BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal nafas merupakan salah satu kondisi kritis yang diartikan sebagai ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan homeostasis oksigen dan karbondioksida. Fungsi jalan nafas terutama sebagai fungsi ventilasi dan fungsi respirasi. Kasus gagal nafas akan terjadi kelainan fungsi obstruksi maupun
fungsi refriktif, akan tetapi dalam keilmuan keperawatan kritis yang menjadi penilaian utama adalah defek pertukaran gas di dalam unit paru, antara lain kelainan difusi dan kelainan ventilasi perfusi. Kedua kelainan ini umumnya menimbulkan penurunan PaO2, peninggian PaCO2 dan penurunan pH yang dapat
menimbulkan komplikasi pada organ lainnya (Tabrani, 2008).
Secara teoritis tekanan oksigen di alveolus (PaO2) sama dengan tekanan oksigen pada saat inspirasi (PiO2) dikurangi dengan tekanan CO2 dalam arteri
(PaCO2) dan dibagi dengan R (rasio pertukaran respirasi). Rentang nilai standar PaO2 yaitu antara 80–100 mmHg sedangkan rentang nilai standar PCO2 yaitu antara 35–45 mmHg. Kasus gagal nafas akan dijumpai tekanan
adanya perubahan pada PH < 7,35 atau > 7,45. HCO3< 20, BE < -2,5 dan saturasi
osksigen < 90 % (Tabrani, 2008).
Tanda-tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien yang mengalami kegagalan pernafasan antara lain: Frekuensi pernafasan > 30 x/menit atau < 10
x/menit, nafas pendek/cepat dan dangkal/cuping hidung, menggunakan otot bantu pernafasan, adanya wheezing, ronchi pada auskultasi. Batuk terdengar produktif tetapi sekret sulit dikeluarkan, pengembangan dada tidak simetris, ekspirasi memanjang, mudah capek, sesak nafas saat beraktifitas, takhikardi atau
bradikardi, tekanan darah dapat meningkat/menurun, pucat/dingin, sianosis pada kedua ekstermitas (Yilldirim, 2010).
Kasus dengan gagal nafas harus dilakukan pemasangan endotracheal tube (ETT). Intubasi endotrakeal merupakan "gold standard" untuk penanganan jalan
nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami penyumbatan jalan nafas, kehilangan reflek proteksi, menjaga paru-paru dari
sekret agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas (Nicholson and O'Brien, 2007).
Intubasi endotracheal tube (ETT) dapat dilakukan melalui hidung ataupun mulut. Masing-masing cara memberikan keuntungan tersendiri sebagai contoh
bahwa melalui hidung lebih baik dilakukan pada pasien yang masih sadar dan kooperatif, sedangkan melalui mulut dilakukan pada pasien yang mengalami koma, tidak kooperatif dan ketika kegawatan intubasi dibutuhkan pada pasien
Kebanyakan ETT untuk dewasa memiliki sistem inflasi cuff yang terdiri dari
valve, pilot balloon, inflating tube dan cuff. Valve mencegah udara keluar setelah
pengisian cuff. Pilot balloon menyediakan udara untuk pengisian cuff dan berfungsi sebagai panduan. Inflating tube berfungsi untuk menghubungkan valve
dengan cuff dan menyatukan dengan dinding pipa. Dengan menutupi trakea, cuff
ETT memberikan tekanan positif dan dapat mengurangi aspirasi. ETT tanpa cuff
biasanya digunakan pada anak‐ anak untuk meminimalisasi resiko trauma akibat tekanan dan batuk setelah intubasi (Seegobin dan Hasselt, 2007)
Ada dua tipe utama dari cuff ETT yaitu high pressure low volume dan low pressure high volume. Cuff yang high pressure memiliki hubungan dengan
iskemik dan kerusakan mukosa trakea sehingga kurang cocok untuk intubasi yang lama. Cuff low pressure kemungkinan dapat meningkatkan nyeri tenggorokan,
aspirasi, ekstubasi spontan, dan kesulitan insersi. Karena cuff low pressure kurang menyebabkan kerusakan mukosa, maka cuff tipe ini lebih dianjurkan dalam pemakaiannya. Tekanan cuff tergantung dari beberapa faktor antara laininflasi volum, diameter cuff dan hubungannya dengan trakea, regangan cuff dan trakea
dan tekanan intra torakal. Pasien yang terpasang intubasi perlu perhatian khusus dengan memantau tekanan cuff ETT yang terpasang. Penelitian yang dilakukan oleh Seegobin dan Hasselt (2007) menganjurkan bahwa tekanan cuff harus diukur
Besarnya tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan ke dalam cuff endotracheal tube (ETT) dapat menggunakan alat khusus pengukur tekanan cuff.
Tekanan udara yang direkomendasikan yaitu sesuai dengan rentang normal antara 25-40 mmHg (Buyung, 2011). Tekanan ideal yang direkomedasikan pada
pengisian cuff endotracheal tube (ETT) adalah pada tekanan 30 mmHg (Yildirim, 2011).
Menurut Anonim (2008) pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT)
bila tidak dilakukan akan memunculkan masalah baru pada pasien yang terpasang
ventilator. Masalah yang dapat timbul antara lain malposisi cuff, trauma jalan nafas, malfungsi cuff, VAP (Ventilator Associated Pneumonia) dan terlepasnya selang endotracheal tube (ETT).
Penelitian dalam jurnal Medical Devices & Surgical Technology Week oleh J.Y. Hu dan S.Q. Huang (2015) didapatkan hasil penelitian yaitu setelah induksi anestesi umum dan intubasi endotrakeal, tekanan cuff meningkat ke 25 mmHg.
Pada 5, 15, 30, 45 dan 60 menit setelah intubasi endotrakeal, tekanan cuff dan tekanan udara dicatat. Pasien yang menjalani laparotomi, tekanan cuff dan tekanan udara puncak mengalami perubahan secara signifikan pada titik-titik waktu yang berbeda setelah intubasi. Pasien yang menerima operasi laparoskopi, tekanan cuff
dan tekanan udara puncak secara signifikan meningkat dibandingkan tekanan awal diperiksa titik waktu tersebut.
Penelitian yang dilakukan Minonishi (2012) meneliti perubahan posisi
pasien dipasang cuff endotracheal tube (ETT), kemudian dilakukan pengukuran
tekanan cuff ett dengan tekanan 31,7 mmHg. Setelah posisi berubah >10 mm tekanan berubah menjadi 28,4 mmHg. Sehingga Ada korelasi yang signifikan antara perubahan posisi atau gerakan terhadap perubahan tekanan cuff endotracheal tube (ETT). Perubahan terjadi tergantung pada perubahan posisi
yang menjadikan tekanan cuff endotracheal tube (ETT) mengalami perubahan. RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto merupakan Rumah Sakit Propinsi dengan tingkat rujukan yang tinggi, mulai dari pasien trauma dan pasien
dengan berbagai kompikasi yang memerlukan perawatan intensif dengan beberapa pasien yang menggunakan alat bantu pernafasan mekanik atau ventilator.
Perawat memiliki peranan penting dalam melakukan perawatan dan
melakukan pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) terhadap pasien dengan gagal nafas yang terpasang ventilator. Pemantauan pengukuran tekanan
cuff penting dilakukan agar tidak terjadi perubahan tekanan cuff endotracheal tube (ETT) dan apabila terjadi perubahan dapat segera ditangani dengan baik oleh
perawat ICU (Intensive Care Unit) yang bertugas, berdasarkan latar belakang diatas penelitian dengan judul “Pengaruh waktu pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) terhadap efektifitas waktu pengukuran pada pasien
B. Rumusan Masalah
Pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) merupakan tindakan keperawatan yang penting dilakukan pada pasien yang terpasang endotracheal tube (ETT). Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan tekanan
cuff pada pasien yang terpasang endotracheal tube (ETT). Pengukuran cuff secara
berkala akan mempermudah perawat dalam melakukan tindakan dengan segera jika mengetahui tekanan cuff menurun.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang muncul dalam
penelitian ini adalah “Adakah pengaruh waktu pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) terhadap efektifitas waktu pengukuran pada pasien dengan airway definitif di ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) terhadap efektifitas waktu pengukuran pada pasien dengan airway definitif di ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: a. Karakteristik responden yang terpasang ETT
c. Waktu yang efektif untuk pengukuran tekanan cuff pada pasien yang
dipasang endotracheal tube (ETT) di ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.
D. Manfaat penelitian 1. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan media penerapan ilmu pengetahuan yang telah di dapatkan dalam teori. Menambah pengetahuan dan
pengalaman baru bagi peneliti khususnya pada penelitian pengaruh waktu pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) terhadap efektifitas waktu pengukuran pada pasien dengan airway definitif.
2. Instansi Terkait (BidangKeperawatan)
Untuk pengembangan tindakan mandiri keperawatan, khususnya perawat yang berkecimpung di bidang keperawatan kritis, hasil penelitian
3. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai penunjang dalam referensi ilmu dan dapat menambah pustaka tentang pengaruh waktu pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) terhadap efektifitas
waktu pengukuran pada pasien dengan airway definitif.
E. Penelitian Terkait
Beberapa penelitian terkait dapat peneliti paparkan antara lain:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Liu, et al. (2010) dengan judul “Corellation between controlled endoracheal tube cuff pressure and post procedure complication: A Multicenter study”. Hasil dari penelitian ini yaitu
didapatkan hasil menggunakan palpasi tampak injury pada mukosa trakea dan nyeri tenggorok juga sangat tinggi di banding dengan menggunakan alat ini menunjukan terdapat perbedaan bermakna ( P<0,05, P = 0.03 )
tekanan intra cuff menggunakan palpasi rata-rata 43±23,3 mmHg, sedangkan menggunakan alat 20± 3,1 mmHg.
Persamaan dari penelitin di atas dengan yang dilakukan peneliti dengan penelitian yaitu sama-sama meneliti tentang tekanan cuff endotracheal tube (ETT).
Perbedaan dari penelitian di atas yaitu penelitian yang Liu lakukan membandingkan pengisian cuff endotracheal tube (ETT) menggunakan
yaitu mengukur waktu tekanan cuff endotracheal tube (ETT) dengan durasi
waktu per 1 jam.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyono (2010) dengan judul “Kejadian gejala tenggorok pascaintubasi endotrakea: perbandingan estimasi dan
pengukuran tekanan cuff menggunakan alat dengan tanpa alat di GBPT RSUD dr. Soetomo Surabaya”. Hasil dari penelitian ini melaporkan bahwa rata-rata tekanan udara yang diisikan menggunakan alat ke dalam cuff
adalah 29,20 ±1,15 mmHg, dimana pemberian tekanan terendah adalah 26
mmHg dan tertinggi 30 mmHg. Besarnya tekanan atau jumlah volume udara yang diisikan ke dalam cuff pipa endotrakea dapat menggunakan alat khusus pengukur tekanan cuff. Tekanan udara yang direkomendasikan
yaitu sesuai dengan rentang tertentu antara 25-40 mmHg. Dengan adanya rentang tersebut, besar tekanan udara yang telah diberikan ke dalam cuff
tidaklah terlalu bervariasi, yaitu selama masih berada di dalam “rentang
aman”.
Persamaan dari penelitian yang dilakukan Sulistyono dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama meneliti takanan cuff endotracheal tube (ETT).
Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu jika penelitian yang dilakukan Sulistyono hanya mengukur tekanan cuff endotracheal tube (ETT) saja tidak ada waktu yang
penelian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu meneliti waktu
pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) yang efektif.
3. Penelitian yang dilakukan oleh News RX (2015) dengan judul “Pharyngeal Diseases; Recent Findings from Fudan University Has Provided New
Information about Pharyngitis (The effect of endotracheal tube cuff pressure change during gynecological laparoscopic surgery on postoperative sore throat: a control study)”. Hasil penelitian ini yaitu setelah induksi anestesi umum dan intubasi endotrakeal, tekanan cuff
berubah. Pada 5, 15, 30, 45 dan 60 menit setelah intubasi endotrakeal, tekanan cuff dan tekanan udara dimenit 60 dapat dicatat terjadi perubahan tekanan dari 30 mmHg menjadi 25 mmHg. Pada pasien yang menjalani
laparotomi, tekanan cuff dan tekanan udara puncak tidak berubah secara signifikan pada titik-titik waktu yang berbeda setelah intubasi. Pada pasien yang menerima operasi laparoskopi, tekanan cuff dan tekanan udara puncak
secara signifikan meningkat dibandingkan tekanan awal diperiksa titik waktu tersebut.
Persamaan penelitian di atas yaitu sama-sama melakukan penelitian mengukur tekanan cuff endotracheal tube (ETT). Perbedaan dari penelitian
di atas yaitu jika di penelitian yang dilakukan dijurnal Medical Devices & Surgical Technology Week meneliti tekanan cuff endotracheal tube (ETT)
dan mengukur tekanan cuff endotracheal tube (ETT) pada menit ke 5, 15,
meneliti waktu pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) per 1 jam
untuk mengetahui efektifitas waktu pengukuran.
4. Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan et all (2015) dengan judul “Perbandingan Ketepatan Pengukuran Tekanan Balon Pipa Endotrakeal
setelah Intubasi antara Metode Palpasi pada Pilot Balon dan Teknik Melepas Spuit secara Pasif”. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan ketepatan pengukuran tekanan balon ETT antara metode palpasi pada pilot balon (MP) dan teknik melepas spuit secara pasif (MSP). Hasil penelitian
didapatkan tekanan rata-rata pada kelompok MP 57,7±26,0 cmH2O dan MSP 28,7±4,5 cmH2O, sedangkan untuk ketepatan pengukuran pada kelompok MSP 56,5% dan kelompok MP 6,2% (p<0,001). Simpulan
penelitian ini menunjukkan bahwa metode palpasi merupakan teknik pengukuran tekanan balon ETT yang tidak adekuat.
Persamaan penelitian di atas yaitu sama-sama melakukan penelitian
melakukan pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT). Perbedaan dari penelitian di atas yaitu menggunakan metode palpasi dan teknik melepas spuit secara pasif, pada penelitian yang akan lakukan oleh peneliti yaitu meneliti waktu pengukuran tekanan cuff endotracheal tube (ETT) per