dahulu sebelum mengadakan penilaian”. Perbedaan antara pengukuran dan penilaian selanjutnya didefinisikan sebagai berikut:

1. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran.

2. Menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk.

Menurut Weiss (dalam Parson, 2006:547) mengatakan bahwa evaluasi dapat dibedakan dalam bentuk-bentuk analisis lainnya dalam enam hal :

1. Evaluasi dimaksudkan untuk pembuatan keputusan, dan untuk menganalisis problem seperti yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan pejabat

2. Evaluasi adalah penilaian karakter

3. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam setting akademik

4. Evaluasi seringkali melibatkan konflik antara periset dan praktisi 5. Evaluasi biayanya tidak dipublikasikan

6. Evaluasi mungkin melibatkan periset dalam persoalan kesetiaan kepada agen pemberi dana dan peningkatan perubahan sosial.

Menurut Dunn (2003) terdapat 3 fungsi utama evaluasi dalam analisis kebijakan, yaitu : Pertama, evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.

(52)

33

Ketiga, evaluasi memberikan sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Informasi yang dihasilkan dari proses evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk merumuskan ulang masalah dan memberikan alternatif kebijakan baru maupun revisi kebijakan sebelumnya.

Menurut Wibawa, dkk (1994:10-11) evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi, yaitu :

1 Ekplanasi. Melalui evaluasi kebijakan dapat diperoleh realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini, evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.

2 Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya, sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan. 3 Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui, apakah output benar-benar

sampai ke tangan kelompok sasaran kebijakan, atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.

4 Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebijakan tersebut.

(53)

Adapun kendala dalam melakukan evaluasi kebijakan adalah sebagai berikut (Subarsono, 2012: 130) :

1. Kendala Psikologis. Banyak aparat Pemerintah masih alergi terhadap kegiatan evaluasi, karena dipandang berkaitan dengan prestasi kerja. Apabila hasil evaluasi menunjukkan kurang baik, bisa jadi akan menghambat karier mereka.

2. Kendala Ekonomis. Kegiatan evaluasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit seperti biaya untuk pengumpulan dan pengolahan data, biaya untuk para staff administrasi, dan biaya untuk para evaluator.

3. Kendala Teknis. Evaluator sering dihadapkan pada masalah tidak tersedianya cukup data dan informasi yang up to date.

4. Kendala politis. Masing-masing kelompok bisa jadi saling menutupi kelemahan dari implementasi suatu program dikarenakan deal atau bergaining politik tertentu.

5. Kurang tersedianya evaluator. Pada berbagai lembaga Pemerintah, kurang tersedianya sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi melakukan evaluasi.

2.1.4.1 Model Evaluasi Kebijakan

Mengikuti Dunn (2003:608-610) Istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (asessment). Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Sifat evaluasi menurut Dunn yaitu:

1. Fokus nilai, evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.

(54)

35

merupakan konsekuensi dari aksi-aksi yang dilakukan utuk memecahkan masalah tertentu.

3. Orientasi masa kini dan masa lampau. Evaluasi kebijakan diarahkan pada hasil sekarang dan masa lalu, ketimbang hasil di masa depan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post). Rekomendasi yang juga mencakup permis-permis nilai, bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex ante).

4. Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan. Evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus cara.

Sedangkan fungsi evaluasi menurut Dunn (dalam Nugroho, 2011:670) yaitu:

1. Evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik.

2. Evaluasi memberikan sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.

3. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya termasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

Jadi, meskipun berkenaan dengan keseluruhan proses kebijakan, evaluasi kebijakan lebih berkenaan pada kinerja dari kebijakan, khususnya pada implementasi kebijakan publik. Kinerja kebijakan yang dinilai dalam evaluasi kebijakan melingkupi (Agustino, 2006:118):

1. Seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan kebijakan/program. Dalam hal ini evaluasi kebijakan mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu telah dicapai. 2. Apakah tindakan yang ditempuh oleh implementing sudah benar-benar

efektif, responsif, akuntabel dan adil. Dalam bagian ini evaluasi kebijakan harus juga memperhatikan persoalan-persoalan hak asasi manusia ketika kebijakan akan dilaksanakan.

(55)

dan dapat dipercaya menjadi realisasi dari perwujudan right to know bagi masyarakat.

Adapun kriteria-kriteria evaluasi menurut Dunn (2003:610) dapat dilihat pada tabel 2.1 :

Tabel 2.1

Tipe Kriteria Evaluasi Menurut William N. Dunn

Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi

Efektifitas Apakah hasil yang diinginkan

telah dicapai? Unit Pelayanan.

Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan memecahkan masalah?

Biaya tetap. Efektivitas tetap.

Perataan Apakah biaya manfaat

didistribusikan dengan merata

Ketepatan Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai?

Program publik harus merata dan efisien/ (Sumber: Dunn, 2003:610)

Penjelasan pada tabel 2.1 tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Efektifitas (effectiveness). Dalam hal ini efektifitas menanyakan apakah hasil yang diinginkan telah tercapai. Ini berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diinginkan atau mencapai tujuan dari tindakannya. Efektifitas yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan.

(56)

37

3. Kecukupan (adequacy). Seberapa jauh hasil yang diinginkan memecahkan masalah. Berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektifitas memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antar alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. 4. Perataan (equity). Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan

merata. Kebijakan yang dirancang untuk mendistribusikan pendapatan, kesempatan pendidikan atau pelayanan publik kadang-kadang direkomendasikan atas dasar kriteria kesamaan.

5. Responsivitas (responsiveness). Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan atau nilai kelompok-kelompok tertentu. Dimana ini berkenaan dengan seberapa jauh kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu.

6. Ketepatan (appropriateness). Apakah hasil/tujuan yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai. Secara dekat berhubungan dengan rasionalitas, karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk pada nilai dan tujuan program dan kepada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut.

2.1.4.2 Pendekatan Evaluasi Kebijakan

Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan dan setelah dilaksanakan. Evaluasi pada waktu pelaksanaan disebut evaluasi proses. Evaluasi setelah kebijakan disebut evaluasi konsekuensi kebijakan atau evaluasi impak. Menurut Suryahadi (2007) dilihat dari waktu pelaksanaannya evaluasi terbagi menjadi dua jenis diantaranya

1. Evaluasi Formatif, yaitu dilaksanakan waktu pelaksanaan program, bertujuan untuk memperbaiki pelaksanaan program, sehingga akan ditemukan masalah-masalah dalam pelaksanaan program

(57)

Secara spesifik Dunn (2003:612-613) mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan sebagai berikut:

Tabel 2.2

Tiga Pendekatan Evaluasi

Pendekatan Tujuan Asumsi Bentuk-Bentuk

Utamanya

Penjelasan pada tabel 2.2 tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

(58)

39

hanya mengungkap informasi-informasi mengenai hasil kebijakan secara valid, dan dapat dipercaya tanpa menjelaskan secara lebih jelas mengenai manfaat dari hasil kebijakan tersebut.

2. Evaluasi formal (formal evaluation), merupakan pendekatan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan, tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal adalah merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat atau nilai kebijakan program. Evaluasi formal lebih mengarah pada bagaimana evaluasi yang dilakukan mengacu pada tujuan program kebijakan untuk memperoleh informasi mengenai kebijakan yang valid.

3. Evaluasi keputusan teoritis (decision-theoritic evaluation), adalah pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan valid, mengenai hasil-hasil kebijakan yang secara ekplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku kebijakan. Pada evaluasi ini, tujuan dan target dari para pembuat kebijakan merupakan salah satu sumber nilai karena semua pihak yang mempunyai andil dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan dilibatkan dalam merumuskan tujuan dan target, dimana kinerja nantinya diukur.

Evaluasi terhadap hasil implementasi kebijakan dilakukan untuk melihat pengaruh atau dampak kebijakan, yang manjadi fokus utamanya adalah efek atau dampak yang ditimbulkan dari kebijakan. Menurut Effendi (dalam Nugorho, 2006:162) tujuan evaluasi implementasi kebijakan publik adalah untuk mengetahui variasi dalam indikator-indikator kinerja yang digunakan untuk menjawab tiga pertanyaan pokok:

1. Bagaimana kinerja implementasi kebijakan publik? jawabannya berkenaan dengan kinerja implementasi publik (variasi dari outcome) terhadap variable independen tertentu.

(59)

3. Bagaimana strategi meningkatkan kinerja implementasi kebijakan publik ? Pertanyaan ini berkenaan dengan “tugas” pengevaluasi untuk memilih variabel-variabel yang dapat diubah, atau actionable variabel-variabel yang bersifat natural atau variabel lain yang tidak bisa diubah tidak dapat dimasukan sebagai variabel evaluasi.

Menurut Finterbusch dan Motz (dalam Wibawa, 1994:74-75) untuk melakukan evaluasi terhadap program yang diimplementasikan ada beberapa metode evaluasi yang dapat dilihat pada tabel 2.3:

Tabel 2.3

Metode evaluasi Menurut Finterbusch dan Motz

Jenis Evaluasi

Pengukuran kondisi

kelompok sasaran Kelompok control Informasi yang diperoleh Sebelum Sesudah

Single program after-only

Tidak Ya Tidak ada Keadaan kelompok sasaran

Single program

before- after Ya Ya Tidak ada Perubahan keadaan kelompok sasaran

Comparative

after-only Tidak Ya Ada Keadaan kelompok sasaran dan kelompok kontrol

Comparative

before-after Ya Ya Ada Efek program terhadap kelompok sasaran

(Sumber: Wibawa, 1994:74-75)

(60)

41

itu perlu dibuat secara jelas mengenai tujuan dari diadakannya evaluasi tersebut. Hal lainnya adalah perlu memperhatikan kemampuan dari para implementator kebijakan. Poin lain yang tidak kalah penting adalah seorang evaluator perlu memperhatikan kesesuaian antara sumber daya atau keperluan-keperluan teknis yang diperlukan pada saat di implementasikan dengan sumber daya yang direncanakan pada tahap formulasi kebijakan. Hal terakhir yang perlu diperhatikan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan adalah dengan memperhatikan lingkungan dimana kebijakan tersebut diimplementasikan. Petunjuk praktis evaluasi implementasi kebijakan publik dapat diringkas pada gambar 2.3 :

K

Gambar 2.3 Model sederhana Evaluasi Implementasi Nugroho (Sumber: Nugroho, 2011:684)

Kesesuaian dengan metode implementasi

Kesesuaian dengan tujuan evaluasi

Kesesuaian dengan kompetensi

Kesesuaian dengan sumber daya yang ada

Kesesuaian dengan lingkungan evaluasi

(61)

2.2. Pembinaan Kelembagaan

2.2.1 Konsep Pembinaan

Pembinaan merupakan totalitas kegiatan yang meliputi perencanaan,

pengaturan dan penggunaan pegawai sehingga menjadi pegawai yang mampu

mengemban tugas menurut bidangnya masing-masing, supaya dapat mencapai

prestasi kerja yang efektif dan efisien. Pembinaan juga dapat diartikan sebagai

suatu tindakan, proses, hasil atau pernyataan lebih baik. Dalam Buku Pembinaan

Militer Departemen Pertahanan dan Keamanan disebutkan pengertian pembinaan

sebagai berikut:

“Pembinaan adalah suatu proses penggunaan manusia, alat peralatan, uang, waktu, metode dan sistem yang didasarkan pada prinsip tertentu untuk pencapaian tujuan yang telah ditentukan dengan daya dan hasil yang sebesar-besarnya”. (Musanef,1991:11).

Dalam hal suatu pembinaan menunjukkan adanya suatu kemajuan

peningkatan, atas berbagai kemungkinan peningkatan, unsur dari pengertian

pembinaan ini merupakan suatu tindakan, proses atau pernyataan dari suatu tujuan

dan pembinaan menunjukkan kepada “perbaikan” atas sesuatu istilah pembinaan

hanya diperankan kepada unsur manusia, oleh karena itu pembinaan haruslah

mampu menekan dan dalam hal-hal persoalan manusia. Hal ini sejalan dengan

pendapat Thoha (1997:16-17) mendefinisikan, pengertian pembinaan bahwa :

1. Pembinaan adalah suatu tindakan, proses, atau pernyataan menjadi lebih baik.

(62)

43

3. Pembinaan merupakan suatu pernyataan yang normatif, yakni menjelaskan bagaimana perubahan dan pembaharuan yang berencana serta pelaksanaannya.

4. Pembinaan berusaha untuk mencapai efektifitas, efisiensi dalam suatu perubahan dan pembaharuan yang dilakukan tanpa mengenal berhenti.

Menurut Musanef (1991:11) yang dimaksud dengan pengertian pembinaan

adalah: “Segala suatu tindakan yang berhubungan langsung dengan

perencanaan, penyusunan, pembangunan, pengembangan, pengarahan,

penggunaan serta pengendalian segala sesuatu secara berdaya guna dan berhasil

guna”. Pembinaan merupakan tugas yang terus menerus di dalam pengambilan

keputusan yang berwujud suatu perintah khusus/umum dan instruksi-intruksi, dan

bertindak sebagai pemimpin dalam suatu organisasi atau lembaga. Usaha-usaha

pembinaan merupakan persoalan yang normatif yakni menjelaskan mengenai

bagaimana perubahan dan pembaharuan dalam pembinaan.

2.2.2 Konsep Kelembagaan

(63)

digunakan untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan Kelembagaan (institutional) bermakna sebagai “berbagai hal yag berhubungan dengan lembaga”. Kelembagaan adalah suatu jaringan yang terdiri dari sejumlah orang dan lembaga untuk tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Lembagaatau dapat juga disebut ”organisasi” adalah pelaku atau wadah untuk menjalankan satu atau lebih kelembagaan. Lembaga memiliki struktur yang tegas dan diformalkan. Lembaga menjalankan fungsi kelembagaan, namun dapat satu atau lebih fungsi sekaligus. Lembaga di pertanian adalah kelompok tani, Gapoktan, kelompok wanita tani, klinik agribisinis, koperasi, dan lain lain. Pada prinsipnya kelembagaan maupun lembaga memiliki empat komponen, yaitu: komponen pelaku, komponen kepentingan, komponen norma dan aturan, sertakomponen struktur (http://media.kompasiana.com, diakses 17 November 2014).

Selanjutnya pembinaan kelembagaan atau dikenal juga dengan pengembangan organisasi diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan istilah ”Organization Development”. Menurut Wendell French dan Cecil H. Bell (dalam Winardi, 2009:198-199) menyajikan definisi komprehensif berikut tentang pengembangan organisasi yaitu:

(64)

45

Definisi berikut lebih sederhana: “…pengembangan organisasi merupakan sebuah proses perubahan yang direncanakan, di dalam kultur suatu organisasi,

melalui pemanfaatan teknologi behavioral, riset dan teori” (Burke, 1982:10). Hasil-hasil keorganisasian dari upaya-upaya pengembangan organisasi mencakup:

1. Efektifitas yang meningkat; 2. Pemecahan Masalah;

3. Adaptabilitas untuk masa mendatang;

Pengembangan organisasi berupaya untuk menyediakan peluang-peluang untuk menjadi “manusiawi” dan untuk meningkatkan pemahaman, partisipasi dan pengaruh. Salah satu tujuan Pokok adalah mengintegrasi sasaran-sasaran individual dan keorganisasian. Upaya-upaya pengembangan organisasi sendiri merupakan pendekatan yang terprogram dan sistematik dalam mewujudkan perubahan. Sasaran utamanya ialah (Siagian, 2007:3):

1. Peningkatan efektifitas organisasi sebagai suatu sistem terbuka;

2. Mengembangkan potensi yang mungkin masih terpendam dalam diri para anggota organisasi menjadi kemampuan operasional yang nyata; 3. Intervensi keperilakuan dilakukan melalui kerjasama;

(65)

pengembangan organisasi agar dapat membedakan antara pengembangan organisasi dengan usaha-usaha pembaharuan dan pembinaan lain.

2.3 Pembinaan Kelembagaan Petani

Kebijakan Pembinaan Kelembagaan Petani diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani. Permentan Nomor 273 tahun 2007 dilatar belakangi perlunya ketentuan yang mengatur bagaimana pembinaan kelembagaan petani dapat diarahkan pada peningkatan kapasitas kelembagaan petani, dalam rangka menyiapkan sumberdaya yang berkualitas, melalui penyuluhan pertanian dengan berpendekatan kelompok, yang dapat mendukung sistem agribisnis berbasis pertanian (tanaman pangan, holtikultura, peternakan dan perkebunan).

Maka sehubungan dengan itu, perlu dilakukan pembinaan dalam rangka penumbuhan dan pengembangan kelompok tani menjadi kelompok tani yang kuat dan mandiri, untuk meningkatkan pendapatan petani dan keluarganya. Tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok dalam masyarakat, umumnya didasarkan atas adanya kepentingan dan tujuan bersama. Penumbuhan kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) dapat dimulai dari kelompok-kelompok/organisasi sosial yang sudah ada di masyarakat.

(66)

47

ditumbuhkan dari petani dalam satu wilayah, dapat berupa satu atau lebih, satu desa atau lebih, dapat berdasarkan domisili atau hamparan tergantung dari kondisi penyebaran penduduk dan lahan usaha tani wilayah tersebut. Penumbuhan dan pengembangan kelompok tani didasarkan atas prinsip dari, oleh dan untuk petani.

Pengembangan kelompok tani diarahkan pada peningkatan kemampuan anggota dalam melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan para anggota dalam mengembangkan agribisnis, penguatan kelompok tani menjadi organisasi yang kuat dan mandiri. Peningkatan kemampuan dimaksudkan agar kelompok tani dapat berfungsi sebagai kelas belajar, wahana kerja sama dan unit produksi yang dijabarkan sebagai berikut :

Pertama, fungsi kelompok sebagai kelas belajar yaitu Kelompok tani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) serta tumbuh dan berkembangnya kemandirian dalam berusaha tani, sehingga produktivitasnya meningkat, pendapatannya bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera. Kedua, Fungsi Kelompok sebagai wahana kerjasama dimana kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompok tani dan antar kelompok tani serta dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan usaha taninya akan lebih efisien serta lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan.

Gambar

Tabel 1.1 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
Tabel 1.4
Tabel 1.6 Tingkat Pendidikan Petani di Kecamatan Serang Tahun 2011
Tabel 1.8 Angsuran Gapoktan  di Kecamatan Serang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kerja sama antar karyawan dalam perusahaan terjalin dengan solid dan teratur sehingga mampu mengerjakan pekerjaan sesuai dengan job description .Budaya organisasi yang

Berdasarkan analisi data dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada perbedaan nilai rata-rata, nilai minimum dan nilai maksimum dari

Pada penelitian ini sampel bakso diambil tanpa kuah, adapun penyebab kontaminasi bakteri Salmonella pada bakso dilihat dari kriteria tempat pengambilan samapel

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 27 Nopember 2013, peneliti melakukan wawancara dengan 10 remaja putri yang sudah menstruasi dan

Gradien hidrolik yang dihasilkan (39.1 detik -1 ) sudah memenuhi kriteria desain, sedangkan untuk nilai waktu detensi (26.8 menit, 17.4 menit, dan 21.0 menit)

Mereka hanya mengetahui bahwa si Bungsu sudah mati ditebas Saburo dan anak buahnya sekitar dua tahun yang lalu!. Apakah si Bungsu menyangka bahwa kebocoran rahasia

Penggambaran karakter guru pada cerpen-cerpen mereka sangat menarik dan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh guru ini juga merupakan permasalahan yang sering

Jika pendapat ulama’ LDII tentang poligami tanpa meminta persetujuan dari isteri pertama di kaikan dengan peraturan undang- undang, maka sangatlah bertentangan,