• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM RANGKA MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B KLATEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MODEL PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM RANGKA MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B KLATEN"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

KRESNA DHARMA PAMBAGIYO NIM. E0013245

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

ii

MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B KLATEN

Oleh :

KRESNA DHARMA PAMBAGIYO NIM. E0013245

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 24 Agustus 2018 Pembimbing

(3)

iii

MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B KLATEN

Oleh :

KRESNA DHARMA PAMBAGIYO NIM. E0013245

Telah diterima dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada : Hari : Kamis

(4)

iv

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul : MODEL PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM RANGKA MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B KLATEN adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan Hukum ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan Penulisan Hukum dan gelar yang saya peroleh dari Penulisan Hukum ini.

Surakarta, 24 Agustus 2018 Yang membuat pernyataan

(5)

v

PIDANA (RECIDIVE) DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B KLATEN. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui model pembinaan narapidana dalam rangka mencegah pengulangan tindak pidana (recidive) dan hambatan yang ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis / non-doktrinal yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan, pengamatan dan wawancara. Teknik analisis data secara kualitatif dengan menggunakan teknik analisis model interaktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten, diawali dengan pendaftaran kemudian diikuti dengan proses pembinaan yang terbagi dalam empat tahap, yaitu tahap pertama (masa pengenalan lingkungan / pembinaan awal), tahap kedua (pembinaan lanjutan), tahap ketiga (asimilasi) dan tahap keempat (integrasi). Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten belum dapat melaksanakan assessment risiko dan assessment kebutuhan karena terkendala Sumber Daya Manusia yang terbatas dan menghindari rangkap jabatan oleh assessor. Metode yang digunakan dalam pembinaan narapidana meliputi metode gabungan antara pendekatan dari atas ke bawah (top down approach) dengan pendekatan dari bawah ke atas (bottom up approach), metode gabungan antara pendekatan perorangan dengan pendekatan kelompok, metode kekeluargaan, metode persuasif edukatif, metode berkelanjutan (continual) dan metode keamanan (security). Program dan wujud pembinaan narapidana meliputi pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Faktor yang menjadi hambatan dalam pembinaan narapidana antara lain sarana dan prasarana, terbatasnya Sumber Daya Manusia, narapidana dan masyarakat.

(6)

vi

CRIMINAL ACT (RECIDIVE) AT CORRECTIONAL INSTITUTION CLASS II B KLATEN. Faculty of Law Sebelas Maret University of Surakarta.

This legal writing aims to find out about the model of prisoner guidance in order to prevent the repetition of criminal act (recidive) and obstacles encountered at Correctional Institution Class II B Klaten.

This research is a sociological / non-doctrinal legal research which is descriptive. The type of data used is primary data and secondary data. The data collection techniques used are literature study, observation and interview. The technique of data analysis is qualitative by using interactive model analysis technique.

The result of the research showed that the guidance stage of the prisoners at Correctional Institution Class II B Klaten, beginning with registration then followed by a guidance process divided into four stages, among them are the first stage (introduction to the neighborhood stage / early guidance), the second stage (continuation guidance), the third stage (assimilation) and the fourth stage (integration). Correctional Institution Class II B Klaten not yet able to implement risk assessment and assessment of prisoner needs because constrained limited human resources and avoid double positions by the assessor. The method used in prisoner guidanc, among them are a combined method of top down approach with bottom up approach, a combined method of individual approach with group approach, kinship method, educational persuasive method, continuous method and security method. The programs and forms of prisoner guidance, among them are personality guidance and independence guidance. The factors that become obstacles in the prisoner guidance, among them are facilities and infrastructure, limited human resources, prisoner and society.

(7)

vii

Hal yang paling menyakitkan di dunia ini adalah ketika kita tidak bisa membahagiakan orang yang kita sayangi.

Untukmu anak-anakku, kami berkorban sekuat tenaga agar engkau hidup dalam kebahagiaan.

(8)

viii

Allah SWT yang selalu menjawab doa-doa saya dan memberikan saya hidup

hingga sekarang ini.

Ayah dan Ibu yang telah membesarkan saya dari lahir hingga dewasa dan tidak pernah berhenti untuk memberikan doa-doa dan motivasi.

Istriku yang selalu setia menemani dan menyemangatiku. Terima kasih atas ketulusan dan kesabarannya dalam menghadapiku.

Adikku yang selalu ada dan memberikan dukungan.

(9)

ix

Hukum (Skripsi) yang berjudul “MODEL PEMBINAAN NARAPIDANA DALAM RANGKA MENCEGAH PENGULANGAN TINDAK PIDANA

(RECIDIVE) DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B KLATEN”

dapat penulis selesaikan dengan baik.

Penulisan Hukum ini merupakan rangkaian persyaratan dan tugas yang harus dipenuhi guna memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Dengan terselesaikannya Penulisan Hukum ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran dalam penyelesaian Penulisan Hukum ini.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Subekti, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Sabar Slamet, S.H., M.H., selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, memberikan masukan, arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah penulis untuk menyelesaikan Penulisan Hukum ini.

4. Ibu Wida Astuti, S.H., M.H., selaku pembimbing akademik yang telah membimbing, memberi saran dan arahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(10)

x

7. Bapak Andreas Wisnu Saputro, Amd. IP., S.IP., M.H., selaku Kepala Seksi Bimbingan Narapidana / Anak Didik Dan Kegiatan Kerja Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten yang telah memberi data sebagai bahan penyusunan Skripsi kepada penulis.

8. Bapak Junesto Gahagho, Amd. IP., S.H., selaku Kepala KPLP Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten yang telah memberi data sebagai bahan penyusunan Skripsi kepada penulis.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu baik moril maupun materiil dalam Penulisan Hukum ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Penelitian Hukum ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam isi maupun bentuk penyajian. Untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya kritik / saran yang membangun demi perbaikan penyusunan Penelitian Hukum selanjutnya.

Akhir kata penulis berharap semoga Penulisan Hukum ini dapat memberikan sedikit sumbangan pemikiran khususnya dalam upaya pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

Surakarta, 24 Agustus 2018 Penulis

(11)

xi

………...

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……… iii

HALAMAN PERNYATAAN ………... iv

ABSTRAK ………... v

ABSTRACT ………. vi

HALAMAN MOTTO ………... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... viii

KATA PENGANTAR ………. ix

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ……… xiv

DAFTAR GAMBAR ………... xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ……… 3

C. Tujuan Penelitian ……… 4

D. Manfaat Penelitian ……….. 4

E. Metode Penelitian ………... 5

F. Sistematika Penulisan Hukum ……… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ………... 10

1. Tinjauan Umum tentang Pidana ………... 10

a. Pengertian Hukum Pidana ………... 10

b. Pengertian Pidana ……… 11

c. Teori Pemidanaan ………... 11

(12)

xii

c. Penggolongan Narapidana ……….. 20

3. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Narapidana ……. 21

a. Pengertian Pembinaan Narapidana ………. 21

b. Tujuan Pembinaan Narapidana ………... 22

c. Tahap Pembinaan Narapidana ……… 25

d. Macam Pembinaan Narapidana ……….. 27

e. Prinsip Dasar Pembinaan Narapidana ………. 28

4. Tinjauan Umum tentang Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) ………. 29

a. Pengertian Pengulangan Tindak Pidana …………. 29

b. Sistem Pemberatan Pidana ……….. 30

c. Pengulangan Tindak Pidana Menurut KUHP ……. 31

d. Pengulangan Tindak Pidana di luar KUHP ……… 36

5. Tinjauan Umum tentang Lembaga Pemasyarakatan … 36 a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ……… 36

b. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan ………... 37

c. Pedoman Melakukan Pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan ……….. 37

B. Kerangka Pemikiran ………... 40

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Model Pembinaan Narapidana dalam Rangka Mencegah Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten ………... 42

1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten ……… 42

(13)

xiii

Narapidana ……… 64

7. Program dan Wujud Pembinaan Narapidana………… 67

B. Hambatan Model Pembinaan Narapidana dalam Rangka Mencegah Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten ………... 71

1. Sarana dan Prasarana ……….. 71

2. Pegawai ………. 72

3. Narapidana ……… 74

4. Masyarakat ……… 74

BAB IV PENUTUP A. Simpulan ………. 76

B. Saran ………... 77

(14)

xiv

Kejahatan ………. 50

(15)

xv

Kerangka Pemikiran ………. Gambar 3 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B

(16)

xvi Surakarta

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian Kepada Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Lampiran 3 Surat Keterangan telah melakukan Penelitian di Lembaga

(17)

1

Negara Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Hukum itu dibuat pada dasarnya untuk mengatur kehidupan masyarakat. Selain itu hukum juga diperlukan untuk mengantisipasi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu bentuk penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah dengan adanya suatu bentuk tindak pidana yang dilakukan oleh masyarakat yang mana dapat mengganggu kenyamanan, ketentraman dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani berbagai bentuk penyimpangan tindak pidana tersebut adalah dengan membentuk suatu produk hukum yang dapat menegakkan keadilan dan menjadi sarana pengayoman bagi masyarakat yang berlandaskan pada hukum pidana. “Hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku” (Bambang Waluyo, 2004 : 6).

(18)

Tujuan hukum pidana adalah untuk mencegah masyarakat agar tidak melakukan berbagai bentuk penyimpangan tindak pidana dan menyadarkan para pelaku tindak pidana agar tidak melakukan atau mengulangi kembali perbuatannya. Maka bagi para pelaku tindak pidana atau pelaku kejahatan akan mendapatkan sanksi pidana berupa perampasan kemerdekaan, sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera terhadap para pelaku tindak pidana tersebut. Sanksi pidana yang berupa perampasan kemerdekaan dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan.

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan” (Pasal 1 Angka (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu penegak hukum yang tidak terkait langsung dalam penegakan hukum. Namun Lembaga Pemasyarakatan sangat berperan dalam membina para narapidana agar tidak mengulangi lagi perbuatannya sehingga dapat diterima kembali menjadi bagian dari anggota masyarakat. Selain itu pembinaan juga dilakukan terhadap pribadi dari narapidana itu sendiri. Tujuannya agar narapidana mampu mengenal dirinya sendiri dan memiliki tingkat kesadaran diri yang tinggi.

(19)

model pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sehingga tujuan dari pembinaan itu sendiri yaitu mengembalikan narapidana ketengah masyarakat tidak tercapai.

Keberhasilan tujuan pemasyarakatan tergantung dari beberapa pihak yang terkait antara lain petugas-petugas yang melakukan pembinaan, instansi-instansi terkait dan yang paling penting adalah peran serta masyarakat yang diharapkan dapat membantu proses pembinaan narapidana. Masyarakat memiliki peranan yang sangat berarti dalam proses resosialisasi narapidana yang saat ini masih sulit dilaksanakan.

Walaupun masyarakat mempunyai peranan penting dalam proses pembinaan narapidana, namun dari pihak masyarakat sendiri cenderung menolak kehadiran para mantan narapidana. Faktanya bahwa mantan narapidana seringkali diperlakukan tidak baik, dicurigai, diasingan, sehingga seorang mantan narapidana tidak nyaman berada dalam masyarakat dan akhirnya kembali lagi melakukan tindak pidana.

Berdasarkan paparan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang diwujudkan dalam sebuah bentuk Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul ”Model Pembinaan Narapidana dalam Rangka Mencegah Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas

II B Klaten”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan dalam penulisan ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana model pembinaan narapidana dalam rangka mencegah pengulangan tindak pidana (recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten ?

(20)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai sebagai pemecahan atas berbagai masalah yang akan diteliti (tujuan obyektif) dan untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Tujuan penelitian harus jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian agar sesuai dengan tujuan dilaksanakannya penelitian tersebut. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperdalam pengetahuan penulis di bidang Hukum Pidana, khususnya melalui kajian tentang model pembinaan narapidana dalam rangka mencegah pengulangan tindak pidana (recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

b. Untuk penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi) guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi persyaratan guna memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui model pembinaan narapidana dalam rangka mencegah pengulangan tindak pidana (recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

b. Untuk mengetahui hambatan model pembinaan narapidana dalam rangka mencegah pengulangan tindak pidana (recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

D. Manfaat Penelitian

(21)

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya.

b. Memperbanyak referensi ilmu di bidang pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

c. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan terhadap penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini.

b. Memberikan sumbangan pemikiran dan bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dalam masalah pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum sosiologis / non-doktrinal. Penelitian hukum sosiologis menggunakan data sekunder sebagai data awalnya yang kemudian dilanjutkan dengan data primer atau data lapangan.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam Penulisan Hukum ini yaitu deskriptif. Penulisan Hukum ini akan menggambarkan mengenai model pembinaan narapidana dalam rangka mencegah pengulangan tindak pidana (recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

3. Pendekatan Penelitian

(22)

penelitian yang digunakan yakni penelitian hukum sosiologis, maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Di dalam penelitian, jenis data dapat dibedakan antara data primer dan data sekunder, yaitu :

a. Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau sumber data dan dibedakan kedalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1) Bahan hukum primer yang digunakan adalah penulis melakukan

wawancara dengan petugas-petugas terkait yaitu petugas bagian tata usaha dan bagian bimbingan narapidana atau anak didik di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

2) Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah penulis melakukan wawancara dengan beberapa narapidana recidive di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan dan dibedakan kedalam bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 1) Bahan hukum primer yang digunakan adalah norma atau kaidah dasar hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Bahan umum primer yang penulis gunakan, yaitu :

a) Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01-PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan.

b) Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-PK.04.10 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan.

c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

(23)

e) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.

f) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

g) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. 2) Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang mendukung data sekunder dari bahan hukum primer terdiri dari buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan bahan lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam hal ini teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawancara atau interview.

6. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam Penulisan Hukum ini adalah teknik analisis data kualitatif yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis dan dianalisis secara kualitatif dengan menguraikan data dalam bentuk Penulisan Hukum.

Model analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah model analisis data interaktif. Dalam model analisis data ini terdapat tiga komponen, yaitu :

a. Reduksi data adalah proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan dan abstraksi dari data yang kasar yang dimuat dalam catatan tertulis.

b. Penyajian data adalah rangkaian informasi yang memungkinkan untuk dapat ditarik kesimpulan. Sajian data dapat meliputi matrik gambar / skema, jaringan kerja dan tabel.

(24)

Apabila disusun dalam bentuk skema, model analisis data interaktif adalah sebagai berikut :

Gambar 1. Model Analisis Data Interaktif

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, komprehensif dan menyeluruh mengenai materi Penulisan Hukum (Skripsi) yang disusun, maka penulis menyusun sistematika Penulisan Hukum ini yang terdiri dari empat bab. Adapun sistematika Penulisan Hukum ini, yaitu :

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis menguraikan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis menguraikan tentang dasar teori dari Penulisan Hukum ini yang meliputi tinjauan umum tentang hukum pidana, tinjauan umum tentang narapidana, tinjauan umum tentang pembinaan narapidana, tinjauan umum

Pengumpulan Data

Sajian Data Reduksi Data

(25)

tentang pengulangan tindak pidana (recidive) dan tinjauan umum tentang Lembaga Pemasyarakatan.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan menyajikan pembahasan hasil penelitian mengenai model pembinaan narapidana dalam rangka mencegah pengulangan tindak pidana (recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten dan hambatan model pembinaan narapidana dalam rangka mencegah pengulangan tindak pidana (recidive) di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten.

BAB IV : PENUTUP

Pada bab ini penulis akan menjelaskan secara singkat mengenai hasil penelitian hukum berupa simpulan dan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

(26)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana a. Pengertian Hukum Pidana

“Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkannya kepada pelaku” (Bambang Waluyo, 2004 : 6).

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu

dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 1993 : 1).

(27)

b. Pengertian Pidana

Pengertian pidana secara tradisional sering diartikan sebagai nestapa atau penderitaan yang diberikan Negara kepada pelaku pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang. Pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut :

1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2) Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).

3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindakan pidana menurut Undang-Undang (Muladi dan Barda Nawawi, 1998 : 4).

Pidana yaitu penderitaan yang sengaja diberikan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Penderitaan yang sengaja diberikan tersebut dimaksudkan agar orang tersebut menjadi jera dan tidak lagi mengulangi perbuatannya.

c. Teori Pemidanaan

Hukuman ditujukan terhadap pribadi orang yang melakukan pelanggaran pidana. Hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukum pidana dengan bagian hukum yang lain. Hukuman dalam hukum pidana ditujukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang teratur.

Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu :

1) Teori Absolut (Pembalasan)

(28)

Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat apa yang dapat timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memperhatikan masa depan baik terhadap diri pelaku maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi pelaku.

Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu :

a) Ditujukan pada pelakunya (sudut subjektif dari pembalasan).

b) Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).

Bila seseorang melakukan kejahatan, ada kepentingan hukum yang terlanggar. Akibat yang timbul, tiada lain berupa suatu penderitaan baik fisik maupun psikis, yaitu berupa perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman batin. Timbulnya perasaan seperti itu bukan saja bagi korban langsung tetapi juga pada masyarakat pada umumnya.

Untuk memuaskan dan atau menghilangkan penderitaan seperti ini (sudut subjektif), kepada pelaku kejahatan harus diberikan pembalasan yang setimpal (sudut objektif) yakni berupa pidana. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori pembalasan ini sebenarnya mengejar kepuasan hati, baik korban dan keluarganya maupun masyarakat pada umumnya (Adami Chazawi, 2011 : 158). Melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dari teori absolut ini tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap kejahatan pelaku dengan kesalahan moral sebagai syarat pemidanaan.

2) Teori Relatif (Tujuan)

(29)

Terdapat perbedaan dalam hal prevensi, yakni :

a) Prevensi ditujukan kepada umum yang disebut prevensi umum. Hal ini dapat dilakukan dengan ancaman hukuman, penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman (eksekusi).

b) Prevensi ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan itu.

Untuk mencapai tujuan tersebut, cara mencegah kejahatan dapat dilakukan diantaranya dengan :

a) Menakut-nakuti, yang ditujukan terhadap umum. b) Memperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar tidak

mengulangi perbuatannya.

c) Melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan hidup (Laden Marpaung, 2005 : 106).

Melihat uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dari teori relatif ini tujuan pemidanaan sebagai pencegahan kejahatan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

3) Teori Gabungan

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pencegahan, dengan kata lain dua alasan tersebut menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu :

a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat dipertahankannya tata tertib masyarakat.

b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana (Adami Chazawi, 2011 : 166).

d. Jenis-Jenis Pidana

Jenis-jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

(30)

Pidana ini berupa pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup manusia. Namun pidana mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadaan tertentu. Oleh karena itu, dalam KUHP kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanya pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, seperti :

(1) Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, Pasal 111 Ayat (2), Pasal 124 Ayat (3) jo Pasal 129).

(2) Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat (Pasal 140 Ayat (3), Pasal 340).

(3) Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur / faktor yang sangat memberatkan (Pasal 365 Ayat (4), Pasal 368 Ayat (2)).

(4) Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai dan pantai (Pasal 444) (Adami Chazawi, 2011 : 31). b) Pidana Penjara

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

Pidana penjara menurut Pasal 12 Ayat (1) KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu :

(1) Pidana penjara seumur hidup diancamkan pada kejahatan-kejahatan yang sangat berat, yaitu :

(a) Sebagai pidana alternatif dari pidana mati (Pasal 104, Pasal 365 Ayat (4), Pasal 368 Ayat (2)).

(31)

(2) Pidana penjara sementara waktu, dalam Pasal 12 Ayat (2) KUHP paling rendah 1 hari dan paling tinggi masimal 15 tahun. Pidana penjara sementara waktu dapat dijatuhkan lebih dari 15 tahun secara berturut-turut seperti yang ditentukan di dalam Pasal 12 Ayat (3), yaitu :

(a) Kejahatan-kejahatan yang hakim boleh memilih apakah akan menjatuhkan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara waktu maksimal 20 tahun (Pasal 104, Pasal 365 Ayat (4), Pasal 368 Ayat (2)) atau dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu yang memang diancam dengan pidana penjara maksimal 20 tahun sebagai alternatif dari pidana penjara seumur hidup (Pasal 106, Pasal 108 Ayat (2)).

(b) Terjadinya perbarengan, pengulangan, kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan Pasal 52 (pada kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana penjara sementara maksimal 15 tahun seperti Pasal 140 Ayat (1), Pasal 338, Pasal 365 Ayat (3)) (Adami Chazawi, 2011 : 34).

c) Pidana Kurungan

Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang tersebut untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.

(32)

disebabkan karena terjadi perbarengan, recidive atau karena ketentuan Pasal 52 KUHP.

d) Pidana Denda

Pidana denda hanya dijatuhkan terhadap jenis-jenis kejahatan ringan seperti pelanggaran, sebagai alternatif dari pidana kurungan. Pidana denda dapat dilakukan atau dibayarkan oleh orang lain selain terpidana. Pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan menjalani pidana kurungan (kurungan pengganti denda). Dengan kata lain jika denda tidak dibayarkan maka terpidana wajib menjalani pidana kurungan pengganti denda tersebut.

e) Pidana Tutupan

Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam Pasal 10 KUHP melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. “Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan“ (Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan).

“Peraturan dalam Ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan itu adalah demikian sehingga hakim berpendapat bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya” (Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan).

2) Pidana Tambahan

a) Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu

(33)

(1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu.

(2) Hak memasuki angkatan bersenjata.

(3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. (4) Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus

menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri.

(5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri. (6) Hak menjalankan pencaharian (Pasal 35 Ayat (1)

KUHP).

Tentang lamanya waktu jika hakim menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu, yaitu :

(1) Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup.

(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.

(3) Pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun (Pasal 38 Ayat (1) KUHP).

b) Pidana Perampasan Barang-Barang Tertentu

Ada dua jenis barang yang dapat dirampas melalui putusan hakim, yaitu :

(1) Barang-barang milik terpidana yang diperoleh dari kejahatan.

(2) Barang-barang milik terpidana yang digunakan dalam melakukan kejahatan (Pasal 39 KUHP). Ada tiga prinsip dasar dari pidana perampasan barang-barang tertentu, yaitu :

(1) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan terhadap dua jenis barang tersebut dalam Pasal 39 KUHP. (2) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh

(34)

pelanggaran seperti Pasal 502, Pasal 519, Pasal 549.

(3) Hanya diancamkan dan dapat dijatuhkan oleh hakim atas barang-barang milik terpidana saja. Kecuali ada beberapa ketentuan yang menyatakan secara tegas terhadap barang yang bukan milik terpidana (Pasal 250 bis) maupun tidak secara tegas menyebutkan terhadap baik barang milik terpidana atau bukan (Pasal 205, Pasal 275, Pasal 519) (Adami Chazawi, 2011 : 50).

c) Pidana Pengumuman Putusan Hakim

“Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan Kitab Undang-Undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana” (Pasal 43 KUHP)

Tujuan dari pengumuman putusan hakim yang seperti ini adalah sebagai usaha preventif, mencegah bagi orang-orang tertentu agar tidak melakukan tindak pidana yang sering dilakukan orang. Tujuan lainnya adalah memberitahukan kepada masyarakat umum agar berhati-hati dalam bergaul dan berhubungan dengan orang-orang yang tidak baik sehingga menjadi korban dari kejahatan (Adami Chazawi, 2011 : 54). Hakim bebas menentukan cara melaksanakan pengumuman itu yang dapat dilakukan melalui surat kabar, papan pengumuman, radio maupun tv yang pembiayaannya dibebankan pada terpidana.

2. Tinjauan Umum tentang Narapidana a. Pengertian Narapidana

(35)

Narapidana adalah seorang anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya dan selama waktu tertentu dan diproses dalam lingkungan tempat-tempat tertentu. Dengan tujuan, metode dan sistem pemasyarakatan. Pada suatu saat narapidana itu akan kembali menjadi manusia anggota masyarakat yang baik dan taat kepada hukum.

Dengan demikian antara narapidana dengan petugas negara yang bersangkutan merupakan hubungan orang antar orang berhadapan dengan orang dalam sifat-sifatnya sebagai manusia. Narapidana sebagai manusia yang harus dihormati hak-hak dan kewajibannya disamping memikul tanggung jawab dalam masyarakat yang hendak kita bangkitkan selama masa pembinaan. Petugas negara sebagai manusia yang memiliki kekuasaan tertentu berdasarkan Undang-Undang dan sekaligus bertindak untuk melindungi kepentingan yang sah dari masyarakat beserta anggota-anggotanya (Bambang Poernomo, 1986 : 180).

Narapidana yang diterima atau masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan wajib didaftar yang prosesnya meliputi :

1) Pencatatan :

a) Putusan Pengadilan. b) Jati diri.

c) Barang dan uang yang dibawa. 2) Pemeriksaan kesehatan.

3) Pembuatan pas foto. 4) Pengambilan sidik jari.

5) Pembuatan berita acara serah terima terpidana (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

b. Hak-Hak Narapidana Hak-hak narapidana, yaitu :

1) Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.

2) Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

3) Mendapat pendidikan dan pengajaran.

4) Mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. 5) Menyampaikan keluhan.

6) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang.

7) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. 8) Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum atau orang

(36)

9) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

10)Mendapakan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.

11)Mendapatkan pembebasan bersyarat. 12)Mendapatkan cuti menjelang bebas.

13)Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

c. Penggolongan Narapidana

Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan penggolongan atas dasar :

1) Umur.

2) Jenis kelamin.

3) Lama pidana yang dijatuhkan. 4) Jenis kejahatan.

5) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

Adapun penggolongan narapidana sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memang perlu, baik dilihat dari segi keamanan dan pembinaan serta menjaga pengaruh negatif yang dapat berpengaruh terhadap narapidana lainnya. Berdasarkan golongan umur dimaksudkan penempatan narapidana yang bersangkutan hendaknya dikelompokkan yang usianya tidak jauh berbeda. Sedangkan penggolongan berdasarkan jenis kelamin dimaksudkan penetapan narapidana yang bersangkutan dipisahkan antara Lembaga Pemasyarakatan laki-laki dan Lembaga Pemasyarakatan perempuan.

Penggolongan berdasarkan lama pidana yang dijatuhan, yaitu :

1) Narapidana dengan pidana jangka pendek yaitu narapidana yang dipidana paling lama 1 tahun.

2) Narapidana dengan pidana jangka sedang yaitu narapidana yang dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.

(37)

Dengan adanya pengelompokkan ini maka pembinaan yang dilakukan harus melihat dari segi lamanya pidana sehingga pantas pembina dapat memberikan program pembinaan yang tepat sesuai dengan lama pidana yang dijalani oleh narapidana tersebut (Rahmat Hi. Abdullah, 2015 : 53-54).

3. Tinjauan Umum tentang Pembinaan Narapidana a. Pengertian Pembinaan Narapidana

“Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana / anak didik pemasyarakatan” (Pasal 1 Angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan).

Program pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan kepribadian kemandirian yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :

1) Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2) Kesadaran berbangsa dan bernegara. 3) Intelektual.

4) Sikap dan perilaku.

5) Kesehatan jasmani dan rohani. 6) Kesadaran hukum.

7) Reintegrasi sehat dengan masyarakat. 8) Keterampilan kerja.

9) Latihan kerja dan produksi (Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan).

(38)

Jika keterampilan yang diberikan kepada narapidana sesuai dengan bakat narapidana, maka besar kemungkinan narapidana akan menekuninya sehingga jenis keterampilan tersebut akan mudah diterima. Dengan demikian pembinaan keterampilan yang diterima dapat dijadikan bekal hidup setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk mendukung program pembinaan tersebut, disediakan fasilitas-fasilitas pendukung, seperti :

1) Bidang kerohanian

Adanya tenaga-tenaga yang bersifat sosial keagamaan atau dengan kata lain Lembaga Pemasyarakatan mengadakan kerja sama dengan pihak luar dalam hal melakukan pembinaan spiritual narapidana tersebut. Selain itu fasilitas pendukung seperti mushola, aula sebagai tempat kebaktian dan vihara kecil juga disediakan, serta diatur jadwal-jadwal kegiatan spiritual yang diadakan setiap harinya.

2) Bidang jasmani

Disediakan lapangan olah raga, peralatan-peralatan olah raga, tape dan kaset untuk senam.

3) Bidang rekreasi dan hiburan

Disediakan ruangan khusus untuk menonton tv, membaca, juga tersedia alat-alat musik seperti gitar dan keyboard.

4) Bidang keterampilan dan pendidikan umum

Disediakan lahan untuk berkebun walaupun tidak luas, ruang untuk menjahit dan peralatan menjahit serta perlengkapannya, bengkel kerja dan ruangan khusus untuk melaksanakan program paket A yang disediakan untuk mendukung program pembinaan dan pendidikan.

5) Bidang kesehatan

Tersedianya poliklinik, dokter umum, dibantu oleh dua orang perawat, di lengkapi oleh peralatan medis beserta obat-obatan (Deliani, 2007 : 105).

b. Tujuan Pembinaan Narapidana

(39)

menjalani pidana tanpa memberikan pembinaan tidak akan merubah narapidana.

Tujuan pembinaan adalah kesadaran. Untuk memperoleh kesadaran dalam diri seseorang maka seseorang harus mengenal diri sendiri. Diri sendiri yang akan mampu merubah seseorang untuk menjadi lebih baik, lebih maju, lebih positif. Tanpa mengenal diri sendiri maka akan terlalu sulit seseorang akan merubah diri sendiri. Cara mencapai kesadaran sebagai tujuan pembinaan dapat dilakukan dengan berbagai tahap, yaitu :

1) Mengenal diri sendiri. Dalam tahap mengenal diri sendiri narapidana dibawa dalam suasana dan situasi yang dapat merenungkan, menggali dan mengenali diri sendiri.

2) Memiliki kesadaran beragama, kesadaran terhadap kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sadar sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu yang mempunyai keterbatasan dan sebagai manusia yang mampu menentukan masa depannya sendiri.

3) Mengenal potensi diri. Narapidana diajak mampu mengenal potensi diri sendiri, mampu mengembangkan potensi diri, mengembangkan hal-hal yang positif dalam diri sendiri. 4) Mengenal cara memotivasi adalah mampu memotivasi diri

sendiri ke arah yang positif, ke arah perubahan yang semakin baik.

5) Mampu memotivasi orang lain. Narapidana yang telah mengenal diri sendiri telah mampu memotivasi diri sendiri, maka diharapkan mampu memotivasi orang lain, kelompoknya, keluarga dan masyarakat disekitarnya.

6) Mampu memiliki kesadaran yang tinggi baik untuk diri sendiri, keluarga, kelompoknya, masyarakat disekitarnya, agama, bangsa dan negaranya.

7) Mampu berpikir dan bertindak. Narapidana diharapkan mampu berpikir secara positif, mampu membuat keputusan untuk diri sendiri dan mampu bertindak berdasarkan keputusannya sendiri.

8) Memiliki kepercayaan diri yang kuat. Narapidana yang telah mengenal diri sendiri diharapkan memiliki kepercayaan diri yang kuat.

9) Memiliki tanggung jawab. Narapidana diharapkan mampu bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya. Tanggung jawab untuk tetap konsekuen terhadap langkah yang telah diambil, mampu menerima segala risiko akibat dari tindakannya.

(40)

dan masalah apapun dalam setiap langkah kehidupannya (C.I. Harsono, 1995 : 47-50).

Sistem pembinaan pemasyarakatan di Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas-asas, yaitu :

1) Pengayoman

Perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.

2) Persamaan perlakuan dan pelayanan

Memberikan perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membeda-bedakan orang.

3) Pendidikan dan bimbingan

Bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila antara lain penanaman jiwa kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan ibadah.

4) Penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia

Bahwa sebagai orang yang tersesat, Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia. 5) Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan

Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu sehingga negara mempunyai kesempatan yang penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lembaga Pemasyarakatan, Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga atau rekreasi.

6) Terjaminnya hak-hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu

(41)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

c. Tahap Pembinaan Narapidana

Pembinaan narapidana berdasarkan sistem pemasyarakatan, tanpa petugas dan peran serta masyarakat dalam pembinaan maka tidak akan tercapai tujuan dari sistem pemasyarakatan tersebut. Bagaimanapun baiknya kualitas program-program pembinaan yang diterapkan bisa difungsikan dengan baik dengan melalui tahap-tahap pembinaan.

Tahap-tahap pembinaan diatur di dalam Pasal 7, Pasal 9 dan Pasal 10, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yaitu :

Pasal 7

1) Pembinaan narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan.

2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) terdiri atas tiga tahap, yaitu :

a) Tahap awal. b) Tahap lanjutan. c) Tahap akhir.

3) Pengalihan pembinaan dari satu tahap ke tahap lain ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan berdasarkan data dari Pembina Pemasyarakatan, Pengaman Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan dan Wali Narapidana.

4) Data sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) merupakan hasil pengamatan, penilaian dan laporan terhadap pelaksanaan pembinaan.

5) Ketentuan mengenai pengamatan, penilaian dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 9

1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf (a) bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana.

2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf (b) meliputi :

(42)

b) Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf (c) dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.

Pasal 10

1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) meliputi :

a) Masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 bulan.

b) Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.

c) Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.

d) Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. 2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

9 Ayat (2) meliputi :

a) Perencanaan program pembinaan lanjutan. b) Pelaksanaan program pembinaan lanjutan.

c) Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan. d) Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (3) meliputi :

a) Perencanaan program integrasi. b) Pelaksanaan program integrasi.

c) Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

4) Pertahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), (2) dan (3) ditetapkan melalui Tim Pengamat Pemasyarakatan.

5) Dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan, Kepala Lembaga Pemasyarakatan wajib memperhatikan hasil Penelitian Kemasyarakatan.

6) Ketentuan mengenai bentuk dan jenis kegiatan program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), (2) dan (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

(43)

1) Pembinaan tahap awal (Pasal 9 Ayat (1))

Pembinaan pada tahap ini dilakukan bagi narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana.

2) Pembinaan tahap lanjutan

a) Pembinaan tahap lanjutan pertama (Pasal 9 Ayat (2) Huruf (a)) Pembinaan pada tahap ini dilakukan bagi narapidana dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal atau 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana sampai dengan 1/2 (satu per dua) dari masa pidana.

b) Pembinaan tahap lanjutan kedua (Pasal 9 Ayat (2) Huruf (b)) Pembinaan pada tahap ini dilakukan bagi narapidana dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama atau 1/2 (satu per dua) dari masa pidana sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana.

3) Pembinaan tahap akhir (Pasal 9 Ayat (3))

Pembinaan pada tahap ini dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan atau 2/3 (dua per tiga) masa pidana sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang bersangkutan.

d. Macam Pembinaan Narapidana

Bentuk pembinaan yang diberikan kepada narapidana saat ini, sebagai berikut :

1) Pembinaan Mental

Pada umumnya orang menjadi jahat karena mentalnya sudah turun sehingga untuk memulihkan kembali mental seseorang seperti sedia kala maka pembinaan mental harus benar-benar diberikan sesuai dengan porsinya.

2) Pembinaan Sosial

(44)

3) Pembinaan Keterampilan

Dalam pembinaan ini diupayakan untuk memberikan berbagai bentuk pengetahuan mengenai keterampilan seperti menjahit, pertukangan, bercocok tanam, dan lain-lain (Ratna Ashari Ningrum, 2014 : 8).

e. Prinsip Dasar Pembinaan Narapidana

Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana, yaitu diri sendiri, keluarga, masyarakat, petugas pemerintah dan kelompok masyarakat. Keempat komponen tersebut harus tahu akan tujuan pembinaan narapidana, perkembangan pembinaan narapidana, kesulitan yang dihadapi dan berbagai program serta pemecahan masalah. Dalam membina narapidana, keempat komponen tersebut harus bekerja sama dan saling memberi informasi, terjadi komunikasi timbal balik sehingga pembinaan narapidana dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

Prinsip-prinsip dasar pembinaan narapidana secara ringkas, sebagai berikut :

1) Diri Sendiri

Proses pembinaan narapidana harus berangkat dari diri narapidana sendiri. Narapidana harus mau melakukan proses pembinaan bagi diri sendiri, pembinaan bukan muncul dari orang lain. Pengertian ini harus ditanamkan kepada setiap narapidana, jika seorang narapidana ingin merubah diri sendiri ke arah perubahan yang lebih baik, yang lebih positif.

Seseorang yang ingin merubah diri sendiri harus memiliki beberapa persyaratan, antara lain :

a) Kemauan.

b) Kepercayaan diri.

c) Berani mengambil keputusan. d) Berani menanggung risiko.

e) Termotivasi untuk terus menerus merubah diri. 2) Keluarga

Keluarga harus ikut aktif dalam membina narapidana karena keluarga adalah orang yang paling dekat dengan narapidana. Dalam pembinaan narapidana, keluarga diharapkan tetap berperan secara aktif dalam membina anggota keluarga yang menjadi narapidana. Peran aktif tersebut didasarkan atas berbagai pertimbangan, yaitu :

a) Narapidana adalah bagian dari keluarga.

(45)

c) Perlu sumbang saran, komunikasi timbal balik dari keluarga dan pihak Lembaga Pemasyarakatan dalam membina narapidana.

d) Perlu pembinaan yang terus menerus oleh pihak keluarga terhadap anggota keluarga yang menjadi narapidana. 3) Masyarakat

Selain narapidana sendiri yang mempunyai kemauan untuk membina diri sendiri, keluarga yang mempunyai hasrat dan tahu tentang pentingnya membina anggota keluarga yang menjadi narapidana, maka masyarakat dimana narapidana tinggal sebelum menjalani pidana mempunyai peran dalam membina narapidana.

Peran serta masyarakat dalam hal ini para pejabat masyarakat tingkat pedesaan, kecamatan dan para pemuka masyarakat, pemuka agama dimana narapidana tinggal sebelum menjalani pidana diharapkan mampu memberikan pembinaan anggota masyarakatnya yang menjadi narapidana. 4) Petugas Pemerintah dan Kelompok Masyarakat

Peran serta petugas pemerintah dan kelompok masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan narapidana karena secara aktif petugas pemerintah dan kelompok masyarakat sudah melembaga dalam ikut serta membina narapidana.

Prinsip-prinsip dasar dalam pembinaan narapidana, harus dipahami juga bahwa ada komponen-komponen dalam membina narapidana, yaitu :

a) Petugas kepolisian. b) Penasihat hukum.

c) Petugas Lembaga Pemasyarakatan.

d) Kelompok masyarakat, pemuka agama, pemuka masyarakat, pekerja sosial, Lembaga Swadaya Masyarakat.

e) Hakim pengawas dan pengamat.

f) Petugas Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (C.I. Harsono, 1995 : 51-71).

4. Tinjauan Umum tentang Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) a. Pengertian Pengulangan Tindak Pidana

(46)

melihat berulangnya melakukan tindak pidana tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan Undang-Undang (Adami Chazawi, 2002 : 80).

Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi dalam hal seseorang yang melakukan suatu tindak pidana telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang tetap (in krachtvan gewijsde), kemudian melakukan suatu tindakan pidana lagi. Jadi dalam recidive, sama halnya dengan concurcus realis, seseorang melakukan lebih dari satu tindak pidana. Perbedaannya ialah bahwa pada recidive sudah ada putusan hakim yang berkekuatan tetap berupa pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan terdahulu atau sebelumnya. Recidive merupakan alasan untuk memperkuat pemidanaan (Eva Achjani Zulfa, 2013 : 129).

Recidivism is a return to criminal behavior after release and the effectiveness of corrections is usually measured by rates of recidivism. Recognized factors impact recidivism rates, among them are the socio economic status, effectiveness of post release supervision (for parolees), length of time incarcerated, severity and seriousness of crime committed and educational level of achievement of each individual (John H. Esperian, 2010 : 320). Kutipan diatas mengandung pengertian bahwa recidive yaitu diulangnya kembali perilaku kriminal setelah dilepaskan dan efektivitas pembinaan biasanya diukur dengan tingkat recidive. Faktor yang diketahui mempengaruhi tingkat recidive, di antaranya adalah status sosial ekonomi, efektivitas pengawasan pasca pelepasan (untuk pembebasan bersyarat), lamanya waktu dipenjara, tingkat keparahan dan keseriusan kejahatan yang dilakukan dan tingkat pencapaian pendidikan masing-masing individu.

b. Sistem Pemberatan Pidana

Ada dua sistem pemberatan pidana berdasar adanya recidive atau pengulangan tindak pidana, yaitu :

1) Recidive Umum

(47)

pengulangannya maka dalam sistem ini tidak ada daluarsa recidive.

2) Recidive Khusus

Sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula (Eva Achjani Zulfa, 2013 : 129).

c. Pengulangan Tindak Pidana Menurut KUHP

Pengulangan tindak pidana dalam KUHP tidak diatur secara umum dalam Aturan Umum Buku I, tetapi diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu, baik yang berupa kejahatan di dalam Buku II maupun yang berupa pelanggaran di dalam Buku III. Di samping itu KUHP juga mensyaratkan tenggang waktu pengulangan tertentu. Dengan demikian KUHP menganut sistem recidive khusus artinya pemberatan pidana hanya dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan / pelanggaran) tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.

Adapun syarat-syarat recidive untuk tiap-tiap tindak pidana, sebagai berikut :

1) Recidive Kejahatan

Terbagi dalam dua jenis menurut KUHP, yaitu : a) Recidive Sejenis

Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis diatur secara tersebar dalam Pasal-Pasal tertentu Buku II KUHP, yaitu :

(1) Pasal 137 Ayat (2) tentang penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan.

(2) Pasal 144 Ayat (2) tentang penghinaan kepada Kepala Negara sahabat yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan.

(48)

(4) Pasal 157 Ayat (2) tentang penghinaan terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan. (5) Pasal 161 Ayat (2) tentang perbuatan menghasut

supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan. (6) Pasal 163 Ayat (2) tentang penawaran / sarana

melakukan tindak-tindak pidana yang berhubungan dengan penerbitan dan percetakan. (7) Pasal 208 Ayat (2) tentang penghinaan terhadap

penguasa atau badan umum.

(8) Pasal 216 Ayat (3) tentang penyalahgunaan jabatan atau wewenang atau menghalangi pejabat untuk melaksanakan tugas guna menjalankan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.

(9) Pasal 321 Ayat (2) tentang penghinaan yang dilakukan pada saat menjalankan mata pencaharian.

(10)Pasal 393 Ayat (2) tentang menjual, menawarkan atau mengedarkan dan sebagainya barang-barang yang bermerk palsu.

(11)Pasal 303 bis Ayat (2) tentang perjudian. Adapun syarat-syarat recidive sejenis, yaitu :

(1) Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan yang terdahulu.

(2) Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

(3) Pelaku melakukan kejahatan yang bersangutan pada waktu menjalankan pencahariannya (khusus untuk Pasal 216, Pasal 303 bis dan Pasal 393 syarat ini tidak ada).

(4) Pengulangan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu yang disebut dalam Pasal-Pasal yang bersangkutan, yaitu :

(a) Pengulangan dilakukan dalam tenggang waktu 2 tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam Pasal 137, Pasal 144, Pasal 208, Pasal 216, Pasal 303 bis dan Pasal 321).

(49)

155, Pasal 167, Pasal 161, Pasal 163 dan Pasal 393) (Eva Achjani Zulfa, 2013 : 130). b) Recidive Kelompok Jenis

Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu kelompok jenis diatur dalam Pasal-Pasal, yaitu:

(1) Pasal 486

Umumnya mengenai kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan, seperti :

(a) Pemalsuan mata uang (Pasal 244, Pasal 245). (b) Pemalsuan surat (Pasal 263, Pasal 264). (c) Pencurian (Pasal 362, Pasal 363, Pasal 365). (d) Pemerasan (Pasal 368).

(e) Pengancaman (Pasal 369).

(f) Penggelapan (Pasal 372, Pasal 374, Pasal 375).

(g) Penipuan (Pasal 378).

(h) Kejahatan jabatan (Pasal 415, Pasal 417, Pasal 425, Pasal 432).

(i) Penadahan (Pasal 480, Pasal 481). (2) Pasal 487

Umumnya mengenai kejahatan terhadap orang, seperti :

(a) Penyerangan dan makar terhadap Kepala Negara (Pasal 131, Pasal 140, Pasal 141). (b) Pembunuhan biasa dan berencana (Pasal 338,

Pasal 339, Pasal 340).

(c) Pembunuhan anak (Pasal 341, Pasal 342). (d) Euthanasia (Pasal 344).

(e) Abortus (Pasal 347, Pasal 348).

(f) Penganiayaan biasa / berat dan penganiayaan berencana (Pasal 351, Pasal 353, Pasal 354, Pasal 355).

(g) Kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan (Pasal 438-443).

(h) Insubordinasi (Pasal 459, Pasal 460). (3) Pasal 488

Umumnya mengenai kejahatan penghinaan dan yang berhubungan dengan penerbitan / percetakan, seperti :

(50)

(b) Penghinaan terhadap Kepala Negara sahabat (Pasal 142-144).

(c) Penghinaan terhadap penguasa / badan umum (Pasal 207, Pasal 208).

(d) Penghinaan terhadap orang pada umumnya (Pasal 310-321).

(e) Kejahatan penerbitan / percetakan (Pasal 483, Pasal 484) (Eva Achjani Zulfa, 2013 : 132).

Dengan adanya kelompok jenis-jenis kejahatan yang sudah dikemukakan di atas maka seseorang dapat dikatakan sebagai recidive apabila masing-masing tindak pidana yang dilakukan termasuk dalam satu kelompok jenis yang sama, misalnya setelah melakukan pencurian (Pasal 362) kemudian melakukan penggelapan (Pasal 372) maka dapat dikatakan sebagai recidive karena tindak pidana tersebut masih termasuk dalam satu kelompok jenis yaitu kejahatan terhadap harta benda dan pemalsuan dalam Pasal 486. 2) Recidive Pelanggaran

Ada empat belas jenis pelanggaran di dalam Buku III KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu :

a) Pasal 489 tentang kenakalan terhadap orang atau barang.

b) Pasal 492 tentang masuk di muka umum, merintangi lalu lintas / mengganggu ketertiban dan keamanan orang lain.

c) Pasal 495 tentang memasang perangkap / alat untuk membunuh binatang buas tanpa izin.

d) Pasal 501 tentang menjual dan sebagainya makanan / minuman yang dipalsu, busuk atau yang berasal dari ternak sakit atau mati.

e) Pasal 512 tentang melakukan pencaharian tanpa keharusan / wewenangan atau melampaui batas kewenangan.

(51)

g) Pasal 517 tentang membeli dan sebagainya barang-barang anggota militer tanpa izin.

h) Pasal 530 tentang petugas agama yang melakukan upacara perkawinan sebelum dinyatakan bahwa pelangsungan di muka pejabat catatan sipil / B.S. telah dilakukan.

i) Pasal 536 tentang dalam keadaan mabuk berada di jalan umum.

j) Pasal 540 tentang mempekerjakan hewan melebihi kekuatan atau menyakitinya.

k) Pasal 541 tentang menggunakan kuda muatan yang belum tukar gigi.

l) Pasal 544 tentang mengadakan sabungan ayam / jangrik di jalan umum tanpa izin.

m) Pasal 545 tentang melakukan pencaharian sebagai tukang ramal.

n) Pasal 549 tentang membiarkan ternaknya berjalan di kebun / tanah yang terlarang.

Adapun syarat-syarat recidive pelanggaran, yaitu :

a) Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu. Namun pelanggaran terdahulu terhadap Pasal 492 dapat merupakan alasan recidive untuk pelanggaran Pasal 536 dan sebaliknya, demikian pula pelanggaran terdahulu terhadap Pasal 302 (penganiayaan hewan ringan) dapat merupakan alasan pertama untuk pelanggaran Pasal 540 dan Pasal 541.

b) Harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran yang terdahulu.

c) Tenggang waktu pengulangannya belum lewat 1 tahun (untuk pelanggaran-pelanggaran, Pasal 492, Pasal 495, Pasal 536, Pasal 540, Pasal 541, Pasal 544, Pasal 545 dan Pasal 549) atau belum lewat 2 tahun (untuk pelanggaran-pelanggaran Pasal 501, Pasal 512, Pasal 516, Pasal 517 dan Pasal 530) (Eva Achjani Zulfa, 2013 : 136-138).

(52)

a) Pidana denda, diganti atau ditingkatkan menjadi pidana kurungan.

b) Pidana (denda / kurungan) dilipatkan dua kali. d. Pengulangan Tindak Pidana di luar KUHP

Recidive kejahatan diluar KUHP terdapat di dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang berbunyi ”barang siapa dalam jangka waktu 5 tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78-85 dan Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga) dari pidana pokok, kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun”. Dari situ terlihat bahwa Undang-Undang Narkotika menganut juga sistem recidive khusus, yaitu menyangkut tindak pidana yang diulangi.

Recidive pelanggaran diluar KUHP terdapat di dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Dalam pasal ini salah satu keadaan tertentu yang dimaksud adalah pengulangan melakukan tindak pidana korupsi (Eva Achjani Zulfa, 2013 : 138-139).

5. Tinjauan Umum tentang Lembaga Pemasyarakatan a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

“Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana / anak didik pemasyarakatan” (Pasal 1 Angka (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

Apa yang sekarang ini disebut sebagai Lembaga Pemasyarakatan sebenarnya adalah suatu lembaga, yang dahulu dikenal sebagai rumah penjara yaitu tempat dimana orang-orang yang telah dijatuhi pidana dengan pidana-pidana tertentu oleh hakim itu harus menjalankan pidana mereka.

(53)

tempat untuk membina atau mendidik orang-orang terpidana agar mereka setelah selesai menjalankan pidana mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lembaga Pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang berlaku.

Walaupun telah ada gagasan untuk menjadikan tujuan dari pidana penjara itu suatu pemasyarakatan dan walaupun sebutan dari rumah penjara itu telah diganti dengan sebutan Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi dalam praktiknya ternyata gagasan tersebut tidak didukung oleh suatu konsepsi yang jelas dan sarana-sarana yang memadai. Bahkan peraturan-peraturan yang dewasa ini digunakan sebagai pedoman untuk melakukan pemasyarakatan itu masih tetap merupakan peraturan-peraturan yang dahulu kala telah dipakai orang sebagai pedoman untuk melaksanakan hukuman-hukuman di dalam penjara.

Untuk maksud tersebut oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia telah diterbitkan suatu petunjuk pelaksanaan pembinaan narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang disebut dengan Manual Pemasyarakatan (P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2012 : 165-166).

b. Fungsi Lembaga Pemasyarakatan

Untuk melaksanakan tugas pemasyarakatan narapidana / anak didik, maka Lembaga Pe

Gambar

Gambar 1. Model Analisis Data Interaktif
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Gambar 3. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Klaten
Tabel 1. Jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan
+3

Referensi

Dokumen terkait

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga.. Tesis Pengaruh Keterampilan

Oleh karena adanya perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak

Hal ini didukung oleh semakin lancar dan efisiennya fasilitas transportasi dan informasi yang memperlancar hubungan antar Negara. Dengan demikian, perubahan

terkandung pada pada novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral, 3) mendeskripsikan perbandingan nilai pendidikan yang terdapat pada struktur pembangun cerita

Perancis berarti layar). Selain pengangkatan karya sastra ke dalam bentuk film, ada juga fenomena pengalihan wahana dari film ke dalam bentuk novel yang sering disebut

Perspektif orientasi pengguna merupakan prioritas utama bagi Perpustakaan Usakti, sedangkan sasaran strategi yang menjadi prioritas utama pada perspektif ini adalah

Dalam kegiatan ini mahasiwa belum mengajar secara penuh,baik dalam penyampaian materi, penggunaan metode maupun, pengelolaan kelas tetapi masih dalam pengawasan

1) Media yang akan digunakan oleh guru harus sesuai dan diarahkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Media tidak semata-mata dimanfaatkan untuk mempermudah guru dalam