• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan usaha, bekerja, sekolah, bahkan menjadi gaya hidup bagi sebagian elemen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. melakukan usaha, bekerja, sekolah, bahkan menjadi gaya hidup bagi sebagian elemen"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1Latar Belakang Permasalahan

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat telah memanfaatkan teknologi sebagai bagian utama dalam menjalankan roda kehidupan mereka baik dalam melakukan usaha, bekerja, sekolah, bahkan menjadi gaya hidup bagi sebagian elemen masyarakat. Pemanfaatan Teknologi Informasi juga berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.1 Untuk menunjang kemajuan teknologi itu maka di buatlah hukum telematika, sebagai pedoman dan dasar hukum bagi setiap perbuatan hukum masyarakat yang berkaitan dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Penggunaan teknologi yang marak saat ini menyulitkan pemisahan antara teknologi informasi dan telekomunikasi. Hal ini disebabkan karena hukum telematika merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan

1 Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, huruf C.

(2)

mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi.2

Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia. Oleh sebab itu Indonesia yang wajib membentuk pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional. Tujuannya agar pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Hukum yang mengatur jaringan informasi diperlukan oleh masyarakat untuk mengakses dan mendistribusikan informasi, baik di dalam negeri maupun global.3

Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.4

Indonesia merupakan negara yang turut aktif dalam perkembangan hukum ITE di dunia internasional. Oleh karena itu perkembangan hukum teknologi informasi di Indonesia juga tetap memperhatikan perkembangan hukum ITE di dunia internasional. Antaralain, Singapura yang proses perkembangan hukum tersebut menjadi latar belakang disusunnya skripsi ini dengan judul Pembuktian Dalam Transaksi Elektonik di Indonesia dan Singapura. Adapun masalah (legal issue) yang akan dikaji dalam proposal ini antaralain kaidah dan asas-asas tentang pembuktian

2 Penjelasan UU Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999, Paragraf ke 2.

3 Hinca P, L.H. Pranoto, M. D. A. Siregar. Irfan Fahmi, Membangun Cyber Law Indonesia

yang Demokratis, Jakarta, 2005, hal.,17. 4Ibid.

(3)

yang berlaku di UU ITE dan UU Telekomunikasi Indonesia serta beberapa putusan pengadilan mengenai ITE perlu dibandingkan dengan ETA 2010 Singapura dan yurisprudensi tentang ITE.

Kehadiran teknologi informasi telah merubah paradigma dalam kehidupan manusia. Dalam aspek hukum perubahan paradigma ini berkaitan dengan penggunaan komputer sebagai media untuk melakukan kegiatan di dunia ITE khususnya kejahatan, memiliki tingkat kesulitan tersendiri dalam pembuktiannya. Meskipun secara substansi pasal-pasal dalam KUHP dan KUHAP dapat saja diupayakan untuk mengakomodasikan modus kejahatan ITE.5 Namun dalam hukum pidana terjadi perdebatan mengenai apakah masih relevan model pembuktian konvensional dihadapkan pada kejahatan di dunia maya.6

Pembuktian sebagai issue dalam perbandingan ini memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dalam kasus ITE dan Telekomunikasi pembuktian dalam persidangan menjadi sedikit berbeda, pembuktian yang berkaitan dengan dunia maya menggunakan sarana internet.

Alat bukti yang dapat diterima di pengadilan adalah alat bukti yang relevan dengan apa yang akan dibuktikan. Alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti di mana penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar kemungkinan akan dapat membuat fakta yang akan dibuktikan menjadi lebih jelas

5 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime), Kencana, Makassar, 2012, hal., 18.

6 Abdul Wahid, Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Malang, 2005, hal., 104.

(4)

daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan.7 Dengan demikian relevansi alat bukti tidak hanya diukur dari ada tidaknya hubungan antara alat bukti dengan fakta, melainkan berkaitan apakah alat bukti ini dapat mengungkap fakta menjadi lebih jelas.

Seperti yang sudah diketahui bersama jika menggunakan sarana internet maka data-data jaringan internet atau komputer relatif sulit dan berbeda caranya untuk ditemukan oleh aparat penegak hukum. Aparat relatif kesulitan dalam mengumpulkan bukti-bukti untuk menjerat pelaku tindak pidana. Oleh karena itu UU ITE 2008 mengatur secara khusus mengenai alat bukti dalam Pasal 5. Dalam pasal 5 UU ITE Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Kemudian dalam UU Telekomunikasi dalam Pasal 42 (2), rekaman informasi yang dikirim dan atau diterima oleh jasa penyelenggara telekomunikasi dapat diberikan kepada penyidik untuk keperluan proses peradilan pidana. Berdasarkan aturan dalam Pasal 5 UU ITE 2008 maka alat bukti konvensional yang telah diatur dalam KUHAP dan KUHPerdata mengalami perubahan (penambahan). Sedangkan dalam Pasal 6 ETA 2010 Singapura, alat bukti yang sah dalam kasus transaksi elektonik adalah setiap informasi yang dibuat dalam bentuk catatan elektronik.

Selain alat bukti, hal yang juga penting diperhatikan adalah beban pembuktikan. Beban pembuktian (onus) terdapat dalam Pasal 7 UU ITE 2008 dan Pasal 15 (1) UU Telekomunikasi. Dalam pasal 7 UU ITE 2008, setiap orang yang

7 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Citra Adytia Bakti, 2012, hal., 27.

(5)

dalam kaitannya dengan informasi/dokumen elektronik menolak hak orang lain, maka ia wajib membuktikan atau memastikan bahwa informasi/dokumen elektronik yang dimaksud dapat digunakan sebagai alasan timbulnya hak.8 Untuk beban pembuktian UU Telekomunikasi dalam 15 (1) dijelaskan bahwa pihak-pihak yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian dari penyelenggara telekomunikasi berhak mengajukan tuntutan ganti rugi. Apabila dibandingkan dengan ETA 2010 Singapura, pengaturan mengenai beban pembuktian terdapat dalam Pasal 19. Dirumuskan dalam Pasal 19 ETA 2010, setiap proses yang melibatkan catatan elektronik harus dianggap ada kecuali dibuktian sebaliknya pada waktu tertentu catatan elektronik tersebut telah diubah.

Perlu juga diketahui mengenai rumusan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum dalam ketiga peraturan mengenai ITE, sebagai bahan hukum dari penelitian ini. Dalam UU Telekomunikasi 1999 rumusan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang mengakibatkan kerugian serta praktek monopoli, persaingan usaha, menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, dan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun kecuali untuk keperluan pembuktian.

Kemudian rumusan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum dalam UU ITE 2008 yaitu tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak yang menimbulkan kerugian dan dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Sedangkan tindak pidana dan perbuatan melawan

(6)

hukum menurut ETA 2010 Singapura adalah mengakses informasi pribadi dan memberitahukan informasi tersebut tanpa adanya persetujuan dari si pemilik informasi dan mengintersepsi jaringan dengan tujuan untuk mengakses informasi pribdi seseorang.

Matrix 1: Perbandingan Hukum ITE Indonesia dan Singapura

No Pumpunan Indonesia Singapura

UU Telekomunikasi 1999 UU ITE 2008 ETA 2010 1 Pembuktian: Alat Bukti Pasal 42 (2): Rekaman informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk proses peradilan pidana. Pasal 5: Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah.

Pasal 6:

For the avoidance of doubt, it is declared that information shall not be denied legal effect, validity or enforceability solely on the ground that it is in the form of an electronic record. 2 Pembuktian: Beban Pembuktian Pasal 15 (1):

Atas kesalahan dan

atau kelalaian penyelenggara Telekomunikasi yang menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.

Pasal 7:

Setiap Orang yang menyatakan hak,

memperkuat hak

yang telah ada, atau menolak hak Orang

lain harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berasal dari Sistem Elektronik dan memenuhi syarat Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 19: In any proceedings involving a secure electronic record, it shall be presumed, unless evidence to the contrary is

adduced, that the secure electronic record has not been altered since the specific point in time to which the secure status relates.

Sumber Tabel: diolah dari tiga UndangUndang; (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, (3) Electronik Transaction Act 2010 Singapura.

(7)

Variabel pembanding pertama adalah alat bukti. Alat bukti elektronik secara jelas telah diatur dalam UU Telekomunikasi 1999, UU ITE 2008, dan ETA 2010. Dalam ke tiga peraturan ini menyatakan bahwa pengadilan tidak dapat menolak suatu alat bukti dengan alasan bahwa alat bukti tersebut adalah alat bukti elektronik.

Variabel pembanding kedua adalah beban pembuktian. Pengaturan tentang beban pembuktian di Indonesia dan di Singapura menyatakan bahwa setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berasal dari Sistem Elektronik dan memenuhi syarat Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.

Matrix 2: Perbandingan Hukum ITE Indonesia dan Singapura

No Pumpunan Indonesia Singapura

UU Telekomunikasi 1999

UU ITE 2008 ETA 2010

1 Penyidik Pasal 44 (1):

Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan

Departemen yang

lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang

telekomunikasi, diberi

wewenang khusus

sebagai penyidik yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara

Pidana untuk

Pasal 43 (1):

Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan

Pemerintah yang

lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud Pasal 27: The Controller shall, subject to any general or special directions of the Minister, perform such duties as are

imposed and may

exercise such

powers as are

conferred upon

him by this Act or any other written law.

(8)

melakukan penyidikan tindak pidana di bidang

telekomunikasi.

dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara

Pidana untuk

melakukan penyidikan tindak pidana di bidang ITE.

Sumber Tabel: diolah dari tiga UndangUndang; (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, (3) Electronik Transaction Act 2010 Singapura.

Variabel pembanding ketiga adalah penyidikan. UU Telekomunikasi 1999 dan UU ITE 2008 mengatur tentang penyidik kasus ITE adalah penyidik POLRI, penyidik khusus yaitu Pegawai Negeri Sipil yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi dan transaksi elektronik. Sedangkan dalam ETA 2010, penyidik kasus transaksi elektronik adalah seseorang yang di tunjuk Menteri yang dianggap mampu membantu melaksanakan tujuan ETA 2010.

Matrix 3: Perbandingan Hukum ITE Indonesia dan Singapura

No Pumpunan Indonesia Singapura

UU Telekomunikasi 1999 UU ITE 2008 ETA 2010 1 Waktu berlakunya kontrak PP 82 2012 Pasal 50 (3): Kesepakatan kontrak dapat dilakukan dengan cara penerimaan yang menyatakan persetujuan dan penerimaan dan/atau pemakaian objek oleh

Pengguna Sitem

Elektronik.

Pasal 20:

Transaksi elektronik pada saat penawaran yang dikirim oleh pengirim telah di terima dan di setujui oleh penerima dengan

cara memberikan

pernyataan penerimaan secara elektronik.

Pasal 13 (2):

The time of receipt of an electronic communication is the time when the electronic communication becomes capable of being retrieved by the addressee at an electronic address designated by the addressee. Sumber Tabel: diolah dari tiga UndangUndang; (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, (3) Electronik Transaction Act 2010 Singapura.

(9)

Variabel pembanding keempat adalah waktu berlakunya kontrak elektronik. Dalam ETA 2010 suatu kontrak elektronik dinyatakan mulai berlaku sejak kontrak tersebut telah dikirim dan dapat di unduh oleh penerima melalui alamat elektronik penerima. Sedangkan waktu berlakunya kontrak menurut UU Telekomunikasi 1999 dan UU ITE 2008 adalah ketika kontrak telah diterima dan penerima harus memberikan pernyataan penerimaan kepada pengirim kontrak.

Alasan dipilihnya keempat variable tersebut sebagai variabel dalam penelitian ini karena variabel yang telah diuraikan adalah elemen-elemen penting, setiap kali orang hendak membicarakan mengenai hukum pembuktian. Demikian pula dengan yang dilakukan dalam skripsi ini. Keempat variabel tersebut dibandingkan dalam dua hukum pembuktian dari dua sistem hukum yang berbeda.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum Pembuktian Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia?

2. Bagaimana pengaturan hukum Pembuktian Informasi dan Transaksi Elektronik di Singapura?

3. Bagaimana perbandingan aspek-aspek hukum Pembuktian yang mengatur Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura?

(10)

1.3. Tujuan Penelitian

1. Ingin mengetahui dan menganalisis tentang pengaturan hukum Pembuktian Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia

2. Ingin mengetahui dan menganalisis tentang pengaturan hukum Pembuktian Informasi dan Transaksi Elektronik di Singapura

3. Ingin membandingkan hukum Pembuktian Informasi dan Transaksi Elektonik di Indonesia dan Singapura.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis dan Manfaat Praktis:

Dengan penelitian ini dapat digambarkan aspek-aspek dari konsep pengatutan transaksi elektonik dan telekomunikasi dan diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembelajaran ITE di Indonesia.

Ingin menemukan hal-hal baru dalam pengaturan ITE dan Telekomunikasi sehingga dapat dipergunakan dalam pembaruan hukum yang mengatur ITE dan Telekomunikasi di Indonesia.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian ini adalah suatu penelitian orisinil. Belum pernah ada penelitian sejenis yang dilakukan sebelumnya. Sebagai gambaran mengenai hal itu, dibawah ini disajikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya:

(11)

Matrix 5: Perbandingan Skripsi-Skripsi yang Pernah Ditulis Sebelumnya

No Nama

Penulis

Judul Skripsi Rumusan Masalah Kesimpulan

1 Henry Nugraha Pembuktian Tindak Pidana Siber Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 1. Bagaimana sistem pembuktian tindak pidana siber (Cyber Crime) ? 2. Siapakah yang berwenang (yang memiliki kapasitas dan kekuasaan) untuk melakukan penyidikan terhadap dugaan adanya tindak pidana siber? Dalam

perspektif UU ITE ada penambahan alat bukti yaitu perluasan dari alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHP,ditambah dengan Pasal 5 UU ITE. Pihak yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana siber dalam perspektif UU ITE: yang berwenang melakukan penyidikan dalam perspektif UU ITE terdiri dari dua peyidik, pertama penyidik POLRI kedua penyidik PPNS. Sumber: Diolah dari skripsi-skripsi yang pernah ditulis

Skripsi yang pertama ditulis oleh Henry Nugraha dengan judul “Pembuktian

Tindak Pidan Siber Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah pembuktian tindak pidana siber (CyberCrime) dan pihak yang berwenang menangani tindak pidana siber.

(12)

Matrix 6: Perbandingan Skripsi-Skripsi yang Pernah Ditulis Sebelumnya

No Nama

Penulis

Judul Skripsi Rumusan Masalah Kesimpulan

1 Aryo Hendrawan Pengaturan Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime) 1. Bagaimana pengaturan alat bukti elektronik dalam pembuktian kejahatan dunia maya (cyber crime)? 2. Kesulitan-kesuliatan di dalam penggunaan alat bukti elektronik.

Pengaturan alat bukti elektronik yang sah diatur dalam UU ITE Tahun 2008 Pasal 5. Alat bukti elektronik

khususnya yang

berkaitan dengan rekaman/salinan data yang dapat diperoleh dari sebuah sistem jaringan komputer yang aman dan dapat di percaya serta dapat

diterima untuk

membuktikan

kejahatan di dunia maya dan di jadikan

Real Evidence Sumber: Diolah dari skripsi-skripsi yang pernah ditulis

Skripsi yang pertama ditulis oleh Henry Nugraha dengan judul “Pembuktian

Tindak Pidan Siber Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah pembuktian tindak pidana siber (CyberCrime) dan pihak yang berwenang menangani tindak pidana siber.

Matrix 7: Perbandingan Skripsi-Skripsi yang Pernah Ditulis Sebelumnya

No Nama

Penulis

Judul Skripsi Rumusan Masalah Kesimpulan

1 Joko Kusuma Pengaturan KUHP dalam Menanggulangi 1. Apakah KUHP dapat di gunakan KUHP bisa di gunakan dalam menanggulangi cyber

(13)

Cyber Crime sebagai perangkat hukum dalam menanggulangi cyber crime? crime. Pasal-pasal yang dapat diterapkan dalam kasus cyber crime yaitu Pasal 263 KUHP, Pasal 362 KUHP, Pasal 378 KUHP, dan Pasal 407 KUHP.

Sumber: Diolah dari skripsi-skripsi yang pernah ditulis.

Skripsi yang ketiga ditulis oleh Joko Kusuma dengan judul “Pengaturan

KUHP dalam menanggulangi Cyber Crime”. Skripsi ini menganalisi tentang apakah KUHP dapat di gunakan sebagai dasar hukum jika terjadi cyber crime. Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa KUHP dapat digunakan untuk menanggulangi cyber crime.

Jika di bandingkan dengan skripsi-skripsi yang sudah pernah di tulis sebelumnya, penelitian ini menjadi berbeda karena selain akan membahas pengaturan hukum ITE di Indonesia, juga akan menganalisis pengaturan hukum ITE di Singapura. Walaupun Indonesia dan Singapura telah memberlakukan undang-undang tentang transaksi elektronik, namun pada kenyataannya Singapura berada jauh di atas Indonesia dalam hal penggunaan kecanggihan teknologi serta peraturan yang menunjang kegiatan-kegiatan di bidang transaksi elektronik. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan membandingakan aspek-aspek hukum yang mengatur hukum ITE di Singapura dan Indonesia.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum. Untuk membandingkan pengaturan tentang pembuktian Informasi dan

(14)

Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura serta perbandingannya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hukum Komparatif (Comparative Law). Pendekatan Hukum Komparatif bertujuan memaparkan persamaan dan perbedaan sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya. Kemudian dengan Pendekatan Undang-undang (Statute Approach).9 Pendekatan peraturan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Dan dengan Pendekatan Analitis (Analitycal Approach), yaitu menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep yuridis.10

9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal., 96.

10 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, 2006, hal., 45.

Referensi

Dokumen terkait

Potensi sumberdaya ikan di Teluk Tomini sebesar 32.560 ton per tahun belum dimanfaatkan secara optimal oleh nelayan yang bermukim di wilayah pesisir selatan Provinsi

Untuk tahap dream, pada kelompok ini berharap dengan mempunyai kemampuan yang meningkat dalam pencatatan keuangan usaha, maka dapat bersinergi dengan Lembaga Keuangan

Pada baja yang tidak diberi perlakuan ketahanan korosinya sangat baik ini terlihat dari pengurangan massa dari hasil uji weight loss, sebesar 0.2mg, sedangkan pada

Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa jika proyek dari hasil MUSRENBANG yang akan dijadikan sebagai unit analisis untuk mengeta- hui tingkat partisipasi masyarakat,

Menurut pendapat anda jika ada petugas polisi yang berjaga, anda tidak akan menerobos lampu lalu lintas walaupun lampu sudah berwarna kuning karena sangan berbahaya buat anda

Akhlak siswa SMP Negeri 2 Songgom, brebes ini dilihat dan diukur dari beberapa indikator diataranya adalah akhlak manusia sebagai makhluk Allah, akhlak kepada ayah dan ibu,

Harun Nasution sebagai salah seorang pembaharu Islam di Indonesia memandang berbagai tatanan kehidupan masyarakat dalam dunia modern harus diatur sendiri oleh umat Islam

Waktu zaman saya, orang bisa langsung pergi ke Australia atau kursus 2 bulan, kursus 3 bulan, kursus 5 bulan, kursus 7 bulan, dan kalau yang dapat kursus 9 bulan itu didrop,